BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Usia Dewasa
2.1.1 Pengertian Usia Dewasa
Istilah dewasa berasal dari bahasa Latin, yaitu adultus yang berarti tumbuh
menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.
Seseorang dikatakan dewasa adalah apabila dia mampu menyelesaikan
pertumbuhan dan menerima kedudukan yang sama dalam masyarakat atau orang
dewasa lainnya (Pieter & Lubis, 2010). Seseorang dikatakan dewasa apabila telah
sempurna pertumbuhan fisiknya dan mencapai kematngan psikologis sehingga
mampu hidup dan berperan bersama-sama orang dewasa lainnya (Mubin &
Cahyadi, 2006).
2.1.2 Pembagian Usia Dewasa
Menurut Erikson dalam Upton (2012), usia dewasa dibagi menjadi tiga
tahap antara lain: 1) Masa dewasa awal (19 hingga 40 tahun), 2) Masa dewasa
2.1.3 Ciri-ciri Usia Dewasa
Menurut Anderson dalam Mubin & Cahyadi (2006), seseorang yang sudah
dewasa memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Berorientasi pada tugas, bukan pada diri atau ego
2. Mempunyai tujuan-tujuan yang jelas dan kebiasaan-kebiasaan kerja yang
efisien
3. Dapat mengendalikan perasaan pribadinya
4. Mempunyai sikap yang objektif
5. Menerima kritik dan saran
6. Bertanggung jawab
7. Dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan yang realistis dan yang
baru
2.2 Perkembangan Psikososial Erikson
Ada tiga tahapan perkembangan psikososial pada usia dewasa antara lain:
1. Keintiman vs isolasi (intimacy versus isolation) adalah tantangan pada usia dewasa
muda, hal terpenting pada tahap ini adalah adanya suatu hubungan (Erikson
1902-1994 dalam Wade & Tavris, 2008). Masa dewasa awal (young adulthood) ditandai
adanya kecenderungan intimacy dan isolation. Pada tahap ini individu sudah mulai
selektif membina hubungan yang intim, hanya dengan orang-orang tertentu yang
intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan orang
lainnya.
Pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya
kerjasama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki
pengaruh yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai
kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan
tumbuh sifat merasa terisolasi. Adanya kecenderungan maladaptif yang muncul
dalam periode ini ialah rasa cuek, dimana seseorang sudah merasa terlalu bebas,
sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memedulikan dan merasa
tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat,
tetangga, bahkan dengan orang kekasih kita. Sementara dari segi lain (malignansi)
akan terjadi keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi atau menutup
diri sendiri dari cinta, persahabatan, dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa
benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Orang dewasa muda perlu membentuk hubungan dekat dan cinta dengan orang
lain. Cinta yang dimakdsud tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun
juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain. Ritualisasi yang
terjadi pada tahap ini yaitu adanya afilisiasi dan elitism. Afilisiasi menunjukkan suatu
sikap yang baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang
dibangun dengan sahabat, dan kekasih. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang
memunculkan hubungan kuat, sedangkan kegagalan menghasilkan kesepian dan
kesendirian (Erikson dalam Sumanto, 2014).
2. Generativitas vs stagnasi (generativity versus stagnation) adalah tantangan pada
masa paruh baya. Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan (Erikson
1902-1994 dalam Wade & Tavris, 2008). Pada tahap ini salah satu tugas untuk dicapai
ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu
(generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnansi).
Orang dewasa perlu menciptakan atau memelihara hal-hal yang akan menjadi
penerus hidup mereka, kerap dengan memiliki anak atau menciptakan suatu
perubahan positif yang memberi manfaat bagi orang lain. Melalui generativitas akan
dapat dicerminkan sikap memerdulikan orang lain, sedangkan stagnasi yaitu
pemujaan terhadap diri sendiri atau digambarkan dengan tidak perduli dengan siapa
pun.
Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu perduli, sehingga
mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang
ada adalah penolakan, dimana seseorang tidak dapat berperan secara baik dalam
lingkungan kehidupannya akibat dari semua itu kehadirannya di tengah-tengah area
kehidupannya kurang mendapat sambutan yang baik.
Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara
meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu interaksi/hubungan
yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara orang-orang yang berada pada
usia dewasa dan para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa
merasa memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami
serta memberikan segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa,
sehingga hubungan di antara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung
dengan baik dan menyenangkan (Erikson dalam Sumanto, 2014). Keberhasilan
mendorong perasaan kebergunaan dan pencapaian, sedangkan kegagalan
menghasilkan keterlibatan yang rendah di dunia (Upton, 2012).
3. Integritas ego vs keputusasaan (ego integrity versus despair) adalah tantangan
akhir dari masa lanjut usia (Erikson 1902-1994 dalam Wade & Tavris, 2008). Hal
terpenting pada masa ini ialah adanya refleksi atas kehidupan. Saat beranjak tua,
orang berusaha mencapai tujuan akhir yaitu kebijaksanaan, ketenangan spiritual, dan
penerimaan dalam hidup. Orang dewasa akhir perlu melihat ke belakang dalam
kehidupan mereka dan merasakan suatu rasa pemenuhan. Keberhasilan tahap ini
mendorong perasaan arif, sedangkan kegagalan menghasilkan penyesalan, kepahitan,
2.3 Perubahan Pada Usia Dewasa Awal
2.3.1 Perubahan fisik
Pada fase dewasa awal kesehatan fisik mencapai puncaknya terutama pada
usia 23-27 tahun. Kesehatan fisik berada dalam keadaan baik serta kekuatan tenaga
dan motorik mencapai masa puncak (Mubin & Cahyadi, 2006). Menurut potter &
Perry (2009), orang dewasa awal biasanya sangat aktif, jarang mengalami penyakit
parah (jika dibandingkan kelompok usia tua), cenderung mengabaikan gejala fisik,
dan sering menunda pencarian pelayanan.
2.3.2 Perubahan Kognitif
Kemampuan berpikir kritis meningkat secara teratur selama usia dewasa awal
dan pertengahan. Pengalaman pendidikan formal dan informal, pengalaman hidup,
dan kesempatan untuk bekerja dapat meningkatkan konsep diri, kemampuan
menyelesaikan masalah, dan keterampilan motorik individu. Mengenali bidang
pekerjaan yang sesuai merupakan tugas utama individu dewasa awal. Saat individu
mengetahui keterampilan, bakat, dan karakteristik personal mereka, maka pilihan
pendidikan dan pekerjaan akan menjadi mudah dan lebih memuaskan. Proses
pengambilan keputusan dalam masa dewasa awal harus bersifat fleksibel. Hal ini
disebabkan karena masa dewasa awal terus berkembang dan harus terlibat dalam
perubahan dalam perubahan rumah, tempat kerja. Dan tempat tinggal pribadi. Orang
perubahan. Individu yang merasa tidak aman cenderung mengalami kesulitan dalam
membuat keputusan (Potter & Perry, 2009 ).
2.3.3 Perubahan Psikososial
Kesehatan emosi pada masa dewasa awal berhubungan dengan kemampuan
individu untuk menempatkan dan memisahkan antara tugas pribadi dan tugas sosial.
Dewasa awal biasanya terperangkap antara keinginan untuk memperpanjang rasa
tidak tanggung jawabnya sewaktu remaja, tetapi juga ingin dianggap sebagai orang
dewasa. Di antara usia 23-28 tahun, individu mulai memperbaiki persepsi diri dan
kemampuannya untuk akrab dengan orang lain. Di usia 29-34 tahun, individu
mengarahkan banyak energi pada pencapaian dan penguasaan dunia sekitar.
Sedangkan usia 35-43 tahun merupakan waktu ujian terkuat dalam mencapai tujuan
dan hubungan hidup. Individu membuat perubahan dalam diri sosial, dan tempat
kerjanya. Biasanya stres akibat ujian yang berulang bisa menyebabkan krisis paruh
baya atau midlife crisis, dimana terjadi perubahan pada pasangan pernikahan, gaya
hidup, dan pekerjaan. Perubahan psikososial yang terjadi pada usia dewasa awal
dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain:
1. Karier
Keberhasilan dalam pekerjaan merupakan hal penting bagi kehidupan pria dan
wanita. Keberhasilan kerja tidak hanya berupa keamanan segi ekonomi, tapi juga
Jumlah keluarga dengan dua karir (two-career families) saat ini mengalami
peningkatan. Jenis keluarga seperti ini memiliki keuntungan sekaligus tanggung
jawab. Selain adanya peningkatan keuangan keluarga, individu yang bekerja di luar
rumah juga dapat mengembangkan hubungan pertemanan, kegiatan, dan keinginan.
Namun, kondisi tersebut juga dapat menimbulkan stress yang disebabkan oleh
perpindahan ke kota yang baru, peningkatan biaya, mental, atau emosional,
kebutuhan perawatan anak atau kebutuhan rumah tangga. Untuk menghindari stres ini
pasangan harus berbagi tanggung jawab. Bagi beberapa keluarga, penyelesaiaannya
adalah membatasi biaya rekreasi dan menggantinya dengan membayar seorang
pembantu untuk melakukan pekerjaan rumah.
2. Seksualitas
Perkembangan karakteristik seksual sekunder terjadi selama usia remaja.
Perkembangan fisik biasanya disertai dengan kemampuan untuk melakukan aktivitas
seksual. Pada individu dewasa awal, kemampuan fisik biasanya juga dilengkapi
dengan kematangan emosional, sehingga lebih dapat membangun keakraban dan
kematangan hubungan seksual. Individu dewasa awal yang gagal mencapai tugas
perkembangan integrasi personal biasanya hanya dapat membangun hubungan yang
tidak mendalam dan sementara (Fortinash dan Holoday Worrer, 2004 dalam Potter &
Perry, 2009).
Tekanan sosial untuk menikah tidak sebesar zaman dulu. Banyak individu
dewasa awal yang tidak menikah sampai akhir usia 20-an, awal usia 30-an, bahkan
ada yang tidak sama sekali. Bagi individu yang memutuskan untuk hidup melajang,
maka yang menjadi bagian penting dalam hidupnya adalah orang tua dan saudara
kandungnya. Beberapa individu menjadikan teman dekat dan kerabatnya sebagai
keluarga. Salah satu penyebab meningkatnya populasi individu yang hidup melajang
adalah karena semakin luasnya kesempatan berkarier bagi wanita. Sebagian besar
individu lajang memilih untuk hidup bersama di luar pernikahan, menjadi orang tua
biologis, atau melakukan adopsi.
4. Masa Menjadi Orang Tua
Ketersediaan alat kontrasepsi saat ini memudahkan pasangan untuk
memutuskan kapan akan memulai membentuk sebuah keluarga. Salah satu faktor
yang mempengaruhi keputusan ini adalah alasan untuk memiliki anak. Tekanan sosial
dapat mendorong pasangan untuk membatasi jumlah anak yang mereka miliki.
Pertimbangan ekonomi seringkali mempengaruhi proses pengambilan keputusan
karena memiliki dan membesarkan anak-anak membutuhkan biaya mahal. Status
kesehatan umum dan lansia juga mempengaruhi keputusan untuk menjadi orang tua,
2.3.4 Kesehatan Psikososial
Masalah kesehatan psikososial pada individu dewasa awal biasanya
berhubungan dengan pekerjaan dan stressor dari keluarga. Stres dapat berguna karena
dapat memotivasi klien untuk berubah. Namun, jika stres berkepanjangan dan klien
tidak mampu beradaptasi dengan stresor, maka akan menimbulkan masalah
kesehatan.
Stres Pekerjaan. Stres pekerjaan dapat terjadi tiap hari atau dari waktu ke
waktu. Sebagian besar individu dewasa awal dapat mengatasi krisis tersebut. Stres
pekerjaan dapat terjadi saat datangnya seorang bos baru, batas waktu (deadline)
sudah dekat, mendapatkan tanggung jawab menjadi lebih besar. Stres individu juga
dapat terjadi saat individu merasa tidak puas dengan pekerjaan atau tanggung jawab
yang diberikan. Karena individu menerima pekerjaan yang berbeda, maka tipe stresor
pekerjaan yang dihadapi tiap klien juga berbeda.
Stres Keluarga. Karena perubahan hubungan dan struktur dalam keluarga
individu muda yang beragam, maka frekuensi terjadinya stres juga meningkat. Stresor
situasional terjadi pada peristiwa seperti kelahiran, kematian, sakit, pernikahan, dan
kehilangan pekerjaan. Stres biasanya terkait dengan beberapa variabel, termasuk
pilihan karier suami/ istri dan penyebab disfungsi dalam keluarga individu dewasa
Setiap keluarga memiliki peran atau tugas tertentu bagi anggotanya. Peran
tersebut membuat keluarga dapat berfungsi dan menjadi bagian yang efektif dalam
masyarakat. Saat peran tersebut berubah akibat penyakit, maka krisis situasional
dapat terjadi (Potter & Perry, 2009).
2.4 Perubahan Pada Dewasa Menengah
2.4.1 Perubahan fisik
Banyak dari para dewasa madya mengalami kecemasan pada penampilan
fisik yang pada akhirnya akan mengganggu relasi dengan pasangannya (Pieter &
Lubis, 2010). Perubahan yang paling terlihat adalah rambut memutih, kulit keriput,
dan penebalan pinggang. Sering sekali perubahan fisiologis selama masa dewasa
menengah berdampak pada konsep diri dan bentuk tubuh (Potter & Perry, 2009).
Badan yang kurang sehat dan cacat yang tidak dapat disembuhkan atau ditutup-tutupi
sama berbahayanya bagi penyesuaian diri pribadi dan sosial pada masa dewasa dini
seperti masa kanak-kanak dan remaja.
Orang dewasa yang mempunyai hambatan fisik karena kesehatannya buruk
tidak dapat mencapai keberhasilan maksimum mereka dalam pekerjaan atau
pergaulan sosial. Sebagai akibatnya mereka selalu frustasi, semakin sering mereka
melihat orang yang sebenarnya berpotensi kurang dari mereka berhasil, semakin
besar rasa frustasi mereka (Hurlock, 1980). Beberapa perubahan lainnya dapat terjadi
kekuatan fisik, fungsi motorik dan sensoris, terjadinya perubahan-perubahan seksual.
Kaum laki-laki mengalami climacterium dan wanita mengalami menopause (Mubin
& Cahyadi, 2006).
2.4.2 Perubahan Kognitif
Perubahan fungsi kognitif pada individu dewasa menengah jarang terjadi, kecuali jika
ada penyakit atau trauma (Potter & Perry, 2009).
2.4.3 Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial pada individu dewasa menengah melibatkan peristiwa
yang diharapkan, seperti anak-anak yang keluar dari rumah, sampai peristiwa yang
tidak diharapkan, seperti perceraian atau kematian seorang teman dekat. Perubahan
psikososial yang terjadi pada usia dewasa menengah dapat dilihat dari beberapa aspek
antara lain:
1. Transisi Karier
Perubahan kaier terjadi karena pilihan atau perubahan di tempat kerja atau
masyarakat. Pada dekade terakhir, individu dewasa menengah cenderung berganti
pekerjaan karena berbagai alasan, antara lain keterbatasan pergerakan, penurunan
peluang kerja, atau mencari pekerjaan yang lebih menantang. Pada beberapa kasus
pengurangan tenaga kerja, kemajuan teknologi atau perubahan lainnya mendorong
perubahan tersebut dapat menyebabkan stres yang mempengaruhi kesehatan,
hubungan dengan keluarga, konsep diri, dan dimensi lainnya.
2. Seksualitas
Setelah kepergian anak terakhir dari rumah, pasangan akan membangun kembali
hubungan mereka, mencari cara untuk meningkatkan kehidupan pernikahan dan
kepuasan seksual selama usia pertengahan.
3. Psikososial Keluarga
Beberapa faktor psikososial keluarga yang terkait pada dewasa menengah
antara lain:
3.1 Masa lajang
Beberapa individu dewasa menengah memilih untuktetap lajang, tetapi ada juga
yang memilih untuk menjadi orang tua baik secara biologis ataupun adopsi. Banyak
individu dewasa menengah lajang yang memiliki sanak keluarga tapi untuk
membentuk sebuah keluarga dengan teman dekat atau teman sekerja.
3.2 Perubahan Status Pernikahan
Terjadinya perubahan status pernikahan selama usia pertengahan adalah karena
kematian istri/suami, perpisahan, perceraian, dan pilihan untuk menikah atau tidak
menikah lagi. Klien yang berstatus janda, akibat perpisahan atau perceraian,
terhadap perubahan status pernikahan. Kesedihan yang normal berlansung melalui
serangkaian fase, dan resolusi kesedihan bisanya menghabiskan waktu hingga
setahun atau lebih.
3.3 Transisi Keluarga
Kepergian anak terakhir dari rumah merupakan suatu stresor. Beberapa orang
tua merasa senang karena bebas dari tanggung jawab mengasuh anak, sedangkan
sebagian lain merasa kesepian atau kehilangan arah karena perubahan ini.
3.4 Merawat Orang Tua yang Berusia Lanjut
Banyak individu dewasa menengah terjepit antara tanggung jawab merawat
anak-anak dan merawat orang tua yang berusia lanjut dan sakit-sakitan. Selanjutnya
individu dewasa menengah menemukan diri mereka berada dalam generasi
campuran, di mana tantangan untuk memberikan perawatan menjadi penuh tekanan.
Kebutuhan keluarga akan pemberi layanan kini terus meningkat. Individu dewasa
menengah dan orang tua berusia lanjut sering mengalami konflik prioritas berkaitan
dengan hubungan mereka, sedangkan individu lanjut usia berusaha untuk tetap tidak
bergantung.
Sebagian besar orang dewasa paruh baya dan orang tua mereka memiliki hubungan
yang dekat dan saling mengasihi didasarkan kepada kontak yang sering terjadi dan
bantuan yang bersifat mutual (Antonucci & Akiyama, 1997; Bengtson, 2001 dalam
2.4.4 Kesehatan Psikososial
Ansietas. Ansietas adalah fenomena krisis kematangan yang berhubungan
dengan perubahan, konflik, dan kontrol terhadap lingkungan. Individu dewasa sering
mengalami ansietas dalam merespon perubahan fisiologis dan psikososial yang
terjadi pada usia pertengahan. Ansietas memotivasi individu dewasa untuk meninjau
ulang tujuan hidup dalam menstimulasi produktivitas. Namun, bagi beberapa individu
dewasa, ansietas dapat memicu penyakit psikosomatik dan kematian. Pada kasus ini,
individu dewasa menengah memandang kehidupan sebagai waktu hidup yang tersisa.
Secara jelas, penyakit yang mengancam kehidupan, transisi pernikahan, atau stresor
pekerjaan dapat meningkatkan ansietas klien dan keluarganya.
Depresi. Depresi adalah gangguan suasana hati yang dimanifestasikan dalam
berbagai cara. Meskipun lebih sering ditemukan pada usia antara 22-44 tahun, tetapi
dapat ditemukan juga pada individu dewasa pada usia pertengahan dan ditimbulkan
oleh banyak faktor. Faktor resiko depresi adalah menjadi wanita, kegagalan atau
kehilangan di pekerjaan, sekolah, atau dalam hubungan keluarga, kepergian anak
terakhir dari rumah, dan riwayat keluarga.
Individu yang mengalami depresi ringan menunjukkannya dengan perasaan
sedih, murung, putus asa, jatuh dalam kesedihan, dan penuh dengan air mata. Gejala
lainnya adalah gangguan pola tidur seperti sulit tidur (insomnia) atau tidur yang
kewaspadaan. Perubahan fisik seperti penurunan atau penambahan berat badan, sakit
kepala, atau selalu merasa lelah walaupun telah beristirahat juga merupakan gejala
depresi. Individu yang mengalami depresi pada usia pertengahan biasanya mengalami
ansietas dengan intensitas sedang sampai berat dan mengalami keluhan fisik.
Perubahan suasana hati dan depresi biasanya terjadi saat menopause. Penyalagunaan
alkohol atau obat dapat membuat depresi semakin berat.
2.6 Bencana Alam
2.6.1 Pengertian Bencana Alam
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana mempunyai arti sesuatu
yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, keugian, atau penderitaan.
Menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu khidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
2. 6. 2. Jenis-Jenis Bencana Alam
1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, banjir, kekerinngan, angin topan, dan tanah longsor.
2. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemik, dan wabah penyakit.
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial
antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror (UU RI, 2007).
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2010), jenis-jenis bencana
antara lain:
1. Gempa bumi merupakan peristiwa pelepasan energy yang menyebabkan dislokasi
(pergeseran) pada bagian dalam bumi secara tiba-tiba. Mekanisme perusakan terjadi
karena energy getaran gempa dirambat ke seluruh bagian bumi. Di permukaan bumi,
getaran tersebut dapat menyebabkan kerusakan dan runtuhnya bangunan sehingga
dapat menimbulkan korban jiwa.
2. Tsunami diartikan sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang
ditimbulkan oleh gangguan impulsive dari dasar laut. Gangguan impulsif tersebut
tsunami yang naik ke daratan (run-up) berkurang menjadi sekitar 25- 100 Km/jam
dan ketinggian air.
3. Letusan Gunung Berapi adalah merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang
dikenal dengan istilah “erupsi”. Hampir semua kegiatan gunung api berkaitan dengan
zona kegempaan aktif sebab berhubungan dengan batas lempeng.
4. Tanah Longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan,
ataupun campuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari terganggunya
kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut.
2.6.3 Dampak Bencana Alam
Bencana alam dapat mengakibatkan dampak yang merusak pada bidang ekonomi,
sosial, lingkungan. Kerusakan infrastruktur yang mengganggu aktivitas social,
dampak dalam bidang sosial mencakup kematian, luka-luka, sakit, hilangnya tempat
tinggal dan kekacauan komunitas sementara kerusakan lingkungan dapat mencakup
hancurnya hutan yang melindungi daratan (Karo, 2014).
Peristiwa bencana membawa dampak bagi warga masyarakat khususnya yang
menjadi korban. Beberapa permasalahan yang dihadapi korban bencana meletusnya
a. Kehilangan tempat tinggal untuk sementara waktu atau bisa terjadi untuk
seterusnya, karena merupakan kawasan rawan bencana (termasuk dalam zona
merah).
b. Kehilangan mata pencaharian karena kerusakan lahan pertanian dan
hancurnya tempat usaha
c. Berpisah dengan kepala keluarga karena ayah atau suami banyak yang
memilih untuk tetap tinggal di rumah dengan alas an menjaga rumah, harta
benda dan tetap bekerja sebagai petani, berkebun atau peternak.
d. Pemenuhan kebutuhan dasar berupa makan, minum, tempat tinggal sementara
atau penampungan, pendidikan, kesehatan dan sarana air bersih yang tidak
memadai.
e. Terganggunya pendidikan anak-anak yang tidak bisa sekolah karena
kerusakan sarana dan prasarana sekolah.
f. Risiko timbulnya penyakit ringan (batuk, flu) ataupun penyakit menular
(misalnya diare) karena kondisi lingkungan dan tempat penampungan yang
kurang bersih dan tidak kondusif serta sarana pelayanan kesehatan yang
kurang memadai.
g. Terganggunya fungsi dan peran keluarga karena dalam tempat penampungan
tinggal beberapa keluarga sekaligus.
h. Hilangnya harga diri dan kemampuan baik sebagai individu maupun sebagai
keluarga karena di tempat pengungsian mereka meneerima belas kasihan dari
i. Terhambatnya pelaksanaan dan fungsi peran social dalam kekerabatan serta
pelaksanaan tugas-tugas kehidupan dalam kemasyarakatan, misalnya:
kegiatan arisan, kegiatan adat atau budaya yang tidak dapat dilaksanakan di
lokasi pengungsian.
j. Kejenuhan akibat ketidakpastian berapa lama harus mengungsi, perasaan tidak
berdaya, ketakutan dan bahkan perasaan putus asa menghadapi kemungkinan
bencana yang tidak mungkin dihindari (tidak dapat melawan kehendak
Tuhan). Akibatnya timbul perasaan marah, stress dan frustasi dengan situasi
dan kondisi yang serba tidak menentu, trauma, putus asa, merasa tidak
berdaya dan ketidakpastian masa depannya.
k. Berpikir tidak realistis dan mencari kekuatan supra natural untuk mencegah
terjadinya bencana. Kekecewaan spiritual yaitu kecewa pada Tuhan karena
diberi ujian atau hukuman bahkan cobaan kepada orang-orang yang merasa
dirinya sudah melaksanakan ibadah sesuai ajaran agama (Marjono, 2010
dalam Rusmiyati, 2012).
Menurut Sumarno (2013), beberapa gejala psikologis yang dapat terjadi karena
adanya bencana letusan gunung berapi, yaitu:
a. Stress
Stres secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana
ataupun dari dalam diri yang memunculkan gangguan, dan menuntu individu
berespon secara sesuai. Stres merupakan suatu yang tidak terpisahkan dari kehidupan
manusia, bahkan seperti bagian dari kehidupan itu sendiri. Masyarakat atau warga
yang mengalami akibat dari erupsi merapi, mengalami stres diantaranya: gelisah,
tegang, cemas, mengalami kelelahan, ketegangan otot dan sulit tidur. Ada pula yang
tekanan darah dan detak jantungnya meningkat, sakit kepala, perut mulas, gatal-gatal
dan diare. Stres juga dapat merubah perilaku seseorang, misalnya masyarakat menjadi
lebih mudah marah, lebih suka menyendiri, nafsu makan berkurang, merasa tidak
berdaya, tidak bersemangat, frustasi, atau merasa tidak percaya diri.
b. Depresi
Depresi adalah suatu gangguan mental yang paling sering terjadi pada para
korban bencana alam. Setelah mengalami depresi, selanjutnya korban akan
mengalami pasca trauma. Depresi berupa perasaan sedih yang berat berkepanjangan,
putus asa, merasa tidak tertolong lagi. Biasanya karena kehilangan sesuatu yang
dicintai, kehilangan anggota keluarga, rumah, sawah lading, ternak dan harta benda
lainnya. Kehilangan kebersamaan hidup sekeluarga dengan tetangga, dan kehilangan
kecantikan atau kegagahan karena luka bakar.
c.Trauma
Trauma adalah perasaan menghadapi sebuah kejadian atau serangkaian
membuatnya tidak lagi merasa aman, menjadikannya merasa tidak berdaya dan peka
dalam menghadapi bahaya. Pengalaman traumatis bisa menyebabkan berbagai
dampak ringan, seperti korban menjadi peragu dalam berbuat sesuatu. Keragu-raguan
ini disebabkan rasa takut mengalami peristiwa yang sama, dan pada tahap awal bisa
dikatakan wajar jika rasa takutnya tidak digeneralisir. Pada kenyataannya ketakutan
karena trauma sering menjalar ke berbagai hal. Sebagai contoh seseorang yang
pernah mengalami musibah banjir akan merasakan takut jika melihat sungai, hal
tersebut mengakibatkan dirinya takut ketika melewati jembatan. Begitu pula yang
dialami oleh korban bencana gunung meletus, dirinya akan merasa takut dengan