TUGAS MATA KULIAH
SENI DAN PASAR II
FENOMENA BOOM SENI RUPA 2006
Oleh:
GANJAR GUMILAR
27014011
(Program Studi Seni Rupa dan Desain)
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
FENOMENA BOOM SENI RUPA 2006
Makalah ini akan menyoroti salah satu dampak boom seni rupa terhadap praktik seni rupa di Indoensia yang disebut Sanento Yuliman (dalam Hasan 2001) sebagai
dampak ‘pemiskinan’ pada tulisan yang berjudul Boom! Kemana Seni Lukis Kita?.
Selain dampak ini, Yuliman juga mengelanorasi dampak lain seperti pendusunan,
pemingitan, dan pemusatan. Secara ringkas ‘pemiskinan’ yang dimaksud oleh
Yuliman adalah berkurangnya ragam karya seni yang muncul pada masa boom
seni rupa 1987 karena didorong oleh keberpihakan pasar pada lukisan dan subject matter lukisan yang indah secara visual. Untuk melebarkan pembahasan, makalah ini kemudian akan mengaitkan pembahasan Yuliman dengan pembacaan Djuli
Djatiprambudi dalam disertasinya yang berjudul Komodifikasi Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Basis Sosial-Historis, Struktur, dan Implikasinya (2009) terutama pada satu bab khusus yang berjudul Struktur Komodifikasi Seni Rupa.
Makalah ini melihat bahwa terdapat kesinambungan antara gagasan tentang
‘pemiskinan’ seni lukis Yuliman dengan penggambaran struktur komodifikasi seni
rupa Indonesia Djatiprambudi. Djatiprambudi (2009) dalam uraiannya membahas
secara kronologis perkembangan dan perubahan keberpihakan pasar pada
karya-karya dengan kriteria tertentu. Pada bagian akhir, makalah ini kemudian akan
berupaya untuk mengasumsikan posisi idiom-idiom karya seni rupa kontemporer
Bandung yang muncul pada dekade 2000an dan cenderung berbeda dari karakter
seni rupa Bandung sebelumnya terhadap uraian-uraian mengenai komodifikasi
seni rupa tersebut.
Pengantar
Salah satu figur yang mulai memperkenalkan istilah boom seni rupa sebagai momentum yang ditandakan dengan meningkatnya intensitas perdagangan karya
seni adalah Sanento Yuliman. Dalam artikel yang disinggung pada paragraf
dagang terutama ketika kekayaan cepat didapat.” (Yuliman, dalam Hasan, 2001). Ia juga menambahkan bahwa istilah boom yang Ia gunakan untuk tidak dipertukarkan dengan suara boom yang memekakkan telinga dan berasal dari ledakan senjata. Dalam tulisan nya tersebut Yuliman cenderung menyebutkan
boom seni lukis. Pemilihan ini dapat dipahami berkaitan dengan jenis medium yang pada saat tersebut cenderung lebih cair dalam jual beli karya. Pada
perkembangannya, istilah boom seni lukis berkembang menjadi boom seni rupa
menimbang pasar yang mulai menyerap karya-karya selain lukisan. Meskipun
demikian, lukisan sampai saat ini tetap menjadi medium utama yang mendapatkan
apresiasi pasar yang baik.
Fenomena boom seni rupa di Indonesia telah terjadi beberapa kali. Boom pertama
seringkali dinyatakan terjadi pada akhir dekade 1980an dan boom terakhir pada
pertengahan dekade 2000an. Puncak momentum boom pada tiap dekade tersebut
cenderung masih didasarkan pada pengamatan lapangan sejumlah peneliti dan
belum dibasiskan pada referensi yang lebih konkrit dan tangible, misalnya pada intensitas frekuensi dan transaksi yang terjadi di balai lelang. Namun terlepas dari
hal ini, berdasarkan beberapa sumber yang terkait, puncak boom pada tahun
1980-an terjadi pada tahun 1987 (Djariprambudi, 2009) atau 1989 (Yulim1980-an, dalam
Desmiati, 2012). Pada dekade selanjutnya, Djatiprambudi melihat bahwa puncak
boom terjadi pada tahun ke-7 tiap dekadenya, yakni pada 1997 dan 2007. Makalah
ini sendiri menetapkan boom seni rupa pada dekade 2000an terjadi pada tahun
2006. Terlepas dari pernyataan kedua figur ini, momentum puncak boom seni rupa
di Indonesia masih menjadi salah satu peluang kajian lanjutan.
Boom Seni Rupa 1987 dan 1997
Menurut catatan Yuliman, salah satu faktor signifikan yang mendorong terjadinya
fenomena boom seni rupa pada dekade 1980an adalah pertumbuhan ekonomi
nasional. Pertumbuhan ekonomi tersebut mendorong kemunculan kelas-kelas
untuk lukisan. Yuliman menjelaskan bahwa terbentuknya demand atau permintaan terhadap karya lukis juga mendorong terbentuknya infrastruktur seni rupa
terutama galeri seni. Terbentuknya wacana investasi dalam lukisan pun disebutkan
sebagai salah satu faktor yang mendorong fenomena tersebut.
Pada penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa salah satu faktor dominan yang
mendorong terjadinya fenomena boom adalah situasi ekonomi nasional. Aspek ini
berkaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan dinamika sosial dan
politik bangsa. Dengan meninjau pada ideologi politik nasional pada saat
terjadinya fenomena boom, boom seni dekade 1980an dipengaruhi acuan ideologi
Orde Baru yang dicirikan dengan stabilitas ekonominya serta terbukanya
kesempatan bagi para partikelir untuk mengembangkan usaha. Keterbukaan ini
pun pada gilirannya juga mempengaruhi terdorongnya wacana mengenai investasi
karya seni dan kemunculan galeri-galeri komersil. Perbedaan ini menurut
Hujatnika (2012) juga tercermin pada pihak yang menyokong pusat patronase seni
pada Orde Baru pada partikelir. Hujatnika juga menyatakan bahwa sebelumnya
patronase seni rupa pada masa Orde Baru cenderung lebih terpusat kepada
pemerintah, dalam catatannya; “[…] dukungan pada praktik (produksi) seni rupa sepanjang kepemerintahannya (Soekarno) (1945-1966) dilangsungkan melalui k e b i j a k a n t e r p u s a t , m e l a l u i p a r t a i p o l i t i k , a t a u b a d a n - b a d a n pemerintah” (Hujatnika, 2012). Melalui pernyataan ini, dapat diasumsikan bahwa pada pemerintahan Orde Baru, ideologi politik, strategi penyelenggaraan budaya,
serta situasi ekonomi dinilai tidak sesuai sebagai basis fenomena boom.
Kembali meninjau gejala ‘pemiskinan’ seni lukis sebagai dampak yang
disinggung pada awal makalah ini, Yuliman mengevaluasi gejala tersebut melalui
komparasi keragaman gaya lukisan yang muncul pada dekade-dekade
sebelumnya. Pada situasi boom seni rupa 1980an, tema lukisan yang muncul
riang” (Yuliman dalam Hasan, 2001). Beberapa kata kunci yang disebutkan merepresentasikan hal ini dapat dilihat sebagai rukisan-rukisan romantik dan mooi indie. Lebih jauh dalam paparannya, lukisan dengan gaya realisme sosial dan nasionalisme yang menunjukkan gejolak semangat kemerdekaan disebutkan
‘menyingkir’. Selain pada konteks tema, ‘pemiskinan’ yang dimaksud Yuliman
juga terjadi dalam konteks medium. Istilah lukisan cukup intensif dituliskan
dalam artikel tersebut. Selain berkurangnya kecenderungan tema dan gaya karya
seni, makalah ini juga meninjau bahwa ekplorasi medium pada Gerakan Seni
Rupa Baru pada dekade 1970an tidak bisa diserap pasar, hal ini terlihat dalam
pernyataan Yuliman: “[…] media campur […] yang banyak kelihatan dalam dasawarsa 70-an, amat langka sekarang. Jangankan lagi karya seni lukis yang membebaskan diri dari bidang dwimatra dan bingkai. […] Bermacam penjelajahan […] itu, terlalu cepat menghilang” (ibid).
Gambar 1: Le Mayeur de Merpes, Merajut (tahun tidak diketahui) Sumber: Koleksi Martha Gunawan
Yuliman secara eksplisit menyatakan bahwa dirinya tidak bermaksud untuk
menjustifikasi kualitas karya-karya yang sesuai dengan permintaan pasar dengan
serta merta menunjukkan kualitas yang buruk. Pernyataan Yuliman ini ditinjau
muncul karena berkurangnya kecenderungan karya dikhawatirkan akan
‘memiskinkan’ pengalaman estetik publik seni dan publik umum. Hal ini juga
pencatatan sejarah pada tahun-tahun tersebut. Kekhawatiran ini juga dapat dilihat
dalam elaborasi Yuliman mengenai dampak ‘pemingitan’ yang disebabkan oleh
boom. Dampak ini disebutkan membatasi akses publik untuk dapat mengapresiasi
karya seni sebagai sumber pengetahuan dan representasi sejarah. Ketiadaan acuan
ini dibahas oleh Yuliman dalam dua bagian khusus berjudul Tanpa Acuan dan
Tuna Pola dan Tuna Acuan. Pada bagian pertama Yuliman mempertanyakan ada atau tidaknya referensi sejarah yang mapan untuk menentukan nilai kultural
sebuah karya dan diharapkan dapat diaplikasikan pada penentuan harga,
sedangkan pada bagian kedua Yuliman lebih menekankan karakter komersialisasi
karya seni yang terlalu berorientasi pada profit dapat memberikan dampak buruk
pada medan seni rupa.
Pernyataan yang berkesinambungan dengan elaborasi Yuliman mengenai kriteria
karya yang cukup cair diserap pasar adalah pembacaan Djatiprambudi (2009).
Dalam pembacaan Yuliman, pada boom 1987 karya dengan gaya romantisme
banyak muncul sementara karya-karya yang menyampaikan isu realisme sosial
dan nasionalisme cendeurng terpinggirkan. Hal ini berbeda dengan analisis
Djatiprambudi. Selain karya-karya romantik, menurut Djatiprambudi karya-karya
dengan tema lain seperti perjuangan, kerakyatan, dan keindahan panorama
Indonesia (Mooi Indie, romantik) juga dengan cukup intensif diserap pasar.
Kecenderungan pengoleksian karya seni yang terjadi pada boom 1987 menurut
keterangan Djatiprambudi adalah sebagai berikut: 60% karya seni modern
Indonesia, 30% karya seni kolonial, dan 10%-nya karya seni kontemporer. Karya
seni modern yang diserap pada boom dekade 1980an adalah karya-karya maestro
Indonesia dengan tema nasionalisme, perjuanganm dan realisme sosial, seperti
karya dari S. Sudjojono, Affandi, Hendra Gunawan, Basuki Abdullah, Dullah, dan
Widayat. Sementara dengan karya-karya kolonial, Djatiprambudi bermaksud
untuk merujuk pada karya-karya mooi Indie dari para seniman ekspatriat seperti Rodolf Boonet, Willem , Doiijeward, Walter Spies, Arie Smit, Adrien Jean Le
Mayeur de Merpes, dan Willem Hofker. Dari catatan Yuliman, daftar diatas dapat
ditambahkan dengan: Jeihan, Lee Man Fong, Trubus, dan Dezentije.
Gambar 3: Hendra Gunawan, Picking Lice (tahun tidak disebutkan) Sumber: Koleksi Martha Gunawan
Dalam menganalisa perkembangan intensitas kecenderungan karya yang diserap
pasar pada tiap dekade (dalam persen), Djatiprambudi menyajikan perkembangan
tersebut melalui grafik dibawah ini. Djariprambudi hanya menyebutkan bahwa
grafik tersebut dikembangkan dari kuantitas karya yang terserap dalam berbagai
buku lelang yang terbit pada tahun 1987-2007. Pada grafik tersebut tidak terdapat
keterangan yang lebih spesifik mengenai gaya karya seni, nama institusi balai
Bagan 1: Grafik kecenderungan karya yang diserap pasar pada boom seni rupa Sumber: Djatiprambudi (2009)
Pada boom seni rupa ke dua yang terjadi pada dekade 1990an, Djatiprambudi
menyatakan bahwa terjadi beberapa kali pergantian gaya lukisan yang diminati
pasar. Pada awal boom ke dua terjadi, minat pada karya-karya maestro seni rupa
Indonesia disebutkan menurun dan karya-karya seniman akademisi yakni ITB dan
ISI, seniman-seniman ini antara lain: Ahmad Sadali, Popo Iskandar, Sunaryo,
Srihadi Soedarsono, Sunaryo, Nyoman Gunarsa, Made Wianta dan lain-lain.
Dalam paparannya, latar belakang akademis seniman-seniman tersebut dianggap
memiliki nilai kultural dan simboblik yang baik karena dibentuk dari basis
intelektual yang kuat.
Gambar 4: Sirhadi Soedarsono, Borobudur Prosperity of Soul (2010) Sumber: Koleksi Martha Gunawan
0 15 30 45 60
1987 1997 2003 2007
Pergeseran kecenderungan karya disebutkan kembali terjadi pada pertengahan
dekade 1990an. Djatiprambudi menyatakan bahwa karya dengan kecenderungan
surealistik mendapatkan apresiasi pasar yang baik. Karya dari sejumlah nama
seperti Wardoyo Sugianto, Ivan Sagito, I Gusti Nengah Nurata, Koeboe Sarawan
Effendi, Sudarisman, Agus Kamal, Lucia Hartini, dan Hening Purnamawati
muncul sebagai pelukis surealitsik Jogja. Sanento Yuliman secara khusus
membahas kecenderungan ini dalam tulisan Surealisme Jogja. Dalam pembacaan Yuliman, nama-nama yang muncul dalam penjelasan Djatiprambudi Ia
kelompokkan kedalam surealisme non dekoratif, sebagai tambahan, nama-nama
seniman yang Yuliman golongkan dalam kelompok dekoratif antara lain: Boyke
Aditya, Agus Burhan, Alexandri Luthfi, Heri Dono, dan Slamet Riyadi. Satu hal
yang dapat dicatat, Heri Dono pada tulisan tersebut digolongkan dalam kelompok
surealisme dekoratif Jogja. Pada perkembangannya, pratik kesenimanan Heri
Dono berkembang hingga akhirnya ditasibihkan menjadi salah satu ikon seni rupa
kontemporer Indonesia.
Gambar 5: Heri Dono, Komedi Mafia Peradilan (2008) Sumber: Koleksi Martha Gunawan
Masih dalam momentum boom pada dekade 1990an, Djatiprambudi menyatakan
bahwa apresiasi pasar pada kecenderungan Surealisme Jogja menurun pada akhir
dekade 1990an dan gaya ‘figuratif ekspresionistik’ dan ‘abstrak ekspresionistik’
antara lain: Made Sumadiasa, Putu Sutawijaya, Nyoman Sukari, Made Sukadana,
Made Budiana, Made Toris Mahendra, dan Pande Taman. Gaya ini disebutkan
Djatiprambudi sebagai peletak dasar dari seni rupa kontemporer Bali.
Gambar 6: I Made Sukadana, Barong dan Naga (2000) Sumber: Koleksi Martha Gunawan
Di samping gaya ini, Djatiprambudi juga menyebutkan kemunculan gaya ‘abstrak
ekrpesionistik’ sebagai kecenderungan gaya lain yang juga mendapatkan apresiasi
pasar yang baik. Karya-karya Entang Wiharso dan Nasirun pada dekade 1990an
disebutkan memperlihatkan kecenderungan ini.
Pergeseran apresiasiapasar pada kecnederungan gaya seni yang spesifik yang
Djatiprambudi singgung kembali terjadi pade dekade 2000an. Pada boom ketiga
ini, Ia melihat keterkaitan antara boom seni rupa kontemporer China dengan boom
seni rupa kotemporer Indonesia meskipun tidak dijelaskan secara spesifik.
Djatiprambudi hal ini direpresentasikan dalam kemunculan Japan Foundation
yang memprakarsai beberapa pameran-pameran seni berskala besar.
Berkesinambungan dengan kaitan antara boom seni rupa Indonesia dengan seni
rupa kontemporer global, Supangkat (1999, dalam Hujatnika 2012) menduga
bahwa hal ini juga berkaitan dengan munculnya kategori Indonesian Masters pada pada balai lelang Christie’s dan Sotheby’s. Dalam periode ini, Djatiprambudi
menyebutkan bahwa dampak dari boom seni rupa kontemporer China mendorong
kemunculan karya dengan kecenderungan visual ‘minimalistik’ yang tercermin
dalam karya-karya kelompok Jendela, seniman yang disebutkan mendapatkan
apresiasi pasar yang baik antara lain: Jumaldi Alfi, Rudy Mantofani, Handiwirman
Saputra, Yunizar, dan Yusra Martunus.
Gambar 8: Handiwirman Saputra, No More Light (tahun tidak disebutkan) Sumber: Koleksi Martha Gunawan
Seni Rupa Kontemporer Bandung dekade 2000an
Pada bagian akhir dari makalah ini penulis akan menyoroti salah satu fenomena
lain yang ditinjau mendapatkan pengaruh dari kecenderungan pergeseran apresiasi
pasar terhadap karya dengan gaya tertentu, yakni mengenai kecenderungan seni
pada skripsi yang berjudul Kajian Pendekatan Kuratorial terhadap Pameran dengan Label Bandung periode 2000-2012 (2013).
Dalam penejelasan sebelumnya, dapat dipahami bahwa salah satu momentum
apresiasi pasar yang cukup baik pada karya-karya seniman Bandung terjadi pada
periode 1990an atau boom seni rupa kedua. Pada mometum ini, karya dengan
kecenderungan abstrak formalis-lah yang diserap pasar. Dan dengan menelisik
nama-nama yang muncul, seniman-seniman Bandung yang diserap tersebut
cenderung seniman senior seperti: Ahmad Sadali, Srihadi Soedarsono, Sunaryo,
dan A.D. Pirous. Dalam medan seni rupa Bandung pade periode 1990an sudah
muncul wacana tentang tidak diapresiasinya karya seniman muda Bandung oleh
pasar. Dalam catatan Siregar (2004), dalam pembukaan sebuah pameran
kelompok seniman muda pada periode 1990an, muncul pernyataan yang laku
hanya karya-karya seniman senior, dan mempertanyakan ‘kapan giliran yang
muda?’. Kecenderungan ini berlangsung pada dekade 1990-an hingga awal
dekade 2000an.
Grafik 2: Grafik intensitas pamran dengan label Bandung dekade 1950 - 2000 Sumber: Gumilar (2013)
Pada pertengahan dekade 2000an, terdapat sebuah fenomena meningkatnya
Fenomena ini merupakan bentuk dari strategi para pelaku seni rupa Bandung
untuk kembali menempatkan dan menentukan posisi dan signifikansi praktik seni
rupa Bandung dan dalam medan seni rupa kontemporer Indoensia (Andonowati,
dalam Gumilar, 2013; Kusmara, dalam Gumilar 2013; dan Siregar, 2005). Dengan
melacak dari kemunculan pameran-pameran seni rupa Bandung dekade 2000an,
dapat dinyatakan bahwa momentum puncak boom terjadi pada pertengahan
dekade. Melalui grafik dibawah ini, kecenderungan ini dapat terlihat, intenstias
penyelenggaraan pameran mulai meningkat pada pertengahan dekade dan
menurun pada akhir dekade.
Grafik 3: Grafik intensitas pamran dengan label Bandung pada thaun 2000 - 2012 Sumber: Gumilar (2013)
Kembali pada interpretasi mengenai gaya yang dibentuk pada makalah ini,
sebagai salah satu upaya untuk mengetengahkan seni rupa kontemporer Bandung
dalam medan, seni rupa Bandung dibaca dan didorong untuk memperlihatkan
karakter yang spesifik dan khas serta berbeda dengan seni rupa Bandung
terdahulu. Dalam retorika kuratorial pameran-pameran ini seni rupa kontemporer
Bandung dibaca melalui perspektif estetika postmodern. Konsep-konsep seperti
disebutkan dalam kuratorial pameran-pameran tersebut. Kecenderungan
penyelenggaraan pameran, retorika kuratorial, serta karya-karya yang dipamerkan
dalam pameran tersebut dapat dilihat sebagai fragmen-fragmen yang
dikonfigurasikan untuk membentuk wacana kebaruan seni rupa Bandung.
Meskipun masih perlu dibuktikan lebih jauh, makalah ini berasumsi bahwa
wacana seni rupa kontemporer Bandung yang dibentuk melalui pameran oleh para
pelakunya juga berfungsi sebagai strategi dan jalan masuk seni rupa kontemporer
Bandung ke dalam pasar seni rupa kontemporer indonesia.
Gambar 9: J. A. Pramuhendra, Stuck in Reverse (2007) Sumber: Katalog Petisi Bandung II
Sumber: Katalog Bandung New Emergence I Daftar Pustaka
Pustaka Ilmiah
Desmiati, Annisa Rahadi (2012): Kajian Sejarah Sosial Seni Rupa di Bandung periode 1970-1998 Melalui Representasi Visual Karya-karya Srihadi Soedarosno, Nyoman Nuarta, dan Tisna Sanjaya. tesis Program Studi Magister Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung
Djatiprambudi, Djuli (2009): Komodifikasi Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Basis Sosial-Historis, Struktur dan Implikasinya, disertasi Program Studi Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung
Gumilar, Ganjar (2013): Kajian Pendekatan Kuratorial terhadap Pameran dengan Label Bandung periode 2000-2012 skripsi Program Studi Magister Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung
Hujatnika, Agung (2012): Praktik Kekuratoran dan Relasi Kuasa dalam Medan Seni Rupa Kontemporer Indonesia, disertasi Program Studi Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung
Pustaka
Hasan, Asikin (2001): Dua Seni Rupa: Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman,
Yayasan Kalam, Jakarta
Katalog Pameran
Katalog Bandung New Emergence I, Selasar Sunaryo Artspace, Bandung, 2006