• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR FAKTOR YANG MENIMBULKAN KONFLIK K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FAKTOR FAKTOR YANG MENIMBULKAN KONFLIK K"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MENIMBULKAN KONFLIK KERJA KELUARGA PADA PEKERJA SPA WANITA DI KOTA BANDUNG

(STUDI PADA JASA NATURE SPA DI KOTA BANDUNG)

Arif Partono Prasetio dan Ella Jauvani Sagala Institut Manajemen TELKOM (TELKOM University)

partono67@gmail.com; ellasagala@gmail.com Abstrak

Konflik kerja keluarga telah menjadi fokus perhatian yang menarik di bidang sumberdaya manusia. Hubungan antara pekerjaan dan keluarga senantiasa menjadi masalah yang terkait dalam diri karyawan dan perusahaan. Banyak aspek yang menjadi penyebab timbulnya konflik kerja dan keluarga ini. Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik kerja dan keluarga ini berbeda dan ditentukan oleh latar belakang individu dan kebijakan perusahaan. Penelitian kali ini menganalisis faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab munculnya konflik kerja dan keluarga di dalam industri jasa. Peneliti memilih bisnis Nature Spa yang memiliki tiga buah outlet di Bandung. Objek penelitian ini dipilih karena memiliki keunikan terkait dengan operasionalnya (panjangnya jam kerja, sistem kerja shift, dan citra bisnis spa yang negatif). Karyawan utama di dalam bisnis ini adalah para terapis yang memiliki latar belakang pendidikan terbatas (SMU dan dibawahnya). Terapis ini memiliki tingkat kendali yang rendah terhadap pekerjaan mereka, khususnya terkait jadwal kerja. Para terapis yang bertugas harus selalu berada di lokasi kerja mereka setiap saat. Jadwal kerja yang kaku dan kondisi pekerjaan tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya konflik antara tuntutan pekerjaan dan kehidupan berkeluarga. Peneliti ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menjadi pendorong terjadinya konflik tersebut dan berupaya memberikan saran yang dapat digunakan untuk meminimalkan atau mengurangi potensi konflik kerja dan keluarga di kalangan terapis. Metode yang digunakan adalah kuantitatif dengan teknik pengumpulan data yang dipadukan antara survey melalui kuesioner dan wawancara. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan faktor yang berpotensi menimbulkan kerja dan keluarga. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan, kebijakan perusahaan, dan hubungan antara terapis berperan penting dalam mengurangi atau menambah potensi terjadinya konflik tersebut.

Keywords : konflik kerja-keluarga, spa business, konflik peran, gaya kepemimpinan.

Abstract

(2)

have to be available during their working hours. The rigid schedule and the work condition faced by them increase the possibilities for the work and family conflict to happen. The research intend to identify the factors which stimulate the occurence of the conflict and will try to provide suggestion to minimize or eliminate the work and family conflict potential. The author used the quantitatif method combined with the interview and questionnaire to provide in-depth explanantion of the study. Descriptive analysis use to describe the factors which cause work and family conflict. The result of this study show that the leadership style of the supervisor, company policy, and the relations between Therapists play an important role to reduce or intensify the conflict potential.

Keywords : work-family conflict, spa business, role conflict, leadership style.

PENDAHULUAN

Upaya untuk memisahkan kehidupan kerja dan keluarga sulit dilakukan, karena keduanya merupakan hal yang penting di dalam kehidupan seorang manusia. Manusia membutuhkan pekerjaan untuk menghidupi diri dan keluarganya. Mereka mendapatkan pekerjaan yang layak atau mencari peluang usaha yang memiliki potensi paling besar untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Hampir tidak ada manusia yang terbebas dari pertentangan kepentingan antara menjalankan perannya sebagai karyawan dan perannya di dalam keluarga. Peran sebagai karyawan memberikan kesempatan untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup. Sedangkan peran di dalam keluarga mensyaratkan keberadaan dan keterlibatan individu tersebut dalam aktivitas keluarganya.

(3)

penyelesaian pekerjaan, kinerja yang harus selalu optimal, dan kondisi pekerjaan yang penting.

Ketika individu bekerja, yang bersangkutan harus meninggalkan rumah atau keluarganya dengan berbagai masalah yang ada. Sehingga jika ada kepentingan individu akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kedua hal tersebut pada saat bersamaan. Sebagai contoh, anak yang sedang sakit, akan membutuhkan perhatian khusus dari orang tuanya, anak yang memiliki kebutuhan khusus, mengharuskan ayah atau ibunya senantiasa berada di rumah untuk membantu proses perawatannya. Peran individu di dalam keluarga akan menjadi lebih berat tatkala yang bersangkutan masih tinggal bersama keluarga lain. Agus Surono (2012) menulis dilema anak sakit dan tuntutan untuk hadir di kantor yang merepotkan ibu dan ayah. Kehidupan pribadi seseorang juga layak mendapatkan perhatian. Waktu yang berharga dan sudah terlewatkan (misalnya proses pertumbuhan anak) tidak mungkin terulang lagi.

Kebutuhan individu biasanya memiliki tuntutan yang harus dipenuhi. Pengadaan

rumah, pengobatan, dan pendidikan adalah beberapa anggaran yang wajib disediakan. Saat ini upah minimum untuk Kota Bandung adalah Rp. 1.538.703,- (data ketentuan upah minimum dari Departemen Tenaga Kerja Indonesia - 2013). Jumlah tersebut masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, bahkan pada keluarga yang belum memiliki anak (http://m.merdeka.com/uang/berapa-gaji-ideal-dan-layak-bagi-buruh.html di akses 11 Maert 2013). Jumlah wanita yang bekerja pun menunjukkan peningkatkan. Menurut data dari Kementerian Tenaga Kerja Indonesia, pada Tahun 2011 terdapat 41.680.456 wanita yang bekerja.Bandingkan dengan kondisi pada Tahun 2010 yang hanya sebesar 40.745.544. Dr. Suwandi Sumartias (2012)menyatakan jumlah angkatan kerja wanita saat ini sudah mencapai 37.9% dari total angkatan kerja sebanyak 104.87 juta.

(4)

terkadang wanita juga harus bekerja. Tidak jarang, wanita berpenghasilan lebih besar dari pria dan menjadi tonggak ekonomi utama, masih bertanggung jawab dalam urusan rumah tangga yang lebih besar. Peran wanita membantu memenuhi kebutuhan keluarganya dikemukakan oleh Norbertus Kaleka (2011).Keterlibatan wanita dalam bekerja dan tuntutan untuk mengurus masalah rumah tangga ini mengakibatkan timbulnya peran ganda yang terkadang berlawanan. Sebagai seorang wanita, mereka harus mengurus keluarga di rumah. Wanita bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga seperti, memasak, membersihkan rumah, mengurus anak dan orang tua/mertua (Harsiwi, 2008). Kondisi ini tidak hanya berlaku bagi wanita yang sudah menikah, akan tetapi yang masih lajang pun memiliki ‘beban’ tersebut. Ketika memutuskan untuk bekerja, pekerja wanita sudah mempertimbangkan adanya tuntutan untuk menjalankan pekerjaan dengan baik. Keputusan untuk bekerja merupakan komitmen terhadap ketentuan dan tuntutan perusahaan.

Berdasarkan kajian Karl et al dalam Greenhaus & Beutell (1985), konflik kerja

keluarga didefinisikan sebagai konflik antar peran yang disebabkan ketidaksesuaian tekanan peran di dalam keluarga dan pekerjaan. Keterlibatan seseorang dalam menjalankan peran di keluarga akan menjadi lebih sulit ketika yang bersangkutan juga menjalankan peran di perusahaan, atau sebaliknya.Menjalankan tanggung jawab rumah tangga berpotensi menimbulkan masalah.Tuntutan berprestasi dan berkinerja baik di perusahaan akan menggandakan potensi masalahnya. Jika semua berjalan mulus dan tidak ada pertentangan kepentingan, maka semua pihak dipuaskan. Akan tetapi seringkali kedua hal ini bertentangan. Bahkan sering masalah penting di keluarga terjadi bersamaan dengan tuntutan penyelesaian pekerjaan di perusahaan. Lebih dilematis lagi apabila keduanya memiliki tingkat kepentingan yang sama dan harus ditangani dalam waktu bersamaan juga.

(5)

spasebagai tenaga terapis. Pekerjaan sebagai Terapis di dominasi oleh karyawan wanita dan memiliki jam kerja yang tidak biasa. Mereka biasanya terbagi di dalam dua hingga tiga shiftyang bekerja antara pukul 08.00 – 24.00. Jenis pekerjaan, jam kerja, tuntutan pekerjaan, dan fluktuasi upah yang diterima pada jenis pekerjaan ini merupakan hal yang menarik bagi penulis untuk di teliti khususnya dikaitkan dengan potensi konflik kerja dan keluarga. Bahkan karena sifat pekerjaannya, kadang kala pihak keluarga (suami dan atau orang tua) menilai sebelah mata pekerjaan mereka.

Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis pekerjaan yang dilakukan responden. Selanjutnya, penulis akan menggali faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan timbulnya konflik kepentingan keluarga dan pekerjaan. Penulis menetapkan judul penelitian ‘Faktor-faktor Yang Menimbulkan Konflik Kerja Keluarga Pada Pekerja Spa Wanita di Kota Bandung (Studi Pada Jasa Nature Spa di Kota Bandung).Sedangkan penelitian ini bertujuan untuk:

1) Mengetahui tuntutan dan lingkungan pekerjaan sebagai seorang Terapis di Nature Spa. 2) Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab timbulnya konflik kerja

keluarga di kalangan pekerja spa wanita.

KAJIAN PUSTAKA

Literatur mengenai konflik kerja dan keluarga banyak membahas masalah pekerja terkait pekerjaan dan hubungannya dengan keluarga. Bagaimana faktor di dalam pekerjaan mempengaruhi kehidupan pribadi karyawannya. Voydanoff dalam Wharton dan Blair-Loy (2006) menggambarkan konflik kerja keluarga sebagai ‘the demands of the work interfere with fulfilling family responsibilities’. Berbagai literatur lain pun menggambarkan definisi

(6)

Penelitian mengenai konflik kerja dan keluarga sudah banyak dilakukan, baik yang membahas penyebab terjadinya konflik, maupun akibat yang ditimbulkan dari adanya konflik tersebut. Dari keluasan pembahasan tersebut, berbagai teori digunakan para penulis untuk menganalisis bagaimana dan sejauhmana hubungan antara kehidupan pekerjaan dan pribadi. Penelitian ini melihat konflik kerja keluarga melalui sudut pandang teori peran, teori konflik, dan teori spillover/pelimpahan.

Teori Spillover

Hill, Ferris, & Martinson (2003 : 222) menyatakan bahwa membaurnya lingkungan kerja dan keluarga dapat menciptakan kondisi positif dan negatif. Pola interaksi yang kaku di antara keduanya (misalnya dalam masalah waktu dan ruang/tempat kerja) berpotensi mengakibatkan munculnya kondisi yang negatif. Sebaliknya, jika pola interaksinya fleksibel, yang membolehkan individu untuk membagi waktu antara tanggung jawab keluarga dan pekerjaan (waktu dan tempat), akan menciptakan perpaduan kondisi yang positif.

Teori Peran

Pembahasan konflik kerja dan keluarga menggunakan teori peranHal ini dikemukakan oleh Rantanen et al (a, 2011:27). Teori peran merupakan pandangan ilmu sosiologi dan psikologi sosial yang menyatakan bahwa aktivitas keseharian yang dilakukan oleh manusia adalah merupakan bentuk peran sosial yang didasarkan pada berbagai kategori (misal; guru, manajer, mahasiswa, ayah). Setiap peran yang ‘dimainkan’ tersebut memiliki hak, tugas, tanggung jawab, harapan, norma, dan panduan perilaku berbeda-beda. Kesemuanya itu harus dijalani dan atau dicapai oleh setiap individu yang memegang peran.Konflik peran yang dialami oleh pekerja dapat bersifat dua arah, masalah di pekerjaan yang berpengaruh terhadap kehidupan berkeluarga dan masalah keluarga yang dapat mempengaruhi pekerjaan.

(7)

ketegangan atau tekanan yang mereka alami dalam pekerjaan dapat berpengaruh secara negatif terhadap peran mereka di dalam kehidupan keluarganya. Grant-vallone dan Donaldson (2001 : 215) mengemukakan pandangan sebagai berikut “there is evidence that multiple roles lead to perceptions of conflict and overload and have repercussion for the well-being and performance of employees’.Menurut Kahn et al (Ahmad 2008), kerangka teori peran menyatakan bahwa faktor penentu utama terhadap perilaku individu adalah harapan perilaku yang muncul dari orang lain terhadap dirinya.

Besarnya konflik yang dihadapi karyawan ditentukan oleh apakah individu tersebut memiliki sumberdaya sertakeleluasaan dalam mengelola sumberdaya tersebut. Keleluasaan mereka dalam mengatur jam kerja misalnya, bisa menjadi faktor ‘pereda’ potensi timbulnya konflik dan mengurangi tekanan yang ada. Friedman dan Greenhaus, mengemukakan dua konsep dalam pola hubungan kerja dan keluarga (2000 :122). Pertama adalah konsep aliansi, yang memiliki pandangan ketika lingkungan kerja dan keluarga bersinergi, maka akan

meningkatkan kinerja karyawan di lingkungan pekerjaan dan meningkatkan kualitas kehidupan keluarganya. Sebaliknya, konsep kedua, yaitu sebagai musuh, menyatakan bahwa kondisi yang tidak sejalan tersebut akan mengganggu kehidupan keluarga dan kinerja dalam pekerjaan.

Teori KonflikPeran

Teori berikutnya yang digunakan adalah teori konflik yang melihat bahwa ada pertentangan yang tidak terhindarkan antara kepentingan pekerjaan dan keluarga (rumah). Hal ini terjadi karena pada dasarnya kedua lingkungan ini tidak kompatibel atau tidak selaras. Ketidak selarasan ini ditimbulkan dari perbedaan tuntutan, tanggung jawab, dan norma-norma yang dijalankan. Diasumsikan bahwa apapun yang terjadi di lingkungan pekerjaan

(8)

Konflik peran terjadi ketika individu menjalankan peran sebagai anggota keluarga dan sebagai anggota organisasi (karyawan). Menurut Kahn et al (dalam Greenhaus and Beutell, 1985), konflik peran adalah “simultaneous occurrence of two or more sets of pressure such that compliance with one make more difficult comliance with the other”. Terjadi kontradiksi dalam upaya pemenuhan terhadap salah satun peran yangdapat mengakibatkan hambatan bagi individu untuk memenuhi peran yang lainnya. Peran sebagai seorang ibu di rumah dan sebagai pimpinan suatu departemen di kantor bisa menimbulkan pertentangan/konflik. Konflik antar peran (interrole conflict) terjadi ketika ada tekanan/tuntutan dari peran sebagai karyawan (misal kebutuhan lembur untuk menyelesaikan pekerjaan) berbenturan dengan tuntutan peran keluarga (mengantar anak berobat). Karyawan dihadapkan pada dilema, peran mana yang harus didahulukan, karena keduanya sama penting bagi dirinya.

Konflik Kerja Keluarga

Keluarga, interaksi sosial, pendidikan, dan pekerjaan merupakan sebagian aspek

dalam kehidupan seseorang. Semua aspek tersebut diupayakan sedapat mungkin dapat bersinergi dan tidak bertentangan. Akan tetapi dalam kenyataannya sulit terwujud, karena benturan antara domain keluarga dan pekerjaan sulit dihindarkan.

Definisi konflik kerja keluarga dikemukakan oleh Greenhaus dan Beutell (1985) sebagai berikut ;

“a form of interrole conflict in which the role pressures from the work and family domains are mutually incompatible in some respect. That is, participation in the work (family) role is made more difficult by virtue of participation in the family (work) role”.

Definisi di atas menyatakan adanya kondisi yang tidak harmonis antara peran dalam pekerjaan dan keluarga. Ketidakharmonisan tersebut terwujud ketika aktivitas dalam satu

(9)

Sumber Konflik Kerja Keluarga

Tuntutan kerja biasanya berkaitan dengan waktu dan beban kerja serta tenggat waktu yang mendesak. Kondisi ini dipengaruhi oleh faktor jadwal kerja, besar kecilnya tanggung jawab, tuntutan dari atasan/perusahaan. Sedangkan tuntutan keluarga lebih mengarah pada tugas di rumah yang biasanya dipengaruhi oleh ukuran, komposisi, dan jumlah anggota keluarga yang memiliki ketergantungan (Yang et al, 2000).

Penyebab konflik kerja keluarga terdiri dari berbagai hal, baik yang berasal dari lingkungan pekerjaan, maupun dari keluarga. Penelitian ini menggunakan pendekatan Greenhaus dan Beutell yang membagi menjadi 3 jenis konflik, time-based, strain-based, dan behaviour based (1985 : 77-82).Konflik ini dapat terjadi karena kondisi pekerjaan yang mengganggu kehidupan keluarga, dan sebaliknya, kondisi kehidupan keluarga mengganggu pekerjaan (work interfere familydanfamily interfere work).

Waktu yang sudah dialokasikan untuk menyelesaikan atau menjalankan salah satu

peran tidak dapat digunakan untuk menjalankan peran yang lain. Sumber konflik yang disebabkan oleh keterbatasan waktu disebut Time-based conflict. Konflik terkait waktu ini memiliki dua bentuk ; pertama, waktu yang sudah dialokasikan oleh individu terhadap salah satu peran tidak memungkinkan individu tersebut untuk secara fisik dapat menjalankan peran yang lainnya. Kedua, meski seorang individu sudah mengalokasikan waktunya (secara fisik) untuk menjalankan satu peran, akan tetapi karena adanya kebutuhan atau kepentingan lain, maka yang bersangkutan akan terganggu dengan tuntutan yang muncul dari peran yang lain. Sedangkan dari sisi keluarga, kondisi yang mempengaruhi kebutuhan alokasi waktu antara lain, status individu (menikah), apakah sudah memiliki anak, usia anak tertentu yang masih membutuhkan perhatian rutin, apakah tinggal di rumah sendiri atau dengan keluarga lain.

(10)

efektif. Menurut Peck et al (dalam Greenhaus & Beutell, 1985, hal. 80), konflik yang muncul dari tekanan tersebut dapat menimbulkan kelelahan. Jenis pekerjaan, lokasi kerja, keterlibatan dalam aktivitas yang pelik, karakteristik atasan, model aturan perusahaan, masalah komunikasi, dan tingkat konsentrasi bisa menjadi faktor penyebab atau pengurang stres. Sedangkan dari sisi keluarga/rumah, faktor yang berpotensi menimbulkan konflik antara lain perilaku pasangan, perilaku anak, kesepahaman pola pikir terhadap sesuatu hal, dan fleksibilitas terhadap kondisi pasangan. Apabila hal tersebut tidak sesuai dengan harapan individu, maka konflik kerja keluarga diperkirakan akan tinggi.

Sumber konflik terakhir berkaitan dengan perilaku dari individu (behavior-based conflict). Karena individu memiliki peran beragam, seringkali di antara peran-peran tersebut memiliki perilaku yang berlawanan. Perilaku yang dijalankan individu di dalam pekerjaannya sebagai seorang pimpinan tentu berbeda dengan perilaku yang diharapkan oleh keluarga (anak, misalnya). Sebagai pimpinan sikap tegas, objektif, dan tidak mau tahu menerima

alasan anak buah adalah hal biasa. Akan tetapi, di dalam keluarga, individu tersebut diharapkan bisa bersifat lebih hangat, empati, mau mendengarkan masalah sang anak. Ketidakmapuan melakukan penyesuaian antar peran tersebut bisa mengakibatkan terjadinya konflik kerja keluarga. Seperti yang disampaikan oleh Greenhaus dan Beutell (1985, hal. 82) ;“if a person unable to adjust behavior to comly with the expectations of different roles, he/she is likely to experience conflict between roles”.

Tuntutan Pekerjaan dan Keluarga dalam Konflik Kerja Keluarga

Boyar et al (2008:218), menjelaskan tuntutan (pekerjaan dan keluarga) sebagai berikut, “a global perception of the level and intensity of resposibility within the work (or family) domain”.Suatu tuntutan muncul dari persepsi individu yang mengalaminya agar bisa

(11)

mendapatkan tuntutan lebih besar dibanding karyawan lainnya. Disinilah persepsi tersebut mulai dirasakan oleh individu sebagai karyawan.

Dari tuntutan tersebut selanjutnya muncul persepsi individu bahwa kepentingan pekerjaan mengganggu keluarga dan atau kepentingan keluarga mengganggu pekerjaan. Meski demikian, keterkaitan antar tuntutan tersebut dapat diminimalkan oleh nilai yang dianut idnividu dan peran yang sedang dia jalankan. Boyar et al (2008 : 218) menjelaskan variabel untuk masing-masing domain (lingkungan). Baik domain pekerjaan maupun keluarga memiliki tiga kategori variabel ; karakteristik pekerjaan, tekanan dari peran yang dijalankan (role stressor), dan dukungan lingkungan sosial (perusahaan dan keluarga).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif serta menggunakan teknik pengumpulan data perpaduan antara survey melalui kuesioner dan wawancara dengan responden.Penelitian

ini tidak menggunakan hipotesis karena tidak mengukur pengaruh atau keterkaitan satu variabel dengan yang lainnya. Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif untuk menggambarkan faktor yang berpotensi menimbulkan kerja dan keluarga. Hasil kuesioner dan wawancara akan digunakan sebagai penguat di dalam analisis yang dilakukan.

Responden yang menjadi objek adalah 21 orang yang merupakan. Rencana awal dari penelitian ini menggunakan keseluruhan populasi sebagai responden. Akan tetapi, karena satu orang karyawan pada periode survey yang dilakukan sedang tidak bekerja (sakit), maka akhirnya digunakan teknik sampling purposive. Hal ini karena peneliti menggunakan pertimbangan tertentu berdasarkan ketersediaan responden (Sugiyono, 2011 : 85). Terkait kuesioner yang digunakan, peneliti memakai Skala Likert untuk mengukur pandangan atau

(12)

HASIL ANALISIS dan PEMBAHASAN

Identifikasi terhadap faktor-faktor konflik kerja dan keluarga pada penelitian ini didasarkan pada pandangan Greenhaus dan Beutell (1985) yang menjelaskan tiga penyebab utama terjadinya konflik kerja dan keluarga; waktu, tuntutan, dan perilaku individu.Beberapa hal yang biasanya menjadi penyebab adanya ketidakseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan keluarga terkait ke tiga faktor di atas adalah:

DOMAIN PEKERJAAN DOMAIN KELUARGA

Sifat dan jenis pekerjaan Jumlah anak

Karakteristik atasan Perhatian khusus untuk anggota keluarga Penghasilan yang diperoleh Alokasi waktu kebersamaan

Interaksi dengan rekan kerja Status individu (menikah/lajang/cerai)

(13)

Dari gambar di atas nampak merata distribusi usia dari 20 tahun hingga 35 tahun. Tidak ada karyawan spa yang berusia di atas 35 tahun, hal ini karena spesifikasi pekerjaan Terapis menuntut kebugaran dari sisi fisik khususnya. Selanjutnya, responden rata-rata sudah menikah, dengan 7 orang di antaranya sudah bercerai. Masa kerja yang dimiliki para responden rata-rata antara 1 – 5 tahun (16 responden), ada 2 orang yang telah bekerja di atas 5 tahun dan 3 orang yang masih di bawah 1 tahun. Responden juga rata-rata sudah memiliki anak.

Peneliti membagi dua dimensi konflik, yaitu kondisi pekerjaan yang mengganggu kehidupan keluarga (pertanyaan nomor 1, 2, 3, 4, 5, 10, dan 11) dan kondisi keluarga yang menggangu pekerjaan (nomor 6, 7, 8, 9, 12). Dari dua dimensi utama ini selanjutnya akan dilakukan analisis terhadap faktor penyebab konflik kerja keluarga di kalangan pekerja spa.Berdasarkan hasil kuesioner Terapis di Nature Spa, Bandung relatif tidak memiliki konflik kerja dan keluarga. Hal ini dapat dilihat pada angka persentase pada dimensi

pekerjaan yang mengganggu kehidupan keluarga sebesar 57%. Meskipun ada aspek pekerjaan yang mengganggu kehidupan keluarga, gangguan yang ditimbulkan tidaklah terlalu besar. Demikian juga pada dimensi kegiatan keluarga yang mengganggu pekerjaan. Meskipun memiliki persentase lebih besar (61%), akan tetapi juga belum memperlihatkan besarnya konflik yang dihadapi.

Berbeda dari hasil kuesioner, wawancara yang dilakukan berhasil mengungkapkan adanya kondisi tertentu yang terkadang membuat Terapis mengalami konflik antara kepentingan pekerjaan dan keluarga. Untuk menggambarkan karakteristik pekerjaan sebagai seorang Terapis peneliti menggunakan aspek waktu kerja, citra pekerjaan, dan tuntutan pekerjaan. Spesifikasi yang harus dimiliki oleh seorang Terapis adalah wanita, berusia antara

(14)

melakukan pemijatan baik full body treatment atau pun sekedar refleksi serta layanan perawatan lain yang disediakan Nature Spa. Pekerjaan lain yang dituntut adalah menjadi tenaga pemasaran untuk mengundang pelanggan hotel agar tertarik memanfaatkan jasa mereka.

Terapis harus senantiasa siap melayani kebutuhan pelanggan. Pada satu saat bisa saja tidak ada pelanggan sama sekali, sedangkan di saat lain melimpah. Terapis terbagi dua kelompok yaitu yang bekerja di pagi hari dan siang hari. Masing-masing berkisar antara 10 jam kerja per shift-nya. Kondisi kerja berdasarkan shift ini dapat menimbulkan manfaat, sekaligus masalah. Dari sisi manfaat kerja shift memungkinkan karyawan untuk memilih jadwal kerjanya berdasarkan kesepakatan dengan rekan kerja. sebaliknya, kerja shift juga menimbulkan problema tersendiri ketika lawan shift yang tidak hadir atau ketika giliran shift malam dan tamu masih belum selesai melakukan perawatan.

Sistem kerja diatur oleh Supervisor agar setiap Terapis memiliki kesempatan bekerja

seimbang. Hal ini dilakukan untuk menjaga kebugaran Terapis dan agar tidak menimbulkan kecemburuan.Terapis juga ditugaskan menjadi bagian pemasaran layanan Nature Spa. Peran ini dilakukan setelah jam kerja operasional usai. Artinya mereka bekerja di luar waktu normal dan tidak dibayar. Meski demikian Terapis di Nature Spa tidak keberatan untuk menjalankan kegiatan tersebut karena hanya sesekali saja, dan mereka pula yang nantinya menikmati manfaatnya jika ada tambahan tamu.

Pekerjaan sebagai tenaga Terapis memiliki citra yagn masih negatif. Ketika berbicara mengenai spa, maka akan muncul pandangan negatif terhadap perusahaan dan pekerjanya. Memang ada spa yang memberikan layanan tambahan yang melanggar ketentuan yang diberlakukan. Hal ini menyebabkan Terapis tidak berterus terang kepada keluarga terkait

(15)

Faktor lain dari sisi pekerjaan yang berpotensi menimbulkan konflik adalah penghasilan yang sifatnya tidak pasti. Terapis di Nature Spa tidak mendapatkan gaji pokok yang bersifat tetap. Seluruh penghasilan mereka ditentukan oleh seberapa banyak tamu yang dilayani pada satu periode penggajian. Penghasilan Terapis ditentukan oleh kuantitas dan jenis layanan yang diambil oleh pelanggan. Sebagai perbandingan dengan menggunakan asumsi kondisi biasa, sebuah perusahaan spa mentargetkan pendapatan kotor sebesar Rp. 30.000.000,-. Pada tingkat pendapatan ini Terapis di spa tersebut akan memperoleh sekitar 7% yang dibagi di antara pekerja pada bulan tersebut. Di luar itu, Terapis sering mendapatkan tip dari pelanggan, yang jumlahnya tidak bisa dipastikan. Pelanggan yang puas akan memberikan tip besar, karenanya Terapis perlu menjaga tingkat layanannya agar pelanggan mau merogoh kantong lebih dalam. Masalah gaji ini ternyata bisa diselesaikan oleh para Terapis tersebut. Sebagian dari mereka memiliki usaha sendiri (rental kendaraan dan berdagang di rumah), sedangkan sisanya merasa jarang mengalami kekurangan untuk

memenuhi kebutuhan keluarganya. Gaji yang dihasilkan masih dapat menghidupi mereka dengan layak. Seorang Terapis rata-rata memperoleh Rp. 2.000.000,- sebulan, sedikit di atas Upah Minimum Regional di Kota Bandung yang mendekati Rp. 1.600.000,-.

Lingkungan pekerjaan dimana pada Terapis bekerja juga memiliki potensi untuk menimbulkan konflik pekerjaan dan keluarga. Kondisi lingkungan kerja di Nature Spa ternyata memberikan keleluasaan bai Terapis dalam menjalankan pekerjaannya secara bertanggung jawab. Meski perusahaan menerapkan aturan yang ketat, tetapi Supervisoryang berfungsi memantau kegiatan bisnis menerapkannya secara bijaksana.Supervisor Nature Spa ini menerapkan kebijakan yang fleksibel tetapi bertanggung jawab. Supervisor menyerahkan pengaturan jadwal kepada para Terapis dan hanya meminta mereka untuk berkomitmen

(16)

Tanggung jawab yang dituntut oleh Supervisor adalah bahwa pada setiap waktu operasional, jumlah minimum tenaga Terapis harus tersedia. Apabila tidak mencukupi, Terapis yang bekepentingan dapat menghubungi Supervisor untuk dicarikan solusi lain. Sikap Supervisor dalam mengayomi anak buahnya inilah yang menjadi alasan kuat Terapis untuk betah bekerja di Nature Spa. Peran supervisor sangat besar dalam membantu mengurangi munculnya konflik pekerjaan dan keluarga.

Hubungan antar rekan kerja yang harmonis akan membantu Terapis dalam menjalankan peran ganda ini. Terapis yang tidak memiliki hubungan baik dengan rekan kerjanya biasanya tidak akan bertahan lama. Pernyataan ini dikemukakan salah satu responden yang diperkuat oleh Supervisornya. Terapis harus memiliki semangat kebersamaan dan bersedia berkorban jika rekan mereka membutuhkan. Dengan semangat seperti ini, kondisi kerja di Nature Spa menjadi kondusif, yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya potensi konflik pekerjaan dan keluarga yang ditimbulkan oleh faktor rekan kerja.

Selanjutnya penulis akan melihat faktor-faktor dari lingkungan keluarga yang berpotensi menimbulkan masalah dalam pekerjaan. Faktor pertama yang dibahas adalah status Terapis di Nature Spa. Terapis yang belum menikah atau menikah tetapi sudah bercerai memiliki lebih sedikit beban. Keputusan untuk bekerja akan lebih cepat diambil oleh pekerja yang belum menikah atau sudah cerai. Sedangkan keterbatasan yang dimiliki oleh Terapis yang sudah memiliki pasangan adalah terkait jadwal kerja yang tidak pasti (khususnya waktu pulang).

Faktor keluarga lainnya adalah jumlah anak yang dimiliki pekerja Terapis. Kondisi yang relatif sama dengan kebanyakan orang pada umumnya. Karyawan yang belum atau tidak memiliki anak, tentu lebih fleksibel dalam bertugas karena tidak memiliki beban

(17)

memiliki anak ternyata tidak terlalu bermasalah dengan alokasi waktu dan perhatian untuk anak mereka dan pekerjaan. Hasil kuesioner menunjukkan persentase yang rendah terhadap potensi konflik kerja dan keluarga dari sisi kehidupan keluarga yang mempengaruhi pekerjaan mereka. Hasil wawancara menguatkan pendapat tersebut karena para Terapis ini ternyata memiliki alternatif solusi. Keberadaan orang tua, suami yang sedang tidak bekerja, atau anggota keluarga lain merupakan salah satu solusinya. Menurut responden, pendidikan dan pergaulan anak-anak mereka pun juga masih dapat terkendali.Indikator lain keberadaan anggota keluarga lain yang membutuhkan perhatian khusus ternyata tidak merupakan faktor penyebab konflik kerja keluarga. Responden tidak memiliki anggota keluarga yang membutuhkan perhatian khusus tersebut.

Masalah pembagian waktu antara kehidupan pribadi dan pekerjaan juga bukan menjadi kendala. Responden masih memiliki waktu yang luang untuk memberikan perhatian kepada keluarganya. Bagi mereka pendapatan bulanan dari pekerjaan ini penting untuk menopang

kelangsungan hidup keluarganya. Kendala yang ada terbatas pada ketika jadwal pulang kerja terpaksa diperpanjang.Tuntutan untuk masuk pada saat jadwal libur sangat jarang terjadi. Oleh karenanya, waktu untu keluarga masih leluasa untuk dimanfaatkan.

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini memperlihatkan Terapis di Nature Spa memiliki potensi konflik kerja dan keluarga dalam skala yang relatif kecil. Hal ini tidak berarti bahwa Terapis tersebut bebas dari konflik atau pertentangan antara kepentingan keluarga dan pekerjaan. Akan tetapi mereka memiliki sumberdaya lain yang dapat dioptimalkan untuk mengurangi potensi munculnya konflik. Dukungan dari anggota keluarga, supervisor yang fleksibel,dan

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Aminah (2008). Job, Family and Individual Factors as Predictor os Work Family Conflict. The Journal of Human Resource and Adult Learning, Vol. 4, Num. 1, 57-65 Boyar, S.L. Maertz Jr., C.P. Mosley Jr., D.C. & Carr., J.C. (2008). The Impact of

Work/Family Demand on Work-Family Conflict. Journal of Managerial Psychology, 23 (3) : 215 – 235.

Cahyaningdyah, D., (2009). Analisis Konflik Pekerjaan Keluarga Pada Wanita Pekerja di Industri Perbankan. Dinamika Manajemen, November 2009, 10-18.

Friedman, Stewart D., & Greenhaus, J.H. (2000). Work and Families : Allies or Enemies. New York. Oxford University Press Inc.

Frederik-Goldsen, K.I., & Scharlach, A.E. (2001). Families and Work ; New Directions in the Twenty First Century. New York. Oxford Univeristy Press.

Grant-vallone, Elisa J., & Donaldson, Stewart I. (2001). Consequences of work-family conflict on employee well-being over time. Work and Stress, 15 (3), 214-226.

Greenhaus, J.H., & Beutell, N.J. (1985). Sources of Conflict Between Work and Family Roles. The Academy of Management Review, Januari, 76-88.

Harsiwi, Th. Agung M. 2008. Perbedaan Gender Dalam Konflik Antara Pekerjaan dan Keluarga Pada Staf Akademisi Perguruan Tinggi Swasta, Journal of management and Review, 5 (2), 97-108.

(19)

Kaleka, N. (2011, 20 Juli). Perempuan, Tiang Ekonomi Keluarga. Suara Merdeka (online), halaman 24. Tersedia di http://www.suaramerdeka.com. Diakses pada tanggal 4 September 2012.

Mawardi, Artiawati ( 2011). Work family Conflict in Asian Cultural Context: The Case of

Indonesia. Canada. Multi-National Work Family - Research Project ( Project 3535 ).

Moerti, Wisnoe (2012). Berapa Gaji Ideal dan Layak Bagi Buruh? (online). Tersedia di http://m.merdeka.com/uang/berapa-gaji-ideal-dan-layak-bagi-buruh.html, di akses 11

Maret 2013.

Nugraha, Indra (2012). Negara Perlu Lakukan Upaya Strategis untuk Mereposisi Buruh Wanita (online). Tersedia di http://www.unpad.ac.id/2012/09/negara-perlu-lakukan-upaya-strategis-untuk-mereposisi-buruh-perempuan/ di akses 11 Maret 2013.

Rantanen, J., Kinnunen, U., Mauno, S., & Tillemann, K. (2011,a). Introducing Theoretical Approaches toWork-Life Balance and Testing, a New Typology Among

Professionals, in Creating Balance? International Perspectives on the work-life Integration of Professionals. Berlin. Springer.

Rantanen, M., Mauno, S., Kinnunen, U., & Rantanen, J. (2011,b). Do Individual Coping Strategies Help or Harm in the Work–Family Conflict Situation? Examining Coping as a Moderator Between Work–Family Conflict and Well-Being. International Journal of Stress Management. Vol. 18 (1), 24-48.

Surono, Agus (2012). Anak Sakit dan Tuntutan Pekerjaan. Tersedia di http://intisari-online.com/read/anak-sakit-dan-tuntutan-pekerjaan, di akses 17 Maret 2013.

Sumartias, Suwandi. (2012). http://www.unpad.ac.id/2012/09/negara-perlu-lakukan-upaya-strategis-untuk-mereposisiburuh-perempuan/, diakses 11 Maret 2013.

(20)

Wharton, Amy S., & Blair-Loy, Mary. 2006. Long Work Hour and Family Life; A Cross-National Study of Employee Concerns, Journal of Family Issues 27 (3). 415-436 Yang N., G.C. Chen, J. Choi & Y. Zou. (2000). Sources of Work Family Conflict : A

Gambar

gambar di bawah ini;

Referensi

Dokumen terkait

Selain CT-Scan dan MRI diagnosis stoke dapat ditegakkan dengan mengguanakan carotid Doppler (CD) yaitu menentukan apakah pasien mengalami tingkatan stenosis yang tinggi

Dilaksanakannya pendidikan multikultural di sekolah bertujuan untuk menciptakan manusia yang berbudaya, mengajarkan nilai-nilai bangsa, kemanusiaan, dan nilai kelompok

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

2. Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Personalisasi reward dalam penelitian ini masih terbatas karena menggunakan Finite State Machine yang perilakunya terbatas, sehingga jika dimainkan berulangkali maka

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

KONTRIBUSI POWER TUNGKAI DAN KESEIMBANGAN DINAMIS TERHADAP HASIL DRIBBLE-SHOOT DALAM PERMAINAN FUTSAL.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu