• Tidak ada hasil yang ditemukan

penagihan pajak dengan surat paksa (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "penagihan pajak dengan surat paksa (1)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

RESUME

PENAGIHAN PAJAK DAN UTANG PAJAK

Disusun untuk Memenuhi Tugas dari Ibu Dessanti Putri Sekti, MSA,. Ak sebagai Dosen Pengampu Mata Kuliah Laboratorium Perpajakan III Kelas A

Disusun Oleh:

Lidya M. F. Sinaga

(135030400111034)

Arizka Novandita H.

(135030400111039)

Hariswando Saragih

(135030401111083)

Petronella C. Habeahan

(135030401111086)

Istyarini Risma Noviani

(135030401111110)

PROGRAM STUDI PERPAJAKAN

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

(2)

PENAGIHAN PAJAK DAN UTANG PAJAK

A. PENGERTIAN PENAGIHAN PAJAK

Pengertian penagihan menurut beberapa ahli, adalah sebagai berikut:

1. Menurut Rochmat Soemitro (1988:67), penagihan ialah perbuatan yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak, karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan undang-undang pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak.

2. Menurut Moeljo Hadi (1995:2), penagihan adalah serangkaian tindakan dari aparatur Direktorat Jendral Pajak, berhubung Wajib Pajak tidak melunasi baik sebagian/seluruh kewajiban perpajakan yang terutang menurut undang-undang perpajakan yang berlaku.

Sedangkan penagihan pajak menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 adalah sebagai berikut:

“Serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.” Serangkaian tindakan dalam penagihan pajak dilakukan secara berurutan sesuai prosedur dan jangka waktu yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan perpajakan hingga Wajib Pajak melunasi utang pajaknya beserta biaya penagihannya. Dengan kata lain, apabila dalam serangkaian tindakan penagihan Wajib Pajak telah melunasi utang pajaknya dan biaya penagihannya pada suatu titik tindakan penagihan tertentu, maka tindakan penagihan tidak akan dilanjutkan ke tindakan penagihan selanjutnya. Hal tersebut berarti serangkaian tindakan penagihan pajak akan berhenti.

B. DASAR HUKUM PENAGIHAN PAJAK

(3)

Undang-Undang KUP secara khusus mengenai penagihan pajak dalam BAB IV yang terdiri dari Pasal 18 sampai dengan Pasal 24.

C. DASAR PENAGIHAN PAJAK

Pasal 18 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengatur, bahwa dasar penagihan berupa Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang meenyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.

1. Surat Tagihan Pajak

Surat Tagihan Pajak merupakan surat yang oleh Direktorat Jendral Pajak digunakan untuk menagih seluruh sanksi administrasi baik berupa bunga, denda, maupun kenaikan pajak yang terutang oleh wajib pajak.

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar merupakan surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Pajak mengenai ketetapan besaran jumlah pajak terutang yang masih harus dibayar oleh Wajib Pajak.

3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan surat yang hampir sama dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, namun hanya diterbitkan apabila petugas pajak menemukan adanya data tambahan atau baru mengenai penghasilan Wajib Pajak lainnya.

4. Surat Keputusan Pembetulan

(4)

5. Surat Keputusan Keberatan

Surat Keputusan Keberatan merupakan surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Pajak atas permohonan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak atas surat ketetapan pajak yang diterima Wajib Pajak.

6. Putusan Banding

Putusan Banding merupakan putusan Pengadilan Pajak atas permohonan banding yang diajukan oleh Wajib Pajak atas suatu Surat Keputusan Keberatan.

7. Putusan Peninjauan Kembali

Putusan Peninjauan Kembali merupakan putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atas Putusan Pengadilan Pajak.

Berdasarkan Surat Ketetapan Pajak atau keputusan di atas terdapat satu kesamaan yaitu adanya jumlah pajak yang masih harus dibayar. Jumlah yang masih harus dibayar tersebut ditetapkan jatuh tempo pembayarannya. Jika sampai dengan tanggal jatuh temponya jumlah pajak yang masih harus dibayar tersebuut tidak dibayar oleh penanggung pajak, maka akan menjadi tunggakan pajak. Tunggakan pajak inilah yang menjadi dasar penagihan pajak.

Adapun tanggal jatuh tempo pelunasan pajak atas dasar penagihan pajak tersebut, yaitu:

 Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat keputusan pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan peninjauan kembali yang mana menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan/diputuskan.

(5)

 Apabila Wajib Pajak mengajukan banding atas suatu surat keputusan keberatan, maka jangka waktu pelunasan pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

D. JENIS TINDAKAN PENAGIHAN PAJAK

Secara umum, terdapat 2 (dua) jenis tindakan penagihan pajak, yaitu penagihan pajak pasif dan penagihan pajak aktif. Penagihan pajak pasif merupakan tindakan penagihan pajak oleh petugas pajak atas tagihan pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, dan Putusan Banding yang mengakibatkan pajak yang kurang dibayar. Jangka waktu penagihan pajak pasif akan berakhir pada saat diterbitkannya surat paksa. Sedangkan penagihan pajak aktif merupakan tindakan penagihan pajak oleh petugas pajak atas tagihan pajak beserta bunga penagihannya pada saat diterbitkannya surat paksa hingga kewajiban pajak dan bunga Wajib Pajak dilunasi.

E. PENGERTIAN UTANG PAJAK

Berdasarkan UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan UU No 19 Tahun 2000 pasal 1 angka 8, utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peralihan perundang-undanagan perpajakan. Surat Ketetapan Pajak tersebut dapat meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Sedangkan surat sejenisnya dapat berupa Surat Tagihan Pajak atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

(6)

pajak meliputi pokok pajak, sanksi administtrasi berupa bunga, denda, kenaikan dan biaya penagihan pajak. Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:

a. Biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman unttuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;

b. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud dan/atau c. Biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu

warisan.

F. TIMBULNYA UTANG PAJAK

Utang pajak dapat timbul berdasarkan hukum formil maupun materiil undang-undang perpajakan.

1. Dengan hukum materiil, utang pajak timbul setelah peraturan pajak diterbitkan. Sebagai contoh, Wajib Pajak memiliki utang pajak yang dibayar setiap bulan berdasarkan pasal 25 UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diperolehnya yang melebihi batas penghasilan tidak kena pajak. 2. Sedangkan dengan hukum formil, utang pajak timbul setelah Wajib Pajak

mendapatkan tagihan pajak yang dapat berupa Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, dan Putusan Banding yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar bertambah.

G. BUNGA PENAGIHAN

(7)

paling lama 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (3) dan ayat (3a) Undang-Undang KUP.

Apabila Wajib Pajak membayar dasar penagihan melebihi jangka waktu yang telah ditentukan maka Wajib Pajak akan dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP menyatakan bahwa:

”Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”

Penjelasan dari Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang KUP antara lain menyatakan bahwa:

“Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga berdasarkan jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo pelunasan atau terlambat dibayar.”

Contoh penghitungan sanksi bunga penagihan:

a. Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008, dengan batas akhir pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah pembayaran sampai dengan tanggal 6 November 2008 Rp6.000.000,00. Pada tanggal 1 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai berikut:

Pajak yang masih harus dibayar = Rp10.000.000,00 Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan = Rp 6.000.000,00(-) Kurang dibayar = Rp 4.000.000,00

(8)

b. Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana tersebut pada huruf a, Wajib Pajak membayar Rp10.000.000,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan pada tanggal 5 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi administrasi berupa bunga dihitung sebagai berikut:

Pajak yang masih harus dibayar = Rp10.000.000,00 Dibayar setelah jatuh tempo pelunasan = Rp10.000.000,00

Kurang dibayar = Rp 0,00

Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp10.000.000,00) = Rp 200.000,00

H. JURUSITA PAJAK

Jurusita Pajak menurut Pasal 1 angka 6 UU PPSP pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan adalah pelaksana tindakan penagihan pajak. Kedudukan Jurusita adalah jabatan struktural dan bertanggung jawab atas kegiatan penagihan pajak yang ditugaskan kepadanya oleh atasan langsung. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat diangkat menjadi Jurusita Pajak adalah adanya kemampuan fisik, mental dan profesional.

Tugas tindakan penagihan pajak membutuhkan kemampuan-kemampuan tertentu yang unik dan kreatif. Selain standar prosedur operasi yang harus dilalui juga dibutuhkan kreativitas untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya. Kemampuan bernegosiasi, persuasif dan kemampuan untuk memaksa diperlukan dalam kegiatan penagihan. Mengingat bahwa tujuan penagihan adalah dilunasinya tunggakan pajak oleh Penanggung Pajak, dan kegiatan penagihan berisi serangkaian tindakan maka Jurusita pajak harus dapat menentukan tindakan-tindakan yang harus ditempuh agar tunggakan utang pajak dilunasi oleh Penanggung Pajak.

(9)

sampai dengan penyampaian Surat Paksa maka hal ini akanlebih baik dibandingkan jika harus melakukan penyitaan, lelang barang sitaan dan tindakan yang lain.

I. PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS

Dalam rangka menghindari kemungkinan terjadinya upaya penghindaran dari Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atas pelunasan utang pajak dalam kondisi tertentu, Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa mengatur mengenai tindakan Penagihan Seketika dan Sekaligus. Berdasarkan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Pasal 1 angka (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2010 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.

Penagihan Seketika dan Sekaligus diatur dalam Pasal 20 UU KUP, Pasal 6 Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 tanggal 2 Februari 2008. Penagihan Seketika dan Sekaligus artinya adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak. Dalam kondisi normal, Penagihan dilaksanakan setelah jatuh tempo pembayaran, didahului dengan penerbitan Surat Teguran, dilanjutkan tindakan penagihan lainnya, namun dalam hal terjadi hal-hal sebagai berikut:

a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;

b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;

(10)

perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;

d. badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau

e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh Pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan, maka pejabat segera menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus.

Penyampaian Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus dilaksanakan secara langsung oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak. Dalam hal diketahui oleh Jurusita Pajak bahwa barang milik Penanggung Pajak akan disita oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan, atau Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, memekarkan usaha, memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, Jurusita Pajak segera melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus dengan melaksanakan penyitaan terhadap sebagian besar barang milik Penanggung Pajak setelah Surat Paksa diberitahukan. Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa menjelaskan mengenai frase tanda-tanda dalam rumusan di atas adalah petunjuk yang kuat bahwa Penanggung Pajak mengurangi atau menjual/memindahtangankan barang-barangnya sehingga tidak ada barang yang akan disita.

J. SANKSI PIDANA DAN ASPEK HUKUM DALAM PENAGIHAN PAJAK

Dalam hal penagihan pajak maka orang yang sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, atau dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan Jurusita pajak dalam melaksanakan pidana diancam dengan sanksi pidana.

Dalam Pasal 23 ayat (1) UU PPSP diatur bahwa Penanggung Pajak dilarang untuk:

a. memindahkan hak, memindahtangankan, menyewakan, meminjamkan, menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak barang yang telah disita;

(11)

c. membebani barang bergerak yang telah disita dengan fidusia atau diagunkan untuk pelunasan utang tertentu; dan atau

d. merusak, mencabut, atau menghilangkan segel sita atau salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita yang telah ditempel pada barang sitaan.

Dengan beralihnya barang yang disita dari Penanggung Pajak kepada Pejabat maka terhadap pelanggaran pidana tersebut akan dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimuat dalam Pasal 41A ayat (1) UU PPSP. Sanksi pidana yang dikenakan terhadap Penanggung Pajak adalah berupa pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Jurusita pajak yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap larangan Pasal 23 ayat (1) UU PPSP tersebut di atas harus segera memberitahukan hal ini kepada Pejabat untuk kemudian melaporkan telah terjadinya pelanggaran tersebut kepada penyidik POLRI untuk segera ditindaklanjuti.

Dalam Pasal 25 ayat (2) UU PPSP diatur bahwa barang yang disita berupa uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain, dikecualikan dari penjualan secara lelang. Selanjutnya dalam Pasal 25 ayat (3) UU PPSP ditegaskan bahwa barang yang telah disita tersebut akan digunakan untuk membayar biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan cara:

a. uang tunai disetor ke Kas Negara atau Kas Daerah;

b. deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, dipindahbukukan ke Kas Negara atau Kas Daerah atas permintaan Pejabat kepada Bank yang bersangkutan;

c. obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan di bursa efek dijual di bursa efek atas permintaan Pejabat;

d. obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek segera dijual oleh Pejabat;

e. piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan hak menagih dari Penanggung Pajak kepada Pejabat;

(12)

Selanjutnya dalam Pasal 41A ayat (3) UU PPSP diatur bahwa menjelaskan sanksi terhadap orang yang sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut Undang-undang, atau dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan dalam melaksanakan Undang-Undang yang dilakukan oleh Jurusita pajak dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

DAFTAR PUSTAKA

(http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-penagihan-pajak-seketika-dan.html) Hadi, Moeljo. 1995. Dasar-Dasar Penagihan Pajak. Jakarta Utara: PT RajaGrafindo Persada.

Komara, Ahmad. 2012. Cara Mudah Memahami Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta: Bee Media Indonesia.

Kurniawan, Pasca dkk. 2006. Penagihan Pajak di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing Soemitro, Rochmat. 1988. Azas dan Dasar Perpajakan 2. Bandung: PT Eresco.

TP, Handayanto. 2011. Bahan Ajar Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Tahun 2012.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Zuraida, Ida dkk. 2011. Penagihan Pajak: Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Bogor: Ghalia Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

PROSES PERMOHONAN KEBERATAN ATAS SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR (SKPKB) PAJAK PENGHASILAN (PPh) WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI SAMPAI KELUARNYA SURAT KEPUTUSAN DI.. KPP PRATAMA

Direktur Jenderal Pajak tetap dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat

“ Apabila SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding atau Putusan PK, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh

Terdapat pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan

c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang telah disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan Surat Keputusan Keberatan

Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan

Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah

Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah