Tinjauan Yuridis yang Menyebabkan Negara Republik Indonesia Belum
Memiliki Hukum Nasional yang Terkodifikasi
Oleh : Cahya R. Mahendrani
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Politik hukum berkembang setelah Perang Dunia II. Setelah Perang Dunia II tersebut, banyak negara-negara baru yang lahir. Politik Hukum sendiri menghasilkan produk hukum, salah satunya adalah Undang-undang yang bertujuan tercapainya tujuan negara. Undang-undang yang ada sangatlah beragam. Keberagaman tersebut memunculkan ide untuk membuat kodifikasi (penyatuan) hukum yang dapat berlaku secara menyeluruh di dalam masyarakat.
Pembahasan mengenai kodifikasi di Indonesia tidak akan lepas dari mana kodifikasi itu dimulai dan bisa sampai ke Indonesia. Di Eropa kontinental, Kekaisaran Roma memiliki kebutuhan hukum yang besar untuk mengatur penduduk dan wilayahnya yang luas. Hal tersebut ditandai dengan kompilasi dan kodifikasi risalah-risalah dan komentar-komentar hukum karya para sarjana hukum.1 Usaha melakukan kodifikasi tersebut bertujuan untuk memurnikan kembali nilai-nilai hukum Romawi kuno yang agung, yang dianggap mampu untuk memenuhi berbagai kebutuhan hukum pemerintah dan masyarakat Kekaisaran Roma pada waktu itu.2
Setelah Kekaisaran Roma runtuh, konsep-konsep hukum (khususnya konsep hukum sipil) menjadi bahan yang cukup penting bagi perkembangan
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" """"""""""""""""""""" 1
Abdul Hakim G. Nusantara, 1988, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga Hukum, Jakarta, Hlm. 30.
hukum di beberapa negara Eropa kontinental, seperti Perancis, Italia, dan Jerman.3 Belanda yang ketika itu dijajah Perancis mengikuti peraturan hukum yang dimiliki Perancis. Hal tersebut juga berdampak pada Indonesia yang dijajah oleh Belanda, sehingga peraturan-peraturan yang diterapkan di Indonesia adalah Undang-undang milik Belanda.
Bukti pertama adalah masih berlakunya Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang dikeluarkan sekitar tahun 1800-an,
Burgelijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), Wetboek van
Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), Indische
Comptabiliteitswet (ICW), dan Indische Bedrijfswet (IBW).4
Sebagai negara yang selama kurang lebih 350 tahun dijajah oleh Belanda, Indonesia banyak menerima pengaruh dari Belanda, khususnya di bidang hukum.5 Setelah merdeka selama 69 tahun, sistem hukum yang berlaku di Indonesia juga belum berubah. Ada dua hal yang dapat dijadikan bukti masih adanya pengaruh Belanda di Indonesia. Pertama, masih berlakunya 400 buah peraturan perundang-undangan produk Belanda di Indonesia, dan kedua terdapat berbagai istilah hukum yang masih merupakan terjemahan secara harafiah dari istilah Belanda.6
Seharusnya sebagai bangsa yang telah merdeka selama 69 tahun, Indonesia dapat membuat peraturan perundangan tersendiri yang menjadi hukum nasional Bangsa Indonesia. Hukum nasional tersebut nantinya dapat dijadikan satu, terbukukan (kodifikasi) dan berlaku sama untuk seluruh warga negara. Namun, sepertinya hal tersebut tidak mudah dilakukan.
B. Rumusan Masalah
Sebagai negara yang telah merdeka selama 69 tahun, Indonesia masih belum memiliki hukum nasionalnya sendiri. Politik hukum yang dapat menghasilkan produk hukum, dalam hal ini Undang-undang yang terkodifikasi tidak dapat terlaksana. Makalah ini akan membahas mengenai penyebabnya.
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" """""""""""""""""""""
3"Ibid, Hlm. 31.!
4"Sri Soemantri, 2014, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, PT. Remaja Rosdakarya Offset, Bandung, Hlm. 121."
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan sebuah permasalahan sebagai berikut :
• Mengapa Negara Republik Indonesia belum memiliki hukum nasional yang terkodifikasi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Politik Hukum
Sebelum membahas mengenai kodifikasi, akan dibahas terlebih dahulu mengenai politik hukum yang nantinya akan menghasilkan Undang-undang sebagai produk hukum. Secara etimologis, politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu polis. Polis memiliki arti negara kota. Orang yang mendiami polis disebut
polites dan Poletis berarti warga negara. Politikos berarti kewarganegaraan.7 Politik adalah berbagai macam kegiatan yang terjadi di suatu negara, yang menyangkut proses menentukan tujuan dan bagaimana cara mencapai tujuan itu.8
Istilah Politik hukum berasal dari istilah Belanda rechtspolitiek. Di dalam “Kamus Hukum Belanda-Indonesia”, yang disusun oleh van der Tas, kata politik
yang berasal dari rechtspolitek mengandung arti beleid.9 Beleid mempunyai padanan kata policy (Inggris) yang berarti kebijakan di dalam bahasa Indonesia. Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, kebijakan diartikan sebagai10 :
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" """""""""""""""""""""
7 Ng. Philipus dan Nurul Aini, 2004, Sosiologi dan Politik, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm. 89.
8 Miriam Budiardjo, 1993. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia, Jakarta, Hlm. 8. 9"Sri Soemantri, Op.Cit., Hlm. 122."
“rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dsb)”
Politik hukum adalah legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh suatu negara untuk mencapai tujuan negara dengan pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama.11 Politik hukum harus berpijak pada tujuan negara dan sistem hukum yang berlaku di negara yang bersngkutan. Tujuan dan sistem hukum di Indonesia terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya Pancasila yang melahirkan kaidah-kaidah penuntun hukum.12 Di dalam pengertian tersebut, hukum dikatakan sebagai alat, di dalamnya terletak hakikat supremasi hukum, sebab hukum sebagai ‘alat’ di dalam pengertian itu adalah ‘alat mencapai tujuan negara’, bukan alat rekayasa politik (political engineering).13
Politik hukum adalah bagian dari ilmu hukum yang mengurai atau membahas tentang perbuatan aparat berwenang dalam memilih beberapa alternatif yang sudah tersedia untuk menciptakan produk hukum guna mewujudkan tujuan negara. Berdasarkan definisi politik hukum tersebut, terdapat empat unsur untuk memenuhi syarat politik hukum. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut :
1. Harus ada perbuatan aparat yang berwenang,
2. Harus ada alternatif yang disediakan (dalam bentuk hukum) oleh negara untuk dipilih,
3. Harus ada produk hukum baru yang lahir (menciptakan produk hukum), termasuk produk hukum hasil perubahan,
4. Harus ada tujuan negara yang diwujudkan.
Setiap unsur-unsur tersebut berlindung pada payung hukum sendiri. Perbuatan aparat berwenang memiliki payung hukum administrasi negara. Alternatif yang disediakan oleh negara untuk dipilih memiliki payung hukum
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" """""""""""""""""""""
11 Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, Hlm. 5.
12
Ibid.
kebijakan public (public policy). Produk hukum baru yang lahir masuk ke dalam teknik perundang-undangan (legal drafting). Adanya tujuan negara yang akan diwujudkan masuk ke dalam filsafat hukum yang menjadi landasan filosofisnya.
B. Hukum Nasional
Setiap negara merdeka dan berdaulat harus memiliki hukum nasional di segala bidang hukum.14 Perhimpunan Sarjana Hukum Nasional Indonesia mengajukan permohonan kepada Perdana Menteri RI pada tahun 1956, agar dibentuk suatu Panitia Negara Pembinaan Hukum Nasional. Pada tahun 1958, dibentuklah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional di Jakarta, dengan Keputusan Presiden Nomor 107 tahun 1958. Lembaga tersebut diberi tugas untuk melaksanakan pembinaan hukum nasional dengan tujuan mencapai tata hukum nasional15:
1. Menyiapkan rancangan-rancangan peraturan perundangan : a. untuk meletakkan dasar-dasar tata hukum nasional;
b. untuk menggantikan peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan tata hukum nasional;
c. untuk masalah-masalah yang belum diatur dalam suatu peraturan perundangan.
2. Menyelenggarakan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyusun peraturan perundangan. 16
Setelah mempelajari asas-asas hukum yang hidup di kalangan rakyat Indonesia dan mengadakan rapat dengan orang-orang terkemuka dari berbagai lapisan dan golongan masyarakat, maka lembaga tersebut telah berhasil merumuskan dasar-dasar dan asas-asas tata hukum nasional sebagai berikut :
1. Dasar Pokok Hukum Nasional RI adalah Pancasila 2. Hukum nasional bersifat :
a. Pengayoman; """""""""""""""""""""""""""""""""""""""" """""""""""""""""""""
14 A. Siti Soetami, 2005, Pengantar Tata Hukum Indonesia(Edisi Revisi), Refika Aditama, Bandung, Hlm. 3."
b. Gotong-royong; c. Kekeluargaan; d. Toleransi;
e. Anti kolonialisme, imperialism, dan feodalisme.
Dengan adanya UU No. 10 tahun 2004 pasal 6, materi muatan peraturan perundangan-undangan mengandung asas:
a. Pengayoman; b. Kemanusiaan; c. Kebangsaan; d. Kekeluargaan; e. Kenusantaraan; f. Bhinneka Tunggal Ika; g. Keadilan;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. 3. Semua hukum sebanyak mungkin diberi bentuk tertulis17; 4. Selain hukum tertulis diakui berlaku hukum tidak tertulis.
5. Hakim membimbing perkembangan hukum tak tertulis melalui yurisprudensi kearah keseragaman hukum yang seluas-luasnya dan dalam hukum kekeluargaan kearah sistem parental.
6. Hukum tertulis mengenai bidang-bidang hukum tertentu sedapat mungkin dihimpun dalam bentuk kodifikasi (Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Dagang, Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, Hukum Acara PTUN) 7. Untuk membangun masyarakat sosialis Indonesia diusahakan unifikasi hukum. 8. Dalam perkara pidana :
a. Hakim berwenang sekaligus memutuskan aspek perdatanya baik karena jabatannya maupun atas tuntutan pihak yang berkepentingan
b. Hakim berwewenang mengambil tindakan yang dipandang patut dan adil di samping atau tanpa pidana.
9. Sifat pidana harus memberikan pendidikan kepada terhukum untuk menjadi warga yang bermanfaat bagi masyarakat.
10. Dalam bidang hukum acara perdata diadakan jaminan supaya peradilan berjalan sederhana, cepat, dan murah.
11. Dalam bidang hukum acara pidana diadakan ketentuan-ketentuan yang merupakan jaminan kuat untuk mencegah :
a. Seseorang tanpa dasar hukum yang cukup kuat ditahan atau lebih lama dari yang diperlukan.
b. Penggeledahan, penyitaan, pembukaan surat-surat dilakukan sewenang-wenang.
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional tersebut menyebutkan di dalam rumusan dasar-dasar dan asas-asas tata hukum nasional agar semua hukum sebanyak mungkin diberi bentuk tertulis dan hukum tertulis mengenai bidang-bidang hukum tertentu sedapat mungkin dihimpun dalam bentuk kodifikasi.
C. Kodifikasi
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak dijumpai satu pasalpun yang menyebutkan masalah politik hukum negara Indonesia secara tersurat. Namun, secara tersirat dapat dijumpai pada Undang-Undang Dasar 1950 yang memuat politik hukum negara Indonesia, pada pasal 102 yang berbunyi sebagai berikut18 :
“Hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun hukum
pidana militer, hukum acara perdata dan hukum acara pidana, susunan dan
kekuasaan pengadilan, diatur dengan undang-undang dalam kitab-kitab hukum,
kecuali jika pengundang-undang menganggap perlu untuk mengatur beberapa hal
dalam undang-undang tersendiri”
Apabila dilihat dari pasal 102 UUD 1950 tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa ketika itu negara Indonesia menghendaki dikodifikasikannya lapangan-lapangan hukum tersebut. Pasal tersebut dikenal dengan sebutan Pasal
Kodifikasi.19 Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya UUD 1950, maka Pasal 102 juga menjadi tidak berlaku.20 Hal ini berlangsung hingga tahun 1970-an, pada tahun 1973 dengan terbentuknya MPR hasil pemilu, lembaga tersebut berhasil menetapkan Tap MPR nomor IV/MPR/73 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Di dalam GBHN tersebut secara resmi dan tegas digariskan tentang Politik Hukum Pemerintah Republik Indonesia.21
D. Faktor-faktor penyebab Negara Republik Indonesia Belum Memiliki
Hukum Nasional yang Terkodifikasi
Adat yang berlaku di masyarakat, pada umumnya tidak tertulis, tidak ada kodifikasi, dan tidak merupakan satu kesatuan hukum yang berlaku bagi seluruh bangsa.22 Di sebagian wilayah Indonesia, masing-masing golongan di daerah masih sangat mematuhi peraturan dan ketentuan adat tertentu.23 Ketentuan-ketentuan adat tersebut sudah dipatuhi sejak zaman bahari dan sulit untuk menggantinya dengan yang lain karena telah mengakar di dalam masyarakat yang meyakininya. Berlakunya aturan-aturan baru, tidak membuat masyarakat tersebut meninggalkan aturan aturan adat mereka.24
Pada masa Hindia Belanda, terdapat hukum yang beraneka macam, hukum-hukum tersebut memiliki keterkaitan dengan penggolongan penduduk, pembagian daerah, perbedaan agama, dan perbedaan adat istiadat.25 Berdasarkan dengan penggolongan penduduk, golongan orang-orang Eropa berlaku hukum tertulis, hukum milik Belanda yang telah terkodifikasi.26 Hukum yang berlaku bagi golongan Bumiputera dan Timur Asing adalah ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat mereka, berkaitan dengan agama/kepercayaan """""""""""""""""""""""""""""""""""""""" """""""""""""""""""""
yang mereka anut, dan kebiasaan mereka.27 Ketika terjadi permasalahan dan sampai ke pengadilan, maka putusan-putusan peradilan menjadi sangat penting dalam masyarakat yang belum mempunyai hukum tertulis dan hukum nasional yang satu.28
Ahli-ahli hukum yang mempelajari hukum dan dan hakim-hakim yang bertugas menegakkan hukum menghadapi kesulitan-kesulitan. Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain, betapa beragamnya hukum yang berlaku di masa itu. Kesulitan-kesulitan tersebut merupakan akibat dari adanya pembagian daerah yang tiap-tiap daerah berstatus hukum atas dasar hukum masing-masing yang berlaku di daerah tersebut.29 Daerah yang dimaksud adalah daerah-daerah yang berada di bawah pemerintahan Hindia-Belanda. Daerah lainnya adalah daerah-daerah yang berada di bawah kepemimpinan raja atau sultan. Pemimpin pemerintahan seperti raja atau sultan melaksanakan pemerintahan atas dasar perjanjian dengan Belanda.30
Keputusan pengadilan (yurisprudensi) tidak mempunyai daya hukum mutlak, yurisprudensi tersebut akan memiliki daya hukum mutlak apabila tertuang dalam perundang-undangan.31 Hakim berhak menciptakan hukum yang baru melalui keputusan-keputusan yang didasarkan pada norma-norma hukum atau itikad baik, keadilan, dan maksud.32 Hukum yang tertuang dalam perundang-undangan merupakan langkah untuk kodifikasi hukum.
Pemerintahan kolonial Hindia-Belanda membuat peraturan-peraturan dan menjadikannya hukum tertulis (kodifikasi) dan menyatukannya dalam kumpulan peraturan-peraturan. Namun, kumpulan peraturan-peraturan tersebut tidak bertujuan untuk diterapkan secara menyeluruh kepada penduduk Indonesia. Belanda paham tentang keberagaman yang ada di Indonesia dan dengan politik
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" """"""""""""""""""""" 27Ibid.
28Ibid, Hlm. 21. 29Ibid, Hlm. 38. 30
Ibid.
divide et empera Belanda tidak mungkin memberlakukan aturan yang sama di seluruh wilayah Indonesia. Hal itu disebabkan Indonesia terdiri dari beberapa golongan masyarakat yang memiliki adat istiadat yang berbeda. Peraturan-peraturan bentukan Belanda mencakup hanya bagian-bagian dari bangsa kita, golongan-golongan yang dianggap sebagai suku-suku bangsa yang mempunyai suatu kesatuan adat.33
Agama memegang peranan penting dalam perkembangan adat istiadat bangsa Indonesia. Agama memiliki ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh umatnya. Hal ini terdapat dalam Wet op de Indische Staarsregeling Pasal 131 ayat (2)b yang menyebutkan adat itu dengan sebutan “ketentuan-ketentuan hukum yang bertautan dengan agama dan kebiasaan”.34
Dalam menghadapi keseragaman hukum, tugas untuk menyatukan hukum menjadi hukum nasional yang satu dan berlaku bagi seluruh masyarakat tanpa kecuali merupakan hal yang tidak mudah.35 Ketentuan hukum dapat diterima masyarakat apabila ada penyesuaian dan harmoni di antara hukum yang tercipta dengan rasa keadilan.
Meng-kodifikasi dan meng-unifikasi norma-norma hukum adat yang masih ditaati oleh bangsa kita adalah suatu hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Dapat dikatakan bahwa, sebagian besar hukum adat tidak mungkin dapat di-unifikasi.36 Hukum adat adalah norma-norma adat yang berbeda prinsip antara satu dengan yang lain. Menciptakan suatu hukum kekeluargaan yang dapat berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia adalah hal yang tidak mungkin dilakukan.37 Akan semakin tidak mungkin dilakukan, bilamana masing-masing golongan masih berpegang teguh pada hukum adat mereka.38
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" """"""""""""""""""""" 33Ibid, Hlm. 49.
34Ibid, Hlm. 54 35Ibid, Hlm. 58 36
Ibid, Hlm. 49.
Perubahan dan pembaharuan hukum dalam bentuk pembinaan hukum nasional dengan mengusahakan kodifikasi dan unifikasi hukum pada hakekatnya terkandung dalam Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal Ini Menetapkan bahwa, “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.39
Pasal tersebut mengandung pengertian bahwa pada dasarnya, segala peraturan hukum yang berlaku di masa Hindia Belanda, akan diganti dengan yang baru, yang bersifat nasional, yang lebih sesuai dengan rasa keadilan bangsa kita yang telah merdeka.40 Harapannya pada masa kini, setelah Indonesia merdeka, proses pembuatan aturan-aturan tersebut dapat berjalan dengan baik dan dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli di bidangnya dan tidak melupakan bahwa dalam menyusun Undang-undang perlu memperhatikan beberapa hal.
Politik hukum yang menghasilkan undang-undang sebagai produk hukum seharusnya dapat membuat kodifikasi hukum yang baik dan efektif. Salah satunya harus sesuai dengan tujuan negara dan Pancasila. Pancasila sendiri termasuk ke dalam salah satu dari lima azas yang digunakan sebagai acuan dalam rangka melahirkan peraturan, azas-azas tersebut antara lain :
1. Azas falsafah Pancasila 2. Azas Negara Hukum
3. Azas Demokrasi (Kerakyatan)
4. Azas Kepentingan Umum (Public Interest) 5. Azas Hirarki Kemajemukan (Pluralistis)
Keberagaman yang dimiliki bangsa ini cukup membuat sulit tercapainya sebuah undang-undang yang dapat berlaku rata untuk semua warga Indonesia. Namun, seharusnya dengan Pancasila hal tersebut bukan lagi menjadi hal yang mustahil. Pancasila adalah sumber dari segala hukum, sudah seharusnya ayat-ayat di dalam pasal-pasal mencerminkan Pancasila. Produk hukum saat ini banyak yang tidak mengandung nilai Pancasila, hal itu lah yang membuat tujuan negara """""""""""""""""""""""""""""""""""""""" """""""""""""""""""""
tidak tercapai. Seringkali saat ini, produk hukum yang ada tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Untuk mewujudkan hukum nasional Indonesia yang terkodifikasi (terbukukan) bukanlah perkara yang mudah. Penjajahan Belanda membawa pengaruh besar pada Indonesia, pembagian-pembagian wilayah yang dilakukan Belanda membuat penduduk di masing-masing daerah itu tunduk pada aturannya sendiri-sendiri. Pembagian masyarakat dalam beberapa golongan juga membuat orang-orang di dalamnya tunduk pada aturan masing-masing golongan. Perbedaan penggolongan tersebut melahirkan aturan-aturan yang sanksinya juga berbeda antara satu golongan dengan golongan yang lainnya. Hal-hal seperti itulah yang menjadi alasan betapa sulitnya membuat kodifikasi di dalam hukum Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Amin, Sutan Muhammad, 1978, Kodifikasi dan Unifikasi Hukum Nasional, PT. Sastra Hudaya, Jakarta.
Budiardjo, Miriam, 1993, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia, Jakarta.
Mahfud MD, Moh., 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers,Jakarta.
Mahfud MD, Moh., 2011, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta.
Nusantara, Abdul Hakim G., 1988, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga Hukum, Jakarta.
Philipus, Ng. dan Nurul Aini, 2004, Sosiologi dan Politik, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soemantri, Sri, 2014, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, PT. Remaja Rosdakarya Offset, Bandung.
Soetami, A. Siti, 2005, Pengantar Tata Hukum Indonesia(Edisi Revisi), Refika Aditama, Bandung.