• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN PERGURUAN TINGGI DALAM MENUMBUHKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN PERGURUAN TINGGI DALAM MENUMBUHKAN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id

DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol47.no4.1591 PERAN PERGURUAN TINGGI DALAM MENUMBUHKAN BUDAYA

ANTI KORUPSI DI INDONESIA

Putra Perdana Ahmad Saifulloh*

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya Korespondensi: putrappas@gmail.com

Naskah dikirim: 20 Maret 2017 Naskah diterima untuk diterbitkan: 7 Juni 2017

Abstract

Post – reform, anti – corruption agenda into a central theme of law enforcement in Indonesia. Corruption is crime that has personality and characteristic as an extraordinary crime. To eradicate corruption, Parliament and Government have made regulation of legislation and formed corruption eradication institution. The institution that is still trusted by public for doing corruption eradication is Corruption Eradication Commission (KPK). KPK formed because the corruption eradication is done by police and prosecutor have not optimal. The effort which has been done by KPK, Prosecutor and Police is action effort that requires a big budget. Corruption eradication will never succeed and optimal in case country just depends on law enforcement institution. Actually the lowest cost of corruption eradication effort is prevention. This college has a central role in corruption prevention thing, especially in growing anti - corruption culture, increasing awareness of law and internalizing integrity values toward college student. The college student are candidate of nation leader in the future who need to protected in order to get off from corruption behavior or corruption crime. Therefore maximize of Tri Dharma in college increasing effort anti - corruption culture for college student and society.

Keywords: The college, Culture, Anti – Corruption.

Abstrak

(2)

berhasil, dan optimal jika negara hanya mengandalkan penindakan yang dilakukan lembaga penegak hukum. Sebenarnya upaya memberantas korupsi yang paling murah adalah dengan upaya pencegahan. Perguruan Tinggi disini memiliki peran yang sentral dalam hal pencegahan tindak pidana korupsi, terutama dalam menumbuhkan budaya anti korupsi, peningkatan kesadaran hukum, dan penanaman nilai-nilai integritas kepada Mahasiswa. Mahasiswa yang merupakan calon pemimpin bangsa di masa depan perlu dibentengi agar terhindar dari perilaku koruptif maupun tindak tindak korupsi. Untuk itu optimalisasi Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah upaya untuk menumbuhkan budaya anti korupsi bagi Mahasiswa, dan Masyarakat.

Kata Kunci: Perguruan Tinggi, Budaya, Anti Korupsi.

I. Latar Belakang

Salah satu warisan masalah yang diberikan oleh Orde Baru adalah persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Korupsi merupakan pemicu kuat rubuhnya Pemerintahan Orde Baru yang kemudian melangkah ke reformasi. Di era Orde Baru sejalan dengan gaya pemerintahannya yang otoriter, korupsi tersentralisasi, dan menumpuk pada keluarga Presiden Soeharto, dan kroni-kroninya. Akibatnya korupsi menjadi budaya pemerintahan orde baru, dan dijadikan budaya oleh pejabat publik, baik di tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif.1

Pasca Reformasi, agenda pemberantasan korupsi menjadi tema sentral penegakan hukum di Indonesia. Pemberantasan korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Secara umum tindak pidana ini tidak hanya mengakibatkan kerugian keuangan negara, tetapi dapat mengakibatkan dampak yang sangat luas, baik di bidang sosial, ekonomi, keamanan, politik, dan budaya. Korupsi juga merupakan tindak pidana yang dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas suatu bangsa. Bahkan, korupsi selain menyengsarakan rakyat, juga melanggar hak-hak ekonomi dan sosial rakyat.2

Korupsi dalam sudut pandang hukum pidana merupakan merupakan kejahatan internasional yang memiliki sifat, dan karakter sebagai extra ordinary crime. Menurut Edward O.S. Hiariej, ada empat alasan mengatakan korupsi sebagai extra ordinary crime. Yang pertama, korupsi merupakan kejahatan terorganisasi yang dilakukan secara sistematis; yang kedua, korupsi dilakukan dengan modus operandi yang sulit sehingga tidak mudah untuk membuktikannya; yang ketiga, korupsi selalu berkaitan dengan kekuasaan; yang keempat, korupsi adalah kejahatan yang berhubungan dengan nasib orang

1 Zainal Arifin Mochtar, Lembaga Negara Independen: Dinamika Perkembangan,

dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers: Jakarta, 2016), hlm. 81-82.

2 Artidjo Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern, (Yogyakarta: FH UII Press,

(3)

banyak karena keuangan Negara yang dapat dirugikan sangat bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat.3

Menurut Indah Harlina korupsi bukan hanya tergolong sebagai extra ordinary crime, akan tetapi lebih dari itu korupsi juga bertentangan dengan Asas Negara Hukum, bahkan dapat merusak cita-cita Negara hukum yang dianut Indonesia.4 Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 berbunyi: “Negara Indonesia

adalah Negara Hukum.5 Karakteristik utama konsep negara hukum adalah prinsip hukum yang wajib dihormati oleh siapapun, termasuk oleh pembuat undang-undang sebagai pembentuk hukum juga terikat padanya.6 Menurut Julius Stahl ada empat ciri yang harus dimiliki dan menjadi ciri negara hukum

(rechsstaat), yaitu: perlindungan HAM, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang dan peradilan tata usaha negara.7 Menurut A.V. Dicey, unsur-unsur rule of law, antara lain: supremasi hukum (supremacy of the law), persamaan kedudukan dalam hukum (equality before the law), dan

due process of law.8 Dalam negara hukum, ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum, yaitu: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum.9 Indah Harlina mengemukakan alasan mengapa korupsi bertentangan dengan Asas Negara Hukum yang dianut Indonesia. Pertama, korupsi merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Kedua, korupsi merusak tatanan sistem hukum akibatnya penegakan hukum tidak berjalan sehingga kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmanssigkeit), dan keadilan (Gerechtigkeit) tidak dapat diwujudkan. Ketiga, korupsi memiliki dampak luas. Rusaknya tatanan negara hukum karena korupsi juga mengakibatkan dampak yang merugikan masyarakat luas.10

Brutalnya korupsi itu menjadi inisiatif munculnya pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).11 KPK dibentuk dengan misi utama melakukan penegakan hukum, yakni dalam hal pemberantasan korupsi. Dibentuknya lembaga ini dikarenakan adanya pemikiran bahwa lembaga penegak hukum konvensional, seperti Kejaksaan dan Kepolisian, dianggap belum mampu

3 Edward O.S. Hiariej, “Pembuktian Terbalik dalam Pengembalian Aset Kejahatan

Korupsi”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Tanggal 30 Januari 2012, hlm. 1-2.

4 Indah Harlina, “Kedudukan, dan Kewenangan Komisi Pemberntasan Korupsi dalam

Penegakan Hukum”, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008, hlm. 70.

5 PadmoWahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, (Jakarta: Ghalia

Indah, 1986), hlm. 1.

6 Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),

hlm. 15.

7 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, (Jakarta:

Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 141.

8 Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT.

Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 10.

9 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty,

2003), hlm. 160.

10 Indah Harlina, Op.Cit., hlm 70.

(4)

memberantas korupsi.12 Oleh karena itu perlu dibentuk lembaga khusus yang mempunyai kewenangan luas dan independen serta bebas dari kekuasaan mana pun. Selain itu, dengan semakin canggihnya cara orang melakukan korupsi, badan penegak hukum konvensional semakin tidak mampu mengungkapkan dan membawa kasus korupsi besar ke pengadilan.13 Dari KPK berdiri sampai sekarang, KPK masih menjadi lembaga primadona dalam pemberantasan korupsi, walaupun ada gerakan yang oleh Denny Indrayana disebut sebagai

corruptor fight back yang ingin mempelemah KPK.14 Akan tetapi, Penulis menilai ada kelemahan dari apa yang dilakukan KPK, Jaksa, dan Polisi selama ini dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, mengingat cara yang digunakan kebanyakan adalah penindakan yang membutuhkan anggaran besar.15

Secara umum penegakan hukum terdiri dari dua bagian, yaitu: pencegahan,16 dan penindakan.17 Penulis menilai tidak akan pernah berhasil,

12 Teten Masduki dan J. Danang Widoyoko, Menunggu Gebrakan KPK, dalam Jurnal

Jentera, Edisi 8, Tahun III, Maret, 2005, hlm. 41.

13 Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi (Elemen sistem Intergritas Nasional),

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm. 177.

14 Menurut Bambang Widjojanto ada empat modus corruptor fight back yang

dilakukan kepada KPK, diantaranya: (1). Melakukan uji materi yang tujuannya mengamputasi kewenangan-kewenangan strategis KPK, sudah 12 kali UU KPK diuji materikan ke Mahkamah Konstitusi: (2). Usaha untuk merevisi UU KPK yang tujuannya memperlemah KPK yang paling gencar dengan cara upaya menghilangkan senjata pamungkas KPK yaitu penyadapan, dan menghilangkan penuntutan dari kewenangan KPK; (3). Melakukan kriminalisasi kepada Pimpinan KPK, Tahun 2009, setelah Antasari Azhar diberhentikan tetap karena menjadi terdakwa pembunuhan berencana, dua Wakil Ketua KPK: Bibit Samad Rianto, dan Chandra M. Hamzah dijadikan tersangka oleh Polisi yang dikenal sebagai Cicak VS Buaya Jilid 1, tidak berhenti sampai disitu Tahun 2015 adalah masa gelapnya KPK dimana Ketua KPK, Abraham Samad, Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, dan Penyidik Senior KPK, Novel Baswedan dijadikan tersangka oleh Polisi atas kasus yang terkesan “dicari-cari”. Oleh Publik kejadian ini dijuluki Cicak VS Buaya Jilid 2. (4). Modus baru yang terakhir adalah dengan cara menaruh orang-orang tidak kredibel di internal KPK yang menjadikan KPK kehilangan kepercayaan publik. Penulis sarikan dari komentar Mantan Wakil Ketua KPK, Dr. Bambang Widjojanto, S.H., L.L.M., M.H di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, di Puri Imperium Office Plaza (UG) floor unit 15, Jl. Kuningan Madya Kav 5-6, Jakarta Selatan, Pukul 12.30 WIB saat peluncuran buku, diskusi, dan bedah buku “Jangan Bunuh KPK” karya Prof. Denny Indrayana, S.H., L.L.M., Ph.D.

15 Terbukti APBN untuk KPK Tahun 2015: 0,9 Triliun, dan Tahun 2016 naik menjadi

1,1 Triliun; APBN untuk Polri di Tahun 2015: 57,1 Triliun, dan Tahun 2016 naik menjadi 73 Triliun; APBN untuk Mahkamah Agung mengalami kenaikan dari 8,6 Triliyun di Tahun 2015, menjadi 9 Triliyun di Tahun 2016; APBN untuk Kejaksaan Tahun 2016 pun terhitung besar: 4,5 Triliyun. Bayangkan jika APBN-APBN ini digunakan untuk sektor-sektor lain, seperti kesehatan, dan program-program kesejahteraan rakyat lainnya. Lihat Kementrian Keuangan RI, Informasi APBN 2016: Mempercepat Pembangunan Infrastruktur Untuk Memperkuat Pondasi Pembangunan yang Berkualitas, (Jakarta: Kementrian Keuangan RI, 2016), hlm. 25.

16 Dalam konsep penegakan hukum, pencegahan berarti melakukan upaya-upaya agar

tidak terjadi pelanggaran hukum. Didik Supriyanto, et.al, Penguatan Bawaslu: Optimalisasi Posisi, Organisasi dan Fungsi dalam Pemilu 2014, (Jakarta: Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), 2012), hlm. 61.

17 Dalam konsep penegakan hukum pidana, penindakan itu meliputi menetapkan

(5)

dan optimal jika negara hanya mengandalkan penindakan yang dilakukan lembaga penegak hukum. Sebenarnya upaya memberantas korupsi yang paling murah adalah dengan upaya pencegahan agar korupsi tidak terulang di masa yang akan datang. Penulis menilai Perguruan Tinggi disini memiliki peran yang sentral dalam hal pencegahan tindak pidana korupsi, terutama dalam menumbuhkan budaya anti korupsi, peningkatan kesadaran hukum, dan penanaman nilai-nilai integritas kepada Mahasiswa. Mahasiswa yang merupakan calon pemimpin bangsa di masa depan perlu dibentengi agar terhindar dari perilaku koruptif maupun tindak tindak korupsi.

Perguruan Tinggi sebagai lingkungan kedua bagi mahasiswa, dapat menjadi tempat pembangunan karakter dan watak. Perguruan Tinggi dapat memberikan nuansa yang mendukung upaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai dan etika yang hendak ditanamkan, termasuk di dalamnya perilaku antikorupsi. Upaya yang dapat dilakukan untuk penanaman pola pikir, sikap dan perilaku antikorupsi yaitu melalui kuliah, karena kuliah adalah proses pembudayaan.18

Perguruan Tinggi di Indonesia mempunyai peranan penting dalam mengembangkan nilai-nilai anti korupsi. Karena manusia yang lahir melalui sektor pendidikan adalah manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, beriman, berakhlak mulia, memiliki kompetensi dan profesionalitas serta dapat menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Di saat institusi lain tidak berdaya melakukan perlawanan terhadap korupsi, maka institusi pendidikan dapat dijadikan benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi. Dengan cara melakukan pembinaan pada aspek mental, spiritual dan moral peserta mahasiswa. Pendidikan harus dijadikan sebagai pilar paling depan untuk mencegah korupsi dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance) untuk masa yang akan datang. Dengan berlandaskan Tri Dharma Perguruan Tinggi ada tiga hal yang bisa dilakukan, dan dioptimalisasi Perguruan Tinggi: (1). Di bidang pendidikan, dan

pengajaran; (2). Dalam bidang penelitian; (3). Untuk bidang pengabdian kepada masyarakat. Dengan dioptimalkannya Tri Dharma Perguruan Tinggi, Penulis optimis budaya anti korupsi, dan kesadaran hukum bagi Mahasiswa, dan Masyarakat dapat tumbuh di Indonesia. Dalam paper ini, Penulis akan menggambarkan, dan menjelaskan tentang hal-hal apa saja yang harus dilakukan Perguruan Tinggi untuk menumbuhkan budaya anti korupsi di Indonesia.

II. Metode Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang Penulis teliti, penelitian ini adalah penelitian hukum (legal research). Menurut F. Sugeng Istanto, penelitian

untuk disidang pengadilan, dan menjatuhkan vonis terpidana untuk mendapatkan hukuman. Lihat Luhut M.P. Pangaribuan, et.al, Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Akusatorial dan Adversarial: Butir-Butir Pikiran PERADI Untuk Draft RUU-KUHAP, (Jakarta: Papan Sinar Sinanti dengan PERADI, 2010), hlm. 11-24.

18 Fuad Hassan, Pendidikan Adalah Pembudayaan; dalam Pendidikan Manusia

(6)

hukum adalah penelitian yang diterapkan atau diberlakukan khusus pada ilmu hukum.19 Berdasarkan identifikasi masalah sebagaimana diuraikan di depan, metode penelitian yang tepat untuk maksud tersebut ialah metode penelitian hukum Socio-legal studies. Socio legal studies adalah nama lain untuk istilah

law and societies studies. Socio-legal studies adalah istilah generik untuk menyebutkan semua ilmu-ilmu sosial yang mempelajari hukum. Socio legal studies berangkat dari asumsi bahwa hukum adalah sebuah gejala sosial yang terletak dalam ruang sosial dan dengan itu tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial. Hukum bukanlah entitas yang sama sekali terpisah dan bukan merupakan bagian dari elemen sosial yang lain. Hukum tidak akan mungkin bekerja dengan mengandalkan kemampuannya sendiri sekalipun ia dilengkapi dengan perangkat asas, norma dan institusi.20

Pendekatan penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan paper ini adalah pendekatan behaviorial jurisprudence, dan pendekatan konseptual. Pendekatan behaviorial jurisprudence adalah pendekatan tentang bagaimana seseorang atau komunitas berperilaku,21 yang penulis teliti adalah bagaimana peran perguruan tinggi dalam mempengaruhi perilaku manusia. Sedangkan pendekatan konseptual, yaitu: pendekatan yang berangkat dari perkembangan ilmu hukum dalam menguraikan gagasan atas permasalahan relevan yang tengah dihadapi.22

Data atau informasi dalam penelitian ini diperoleh secara kualitatif dan disajikan dengan pendekatan deskriptif-analitis, yaitu dasar hukum, data dan fakta-fakta yang ada dideskripsikan dan kemudian dianalisis berdasarkan teori yang Penulis gunakan.23 Analisis ini ditujukan untuk memecahkan masalah (problem solving)24 yang ada dalam paper ini.

III. Pembahasan

Dalam beberapa dekade bisa dikatakan upaya pemberantasan korupsi di berbagai tempat dilakukan dengan lebih mengandalkan upaya hukum represif (penindakan). Bahkan sebagian Negara telah menghalalkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Untuk di Indonesia terbukti terjadi kesenjangan yang cukup besar antara upaya hukum represif (penindakan) dengan upaya hukum preventif (pencegahan). Upaya hukum preventif (pencegahan) kurang mendapat perhatian dari banyak pihak, karena fokus masyarakat, dan media massa lebih pada aksi-aksi penindakan. Tetapi semakin banyak kasus korupsi

19 F. Sugeng Istanto, Penelitian Hukum, (Yogyakarta: CV Ganda, 2007), hlm. 29. 20 Rikardo Simarmata, Socio Legal Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum,

Makalah Tanpa Tahun, dan Tanpa Penerbit, hlm. 8-9.

21 Antonius Sudirman, Hakim, dan Putusan Hakim: Suatu Studi Perilaku Hukum

Hakim Bismar Siregar, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 1999, hlm. 20-22.

22 Pieter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005),

hlm. 95.

23 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), hlm.

129.

24 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta:

(7)

terkuak, masyarakat akan mencari benang merah berbagai faktor yang membuat korupsi begitu mudah dilakukan oleh para koruptor. Longgarnya sistem administrasi anggaran, lemahnya hukum, dan faktor-faktor terkait sistem lainnya menyodorkan peluang terjadinya korupsi. Muncul kecemasan ketika gagapnya moral, etika, dan nlai individu ditemukan sebagai faktor yang melandasi perilaku korupsi tersebut. Upaya hukum represif (penindakan) merupakan salah satu pendekatan yang penting, tetapi hanya akan berhasil bila dikombinasikan dengan berbagai pendekatan lain.

Menurut Penulis pendekatan preventif berperan sangat strategis dalam pemberantasan korupsi karena upaya preventif akan mempunyai jangkauan yang lebih luas dengan efek jangka panjang menuju lingkungan yang bebas dari korupsi. Dalam beberapa tahun terakhir mulai menguat perhatian banyak pihak terhadap perlunya upaya preventif yang lebih menyentuh masyarakat akar rumput sekaligus melahirkan generasi bersih korupsi. Salah satunya melalui jalur pendidikan. Pendidikan Penulis pilih dalam melakukan pemberantasan korupsi karena pendidikan dipandang akan selalu eksis sepanjang kehidupan manusia, dan secara simultan memperbaiki kualitas kemanusiaan manusia, melalui perbaikan akal budi, dan moral.

Menurut Penulis, upaya perbaikan moral melalui pendidikan merupakan faktor kunci yang bertujuan memberikan pemahaman mengenai korupsi, dan ruang lingkupnya kepada masyarakat luas, diharapkan akan membuka wawasan bagi masyarakat, khususnya bagi peserta didik untuk menganggap korupsi sebagai musuh bersama yang harus diperangi.

Pencegahan korupsi bisa dilakukan dengan perbaikan sistem hukum, kelembagaan, dan budaya masyarakat. Selain perbaikan sistem hukum dan kelembagaan, perlu pula dilakukan perbaikan manusianya atau budaya masyarakat.25 Dalam sudut pandang ilmu hukum, peran Perguruan Tinggi sangat sentral dalam menumbuhkan budaya anti korupsi untuk Mahasiswa, dan masyarakat Indonesia ketika memandang hukum sebagai sebuah sistem. Lawrence M. Friedman menjelaskan bahwa budaya hukum merupakan suasana pemikiran sosial, dan kekuatan sosial, yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat.26 Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik, dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum.27 Pemberantasan korupsi sangat bergantung dari indikator-indikator budaya hukum yang dianut oleh setiap institusi, dan penegak hukum. Budaya anti korupsi harus dimobilisasi melalui gerakan hukum, dan gerakan sosial politik secara simultan. Gerakan ini harus

25 Saptono, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP kelas VIII, (Jakarta: Phibeta,

2007, hlm. 108-109.

26 Lawrence M. Friedmann, Hukum Amerika: Sebuah Pengantar, diterjemahkan oleh

Wishnu Basuki, (Jakarta: Tatanusa, 2007), hlm. 7.

27 Menurut Sudikno Mertokusumo, kesadaran hukum adalah kesadaran tentang apa

(8)

dimotori oleh budaya integritas moral masyarakat, dan aparat penegak hukum sehingga masyarakat sadar dalam budaya anti korupsi dalam semua lapisan.28 Untuk itu Penulis berpendapat Perguruan Tinggilah yang memilki tanggung jawab moral untuk mencetak pemimpin-pemimpin bangsa yang bermoral di masa depan. Untuk menumbuhkan budaya anti korupsi di Indonesia, Penulis berpendapat Perguruan Tinggi dapat mengoptimalkan Doktrin Tri Dharma Perguruan Tinggi yang Penulis akan jabarkan secara jelas dalam bab ini.

1. Dalam bidang Pendidikan, dan Pengajaran

Pendidikan adalah suatu proses belajar dan penyesuaian individu-individu secara terus-menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat. Suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya.29 Sedangkan di dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan secara umum selalu dicirikan oleh dua kepedulian yaitu budaya dan masyarakat, yaitu pemindahan keterampilan-keterampilan teknis yang perlu untuk menjalankan tugas-tugas sehari-hari dalam hidup, serta pemindahan nilai-nilai agama, filosofis, budaya dan sosial dari masing-masing masyarakat dan penduduk tersebut ke generasi muda. Pendidikan secara luas adalah usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan untuk membantu peserta didik mengalami proses pemanusiaan diri ke arah tercapainya pribadi yang bermoral.30

Manusia dijuluki sebagai animal educandum sekaligus animal educandus, yaitu makhluk yang dididik sekaligus makhluk yang mendidik. Maka pengertian pendidikan jelas lebih luas daripada sekedar perkuliahan. Pendidikan dipahami sebagai ikhtiar pembudayaan. Pendidikan tidak hanya merupakan prakarsa pengalihan pengetahuan dan keterampilan, akan tetapi juga nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial.31

28 Saldi Isra, et.al, Obstruction Of Justice: Tindak Pidana Menghalangi Proses

Hukum dalam Upaya Pemeberantasan Korupsi, (Jakarta: Themis Book, 2015), hlm. 127.

29 Hasil Wawancara Penulis dengan Yuhaeni, S.Pd (Kepala Sekolah SDN Petukangan

Utara 02, Jakarta), Tanggal 6 Desember 2016, di SDN Petukangan Utara 02, Jl. Darul Falah, RT.004/RW.003 Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Pukul 08.00-09.00 WIB.

30 Ibid.

(9)

Dalam teori pendidikan terdapat tiga ranah dalam taksonomi tujuan pendidikan yang sering disebut taxonomy Bloom. Pertama, ranah kognitif yang menekankan aspek untuk mengingat dan mereproduksi informasi yang telah dipelajari, yaitu untuk mengkombinasikan cara-cara kreatif dan mensintesakan ide-ide dan materi baru. Kedua, ranah afektif yang menekankan aspek emosi, sikap, apresiasi, nilai atau tingkat kemampuan menerima atau menolak sesuatu.

Ketiga, ranah psikomotorik yang menekankan pada tujuan untuk melatih keterampilan seperti menulis dan teknik mengajar. Dari ketiga ranah pendidikan tersebut harus selaras dan saling melengkapi.32

Keterlibatan pendidikan dalam upaya pencegahan korupsi memiliki kedudukan strategis antisipatif. Korupsi oleh sebagian negara telah dianggap sebagai kejahatan transnasional. Sehingga memunculkan banyak ide terhadap cara pencegahan korupsi tersebut. Salah satu ide yang dicanangkan adalah melalui pendidikan. Beberapa negara yang memiliki tingkat korupsi yang tinggi telah menumbuhkan budaya anti korupsi melalui berbagai upaya. Tidak terkecuali Indonesia, sebagian daerah telah melakukan upaya untuk menumbuhkan budaya anti korupsi. Hal tersebut didasari pada kepekaan terhadap problematika bangsa yang harus dicegah mata rantainya mulai dari generasi bangsa pada sektor pendidikan.

Menumbuhkan budaya anti korupsi secara umum dikatakan sebagai pendidikan koreksi budaya yang bertujuan untuk mengenalkan cara berfikir dan nilai-nilai baru kepada peserta didik. Kejujuran merupakan prinsip dasar dalam menumbuhkan budaya anti korupsi. Menumbuhkan budaya anti korupsi yang dilaksanakan di Perguruan Tinggi, menjadi tugas dan tanggung jawab para pendidik. Untuk mewujudkan, dan menumbuhkan budaya anti korupsi, pendidikan di Perguruan Tinggi harus diorientasikan pada tataran moral action,

agar peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence) saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.33

Dalam pendidikan karakter, menyatakan bahwa untuk mendidik moral mahasiswa sampai pada tataran moral action diperlukan tiga proses pembinaan yang berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga

moral action. Ketiganya harus dikembangkan secara terpadu dan seimbang. Dengan demikian diharapkan potensi peserta didik dapat berkembang secara optimal, baik aspek pada kecerdasan intelektual, emosional maupun spritual.34

Menumbuhkan budaya anti korupsi dapat diberikan pada setiap pembelajaran sikap mental dan nilai-nilai moral antikorupsi di sekolah, sehingga Mahasiswa dapat memiliki pandangan dan sikap yang permissive

terhadap segala bentuk praktik korupsi. Menumbuhkan budaya anti korupsi yang diberikan di Perguruan Tinggi diharapkan dapat menyelamatkan Mahasiswa agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup generasi

32 Muslihati, Belajar dan Pembelajaran, (Malang: LP3 Universitas Negeri Malang,

2005), hlm. 12.

33 M. Nasih, Materi Presentasi Yang Disampaikan di Indonesia Anti Corruption

Forum V, Tanggal 29 November 2016, di Universitas Bina Nusantara, Jakarta.

(10)

sebelumnya. Langkah untuk menangani korupsi melalui sistem pendidikan akan berdampak besar dalam kehidupan manusia Indonesia.

Dalam bidang Pendidikan, dan Pengajaran. Penulis rasa tidak cukup dengan memasukkan mata kuliah Pendidikan anti korupsi, Character Building, dan Civic Education di kurikulum Perguruan Tinggi. Penulis memandang tiga mata kuliah ini adalah mata kuliah yang penting, akan tetapi di tengah-tengah peradaban zaman sekarang Penulis kira sangat instant apabila mengaharapkan dengan diajarkannya tiga mata kuliah itu kepada Mahasiswa, budaya anti korupsi akan tercipta di Indonesia. Mengingat banyak juga insan akademik yang merupakan Dosen, dan Guru Besar di Perguruan Tinggi ketika diberi amanah menduduki jabatan-jabatan strategis tertentu bukannya memajukan Negara, malah ikut merusak sendi-sendi kehidupan bernegara.35

Di dalam konteks menumbuhkan budaya anti korupsi, yang terpenting adalah tujuan pendidikan nilai. Konsep dasar pendidikan antikorupsi secara filosofis merupakan internalisasi hakikat korupsi (ontologis), pemahaman praktik korupsi (epistemologis) serta aplikasi moral antikorupsi dalam tindakan

(aksiologis) untuk mencegah perilaku korupsi. Dengan demikian, internalisasi nilai-nilai antikorupsi melalui pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi bangsa dalam memajukan budi pekerti, pikiran, tindakan untuk menentang korupsi.36 Membangun budaya anti korupsi tidak semudah membalikan telapak tangan. Yang sekarang wajib Perguruan Tinggi lakukan adalah melaksanakan kegiatan-kegiatan riil yang bisa dilihat Mahasiswa.

Semua harus sadar bahwa membangun manusia tidak seperti menanam jagung yang beberapa bulan dapat dipanen hasilnya. Dalam konteks membangun manusia sangat mungkin seseorang tidak berkesempatan melihat hasil dari apa yang diusahakan. Demikian halnya dengan membangunn pribadi antikorupsi, harus dilakukan secara terus menerus. Disinilah sebuah visi jangka panjang bangsa yang bisa memakan waktu yang sangat lama mengingat masa depan milik generasi hari ini, tetapi milik generasi yang akan datang.

Contohnya yang paling terpenting, bisa dilihat, dan dirasakan Mahasiswa adalah yang pertama, contoh ketauladanan Pejabat di Perguruan Tinggi, dan para Dosennya untuk bersikap jujur, tegas, dan disiplin kepada mahasiswanya. Ketauladanan Pejabat di Perguruan Tinggi, dan para dosen

35 Sebagai contoh pada Tahun 2005, Ketua KPU, Prof. Dr. Nazarudin Syamsudin,

M.A, divonnis tujuh Tahun Penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Drs. Mulyana W. Kusumah juga divonnis 15 bulan penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atas kasus korupsi Dana Taktis KPU (Keduanya merupakan Dosen di FISIP UI); Tahun 2006, Menteri Agama 2001-2004, Prof. Dr. KH. Said Agil Husin Al-Munawar, M.A (Dosen di Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) divonnis lima Tahun penjara atas kasus korupsi di penyelenggaraan ibadah haji, dan dana abadi umat Departemen Agama Tahun 2002-2004 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; Pada Tahun 2009, Dirjen AHU Departemen Kehakiman, dan HAM 2000-2002, yang juga Guru Besar Hukum Pidana FH UNPAD divonnis dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, walaupun bebas di tingkat kasasi; yang terakhir Kepala SKK Migas 2013, yang juga Guru Besar Teknik Perminyakan ITB, Prof. Dr. Ir. Rudi Rubiandini divonnis tujuh tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Penulis sarikan dari berbagai sumber berita.

(11)

memiliki peranan penting dalam menumbuhkan budaya anti korupsi. Dosen dapat memberikan contoh kepada mahasiswa mengenai pembelajaran yang baik termasuk jam kehadiran mengajar, tata cara berpakaian yang baik, dan kedisiplinan berkaitan dengan maksimal kehadiran dalam mengikuti perkuliahan. Dengan ketauladan ini adalah pelajaran yang berharga kepada mahasiswa, dan mahasiswi untuk mencontoh sikap para dosennya tersebut, dan menghilangkan sikap koruptif untuk mahasiswa-mahasiswinya.

Yang kedua, Pejabat di Perguruan Tinggi, dan para Dosennya untuk berani mengikis budaya diberi amplop oleh Mahasiswa karena ini yang Penulis anggap akar-akar sikap korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pejabat di Perguruan Tinggi, dan para Dosennya harus memiliki sikap yang qanaah (sikap merasa cukup dengan rezeki yang diberikan Tuhan kepadanya). Pejabat di Perguruan Tinggi, dan para Dosennya harus menyadari bahwa rezeki itu datangnya dari Tuhan dari arah yang tidak diduga-duga. Sikap merasa cukup dengan take home pay yang dibawanya setiap bulan, dan honor yang didapat saat membimbing, dan menguji skripsi, tesis, dan disertasi adalah sikap untuk mengikis budaya diberi amplop, dan diberi sesuatu oleh Mahasiswa, dan Mahasiswi. Penulis yakin dengan keteladanan dari Pejabat di Perguruan Tinggi, dan para Dosennya adalah sikap untuk menanamkan budaya anti korupsi bagi generasi muda di masa depan, mengingat pendapat Suradi mengatakan faktor terjadinya korupsi itu karena adanya peluang atau kesempatan untuk melakukan korupsi.37

Yang ketiga, Pejabat di Perguruan Tinggi, dan para Dosennya demi integritas ilmiah, dan menyelamatkan dunia akademik harus berani tegas dengan memberi punishment untuk tidak meluluskan Mahasiswa yang mencontek pada saat ujian, serta melakukan drop out bagi Mahasiswa yang plagiat dalam penyususnan skripsi, tesis, dan disertasi. Begitu juga sebaliknya untuk Mahasiswa yang berprestasi, dan jujur harus diberi reward oleh Perguruan Tinggi untuk pemicu untuk mahasiswa, dan mahasiswi yang lain berlomba-lomba dalam meningkatkan prestasi, dan kejujuran.

Yang keempat, pepatah tidak mungkin menyapu dengan sapu yang kotor mungkin masih relevan dengan dunia pendidikan tinggi. Untuk mendidik mahasiswa, dan mahasiswi menjadi insan yang anti korupsi, Pejabat di Perguruan Tinggi, dan para Dosennya juga harus jujur, bermoral, dan pintar. Menurut Moh. Mahfud MD, Dosen wajib memilki sikap jujur, bermoral, dan pintar secara kumulatif karena dewasa ini banyak dosen yang tidak memiliki sikap integritas kecendiakawanan. Banyak dosen yang menggunakan ghost writer untuk menulis disertasi, dan menulis kolom-kolom di Koran. Untuk naik pangkat, tidak jarang dosen yang mencuri karya temannya, dan bahkan ada yang menulis data, dan analisis karya mahasiswa yang dibimbingnya yang kemudian diakui sebagai karyanya sendiri. Pejabat di Perguruan Tinggi, dan para Dosennya harus pintar, dan bermoral sebab jika hanya pintar sekarang

banyak dijumpai dosen yang menjadi “ilmuwan tukang” yang dapat

37 Suradi, Korupsi Dalam Sektor Pemerintah dan Swasta Mengurai Pengertian

(12)

memberikan pandangan-pandangan yang seolah-olah ilmiah berdasarkan pesanan, kepentingan politik, dan kepentingan perkawanan. Miris kalau dijumpai ada Guru Besar, dan Dosen Hukum memberikan keterangan ahli di Pengadilan dengan bayaran tinggi untuk menyelematkan koruptor, misalnya membelokkan masalah yang tadinya hukum pidana menjadi hukum perdata atau hukum administrasi. Apa kita bisa berharap dengan dosen-dosen yang hanya pintar, tetapi tidak bermoral, dan jujur dalam mendidik generasi muda di masa depan. Itulah sebabnya mengapa bangsa ini dilanda krisis multidimensi, salah satu penyebabnya karena dosen-dosennyapun sudah tidak memilki integritas kecendiakawanan, dan konsep pendidikan tinggi di Indonesia suadah melupakan ruh etika, dan moral dalam penyelenggaraan pendidikannya.38

Menurut Baharudin Lopa, jika Pejabat di Perguruan Tinggi, dan para Dosennya mampu menjadi tauladan dari perilaku anti korupsi, sikap koruptif, dan tindak pidana korupsi, hal itu akan sangat membantu. Kalau golongan atas, sudah bersih diharapkan Mahasiswa yang melihat perilaku baik Pejabat di Perguruan Tinggi, dan para Dosennya diharapkan akan mencontoh sikap baik dari Pejabat di Perguruan Tinggi, dan para Dosennya. Dalam hubungan ketauladanan ini perlu kiranya kita ingat salah satu Hadits Rasulullah SAW yang intinya akan memperoleh terus amal seseorang yang mampu memberi teladan yang positif bagi sesamanya, dan sebaliknya akan diganjar dosa diikuti dengan siksaan yang pedih bagi seseorang yang memberi contoh perbuatan tidak terpuji bagi sesamanya. Tidak diragukan, peringatan Rasulullah SAW ini termasuk ditujukan kepada para pejabat/pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaannya, dan melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang diikuti bawahannya.39

Secara umum tujuan menumbuhkan budaya anti korupsi adalah: (1) pembentukan pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk korupsi dan aspek-aspeknya; (2) pengubahan persepsi dan sikap terhadap korupsi; dan (3) pembentukan keterampilan dan kecakapan baru yang ditujukan untuk melawan korupsi. Sedangkan manfaat dalam jangka panjangnya adalah menyumbang pada keberlangsungan sistem integrasi nasional dan program anti korupsi serta mencegah tumbuhnya mental korupsi pada diri mahasiswa yang kelak akan menjalankan amanah di dalam sendi-sendi kehidupan.40 Dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Atas dasar ini, upaya menumbuhkan budaya anti korupsi lewat jalur pendidikan tidak dapat diabaikan potensinya sebagai salah satu cara untuk membudayakan antikorupsi di Indonesia.

Pada dasarnya manusia menciptakan budaya dan lingkungan sosial mereka sebagai adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologisnya. Kebiasaan

38 Moh. Mahfud MD, Konstitusi, dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2009), hlm. 104-106.

39 Baharudin Lopa, Kejahatan Korupsi, dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Penerbit

Buku Kompas, 2002), hlm. 88.

(13)

dan tradisi tersebut diwariskan dari generasi ke generasi. Generasi berikutnya terkondisikan menerima kebenaran tentang nilai, pantangan, kehidupan, dan standar perilaku. Dalam konteks menumbuhkan budaya anti korupsi dibutuhkan pencarian dan pengembangan kearifan-kearifan lokal (Local Wisdoms) seperti menghargai pentingnya nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan integritas.41

Dilihat dari tujuannya, menumbuhkan budaya anti korupsi di Perguruan Tinggi merupakan gagasan yang sangat cerdas. Karena mahasiswa merupakan kelompok umur yang masih mungkin dibentuk semangat idealismenya.42 Menumbuhkan budaya anti korupsi di Perguruan Tinggi merupakan suatu langkah untuk memutus mata rantai agar korupsi pada saatnya kelak tidak lagi menjadi budaya. Untuk mencapai hal tersebut lingkungan sekolah harus bisa memberikan contoh-contoh nyata keluhuran perilaku, utamanya adanya keteladanan dari pendidik itu sendiri.

2. Dalam Bidang Penelitian

Dalam bidang penelitian, Perguruan Tinggi diharapkan aktif dalam melakukan penelitian, dan mengadakan seminar tentang pemberantasan korupsi yang hasilnya nanti dapat disampaikan ke DPR, dan Pemerintah untuk merumuskan Hukum Positif yang tepat dalam pemberantasan korupsi, terutama dalam bidang pencegahan. Idealnya Perguruan Tinggilah yang harusnya menjadi comprehensive anticorrption legislation reform, akan tetapi yang ternyata banyak mengadakan seminar, dan penelitian pemberantasan korupsi adalah Lembaga Swadaya Masyarakat, seperti Indonesian Corruption Watch, Perkumpulan untuk Pemilu, dan Demokrasi, dan LSM-LSM lain. Akademisi-Akademisi juga susah untuk meneliti tentang korupsi apabila biayanya tidak didukung oleh Pemerintah, mengingat penelelitian yang selama ini dibiayai Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Riset, dan Pendidikan Tinggi mayoritas didominasi oleh penelitian terapan untuk ilmu-ilmu sains, dan eksakta. Untuk penelitian hukum yang nantinya dapat memberikan konsep pembernatasan korupsi, terutama pencegahan belum terlalu dianggap urgen oleh Pemerintah. Jika banyak seminar, dan penelitian tentang pemberantasan korupsi, terutama di bidang pencegahan dapat menjadi bahan masukan untuk lembaga penegak hukum untuk sebagai informasi, dan masukan ketika menangani tindak pidana korupsi.

3. Untuk Bidang Pengabdian Kepada Masyarakat

Upaya pencegahan korupsi melalui pendidikan merupakan basis falsafah dalam pendidikan nilai, moral dan agama. Pendidikan dapat dimaknai dan dimanfaatkan sebagai instrumen, selain mampu mentransformasikan nilai-nilai moral, pendidikan juga berfungsi melakukan social engineering (pemecahan masalah sosial). M. Nasih memberikan pendapatnya sebagai berikut:43

41Ibid.

(14)

Salah satu upaya yang dapat dilakukan melalui tindakan preventif adalah dengan menumbuhkan kepedulian untuk melawan berbagai tindakan korupsi, dan sekaligus juga mendidik generasi muda dengan menanamkan nilai-nilai etika dan moral yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Menumbuhkan budaya anti korupsi bisa dilakukan dengan kampanye publik. Dengan upaya ini diharapkan mereka dapat tumbuh menjadi generasi yang bersih dan menjadi generasi muda yang dapat menjadi contoh bagi generasi sesudahnya dan sebelumnya.

Untuk bidang pengabdian kepada masyarakat, Perguruan Tinggi wajib melakukan pembekalan kepada mahasiswa, dan masyarakat umum dengan cara melalui kegiatan sosialisasi, kampanye, seminar atau perkuliahan tentang bahaya, dan dampak korupsi bagi bangsa, dan Negara. Perguruan Tinggi wajib mensosialisasikan peraturan perundang-undangan tentang antikorupsi sangat penting. Karena dengan adanya sosialisasi, mahasiswa, dan masyarakat menjadi mengetahui bahaya dan kerugian yang ditimbulkan dari korupsi. Selain itu, mahasiswa, dan masyarakat juga mengetahui sanksi-sanksi yang akan diterima apabila melakukan tindakan korupsi. Dengan demikian diharapkan, setiap mahasiswa, dan anggota masyarakat, mempunyai kesadaran hukum yang tinggi. Memberantas korupsi bukanlah perkara yang mudah. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan dukungan dari semua pihak untuk memberantasnya. Upaya pemberantasan korupsi terus berlangsung hingga sekarang ini. Upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi yang efektif dapat diwujudkan dalam bentuk-bentuk kegiatan riil berupa Pengawasan oleh mahasiswa, dan warga masyarakat.

Penegak hukum juga merupakan bagian yang harus Perguruan Tinggi bekali, sosialisasi, dan arahkan pada pembangunan kesadaran dalam penegakan hukum. Mental aparat penegak hukum harus kuat, dan penuh integritas. Sebab, jika mental aparat penegak hukum rusak, penegakan hukum juga rusak. Dengan Perguruan Tinggi banyak melakukan MOU dengan Lembaga Penegak Hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Lembaga Permasyarakatan, dan Perhimpunan Advokat, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat ke lembaga-lembaga tersebut diharapkan reformasi budaya hukum, dapat menyentuh bukan hanya pelaksanaan hukum berdasarkan kesadaran, tetapi juga menyentuh proses pembuatan, dan penegakan hukum oleh Negara.44 Dengan dioptimalkannya Tri Dharma oleh Perguruan Tinggi dapat menumbuhkan budaya anti korupsi, dan kesadaran hukum bagi Mahasiswa, dan Masyarakat Umum di Indonesia.

44 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,

(15)

IV. Penutup

1. Kesimpulan

Upaya memberantas korupsi yang paling murah adalah dengan upaya pencegahan. Perguruan Tinggi disini memiliki peran yang sentral dalam hal pencegahan tindak pidana korupsi, terutama dalam menumbuhkan budaya anti korupsi, peningkatan kesadaran hukum, dan penanaman nilai-nilai integritas kepada Mahasiswa. Mahasiswa yang merupakan calon pemimpin bangsa di masa depan perlu dibentengi agar terhindar dari perilaku koruptif maupun tindak tindak korupsi. Dengan berlandaskan Tri Dharma Perguruan Tinggi ada tiga hal yang bisa dilakukan, dan dioptimalisasi Perguruan Tinggi.

2. Saran

Dengan berlandaskan Tri Dharma Perguruan Tinggi ada tiga hal yang bisa dilakukan, dan dioptimalisasi Perguruan Tinggi, yaitu:

1) Di bidang pendidikan, dan pengajaran: Penulis rasa yang paling terpenting, bisa dilihat, dan dirasakan Mahasiswa adalah contoh ketauladanan Pejabat di Perguruan Tinggi, dan para Dosennya untuk bersikap jujur, tegas, dan disiplin kepada mahasiswanya, berani mengikis budaya diberi amplop oleh Mahasiswa, berani tegas dengan memberi punishment untuk Mahasiswa yang mencontek pada saat ujian, serta melakukan drop out bagi Mahasiswa yang plagiat dalam penyususnan skripsi, dan begitu juga sebaliknya untuk Mahasiswa yang berprestasi, dan jujur harus diberi reward oleh Perguruan Tinggi.

2) Dalam bidang penelitian, Perguruan Tinggi diharapkan aktif dalam melakukan penelitian, dan mengadakan seminar tentang pemberantasan korupsi yang hasilnya nanti dapat disampaikan ke DPR, dan Pemerintah untuk merumuskan Hukum Positif yang tepat dalam pemberantasan korupsi, terutama dalam bidang pencegahan, dan untuk lembaga penegak hukum untuk sebagai informasi, dan masukan ketika menangani tindak pidana korupsi.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2009.

Alkostar, Artidjo, Korupsi Politik di Negara Modern, Yogyakarta: FH UII Press, 2015.

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Friedman, Lawrence M. 2001. Hukum Amerika: Sebuah Pengantar, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki. Jakarta: Tatanusa.

Harahap, Zairin. 2007. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Hassan, Fuad, Pendidikan Adalah Pembudayaan dalam Pendidikan Manusia Indonesia, Jakarta: Kompas, 2004.

Indonesia, Kementrian Keuangan, Informasi APBN 2016: Mempercepat Pembangunan Infrastruktur Untuk Memperkuat Pondasi Pembangunan yang Berkualitas. Jakarta: Kementrian Keuangan, 2016.

Isra, Saldi, et.al, Obstruction of Justice: Tindak Pidana Menghalangi

Proses Hukum dalam Upaya Pemeberantasan Korupsi, Jakarta: Themis Book,

2015.

Istanto, F. Sugeng, Penelitian Hukum. Yogyakarta: CV Ganda, 2007. Lopa, Baharudin, Kejahatan Korupsi, dan Penegakan Hukum, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.

Mahfud MD, Moh, Konstitusi, dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

________________, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Marzuki, Pieter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2005.

Mertokusumo, Sudikno, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, Yogyakarta: Liberty, 1981.

____________________, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),

Yogyakarta: Liberty, 2003.

____________________, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2009.

Mochtar, Zainal Arifin, Lembaga Negara Independen: Dinamika Perkembangan, dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2016.

Pope, Jeremy, Strategi Memberantas Korupsi (Elemen sistem Intergritas Nasional), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.

(17)

Supriyanto, Didik, et.al, Penguatan Bawaslu: Optimalisasi Posisi, Organisasi dan Fungsi dalam Pemilu 2014. Jakarta: Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), 2012.

Suradi, Korupsi Dalam Sektor Pemerintah dan Swasta Mengurai

Pengertian Korupsi, Pendeteksian, Pencegahannya, Yogyakarta: Gava Media,

2006.

Wahjono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Jakarta: Ghalia Indah, 1986.

Zoelva, Hamdan, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

II. Disertasi / Jurnal / Makalah / Pidato / Tesis

Harlina, Indah, Kedudukan, dan Kewenangan Komisi Pemberntasan Korupsi dalam Penegakan Hukum, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2002.

Hiariej, Edward O.S, Pembuktian Terbalik dalam Pengembalian Aset Kejahatan Korupsi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Tanggal 30 Januari 2012.

Masduki, Teten, dan Widoyoko, J. Danang, Menunggu Gebrakan KPK, dalam Jurnal Jentera. Edisi 8. Tahun III. Maret. 2005.

Nasih, M, Materi Presentasi Yang Disampaikan di Indonesia Anti Corruption Forum V, Tanggal 29 November 2016, di Universitas Bina Nusantara, Jakarta.

Simarmata, Rikardo, Socio Legal Studies dan Gerakan Pembaharuan

Hukum, Makalah Tanpa Tahun dan Tanpa Penerbit.

Sudirman, Antonius, Hakim, dan Putusan Hakim: Suatu Studi Perilaku

Hukum Hakim Bismar Siregar, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum

Universitas Diponegoro, Semarang, 1999.

III. Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

____________, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 3874.

____________, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4150.

(18)

____________, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4301.

____________, Undang-Undang No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 5336.

IV. Hasil Wawancara

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan bahwa curahan waktu untuk kegiatan publik masih belum maksimal karena kegiatan tersebut hanya bertujuan untuk menambah pendapatan keluarga dan

Di samping itu, surat yang ditulis oleh George Anderson iaitu ahli Advisory Committee on Education in the Colonies (ACEC) dan Pesuruhjaya Pendidikan Kerajaan India kepada C.W.M

Rencana Strategis (Renstra) Deputi Bidang Pengembangan Standar Tahun 2020-2024 memuat visi, misi, tujuan, sasaran strategis, arah kebijakan, target kinerja, dan kerangka

Hasil dari kedua uji statistik tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan selisih dari hasil pengukuran dimana metode sport massage berpengaruh terhadap

LALU MASUK KEBAGIAN LOBBY (MASIH TERMASUK RUANG PUBLIK DENGAN SUASANA BALI MODERN FORMAL DAN SUASANA BISNIS YANG KUAT), PADA SAYAP MASSA BANGUNAN LOBBY TERDAPAT RUANG PENUNJANG

P : Pada tahapan plan Bapak dan guru lain peserta lesson study berdiskusi dalam membuat perencanaan pembelajaran seperti menentukan indikator dari kompetensi

Sesuai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa konstruksi, Wajib Pajak yang menjalankan usaha jasa konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan (PPh)

Kota Semarang mempunyai potensi yang cukup besar di bidang budidaya air payau yakni seluas 789,80 Ha. Untuk pembesaran ikan bandeng sendiri di Kecamatan Tugu telah