A. Pendidikan dan pelatihan gizi 1. Definisi pendidikan
Soekidjo notoadmodjo dalam buku “pendidikan dan Pelatihan” (1998) memberikan beberapa batasan tentang pengertian pendidikan, diantaranya :
A. M.J. Langevelt, (1962) menyatakan bahwa pendidikan adalah proses membawa anak ke arah kedewasaaan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kedewasaan yang dimaksud adalah apabila anak telah sanggup bertindak atas tanggung jawab nya sendiri
B. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agara peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan diperlukan dirinya dan masyarakat (www.id.wikipedia.org). C. Crow and crow, mengartikn pendidikan adalah suatu proses dimana
pengalaman atau informasi diperoleh sebagai hasil dari proses belajar. Pendidikan mencakup pengalaman, pengertian, penyesuaian diri dari pihak terdidik terhadap rangsangan yang diberikan kepadanya, menuju kearah pertumbuhan dan perkembangan.
2. Definisi pelatihan
Pelatihan merupakan suatu proses belajar mengajar terhadap pengetahuan dan keterampilan tertentu serta sikap agar peserta semakin terampil dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin baik, sesuai dengan standar (Tanjung, 2003).
Kirk patrick (1994) mendefinisikan pelatihan sebagai upaya meningkatkan pengetahuan, mengubah perilaku dan mengembangkan keterampilan. Pelatihan menurut Strauss dan Syaless di dalam Notoatmodjo (1998) berarti mengubah pola perilaku, karena dengan pelatihan maka akhirnya akan menimbulkan perubahan perilaku.
Sedangkan pembelajaran merupakan suatu proses interaksi antara peserta dengan lingkungannya yang mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan dan pelatihan yang telah ditentukan terlebih dahulu (Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesehatan, 2002).
3. Perbandingan antara pendidikan dan pelatihan
Pendidikan Pelatihan Pendidikan gizi pada masyarakat dikenal sebagai usaha perbaikan gizi, atau suatu usaha untuk meningkatkan status gizi masyarakat khususnya golongan rawan (Bumil, Busui, balita). Sebagaimana pada pendidikan kesehatan tujuan akhirnya adalah perubahan perilaku, pada pendidikan gizi juga diarahkan pada perubahan perilaku masyarakat ke arah yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu gizi yaitu perubahan pengetahuan gizi, sikap dan perilaku makan, serta keterampilan dalam mengelola makanan.
Secara Khusus pendidikan gizi bertujuan
2. Meningkatkan kesadaran gizi masyarakat melalui peningkatan pengetahuan gizi dan makanan yang menyehatkan.
3. Merubah perilaku konsumsi makanan (food consumtion behavior) yang sesuai dengan tingkat kebutuhan gizi, guna mencapai status gizi yang baik
4. Menyebarkan konsep-konsep baru tentang informasi gizi kepada masyarakat . Tujuan akhirnya adalah keluarga sadar gizi. Dimana setiap keluarga mempunyai kemampuan atau pengetahuan dasar tentang gizi yaitu
1. Mampu mengetahui Fungsi makanan, 2. Mampu menyusun menu makanan sehari,
3. Mampu memkombinasikan beberapa jenis makanan, 4. Mampu mengolah dan memilih makanan,
5. Mampu menilai kesehatan yang berhubungan dengan makanan.
Dari Penjelasan pendidikan gizi maupun pendidikan kesehatan diatas, kedua mempunyai tujuan akhir yang sama yaitu adanya perubahan perilaku. Dalam bidang gizi dan kesehatan, perubahan perilaku ini diarahkan untuk mendukung faktor status lingkungan yang baik (fisik, sosial, budaya ekonomi dan lain-lain), ada tidaknya pelayanan kesehatan dan faktor hereditas pada peningkatan derajat kesehatan yaitu adanya status gizi dan kesehatan yang optimal (Blum, 1974). Namun demikian penekanan (enforcement) dari perubahan perilaku ini tetap difokuskan pada proses pendidikan gizi dan kesehatan (proses belajar-mengajar) yang dalam tulisan ini bersifat non formal.
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu pelatihan adalah pemilihan metode pelatihan yang tepat. Pemilihan metode belajar dapat diidentifikasikan melalui besarnya kelompok peserta. Membagi metode pendidikan menjadi tiga yakni metode pendidikan individu, kelompok, dan masa. Pemilihan metode pelatihan tergantung pada tujuan, Kemampuan pelatih/pengajar, besar kelompok sasaran, kapan/waktu pengajaran berlangsung dan fasilitas yang tersedia (Notoatmodjo, 1993).
Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1991), jenis-jenis metode yang digunakan dalam pelatihan antara lain : ceramah, tanya jawab, diskusi kelompok, kelompok studi kecil, bermain peran, studi kasus, curah pendapat, demonstrasi, penugasan, permainan, simulasi dan praktek lapangan.
Metode yang digunakan dalam pelatihan petugas kesehatan meliputi metode ceramah dan tanya-jawab (metode konvensional). Depkes (1993) menunjukkan bahwa untuk mengubah komponen perilaku perlu dipilih metode yang tepat. Metode untuk mengubah pengetahuan dapat digunakan metode ceramah, tugas, baca, panel dan konseling. Sedangkan untuk mengubah sikap dapat digunakan metode curah pendapat, diskusi kelompok, tanya-jawab serta pameran. Metode pelatihan demonstrasi dan bengkel kerja lebih tepat untuk mengubah keterampilan.
Pendidikan dan pelatihan fungsional yang diikuti oleh Peserta Diklat dalam Bidang Kesehatan harus memenuhi jumlah minimal selama 3 hari atau setara dengan 30 jam pelajaran dan maksimal selama 6 bulan atau setara 960 jam pelajaran. Dengan pendidikan dan pelatihan fungsional tersebut diharapkan Peserta Diklat dapat lebih meningkatkan kemampuan profesionalitasnya. Pendidikan dan pelatihan kesehatan tidak harus dalam bentuk ceramah atau pertemuan, tetapi juga dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain sebagai berikut :
1. Metode “Learning on the job” atau Belajar di tempat kerja.
Metode ini sering pula disebut sebagai Kalakarya, dimana Peserta Diklat dalam pelaksanaan tugasnya diawasi oleh seorang pengamat yang memberikan masukan kekurangan maupun keberhasilan peserta yang bersangkutan dalam pelaksanaan tugasnya.
Peserta Diklat dalam diberikan beberapa permasalahan yang harus diidentifikasi dan dianalisis dengan mempertimbangkan berbagai factor yang mungkin mempengaruhi. Setelah dianalisis, peserta menetapkan kegiatan untuk mengatasi masalah tersebut dan mendiskusikan hasilnya analisis dan rencana kerjanya.
3. Metode “Konferensi, seminar dan rapat khusus”
Metode ini dilakukan dengan cara diskusi untuk saling bertukar pikiran / pandangan dalam menghadapi masalah-masalah yang diajukan. Masalah yang menjadi perhatian dalam diskusi berkisar pada hal metode operasional yang digunakan pada masa lalu dan saat ini, perkembangan dan akibat-akibatnya.
4. Metode “Business Games” atau Permainan bisnis
Para Peserta Diklat dibagi dalam beberapa tim untuk diminta membuat suatu keputusan dalam mengatasi masalah-masalah yang ada dengan mempertimbangkan factor-faktor yang berpengaruh yang digambarkan melalui pernyataan operasional awalnya.
5. Metode “In Basket exercise” atau Latihan dalam keranjang
Para Peserta Diklat diajak berperan sesuai dengan petunjuk atau informasi yang disampaikan dalam sebuah keranjang dan diminta untuk membuat suatu keputusan.
6. Metode “Role Playing” atau Bermain peran
Para Peserta Diklat dihadapkan pada suatu permasalahan yang digambarkan melalui peran-peran tertentu dan selanjutnya mengambil pemecahan masalah dalam bentuk permainan peran. Dengan bermain peran diharapkan peserta latih dapat merasakan kesulitan atau permasalahan yang ada secara nyata.
Para Peserta Diklat dihadapkan pada suatu tugas tertentu dan dia diberikan kebebasan untuk menangani masalah yang dihadapinya. Kebebasan ini akan memberikan kesempatan untuk dapat mengatasi suatu masalah sejauh mungkin
8. Metode “Job Rotation and Use of Strategic Jobs”
Para Peserta Diklat dalam waktu tertentu ditugaskan pada bentuk tugas yang lain, tetapi masih berkaitan erat dengan tugas pokoknya. Pekerjaan yang dilaksanakan oleh peserta latih merupakan pekerjaan yang memberikan dampak yang cukup besar atau strategis bagi organisasi.
Pada prinsipnya semua metode yang disampaikan di atas merupakan metode dengan melibatkan Peserta Diklat sebagai Subjek Diklat dan tidak menempatkan mereka sebagai Objek Diklat. Dengan menempatkan peserta sebagai subjek Diklat, maka mereka akan merasa memiliki dan mempunyai kepentingan terhadap keberhasilan pelaksanaan Diklat yang bersangkutan. Metode ceramah tanpa melibatkan peserta justru akan membuat peserta lebih bersifat pasif dan motivasi untuk menggali ilmu yang disampaikan dalam Diklat akan berkurang. Meskipun demikian, metode partisipatif sebagaimana disampaikan, harus diampu oleh Widyaiswara/Fasilitator/Narasumber yang profesional dan telah menyiapkan bahan Diklat secara sistematis serta terencana baik. Semoga beragam metode yang disampaikan dapat memberi masukan demi kemajuan pencapaian tujuan Diklat yang ada.
C. Kegiatan D. Kurikulum
Kurikulum pada tiap mata diklat adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing diklat. Mata diklat disusun dengan berpedoman pada SKL dan SI tersebut serta dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang selanjutnya dijadikan acuan dalam penyelenggaraan program pembelajaran baik di pusdiklat maupun di balai diklat sesuai dengan prinsip-prinsip pelaksanaan kurikulum.
1. Fungsi Kurikulum
diklat/komponen diklat sebagai alat atau usaha-usaha dalam mencapai tujuan diklat/kompetensi yang diingini oleh lembaga diklat, fungsi kurikulum dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan pembelajaran, baik dalam merumuskan tujuan, menentukan bahan pelajaran, metode, dan media serta cara penilaian.
Selanjutnya, fungsi kurikulum bagi lembaga diklat dijadikan sebagai alat kontrol terhadap proses pendidikan dan pelatihan lanjutan, dan juga berguna bagi penyiapan tenaga pendidikan dan pelatihan, sedangkan fungsi kurikulum bagi peserta diklat sebagai organisasi belajar merupakan suatu persiapan bagi peserta diklat. Peserta diharapkan mendapat sejumlah pengalaman belajar baru yang kemudian hari diharapkan dapat dikembangkan seirama dengan perkembangan mereka, agar dapat memenuhi bekal dalam melaksanakan tugas dan jabatan yang diembannya.
2. Prinsip Pengembangan Kurikulum
Kurikulum merupakan rancangan pendidikan dan pelatihan yang merangkum semua pengalaman belajar peserta diklat di kelas. Rancangan ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman kepada para pelaksana diklat dalam proses pembimbingan perkembangan peserta, mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh peserta sendiri, keluarga, maupun masyarakat.
Kelas merupakn tempat untuk melaksanakan dan menguji kurikulum. Di sanalah semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, yang akan mewujudkan bentuk kurikulum yang nyata dan hidup.
Ada beberapa prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu: prinsip relevansi, efisiensi, efektivitas, dan fleksibilitas, dengan penjelasan sebagai berikut.
1. Prinsip Relevansi
Ada dua macam relevansi yang harus dimiliki oleh kurikulum, yaitu relevansi ke luar dan relevansi di dalam kurikulum itu sendiri. Relevansi ke luar dimaksudkan adalah tujuan, isi, dan proses belajar yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat. Kurikulum juga harus memiliki relevansi di dalam, yaitu ada kesesuaian atau konsistensi antara komponen-kompenen kurikulum, yaitu antara tujuan, isi, proses penyampaian, dan penilaian. Relevansi internal ini menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum.
Prinsip efisiensi atau praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat yang sederhana dan biayanya juga murah, arena kurikulum dan diklat selalu dilaksanakan dalam keterbatasan-keterbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya, alat, maupun personalia. Kurikulum bukan hanya ideal tetapi juga praktis.
3. Prinsip Efektivitas
Walaupun kurikulum harus murah, sederhana tetapi keberhasilannya tetap harus diperhatikan. Keberhaslan pelaksanaan kurikulum ini baik secara kuantitas maupun kualitas. Kurikulum pada dasarnya berintikan empat aspek utama, yaitu: tujuan diklat, isi diklat, pengalaman belajar, dan penilaian. Interelasi antara keempat aspek tersebut dengan kebijakan diklat perlu mendapat perhatian dalam pengembangan kurikulum.
4. Prinsip Fleksibilitas
Kurikulum hendaknya memiliki sifat lentur atau fleksibel. Suatu kurikulum yang baik adalah kurikulum yang berisi hal-hal yang solid, tetapi dalam pelaksanaannya memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daerah, waktu maupun kemampuan, dan latar belakang peserta.
d. Tujuan Kurikulum
Setiap diklat pada hakekatnya merupakan suatu proses belajar-mengajar. Oleh karenanya, dalam setiap diklat, dituntut adanya rumusan tujuan diklat yang jelas. Tujuan tersebut pada hakekatnya merupakan rumusan penampilan atau perilaku yang diharapkan oleh perancang diklat
Setiap tujuan belajar yang dirumuskan berkaitan dengan tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ranah kognitif misalnya terdiri dari enam kategori kemampuan yaitu mulai dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Ranah afektif terdiri dari lima kategori mulai dari mau menerima suatu nilai, merespon, menilai, mengenseptualisasi dan menginternalisasi suatu nilai. Sedangkan ranah psikomotorik terdiri dari lima kategori mulai dari meniru, mempraktekkan yang dibimbing, ketepatan, menerapkan dan mengimprovisasi.
Perencanaan Materi Kurikulum Diklat
dari kegiatan diklat tidak tercapai maka ada kecenderungan meninjau kembali alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut, misalnya dengan meninjau kembali kurikulumnya. Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam keseluruhan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Dalam tahap merencanakan materi kurikulum diklat terdapat beberapa landasan utama dalam menyusun kurikulum sebagaimana tersebut di bawah ini.
Pertama, landasan filosofis, bahwa pengembangan kurikulum harus memiliki filsafat yang dianut oleh masyarakat yang akan dikembangkan. Dalam hal ini akan diperoleh gambaran tentang pegawai yang bagaimana yang akan dibentuk dan memberikan arah kepada pengembangan pendidikan dan pelatihan selanjutnya;
Kedua, landasan psikologis, kurikulum berkaitan dengan pembentukan/mengubah prilaku peserta diklat. Oleh karena itu, pemahaman prilaku sangatlah penting dalam perencanaan maupun pelaksanaan diklat. Ada dua hal yang paling penting dipahami berkaitan dengan landasan psikologis, yaitu (a) pengetahuan tentang perkembangan peserta diklat (psikologi perkembangan/anak), dan (b) pengetahuan tentang bagaimana individu itu belajar (psikologi belajar). Kedua pengetahuan tersebut akan sangat berguna bagi pengembangan kurikulum, terutama dalam penentuan bahan/isi kurikulum dan metode yang tepat yang digunakan dalam pelaksanaan kurikulum.
Ketiga, landasan organisatoris, bentuk bahan pelajaran yang disampaikan kepada peserta diklat. Dalam penyusunan kurikulum sangatlah tergantung pada landasan organisatorisnya, yaitu bentuk penyajian bahan pelajaran atau organisasi kurikulumnya yang dikenal dengan jenis-jenis atau tipe-tipe kurikulum, apakah kurikulum berdasarkan separated subject curriculum, broad fields curriculum, integrated curriculum, competency based curriculum.
Kurikulum berdasarkan separated subject curriculum, adalah kurikulum mata diklat yang terpisah satu sama lain, kurang keterkaitan dengan mata diklat lainnya. Konsekuensinya adalah peserta diklat diharuskan mengambil mata diklat semakin banyak, sedangkan kurikulum berdasarkan broad fields curriculum, adalah dengan mengkombinasikan beberapa pelajaran menjadi satu kurikulum.
problem solving, CBSA, dan terkahir adalah jenis kurikulum competency based curriculum, yaitu kurikulum berdasarkan berbasis kompetensi (KBK), yaitu perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kurikulum berbasis kompetensi merupakan pengembangan program diklat berdasarkan pada analisis jabatan, pekerjaan, tugas, dan kegiatan di dunia kerja, baik di lingkungan dunia usaha maupun di lingkungan instansi pemerintah.