• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV RESEPSI MASYARAKAT DESA ASEMDOYONG TERHADAP TRADISI BARITAN - BAB IV REV,.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB IV RESEPSI MASYARAKAT DESA ASEMDOYONG TERHADAP TRADISI BARITAN - BAB IV REV,.pdf"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

RESEPSI MASYARAKAT DESA ASEMDOYONG TERHADAP TRADISI

BARITAN

A.Analisis Resepsi 1. Pengertian Resepsi

Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna, 2004: 165).

(2)

Suatu teks atau karya sastra akan bermakna apabila karya sastra atau teks tersebut sudah berhubungan dengan pembaca. Teks memerlukan adanya kesan yang tidak mungkin ada tanpa adanya pembaca (Junus, 1985:104). Karya sastra (lisan maupun tulisan) bersifat dinamis. Karya sastra akan bermakna tergantung pembaca atau penerimanya. Junus menyebutkan (1985: 35) bahwa karya sastra baru mempunyai makna bila ia telah hidup dalam diri pembacanya.

Pada penelitian ini objek analisis adalah deskripsi cerita TB (folklor). Terdepat variasi cerita TB pada masyarakat Asemdoyong. Masyarakat berusaha memahami cerita TB. Dalam kaitannya dengan cerita TB di Asemdoyong, Pemalang. Teori resepsi sastra ini dikategorikan pada kemampuan penerimaan yang mencakup kemampuan menerima, memahami dan menceritakan kembali cerita dan prosesi TB.

Teori resepsi sastra76 tersebut di atas, dapat diterapkan pada cerita lisan (folklore), dalam hal ini cerita TB Asemdoyong, Pemalang. Folklore TB di Asemdoyong Pemalang tersebut termasuk sebuah karya sastra karena memiliki ciri-ciri sastra lisan, di antaranya sastra lisan masih bersifat tradisional, milik kolektif suatu masyarakat, penyampaian sastra lisan diturunkan dari mulut ke mulut secara turun temurun dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

76

(3)

2. Resepsi Masyarakat Asemdoyong terhadap TB di Asemdoyong, Pemalang. Resepsi masyarakat Asemdoyong terhadap cerita dan makna TB secara umum tahu. Tetapi, secara khusus pemahaman terhadap makna TB terbagi ke dalam dua kategori. Pertama kategori masyarakat perhatian (percaya) yaitu masyarakat dengan kriteria mengerti, memahami, dan menguasai cerita. Kedua, masyarakat yang tidak perhatian (tidak percaya) yaitu masyarakat dengan kriteria tidak memahami dan tidak menguasai cerita.

Responden77 dalam penelitian ini berjumlah 30 orang yang diambil berdasarkan sampling tujuan (purposive sampling).78 Berdasarkan data hasil penelitian, maka resepsi masyarakat Asemdoyong terhadap makna TB adalah sebagai berikut, berdasarkan hasil wawancara tak berstruktur dan kuesioner79 yang yang disebar kepada 30 responden, usia 12 tahun - 25 tahun, 5 dari 10 responden (50%) atau 5 dari total 30 narasumber (16,67%) menyatakan tahu tetapi tidak percaya terhadap makna simbolik TB karena masyarakat dengan kategori usia tersebut hanya sekadar sambil lalu mengikuti prosesi TB. Mereka tidak tahu secara mendalam cerita, prosesi TB, dan makna simbolik sesaji TB.

77

Responden adalah individu yang diwawancarai untuk mendapatkan keterangan tentang diri pribadi, pendidirian atau pandangan dari individu yang diwawancara. Sedangkan informan adalah individu yang diwawancarai untuk mendapatkan keterangan dan data dari individu-individu tertentu untuk keperluan informasi (Koentjaraningrat, 1977: 163).

78

Sampling bertujuan atau purposive sampling adalah metode sampling dengan tujuan tertentu, untuk mendeskripsikan gejala sosial atau masalah sosial tertentu (Koentjaraningrat, 1977: 115). Dalam hal ini responden dipilih berdasarkan aspek pengetahuan, usia dan latar belakang.

79

(4)

Usia 25 tahun - 45 tahun, 7 dari 10 responden (70%) atau 7 dari total 30 responden (23,33%) menyatakan tahu dan percaya karena mereka sudah relatif lama mengikuti TB dan mengerti cerita, prosesi serta makna simbolik TB. Usia 45 tahun ke atas, 10 dari 10 responden (100%) atau 10 dari total 30 responden (33,33%) menyatakan tahu, percaya, dan perhatian terhadap TB, karena selain mereka sudah aktif bertahun-tahun melaksanakan TB, mereka juga punya pengetahuan yang cukup untuk memaknai simbol-simbol TB.

Tabel 5. Prosentase pengetahuan TB.

Apakah Anda tahu cerita, prosesi, dan makna simbolik tradisi baritan di Asemdoyong Pemalang?

(5)

terkait TB. Sedangkan masyarakat dengan tingkat pendidikan formal tinggi (SMA-Perguruan Tinggi) tetapi pendidikan nonformal rendah, 8 dari 30 orang (26,66%) mempunyai tanggapan yang tidak percaya terhadap makna simbolik TB, karena pola pikir mereka sudah rasional. Artinya, mereka berpikir segala sesuatu harus berdasarkan rasio atau akal, hal-hal terkait makna dibalik sesaji TB tidak bisa diterima secara mentah-mentah tanpa didasarkan pada logika berpikir rasional.

Tabel 6. Prosentase kepercayaan narasumber terhadap TB. Apakah Anda percaya terhadap makna simbolik tradisi baritan di Asemdoyong Pemalang?

Dari 30 responden sebanyak 17 dari 17 responden (100%) penduduk asli80 Asemdoyong, atau 17 dari 30 narasumber (56,66%) menyatakan percaya dan perhatian terhadap TB.

(6)

Mereka adalah orang-orang yang perhatian dan melestarikan tradisi baritan sebagai warisan leluhur. Mereka belum terpengaruh oleh budaya luar yang cenderung modernis, mengabaikan tradisi budaya warisan leluhur. Sedangkan masyarakat yang telah terkontaminasi atau terpengaruh budaya luar, sebanyak 13 dari 13 responden (100%) atau 13 dari 30 responden (43,33%) menyatakan tidak percaya81 terhadap makna simbolik TB. Mereka adalah masyarakat pendatang yang mengikuti TB hanya sekadar meramaikan ritual tahunan.

Tabel 7. Prosentase kepercayaan narasumber terhadap TB

Apakah Anda percaya terhadap makna simbolik tradisi baritan di Asemdoyong Pemalang?

81

(7)

Pembahasan resepsi masyarakat Asemdoyong berikutnya menitikberatkan pada masyarakat kategori pertama. Masih terdapat keragaman resepsi masyarakat yang perhatian kepada makna simbolik TB, sehingga perlu penggolongan/pengklasifikasian. Keragaman resepsi tersebut didasarkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor usia, pendidikan, dan budaya. Pengklasifikasian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Usia

Usia merupakan salah satu faktor utama untuk mengetahui resepsi masyarakat terhadap makna TB. Hal tersebut disebabkan rentan waktu peristiwa masa lampau yang hanya dialami oleh orang (baca:masyarakat) tua. Semakin tua masyarakat, diindikasikan semakin banyak pengetahuan akan suatu peristiwa yang dilaluinya masa lampau, sehingga mereka mampu merekam atau menceritakan kembali peristiwa-peristiwa sejarah masa lampau. Dalam hal ini cerita TB.

(8)

Sebaliknya masyarakat dengan usia 45 tahun ke atas memahami, mempercayai dan perhatian terhadap makna TB. Selain karena kemapanan dalam berpikir dan perhatian pada TB, belum terpengaruh budaya luar pun menjadi faktor masyarakat usia 45 tahun ke atas percaya pada makna-makna dibalik TB.

b. Pendidikan

Pendidikan82 menjadi pokok dasar untuk memahami makna simbolik TB. Pendidikan dalam hal ini meliputi pendidikan formal (SD-PT/Perguruan Tinggi) dan pendidikan non-formal (Ponpes atau pendidikan agama). Masyarakat dengan tingkat pendidikan formal tinggi (SMA-PT), tetapi tingkat pendidikan nonformal rendah meresepsi makna simbolik TB hanya sekadar ritual rutin tahunan saja tanpa ada makna-makna dibalik TB. Hal ini disebabkan pola pikir mereka cenderung rasional, tidak tradisional lagi. Pengetahuan yang ada pada lingkungan sekitar, tidak mereka terima secara mentah-mentah, mereka sudah berpikir kritis dan logis.

Sedangkan masyarakat dengan tingkat pendidikan nonformal tinggi, cenderung lebih mempercayai makna-makna simbolik TB. Misalnya yang berhubungan dengan hal gaib. Makna simbolik TB salah satunya adalah wayang. wayang bermakna untuk menghibur penguasa laut.83

82

Dalam perspektif budaya pendidikan merupakan wahana penting dan medium yang efektif untuk mengajarkan norma, mensosialisasikan nilai, dan menanamkan etos kerja di kalangan masyarakat. Pendidikan juga dapat menjadi instrumen untuk memupuk kepribadian bangsa, memperkuat identitas nasional, dan memantapkan jati diri bangsa.(Suryadi dalam Pengembangan Ilmu Pendidikan, 2007: 3).

83

(9)

Jika penguasa laut sudah terhibur, sebagian masyarakat (baca:nelayan) Asemdoyong berkeyakinan tidak terjadi musibah atau hal-hal yang tidak diinginkan saat mencari ikan di laut. Hal itu disebabkan penguasa sudah diberi sesaji hiburan sehingga tidak akan marah. Masyarakat kategori ini masih berpola pikir tradisional, tidak semata-mata mengedepankan rasional. Pengetahuan yang ada di sekitar mereka cenderung diterima secara mentah-mentah tanpa berpikir kritis dan logis. Mereka meyakini simbol-simbol yang ada dalam TB merupakan wujud masyarakat zaman dulu.

c. Budaya

Menurut Koentjaraningrat (1979: 181) kebudayaan84 adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dengan cara belajar. Kebudayaan85 suatu masyarakat akan berpengaruh pada kemampuan sesorang dalam menerima dan memberi tanggapan terhadap makna simbolik TB.

84

Menurut Koentjaraningrat kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan: hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. sedangkan kata “budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berarti “daya dari budi” yang berupa cipta, rasa, karsa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu (Koentjaraningrat, 1979: 181). Sedangkan menurut Mujianto, budaya secara harfiah berasal dari bahasa Latin yaitu colere yang memilki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (Poespwowardojo dalam Mujianto: 1). Menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni, agama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia (Mujianto dkk, 2010: 1).

85 Unsur-unsur kebudayaan menurut konsep B. Malinowski kebudayaan di dunia memliki tujuh

(10)

Masyarakat Asemdoyong yang sarat dengan budayanya sendiri dan cenderung belum terpengaruh budaya dari luar, cenderung lebih mempercayai makna-makna dibalik TB yang secara umum bisa dimaknai sebagai ritual “persembahan” terhadap penguasa laut. Sebaliknya, masyarakat Asemdoyong yang cenderung lebih kuat atau terpengaruh budaya dari luar, dalam hal ini masyarakat pendatang tidak mempercayai bahkan mengetahu makna-makna dibalik TB.

(11)

Tabel 8. Resepsi masyarakat Asemdoyong terhadap cerita, prosesi dan makna TB dan hanya sekadar ikut memeriahkan TB.

 Percaya, karena mereka sudah memahami makna simbolik TB.

 Percaya dan yakin (peduli), karena mereka TB merupakan warisan budaya adiluhung yang

 Nonformal (Madrasah, Pondok Pesantren, dan Kursus)

(12)

Sumber : Data hasil penelitian pada bulan Desember-Maret 2010-2012. simbolik TB, karena mereka percaya dan meyakini unsur-unsur di luar logika yang bersifat gaib bahkan sakral.

(13)

3. Fungsi Tradisi Baritan bagi masyarakat Asemdoyong Pemalang

Berikut ini adalah fungsi TB bagi masyarakat Asemdoyong Pemalang. Pertama, fungsi persatuan dan kesatuan. Dalam TB nilai persatuan dan persatuan tercermin pada interaksi sosial dari semua kalangan. Baik pejabat, tokoh masyarakat, kyai, maupun rakyat biasa, semua berkumpul menjadi satu dalam melaksanakan TB. Tidak ada pembatas status (prestis) sosial di antara mereka dalam TB. Nilai persatuan dan kesatuan inilah yang menjadi faktor eksistensi TB masih lestari hingga kini. Tanpa ada sifat persatuan dan kesatuan antar masyarakat, TB tidak mungkin ada dan tidak diselenggarakan rutin setiap tahun. Hal ini disebabkan bahwa TB merupakan tradisi kolektif atau komunal.

Fungsi kedua adalah ajaran untuk selalu bersyukur. TB merupakan wujud rasa syukur para nelayan Asemdoyong kepada Tuhan dan ungkapan terima kasih secara simbolik kepada penguasa laut yang mengizinkan daerahnya (laut) dijadikan sarana mencari rezeki (ikan). Berkat hail itu, maka dicapainya berupa limpahan hasil tangkap ikan di laut. Masyarakat atau para nelayan Asemdoyong meyakini dengan bersyukur maka rezeki akan selalu bertambah. Hal ini sesuai dengan intisari dari ritual TB yaitu sebagai acara slametan atau syukuran para nelayan yang ditujukan kepada penguasa laut yang oleh sebagian masyarakat TB dipercaya bisa mendatangkan barokah dan menolak bala’. Hal demikian pun sesuai dengan ajaran Islam yang menyatakan bahwa siapa saja yang bersyukur maka nikmatnya akan ditambah.

(14)

sosial sesama masyarakat Asemdoyong dan menjalin silaturahmi dengan masyarakat dari luar. Dalam TB semua kalangan berkumpul dan menjaga hubungan sosial mereka dengan baik. Fungsi-fungsi dari TB tersebut identik dengan ajaran Islam hal ini dikarenakan 99.9 % (14.900 dari 14.906) masyarakat Asemdoyong adalah pemeluk agama Islam.

TB merupakan cerminan kebudayaan masyarakat Asemdoyong, karena terdapat kesesuaian antara tradisi yang mereka lakukan dengan latar kehidupan mereka yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Kesesuaian tersebut berpengaruh pada resepsi masyarakat Asemdoyong terhadap TB yang cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara tak berstruktur dan kuesioner terhadap 30 responden yang dipilih berdasarkan sampling bertujuan sebanyak 22 dari 30 narasumber (73.33%) menyatakan tahu terhadap cerita TB danprosesi TB.

Gambar

Tabel 5. Prosentase pengetahuan TB.
Tabel 6. Prosentase kepercayaan narasumber terhadap TB.
Tabel 7. Prosentase kepercayaan narasumber terhadap TB

Referensi

Dokumen terkait

Bestalde, guk ikasgelan antolatzen ditugun eztabaidek gaitasun komu- nikatiboa xede eta hezkuntza testuinguru dituztela argi utzi nahi dugu; izan ere, Espainiako Unibertsitate

Makrofag merupakan respon innate yang menjadi pertahanan paling depan, berperan sebagai fagosit akan menjulurkan kaki semu (pseudopodia) untuk menempel pada polisakarida di

U ovom poglavlju opisati će se struktura i svojstva koštanog tkiva ljudske lubanje kako bi se u potpunosti mogle objasniti posljedice bušenja. cranium ) je skeletna struktura

Di resource center semua guru menyusun perangkat perencanan manajemen pembelajaran dengan optimal, yang mengacu pada pengembangan aspek- aspek pengetahuan, sikap, keterampilan

Penyelesaian Perselisihan hubungan industrial melalui mediasi dan konsiliasi,terdapat pula penyelesaian melalui arbitrase. Apabila arbitrase dipilih sebagai lembaga penyelesaian

Dua kilogram limbah padat jamu dicampur dengan 3 liter air suling kemudian dialiri uap panas menggunakan alat distilasi uap-air selama 24 jam, dihitung dari tetesan pertama

Nilai probabilitas pengujian < 0,05 menunjukkan bahwa variabel Good Corporate Governance (GCG), Ukuran (Size) perusahaan, Pertumbuhan (Growth) perusahaan dan

Dead Reckoning adalah adalah prosedur matematika sederhana untuk menentukan lokasi sekarang kapal dengan memajukan beberapa posisi sebelumnya melalui kursus dikenal