Analisis atas Alih Fungsi Lahan yang Berdampak Pada
Kawanan Gajah di Palembang
Novia Puspa Ayu Larasati
novia.larasati78@students.unnes.ac.id
Abstrak
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Hal ini merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Di Indonesia gajah sumatera penyebarannya mencakup Sumatera dan Kalimantan bagian timur. Sebagai satwa langka, gajah sumatera dilindungi menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan diatur dalam peraturan pemerintah PP No 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Ancaman yang dihadapi gajah sumatera termasuk pembalakan liar, fragmentasi habitat, serta konflik dengan manusia. Sejak tahun 1980-an sering muncul masalah gangguan satwa liar terhadap pemukiman, perkebunan dan perladangan masyarakat di Sumatera. Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna, diantaranya melalui pendidikan dan penyuluhan. Dalam rangka pelaksanaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah. Untuk menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintah dan pembangunan serta berdaya guna dan dan berhasil guna serta mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur adanya aparatur Pemerintahan yang benar-benar berfungsi sebagai abdi masyarakat dalam memberikan pelayanan yang optimal agar tercapainya tujuan dari diadakannya pemerintah itu sendiri.
Kata Kunci : Gajah, Perkebunan, Alih Fungsi Lahan
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
bagi Negara Indonesia dalam rangka mengelola sumber daya alam (SDA) sekaligus mengatur hak-hak penguasaan dan pemanfaatan tanah, air dan ruang angkasa dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan. Negara Indonesia sebagai organisasi kekuasaan yang tertinggi seluruh rakyat Indonesia, dalam hal ini pemerintah Indonesia sebagai pengemban utama tanggung jawab memajukan kesejahteraan umum bagi rakyat Indonesia diberikan kewenangan oleh UUPA sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi atas bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana yang tercermin di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUPA, bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pada tingkatan yang tertinggi “dikuasi” oleh Negara sebagai organisasi seluruh rakyat.
Hak menguasai Negara dimaksud adalah memberikan kewenangan kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit antara Negara dengan Tanah Indonesia. Kewenangan Negara tersebut merupakan pelimpahan tugas Bangsa, sehingga kewenangan tersebut semata-mata bersifat publik. Negara dalam hal ini bukan sebagai suatu badan hukum yang memiliki, akan tetapi Negara diberikan kewenangan untuk mengatur sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Mengatur dan menentukan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Atas dasar kewenangan tersebut, maka Negara berkewajiban untuk mengatur penyediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air, ruang angkasa dengan sebaik-baiknya dengan mempertimbangkan prinsip keadilan, kepastian dan kemanfaatan nya. Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah, dengan kata lain pemerintah tidak boleh melakukan suatu tindakan hukum apapun di luar kewenangan yang dimilikinya.
Hak menguasai dari negara atas tanah bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsa indonesia, maka dalam penyelenggaraannya, bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).1
Alih fungsi lahan hampir terjadi diseluruh wilayah Provinsi, Kabupaten/ Kota di seluruh Indonesia. Laju pertumbuhan penduduk, kegiatan ekonomi yang terus meningkat, pembangunan infrastruktur perhubungan seiring
desentralisasi penyelenggaraan pemerintah di daerah telah mempercepat laju konversi lahan. Selain itu, ketidakseimbangan land rent antara Jawa-Luar Jawa, kota-desa, pertanian-non pertanian, dan hutan-non hutan turut berkontribusi memacu laju alih fungsi lahan.2
1.2 Kronologi Kasus
Konflik antara gajah dan manusia semakin sering terjadi di Sumatera Selatan belakangan ini, tercatat terjadi 5 kali konflik gajah dan manusia memicu kerugian materiil bahkan korban jiwa. Menurut Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan, Genman Suhefti Hasibuan, setidaknya masih ada 100-150 gajah liar yang ada di Sumatera Selatan. Gajah-gajah itulah yang sering terlibat konflik dengan manusia. Konflik itu terjadi karena habitat inti dan habitat sekitar wilayah inti yang menjadi tempat tinggal gajah sudah rusak parah. Habitat ini gajah rusak karena para perambah. Sementara habitat sekitar wilayah inti kian rusak karena masifnya aktivitas perkebunan, pertanian, pertambangan, pembuatan jalan, hingga pemukiman.
Rusaknya wilayah ini memicu gajah mencari sumber makanan baru. Karena warga banyak berkebun dan bertani di sekitar wilayah inti, gajah pun masuk ke kebun dan sawah warga untuk mencari makan. Kehadiran mereka tentu tidak disukai manusia. Akhirnya konflik antara gajah dan manusia terjadi secara terus menerus. Sekarang kawanan gajah itu yang sulit untuk kembali ke habitat aslinya. Karena jalur jelajah mereka sudah terfragmentasi oleh perkebunan, pertanian, dan pemukiman warga. Hal itu semakin parah karena warga mengusir mereka dengan metode yang salah. Gajah pun berpindah dari satu tempat konflik ke tempat konflik lain. Ada 3 lokasi yang sering terjadi di Sumatera Selatan, yaitu di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Ogan Komering Ilir, dan Penukal Abab Lematang Ilir.3
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Dampak Alih Fungsi Lahan ?
2. Bagaimana Kebijakan Dari Pemerintah Tentang Alih Fungsi Hutan ? 3. Bagaimana Pengendalian dalam Alih Fungsi Lahan ?
II. PEMBAHASAN
A. Dampak Alih Fungsi Lahan
Sebagaimana kita ketahui bahwa hutan berfungsi sebagai penyeimbang fungsi ekosistem. Peranan hutan sangat penting dalam sistem penyangga kehidupan. Hutan juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan air yang baik, sebagai habitat bagi flora dan fauna, mengurangi polusi pencemaran udara, sebagai penyubur tanah, sebagai paru-paru dunia dengan menyuplai oksigen untuk kehidupan, sebagai penahan erosi dan lain sebagainya. Ada anekdot mengatakan bahwa forest is the mother of agriculture, artinya hutan sebagai penyeimbang fungsi pertanian dengan menyuplai air untuk pertanian tersebut. Namun bisa dibayangkan dengan kondisi hutan kita sekarang yang maraknya dialihfungsikan ke bentuk lain akan menyebabkan fungsi hutan terganggu. Boleh kita lihat bencana alam dimana-mana,
2 Suhadi. 2012. “Faktor Pengaruh dan Implikasi Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Gunungpati Kota Semarang terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian”. Jurnal Pandecta, Vol 7, Nomor 1, Januari:58-67.
seperti banjir, erosi, tanah longsor, pemanasan global yang banyak diisukan oleh dunia internasional. Berapa banyak kerugian negara akan kasus ini?. Itu baru kasus yang berkaitan dengan alam, belum lagi akhir-akhir ini banyak terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan-perusahaan terkait alih fungsi lahan hutan ini. Konflik yang terjadi kebanyakan mengorbankan masyarakat kecil, bukan hanya harta bahkan nyawa pun terkorbankan.
Dengan julukan Negara agraris yang dijunjungnya, tentu saja Indonesia memiliki banyak sekali potensi pertanian atau perkebunan yang bisa dijadikan sumber perekonomian Negara. Akan tetapi, seiring berkembangnya sistem perekonomian serta meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan lahan untuk kepentingan dalam bidang selain pertanian semakin meningkat pula.
Berdasarkan data statistik tahun 2014, luas lahan pertanian di Indonesia mencapai angka 41.5 juta Hektar. Dari jumlah tersebut, dapat dibagi menjadi tiga kategori yakni hortikultura 567 ribu hektar, tanaman pangan 19 juta hektar, dan terakhir tanaman perkebunan sebesar 22 juta hektar.
Berikut beberapa dampak alih fungsi lahan pertanian :
1. Berkurangnya lahan pertanian
Dengan adanya alih fungsi lahan menjadi non-pertanian, maka otomatis lahan pertanian menjadi semakin berkurang. Hal ini tentu saja memberi dampak negatif ke berbagai bidang baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Menurunnya produksi pangan nasional
Akibat lahan pertanian yang semakin sedikit, maka hasil produksi juga akan terganggu. Dalam skala besar, stabilitas pangan nasional juga akan sulit tercapai. Mengingat jumlah penduduk yang semakin meningkat tiap tahunnya sehingga kebutuhan pangan juga bertambah, namun lahan pertanian justru semakin berkurang.
3. Mengancam keseimbangan ekosistem
Dengan berbagai keanekaragaman populasi di dalamnya, sawah atau lahan-lahan pertanian lainnya merupakan ekosistem alami bagi beberapa binatang. Sehingga jika lahan tersebut mengalami perubahan fungsi, binatang-binatang tersebut akan kehilangan tempat tinggal dan bisa mengganggu ke permukiman warga. Selain itu, adanya lahan pertanian juga membuat air hujan termanfaatkan dengan baik sehingga mengurangi resiko penyebab banjir saat musim penghujan.
4. Sarana prasarana pertanian menjadi tidak terpakai
Untuk membantu peningkatan produk pertanian, pemerintah telah menganggarkan biaya untuk membangun sarana dan prasarana pertanian. Dalam sistem pengairan misalnya, akan banyak kita jumpai proyek-proyek berbagai jenis jenis irigasidari pemerintah, mulai dari membangun bendungan, membangun drainase, serta infrastruktur lain yang ditujukan untuk pertanian. Sehingga jika lahan pertanian tersebut beralih fungsi, maka sarana dan prasarana tersebut menjadi tidak terpakai lagi.
Buruh tani adalah orang-orang yang tidak mempunyai lahan pertanian melainkan menawarkan tenaga mereka untuk mengolah lahan orang lain yang butuh tenaga. Sehingga jika lahan pertanian beralih fungsi dan menjadi semakin sedikit, maka buruh-buruh tani tersebut terancam akan kehilangan mata pencaharian mereka.
6. Harga pangan semakin mahal
Ketika produksi hasil pertanian semakin menurun, tentu saja bahan-bahan pangan di pasaran akan semakin sulit dijumpai. Hal ini tentu saja akan dimanfaatkan sebaik mungkin bagi para produsen maupun pedagang untuk memperoleh keuntungan besar. Maka tidak heran jika kemudian harga-harga pangan tersebut menjadi mahal
7. Tingginya angka urbanisasi
Sebagian besar kawasan pertanian terletak di daerah pedesaan. Sehingga ketika terjadi alih fungsi lahan pertanian yang mengakibatkan lapangan pekerjaan bagi sebagian orang tertutup, maka yang terjadi selanjutnya adalah angka urbanisasi meningkat. Orang-orang dari desa akan berbondong-bondong pergi ke kota dengan harapan mendapat pekerjaan yang lebih layak. Padahal bisa jadi setelah sampai di kota keadaan mereka tidak berubah karena persaingan semakin ketat.4
B. Kebijakan Dari Pemerintah Tentang Alih Fungsi Hutan
Alih fungsi kawasan hutan memang diperbolehkan Undang-Undang. Hanya ada aturannya. Pasal 19 ayat (1), UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyatakan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu. Namun, alih fungsi hutan tentu tidak boleh dilakukan secara sembarang. Jika alih fungsi hutan ini berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, maka harus ditetapkan oleh pemerintah dan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Yang dimaksud dengan berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis ini adalah adanya perubahan yang sangat berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air serta adanya dampak sosial masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan yang akan datang.
Hingga saat ini pemerintah telah memberikan solusi akan masalah alih fungsi lahan ini, seperti menerapkan denda untuk penebangan hutan dan hukum pidana. Ketentuan pidana yang di atur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 UU No. 41 / 1999, merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan (penjelasan umum paragraph ke 18 UU No. 41 / 1999). Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan
menjadi berpikir kembali untuk melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidannya berat.5
C. Pengendalian Dalam Alih Fungsi Lahan
Perlu digarisbawahi bahwa penyebab terjadinya alih fungsi lahan pertanian boleh dikatakan bersifat multidimensi. Oleh karena itu, upaya pengendaliannya tidak mungkin hanya dilakukan melalui satu pendekatan saja. Mengingat nilai keberadaan lahan pertanian bersifat multifungsi, maka keputusan untuk melakukan pengendaliannya harus memperhitungkan berbagai aspek yang melekat pada eksistensi lahan itu sendiri. Hal tersebut mengingat lahan yang ada mempunyai nilai yang berbeda, baik ditinjau
regulation; (2) acquisition and management; dan (3) incentive and charge. Uraian singkat dari ketigapendekatan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Regulation. Melalui pendekatan ini pengambil kebijakan perlu menetapkan sejumlah aturan dalam pemanfaatan lahan yang ada. Berdasarkan berbagai pertimbangan teknis, ekonomis, dan sosial, pengambil kebijakan bisa melakukan pewilayahan (zoning) terhadap lahan yang ada serta kemungkinan bagi proses alih fungsi. Selain itu, perlu mekanisme perizinan yang jelas dan transparan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada dalam proses alih fungsi lahan. Dalam tatanan praktisnya, pola ini telah diterapkan pemerintah melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah dan pembentukan Tim Sembilan di tingkat kabupaten dalam proses alih fungsi lahan. Sayangnya, pelaksanaan di lapang belum sepenuhnya konsisten menerapkan aturan yang ada.
2. Acquisition and Management. Melalui pendekatan ini pihak terkait perlu menyempurnakan sistem dan aturan jual beli lahan serta penyempurnaan pola penguasaan lahan (land tenure system) yang ada guna mendukung upaya ke arah mempertahankan keberadaan lahan pertanian.
3. Incentive and Charges. Pemberian subsidi kepada para petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan yang mereka miliki, serta penerapan pajak yang menarik bagi yang mempertahankan keberadaan lahan pertanian, merupakan bentuk pendekatan lain yang disarankan dalam upaya pencegahan alih fungsi lahan pertanian. Selain itu, pengembangan prasarana yang ada lebih diarahkan untuk mendukung pengembangan kegiatan budidaya pertanian berikut usaha ikutannya.6
Mengingat selama ini penerapan perundang-undangan dan peraturan pengendalian alih fungsi lahan kurang berjalan efektif serta berpijak pada acuan pendekatan pengendalian sebagaimana dikemukakan di atas, maka perlu diwujudkan suatu kebijakan alternatif. Kebijakan alternatif tersebut diharapkan mampu memecahkan kebuntuan pengendalian alih fungsi lahan sebelumnya. Adapun komponennya antara lain instrumen hukum dan ekonomi, zonasi, dan inisiatif masyarakat.
Instrumen hukum meliputi penerapan perundang-undangan dan peraturan yang mengatur mekanisme alih fungsi lahan. Sementara itu, instrumen ekonomi mencakup insentif, disinsentif, dan kompensasi. Kebijakan pemberian insentif diberikan kepada pihak-pihak yang
5 M. Daud Silalahi.2014. Hukum Lingkungan dalam system penegakan hokum lingkungan Indonesia. Bandung : PT. Alumni. Hlm 116-119.
mempertahankan lahan dari alih fungsi. Pola pemberian insentif ini antara lain dalam bentuk keringanan pajak bumi dan bangunan (PBB) serta kemudahan sarana produksi pertanian. Sebaliknya, disinsentif diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan alih fungsi lahan yang implementasinya berlawanan dengan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku. Sementara itu, kompensasi ditujukan untuk pihak-pihak yang dirugikan akibat alih fungsi lahan untuk kegiatan pembangunan, atau yang mencegah terjadinya alih fungsi demi kelestarian lahan sebagai sumber produksi pertanian (pangan). Dengan kata lain, penerapan instrumen-instrumen tersebut berkaitan dengan pemberian penghargaan dan sanksi pelanggaran (reward andpunishment).7
III. KESIMPULAN
Dampak alih fungsi lahan pertanian, Seperti : Berkurangnya lahan pertanian, Menurunnya produksi pangan nasional, Mengancam keseimbangan ekosistem, Sarana prasarana pertanian menjadi tidak terpakai, Banyak buruh tani kehilangan pekerjaan, Harga pangan semakin mahal, Tingginya angka urbanisasi.
Kebijakan Pemerintah dalam mengatur alih fungsi hutan ketentuan pidana yang di atur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 UU No. 41 / 1999, merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari.
Pengendalian alih fungsi lahan (wetland), yaitu melalui : (1) regulation; (2)
acquisition and management; dan (3) incentive and charge.
DAFTAR PUSTAKA
Akib, Muhammad. 2014. Hukum Lingkungan Perspektif Global dan Nasional. Jakarta : PT Grafindo Persada.
Burdatun, Baiq. 2016. “Penegakan Hukum Terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Lahan Non-Pertanian Di Kota Mataram”. Jurnal IUS, Vol IV, Nomor 3, Desember:456-469.
Kompas. 2017. Edisi Rabu, 30 Agustus. Nusantara. Hlm 24.
Iqbal, Muhammad dan Sumaryanto. 2007. “Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat”. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni : 167-182.
Silalahi, M. Daud.2014. Hukum Lingkungan dalam system penegakan hokum lingkungan Indonesia. Bandung : PT. Alumni. Hlm 116-119.