• Tidak ada hasil yang ditemukan

Boom Seni Rupa Indonesia 2006 Paparan Si

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Boom Seni Rupa Indonesia 2006 Paparan Si"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS MATA KULIAH

SENI DAN PASAR II

FENOMENA BOOM SENI RUPA 2006

Oleh:

GANJAR GUMILAR

27014011

(Program Studi Seni Rupa dan Desain)

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

(2)

FENOMENA BOOM SENI RUPA 2006

Makalah ini akan menyoroti salah satu dampak boom seni rupa terhadap praktik seni rupa di Indoensia yang disebut Sanento Yuliman (dalam Hasan 2001) sebagai

dampak ‘pemiskinan’ pada tulisan yang berjudul Boom! Kemana Seni Lukis Kita?.

Selain dampak ini, Yuliman juga mengelanorasi dampak lain seperti pendusunan,

pemingitan, dan pemusatan. Secara ringkas ‘pemiskinan’ yang dimaksud oleh

Yuliman adalah berkurangnya ragam karya seni yang muncul pada masa boom

seni rupa 1987 karena didorong oleh keberpihakan pasar pada lukisan dan subject matter lukisan yang indah secara visual. Untuk melebarkan pembahasan, makalah ini kemudian akan mengaitkan pembahasan Yuliman dengan pembacaan Djuli

Djatiprambudi dalam disertasinya yang berjudul Komodifikasi Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Basis Sosial-Historis, Struktur, dan Implikasinya (2009) terutama pada satu bab khusus yang berjudul Struktur Komodifikasi Seni Rupa.

Makalah ini melihat bahwa terdapat kesinambungan antara gagasan tentang

‘pemiskinan’ seni lukis Yuliman dengan penggambaran struktur komodifikasi seni

rupa Indonesia Djatiprambudi. Djatiprambudi (2009) dalam uraiannya membahas

secara kronologis perkembangan dan perubahan keberpihakan pasar pada

karya-karya dengan kriteria tertentu. Pada bagian akhir, makalah ini kemudian akan

berupaya untuk mengasumsikan posisi idiom-idiom karya seni rupa kontemporer

Bandung yang muncul pada dekade 2000an dan cenderung berbeda dari karakter

seni rupa Bandung sebelumnya terhadap uraian-uraian mengenai komodifikasi

seni rupa tersebut.

Pengantar

Salah satu figur yang mulai memperkenalkan istilah boom seni rupa sebagai momentum yang ditandakan dengan meningkatnya intensitas perdagangan karya

seni adalah Sanento Yuliman. Dalam artikel yang disinggung pada paragraf

(3)

dagang terutama ketika kekayaan cepat didapat.” (Yuliman, dalam Hasan, 2001). Ia juga menambahkan bahwa istilah boom yang Ia gunakan untuk tidak dipertukarkan dengan suara boom yang memekakkan telinga dan berasal dari ledakan senjata. Dalam tulisan nya tersebut Yuliman cenderung menyebutkan

boom seni lukis. Pemilihan ini dapat dipahami berkaitan dengan jenis medium yang pada saat tersebut cenderung lebih cair dalam jual beli karya. Pada

perkembangannya, istilah boom seni lukis berkembang menjadi boom seni rupa

menimbang pasar yang mulai menyerap karya-karya selain lukisan. Meskipun

demikian, lukisan sampai saat ini tetap menjadi medium utama yang mendapatkan

apresiasi pasar yang baik.

Fenomena boom seni rupa di Indonesia telah terjadi beberapa kali. Boom pertama

seringkali dinyatakan terjadi pada akhir dekade 1980an dan boom terakhir pada

pertengahan dekade 2000an. Puncak momentum boom pada tiap dekade tersebut

cenderung masih didasarkan pada pengamatan lapangan sejumlah peneliti dan

belum dibasiskan pada referensi yang lebih konkrit dan tangible, misalnya pada intensitas frekuensi dan transaksi yang terjadi di balai lelang. Namun terlepas dari

hal ini, berdasarkan beberapa sumber yang terkait, puncak boom pada tahun

1980-an terjadi pada tahun 1987 (Djariprambudi, 2009) atau 1989 (Yulim1980-an, dalam

Desmiati, 2012). Pada dekade selanjutnya, Djatiprambudi melihat bahwa puncak

boom terjadi pada tahun ke-7 tiap dekadenya, yakni pada 1997 dan 2007. Makalah

ini sendiri menetapkan boom seni rupa pada dekade 2000an terjadi pada tahun

2006. Terlepas dari pernyataan kedua figur ini, momentum puncak boom seni rupa

di Indonesia masih menjadi salah satu peluang kajian lanjutan.

Boom Seni Rupa 1987 dan 1997

Menurut catatan Yuliman, salah satu faktor signifikan yang mendorong terjadinya

fenomena boom seni rupa pada dekade 1980an adalah pertumbuhan ekonomi

nasional. Pertumbuhan ekonomi tersebut mendorong kemunculan kelas-kelas

(4)

untuk lukisan. Yuliman menjelaskan bahwa terbentuknya demand atau permintaan terhadap karya lukis juga mendorong terbentuknya infrastruktur seni rupa

terutama galeri seni. Terbentuknya wacana investasi dalam lukisan pun disebutkan

sebagai salah satu faktor yang mendorong fenomena tersebut.

Pada penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa salah satu faktor dominan yang

mendorong terjadinya fenomena boom adalah situasi ekonomi nasional. Aspek ini

berkaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan dinamika sosial dan

politik bangsa. Dengan meninjau pada ideologi politik nasional pada saat

terjadinya fenomena boom, boom seni dekade 1980an dipengaruhi acuan ideologi

Orde Baru yang dicirikan dengan stabilitas ekonominya serta terbukanya

kesempatan bagi para partikelir untuk mengembangkan usaha. Keterbukaan ini

pun pada gilirannya juga mempengaruhi terdorongnya wacana mengenai investasi

karya seni dan kemunculan galeri-galeri komersil. Perbedaan ini menurut

Hujatnika (2012) juga tercermin pada pihak yang menyokong pusat patronase seni

pada Orde Baru pada partikelir. Hujatnika juga menyatakan bahwa sebelumnya

patronase seni rupa pada masa Orde Baru cenderung lebih terpusat kepada

pemerintah, dalam catatannya; “[…] dukungan pada praktik (produksi) seni rupa sepanjang kepemerintahannya (Soekarno) (1945-1966) dilangsungkan melalui k e b i j a k a n t e r p u s a t , m e l a l u i p a r t a i p o l i t i k , a t a u b a d a n - b a d a n pemerintah” (Hujatnika, 2012). Melalui pernyataan ini, dapat diasumsikan bahwa pada pemerintahan Orde Baru, ideologi politik, strategi penyelenggaraan budaya,

serta situasi ekonomi dinilai tidak sesuai sebagai basis fenomena boom.

Kembali meninjau gejala ‘pemiskinan’ seni lukis sebagai dampak yang

disinggung pada awal makalah ini, Yuliman mengevaluasi gejala tersebut melalui

komparasi keragaman gaya lukisan yang muncul pada dekade-dekade

sebelumnya. Pada situasi boom seni rupa 1980an, tema lukisan yang muncul

(5)

riang” (Yuliman dalam Hasan, 2001). Beberapa kata kunci yang disebutkan merepresentasikan hal ini dapat dilihat sebagai rukisan-rukisan romantik dan mooi indie. Lebih jauh dalam paparannya, lukisan dengan gaya realisme sosial dan nasionalisme yang menunjukkan gejolak semangat kemerdekaan disebutkan

‘menyingkir’. Selain pada konteks tema, ‘pemiskinan’ yang dimaksud Yuliman

juga terjadi dalam konteks medium. Istilah lukisan cukup intensif dituliskan

dalam artikel tersebut. Selain berkurangnya kecenderungan tema dan gaya karya

seni, makalah ini juga meninjau bahwa ekplorasi medium pada Gerakan Seni

Rupa Baru pada dekade 1970an tidak bisa diserap pasar, hal ini terlihat dalam

pernyataan Yuliman: “[…] media campur […] yang banyak kelihatan dalam dasawarsa 70-an, amat langka sekarang. Jangankan lagi karya seni lukis yang membebaskan diri dari bidang dwimatra dan bingkai. […] Bermacam penjelajahan […] itu, terlalu cepat menghilang” (ibid).

Gambar 1: Le Mayeur de Merpes, Merajut (tahun tidak diketahui) Sumber: Koleksi Martha Gunawan

Yuliman secara eksplisit menyatakan bahwa dirinya tidak bermaksud untuk

menjustifikasi kualitas karya-karya yang sesuai dengan permintaan pasar dengan

serta merta menunjukkan kualitas yang buruk. Pernyataan Yuliman ini ditinjau

muncul karena berkurangnya kecenderungan karya dikhawatirkan akan

‘memiskinkan’ pengalaman estetik publik seni dan publik umum. Hal ini juga

(6)

pencatatan sejarah pada tahun-tahun tersebut. Kekhawatiran ini juga dapat dilihat

dalam elaborasi Yuliman mengenai dampak ‘pemingitan’ yang disebabkan oleh

boom. Dampak ini disebutkan membatasi akses publik untuk dapat mengapresiasi

karya seni sebagai sumber pengetahuan dan representasi sejarah. Ketiadaan acuan

ini dibahas oleh Yuliman dalam dua bagian khusus berjudul Tanpa Acuan dan

Tuna Pola dan Tuna Acuan. Pada bagian pertama Yuliman mempertanyakan ada atau tidaknya referensi sejarah yang mapan untuk menentukan nilai kultural

sebuah karya dan diharapkan dapat diaplikasikan pada penentuan harga,

sedangkan pada bagian kedua Yuliman lebih menekankan karakter komersialisasi

karya seni yang terlalu berorientasi pada profit dapat memberikan dampak buruk

pada medan seni rupa.

Pernyataan yang berkesinambungan dengan elaborasi Yuliman mengenai kriteria

karya yang cukup cair diserap pasar adalah pembacaan Djatiprambudi (2009).

Dalam pembacaan Yuliman, pada boom 1987 karya dengan gaya romantisme

banyak muncul sementara karya-karya yang menyampaikan isu realisme sosial

dan nasionalisme cendeurng terpinggirkan. Hal ini berbeda dengan analisis

Djatiprambudi. Selain karya-karya romantik, menurut Djatiprambudi karya-karya

dengan tema lain seperti perjuangan, kerakyatan, dan keindahan panorama

Indonesia (Mooi Indie, romantik) juga dengan cukup intensif diserap pasar.

(7)

Kecenderungan pengoleksian karya seni yang terjadi pada boom 1987 menurut

keterangan Djatiprambudi adalah sebagai berikut: 60% karya seni modern

Indonesia, 30% karya seni kolonial, dan 10%-nya karya seni kontemporer. Karya

seni modern yang diserap pada boom dekade 1980an adalah karya-karya maestro

Indonesia dengan tema nasionalisme, perjuanganm dan realisme sosial, seperti

karya dari S. Sudjojono, Affandi, Hendra Gunawan, Basuki Abdullah, Dullah, dan

Widayat. Sementara dengan karya-karya kolonial, Djatiprambudi bermaksud

untuk merujuk pada karya-karya mooi Indie dari para seniman ekspatriat seperti Rodolf Boonet, Willem , Doiijeward, Walter Spies, Arie Smit, Adrien Jean Le

Mayeur de Merpes, dan Willem Hofker. Dari catatan Yuliman, daftar diatas dapat

ditambahkan dengan: Jeihan, Lee Man Fong, Trubus, dan Dezentije.

Gambar 3: Hendra Gunawan, Picking Lice (tahun tidak disebutkan) Sumber: Koleksi Martha Gunawan

Dalam menganalisa perkembangan intensitas kecenderungan karya yang diserap

pasar pada tiap dekade (dalam persen), Djatiprambudi menyajikan perkembangan

tersebut melalui grafik dibawah ini. Djariprambudi hanya menyebutkan bahwa

grafik tersebut dikembangkan dari kuantitas karya yang terserap dalam berbagai

buku lelang yang terbit pada tahun 1987-2007. Pada grafik tersebut tidak terdapat

keterangan yang lebih spesifik mengenai gaya karya seni, nama institusi balai

(8)

Bagan 1: Grafik kecenderungan karya yang diserap pasar pada boom seni rupa Sumber: Djatiprambudi (2009)

Pada boom seni rupa ke dua yang terjadi pada dekade 1990an, Djatiprambudi

menyatakan bahwa terjadi beberapa kali pergantian gaya lukisan yang diminati

pasar. Pada awal boom ke dua terjadi, minat pada karya-karya maestro seni rupa

Indonesia disebutkan menurun dan karya-karya seniman akademisi yakni ITB dan

ISI, seniman-seniman ini antara lain: Ahmad Sadali, Popo Iskandar, Sunaryo,

Srihadi Soedarsono, Sunaryo, Nyoman Gunarsa, Made Wianta dan lain-lain.

Dalam paparannya, latar belakang akademis seniman-seniman tersebut dianggap

memiliki nilai kultural dan simboblik yang baik karena dibentuk dari basis

intelektual yang kuat.

Gambar 4: Sirhadi Soedarsono, Borobudur Prosperity of Soul (2010) Sumber: Koleksi Martha Gunawan

0 15 30 45 60

1987 1997 2003 2007

(9)

Pergeseran kecenderungan karya disebutkan kembali terjadi pada pertengahan

dekade 1990an. Djatiprambudi menyatakan bahwa karya dengan kecenderungan

surealistik mendapatkan apresiasi pasar yang baik. Karya dari sejumlah nama

seperti Wardoyo Sugianto, Ivan Sagito, I Gusti Nengah Nurata, Koeboe Sarawan

Effendi, Sudarisman, Agus Kamal, Lucia Hartini, dan Hening Purnamawati

muncul sebagai pelukis surealitsik Jogja. Sanento Yuliman secara khusus

membahas kecenderungan ini dalam tulisan Surealisme Jogja. Dalam pembacaan Yuliman, nama-nama yang muncul dalam penjelasan Djatiprambudi Ia

kelompokkan kedalam surealisme non dekoratif, sebagai tambahan, nama-nama

seniman yang Yuliman golongkan dalam kelompok dekoratif antara lain: Boyke

Aditya, Agus Burhan, Alexandri Luthfi, Heri Dono, dan Slamet Riyadi. Satu hal

yang dapat dicatat, Heri Dono pada tulisan tersebut digolongkan dalam kelompok

surealisme dekoratif Jogja. Pada perkembangannya, pratik kesenimanan Heri

Dono berkembang hingga akhirnya ditasibihkan menjadi salah satu ikon seni rupa

kontemporer Indonesia.

Gambar 5: Heri Dono, Komedi Mafia Peradilan (2008) Sumber: Koleksi Martha Gunawan

Masih dalam momentum boom pada dekade 1990an, Djatiprambudi menyatakan

bahwa apresiasi pasar pada kecenderungan Surealisme Jogja menurun pada akhir

dekade 1990an dan gaya ‘figuratif ekspresionistik’ dan ‘abstrak ekspresionistik’

(10)

antara lain: Made Sumadiasa, Putu Sutawijaya, Nyoman Sukari, Made Sukadana,

Made Budiana, Made Toris Mahendra, dan Pande Taman. Gaya ini disebutkan

Djatiprambudi sebagai peletak dasar dari seni rupa kontemporer Bali.

Gambar 6: I Made Sukadana, Barong dan Naga (2000) Sumber: Koleksi Martha Gunawan

Di samping gaya ini, Djatiprambudi juga menyebutkan kemunculan gaya ‘abstrak

ekrpesionistik’ sebagai kecenderungan gaya lain yang juga mendapatkan apresiasi

pasar yang baik. Karya-karya Entang Wiharso dan Nasirun pada dekade 1990an

disebutkan memperlihatkan kecenderungan ini.

(11)

Pergeseran apresiasiapasar pada kecnederungan gaya seni yang spesifik yang

Djatiprambudi singgung kembali terjadi pade dekade 2000an. Pada boom ketiga

ini, Ia melihat keterkaitan antara boom seni rupa kontemporer China dengan boom

seni rupa kotemporer Indonesia meskipun tidak dijelaskan secara spesifik.

Djatiprambudi hal ini direpresentasikan dalam kemunculan Japan Foundation

yang memprakarsai beberapa pameran-pameran seni berskala besar.

Berkesinambungan dengan kaitan antara boom seni rupa Indonesia dengan seni

rupa kontemporer global, Supangkat (1999, dalam Hujatnika 2012) menduga

bahwa hal ini juga berkaitan dengan munculnya kategori Indonesian Masters pada pada balai lelang Christie’s dan Sotheby’s. Dalam periode ini, Djatiprambudi

menyebutkan bahwa dampak dari boom seni rupa kontemporer China mendorong

kemunculan karya dengan kecenderungan visual ‘minimalistik’ yang tercermin

dalam karya-karya kelompok Jendela, seniman yang disebutkan mendapatkan

apresiasi pasar yang baik antara lain: Jumaldi Alfi, Rudy Mantofani, Handiwirman

Saputra, Yunizar, dan Yusra Martunus.

Gambar 8: Handiwirman Saputra, No More Light (tahun tidak disebutkan) Sumber: Koleksi Martha Gunawan

Seni Rupa Kontemporer Bandung dekade 2000an

Pada bagian akhir dari makalah ini penulis akan menyoroti salah satu fenomena

lain yang ditinjau mendapatkan pengaruh dari kecenderungan pergeseran apresiasi

pasar terhadap karya dengan gaya tertentu, yakni mengenai kecenderungan seni

(12)

pada skripsi yang berjudul Kajian Pendekatan Kuratorial terhadap Pameran dengan Label Bandung periode 2000-2012 (2013).

Dalam penejelasan sebelumnya, dapat dipahami bahwa salah satu momentum

apresiasi pasar yang cukup baik pada karya-karya seniman Bandung terjadi pada

periode 1990an atau boom seni rupa kedua. Pada mometum ini, karya dengan

kecenderungan abstrak formalis-lah yang diserap pasar. Dan dengan menelisik

nama-nama yang muncul, seniman-seniman Bandung yang diserap tersebut

cenderung seniman senior seperti: Ahmad Sadali, Srihadi Soedarsono, Sunaryo,

dan A.D. Pirous. Dalam medan seni rupa Bandung pade periode 1990an sudah

muncul wacana tentang tidak diapresiasinya karya seniman muda Bandung oleh

pasar. Dalam catatan Siregar (2004), dalam pembukaan sebuah pameran

kelompok seniman muda pada periode 1990an, muncul pernyataan yang laku

hanya karya-karya seniman senior, dan mempertanyakan ‘kapan giliran yang

muda?’. Kecenderungan ini berlangsung pada dekade 1990-an hingga awal

dekade 2000an.

Grafik 2: Grafik intensitas pamran dengan label Bandung dekade 1950 - 2000 Sumber: Gumilar (2013)

Pada pertengahan dekade 2000an, terdapat sebuah fenomena meningkatnya

(13)

Fenomena ini merupakan bentuk dari strategi para pelaku seni rupa Bandung

untuk kembali menempatkan dan menentukan posisi dan signifikansi praktik seni

rupa Bandung dan dalam medan seni rupa kontemporer Indoensia (Andonowati,

dalam Gumilar, 2013; Kusmara, dalam Gumilar 2013; dan Siregar, 2005). Dengan

melacak dari kemunculan pameran-pameran seni rupa Bandung dekade 2000an,

dapat dinyatakan bahwa momentum puncak boom terjadi pada pertengahan

dekade. Melalui grafik dibawah ini, kecenderungan ini dapat terlihat, intenstias

penyelenggaraan pameran mulai meningkat pada pertengahan dekade dan

menurun pada akhir dekade.

Grafik 3: Grafik intensitas pamran dengan label Bandung pada thaun 2000 - 2012 Sumber: Gumilar (2013)

Kembali pada interpretasi mengenai gaya yang dibentuk pada makalah ini,

sebagai salah satu upaya untuk mengetengahkan seni rupa kontemporer Bandung

dalam medan, seni rupa Bandung dibaca dan didorong untuk memperlihatkan

karakter yang spesifik dan khas serta berbeda dengan seni rupa Bandung

terdahulu. Dalam retorika kuratorial pameran-pameran ini seni rupa kontemporer

Bandung dibaca melalui perspektif estetika postmodern. Konsep-konsep seperti

(14)

disebutkan dalam kuratorial pameran-pameran tersebut. Kecenderungan

penyelenggaraan pameran, retorika kuratorial, serta karya-karya yang dipamerkan

dalam pameran tersebut dapat dilihat sebagai fragmen-fragmen yang

dikonfigurasikan untuk membentuk wacana kebaruan seni rupa Bandung.

Meskipun masih perlu dibuktikan lebih jauh, makalah ini berasumsi bahwa

wacana seni rupa kontemporer Bandung yang dibentuk melalui pameran oleh para

pelakunya juga berfungsi sebagai strategi dan jalan masuk seni rupa kontemporer

Bandung ke dalam pasar seni rupa kontemporer indonesia.

Gambar 9: J. A. Pramuhendra, Stuck in Reverse (2007) Sumber: Katalog Petisi Bandung II

(15)

Sumber: Katalog Bandung New Emergence I Daftar Pustaka

Pustaka Ilmiah

Desmiati, Annisa Rahadi (2012): Kajian Sejarah Sosial Seni Rupa di Bandung periode 1970-1998 Melalui Representasi Visual Karya-karya Srihadi Soedarosno, Nyoman Nuarta, dan Tisna Sanjaya. tesis Program Studi Magister Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung

Djatiprambudi, Djuli (2009): Komodifikasi Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Basis Sosial-Historis, Struktur dan Implikasinya, disertasi Program Studi Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung

Gumilar, Ganjar (2013): Kajian Pendekatan Kuratorial terhadap Pameran dengan Label Bandung periode 2000-2012 skripsi Program Studi Magister Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung

Hujatnika, Agung (2012): Praktik Kekuratoran dan Relasi Kuasa dalam Medan Seni Rupa Kontemporer Indonesia, disertasi Program Studi Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung

Pustaka

Hasan, Asikin (2001): Dua Seni Rupa: Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman,

Yayasan Kalam, Jakarta

Katalog Pameran

Katalog Bandung New Emergence I, Selasar Sunaryo Artspace, Bandung, 2006

Gambar

Gambar 1: Le Mayeur de Merpes, Merajut (tahun tidak diketahui)  Sumber: Koleksi Martha Gunawan
Gambar 2: Arie Smit, Pemandangan II (tahun tidak disebutkan) Sumber: Koleksi Martha Gunawan
Gambar 3: Hendra Gunawan, Picking Lice (tahun tidak disebutkan) Sumber: Koleksi Martha Gunawan
Gambar 4: Sirhadi Soedarsono, Borobudur Prosperity of Soul (2010) Sumber: Koleksi Martha Gunawan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, didalam kulit buah semangka diketahui adanya kandungan likopen yang berguna untuk perawatan kulit yang berjerawatdan bermanfaat memberikan perawatanterhadap sel

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Secara parsial variabel inflasi dan CAR tidak berpengaruh signifikan

distribution. Based on the algorithm, this paper presents spatiotemporal data field-based clustering method. The proposed algorithm involves four major steps, including that:

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa frekuensi kejadian gangguan visus pada mahasiswa dengan karakteristik umur 21 dan 22 tidak ada perbedaan bermakna antara

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menetapkan konsentrasi pelarut, daya gelombang mikro dan waktu ekstraksi yang sesuai dengan karakteristik senyawa-senyawa fenolik

This study aims to explain the appropriate communication strategy for U-Jek to develop student online taxibike (ojek) based on Islamic values in Semarang.. The aspects to be

Pada saat cache penuh dan word memori (instruksi atau data) yang tidak berada di dalam cache direferensi, hardware control cache harus memutuskan blok mana yang harus dihapus

Az UNCTAD adatai szerint 2014-ben a közvetlen mûködôtôke-állomány Oroszországban valamivel kevesebb mint 380 milliárd dollár volt, ha ehhez viszonyítjuk a kínai 8,7