• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor faktor yang Mempengaruhi Stress K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Faktor faktor yang Mempengaruhi Stress K"

Copied!
220
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STRESS KERJA PADA PEKERJA DI PT X TAHUN 2014

SKRIPSI

OLEH Asri Karima NIM : 1110101000069

PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN (FKIK) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

i LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Juli 2014

(3)

ii FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

xiv + 196 halaman, 3 bagan, 23 tabel, 3 lampiran ABSTRAK

Stress kerja merupakan gangguan fisik dan emosional sebagai akibat ketidaksesuaian antara kapabilitas, sumber daya atau kebutuhan pekerja yang berasal dari lingkungan pekerjaan. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di PT X menunjukkan bahwa terdapat empat (36,4 %) dari sebelas pekerja yang mengalami gejala stress cukup tinggi. Stress kerja memiliki dampak yang beragam yang dapat mempengaruhi kesehatan pekerja maupun performa perusahaan. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan desain cross sectional. Sampel penelitian berjumlah 69 orang dari total populasi yang berjumlah

113 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode systematic random sampling. Analisis bivariat dilakukan dengan uji korelasi Pearson dan uji

t-independen dan analisis multivariat dilakukan dengan uji regresi linier ganda.

Berdasarkan hasil penelitian, faktor yang masuk sebagai model akhir multivariat, yaitu jumlah beban kerja, kurangnya kesempatan kerja, konflik interpersonal, suhu, dan variasi beban kerja. Sedangkan faktor yang paling dominan berhubungan dengan stress kerja adalah jumlah beban kerja.

(4)

iii dengan kemampuan pekerja dan memperkaya pekerjaan yang harus dilakukan pekerja untuk mencegah kebosanan. Adapun saran bagi pekerja yaitu menyampaikan ketidaknyamanan suhu di lingkungan kerja kepada Departemen HSE serta berpikir positif terhadap kemampuan diri dan menjalin relasi untuk mempermudah mencari lowongan kerja.

Kata Kunci : Stress kerja, Pekerja, Jumlah beban kerja, Kurangnya Kesempatan Kerja

(5)

iv FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES

PUBLIC HEALTH MAJOR

OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH Undergraduate Thesis, July 2014

ASRI KARIMA, NIM: 1110101000069

Factors Associated with Job Stress in PT X’s Workers Year 2014 xiv + 196 pages, 3 images, 23 tables, 3 attachments

ABSTRACT

Job stress is a physical and emotional disturbances as a result of mismatch between the capabilities, resources or needs of the worker which comes from the work environment. Based on the results of preliminary studies in PT X suggested that there were four (36.4%) of the eleven workers who experienced a quite high symptoms of stress. Job stress has various impact which can influence the worker’s health and the company's performance. Therefore, researcher conducted a study factors associated with job stress in workers at PT X in 2014.

This study was an descriptive analytical study with cross sectional design. Samples numbered 69 out of a total population of 113 people. Sampling was done by systematic random sampling method. Bivariate analysis were performed by Pearson correlation test and independent t-test and multivariate analysis was performed by multiple linear regression.

The result from this study showed that there were five factors that included to the final multivariate models such as the quantitative of workload, lack of employment opportunities, interpersonal conflict, temperature, and variations in workload. While the most influence factor associated with job stress was the quantitative of workload.

(6)

v with the ability of workers and to enrich the variation of worker’s job to prevent boredom. Suggestions for the workers are telling to the HSE Department about the discomfort of workplace temperature, be positive thinking to yourself ability, and building a relation to help you in finding a job.

Keyword : Job stress, Employee, Quantitative workload, Lack of job opportunity

(7)
(8)
(9)

viii DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : Asri Karima

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Depok, 9 Januari 1993

Alamat : Jalan Borneo Raya No 5 RT 10 RW 13 Depok Timur 16418

No. Handphone : 081212355109

E-mail : riikarima.asri@live.com

Pendidikan Formal

Tahun Nama Institusi

2010 – 2014 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Program Studi Kesehatan Masyarakat

2007 – 2010 SMA Negeri 3 Depok 2004 – 2007 SMP Negeri 3 Depok

(10)

ix KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Swt Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, puji dan syukur saya ucapkan kepada Ilahi Rabbi yang selalu memberikan kenikmatan tak terhingga kepada kita. Atas segala kekuatan dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Stress Kerja pada Pekerja di PT X Tahun 2014”. Sholawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw yang telah menuntun umatnya dari zaman kegelapan ke zaman terang benderang seperti saat ini.

Penulisan skripsi ini semata-mata bukan murni usaha penulis melainkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan berupa doa, motivasi, dan bimbingan. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini kepada:

1. Keluarga saya (ibu, bapak, kakak, dan adik) terima kasih atas segala doa dan dukungan selama penelitian.

2. Bapak Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin Sp. And., selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Ir. Febrianti M.Si selaku kepala program studi kesehatan masyarakat yang senantiasa menjadikan program studi ini menjadi lebih baik.

4. Ibu Iting Shofwati ST, MKKK selaku dosen pembimbing I yang selalu sabar dan keikhlasannya memberikan bimbingannya. Terima kasih ibu atas waktu, doa dan motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Yuli Amran SKM, MKM selaku dosen pembimbing II yang selalu siap memberikan bimbingannya dan arahan yang positif sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

(11)

x 7. Ibu Raihana Nadra Alkaff MMA selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih atas kesediaan ibu menjadi penguji dan memberikan saran yang positif untuk perbaikan skripsi penulis.

8. Ibu Meilani Anwar M.Epid selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih atas kesediaan ibu menjadi penguji dan memberikan saran yang positif untuk perbaikan skripsi penulis.

9. Untuk kak Moch. Noval Mauludi terima kasih atas bimbingan, motivasi, dan pertolongannya selama penyusunan skripsi. Thanks dear for helping me wholeheartedly.

10.Bapak Ruri selaku manajer HRGA yang sudah mengijinkan penulis melaksanakan penelitian ini.

11. Ibu Niken, Pak Himawan, Pak Cecep, Pak Jamal dan seluruh pekerja di PT X yang telah bersedia membantu penelitian ini.

12.Untuk teman-teman K3 2010, Kiki, Dewi, Sinta, Evi, Dini, Mono, Agung, Ajis, Dian, Randi, Dika, Dani, Iqbal, Zaki, dan Sony semoga silaturahmi kita tetap terjaga meski sudah jarang berjumpa. Semoga kita dapat meraih kesuksesan dengan jalan yang diridhoi Allah Swt.

13.Teman-teman di masa lalu, Kebabers dan Kesmas UIN angkatan 2010 yang sudah membantu selama perkuliahan dan penyusunan skripsi penulis.

Dengan memanjatkan doa kepada Allah Swt, penulis berharap seluruh kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah Swt. Aamiin. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, Juli 2014

(12)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PENGUJI ... vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISTILAH ... xi

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 6

1.4 Tujuan ... 7

1.4.1 Tujuan Umum ... 7

1.4.2 Tujuan Khusus ... 7

1.5 Manfaat ... 9

1.5.1 Bagi Perusahaan ... 9

1.5.2 Bagi Pekerja ... 9

1.5.3 Bagi Peneliti... 9

1.6 Ruang Lingkup ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Stress ... 11

(13)

2.2.1 Stress Akut ... 15

2.2.2 Stress Kronis ... 17

2.3 Tahapan Stress ... 18

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stress Kerja... 21

2.4. 1 Karakteristik Pekerjaan ... 21

2.4.2 Karakteristik Individu ... 37

2.4.3 Aktivitas di Luar Pekerjaan ... 44

2.4.4 Faktor Pendukung ... 45

2.5 Dampak Stress Kerja ... 46

2.5.1 Dampak Bagi Pekerja ... 46

2.5.2 Dampak Bagi Perusahaan ... 50

2.6 Pencegahan Stress Kerja ... 51

2.7 Penanggulangan Stress Kerja ... 54

2.8 Cara Pengukuran Stress Kerja ... 56

2.9 Instrumen Pengukuran Stress Kerja ... 57

2.10 Kerangka Teori ... 60

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep... 61

3.2 Definisi Operasional... 63

3.3 Hipotesis ... 69

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis dan Desain Penelitian ... 70

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 70

4.3 Populasi dan Sampel ... 70

(14)

4.3.2 Sampel ... 71

4.3.3 Metode Sampling ... 72

4.4 Instrumen Penelitian ... 73

4.6 Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ... 75

4.6.1 Validitas ... 75

4.6.2 Reliabilitas ... 76

4.6 Pengumpulan Data ... 77

4.7 Pengolahan Data ... 80

4.8 Analisis Data ... 83

4.8.1 Analisis Univariat ... 83

4.8.2 Analisis Bivariat ... 83

4.8.3 Analisis Multivariat ... 84

4.9 Penyajian Data ... 87

BAB V HASIL 5.1 Gambaran Umum Perusahaan ... 88

5.1.1 Profil Perusahaan ... 88

5.1.2 Visi dan Misi ... 89

5.1.3 Kebijakan K3 ... 89

5.2 Analisis Univariat ... 91

5.2.1 Stress Kerja ... 91

5.2.2 Faktor Individual ... 91

5.2.3 Faktor Pekerjaan ... 93

5.2.4 Faktor Aktivitas di Luar Pekerjaan ... 100

5.2.5 Faktor Dukungan Sosial ... 101

5.3 Analisis Bivariat ... 102

(15)

5.3.2 Hubungan Antara Faktor Pekerjaan dengan Stress Kerja... 105

5.3.4 Hubungan Antara Faktor Aktivitas di Luar Pekerjaan dengan Stress Kerja ... 113

5.3.5 Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Stress Kerja ... 113

5.4 Analisis Multivariat ... 114

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian ... 120

6.2 Stress Kerja ... 120

6.3 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Stress Kerja ... 122

6.4 Hubungan Antara Umur dengan Stress Kerja ... 125

6.5 Hubungan Antara Status Pernikahan dengan Stress Kerja ... 126

6.6 Hubungan Antara Jumlah Anak dengan Stress Kerja... 128

6.7 Hubungan Antara Masa Kerja dengan Stress Kerja ... 129

6.8 Hubungan Antara Kepribadian Tipe A dengan Stress Kerja ... 130

6.9 Hubungan Antara Penilaian Diri dengan Stress Kerja ... 132

6.10 Hubungan Antara Kebisingan dengan Stress Kerja... 133

6.11 Hubungan Antara Pencahayaan dengan Stress Kerja ... 135

6.12 Hubungan Antara Suhu dengan Stress Kerja... 136

6.13 Hubungan Antara Ventilasi dengan Stress Kerja ... 139

6.14 Hubungan Antara Konflik Peran dengan Stress Kerja ... 141

6.15 Hubungan Antara Ketaksaan Peran dengan Stress Kerja ... 144

6.16 Hubungan Antara Konflik Interpersonal dengan Stress Kerja ... 147

6.17 Hubungan Antara Ketidakpastian Pekerjaan dengan Stress Kerja ... 149

6.18 Hubungan Antara Kurangnya Kontrol dengan Stress Kerja... 152

(16)

6.21 Hubungan Antara Variasi Beban Kerja dengan Stress Kerja ... 160

6.22 Hubungan Antara Tanggung Jawab terhadap Pekerja Lain dengan Stress Kerja ... 162

6.23 Hubungan Antara Kemampuan yang Tidak Digunakan dengan Stress Kerja ... 164

6.24 Hubungan Antara Tuntutan Mental dengan Stress Kerja ... 166

6.25 Hubungan Antara Shift Kerja dengan Stress Kerja ... 168

6.26 Hubungan Antara Aktivitas di Luar Pekerjaan dengan Stress Kerja ... 170

6.27 Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Stress Kerja ... 171

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 175

7.2 Saran ... 178

(17)

xi DAFTAR ISTILAH

CCOHS : Canadian Centre of Occupational Health and Safety CDC : Centre for Disease Control and Prevention

EAP : Employee Assistance Program

HVAC : Heating, Ventilation, and Air Conditioning ILO : International Labour Organization

(18)

xii DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Lingkungan Kerja Psikososial ... 14

Bagan 2.2 Kerangka Teori ... 60

(19)

xiii DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Gejala Stress Akut ... 16

Tabel 2.2 Cara Mendesain Tempat Kerja yang Baik ... 52

Tabel 2.3 Perbandingan Instrumen Penelitian ... 54

Tabel 4.1 Data Pekerja PT X... 71

Tabel 4.2 Skroing Instrumen NIOSH Generic Job Stress Questionnaire ... 74

Tabel 4.3 Data Kode dan Skoring Variabel ... 80

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ... 91

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin dan Status Pernikahan Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ... 92

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Umur, Jumlah Anak, Masa Kerja, Kepribadian Tipe A dan Penilaian Diri Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ... 92

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kebisingan, Pencahayaan, Suhu, Ventilasi dan Shift Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ... 94

Tabel 5.5 Hasil Pengukuran Kebisingan, Pencahayaan, Suhu, Kadar Debu dan Ventilasi Pada Area Kerja PT X Tahun 2014 ... 95

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Faktor Pekerjaan Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ... 96

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Aktivitas di Luar Pekerjaan Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ... 101

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Dukungan Sosial Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ... 101

(20)

xiv Tabel 5.10 Hubungan Antara Umur, Jumlah Anak, Masa Kerja, Kepribadian Tipe A,

dan Penilaian Diri dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X

Tahun 2014 ... 103

Tabel 5.11 Hubungan Antara Kebisingan, Pencahayaan, Suhu, Ventilasi, dan Shift

Kerja dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ... 106

Tabel 5.12 Hubungan Antara Faktor Pekerjaan dengan Stress Kerja Pada Pekerja di

PT X Tahun 2014 ... 107

Tabel 5.13 Hubungan Antara Aktivitas di Luar Pekerjaan dengan Stress Kerja Pada

Pekerja di PT X Tahun 2014 ... 113

Tabel 5.14 Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Stress Kerja Pada Pekerja di

PT X Tahun 2014 ... 114

Tabel 5.15 Hubungan Antara Faktor Individual, Pekerjaan, Aktivitas di Luar

Pekerjaan dan Dukungan Sosial dengan Stress Kerja Pada Pekerja di

PT X Tahun 2014 ... 115

Tabel 5.16 Hasil Analisis Variabel Kandidat Model Multivariat ... 117

(21)

1 BAB I

PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1970 disebutkan bahwa pelaksanaan keselamatan kerja dilakukan salah satunya untuk mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik secara fisik, psikis, peracunan, infeksi dan penularan. Penyakit akibat kerja sendiri terjadi akibat paparan faktor risiko yang terdapat di tempat kerja, seperti kondisi tempat kerja, peralatan kerja, material yang dipakai, proses produksi, cara kerja, limbah perusahaan dan hasil produksi (NIOSH, 1999b). Dampak yang timbul jika terjadi penyakit akibat kerja tentunya akan mempengaruhi produktivitas pekerja dalam bekerja. Hal ini tentunya juga dapat mempengaruhi kinerja perusahaan yang berdampak pada hasil produksi.

(22)

2 Menurut NIOSH, stress akibat kerja merupakan masalah umum yang saat ini terjadi di tempat kerja di Amerika. Berdasarkan hasil penelitian Northwestern National Life, satu dari empat pekerja di Amerika berpendapat bahwa pekerjaan

merupakan penyebab stress nomor satu dalam hidup mereka. Dalam sebuah survei yang dilakukan Princeton Survey Research Associates disebutkan bahwa, tiga dari empat orang di Amerika mengatakan bahwa pekerja pada saat ini memiliki tingkat stress kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan generasi beberapa tahun sebelumnya (NIOSH, 1999b). Tuntutan pekerjaan yang semakin tingginya tentunya memaksa pekerja untuk dapat bekerja secara cepat. Hal ini yang kemudian membuktikan bahwa pekerja semakin menyadari bahwa pekerjaan merupakan salah satu sumber stress yang seringkali terjadi dalam kehidupan mereka.

(23)

3 Di Indonesia, berdasarkan data Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan menyatakan bahwa dari jumlah populasi orang dewasa di Indonesia sebesar 150 juta jiwa sekitar 11,6 persen atau 17,4 juta jiwa mengalami gangguan mental emosional atau gangguan kesehatan jiwa berupa kecemasan dan depresi. Meskipun data tersebut bukan merupakan data khusus mengenai stress akibat kerja tetapi dapat memberikan gambaran mengenai jumlah kasus gangguan mental yang saat ini terjadi di Indonesia. Adapun penelitian yang pernah dilakukan oleh program studi Magister Kedokteran Kerja FKUI sekitar tahun 1990-an menunjukkan bahwa sekitar 30 persen pekerja pernah mengalami stress di tempat kerja mulai dari keluhan ringan sampai berat. Data ini menunjukkan bahwa kejadian stress kerja pada era saat ini bisa jadi semakin mengalami peningkatan. Menurut Nurmiati Amir, dokter spesialis kejiwaan dari FKUI RSCM dalam (Hidayat, 2012) mengatakan bahwa insomnia menyerang 10 persen dari total penduduk di Indonesia. Total kejadian tersebut sekitar 10-15 persennya merupakan gejala insomnia kronis. Kejadian ini dapat disebabkan situasi masalah keluarga maupun pekerjaan.

(24)

4 Dalam kegiatan proses produksi, PT X memiliki lebih dari 100 pekerja yang terbagi dalam beberapa unit departemen. Setiap unit departemen memiliki tugas dan fungsi yang berbeda dalam menjalankan kegiatannya. Kegiatan administrasi dilakukan pada bagian kantor sedangkan kegiatan produksi dilakukan pada bagian plant. Para pekerja baik di kantor maupun plant memiliki tingkat paparan sumber stress yang berbeda. Berdasarkan hasil observasi dan identifikasi bahaya di lapangan, perbedaan lokasi kerja membuat paparan bahaya dan risiko lingkungan fisik yang diterima oleh para pekerja pun berbeda di setiap lokasi pekerjaan terutama paparan bising dan debu yang memiliki intensitas paparan cukup tinggi. Selain itu, pekerja pada bagian kantor tidak memiliki shift kerja sedangkan pekerja pada bagian plant sebagian besar memiliki shift kerja karena harus memenuhi target produksi perusahaan.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 11 pekerja di PT X diketahui bahwa terdapat empat pekerja (36,4%) mengalami gejala stress yang cukup tinggi. Sedangkan tujuh pekerja lainnya (63,6 %) juga merasakan adanya gejala stress tetapi dalam intensitas yang jarang dan dalam tingkat yang lebih ringan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat permasalahan stress kerja yang dirasakan oleh pekerja.

(25)

5 berdampak pada perpecahan rumah tangga dan isolasi terhadap kehidupan sosial yang terdapat di sekitarnya.

Menurut Stranks (2005), stress kerja yang dialami pekerja tidak hanya merugikan bagi pekerja tetapi juga perusahaan. Dampak stress kerja yang dialami oleh pekerja dapat mempengaruhi performa dalam mencapai target perusahaan. Selain itu, menurut WHO, organisasi yang tidak sehat tidak akan mendapatkan usaha terbaik yang diberikan para pekerjanya. Hal ini tidak hanya berdampak pada performa organisasi tetapi juga keberlangsungan organisasi ke depannya. Kerugian akibat stress kerja yang dapat dirasakan perusahaan, antara lain meningkatnya absenteisme pekerja, menurunnya komitmen terhadap perusahaan, meningkatnya jumlah turnover pekerja, dan meningkatnya angka kecelakaan kerja. Bahkan dalam tingkat yang lebih serius, stress kerja juga dapat berdampak pada meningkatnya komplain dari klien yang berujung pada rusaknya citra perusahaan.

Pengukuran stress kerja penting dilakukan untuk mengetahui gambaran tingkat stress kerja yang dialami oleh para pekerja. Sehingga perusahaan dapat mengevaluasi penyebab stress kerja yang dialami para pekerja mereka. Pengukuran ini juga dapat digunakan sebagai langkah antisipasi untuk mencegah dan mengendalikan stress kerja yang terjadi. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.

1.2Rumusan Masalah

(26)

6 tugas dan fungsi yang berbeda serta lokasi kerja yang berbeda juga. Selain itu, pekerja pada bagian kantor maupun plant memiliki paparan sumber stress yang berbeda, seperti pajanan lingkungan fisik dan shift kerja.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 11 pekerja di PT X diketahui bahwa terdapat empat pekerja (36,4 %) mengalami gejala stress yang cukup tinggi. Sedangkan tujuh pekerja lainnya (63,6 %) juga merasakan adanya gejala stress tetapi dalam intensitas yang jarang dan dalam tingkat yang lebih ringan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat permasalahan stress kerja yang dirasakan oleh pekerja. Berdasarkan hasil studi pendahuluan tersebut maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.

1.3Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014?

2. Bagaimana gambaran faktor individual (jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri) pekerja di PT X tahun 2014?

3. Bagaimana gambaran faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan,kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental dan shift kerja) pada pekerja di PT X tahun 2014?

(27)

7 5. Bagaimana gambaran faktor dukungan sosial pada pekerja di PT X tahun

2014?

6. Apakah ada hubungan antara faktor individual (jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri) dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014?

7. Apakah ada hubungan antara faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan,kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental dan shift kerja) dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014?

8. Apakah ada hubungan antara aktivitas di luar pekerjaan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014?

9. Apakah ada hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014?

10.Faktor apakah yang paling dominan berhubungan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014?

1.4Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.

1.4.2 Tujuan Khusus

(28)

8 2. Diketahuinya gambaran faktor individual (jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri) pada pekerja di PT X tahun 2014

3. Diketahuinya gambaran faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan, kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental dan shift kerja) pada pekerja di PT X tahun 2014

4. Diketahuinya gambaran aktivitas di luar pekerjaan pada pekerja di PT X tahun 2014

5. Diketahuinya gambaran dukungan sosial pada pekerja di PT X tahun 2014

6. Diketahuinya hubungan antara faktor individual (jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri) dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014 7. Diketahuinya hubungan antara faktor pekerjaan (kebisingan,

(29)

9 8. Diketahuinya hubungan antara aktivitas di luar pekerjaan dengan stress

kerja pada pekerja di PT X tahun 2014

9. Diketahuinya hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014

10.Diketahuinya faktor yang paling dominan berhubungan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014

1.5Manfaat

1.5.1 Bagi Perusahaan

1. Sebagai gambaran tingkat stress kerja yang dialami oleh pekerja 2. Sebagai bahan evaluasi sumber stress yang terdapat di dalam maupun

luar lingkungan kerja

3. Sebagai masukan untuk mencegah dan mengendalikan stress yang dialami oleh para pekerja guna meningkatkan produktivitas perusahaan

1.5.2 Bagi Pekerja

1. Sebagai gambaran faktor penyebab stress yang dialami baik pengaruh dari faktor pekerjaan maupun luar pekerjaan

2. Sebagai bahan evaluasi diri untuk dapat mengukur tingkat stress yang dialami pekerja

3. Sebagai langkah pengendalian untuk menurunkan tingkat stress yang dialami pekerja dan mencegah dampak yang akan ditimbulkan

1.5.3 Bagi Peneliti

(30)

10 2. Pengukuran stress kerja menggunakan kuesioner yang berbeda dari penelitian yang biasa dilakukan yaitu menggunakan NIOSH Generic Job Questionnaire

1.6Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014. Subjek penelitian ini adalah seluruh pekerja di PT X. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan April-Juni 2014 di PT X. Penelitian ini akan dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer melalui pengisian kuesioner NIOSH Job Stress Questionnaire yang telah disalin ke dalam bahasa Indonesia. Jenis penelitian ini

(31)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Stress

Kata stress pertama kali diperkenalkan oleh Selye pada dunia psikologi dan kedokteran sekitar tahun 1930-an. Menurut Selye, stress merupakan reaksi organisme terhadap keadaan terancam dan tertekan. Selye menemukan bahwa stress dihasilkan dari reaksi rantai hormon neuroendokrin yang terjadi di dalam tubuh. Hal ini terjadi dengan diawalinya eksitasi pada jaringan otak yang diikuti peningkatan sekresi hormon dari kelenjar adrenal. Peningkatan sekresi hormon tersebut di dalam tubuh akan mempengaruhi peningkatan detak jantung dan tekanan darah. Reaksi dalam tubuh ini biasa disebut dengan pengaturan ergotropik dan diidentikkan sebagai mekanisme dasar terjadinya stress di dalam tubuh seseorang (Kroemer & Grandjeai, 1997).

Perkembangan penelitian mengenai stress selama beberapa dekade terakhir telah mendorong munculnya beragam definisi stress baik dari segi psikologi, fisiologi, sosial dan ilmu perilaku. Berikut ini adalah definisi stress menurut para ahli:

a. Lazarus dan Foldman mendefinisikan stress sebagai hasil dari ketidakseimbangan antara permintaan dengan sumber daya yang tersedia.

(32)

12 c. McGrath mendefinisikan stress sebagai hasil dari permintaan

lingkungan yang tidak mampu dipenuhi oleh individu.

d. McEwen menyatakan bahwa stress merupakan sebuah peristiwa yang mengancam individu sehingga menghasilkan respon secara fisiologi dan perilaku (Oxington, 2005).

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa stress merupakan ketidakseimbangan yang terjadi antara permintaan dan kemampuan individu sehingga menimbulkan respon baik secara fisiologi dan perilaku.

2.2 Stress Kerja

Stress kerja merupakan keadaan emosional yang timbul karena adanya ketidaksesuaian antara tingkat permintaan dengan kemampuan individu untuk mengatasi stress kerja yang dihadapinya. Hal ini bersifat subjektif dan selalu ada pada setiap individu yang tidak mampu mengatasi tuntutan yang terdapat di lingkungan kerja (Kroemer & Grandjeai, 1997). Stress yang diterima setiap individu berbeda tergantung dengan persepsi setiap individu yang mengalaminya. Stress kerja dapat diartikan sebagai ketidaksesuaian antara permintaan dan tekanan tetapi dapat juga diartikan sebagai ketidaksesuaian dengan pengetahuan dan kemampuan. Situasi seperti ini tidak hanya berkaitan dengan kemampuan individu untuk menghadapi tekanan pekerjaan tetapi juga pengetahuan dan kemampuan individu yang tidak digunakan dengan baik sehingga memicu timbulnya masalah bagi diri mereka (WHO, 2003).

(33)

13 tetapi juga dapat berdampak pada fisiologi individu. Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya stress kerja, antara lain kurangnya kontrol terhadap pekerjaan, ketidaksesuaian permintaan terhadap pekerja, dan kurangnya dukungan dari rekan kerja dan manajemen. Reaksi setiap individu dalam mengatasi stress berbeda-beda. Bagi beberapa individu merupakan sebuah hal yang mungkin untuk mengatasi permintaan pekerjaan yang tinggi tetapi hal ini belum tentu dapat terjadi pada individu lainnya. Sehingga kemampuan untuk menghadapi keadaan stress sangat tergantung pada evaluasi yang bersifat subjektif (OSHA, 2014).

Pekerjaan yang sehat seharusnya mampu menyesuaikan antara tekanan kerja dengan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu, kemampuan mengontrol pekerjaan dan adanya dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Hal ini dikarenakan ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan kemampuan individu dapat menimbulkan terjadinya kondisi stress yang merugikan baik bagi pekerja maupun perusahaan. Di Eropa, stress berada pada urutan kedua sebagai masalah kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaan. Pada tahun 2005, dilaporkan bahwa sekitar 22 persen pekerja di Eropa terkena dampak stress akibat kerja dan sejumlah pekerja lainnya mengalami kondisi yang berhubungan dengan stress akibat pekerjaan (WHO, 2003).

(34)

14 berdampak pada fisik, mental, dan kesehatan sosial. Sedangkan pada level organisasi dapat berdampak pada tingginya angka absenteisme, menurunnya produktivitas, rendahnya kepuasan kerja dan turnover pekerja. Selain itu, bahaya paparan fisik dan psikososial juga dapat berdampak pada kondisi psikologis individu baik secara langsung maupun tidak langsung (WHO, 2010). Berikut ini adalah mekanisme terjadinya stress kerja menurut Cox, Griffiths dan Rial-Gonzales (2000).

Sumber: Adaptasi dari Cox, Griffiths & Rial-Gonzales (2000) dalam WHO (2010)

Bagan 2.1 Lingkungan Kerja Psikososial Lingkungan Sosial dan Konteks Organisasi

Desain dan Manajemen Pekerjaan

Lingkungan Fisik Lingkungan Psikososial

Pengalaman dengan Kondisi Stress

(35)

15 2.2.1 Stress Akut

Stress akut merupakan dampak yang timbul akibat adanya sumber stress yang bersifat jangka pendek. Biasanya sumber stress tersebut seringkali terdapat di aktivitas yang dilakukan individu kemudian dengan cepat menghilang. Stress akut bisa berdampak positif jika terjadi dalam pajanan yang rendah dan ditanggapi sebagai suatu hal yang menantang oleh individu yang menerimanya. Akan tetapi, apabila stress akut ini terjadi dalam pajanan yang tinggi maka akan berdampak negatif bagi individu yang merasakannya (Olpin & Hesson, 2010).

(36)

16 Tabel 2.1 Gejala Stress Akut

Fisiologis Psikologis Perilaku

(37)

17 berkembang menjadi munculnya suatu penyakit yang berkaitan dengan stress. Hal ini dapat terjadi apabila stress akut tersebut terjadi dalam jangka waktu yang lama dan individu tidak dapat mengendalikannya (Perlmutter & Villoldo, 2011).

2.2.2 Stress Kronis

Stress kronis merupakan salah satu bentuk stress yang terjadi dalam jangka waktu yang lama dan sulit dikendalikan. Stress kronis ini terjadi karena adanya situasi mengganggu yang sangat sulit untuk diatasi. Sehingga stress kronis ini lama kelamaan akan menimbulkan kerusakan bagi tubuh, pikiran dan kehidupan individu yang merasakannya (Olpin & Hesson, 2010) .

Di negara berkembang, menurut Cox et al (2000), stress yang berhubungan dengan pekerjaan merupakan salah satu tantangan terbesar bagi kesehatan pekerja dan kesehatan organisasi pekerjaan itu sendiri. Hasil survei yang dilakukan oleh European Foundation for the Improvement of Working Conditions pada tahun 2000 menemukan bahwa

sekitar 28 % pekerja melaporkan penyakit atau masalah kesehatan yang berhubungan dengan stress terutama stress kronis. Hal ini menunjukkan bahwa stress merupakan permasalahan yang saat ini dihadapi oleh para pekerja di dunia (Flin, O'Connor, & Crichton, 2008).

(38)

18 Menurut NIOSH, beberapa penyakit yang berkaitan dengan stress kronis, antara lain diabetes, hernia, tuberculosis, asma, darah tinggi, penyakit jantung, rematik, epilepsi, glukoma, paralysis, gangguan ginjal, gangguan pernapasan, stroke, anemia, gangguan hati atau pancreas, gangguan kelenjar tiroid, insomnia, gastritis, colitis, ulkus lambung, sakit punggung, dan alergi.

Stress kronis terjadi akibat perkembangan stress akut yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak mudah menemukan hubungan antara stress akut dengan stress kronis. Hal ini dikarenakan sulitnya menentukan penyebab awal munculnya dampak dari stress kronis tersebut dimana stress akut yang menyebabkan terjadinya stress kronis atau kondisi lain yang menyebabkan terjadinya stress kronis tersebut (Praag, Kloet, & Os, 2004).

2.3 Tahapan Stress

Stress merupakan respon tubuh baik secara fisiologi maupun perilaku terhadap keadaan terancam yang dihadapi oleh individu. Menurut Watts (1990) dalam (Casper, 2014) respon tubuh terhadap stress terdiri dari lima tahapan, yaitu:

a. Tahap alarm

(39)

19 kortikoid aldosterone dan antidiuretic hormone (ADH) dalam tubuh. Sekresi ini menghasilkan retensi natrium dan air di dalam tubuh yang kemudian menjadi indikasi terjadinya inflamasi. Pada tahap yang lebih lama akan menyebabkan terjadinya gastritis, diverculitis, kolitis, sinusitis artritis, dll.

Pada tahapan ini juga terjadi peningkatan hormon stress, denyut jantung, penyempitan pembuluh darah, kadar gula darah, kadar kolesterol, pengeroposan tulang, pemecahan protein otot dan jaringan ikat, resistensi insulin, perasaan stress, takut, cemas, dan depresi. Tahap alarm ini juga menyebabkan penurunan memori jangka pendek, kemampuan berkonsentrasi, dan imunitas tubuh. Pada tahapan ini kebutuhan vitamin, seperti C, D, E, B1, B6, dan B12 serta kalsium, tembaga, kobalt, natrium, selenium dan seng mengalami peningkatan. Sehingga ketika individu kekurangan nutrisi tersebut maka kemampuannya untuk mengelola respon akan sulit dilakukan. Sisi positif dari tahapan ini adanya peningkatan refleks dan fokus mental. Hal ini dapat menjadikan tubuh merespon terhadap stress menuju efek yang baik atau buruk.

b. Tahap resisten

(40)

20 individu tidak dapat melewati tahapan ini maka katabolisme yang terjadi akan menyebabkan penyakit kronis, seperti syok, disfungsi kekebalan tubuh, fluktuasi tingkat energi, dll.

c. Tahap pemulihan

Pada tahap ini stress mulai dapat dikendalikan, perbaikan jaringan terjadi dan fungsi tubuh kembali normal. Dalam keadaan ini, sistem pencernaan, metabolisme dan fungsi sel mengalami perbaikan. Istirahat, pertumbuhan, dan aktivitas mental yang lebih tenang akan mengembalikan kesehatan individu pada level yang baik.

d. Tahap adaptasi

Jika tubuh tidak mampu melalui tahap pemulihan, keadaan stress akan menjadi kronis. Pada tahapan ini, tubuh tidak dapat menyesuaikannya kondisinya terhadap keadaan stress yang dihadapi sehingga berbagai kondisi kronis mulai muncul, seperti menurunnya tingkat energi, menurunkan self-esteem, gangguan tidur, perubahan nafsu makan, gangguan emosional, merasa sedih berkepanjangan, tidak mampu merasakan sakit, gairah seks menurun, konsentrasi menurun, serta hilangnya motivasi.

e. Tahap kelelahan

(41)

21 tahap ini kadar kolesterol mengalami peningkatan sehingga berbagai penyakit kronis timbul, seperti diabetes, kanker, penyakit jantung, sembelit, alergi dan asma, kelelahan, dan hipoglikemia. Keadaan berkepanjangan yang seperti ini akan membuat tubuh menjadi rentan terhadap berbagai macam penyakit bahkan dalam kasus yang lebih berbahaya dapat mengakibatkan kematian.

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stress Kerja 2.4.1 Karakteristik Pekerjaan

a. Kebisingan

(42)

22 Berdasarkan hasil penelitian Evans dan Johnson (1999) menemukan bahwa intensitas kebisingan yang rendah tidak memiliki dampak yang besar terhadap pekerja. Akan tetapi, dalam waktu pajanan kebisingan tersebut selama tiga jam akan memperlihatkan perubahan motivasi kerja dan peningkatan hormon stress dalam tubuh. Hasil penelitian Evans dan Johnson ini juga sejalan dengan penelitian sejenis bahwa pajanan kebisingan dapat meningkatkan kadar hormon neuroendokrin stress dalam tubuh.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Berglund dan Lindvall (1995) dan Medical Research Council (1997) menemukan bahwa pajanan kebisingan berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan beberapa penyakit lain yang berujung pada penyakit jantung koroner (Barling, Kelloway, & Frone, 2005). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ljungberg dan Neely (2007) menemukan bahwa individu yang mengalami pajanan kebisingan akan mengalami peningkatan hormon kortisol dengan tingkat stress yang bersifat subjektif (Perrewe & Ganster, 2010).

b. Pencahayaan

(43)

23 pekerjaannya sehingga akan menghabiskan lebih banyak waktu (Rout & Rout, 2002).

Selain tingkat cahaya, kualitas cahaya yang dihasilkan juga penting. Sebagian besar individu lebih merasa bahagia ketika cahaya matahari pada siang hari yang terang. Cahaya matahari pada siang hari yang terang dapat mendorong terjadinya reaksi kimia dalam tubuh yang dapat menghasilkan perasaan senang secara psikologis. Sehingga peningkatan kualitas cahaya dapat meningkatkan kualitas lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi kualitas pekerjaan yang dilakukan (Schroeder, 2013).

c. Suhu

Respon individu terhadap kondisi suhu di lingkungan kerja berbeda-beda. Meskipun pada saat ini suhu di tempat kerja cenderung bisa dikendalikan tetapi suhu di lingkungan kerja tetap dapat dikategorikan menjadi terlalu panas, terlalu dingin, dsb. Stress yang diakibatkan suhu dapat menurunkan kemampuan dalam pengambilan keputusan dan performa kerja. Selain itu, lingkungan kerja yang terlalu dingin juga dapat menurunkan tingkat ketangkasan dan motivasi dalam bekerja tetapi dapat meningkatkan kejadian kecelakaan. Berdasarkan hasil penelitian Ramsey menunjukkan bahwa kondisi lingkungan kerja yang terlalu panas dapat menurunkan kualitas kerja dan meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya kecelakaan (Rose, 1994).

(44)

24 pada lingkungan kerja yang dingin, dimana menurut Fox (1967) dan Enander (1987), suhu lingkungan kerja yang terlalu dingin juga menurunkan produktivitas kerja. Pada beberapa pekerjaan seperti tugas yang berhubungan dengan kemampuan kognitif, suhu lingkungan yang dingin dapat meningkatkan performa kerja karena dapat menurunkan terjadinya kelelahan. Akan tetapi, semakin kompleks tingkat pekerjaan maka performa kerja akan semakin memburuk jika suhu lingkungan terlalu panas atau dingin (Barling et al., 2005).

Berdasarkan hasil penelitian Pilcher et al (2002), menemukan bahwa suhu yang terlalu dingin memiliki dampak negatif terhadap proses pembelajaran dan tugas yang membutuhkan memori. Sedangkan suhu yang terlalu panas berdampak negatif terhadap tugas yang membutuhkan perhatian dan persepsi. Akan tetapi, efek ini hanya terlihat pada durasi yang singkat karena pekerja biasanya sudah teraklimatisasi jika terpajan dalam durasi waktu yang lama (Perrewe & Ganster, 2010).

d. Ventilasi

(45)

25 ruangan, ionisasi akibat peralatan elektronik, terlalu banyak orang di ruangan yang kecil, dan adanya bahan kimia (Schroeder, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian Chandraseker (2011), buruknya kualitas ventilasi dapat berdampak pada menurunnya produktivitas kerja dan kesehatan. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan Ajala (2012) menunjukkan bahwa sistem ventilasi yang baik dapat meningkatkan produktivitas kerja serta menurunkan pajanan terhadap substansi udara yang berbahaya sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit akibat hubungan kerja, absenteisme, dan turnover pekerja (Ajala, 2012).

e. Konflik Peran

Konflik peran biasanya terjadinya pada individu ketika tingginya harapan perusahaan terhadap diri mereka. Akan tetapi, tingginya harapan tersebut mempersulit pencapaian tugas yang diberikan. Konflik peran merupakan bentuk umum stressor yang terjadi di tempat kerja. Konflik ini biasanya muncul ketika pekerja diharuskan untuk berperilaku dengan cara yang bertentangan dengan diri mereka. Menurut Pomaki et al (2007) konflik peran berhubungan dengan kelelahan secara emosional, gejala depresi dan bahkan timbulnya gangguan kesehatan secara fisik. Terdapat lima bentuk konflik peran yang biasa terjadi di lingkungan kerja, yaitu:

1. Komunikasi yang tidak berjalan dengan baik

(46)

26 4. Banyaknya peran yang harus dilakukan

5. Nilai dan kepercayaan pekerja yang tidak sesuai dengan kemampuan diri (Hubbard, 1998)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada manajer di Singapura menunjukkan bahwa secara signifikan konflik peran berhubungan dengan munculnya stress kerja (Quah & Campbell, 1994). Konflik peran yang terjadi di perusahaan akan berdampak pada tingginya angka absenteisme dan turnover pekerja.

f. Ketaksaan Peran

Ketaksaan peran terjadi ketika tidak tersedia cukup informasi mengenai perilaku yang diharapkan dari perusahaan. Informasi yang tidak jelas mengenai harapan yang harus dipenuhi membuat pekerja harus menjalankan peran yang beragam. Ketidakpahaman pekerja terhadap peran yang harus dijalankan akan menimbulkan stress di tempat kerja (Hubbard, 1998). Ketaksaan peran juga berhubungan dengan ketidakjelasan dalam memberikan tugas kepada pekerja. Sehingga hal ini dapat menimbulkan terjadinya frustasi dan sulitnya bagi pekerja untuk mencapai kepuasan dalam bekerja. Hasil survei yang dilakukan Kahn et al (1964) menunjukkan bahwa 35 persen pekerja merasa bahwa tanggung jawab yang diberikan kepada mereka tidak jelas sehingga mereka tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan (Cardwell & Flanagan, 2005).

(47)

27 berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan stress kerja. Sehingga semakin tinggi ketaksaan peran yang dirasakan maka akan semakin tinggi juga tingkat stress kerja yang dialami. Hal ini kemudian berdampak pada menurunnya potensi kerja mereka sebesar 80 % akibat stress kerja yang dialami (Ram, Khoso, Shah, Chandio, & Shaikih, 2011).

g. Konflik Interpersonal

Setiap pekerjaan pasti mengharuskan pekerjanya untuk berinteraksi dengan orang lain, misalnya dengan rekan kerja, klien, atau kontraktor. Dalam beberapa pekerjaan, interaksi sosial merupakan sumber kepuasan kerja. Akan tetapi, di sisi lainnya, interaksi sosial berpotensi menimbulkan konflik yang dapat mengakibatkan stress. Dalam tingkat yang lebih bahkan konflik interpersonal tadi dapat mengakibatkan terjadinya kekerasan fisik. Penyebab munculnya konflik interpersonal seringkali disebabkan kompetisi antar pekerja. Di beberapa perusahaan, pekerja diwajibkan mencapai beberapa target untuk bisa mendapatkan penghargaan, promosi jabatan atau reward.

(48)

28 menghadiri sebuah pertemuan yang dianggap penting. Sehingga dapat dikatakan bahwa konflik interpersonal merupakan salah satu variabel penting yang dapat berdampak kompleks bagi pekerja yang mengalaminya (Jex & Britt, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja di Jepang menunjukkan bahwa pada pekerja baik laki-laki maupun perempuan konflik interpersonal berpengaruh terhadap stress secara psikologis (Tsuno et al., 2009). Dalam penelitian lainnya yang dilakukan pada perusahaan manufaktur skala kecil dan sedang di Jepang menunjukkan bahwa tingginya konflik interpersonal dapat berpengaruh terhadap peningkatan gejala depresi (Ikeda et al., 2009). h. Ketidakpastian Pekerjaan

(49)

29 sangat berhubungan dengan ketidakpuasan kerja, kecemasan dan depresi (Heery & Salmon, 1998).

Ketidakpastian pekerjaan juga dapat berhubungan dengan kemungkinan perubahan pekerjaan dan kemungkinan keterampilan yang tidak berguna di masa mendatang. Kekhawatiran mengenai ketidakpastian pekerjaan bisa terjadi ketika adanya situasi penggabungan perusahannya bekerja. Kekhawatiran yang terjadinya ini dapat meningkatkan risiko terjadinya stress pada individu tersebut. Stress yang berkepanjangan tersebut dapat berdampak dengan munculnya gangguan secara psikologis dan fisik. Selain itu, kekhawatiran ini juga dapat memicu terjadinya kelelahan dalam bekerja (Robbins, 2009).

i. Kurangnya Kontrol

Stress terjadi ketika adanya permintaan dari lingkungan yang tidak sesuai dengan kemampuan individu dalam mengatasinya. Ketika permintaan dari lingkungan tersebut tidak mampu dipenuhi maka individu tersebut akan merasa sulit melakukan kontrol terhadap dirinya sendiri. Kurangnya kontrol terhadap diri sendiri dapat menimbulkan terjadinya stress. Hal ini dikarenakan individu tersebut tidak mampu mengatur dirinya sendiri (Cardwell & Flanagan, 2005).

(50)

30 terhadap pekerjaannya. Hasil penelitian tersebut kemudian merekomendasikan agar para manajer lebih memberikan kebebasan bagi para staf untuk melakukan kontrol terhadap pekerjaan mereka (O'Rourke & Collins, 2009).

j. Kurangnya Kesempatan Kerja

Perekonomian dunia saat ini perlahan berusaha bangkit setelah terjadinya krisis ekonomi. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi yang semakin kuat tidak dibarengi oleh peningkatan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan di masyarakat. Hal ini berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran yang terjadi di hampir seluruh dunia. Sehingga hal ini dapat membuat pertumbuhan ekonomi yang sedang terjadi kembali mengalami kegoyahan (Forbes, 2012).

(51)

31 Kekhawatiran yang terjadi terus menerus ini dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi individu yang merasakannya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja dewasa menunjukkan bahwa perasaan khawatir akibat kurangnya lapangan pekerjaan dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan mental, ketidakstabilan emosi, dan kecemasan (Burgard, Kalousova, & Seefeldt, 2012). Meskipun seorang pekerja telah berusaha mengantisipasi kemungkinan sulitnya mendapatkan pekerjaan lagi maka hal tersebut tetap dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya depresi dan perasaan gelisah (L. B. Singh, 2006).

k. Jumlah Beban Kerja

(52)

32 bekerja, gangguan emosional, tingkat depresi yang tinggi, dan munculnya sejumlah gejala psikosomatis.

Beban kerja yang tinggi memang dapat menimbulkan kondisi stress bagi pekerja. Akan tetapi, beban kerja yang terlalu sedikit juga dapat menimbulkan stress bagi pekerja. Hal ini dikarenakan pekerjaan yang diberikan terlalu monoton, membosankan, dan terlalu jauh dibawah kemampuan pekerja itu sendiri. Sehingga pekerja merasa tertekan dengan kondisi pekerjaan yang demikian (Koradecka, 2010). l. Variasi Beban Kerja

Variasi beban kerja berkaitan dengan beragam jenis pekerjaan yang diberikan kepada pekerja dengan tuntutan kemampuan yang berbeda-beda. Variasi beban kerja yang beragam dapat menimbulkan stress bagi pekerja ketika mereka merasa tidak mampu melaksanakan tugas tersebut. Ketidakmampuan pekerja dalam menyelesaikan tugas tersebut dapat mempengaruhi penilaian diri seseorang terhadap dirinya (Rose, 1994). Berdasarkan hasil survei Caplan et al (1975) pada 23 negara menemukan bahwa tingginya kompleksitas pekerjaan akan semakin meningkatkan gejala depresi pada pekerja (Koradecka, 2010).

(53)

33 kerja yang tinggi berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan gejala depresi baik pada pekerja laki-laki maupun perempuan. Hasil penelitian ini kemudian menyarankan agar dilakukan perubahan terhadap iklim tempat kerja untuk meningkatkan nilai kesehatan para pekerja (Ikeda et al., 2009).

m.Tanggung Jawab Terhadap Pekerja Lain

Tanggung jawab merupakan sumber stress yang berasal dari peranan dalam organisasi. Tanggung jawab dalam pekerjaan terbagi menjadi dua, yaitu tanggung jawab terhadap benda dan tanggung jawab terhadap orang lain. Menurut Wardwell et al (1964) memegang tanggung jawab terhadap orang lain secara signifikan dapat memicu terjadi penyakit jantung koroner dibandingkan memegang tanggung jawab terhadap benda. Peningkatan tanggung jawab terhadap orang lain berarti bahwa seorang pekerja lebih sering menghabiskan waktunya untuk berinteraksi dengan pekerja lain, menghadiri pertemuan, bekeja sendiri dan sebagai konsekuensinya berdasarkan penelitian French & Caplan (1970) akan menyebabkan seorang pekerja berada dalam tekanan.

(54)

34 akan semakin besar kemungkinan munculnya gejala penyakit jantung koroner (Cooper, 2013).

Hasil penelitian Sulsky & Smith (2005) menunjukkan bahwa seorang pekerja yang memiliki tanggung jawab dalam mengatur orang lain akan mengalami tingkat stress yang cukup tinggi. Memiliki tanggung jawab terhadap orang lain juga dapat menyebabkan munculnya rasa cemas. Hal ini dapat terjadi pada berbagai profesi yang tidak terbatas hanya pada seorang manajer tetapi juga guru, petugas kesehatan, pelaksana hukum (Gatchel & Schultz, 2012).

n. Kemampuan yang Tidak Digunakan

Kemampuan pekerja yang tidak digunakan dapat menimbulkan stress bagi pekerja tersebut. Kondisi seperti ini seringkali terjadi ketika pekerja memiliki kemampuan yang banyak untuk melakukan suatu pekerjaan. Akan tetapi, kemampuan tersebut tidak dapat digunakan karena sudah menggunakan alat bantu atau adanya pekerja lain yang melakukan tugas tersebut. Kondisi pekerjaan yang demikian dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan ketidakpuasan bagi pekerja sehingga berdampak pada timbulnya stress (Ross & Altmaier, 2000).

(55)

35 yang tidak digunakan dengan baik berhubungan secara signifikan terhadap kejadian stress kerja pada level manager dan pekerja buruh (Jamal & Ahmed, 2009).

o. Tuntutan Mental

Tuntutan mental merupakan sumber stress yang signifikan terutama pada pekerjaan yang menuntut interaksi secara langsung dengan klien perusahaan khususnya pada sektor jasa. Pekerjaan yang mengharuskan berinteraksi dengan orang lain memiliki banyak sumber emosi yang bersifat negatif, seperti kesedihan, mudah marah, tidak sabar, dll. Secara umum, standar yang diterapkan perusahaan pasti menuntut pekerjanya untuk selalu bersikap ramah terhadap klien yang dihadapi. Akan tetapi, hal ini bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dilakukan seorang pekerja. Di satu sisi, pekerja harus bersiap menghadapi emosi negatif yang berasal dari klien yang dihadapi. Tetapi di sisi lainnya mereka harus tetap bersikap ramah meskipun keadaan emosional pekerja tidak dalam kondisi baik. Menurut Zapf (2002), pekerjaan yang menuntut kondisi emosional yang baik sangat berhubungan dengan rendahnya tingkat kesejahteraan pekerja secara mental (Koradecka, 2010).

p. Shift Kerja

(56)

36 produksi hormon, dan gangguan irama sirkadian. Shift kerja terutama pada malam hari akan menyebabkan perubahan kerja dimana para pekerja diharuskan lebih aktif pada waktu malam yang seharusnya digunakan untuk beristirahat. Selain itu, penyesuaian diri terhadap shift bukan suatu hal yang mudah. Hal ini dikarenakan penyesuaian yang dilakukan tidak hanya berkaitan dengan aktivitas yang akan dilakukan tetapi juga berkaitan dengan proses sirkadian di dalam tubuh serta aktivitas sosial lainnya.

Pekerjaan shift terutama saat malam hari akan memberikan tekanan yang besar bagi tubuh. Tubuh akan merasa lebih lelah sehingga risiko terjadinya kecelakaan akan meningkat. Jam kerja yang terlalu lama sebaiknya juga dihindari. Urutan shift kerja yang baik yaitu shift pagi- siang – malam dan setiap shift tersebut diselesaikan tubuh akan membutuhkan waktu sekitar 11 jam untuk beristirahat. Kurangnya istirahat akan memberikan efek negatif dari stress dengan munculnya gangguan kesehatan (Authority, 2006).

(57)

37 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada perawat shift malam menunjukkan bahwa stress kerja yang dialami oleh perawat shift malam mempengaruhi kinerja mereka menjadi kurang baik. Menurunnya kinerja ini disebabkan adanya tekanan emosional yang mereka hadapi (Klau, 2010). Hubungan antara stress kerja dan shift kerja juga signifikan pada pekerja bagian produksi di PT Newmont Nusa Tenggara (Firmana, Firmana, & Hariyono, 2011). Selain itu, pada penelitian terhadap operator SPBU di Magelang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat stress kerja yang dirasakan pekerja pada setiap shiftnya dimana pekerja pada shift malam memiliki tingkat stress kerja paling tinggi (Nuryati, 2007).

2.4.2 Karakteristik Individu a. Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan stress di tempat kerja. Menurut ILO (2001), perempuan lebih berisiko mengalami stress yang dapat berdampak pada timbulnya penyakit akibat stress serta tingginya keinginan untuk meninggalkan pekerjaannya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan rentan mengalami stress kerja, yaitu:

1. Perempuan memiliki peran dominan dalam merawat keluarga sehingga total beban kerja perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

(58)

38 3. Semakin banyaknya perempuan yang menduduki jabatan penting 4. Semakin banyaknya perempuan yang bekerja pada tingkat stress

kerja tinggi

5. Terjadinya ketidakadilan dan diskriminasi dari posisi yang lebih senior

Selain itu, respon perempuan dan laki-laki dalam menghadapi stress juga cenderung berbeda. Berdasarkan hasil penelitian Wichert (2002) menemukan bahwa laki-laki cenderung untuk mengatasi stress yang dialami dengan melakukan perubahan perilaku, seperti merokok, minum alkohol, obat-obatan, dll. Sedangkan perempuan cenderung mengatasi stress yang dihadapi dengan melakukan perubahan secara emosional. Sehingga laki-laki cenderung mengalami penurunan kualitas kesehatan secara fisik ketika mengalami stress. Adapun wanita cenderung mengalami penurunan kualitas kesehatan secara psikologis (Bickford, 2005).

(59)

39 dilakukan pada pekerja di Thailand menemukan bahwa tingkat stress pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Tingkat ini dipengaruhi oleh iklim lingkungan yang tidak nyaman (Tawatsupa, Lim, Kjellstrom, Seubsman, & Sleigh, 2010). Sedangkan dalam penelitian lain yang dilakukan pada perawat tidak ditemukan hubungan antara stress kerja dengan jenis kelamin (Sukmono, 2013).

b. Umur

Umur dapat mempengaruhi tingkat stress yang dialami seseorang. Berdasarkan hasil penelitian Wichert (2002), pekerja pada usia yang lebih tua cenderung mengalami stress lebih rendah dibandingkan dengan pekerja berumur muda. Tetapi pengalaman stress pada pekerja yang berumur tua lebih banyak dibandingkan dengan pekerja muda. Pengaruh umur terhadap stress yang dialami pekerja biasanya hanya terjadi pada pekerjaan tertentu terutama yang berhubungan dengan kekuatan fisik dan penggunaan indera (Bickford, 2005).

(60)

40 lebih rendah. Pada penelitian tersebut umur yang lebih tua berada pada kategori 34 tahun ke atas (Fitri, 2013).

c. Status Pernikahan

Status pernikahan dapat berpengaruh pada tingkat stress seseorang. Individu yang berstatus menikah biasanya memiliki tingkat stress yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang tidak menikah. Hal ini terjadi dikarenakan apabila pekerja mendapat dukungan dalam karir dari pasangannya maka stress kerja yang dialaminya akan cenderung karena adanya dukungan dari pasangan (Fink, 2010). Akan tetapi, pengaruh status pernikahan terhadap stress hanya akan berpengaruh positif apabila pernikahan tersebut berjalan dengan baik.

Pernikahan yang tidak bahagia akan lebih mungkin menimbulkan stress dibandingkan dengan individu yang tidak menikah. Berdasarkan hasil penelitian Kiecolt-Glaser et al (2003) membuktikan bahwa individu yang bercerai dan individu yang menikah tetapi tidak bahagia akan memiliki tingkat stress yang sama tingginya dibandingkan dengan individu yang memiliki pernikahan yang bahagia (Ogden, 2012). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada perawat dimana terdapat hubungan antara status pernikahan dengan kejadian stress kerja (Sukmono, 2013).

d. Jumlah Anak

(61)

41 kehadiran anak dalam sebuah pernikahan dapat mengakibatkan menurunnya kepuasan pernikahan. Menurunnya kepuasan pernikahan ini sebagai dampak adanya transisi menjadi pasangan orang tua sehingga dapat menimbulkan perasaan stress. Hal ini seringkali terjadi setelah kelahiran anak pertama (Shute, 2009).

Menjadi orang tua merupakan salah satu pengalaman yang menyenangkan. Akan tetapi, ada saatnya tuntutan dalam kehidupan sebagai orang tua dapat menyebabkan stress. Selama ini, perawatan terhadap anak dianggap dapat meningkatkan perasaan stress yang dirasakan orang tua. Sehingga hal ini dapat memicu timbulnya kemarahan, kecemasan hingga perasaan stress yang cukup berat. Hal ini dapat dirasakan lebih berat ketika jumlah anak yang dimiliki semakin banyak dan apabila terdapat anak yang memiliki perilaku sulit diatur (CMHA, 2014).

(62)

42 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah anak dalam pernikahan dengan kejadian stress pada orang tua.

e. Masa Kerja

Masa kerja berhubungan dengan pengalaman pekerja dalam menghadapi permasalahan di tempat kerja. Pekerja yang memiliki masa kerja lebih lama biasanya memiliki permasalahan kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan pekerja dengan masa kerja yang masih sedikit (Harigopal, 1995). Masa kerja yang berhubungan dengan stress kerja berkaitan dalam menimbulkan kejenuhan dalam bekerja. Pekerja yang telah bekerja lebih dari lima tahun biasanya memiliki tingkat kejenuhan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja baru. Kejenuhan ini yang kemudian dapat berdampak pada timbulnya stress di tempat kerja (Munandar, 2001).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pustakawan di Universitas Gadjah Mada didapatkan hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan stress kerja. Pada pekerja yang memiliki masa kerja lebih dari 18 tahun memiliki tingkat stress kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja yang memiliki masa kerja lebih sedikit (Sarwono & Purwono, 2006).

f. Kepribadian Tipe A

(63)

43 yang memiliki tipe kepribadian ini cenderung bereaksi secara berlebihan sehingga memiliki tekanan darah yang tinggi. Selain itu, kepribadian tipe A juga membuat individu mudah marah sehingga cenderung mengalami permusuhan dengan lingkungan di sekitarnya (McLeod, 2011).

Seseorang dengan kepribadian tipe A memiliki pola yang cepat dalam berbicara, kurang relaks, agresif, mendominasi dalam mencapai tujuan, sangat suka bekerja sehingga pola ini dapat memprediksi infark miokardial (Matthews, Deary, & Whiteman, 2003). Selain itu, hasil dari penelitian yang dilakukan pada pasien yang mengalami penyakit jantung koroner menemukan bahwa pasien yang mengakami penyakit tersebut memiliki tingkat kepribadian tipe A yang tinggi yang juga berdampak pada timbulnya rasa gelisah, stress yang tinggi, dan depresi (Swapana, Singh, & Demen, 2008).

Berdasarkan penelitian King (2002), menyatakan bahwa pasien yang terkena penyakit infark miokardial mengalami stress sebagai penyebab terjadinya serangan jantung yang mereka alami. Begitu juga dengan pendapat Stansfeld (2002) bahwa permasalahan stress berkaitan dengan munculnya sejumlah penyakit sehingga ketika individu mengalami stress maka akan semakin mudah terkena penyakit jantung (Matthews et al., 2003).

g. Penilaian Diri

(64)

44 dirinya dapat mempengaruhi perilaku. Berdasarkan hasil penelitian Randle (2001) menemukan bahwa penilaian diri individu yang positif dapat mempengaruhi perilakunya menjadi lebih baik dalam mengatasi sumber stress yang dihadapinya (Resnick, 2004).

Rosenberg (1986) menyatakan bahwa penilaian diri seseorang dapat berubah setiap waktu dan dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari luar diri individu tersebut. Selain itu, stress kerja kronis berhubungan secara signifikan dengan peningkatan stress secara fisik, kurangnya kompetensi, dan rendahnya penilaian diri individu tersebut (Koslowsky, 1998).

2.4.3 Aktivitas di Luar Pekerjaan

(65)

45 2.4.4 Faktor Pendukung

a. Dukungan Sosial

Hubungan yang baik antara individu dengan lingkungannya akan memberikan dampak yang positif bagi kesejahteraan individu tersebut. Hubungan yang baik bukan hanya dengan menghindari terjadinya konflik di tempat kerja tetapi juga adanya dukungan aktif yang diberikan kepada pekerja. Menurut House (1981), terdapat empat jenis dukungan, yaitu:

1. Dukungan emosional berupa rasa simpati, ketertarikan, kebaikan, dll.

2. Dukungan instrumental berupa dukungan yang nyata, seperti bantuan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan.

3. Dukungan informasi berupa memberikan informasi yang berguna dalam menyelesaikan suatu permasalahan.

4. Dukungan evaluasi berupa opini yang berkaitan dengan penampilan, perilaku atau tindakan seseorang.

(66)

46 mengatasi sumber stress tersebut sehingga tingkat stress menjadi rendah dan tidak berdampak negatif bagi kesehatan pekerja. Dukungan sosial juga dapat berpengaruh positif bagi kesejahteraan pekerja. Karena pekerja yang dikelilingi lingkungan yang baik akan merasa lebih percaya diri meskipun bekerja dalam kondisi yang sangat tertekan sekalipun (Koradecka, 2010).

2.5 Dampak Stress Kerja 2.5.1 Dampak Bagi Pekerja

Stress merupakan masalah umum yang saat ini seringkali terjadi pada pekerja. Stress memiliki dampak kerugian yang besar bagi absenteisme dan rendahnya performa kerja. Selain itu, efek jangka panjang stress dapat menimbulkan berbagai penyakit, seperti gangguan lambung, gangguan tulang dan otot, hipertensi hingga penyakit jantung. Penyakit-penyakit tersebut merupakan penyebab tingginya angka kesakitan, kecacatan, dan kematian di negara industri (ILO).

Berbagai penelitian yang dilakukan untuk mengetahui dampak stress terhadap individu menemukan bahwa stress berdampak negatif pada tiga hal, yaitu psikologis, kesehatan fisik, dan perilaku individu.

a. Efek psikologis

Efek psikologis yang dapat timbul akibat kondisi stress, antara lain

1. Sulitnya berkonsentrasi 2. Ketidakpuasan dalam bekerja

(67)

47 4. Gangguan somatik, seperti sakit kepala, sesak napas, dan pusing 5. Rendahnya penghargaan diri

Adapun efek jangka panjang bagi kondisi psikologis individu, yaitu insomnia, kecemasan dan depresi kronis, neurosis, dan bunuh diri (Hardy, Carson, & Thomas, 1998).

Depresi dan kecemasan merupakan dampak langsung yang disebabkan bahaya psikososial di tempat kerja. Di Inggris, sekitar 15-30 persen mengalami gangguan kesehatan mental akibat pekerjaan

mereka. Berdasarkan hasil penelitian D’Souza et al (2003)

menunjukkan bahwa karakteristik pekerja seperti rendahnya pengontrolan pekerjaan, keterlibatan pengambilan keputusan, pemanfaatan keterampilan, dan ketidakseimbangan imbalan berhubungan erat dengan risiko depresi, rendahnya fungsi kesehatan, kecemasan, kelelahan, ketidakpuasan kerja, dan absen karena sakit. Dalam penelitian lainnya yang dilakukan oleh Park et al (2009) didapatkan hasil bahwa stress kerja memiliki peran yang signifikan dalam meningkatkan risiko terjadinya depresi (WHO, 2010). Dari beberapa hasil penelitian di atas dapat dilihat bahwa stress kerja memiliki pengaruh dalam meningkatkan risiko terjadinya gangguan kesehatan mental pekerja.

b. Efek kesehatan fisik

(68)

48 (Dollard, Winefield, & Winefield, 2003). Adapun efek jangka panjang yang dapat timbul, seperti penyakit jantung, hipertensi, dan rendahnya kondisi kesehatan secara umum (Hardy et al., 1998).

Berdasarkan hasil penelitian De Beeck & Hermasn (2000) menemukan bahwa risiko psikososial juga dapat berdampak pada timbulnya gangguan muskuloskeletal. Gangguan low back pain memiliki peran yang sangat berkaitan dengan faktor psikososial, seperti rendahnya dukungan sosial, kepuasan kerja, buruknya organisasi kerja dan rendahnya konten pekerjaan. Dampak yang ditimbulkan akibat paparan bahaya fisik dan psikososial terhadap kejadian musculoskeletal akan lebih besar dibandingkan paparan secara terpisah. Dalam penelitian Sim, Lacey, dan Lewis (2006) menunjukkan bahwa faktor fisik dan psikososial berhubungan dengan kerjadian sakit pada leher dan limbik bagian atas. Hal ini terjadi dikarenakan kegiatan mengangkut yang berulang, bekerja dengan lengan bagian atas, rendahnya kesempatan mengontrol pekerjaan, dan rendahnya dukungan supervisor.

Gambar

Tabel 2.1 Gejala Stress Akut
Tabel 2.2  Cara Mendesain Tempat Kerja yang Baik
Tabel 2.3 Perbandingan Instrumen Pengukuran
Tabel 4.1 Data Pekerja PT X
+7

Referensi

Dokumen terkait

Di dalamnya akan dibahas mengenai jam kerja, beban kerja, rutinitas, kebisingan, peran individu dalam organisasi, perkembangan karir, hubungan interpersonal,

b) Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan dari faktor intrinsik pekerjaan, gaji, penyeliaan, rekan sekerja, dan kondisi kerja terhadap kepuasan kerja

Menurut Cooper (1983) dalam Rice (1999), faktor eksternal yang mempengaruhi tingkah laku individu dalam bekerja antara lain: kondisi pekerjaan, stres karena peran,

Di dalamnya akan dibahas mengenai jam kerja, beban kerja, rutinitas, kebisingan, peran individu dalam organisasi, perkembangan karir, hubungan interpersonal,

Dari hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan, sikap, perilaku santri, kepadatan penghuni, kelembaban udara, pencahayaan alami, suhu, dan ventilasi

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa umur, masa kerja, hubungan interpersonal, dan peran individu dalam organisasi merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan

Identifikasi terhadap faktor-faktor konflik kerja dan keluarga pada penelitian ini didasarkan pada pandangan Greenhaus dan Beutell (1985) yang menjelaskan tiga

Gambaran faktor Ventilasi terhadap Sick Building Syndrome SBS Faktor ventilasi terhadap sick building syndrome merupakan salah satu karakteristrik independen yang menjelaskan