BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan pada hakikatnya adalah proses komunikasi yang bertujuan untuk
menyampaikan informasi atau pesan sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan,
dan minat serta perhatian peserta didik (Haryoko, 2009). Pendidikan mendorong
terciptanya manusia yang memiliki kemampuan optimal. Kemampuan tersebut dapat
berupa pengetahuan, keterampilan, dan keahlian yang berguna untuk
mengembangkan potensi yang dimiliki sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Menurut Wood yang dikutip oleh Supariasa (2012) Pendidikan kesehatan
adalah sejumlah pengalaman yang berpengaruh serta menguntungkan terhadap
kebiasaan, sikap dan pengetahuan yang ada hubungannya dengan kesehatan
perorangan, masyarakat dan bangsa. Intinnya adalah bagaimana seseorang dapat
berperilaku agar dapat meningkatkan dan memelihara kesehatannya.
Adapun tujuan utama dari pendidikan kesehatan adalah agar seseorang
mampu menetapkan masalah dan kebutuhannya sendiri, memahami apa yang dapat
mereka lakukan terhadap masalahnya dengan sumber daya yang ada pada mereka
ditambah dengan dukungan dari luar, selain itu pendidikan kesehatan juga bertujuan
untuk memutuskan kegiatan yang paling tepat guna untuk meningkatkan taraf hidup
Menurut Notoatmodjo (2003) pendidikan kesehatan pada aspek promotif
kurang mendapat perhatian dalam upaya kesehatan masyarakat. Padahal kelompok
orang sehat pada suatu komunitas terdapat sekitar 80-85% dari populasi. Apabila
jumlah ini tidak dibina kesehatannya maka dikhawatirkan akan menyebabkan
peningkatan terhadap masalah kesehatan. Oleh sebab itu pendidikan kesehatan pada
kelompok ini perlu ditingkatkan dan dibina agar tetap sehat.
Derajat kesehatan adalah dinamis, oleh sebab itu meskipun seseorang telah
dalam kondisi sehat tetapi perlu ditingkatkan dan dibina lagi kesehatannya. Sama
halnya dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, dimana peneliti
melakukan pendidikan kesehatan dari aspek promotif, yaitu kepada siswa SMA yang
tergolong kelompok sehat namun tetap perlu dilakukan pembinaan berupa pendidikan
gizi yang terintegrasi dengan pendidikan di sekolah agar siswa lebih paham mengenai
gizi dan dapat terus mempertahankan kesehatannya serta meningkatkan kualitas
hidupnya.
Pendidikan kesehatan tidak terlepas dari proses belajar mengajar, oleh sebab
itu penting untuk diketahui mengenai konsep yang terdapat dalam proses belajar
mengajar. Belajar adalah usaha untuk menguasai sesuatu yang berguna untuk hidup
agar memperoleh keterampilan yang dibutuhkan manusia dalam hidup bermasyarakat
(Notoatmodjo, 2003).
Menurut Ahli pendidikan modern yang dikutip oleh Mubarak dkk (2007)
belajar merupakan suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang
menjadi tahu, timbulnya pengertian baru, serta timbul dan berkembangnya sifat-sifat
sosial, susila dan emosional.
2.2. Metode dalam Pendidikan Kesehatan
Pada suatu proses tercapainya tujuan belajar maka banyak faktor yang
mempengaruhi, salah satunya adalah metode yang digunakan. Dalam memilih suatu
metode yang akan digunakan tergantung pada tujuan yang ingin dicapai, siapa
sasarannya, apakah hanya ingin merubah pengetahuan saja, sikap saja, tindakan saja,
atau ketiganya.
Menurut Karo-karo yang dikutip oleh Supariasa (2012) menyatakan bahwa
jika hanya sebatas ingin merubah pengetahuan dan pemahaman saja, dapat digunakan
dengan metode ceramah, seminar, presentasi, tulisan-tulisan membuat perencanaan
dan desain. Apabila ingin merubah sikap, maka dapat dilakukan dengan metode
diskusi kelompok, bermain peran, film dan diskusi serta konsultasi. Jika tujuan
pendidikan kesehatan adalah untuk merubah keterampilan, maka metode yang dapat
digunakan adalah studi kasus, learning by doing, dan demonstrasi. Oleh sebab itu setiap orang yang ingin melakukan pendidikan kesehatan harus mampu memilih
metode yang tepat agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai.
Berdasarkan hal yang telah di sebutkan diatas bahwa, dalam memilih metode
pendidikan kesehatan juga perlu memperhatikan sasaran. Ciri-ciri atau karakteristik
sasaran perlu dipertimbangkan meliputi tingkat pendidikan sasaran, jumlah sasaran,
Jumlah sasaran juga perlu dipertimbangkan untuk menetapkan metode yang akan
digunakan. Misalnya untuk sasaran individu dilakukan dengan menggunakan
pendekatan perorangan, seperti bimbingan dan konseling. Pendekatan yang bersifat
kelompok, dapat dilakukan dengan ceramah dan diskusi. Pendekatan yang bersifat
massa dapat dilakukan dengan kampanye, pemutaran film, pemasangan baliho dan
iklan di televisi.
Pada uraian sebelumnya telah diketahui bahwa sangat banyak metode yang
dapat digunakan dalam menyampaikan pesan atau materi, namun dalam hal ini
peneliti hanya membahas metode dengan pendekatan kelompok, karena sasaran yang
digunakan oleh peneliti adalah kelompok, yaitu siswa SMA. Adapun beberapa
metode yang lazim digunakan pada proses belajar mengajar di kelas adalah metode
ceramah dan diskusi.
2.2.1. Metode Ceramah
Metode ceramah adalah cara penyampaian bahan pelajaran dengan
komunikasi lisan. Metode ceramah lebih ekonomis dan efektif untuk keperluan
penyampaian informasi. Metode ini akan berhasil apabila penceramah itu sendiri
menguasai materi yang disampaikan, menyampaikan materi dengan sistematika yang
baik dan menggunakan alat bantu misalnya slide, transparan, sound system dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).
Metode ceramah seringkali disebut juga metode kuliah (The Lecture Method). Dapat pula disebut dengan metode deskripsi. Metode ceramah merupakan metode
seorang fasilitator) tentang suatu materi pembelajaran tertentu. Tujuannya adalah agar
peserta mengetahui dan memahami materi pendidikan tertentu dengan jalan
menyimak dan mendengarkan.
Tujuan dari kegiatan ceramah adalah menyajikan fakta, menyampaikan
pendapat tentang suatu masalah, menyampaikan pengalaman perjalanan atau
pengalaman pribadi, membangkitkan semangat atau merangsang pikiran peserta dan
membuka suatu permasalaha baru untuk di diskusikan (Supariasa, 2012).
Metode ceramah merupakan metode yang paling sering digunakan dalam
pendidikan kesehatan, seperti penelitian yang dilakukan oleh Supardi dkk (2002)
menyatakan bahwa metode ceramah dan media leaflet dapat meningkatkan
pengetahuan, sikap dan tindakan responden dalam pengobatan sendiri sesuai dengan
aturan. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Dhamayanti dkk (2005)
tentang promosi kesehatan jiwa melalui metode ceramah dengan role-play pada keluarga penderita skizofrenia dan tokoh masyarakat di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta terbukti bahwa promosi kesehatan dengan metode ceramah berpengaruh
terhadap peningkatan pengetahuan.
2.2.2. Metode Diskusi
Diskusi merupakan metode yang terfokus pada siswa. Metode ini meberi
peluang kepada mahasiswa untuk aktif mengkomunikasikan dan mensosialisasikan
gagasan dan konsep, memanfaatkan sumber-sumber informasi dari kelompoknya,
penerapan teori-teori yang pernah diperoleh dan memberikan respon. Dalam diskusi,
didiskusikan. Dengan diskusi pengajar dapat memberikan kesempatan kepada siswa
untuk saling berinteraksi, mengumpulkan pendapat dan membuat suatu kesimpulan
untuk memecahkan suatu masalah (Mubarak, dkk, 2007).
Metode diskusi ini sering digunakan dalam proses belajar mengajar untuk
meningkatkan partisipasi aktif siswa dalam belajar. Efektifitas metode diskusi ini
sering dibandingkan dengan efektifitas metode ceramah, seperti penelitian yang
dilakukan oleh Saleha (2009) mengenai perbedaan metode diskusi dengan metode
ceramah terhadap pengetahuan siswa tentang kesehatan reproduksi menunjukkan
bahwa setelah dilakukan metode ceramah dan diskusi terjadi peningkatan
pengetahuan, sikap dan perilaku siswa tentang kesehatan reproduksi remaja, namun
skor peningkatan pada metode diskusi lebih tinggi dibandingkan dengan metode
ceramah. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Lubis dkk (2013) tentang
pengaruh penyuluhan dengan metode ceramah dan diskusi terhadap peningkatan
pengetahuan dan sikap anak SD tentang PHBS menyimpulkan bahwa, terdapat
peningkatan pengetahuan dan sikap responden akibat dari intervensi melalui metode
ceramah dan diskusi, dimana metode yang paling efektif untuk meningkatkan
pengetahuan dan sikap adalah melalui metode diskusi.
Berdasarakan hasil-hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa metode
diskusi lebih efektif untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku. Hal ini
karena diskusi memiliki kelebihan untuk merangsang kreatifitas anak didik dalam
bentuk ide, gagasan, prakarsa dan terobosan baru dalam pemecahan masalah,
membina untuk terbiasa bermusyawarah untuk mencapai mufakat dalam
menyelesaikan masalah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mc. Keachie yang
dikutip oleh Simamora (2009) yang menyakatakan bahwa, dibanding metode
ceramah, metode diskusi dapat meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan
anak dalam memecahkan masalah. Tetapi dalam transformasi pengetahuan,
penggunaan metode diskusi hasilnya lambat dibanding penggunaan ceramah.
Sehingga metode ceramah lebih efektif untuk meningkatkan kuantitas pengetahuan
anak dari pada metode diskusi.
2.3. Media Pendidikan Kesehatan
Menurut Criticos yang dikutip oleh Daryanto (2010) Media merupakan salah
satu komponen komunikasi, yaitu sebagai pembawa pesan dari komunikator kepada
komunikan. Berdasarkan hal tersebut maka proses belajar merupakan proses
komunikasi.
Media merupakan sesuatu yang bersifat menyalurkan pesan yang dapat
merangsang pikiran, perasaan dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong
terjadinya proses belajar pada dirinya. Media adalah sumber belajar, maka secara luas
media dapat diartikan dengan manusia, benda ataupun peristiwa yang menungkinkan
anak didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Dalam proses belajar
mengajar kehadiran media dapat membantu ketidakjelasan dari bahan yang
Pada proses belajar mengajar tentu saja tidak terlepas dari penggunaan media,
karena dengan menggunakan media pesan yang disampaikan dapat lebih menarik,
mudah dipahami dan siswa dapat mempelajari pesan tersebut sehingga dapat
menambah pengetahuan, membentuk sikap dan perilaku yang positif (Notoatmodjo,
2010).
Adapun syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam memilih media yaitu,
harus menarik baik dari segi desain, tata letak, pewarnaan dan isi pesan. Disesuaikan
dengan sasaran atau peserta didik yang dilihat dari segi umur, status pendidikan, adat
istiadat, selanjutnya media harus mudah ditangkap, singkat dan jelas, tidak
menimbulkan multi-interpretasi dan persepsi yang berbeda-beda, serta harus sesuai
dengan materi yang hendak disampaikan, tidak boleh melanggar norma, etika, dan
budaya (Supariasa, 2012).
Seseorang atau masyarakat didalam proses pendidikan dapat memperoleh
pengalaman atau pengetahuan melalui media yang berbeda-beda. Media pendidikan
adalah alat-alat yang digunakan oleh pendidik dalam penyampaian bahan pendidikan
atau pengajaran. Alat bantu ini disebut sebagai alat peraga atau media. Semakin
banyak indera yang digunakan untuk menerima sesuatu maka semakin banyak dan
semakin jelas pula pengertian atau pengetahuan yang diperoleh.
Dalam proses belajar mengajar sebaiknya menggunakan media yang banyak
merangsang pancara indera, terutama indera pengelihatan dan pendengaran. Adapun
jenis media yang mencakup dua hal tersebut adalah media visual dan media audio
Media Visual (visual aids) adalah media yang mengandalkan indera pengelihatan pada waktu terjadinya proses pendidikan. contohnya seperti slide,
gambar peta, bagan, bola dunia dan sebagainya.Media Audio Visual, adalah media
yang mempunyai unsur suara dan unsur gambar, yang tentunya dapat dilihat dan
didengar seperti film (video). Kedua media ini lazim digunakan karena kedua media
ini merangsang banyak indera, sehingga materi lebih mudah diserap oleh sasaran.
Penelitian yang dilakukan oleh Haryoko (2009) tentang pemanfaatan media
audio-visual sebagai alternatif optimalisasi pembelajaran menyimpulkan bahwa hasil
belajar siswa dengan menggunakan media audio-visual memiliki skor yang jauh lebih
tinggi dibandingkan mahasiswa yang diajarkan dengan media konvensional. Selain
itu, penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan tentang perbedaan pengaruh
penyuluhan kesehatan dengan media visual dan media audio visual terhadap
perubahan sikap membuang sampah pada siswa di SMP Balung Kabupaten Jember
menyimpulkan bahwa, penyuluhan dengan media audio visual dan media visual
secara signifikan berpengaruh terhadap sikap membuang sampah dan media audio
visual dinyatakan lebih efektif dibandingkan dengan media visual.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Rahmawati dkk (2007) tentang
pengaruh penyuluhan dengan media audio visual terhadap peningkatan pengetahuan,
sikap dan perilaku ibu balita gizi kurang dan gizi buruk, menyimpulkan bahwa terjadi
peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu balita setelah diberikan penyuluhan
pengetahuan, sikap dan tindakan lebih efektif dengan menggunakan media audio
visual.
Media yang digunakan disusun berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan
manusia diterima atau ditangkap melalui panca indera. Jadi, semakin banyak indera
yang digunakan untuk menerima sesuatu maka semakin banyak dan semakin jelas
informasi yang disampaikan sehingga informasi dapat dengan mudah dipahami oleh
audiens, dimana kemampuan daya serap manusia 2,5 % ,melalui pengecapan, 3,5%
melalui perabaan, 1% melalui penciuman, 11% melalui pendengaran dan 82%
melalui pengelihatan (Daryanto, 2010). Maka, tidak heran jika media audio-visual
lebih efektif karena media audio-visual lebih banyak merangsang indera, dimana
semakin banyak indera yang dirangsang, maka semakin mudah pula responden
mengerti pesan yang disampaikan dan lebih mudah untuk diingat.
2.4.Materi dalam Pendidikan Kesehatan
Menurut Supariasa (2012) materi pendidikan kesehatan yang disampaikan
harus dalam bahasa yang mudah dipahami oleh sasaran, tidak menggunakan istilah
yang sulit untuk dipahami, pesan tidak bertele-tele, dan dapat dilaksanakan oleh
sasaran sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki. Materi pendidikan kesehatan
yang disampaikan harus dikuasai pemateri agar pemateri dapat tampil dengan percaya
diri.
Menurut Sudrajat (2008) untuk menentukan materi pembelajaran perlu
1. Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran
benar-benar telah teruji kebenar-benaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi
yang diberikan merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan
memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan.
2. Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta
didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.
3. Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis
maupun non akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar
pengetahuan dan keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada
jenjang pendidikan lebih lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat
mengembangkan kecakapan hidup dan sikap yang dibutuhkan dalam
kehidupan sehari-hari.
4. Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek
tingkat kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun
aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
5. Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat
memotivasi peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa
ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri
2.5. Perilaku Gizi
Perilaku gizi seperti pola asuh yang buruk dapat menyumbang terjadinya
masalah gizi di masyarakat. Pola asuh yang dimaksud dapat berupa dukungan dan
perhatian dalam praktek pemberian makanan, rangsangan psikososial, kebersihan dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan. Perilaku gizi yang baik akan berdampak positif
pada status gizi.
Penelitian yang dilakukan oleh Renyoet dkk menunjukkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara perhatian atau dukungan ibu terhadap praktek
pemberian makan terhadap kejadian stunting pada anaknya. Hal ini juga sejalan dengan Pendapat Sawadogo yang dikutip oleh Renyoet dkk, menyatakan bahwa
perilaku ibu dalam menyusui atau memberi makan, cara makan yang sehat, memberi
makanan bergizi dan mengontrol besar porsi makanan yang dihabiskan oleh anak
akan meningkatkan status gizi anak.
Menurut Mubarak (2011) Perilaku merupakan seperangkat perbuatan atau
tindakan seseorang dalam melakukan respons terhadap sesuatu dan kemudian
dijadikan kebiasaan karena adanya suatu nilai yang di yakini. Perilaku manusia pada
dasarnya terdiri atas komponen pengetahuan, sikap, dan tindakan. Dengan kata lain
perbuatan seseorang atau respon seseorang didasari oleh seberapa jauh
pengetahuannya terhadap rangsangan tersebut, bagaimana perasaan dan
penerimannya, dan seberapa besar keterampilannya dalam melaksanakan atau
Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku adalah tindakan atau aktifitas dari
manusia baik yang dapat langsung diamati maupun tidak diamati. Dengan kata lain
perilaku merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulasi yang
berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Perilaku manusia sangat kompleks dan
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Bloom dalam Notoatmodjo (2003)
membagi menjadi ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affective domain), dan ranah psikomotor (psychomotor domain). Dalam perkembangan selanjutnya, ketiga domain ini diukur dari:
1. Pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan
(knowledge).
2. Sikap peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (attitude). 3. Praktik atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan
materi pendidikan yang diberikan (practice).
2.6. Pengetahuan Gizi
Masalah gizi dapat timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang
gizi yang memadai. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu. Hal ini terjadi setelah
seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, yang terjadi
melalui panca indera yakni pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba
(Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari
keluarga, teman dan orang-orang disekitar. Pengetahuan ini dapat membentuk
keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai dengan keyakinan tersebut.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk tindakan
seseorang karena perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan bertahan lama
daripada yang tidak didasari oleh pengetahuan. Jadi, sebelum seseorang berperilaku
baru, dia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut
(Notoatmodjo, 2010).
Menurut Notoatmodjo (2003) tingkat pengetahuan dalam domain kognitif
dibagi menjadi enam yaitu :
1. Tahu (know) : Kemampuan dalam mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya dengan menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan
dan menyatakan sesuatu.
2. Memahami (comprehension) : Kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
secara benar, mampu menyebutkan contoh, dan menyimpulkan.
3. Aplikasi (applicant) : Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari dalam kondisi yang sebenarnya.
4. Analisis (analysis) : Kemampuan untuk menjabarkan materi suatu komponen, seperti dapat membuat bagan, membedakan dan
5. Sintesis (syntesis) : Kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk secara keseluruhan atau kemampuan menyusun
formulasi baru dari formulasi yang sudah ada sebelumnya.
6. Evaluasi (evaluation) : Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Pada dasarnya pengetahuan akan terus bertambah dan bervariatif sesuai
dengan pengalaman yang dialami. Menurut Bunner yang dikutip oleh Mubarak
(2011), proses pengetahuan tersebut melibatkan tiga aspek, yaitu proses mendapatkan
informasi, proses transformasi dan evaluasi. Informasi baru yang didapat merupakan
pengganti pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya atau merupakan
penyempurnaan dari informasi sebelumnya.
Pengetahuan gizi dan kesehatan adalah pengetahuan tentang peran makanan
dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman dimakan
sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan yang baik agar zat
gizi dalam makanan tidak hilang, serta bagaimana cara hidup sehat (Notoatmodjo
dalam Ikada, 2010).
Pengetahuan gizi bertujuan untuk mendorong terjadinya perubahan perilaku
gizi yang positif dan bersifat langgeng. Menurut WHO dalam Notoatmodjo (2003),
salah satu strategi untuk perubahan perilaku adalah dengan pemberian informasi guna
meningkatkan pengetahuan sehingga timbul kesadaran yang pada akhirnya orang
akan berperilaku sesuai dengan pengetahuannya tersebut. Telah banyak hal yang
dimaksudkan agar masyarakat senantiasa mengetahui perubahan dan
perkembangan-perkembangan baru mengenai gizi, meluruskan pengetahuan masyarakat yang keliru
dan menyempurnakan informasi gizi yang pernah didapat selama ini.
2.7. Sikap Gizi
Sikap merupakan reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus
atau objek. Sikap hanyalah kecenderungan untuk mengadakan tindakan terhadap
suatu objek dengan suatu cara. Jadi, sikap adalah pandangan, pendapat, tanggapan
ataupun penilaian dan juga perasaan seseorang terhadap stimulus atau objek yang
disertai dengan kecenderungan untuk bertindak. Perubahan sikap pada dasarnya
dipengaruhi oleh faktor pengetahuan dan keyakinan atau kepercayaan yang didapat
dari hasil penginderaan, yang salah satunya didapatkan melalui pendidikan atau
proses belajar (Notoatmodjo, 2003).
Pendidikan merupakan proses komunikasi, efek suatu komunikasi berupa
perubahan sikap tergantung sejauh mana komunikasi itu diperhatikan, difahami dan
diterima (Hovland dkk dalam Azwar,1995).
Sikap dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional
terhadap stimulus sosial. Sikap bukan merupakan suatu tindakan atau aktifitas
melainkan predisposisi tindakan atau perilaku. Ini berarti bahwa sikap menunjukkan
kesetujuan atau ketidaksetujuan, kesukaan atau ketidaksukaan seseorang terhadap
Notoatmodjo (2003) membagi sikap mejadi empat tingkatan, tingkatan
pertama adalah menerima (receiving) yaitusubjek mau memperhatikan stimulus yang diberikan, kedua adalah merespon (responding) yaitu subjek memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan menandakan
bahwa subjek menerima ide tersebut, ketiga adalah menghargai (valuing) yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah, yang
keempat adalah bertanggung jawab (responsible) yaitu bertanggung jawab atas segala sesuatu yang pilihnya dengan segala resiko yang ada.
Sikap gizi adalah penilaian atau pendapat seseorang terhadap cara-cara
memelihara dan berperilaku hidup sehat. Dengan kata lain, pendapat atau penilaian
terhadap makanan, minuman, olah raga, relaksasi (istirahat), dan sebagainya bagi
kesehatan. Sikap seseorang terhadap gizi sering diperoleh dari pengalaman sendiri
atau orang lain yang paling dekat (Haryanto, 2011).
Ada kalanya sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan yang tidak selalu
terwujud dalam suatu tindakan nyata. Hal ini menurut Notoatmodjo (2003),
disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain:
1. Sikap akan terwujud didalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu.
2. Sikap diikuti ataupun tidak diikuti tindakan mengacu pada pengalaman orang
lain.
3. Sikap diikuti oleh tindakan nyata.
Jadi, untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan
tersedianya fasilitas, dukungan (support) dari pihak lain, seperti suami atau istri, orang tua, mertua, petugas kesehatan dan lain-lain (Notoatmodjo, 2003).
2.8. Pendidikan Gizi 1000 HPK dalam Proses Perubahan Perilaku
Seiring dengan meningkatnya masalah gizi di Indonesia telah banyak kegiatan
yang dilakukan untuk menyadarkan masyarakat tentang gizi. Kegiatan tersebut, salah
satunya seperti yang tertuang dalam rencana aksi Kementerian Kesehatan RI, yaitu
meningkatkan pendidikan gizi masyarakat melalui penyediaan materi Komunikasi
Informasi dan Edukasi (KIE) dan kampanye gizi.
Pendidikan gizi diartikan sebagai penyebaran informasi tentang ilmu gizi.
Menurut WHO yang dikutip oleh Supariasa (2012) pendidikan gizi adalah usaha
terencana untuk meningkatkan status gizi melalui perubahan perilaku. Perubahan dan
modifikasi perilaku berhubungan dengan produksi pangan, persiapan makanan,
distribusi makanan dalam keluarga, pencegahan penyakit gizi dan perawatan anak.
Pendidikan gizi merupakan salah satu upaya penanggulangan masalah gizi.
Pendidikan gizi diharapkan dapat merubah perilaku kearah perbaikan konsumsi
pangan dan status gizi. Perilaku seseorang dalam konsumsi pangan berasal dari
proses sosialisasi dalam sistem keluarga melalui proses pendidikan gizi maupun
sebagai dampak penyebaran informasi (Madanijah dalam Basit, 2012).
Intervensi berupa pendidikan gizi telah banyak dilakukan untuk mengatasi
berbagai masalah gizi di masyarakat. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Adi dkk
perbaikan kadar hemoglobin menyimpulkan bahwa, secara signifikan terdapat
pengaruh edukasi gizi terhadap perubahan konsumsi zat gizi ibu hamil yang anemia.
Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Syarkowi (2008) yang meneliti tentang
tingkat pengetahuan gizi masyarakat melaui pendidikan dan latihan menyimpulkan
bahwa, terjadi peningkatan kemampuan gizi serta kemampuan menyusun menu
seimbang setelah pemberian materi gizi.
Secara umum, pendidikan gizi adalah suatu proses yang berdimensi luas
untuk merubah perilaku masyarakat sehingga kebiasaan makan yang baik dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan gizi juga bertujuan utnuk
meluruskan pendapat-pendapat gizi yang keliru yang dapat mengakibatkan terjadinya
masalah gizi.
Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa program 1000 HPK
merupakan program yang terfokus sejak bayi dalam kandungan hingga anak berusia
dua tahun. 1000 HPK merupakan periode terpenting dan perlu mendapatkan perhatian
terbesar. anak-anak yang tidak menerima asupan gizi yang memadai pada masa ini
dapat menderita kerusakan tetap yang tidak bisa diperbaiki pada saat dewasa.
Menurut Berg yang dikutip oleh Syarkowi (2008) terjadinya masalah gizi
bukan semata-mata disebabkan oleh harta, tetapi karena kemiskinan pengetahuan.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka upaya mencapai keadaan gizi yang
baik, pendidikan gizi yang bertujan untuk mengembangkan perilaku yang positif
Pendidikan gizi pada 1000 HPK merupakan pendidikan gizi yang membahas
tentang kebutuhan-kebutuhan gizi selama masa tersebut, mulai dari gizi selama
kehamilan, gizi selama menyusui, gizi pada bayi dan anak dibawah usia dua tahun.
Telah banyak intervensi berupa pendidikan gizi pada masa 1000 HPK yang
dilakukan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Wiswaati (2013) dengan
melakukan penyuluhan berupa pemberian materi gizi dan kehamilan pada kelas ibu
hamil terhadap pencapaian kadar hemoglobin harapan menyimpulkan bahwa terjadi
peningkatan pengetahuan ibu hamil dan pencapaian kadar hemoglobin harapan
sebelum dan sesudah pemberian penyuluhan atau pendidikan gizi.
Kebutuhan gizi pada masa menyusui juga perlu diperhatikan, karena masa
menyusi merupakan bagian dari 1000 HPK. Pendidikan gizi pada masa menyusui
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan yang diharapkan akan diikuti dengan
perilaku yang positif pula. Pemberian pendidikan gizi pada masa menyusui memang
sebaiknya diberikan sebelum seseorang memasuki masa tersebut. Seperti penelitian
yang dilakukan oleh Nurazizah (2011) tentang pengaruh penyuluhan melaui media
KIE mengenai ASI Eksklusif dan IMD terhadap pengetahuan Ibu hamil, hasilnya
didapatkan bahwa terjadi peningkatan pengetahuan ibu hamil tentang Asi eksklusif
dan IMD setelah diberikannya penyuluhan melalui media KIE.
Pendidikan gizi 1000 HPK lainnya adalah pendidikan gizi pada bayi usia 6-24
bulan. Pendidikan gizi pada masa ini lebih terfokus pada pemberian makanan
pendamping ASI (MP ASI). Seperti yang telah diketahui bahwa, ketika bayi
pemberian ASI, namun harus dibarengi dengan pemberian MP ASI. Pemberian
pendidikan mengenai MP ASI ditujukan agar tidak ada lagi kesalahan dalam praktek
pemberian MP ASI, yaitu pemberian MP ASI yang terlalu dini. Seperti penelitian
yang dilakukan oleh Carnoto (2000) menyatakan bahwa 52,1% bayi diberikan MP
ASI oleh ibunya di bawah usia 6 bulan. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh
Mariastuti (2010) menunjukkan bahwa dari 30 ibu yang telah memberikan MP ASI
terdapat 27 ibu yang sudah memberikan MP ASI sebelum bayinya berumur 6 bulan.
Penelitian yang dilakukan oleh Bhandari et.all (2004) menyatakan bahwa praktek pemberian makanan pendamping ASI di negara berkembang sering tidak
memadai, hal ini dapat menyebabkan terjadinya kekurangan gizi yang signifikan
antara usia 6 sampai 18 bulan, oleh sebab itu dilakukan penelitian berupa intervensi
pendidikan gizi untuk mempromosikan praktek pemberian makanan pelengkap yang
tepat terhadap pertumbuhan fisik bayi dan anak-anak di India, hasilnya dapat
disimpulkan bahwa, terjadi penambahan tinggi badan yang signifikan pada kelompok
yang diberi intervensi.
Berdasarkan uraian diatas, hasil dari beberapa penelitian terkait pendidikan
gizi yang diberikan mempunyai pengaruh yang postif, baik terhadap perubahan
pengetahuan, sikap dan tindakan, bahkan berpengaruh terhadap perbaikan status gizi.
Dengan pendidikan gizi yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan
2.9.Pendidikan Gizi di Sekolah sebagai Proses Perubahan Perilaku
Pada dasarnya pemberian materi gizi di sekolah termasuk dalam pendidikan
gizi. Karena dalam melakukan pendidikan gizi telah tersusun berbagai materi gizi
yang akan diajarkan kepada siswa, dengan adanya materi gizi yang disampaikan
diharapkan siswa dapat memperoleh pengetahuan gizi yang lebih baik dan diharapkan
akan berpengaruh terhadap perubahan perilaku kearah yang lebih baik pula.
Sekolah adalah perpanjangan tangan keluarga dalam meletakkan dasar
perilaku untuk kehidupan anak selanjutnya, termasuk pendidikan gizi. Pendidikan
gizi yang diterapkan di sekolah merupakan langkah strategis dalam upaya
peningkatan kesehatan masyarakat, karena sekolah merupakan lembaga yang dengan
sengaja didirikan untuk membina dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia,
baik fisik, mental, moral, maupun intelektual. Selain itu dengan adanya pendidikan
gizi pada komunitas sekolah merupakan suatu cara yang efektif dalam upaya
kesehatan masyarakat khususnya dalam pengembangan perilaku hidup sehat
(Notoatmodjo, 2010).
Anak usia sekolah (6-18 tahun) mempunyai persentase yang paling tinggi
dibandingkan dengan kelompok umur lain, sekolah juga merupakan komunitas yang
terorganisasi, sehingga mudah dijangkau dalam rangka pelaksanaan usaha kesehatan
masyarakat. Selain itu anak sekolah merupakan kelompok yang sangat peka untuk
menerima perubahan dan pembaharuan, karena kelompok anak sekolah sedang
kondisi peka terhadap stimulus sehingga mudah untuk dibimbing, diarahkan dan
ditanamkan kebiasaan kebiasaan baik (Notoatmodjo, 2010).
Pendidikan gizi merupakan hal yang sangat penting untuk diajarkan sedini
mungkin kepada anak, terutama anak usia sekolah. Anak sekolah tentu tidak dapat
diabaikan karena mereka adalah generasi penerus bangsa. Oleh karena itu pendidikan
gizi di sekolah dapat dijadikan investasi bagi pembangunan bangsa. Pengenalan
tentang gizi sedini mungkin dapat menimbulkan sikap yang positif terhadap peserta
didik karena telah lebih dahulu mengetahui manfaat dan bahaya yang ditimbulkan
jika tidak berperilaku sehat.
Intervensi terkait gizi telah banyak dilakukan di sekolah, seperti penelitian
yang dilakukan oleh Ikada (2010) tentang pengaruh pemberian buku cerita
bergambar sebagai media pendidikan gizi terhadap pengetahuan gizi anak sekolah,
hasilnya menunjukkan bahwa anak yang diberi kesempatan untuk membaca buku
cerita tersebut mengalami peningkatan pengetahuan, yang sebelumnya tergolong
kurang kini menjadi baik pengetahuan gizinya. Namun setelah satu bulan dan
kembali dilakukan pengukuran terhadap pengetahuan siswa, ternyata mengalami
penurunan, yaitu yang sebelumnya berpengetahuan gizi baik turun menjadi sedang,
Oleh karena itu pemberian materi gizi perlu dilakukan secara terus menerus dan
berkesinambungan agar siswa tetap memiliki pengetahuan gizi yang baik sehingga
berdampak pada tindakan gizi yang baik pula.
Penelitian yang dilakukan Sherman dan Ellen (2007) dengan mengembangkan
adanya kesadaran, pengetahuan dan perilaku kesehatan dan gizi yang baik pada anak
didasarkan dengan menerapkan program kelas aktif yang didukung oleh pelatihan
terahadap guru dan adanya keterlibatan orangtua.
Seperti yang diketahui bahwa proses adopsi suatu perilaku baru bukanlah hal
yang mudah. Teori Rogers yang di kutip oleh Notoatmodjo (2003) menyatakan
bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru maka dalam diri seseorang
tersebut terjadi suatu proses yang berurutan,yaitu awareness(kesadaran), yakni seseorang mengetahui sesuatu yang baru karena hasil dari berkomunikasi dengan
pihak lain, misalnya dari teman, orang tua ataupun guru di sekolah, interest (tertarik) yakni seseorang mulai ingin mengetahui hal-hal baru yang sudah diketahuinya
dengan cara mencari keterangan atau informasi yang lebih terperinci, misalnya
membaca buku terkait dengan perilaku baru, evaluation (menilai) pada tahap ini seseorang mulai mempertimbangkan serta menghubungkan dengan keadaan dan
kemampuan diri, misalnya kesanggupan baik dari segi sosial maupun ekonomi, trial
(mencoba) pada tahap ini seseorang mulai menerapkan dalam skala kecil sebagai
upaya mencoba apakah dapat dilanjutkan atau tidak, tahap terakhir adalah adoption
(adopsi) pada tahap ini seseorang sudah yakin akan hal baru dan mulai melaksanakan
dalam skala besar.
2.10. Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK)
Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) merupakan suatu gerakan
(SUN)Movement. Gerakan Scaling Up-Nutrition (SUN) Movement merupakan suatu gerakan global dibawah koordinasi Sekretaris Jenderal PBB. Hadirnya gerakan ini
merupakan respon dari negara-negara di dunia terhadap kondisi status pangan dan
gizi di negara berkembang. Tujuan Global dari SUN Movement adalah untuk menurunkan masalah gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) yaitu 270
hari selama kehamilan dan 730 hari dari kelahiran sampai usia 2 tahun. Periode 1000
HPK ini telah dibuktikan secara ilmiah merupakan periode yang menentukan kualitas
kehidupan seseorang, oleh karena itu periode ini sering disebut sebagai “periode
emas” (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI, 2013).
Pada periode emas tersebut kebutuhan gizi perlu diperhatikan, adapun zat-zat
gizi yang diperlukan selama periode 1000 Hari Pertama Kehidupan adalah sebagai
berikut :
1. Periode dalam Kandungan (280 hari)
Wanita hamil merupakan kelompok yang rawan gizi oleh sebab itu penting
untuk menyediakan kebutuhan gizi yang baik selama kehamilan agar ibu hamil dapat
memperoleh dan mempertahankan status gizi yang optimal sehingga dapat menjalani
kehamilan dengan aman dan melahirkan bayi dengan potensi fisik dan mental yang
baik, serta memperoleh energi yang cukup untuk menyusui kelak (Arisman, 2004).
Telah diketahui bahwa kebutuhan zat gizi akan meningkat selama kehamilan,
yaitu tambahan energi sekitar 300 kkal perharinya, pertambahan energi terutama di
trimester II. Penambahan konsumsi energi ini diperlukan untuk pemekaran jaringan
penumpukan lemak. Sepanjang trimester III, energi tambahan dipergunakan untuk
pertumbuhan janin dan plasenta (Arisman, 2004).
Kebutuhan protein juga mengalami peningkatan selama kehamilan yaitu
hingga 68%, Protein diperlukan untuk pembentukkan jaringan baru pada janin,
pertumbuhan organ-organ pada janin, perkembangan kandungan ibu, pertumbuhan
plasenta, cairan amnion dan penambahan volume darah. Kekurangan asupan protein
dapat berdampak buruk terhadap janin sepeti Intra Uterine Growth Retardation (IUGR), cacat bawaat, BBLR dan keguguran (Purwitasari &Maryanti, 2009).
Kebutuhan zat gizi mikro seperti zat besi, asam folat, dan kalsium juga
meningkat. Untuk kebutuhan zat besi selama kehamilan mengalami peningkatan
sebesar 200% sampai 300%, hal ini diperlukan untuk pembentukan plasenta dan
pembentukan sel darah merah, untuk menjaga agar tidak kekurangan zat besi maka
wanita hamil di sarankan untuk menelan sebanyak 90 tablet besi selama kehamilan.
WHO (2006) menegaskan bahwa semua wanita hamil di daerah prevalensi tinggi
gizi buruk harus secara rutin menerima suplemen zat besi dan folat, untuk mencegah
anemia. Dimana prevalensi anemia pada wanita hamil yang tinggi (>40 %), suplemen
harus terus diberikan selama tiga bulan pada periode postpartum.
Kebutuhan asam folat, angka kecukupan gizi yang direkomendasikan pada ibu
hamil adalah 600 µg asam folat per hari. Asam Folat merupakan vitamin B yang
memegang peranan penting dalam perkembangan embrio, juga membantu mencegah
cacat pada otak dan tulang belakang. Pada ibu hamil, asam folat memiliki peranan
Kalsuim, Wanita hamil yang berusia lebih dari 25 tahun membutuhkan
kalsium kira-kira 1200 mg/hari dan cukup 800 mg/hari untuk yang berusia lebih
muda. Kalsium di gunakan untuk menunjang pembentukan tulang dan gigi serta
persendian janin. Jika ibu hamil kekurangan kalsium, maka kebutuhan kalsium akan
diambil dari cadangan kalsium pada tulang ibu, ini akan mengakibatkan tulang
keropos atau osteoporosis dan tidak jarang ibu hamil yang mengeluh giginya
merapuh atau mudah patah.
Kebutuhan yodium penting selama kehamilan. Yodium merupakan bahan
dasar hormon tiroksin yang berfungsi dalam pertumbuhan dan perkembangan otak
bayi. Ibu hamil dianjurkan untuk menambah asupan yodiumnya sebesar 50 µg/ hari
dari kebutuhan sebelum hamil yang hanya 150 µg/ hari (Sibagariang, 2010).
2. Periode 0 – 6 Bulan (180 hari)
Kunci utama dalam periode ini adalah melakukan inisiasi menyusu dini
(IMD) dan Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif. Inisiasi menyusu dini (IMD) adalah
memberikan kesempatan kepada bayi baru lahir untuk menyusu sendiri pada ibunya
dalam satu jam pertama kelahirannya. proses diletakannya bayi di atas dada ibu
segera setelah lahir untuk mencari puting susu ibu dan mulai menyusu untuk pertama
kalinya, dengan dilakukannya IMD maka kesempatan bayi untuk mendapat
kolostrum semakin besar, karena kolustrum merupakan ASI terbaik yang keluar pada
hari ke 0-5 setelah bayi lahir yang mengandung antibodi (zat kekebalan) yang
ASI Eksklusif adalah pemberian ASI (Air Susu Ibu) setelah lahir sampai bayi
berumur 6 bulan tanpa pemberian makanan lain. Tindakan ini akan terus merangsang
produksi ASI sehingga pengeluaran ASI dapat mencukupi kebutuhan bayi dan bayi
akan terhindar dari diare. Pada tahun 2001 WHO menyatakan bahwa ASI Eksklusif
selama enam bulan pertama hidup bayi adalah yang terbaik.
3. Periode 6 – 24 Bulan (540 hari)
Mulai usia 6 bulan keatas, anak mulai diberikan makanan pendamping ASI
(MP-ASI) karena sejak usia ini, ASI saja tidak mencukupi kebutuhan
anak.Pengetahuan dalam pemberian MP ASI menjadi sangat penting mengingat
banyak terjadi kesalahan dalam praktek pemberiannya, seperti pemberian MP ASI
yang terlalu dini pada bayi yang usianya kurang dari 6 bulan, hal ini dapat
menyebabkan gangguan pencernaan atau diare. Sebaliknya, penundaan pemberian
MP ASI akan menghambat pertumbuhan bayi karena alergi dan zat-zat gizi yang
dihasilkan dari ASI tidak mencukupi kebutuhan lagi sehingga akan menyebabkan
kurang gizi (Pudjiadi, 2005).
Sistem pencernaan bayi usia enam bulan keatas (>6) sudah relatif sempurna,
untuk itu pemberian MP ASI perlu dilakukan secara bertahap, sedikit demi sedikit
dalam bentuk encer menjadi bentuk yang lebih kental (Arisman, 2004).
Hal-hal yang hasur diperhatikan mengenai cara pemberian MP ASI secara
Tabel 2.1. Prinsip Pemberian MP ASI
6-8 Bulan 8-9 Bulan 9-12 Bulan 12-24 Bulan
Jenis 1 jenis bahan dasar
(6 bulan)
2 jenis bahan dasar (7 bulan)
Tekstur Semi cair
(dihaluskan),
Frekuensi Makanan utama 1-2 kali sehari,
ASI Sesuka bayi Sesuka bayi Sesuka bayi Sesuka bayi
Sumber : Safitri, 2006
Seribu Hari Pertama Kehidupan merupakan suatu periode penting karena
kebanyakan kerusakan atau terhambatnya pertumbuhan disebabkan oleh kurangnya
gizi yang terjadi selama periode tersebut, dampak jangka pendek yang akan
ditimbulkan seperti terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan
pertumbuhan fisik dan gangguan metabolisme tubuh, sedangkan untuk jangka
panjang dapat berupa menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar,
penyakit-penyakit degenaratif serta disabilitas pada usia tua. Kesemuanya ini akan menurunkan
kualitas SDM di Indonesia, produktifitas, dan daya saing bangsa.
2.11. Kegiatan 1000 HPK
Pada pedoman perencanaan program gizi pada 1000 HPK menjelaskan bahwa
gerakan 1000 HPK terdiri dari 2 jenis kegiatan, yaitu intervensi spesifik dan
intervensi sensitif. Kedua intervensi ini sangat baik bila mampu berjalan beriringan.
2.11.1. Kegiatan Intervensi Spesifik
Tindakan atau kegiatan yang dalam perencanaannya ditujukan khusus untuk
kelompok 1000 HPK. Kegiatan ini pada umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan.
Intervensi spesifik bersifat jangka pendek, hasilnya juga dapat dicatat dalam waktu
yang relatif pendek. Jenis-jenis intervensi gizi spesifik adalah sebagai berikut :
1. Ibu hamil : Suplementasi besi folat, pemberian makanan pada ibu KEK,
penanggulangan kecacingan pada ibu hamil, pemberian kelambu
berinsektisida dan pengobatan bagi ibu hamil yang postif malaria.
2. Kelompok 0-6 bulan : Promosi menyusui (konseling individu dan kelompok)
3. Kelompok 7-23 bulan : Promosi menyusui, KIE perubahan perilaku untuk
perbaikan MP-ASI, suplementasi zink, zink untuk manajemen diare,
pemberian obat cacing, fortifikasi besi, pemberian kelambu berinsektisda dan
2.11.2. Kegiatan Intervensi Sensitif
Intervensi gizi sensitif merupakan berbagai kegiatan yang berada di luar
sektor kesehatan. Sasarannya adalah masayarakat umum, tidak khusus untuk 1000
HPK. Namun apabila dilaksanakan secara khusus dan terpadu dengan kegiatan
spesifik, dampaknya sensitif terhadap keselamatan proses pertumbuhan dan
perkembangan kelompok 1000 HPK. Dampak kombinasi dari kegiatan spesifik dan
sensitif bersifat langgeng dan jangka panjang. Intervensi gizi sensitif meliputi,
penyediaan air bersih dan sanitasi, ketahanan pangan dan gizi, keluarga berencana,
jaminan kesehatan masyarakat, jaminan persalinan dasar, fortifikasi pangan,
pendidikan gizi masyarakat, intervensi untuk remaja perempuan dan pengentasan
kemiskinan.
Dokumen SUN Inggris menyebutkan bahwa intervensi gizi spesifik yang umumnya dilaksanakan oleh sektor kesehatan hanya 30 persen efektif mengatasi
masalah gizi 1000 HPK. Hal ini karena kompleks nya masalah gizi khusunya masalah
beban ganda, yaitu kombinasi antara anak kurus, pendek gemuk dan penyakit tidak
menular (PTM), yang terjadi pada waktu yang relatif sama di masyarakat miskin,
penuntasan 70 persennya memerlukan keterlibatan banyak sektor pembangunan
diluar sektor kesehatan(Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI,
2.12. Remaja
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa
dewasa. Masa ini sering disebut masa pubertas atau adolesen. Para ahli merumuskan
bahwa istilah pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan biologis baik bentuk
fisiologis yang terjadi dengan cepat dari mas anak-anak ke masa dewasa, terutama
perubahan alat reproduksi. Sedangkan adolesens lebih ditekankan pada perubahan
psikososial atau kematangan yang menyertai masa pubertas (Soetjiningsih dalam
Poltekkes I Depkes, 2012).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), remaja merupakan suatu
individu yang sedang mengalami masa peralihan yang secara berangsur-angsur
mencapai kematangan seksual, mengalami perubahan jiwa dari jiwa kanak-kanak
menjadi dewasa dan mengalami perubahan keadaan ekonomi dari kertergantungan
menjadi relatif mandiri (Notoatmodjo, 2007).
2.12.1 Fase-Fase Pada Remaja
Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah dua belas
tahun hingga dua puluh satu tahun. Menurut Monks dalam Lutfiah, dkk (2013)
fase-fase masa remaja dibagi menjadi tiga tahap, antara lain sebagai berikut:
1. Remaja Awal (Early Adolescence)
Rentang usia pada masa remaja awal yaitu 12-14 tahun. Pada masa ini, remaja
mengalami perubahan jasmani yang sangat pesat dan perkembangan intelektual yang
sangat intensif sehingga minat anak pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini
kekanak-kanakannya. Selain itu pada masa ini remaja sering merasa sunyi, ragu-ragu,
tidak stabil, tidak puas, dan merasa kecewa.
Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau
banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan “narastic”, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama
dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu
harus memilih yang mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis
atau pesimis, idealis atau meterialis, dan sebagainya. Remaja pria harus
membebaskan diri dari Oedipoes Complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan dari lawan jenis.
2. Remaja Pertengahan (Middle Adolescence)
Rentang usia pada masa remaja pertengahan yaitu 15-17 tahun. Kepribadian
remaja pada masa ini masih kekanak-kanakan tetapi pada masa remaja ini timbul
unsur baru yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri.
Remaja mulai menentukan nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap
pemikiran filosofis dan etis.
Maka dari perasaan yang penuh keraguan pada masa remaja awal maka pada
rentan usia ini mulai timbul kemantapan pada diri sendiri. Rasa percaya diri pada
remaja menimbulkan kesanggupan pada dirinya untuk melakukan penilaian terhadap
tingkah laku yang dilakukannya. Selain itu pada masa ini remaja menemukan diri
3. Remaja Akhir (Late Adolescence)
Rentang usia pada masa remaja akhir yaitu 18-21 tahun. Pada masa ini remaja
sudah mantap dan stabil. Remaja sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan
pola hidup yang digariskan sendiri dengan keberanian. Remaja mulai memahami arah
hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah mempunyai pendirian
tertentu berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditemukannya.
2.13.Gizi Remaja Pra Reproduksi
Remaja mempunyai kebutuhan gizi yang spesial, karena pada saat remaja
terjadi pertumbuhan yang pesat dan terjadi perubahan kematangan fisiologis
sehubungan dengan timbulnya masa pubertas. Perubahan pada masa remaja akan
mempengaruhi kebutuhan, absorbsi, serta cara penggunaan zat gizi. Hal ini disertai
dengan pembesaran organ dan jaringan tubuh yang cepat. Perubahan hormon yang
menyertai pubertas juga menyebabkan banyak perubahan fisiologis yang
memengaruhi kebutuhan gizi pada remaja (Poltekkes Depkes Jakarta I, 2012).
Laju pertumbuhan antara remaja perempuan dan remaja pria berbeda. Remaja
perempuan mengalami percepatan lebih dulu dibandingkan remaja pria, karena tubuh
remaja perempuan dipersiapkan untuk reproduksi. Sementara remaja pria baru dapat
menyusul dua tahun kemudian. Pertumbuhan cepat ini juga ditandai dengan
pertambahan yang pesat pada berat badan dan tinggi badan. Pertumbuhan fisik
anak-anak. Ditambah lagi pada masa ini, remaja sangat aktif dengan berbagai
kegiatan, baik itu kegiatan sekolah maupun olahraga (Arisman, 2004).
Menurut Poltekkes Jakarta I (2012) Kebutuhan gizi yang meningkat selama
masa remaja adalah energi,protein, kalsium, besi dan seng. Kebutuhan energi pada
remaja per individu sulit ditentukan secara tepat, karena bergantung pada aktifitas
fisik seperti olah raga. Dalam tabel angka kecukupan gizi 2004 (AKG 2004)
menganjurkan bahwa kecukupan gizi remaja pria usia 16-18 tahun adalah 2600 kkal/
hari dan untuk remaja perempuan usia 16-18 tahun adalah 2200 kkal/ hari. AKG
energi ini dianjurkan sekitar 60% berasal dari sumber karbohidrat yaitu: beras, terigu
dan hasil olahannya (mie, spagetti, makaroni), umbi-umbian (ubi jalar, singkong),
jagung, gula dan lain-lain (Proverawati, 2010).
Kebutuhan protein juga meningkat pada masa remaja, karena proses
pertumbuhan terjadi dengan cepat. Pada akhir masa remaja, kebutuhan protein lebih
besar pada remaja laki-laki, karena perbedaan komposisi tubuh. Kecukupan protein
harus memenuhi 12-14% dari pemasukan energi. Bila pemasukan energi tidak
adekuat, maka protein akan digunakan sebagai sumber energi, dan hal ini akan
menyebabkan malnutrisi. Makanan bersumber protein hewani seperti daging dan ikan
memiliki nilai biologis lebih tinggi dibandingkan dengan sumber protein nabati
seperti kacang-kacangan (Almatsier, 2004).
Kebutuhan mineral terutama kalsium, seng dan zat besi juga meningkat pada
masa remaja. Kalsium penting untuk kesehatan tulang khususnya dalam menambah
osteoporosis pada kehidupan selanjutnya. Kebutuhan kalsium pada remaja usia 16-18
tahun adalah 1000 mg per hari (AKG, 2004). Sumber kalsium yang paling baik
adalah susu dan hasil olahannya, sumber lainnya adalah ikan, kacang-kacangan dan
sayuran.
Kebutuhan zat besi pada remaja juga meningkat karena terjadinya
pertumbuhan cepat. Kebutuhan besi pada remaja laki-laki meningkat karena ekspansi
volume darah dan peningkatan konsentrasi hemoglobin (Hb). Setelah dewasa,
kebutuhan besi menurun. Pada perempuan, kebutuhan yang tinggi akan besi terutama
disebabkan kehilangan zat besi selama menstruasi. Hal ini mengakibatkan perempuan
lebih rawan terhadap anemia besi dibandingkan laki-laki. Perempuan dengan
konsumsi besi yang kurang dan disertai dengan kehilangan besi yang meningkat,
akan mengalami anemia gizi besi (Proverawati, 2010).
Mineral Seng juga diperlukan untuk pertumbuhan serta kematangan seksual
remaja, terutama untuk remaja laki-laki. AKG seng adalah 17 mg per hari untuk
remaja laki-laki dan perempuan. Makanan yang mengandung seng adalah daging,
hati, kerang, telur, serealia tumbuk dan kacang-kacangan (Almatsier, 2004).
Vitamin, kebutuhan vitamin seperti thiamin (B1), riboflavin (B2) dan niacin
pada remaja akan meningkat. Zat ini diperlukan untuk membantu proses metabolisme
energi.Konsumsi asam folatdapat mencegah anemia, kecukupan folat pada masa
sebelum hamil dan selama hamil dapat mengurangi kejadian cacat otak dan kelainan
tulang belakang pada bayi. Vitamin A, C dan E juga dibutuhkan untuk pembentukan
Pada pedoman program perencanaan Gerakan 1000 HPK terdapat intervensi
yang ditujukan untuk remaja, khususnya remaja perempuan. Dimana kegiatan yang
dilakukan adalah dengan memberikan pelatihan kepada remaja dalam rangka
persiapan sebagai calon pengantin. Status gizi remaja putri atau pranikah memiliki
kontribusi besar pada keselamatan kehamilan dan kelahiran kelak. Untuk itu keadaan
gizi remaja putri harus diperhatikan sedini mungkin untuk menghindari terjadinya
masalah kekurangan gizi.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa masalah keselamatan dan kesehatan
janin, BBLR dan anak pendek terkait dengan kesehatan dan status gizi remaja
perempuan yang akan menjadi ibu. Remaja perempuan yang anemia dan kurus,
apabila hamil akan beresiko melahirkan BBLR dengan berbagai masalahnya. Selain
itu masih tingginya perkawinan pada usia remaja (15-19 tahun) di Indonesia yaitu
23,9%.
Menurut Romauli, S., dkk (2011) Adapun faktor yang mempengaruhi remaja
untuk menikah di usia muda adalah, pertama karena tingkat pendidikan, dimana
makin rendah tingkat pendidikan, makin mendorong cepatnya perkawinan di usia
muda. Kedua adalah alasan ekonomi, yaitu apabila anak perempuan telah menikah,
berarti orangtua bebas dari tanggung jawab, sehingga secara ekonomi mengurangi
beban, dengan kata lain sebagai jalan keluar dari berbagai kesulitan. Ketiga adalah
adat istiadat atau pandangan masyarakat yang menganggap bahwa jika anak gadis
belum menikah di anggap sebagai aib keluarga, kedewasaan seseorang di nilai dari
adalah kepatuhan terhadap orang tua yaitu perkawinan dapat berlangsung karena
adanya kepatuhan remaja terhadap orang tua.
Dalam rangka menyelamatkan 1000 HPK, perlu ada kebijakan yang
mencegah usia menikah muda, remaja perempuan sebagai calon pengantin harus
sehat dan dalam status gizi baik, tidak kurus dan tidak anemi atau kekurangan gizi
lainnya (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2013).
Kurang gizi di negara berkembang pada masa pra hamil dan ibu hamil akan
berdampak pada anak yang IURG (Intra Uterine Growth Retardation). Kondisi ini
hampir separuhnya terkait dengan status gizi ibu, yaitu berat badan ibu pra hamil
yang tidak sesuai dengan tinggi badan atau bertubuh pendek, dan pertambahan berat
badan yang kurang selama kehamilannya. Ibu yang pendek waktu usia dua tahun
cenderung bertubuh pendek pada usia dewasa dan apabila ibu hamil pendek akan
cenderung menghasilkan bayi BBLR (Victoria dkk dalam Kementerian Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat RI, 2013).
Kesiapan pengetahuan terhadap tumbuh kembang balita sangat diperlukan
bagi seorang ibu, karena seorang ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik
akan menghasilkan tumbuh-kembang balita yang baik pula, khususnya pada periode
usia tiga tahun pertama, karena kurun usia tersebut merupakan periode pertumbuhan
otak yang cepat. Mempersiapkan remaja sebagai calon ibu yang terdidik pada saatnya
menjadi seorang ibu, dapat memberikan dampak baik pada perkembangan emosi,
Gambar 2.1. Siklus Gangguan Pertumbuhan Inter Generasi
Sumber : ACC/SCN dalam Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI, 2013
Menurut UNICEF Indonesia (2012) Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan
adalah dengan menerapkan program kesehatan yang bersifat preventif dan
mempromosikan pentingnya gizi secara cepat yang dimulai dari masa remaja atau pra
kehamilan. Meskipun nantinya perempuan yang akan memasuki masa kehamilan,
menyusui, melahirkan dan mendominasi dalam mengurus anak, namun bukan berarti
promosi gizi atau pendidikan gizi tidak perlu diberikan kepada remaja laki-laki
sebagai calon suami dan calon ayah.
Peran suami di Indonesia masih sangat kuat dalam mengambil keputusan
termasuk keputusan yang terkait dengan kesehatan. Apabila remaja laki-laki pernah
mendapatkan pendidikan gizi atau materi gizi 1000 HPK sebelumnya, maka
diharapkan dapat membentuk perilaku yang postif seperti dukungan kepada istri dan Gangguan
Pertumbuhan Anak
Wanita dewasa kurang berat dan pendek
Kehamilan dini
Remaja kurang berat dan pendek Berat bayi lahir
anaknya untuk selalu memperhatikan kesehatan. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Ishak dkk (2005) yang meneliti tentang keterlibatan
suami dalam menjaga kehamilan istri, hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan suami maka upaya mendukung istrinya untuk berkonsultasi
dan memilih persalinan ke tenaga kesehatan semakin besar dan lebih banyak
memperhatikan gizi atau makanan istrinya selama hamil.
Memberikan pendidikan gizi sangat penting untuk meningkatkan perilaku gizi
remaja. Banyak upaya yang bisa dilakukan seperti memanfaatkan media yang tersedia
untuk menyampaikan pesan gizi. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Khoirani,
dkk (2012), yaitu dengan menerapkan permainan sebagai media promosi gizi ternyata
memiliki dampak positif terhadap peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan siswa
tentang gizi seimbang. Diharapkan dengan adanya intervensi gizi yang diberikan
dapat meningkatkan perilaku remaja yang positif terhadap gizi dan kesehatan.
2.14. Landasan Teori
Menurut UNICEF Indonesia (2012) salah satu kegiatan yang dapat dilakukan
untuk mengatasi masalah gizi adalah dengan menerapkan program kesehatan yang
bersifat preventif dan mempromosikan pentingnya gizi secara cepat yang dimulai dari
masa remaja. Pengetahuan gizi dan kesehatan pada masa remaja dapat ditingkatkan
melalui beberapa strategi, salah satunya adalah melalui pendekatan sekolah.
Sekolah adalah perpanjangan tangan keluarga dalam meletakkan dasar
gizi pada komunitas sekolah merupakan suatu cara yang efektif dalam upaya
kesehatan masyarakat khususnya dalam pengembangan perilaku hidup sehat
(Notoatmodjo, 2010).
Menurut Craven dan Hirnle yang dikutip oleh Mubarak dkk (2007)
menyatakan bahwa pendidikan kesehatan adalah upaya penambahan pengetahuan dan
kemampuan seseorang melalui teknik praktek belajar atau instruksi dengan tujuan
untuk meningkatkan fakta atau kondisi nyata, dengan cara memberi dorongan
terhadap pengarahan diri (self direction), dan aktif memberikan informasi-informasi. Dengan demikian pendidikan kesehatan merupakan proses perubahan perilaku secara
terencana pada diri individu, kelompok atau masyarakat untuk dapat lebih mandiri
dalam mencapai tujuan hidup sehat.
Menurut Mubarak (2011) Perilaku merupakan seperangkat perbuatan atau
tindakan seseorang dalam melakukan respons terhadap sesuatu dan kemudian
dijadikan kebiasaan karena adanya suatu nilai yang di yakini. Perilaku manusia pada
dasarnya terdiri atas komponen pengetahuan, sikap, dan tindakan. Dengan kata lain
perbuatan seseorang atau respon seseorang didasari oleh seberapa jauh
pengetahuannya terhadap rangsangan tersebut, bagaimana perasaan dan
penerimannya, dan seberapa besar keterampilannya dalam melaksanakan atau
2.15. Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep dalam penelitian ini menggambarkan bahwa yang akan
diteliti adalah pengaruh pendidikan gizi 1000 HPK terhadap pengetahuan dan sikap
siswa mengenai gizi 1000 HPK.
Pengetahuan siswa tentang gizi 1000 HPK
Pendidikan Gizi 1000 HPK