BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Model Pembelajaran
2.1.1.1 Pengertian Model Pembelajaran
Joyce & Weil (dalam Rusman, 2011: 133), berpendapat bahwa model
pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk
membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang
bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain.
Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih
model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan.
Model adalah bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang
memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan
model tersebut Mills (dalam Suprijono, 2011: 45). Pemilihan model yang tepat
perlu memperhatikan tujuan pengajaran. Model pembelajaran dapat dikatakan
baik jika memenuhi prinsip-prinsip yaitu (1) semakin kecil upaya yang dilakukan
guru dan semakin besar aktivitas belajar peserta didik, maka hal tersebut semakin
baik. (2) Semakin sedikit waktu yang diperlukan guru untuk mengaktifkan peserta
didik belajar juga semakin baik. (3) Sesuai dengan cara belajar peserta didik yang
dilakukan. (4) Dapat dilakukan dengan baik oleh guru. (5) Tidak ada satupun
model yang paling sesuai untuk segala tujuan, jenis materi, dan proses belajar
yang ada Hasan (dalam Isjoni, 2011: 50).
Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil
penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang
berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya pada
tingkat operasional di kelas (Suprijono, 2011: 45-46). Fungsi model pembelajaran
yaitu guru dapat membantu peserta didik mendapat informasi, ide keterampilan,
cara berpikir dan mengekspresikan ide. Sehingga model pembelajaran dapat
diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam mangatur materi
Sedangkan menurut Trianto (2012: 51) model pembelajaran adalah suatu
perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam
merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Model
pengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, termasuk di
dalamnya tujuan-tujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran,
lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas Arends (dalam Trianto, 2012:
51).
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran pada
hakikatnya merupakan suatu proses interaksi antara guru dan peserta didik, baik
interaksi secara langsung seperti kegiatan tatap muka maupun secara tidak
langsung, yaitu dengan pemilihan model pembelajaran yang tepat. Model
pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan
kegiatan belajar mengajar (KBM) secara sistematis untuk mencapai tujuan belajar
yang maksimal.
2.1.1.2 Pengertian Model Pembelajaran Make A Match
Model belajar mengajar mencari pasangan (Make A Match) merupakan
salah satu jenis dari model dalam pembelajaran kooperatif. Model ini
dikembangkan oleh Lorns Curran (dalam Rusman, 2013: 223). Salah satu
keunggulan teknik ini adalah peserta didik mencari pasangan sambil belajar
mengenai suatu konsep atau topik, dalam suasana yang menyenangkan.
Pembelajaran ini muncul dari konsep bahwa peserta didik akan lebih mudah
menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi
dengan temannya. Mereka diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat
bekerja sama dengan baik di dalam mengikuti proses pembelajaran, seperti
menjadi pendengar aktif, dan sebagainya. Selanjutnya, penerapan model
pembelajaran Make A Match dapat membangkitkan keingintahuan dan kerja sama
di antara peserta didik serta mampu menciptakan kondisi yang menyenangkan.
Model pembelajaran Make A Match dilakukan di dalam kelas dengan
suasana yang menyenangkan karena dalam pembelajarannya peserta didik dituntut
untuk berkompetisi mencari pasangan, dari kartu yang dibawanya dengan waktu
kelompok yang memiliki dua orang anggota. Namun, masing-masing kelompok
tidak diketahui sebelumnya tetapi dicari berdasarkan kesamaan pasangan,
misalnya pasangan dengan kartu soal dan jawaban. Guru disini membuat dua
kartu undian. Kartu pertama berisikan soal dan kartu yang kedua berisikan
jawaban. Kemudian, peserta didik yang mendapatkan kartu soal mereka mencari
peserta didik yang mendapatkan kartu jawaban yang cocok dengan kartu soalnya,
demikian pula sebaliknya. Model ini dapat digunakan untuk membangkitkan
aktifitas peserta didik dalam belajar dan sangat cocok digunakan dalam bentuk
permainan.
Jadi model Make A Match adalah model pembelajaran dengan mencari
pasangan yang mempersiapkan dua kartu yang berbeda yaitu kartu soal dan kartu
jawaban kemudian peserta didik dimita untuk mencocokkan kartu soal dan kartu
jawaban tersebut.
2.1.1.3 Langkah-langkah Model Make A Match
Langkah-langkah penerapan model pembelajaran Make A Match sebagai
berikut menurut (Miftahul Huda, 2011:135):
1. Guru menyiapkan beberapa kartu sejumlah peserta didik, kemudian
separuh dari jumlah kartu dibuat sebagai pertanyaan dan separuh lagi
untuk jawaban dari pertanyaan tersebut. Soal disesuaikan dengan konsep
yang diajarkan.
2. Setiap peserta didik mendapatkan sebuat kartu yang berisikan
soal/jawaban. Tugas guru adalah membagikan kartu-kartu tersebut. Baik
kartu yang berisi soal maupun yang berisi jawaban. Kartu tersebut dibuka
bersama-sama.
3. Tiap peserta didik memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang.
Guru memberikan batas waktu untuk peserta didik memikirkan jawaban
atau hal lain yang berkaitan dengan kartu yang sedang dibawa peserta
didik.
4. Setiap peserta didik mencari pasangan kartu yang cocok dengan
kartunya. Peserta didik diberi kesempatan untuk bertanya-tanya dengan
5. Setiap peseta didik yang dapat mencocokan kartunya sebelum batas
waktu diberi poin atau reward.
6. Jika peserta didik tidak dapat mencocokkan kartunya dengan kartu
temannya (tidak dapat menemukan kartu soal atau kartu jawaban) akan
mendapatkan hukuman yang telah disepakati bersama.
7. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap peserta didik mendapat
kartu yang berbeda dari sebelumnya, demikian seterusnya.
8. Peserta didik juga bisa bergabung dengan 2 atau 3 peserta didik lainnya
yang memegang kartu yang cocok.
Menurut (Rusman, 2013: 223-224) langkah-langkah pembelajaran model
Make A Match adalah sebagai berikut:
1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep/topik yang
cocok untuk sesi review (satu sisi kartu berupa kartu soal dan sisi
sebaliknya berupa kartu jawaban).
2. Setiap peserta didik mendapat satu kartu dan memikirkan jawaban atau
soal dari kartu yang dipegang.
3. Peserta didik mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok
dengan kartunya (kartu soal/kartu jawaban).
4. Peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu
diberi poin.
5. Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap peserta didik mendapat
kartu yang berbeda dari sebelumnya, demikian seterusnya.
6. Kesimpulan.
Kemudian menurut lorna, Curran (dalam Saur Tampubolon 2014:102),
model pembelajaran kooperatif Make A Match adalah model mencari pasangan
dengan permainan kartu untuk mencari suatu konsep/materi.
Langkah-langkah kegiatan pembelajaran (sintaks) adalah sebagai berikut:
1. Pendidik menyiapkan beberapa kartu berisi berbagai konsep topik yang
cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian
lainnya kartu jawaban.
3. Setiap peserta didik memikirkan jawaban soal dari kartu yang dipegang.
4. Setiap peserta didik mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok
dengan kartunya (soal dan jawaban).
5. Setiap peserta didik yang dapat mencocokan kartunya sebelum waktu
habis diberi poin.
6. Setelah satu babak dicocokan lagi agar tiap peserta didik mendapatkan
kartu yang berbeda dari sebelumnya, demikian seterusnya.
7. Kesimpulan dan penutup.
Menurut Lie, 2004: 55 menjelaskan langkah-langkah model pembelajaran
Make A Match, ebagai berikut:
1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik
yang mungkin cocok untuk sesi reviuw (persiapan menjelang tes atau
ujian)
2. Setiap peserta didik mendapat satu buah kartu.
3. Setiap peserta didik mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok
dengan kartunya.
4. Peserta didik juga bergabung dengan dua atau tiga peserta didik lain yang
memegang kartu yang cocok.
Sedangkan menurut Agus Suprijono (2012: 94-96) langkah-langkah model
pembelajaran Make A Match adalah:
1. Guru membagi komunitas kelas menjadi 3 kelompok.
2. Kelompok pertama merupakan kelompok pembawa kartu-kartu berisi
pertanyaan-pertanyaan.
3. Kelompok kedua adalah kelompok pembawa kartu-kartu berisi
jawaban-jawaban.
4. Kelompok ketiga adalah kelompok peneliti.
5. Jika masing-masing kelompok sudah berada di posisi berbentuk huruf U,
maka guru membunyikan peluit sebagai tanda agar kelompok pertama
maupun kelompok kedua saling bergerak mereka bertemu, mencari
pasangan pertanyaan-pertanyaan yang cocok. Berikan kesempatan kepada
6. Pasangan-pasangan yang sudah terbentuk wajib menunjukkan
pertanyaan-pertanyaan kepada kelompok penilai.
7. Kemudian kelompok ini membacakan apakah pasangan pertanyaan itu
sudah cocok.
8. Demikian seterusnya.
Berdasarkan penjelasan dari para ahli di atas, peneliti menyimpulkan
bahwa langkah-langkah medel pembelajaran Make A Match anatara lain:
1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik
yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan
bagian yang lainnya kartu jawaban.
2. Setiap peserta didik mendapat satu buah kartu baik kartu soal maupun
jawaban.
3. Guru memberikan waktu 5 menit untuk peserta didik memikirkan jawaban
atau soal dari kartu yang dipegang.
4. Setiap peserta didik mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok
dengan kartu yang dibawanya. Artinya peserta didik yang kebetulan mendapat kartu “soal” maka harus mencari pasangan yang memegang kartu “jawaban” secepat mungkin. Demikian juga sebaliknya.
5. Setiap peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas
waktu akan diberi sebuah riwed.
6. Demikian seterusnya sampai semua kartu soal dan kartu jawaban jatuh ke
semua peserta didik.
7. Kesimpulan
2.1.1.4 Kelebihan Model Pembelajaran Make A Match
Adapun kelebihan dalam model pembelajaran Make A Match
(mencari pasangan) (Miftahul Huda, 2013: 253) adalah sebagai berikut.
1) Dapat meningkatkan aktivitas belajar peserta didik, baik secara
kognitif maupun fisik.
2) Karena ada unsur permainan, maka model pembelajaran ini
3) Meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap materi yang
dipelajari dan dapat meningkatkan motivasi belajar peserta didik.
4) Efektif sebagai sarana melatih keberanian peserta didik untuk tampil
presentasi.
5) Efektif melatih kedisiplinan peserta didik menghargai waktu untuk
belajar
2.1.1.5 Kelemahan Model Pembelajaran Make A Match
Adapun kelemahan dalam model pembelajaran kooperatif tipe
Make A Match (mencari pasangan) (Miftahul Huda, 2013: 253) adalah
sebagai berikut:
1) Jika model pembelajaran ini tidak dipersiapakan dengan baik, akan
banyak waktu yang terbuang.
2) Pada awal penerapan model pembelajaran ini, banyak peserta didik
yang akan malu berpasangan dengan lawan jenisnya.
3) Jika guru tidak mengarahkan peserta didik dengan baik, akan
banyak peserta didik yang kurang memperhatikan pada saat
mencari pasangan.
4) Guru harus hati-hati dan bijaksana saat memberi hukuman pada
yang tidak mendapatkan pasangan, karena mereka bisa malu.
5) Menggunakan model pembelajaran ini secara terus-menerus akan
menimbulkan kebosanan.
2.1.1.6 Tujuan Model Pembelajaran Make A Match
Tujuan pokok model pembelajaran Make A Match adalah:
1. Pendalaman materi yaitu pada mulanya merancang model ini untuk
mendalami materi. Pengembangan model pembelajaran Make A Match
peserta didik melatih penguasaan materi dengan cara memasangkan antara
kartu pertanyaan dan kartu jawaban.
2. Menggali materi yaitu tidak perlu membekali peserta didik dengan materi,
kerena peserta didik sendiri yang akan membekali dirinya sendiri. Caranya
yaitu dengan menulis pokok-pokok materi atau dengan gambar pada
kepada peserta didik secara acak. Mintalah peserta didik untuk
mencocokkan atau memasangkan potongan kartu tersebut menjadi materi
utuh.
3. Untuk selingan yaitu teknik yang dipakai sama dengan teknik mencari
pasangan untuk mendalami materi.
2.1.2 Media Pembelajaran
2.1.2.1 Pengertian Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa latin medius yang secara harfiah berarti “tengah”, “perantara”, atau “pengantar”. Gerlach & Ely (dalam Arsyad, 2011: 3) mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia,
materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu
memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Heinich dan kawan-kawan
(dalam Arsyad, 2011: 4) mengemukakan istilah medium sebagai perantara yang
mengantar informasi antara sumber dan penerima. Jadi media ada beberapa jenis
antara lain: televisi, film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan,
bahan-bahan cetakan, dan sejenisnya adalam media komunikasi. Sementara itu,
Gagne dan Briggs (dalam Arsyad, 2011: 4) secara implisit mengatakan bahwa
media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik yang digunakan untuk
menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari antara lain buku, tape
recorder, kaset, video camera, video recorder, film, slide, foto, gambar, grafik,
televisi, dan komputer. Sedangkan Criticos, 1996 (dalam daryanto, 2012:4)
berpendapat bahwa media merupakan salah satu komponen komunikasi, yaitu
sebagai pembawa pesan dari komunikator menuju komunikan. Berdasarkan
definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa media pembelajaran merupakan sarana
pelantara dalam proses pembelajaran. Pada hakekatnya, proses belajar mengajar
adalah proses komunikasi, penyampaian pesan dari pengantar ke penerima.
2.1.2.2 Manfaat Media Pembelajaran
a. Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistik.
b. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga, dan daya indra.
c. Menimbulkan gairah belajar, berinteraksi secara langsung antara peserta
d. Memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan
visual, auditor, dan kinestetiknya.
e. Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman, dan
menimbulkan persepsi yang sama.
f. Proses pembelajaran mengandung lima komponen komunikasi, yaitu
guru(komunikator), bahan pembelajaran, media pembelajaran, peserta
didik (komunikan), dan tujuan pembelajaran. Jadi media pembelajaran
adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan
(bahan pembelajaran) sehingga dapat merangsang perhatian, minat,
pikiran, dan perasaan peserta didik dalam kegiatan belajar untuk mencapai
tijuan pembelajaran.
Menurut Sudjana & Rivai (dalam Arsyad, 2011: 24-25) mengemukakan
manfaat media pembelajaran dalam proses belajar peserta didik, yaitu:
a. Pembelajaran akan lebih menarik perhatian peserta didik sehingga dapat
menumbuhkan motivasi belajar.
b. Bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih
dipahami oleh peserta didik dan memungkinkannya menguasi dan
mencapai tujuan pembelajaran.
c. Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi
verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga peserta didik bosan
dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi kalau guru mengajar pada setiap
jam pelajaran.
d. Peserta didik dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak
hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktifitas lain seperti
mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, memerankan, dan lain-lain.
Dari kedua penjelasan di atas peneliti dapat disimpulkan bahwa manfaat
media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian peserta
didik sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar, interaksi yang lebih langsung
antara peserta didik dan lingkungannya, dan memungkinkan peserta didik untuk
2.1.2.3 Tujuan Media Pembelajaran
Penggunaan media pengajaran sangat diperlukan dalam kaitannya dengan
peningkatan mutu pendidikan, tujuan penggunaan media yaitu:
1. Lebih efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan belajar mengajar.
2. Meningkatkan motivasi belajar peserta didik.
3. Variasi metode pembelajaran.
4. Peningkatan aktivitas peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar.
2.1.2.4 Fungsi Media Pembelajaran
Arsyad, 2011: 21 mengatakan bahwa media berfungsi untuk instruksi di
mana informasi yang terdapat dalam media itu harus melibatkan peserta didik
baik dalam benak atau mental maupun dalam bentuk aktifitas yang nyata
sehingga pembelajaran dapat terjadi. Materi harus dirancang secara lebih
sistematis dan psikologis dilihat dari segi prinsip belajar agar dapat menyiapkan
instruksi yang efektif. Di samping menyenangkan, media pembelajaran harus
dapat memberikan pengalaman yang menyenangkan dan memenuhi kebutuhan
perorangan peserta didik. Menurut Heinich (dalam M.Hosnan, 2014:114), media
pembelajaran dikelompokkan menjadi berbagai macam bentuk dan jenis. Media
sebagai alat bantu pendidikan dibagi menjadi beberapa klasifikasi menurut
fungsi, jenis, dan sumbernya. Sedangkan menurut sumbernya, media
dikelompokkan menjadi media yang berada di kelas, di sekolah, di masyarakat,
media bebas dan komersial, media dari tubuh/diri sendiri (body message) dan
polunteer.
Jadi peneliti dapat menyimpulkan bahwa fungsi media pembelajaran
terutama pada anak-anak sekolah dasar (SD) sangatlah penting dilakukan karena
dengan menggunakan media pembelajaran akan mempermudah proses belajar
peserta didik.
2.1.2.5 Media Video
Media video menurut Daryanto (2012: 87) adalah segala sesuatu yang
memungkinkan sinyal audio dapat dikombinasikan dengan gambar bergerak
secara sekuensial. Video merupakan suatu medium yang sangat efektif untuk
maupun berkelompok. Kemampuan video melukiskan gambar hidup dan suara
memberinya daya tarik tersendiri. Jenis media ini pada umumnya digunakan
untuk tujuan-tujuan hiburan, dokumentasi, dan pendidikan (Arsyad, 2011: 49).
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa video itu
berkenaan dengan apa yang dapat dilihat, utamanya adalah gambar hidup
(bergerak; motion), proses perekamannya, dan penayangannya yang tentunya
melibatkan teknologi. Selain itu juga video merupakan media komunikasi yang
sangat cepat ditangkap informasinya oleh manusia. Karena tampilannya selain
berupa gambar juga berupa suara dan gerak.
Dengan demikian, peserta didik merasa seperti berada di suatu tempat
yang sama dengan program yang ditanyangkan pada video tersebut. Seperti
diketahui bahwa tingkat retensi (daya serap dan daya ingat) peserta didik terhadap
materi pelajaran dapat meningkat secara signifikan jika proses pemerolehan
informasi awalnya lebih besar melalui indra pendengaran dan penglihatan. Maka
dari itu, video dengan durasi yang hanya beberapa menit mampu memberikan
keluwesan lebih bagi guru dan dapat mengarahkan pembelajaran secara langsung
pada kebutuhan peserta didik.
2.1.2.6 Kelebihan dari media video
1) Dapat menarik perhatian untuk periode-periode yang singkat dari
rangsangan lainnya.
2) Dengan alat perekam pita video sejumlah besar penonton dapat
memperoleh informasi dari ahli atau spesialis.
3) Menghemat waktu dan rekaman dapat diputar berulang-ulang.
4) Keras lemah suara dapat diatur dan disesuaikan bila akan disisipi komentar
yang akan didengar.
5) Guru bisa mengatur dimana dia akan menghentikan gerakan gambar
tersebut jika diperlukan (Daryanto, 2012: 88)
Sedangkan menurut Arsyad, 2011: 49 keuntungan dari media video, antara
lain:
1) Video dapat melengkapi pengalaman-pengalaman dasar dari peserta didik
2) Video dapat menggambarkan suatu proses secara tepat dan dapat
disaksikan secara berulang-ulang jika dipandang perlu.
3) Di samping mendorong dan meningkatkan motivasi, video menanamkan
sikap dan segi-segi afektif lainnya.
4) Video yang mengandung nilai-nilai positif dapat mengandung pemikiran
dan pembahasan dalam kelompok peserta didik.
5) Video dapat menyajikan peristiwa yang berbahaya bila dilihat secara
langsung seperti lahar gunung berapi atau perilaku binatang buas.
6) Video dapat ditujukan kepada kelompok besar atau kelompok kecil,
kelompok yang heterogen, maupun perorangan.
2.1.2.7 Kelemahan dari media video
1) Perhatian penonton sulit dikuasai, partisipasi mereka jarang dipraktekkan.
2) Sifat komunikasinya yang bersifat satu arah haruslah diimbangi dengan
pencarian bentuk umpan balik yang lain.
3) Kurang mampu menampilkan detail dari objek yang disajikan secara
sempurna.
4) Memerlukan peralatan yang mahal dan kompleks.
Menurut Arsyad, 2011: 50 kelemahan dalam media pembelajaran video,
yaitu:
1) Pengadaan video umumnya memerlukan biaya mahal dan waktu yang
banyak.
2) Pada saat video dipertunjukkan, gambar-gambar bergerak terus sehingga
tidak semua peserta didik mampu mengikuti informasi yang ingin
disampaikan melalui video tersebut.
3) Video yang tersedia tidak selalu sesuai dengan kebutuhan dan tujuan
belajar yang diinginkan; kecuali video itu dirancang dan diproduksi
khusus untuk kebutuhan sendiri.
2.1.2.8 Media gambar
Diantara media pembelajaran, media gambar adalah media yang paling
umum dipakai. Hal ini dikarenakan peserta didik lebih menyukai gambar daripada
baik, sudah tentu akan menambah semangat peserta didik dalam mengikuti proses
pembelajaran.
Media visual yang sering digunakan dalam menyampaikan materi
pelajaran adalah gambar. Gambar dapat memberikan nilai yang sangat berarti,
terutama dalam membentuk dan memperjelas pengertian baru, serta memperkuat
pengertian tentang suatu konsep tertentu. Di samping itu, penggunaan media
gambar dapat menimbulkan daya tarik bagi peserta didik sehingga peserta didik
lebih sering belajar yang pada akhirnya akan memberikan hasil belajar yang lebih
baik (M.Hosnan, 2014:111-112).
Ada beberapa pengertian media gambar, diantaranya:
a. Media gambar adalah segala sesuatu yang diwujudkan secara visual
kedalam bentuk 2 dimensi sebagai curahan atau pikiran yang
bermacam-macam, seperti: lukisan, potret, slide.
b. Media gambar adalah media yang paling umum dipakai, yang merupakan
bahasan umum yang dapat dimengerti dan dinikmati dimana saja.
Dengan demikian media gambar merupakan salah satu teknik media
pembelajaran yang efektif karena mengkombinasikan fakta dan gagasan secara
jelas, kuat dan terpadu melalui pengungkapan kata-kata dan gambar. Adapun
kelebihan dan kelemahan dalam media gambar tersebut.
2.1.2.9 Kelebihan media gambar
1) Sifatnya konkrit. Gambar/ foto lebih realistis menunjukkan pokok masalah
dibanding dengan media verbal semata.
2) Gambar dapat mengatasai masalah batasan ruang dan waktu. Tidak semua
benda, objek atau peristiwa dapat dibawa ke kelas, dan tidak selalu bisa,
anak-anak dibawa ke objek tersebut. Untuk itu gambar atau foto dapat
mengatasinya. Air terjun niagara atau danau toba dapat disajikan ke kelas
lewat gambar atau foto. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau,
kemarin atau bahkan menit yang lalu kadang-kadang tak dapat dilihat
3) Media gambar dapat mengatasi keterbatasan pengamatan kita. Sel atau
penampang daun yang tak mungkin kita lihat dengan mata telanjang dapat
disajikan dengan jelas dalam bentuk gambar.
4) Dapat memperjelas suatu masalah, dalam bidang apa saja dan untuk
tingkat usia beberapa saja, sehingga dapat mencegah atau membetulkan
kesalah pahaman.
5) Murah harganya, mudah didapat, mudah digunakan, tanpa memerlukan
peralatan yang khusus.
2.1.2.10Kelemahan media gambar
1) Penghayatan tentang materi kurang sempurna, karena media gambar hanya
menampilkan persepsi indera mata yang tidak cukup kuat untuk
menggerakkan seluruh kepribadian manusia, sehingga materi yang akan
dibahas kurang sempurna.
2) Gambar atau foto benda yang terlalu kompleks kurang efektif untuk
kegiatan pembelajaran.
3) Ukuran sangat terbatas untuk kelompok besar.
2.1.3 Hasil Belajar
2.1.3.1Pengertian Belajar
Belajar menurut Gagne (Suprijono, 2013: 2) adalah perubahan disposisi atau
kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas. Perubahan disposisi
tersebut bukan diperoleh langsung dari proses pertumbuhan seseorang secara
alamiah. Definisi belajar berikutnya adalah dari Travers (dalam Suprijono, 2013:
2) berpendapat belajar adalah proses menghasilkan penyesuaian tingkah laku.
Sedangkan Cronbach (Hosnan, 2014: 3) berpendapat learning is shown by
a change in behavior as a result of exaperience (belajar adalah perubahan perilaku
sebagai hasil dari pengalaman). Makna dari definisi yang dikemukakan Cronbach
ini lebih dalam lagi, yaitu belajar bukanlah semata-mata perubahan dan penemuan
tetapi sudah mencakup kecakapan yang dihasilkan akibat perubahan dan
penemuan tadi. Setelah terjadi perubahan dan menemukan sesuatu yang baru,
maka akan timbul sesuatu kecakapan yang bermanfaat bagi hidupnya. Howard L.
behavior (in broader sence) is originated or changed through practice r training
(belajar adalah proses di mana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau
diubah melalui praktik atau latihan).
Pakar berikutnya, Harold Sprears (dalam Suprijono, 2013: 2)
mendefinisikan belajar adalah mengamati, membaca meniru, mencoba sesuatu,
mendengar dan mengikuti arah tertentu. Kemudian Geoch (dalam Suprijono,
2013: 2) mendefinisikan belajar adalah perubahan performance sebagai hasil
latihan. Belajar adalah perubahan perilaku yang bersifat permanen sebagai hasil
dari pengalaman. Hal itu diungkapkan Morgan (dalam Suprijono, 2013: 3).
Hamalik (2011: 27), menyebutkan bahwa belajar adalah modifikasi atau
memperteguh kelakuan melalui pengalaman (learning is difined as the
modification or strengthening of behavior through experiencing). Menurut
pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu
hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu,
yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil pelatihan melainkan
pengubahan kelakuan. Pengertian ini sangat berbeda dengan pengertian lama
tentang belajar, yang menyatakan bahwa belajar adalah memperoleh pengetahuan,
bahwa belajar adalah latihan-latihan pembentukan kebiasaan secara otomatis dan
seterusnya. Jadi belajar merupakan usaha seseorang untuk memperoleh perubahan
tingkah laku sebagai hasil interaksi dan pengalamannya dengan lingkungan.
2.1.3.2Pengertian Hasil Belajar
Menurut Sudjana (2010: 22), hasil belajar adalah kemampuan yang
dimiliki peserta didik setelah menerima pengalaman belajar. Suprijono (2013: 7)
menyatakan bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan
bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja. Artinya, hasil
pembelajaran yang dikategorisasi oleh para pakar pendidikan sebagaimana
tersebut di atas tidak dilihat secara fragmentaris atau terpisah, melainkan
komprehensif.
Ahli lain yaitu Bloom (dalam Suprijono, 2013: 6-7), hasil belajar
mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. domain kognitif
menjelaskan, meringkas, contoh), application (menerapkan), analysis
(menguraikan, menentukan hubungan), synthesis (mengorganisasikan,
merencanakan, membentuk bangunan baru), dan evaluation (menilai). Domain
afektif adalah receiving (sikap menerima), responding (memberikan respon),
valuing (nilai), organization (organisasi), characterization (karakterisasi). Domain
psikomotor meliputi initiatory, pre-routine, dan rountinized. Psikomotor juga
mencakup keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, manajerial, dan,
intelektual. Sementara, menurut Lindgren (dalam Suprijono, 2013: 7) hasil belajar
meliputi kecakapan informasi, pengertian, dan sikap.
Jadi hasil belajar adalah keseluruhan hasil yang dicapai peserta didik
setelah mengikuti pembelajaran. Keseluruhan hasil tersebut meliputi domain
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Namun, pada penelitian ini domain yang akan
diteliti adalah domain kognitif.
2.1.4 IPA
2.1.4.1Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan bagian dari ilmu pengetahuan atau sains yang semata berasal adrai bahasa inggris ”science”. Kata science sendiri berasal dari bahasa latin yaitu “scientia” yang berarti saya tahu.
IPA mempelajari alam semesta, benda-benda yang ada di permukaan bumi,
baik yang dapat diamati indera maupun yang tidak dapat diamati. Oleh karena itu,
dalam menjelaskan hakikat fisika, pengertian IPA dipahami terlebih dahulu. Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) adalah ilmu tentang dunia zat, baik makhluk hidup
maupun benda mati yang diamati Kardi dan Nur (dalam Trianto, 2012:136). Jadi
pendidikan memegang peranan yang menentukan bagi perkembangan manusia
karena Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) bukan hanya penguasaan kumpulan
pengetahuan yang berupa fakta-fakta, prinsip-prinsip, maupun konsep-konsep saja
tetapi juga merupakan suatu proses penemuan.
Proses pembelajaran IPA selain mengaitkan dengan kehidupan sehari-hari
juga penemuan sesuatu yang bermakna. Pembelajaran IPA lebih menekankan
didik. Kegiatan tersebut akan menunjang peserta didik untuk aktif dalam
pembelajaran, karena peserta didik terlibat penuh dalam proses pembelajaran.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sains dalam arti sempit sebagai disiplin
ilmu dari physical sciences dan life sciences. Physical science adalah ilmu-ilmu
astronomi, kimia, geologi, mineralogy, meteorology, dan fisika, sedangkan life
sciences meliputi biologi (anatomi, fisiologi, zoology, citologi, dan seterusnya
(Usman Samatowa, 2009: 2).
Hendro Darmojo (dalam Usman Samantowo, 2009:2) adapun pengetahuan
itu sendiri artinya segala sesuatu yang diketahui oleh peserta didik. Jadi secara
singkat IPA adalah pengetahuan yang rasional dan objek tentang alam semesta dan
segala isinya.
Selain itu, Nash (dalam Usman Samatowo, 2009:2) menyatakan bahwa
IPA adalah suatu cara atau metode untuk mengamati alam. Nash juga
menjelaskan bahwa cara IPA mengamati dunia ini bersifat analisis, lengkap,
cermat, serta menghubungkan antara suatu fenomena dan fenomena lain, sehingga
keseluruhannya membentuk suatu perspektif yang baru tentang objek yang
diamatinya.
Usman Samatowo (2009:3) “Ilmu Pengetahuan Alam merupakan terjemahan kata-kata dalam bahasa inggris yaitu science, artinya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)”. Berhubungan dengan alam atau bersangkut paut dengan alam, science artinya ilmu pengetahuan. Jadi ilmu pengetahuan alam (IPA)
pengertiannya dapat disebut sebagai ilmu tentang alam. Ilmu yang mempelajari
peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam ini.
Menurut Winaputra (dalam Usman Samatowo, 2009:3) “IPA merupakan ilmu yang berhubungan dengan gejala alam dan kebendaan yang sistematis yang
tersusun secara teratur, berlaku umum yang berupa kumpulan dari hasil observasi
dan eksperimen/sistematis (teratur) artinya pengetahuan ini tersusun dalam suatu
system, tidak berdiri sendiri, satu dengan yang lainnya saling berkaitan, saling
menjelaskan sehingga seluruhnya merupakan satu kesatuan yang utuh, sedangkan
berlaku umum artinya pengetahuan ini tidak hanya berlaku atau oleh seseorang
hasil yang sama atau konsisten”. Selanjutnya Winaputra (dalam Usman Samatowo, 2009:123) “mengemukakan bahwa tidak hanya merupakan kumpulan
pengetahuan tentang benda atau makhluk hidup, tetapi memerlukan kerja, cara berpikir, dan cara memecahkan masalah”.
Dari pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa IPA merupakan bidang
studi yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam yang tersusun
secara teratur, sistematis dan berlaku umum yang merupakan hasil dan observasi
dan eksperimen, IPA juga menghasilkan produk yang berupa fakta, prinsip,
konsep, hukum, dan teori.
2.1.4.2Ruang Lingkup Pembelajaran IPA
1. Bahan kajian untuk mata pelajaran di sekolah dasar meliputi beberapa
aspek, yaitu:
a. Makhluk hidup dan proses kehidupannya
b. Materi dan sifatnya
c. Energi dan perubahannya
d. Bumi dan alam semesta
2. Beberapa pertimbangan dalam melaksanakan pembelajaran IPA
a. Empat pilar pendidikan yaitu belajar untuk mengetahui (learning to
know), belajar untuk berbuat (learning to do), belajar untuk hidup
dalam kebersamaan (learning to the together), dan belajar untuk
menjadi dirinya sendiri (learning to be).
b. Inkuiri Ilmu Pengetahuan Alam
c. Konstruktivisme
d. IPA, Lingkungan, Teknologi, dan Masyarakat
e. Pemecahan Masalah
f. Pembelajaran IPA bermuatan nilai
2.1.4.3Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
Pembelajaran IPA di SD merupkan interaksi antara peserta didik dengan
lingkungan sekitarnya. Hal ini mengakibatkan pembelajaran IPA perlu
mengutamakan peran peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar. Sehingga
dan guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran tersebut. Guru berkewajiban
untuk meningkatkan pengalaman belajar peserta didik untuk mencapai tujuan
pembelajaran IPA. Tujuan ini tidak terlepas dari hakekat IPA sebagai produk,
proses, dan sikap ilmiah. Oleh karena itu, pembelajaran IPA perlu menerapkan
prinsip-prinsip pembelajaran yang tepat.
2.1.4.4Tujuan Pembelajaran IPA
Usman Samatowo (2009:2) mengemukakan “untuk mencapai tujuan pendidikan IPA diperlukan beberapa pendekatan dalam proses belajar mengajar,
diantaranya sebagai berikut: a) pendekatan lingkungan. b) pendekatan
keterampilan. c) pendekatan inquiry (penyelidikan). d) pendekatan terpadu”.
Tujuan Pembelajaran IPA di SD/MI bertujua agar peserta didik:
a) Mengembangkan rasa ingin tahu dan suatu sikap positif terhadap sains,
teknologi, dan masyarakat.
b) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah dan membuat keputusan.
c) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep sains yang
akan bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
d) Mengembangkan kesadaran tentang peran dan pentingnya sains dalam
kehidupan sehari-hari.
e) Mengalihkan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman ke bidang
pengajaran lain.
f) Ikut serta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan alam.
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian terdahulu yang menjadi acuhan dalam penelitian ini
adalah penelitian dari Sri Rejeki (2009) dengan judul “Penerapan Model
Pembelajaran Make A Match pada Mata Pelajaran IPA untuk meningkatkan hasil
belajar siswa Kelas 5 SD Negeri 2 Sengonwetan semester II tahun ajaran
2009/2010”. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa
kelas 5 melalui peneran model pembelajaran Make A Match. Kegiatan penelitian
penerapan model Make A Match dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas 5
semester II pada pembelajaran IPA di SD Negeri 2 Sengonwetan, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan tahun ajaran 2009/2010?”. Model pembelajaran Make A Match dianggap tepat untuk meningkatkan aktifitas siswa karena model
ini membuat siswa selalu aktif dalam proses belajar mengajar dan merasa
senang. Hasil analisis data dari aktifitas siswa pada kondisi awal hanya 51%,
siklus I mencapai presentase 75%, dan pada siklus II dengan presentase 85%.
Peningkatan aktifitas siswa memberi dampak pada peningkatan hasil belajar
siswa yaitu pada ulangan harian siswa pada kondisi awal hanya mencapai
rata-rata 66, siklus I dengan rata-rata-rata-rata 78, dan siklus II mencapai rata-rata-rata-rata 88.
Kegiatan mengajar guru juga sangat penting perperan pada keberhasilan
peningkatan aktifitas dan hasil belajar siswa. Presentase kegiatan mengajar guru
pada siklus I mencapai 85% dan siklus II mencapai 92%. Peningakatan aktifitas
siswa melalui penerapan model pembelajaran Make A Match akan dapat
terlaksana dengan baik jika guru, siswa dan kepala sekolah mau menerapkan
model-model pembelajaran khususnya mata pelajaran IPA.
Peneliti berikutnya dilakukan oleh Widihastuti (2014) dengan judul “Studi
Komparasi Penggunaan Model Pembelajaran Make A Match terhadap Hasil
Belajar IPA di Kelas IV SD Muhammadiyah 16 Karangasem Tahun Ajaran 2013/2014”. Hasil penelitian tersebut menyatakan tidak terdapat perbedaan antara penggunaan model Make A Match dengan metode konvensional terhadap
hasil belajar IPA kela IV SD Muhammadiyah 16 Karangasem Surakarta. Hasil
uji t hitung < tabel yaitu 0,954 > 2,00. Rata-rata nilai hasil belajar dengan
metode konvensional adalah 78,75 dan rata-rata nilai hasil belajar IPA pada
model Make A Match adalah 81,56. Jadi, model Make A Match dengan metode
konvensional tidak ada yang lebih baik, karena H0 diterima sehingga
2.3 Kerangka Pikir
Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam hasil belajar adalah dari
faktor model pembelajaran dan media pembelajaran yang digunakan yang
berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik karena model dan media
pembelajaran sangat penting dalam keberhasilan seseorang dalam belajar. Pada
pembelajaran Make A Match berbantuan media video dan gambar akan membuat
suasana pembelajaran lebih aktif dan lebih efisien dan menyenangkan.
Dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan antara kelas kontrol
dan kelas eksperimen dimana kelas kontrol menggunakan metode ceramah yang
sudah biasa digunakan dalam kelas sedangkan kelas eksperimen menggunakan
model pembelajaran Make A Match berbantuan media video dan gambar. Dalam
alat ukur hasil pretest antara kelas kontrol dan kelas eksperimen adalah sama.
Untuk mengetahui hasil pretest diambil dari soal evaluasi mata pelajaran yang
sudah pernah diajarkan dan belum menggunakan model Make A Match
berbantuan media video dan gambar pada kelas uji coba dan hasil pretest kedua
kelas yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan. Kemudian peneliti melakukan uji coba pada kelas
kontrol yang diberi pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah saja
sedangkan kelas eksperimen peneliti melakukan pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran Make A Match berbantuan media video dan
gambar. Setelah itu diadakan posttest pada kelas kontrol dan kelas eksperimen.
Posttest dilakukan untuk mengetahui hasil belajar antara kelas kontrol yang diberi
pembelajaran dengan metode ceramah dan kelas eksperimen yang diberi
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Make A Match
berbantuan media video dan gambar pada mata pelajaran IPA. Hasil uji posttest
Bagan Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 2.1 Kerangka Pikir Model Pembelajaran Make A Match Kelas kontrol
Pembelajaran menggunakan metode ceramah
Pretest
Kelas Eksperimen
Pembelajaran menggunakan model Make A Match berbantuan
video
Posttest
2.4 Hipotesis
Hipotesis ini digunakan untuk memberikan jawaban sementara terhadap
rumusan masalah. Hipotesis bersifat sementara sehingga perlu diuji kebenarannya.
Berdasarkan kaitan antara masalah yang dirumuskan dengan teori yang
dikemukakan maka dapat dirumuskan hipotesis dalam penelitian ini adalah ada
perbedaan antara model Make A Match berbantuan media video dan gambar pada
mata pelajaran IPA kelas 5 SD semester 2 tahun ajaran 2014/2015.
Pengambilan keputusan hipotesis berdasarkan signifikansi adalah sebagai
berikut:
1. Apabila sig. > 0,05, maka H0 diterima dan Ha ditolak
2. Apabila sig < 0,05, maka H0 ditolak dan Ha diterima
Selain itu, kriteria pengujian dua pihak juga dapat dilakukan sebagai berikut:
jika - t tabel < t hitung < t tabel, maka H0 diterima Ha ditolak (Riduwan, 2011: