EVALUASI KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM DAN PROBLEMATIKA HAM MASA KONTEMPORER
Oleh : Wildan Luthfi Nur’aripin, S.AP BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak yang secara kodratnya melekat pada diri manusia sejak manusia dalam kadungan yang membuat manusia sadar akan jati dirinya dan membuat manusia hidup bahagia. Hak Asasi Manusia juga merupakan hak yang bersifat asasi ( Koentjoro, 1976 ). Berbicara mengenai HAM tidak terlepas dari dua hal yaitu hak dan kewajiban.
Hak dan kewajiban tersebut untuk menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia harus dijalankan secara seimbang. Konsekuensinya apabila dijalankan tidak seimbang maka yang terjadi tidak lain pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia baik yang bersifat berat maupun ringan.
Di Indonesia secara substansi mengenai HAM sangat berbeda dengan negara lain yang sifatnya sekulerisme, Indonesia merupakan negara konstitusional dan berketuhanan untuk itu setiap menangangi sebuah permasalahan tentu harus melihat dari beberapa aspek seperti halnya Agama, Budaya, Hukum dll.
Hak asasi manusia di Indonesia dibatasi oleh aturan perundangan-undangan sehingga benuk HAM di Indonesia bersifat spesifik. Penegakan HAM di Indonesia mengalami perkembangan secar pesat, hal ini tercermin dengan terus terciptanya regulasi yang mengatur HAM baik mulai dari lahoirnya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
mengatahui penyebab terjadinya pelanggaran tersebut padahal aturan main sudah berlaku, melalui karya ilmiah ini dengan judul “Evaluasi Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Dan Problematika HAM Masa Kontemporer”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep dasar evaluasi ?
2. Bagaimana bentuk evaluasi kasus-kasus pelanggaran HAM dan problematika HAM masa kontemporer ?
3. Apa yang menjadi solusi dari problematika HAM masa kontemporer ?
C. Tujuan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep dasar evaluasi.
2. Untuk mengetahui bentuk evaluasi kasus-kasus pelanggaran HAM dan problematika HAM masa kontemporer.
3. Untuk mengetahui solusi dari problematika HAM masa kontemporer.
D. Kegunaan
BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Dasar Evaluasi
1. Definisi Evaluasi
Kata evaluasi berasal dari Bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran, sedangkan menurut pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.
Evaluasi mengandung pengertian, suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Sebelum membahas tentang evaluasi secara lebih luas dan mendalam, terlebih dahulu perlu dipahami bahwa dalam praktek seringkali terjadi kekeliruan dalam penggunaan istilah “evaluasi”, “penilaian” dan “pengukuran”. Kenyataan seperti itu memang dapat dipahami, mengingat bahwa diantara ketiga istilah tersebut saling berkaitan sehingga sulit untuk dibedakan. Namun dengan uraian berikut ini akan dapat memperjelas perbedaan dan sekaligus hubungan antara pengukuran, penilaian dan evaluasi.
Nitko & Brookhart (2007) mendefinisikan evaluasi sebagai suatu proses penetapan nilai yang berkaitan dengan kinerja dan hasil karya siswa. Evaluasi menurut Griffin dan Nix (1991) adalah judgment terhadap nilai atau implikasi dari hasil pengukuran. Menurut definisi ini kegiatan evaluasi selalu didahului dengan kegiatan pengukuran dan penilaian. Menurut Tyler (1950) evaluasi adalah proses penentuan sejauh mana tujuan pendidikan telah tercapai.
penafsiran semua aspek perkembangan mental dan fisik, minat, sikap, bakat, dan emosi. Dalam pembelajaran, evaluasi merupakan suatu proses yang sistematis untuk menetukan harus sejauh mana tujuan pengajaran dapat dicapai oleh peserta didik.
2. Tujuan Evaluasi
a. Memberi informasi yang valid tentang sesuatu yang dievaluasi b. Menilai kepastian tujuan/target dengan masalah yang dihadapi
c. Memberi sumbangan bagi informasi lain terutama dari segi metodologi d. Menilai ketercapaian tujuan
e. Menyidiakan impormasi untuk tujuan bimbingan dan konseling
f. Menjadiakan hasil evaluasi sebagai dasar perubahaan menuju arah perbaikan
3. Fungsi Evaluasi
a. Memberikan Laporan
Dalam melakukan evaluasi, akan dapat disusun dan disajikan laporan mengenai kemajuan dan perkembangan mengenai informasi yang tentang sesuatu yang dievaluasi.
b. Memberikan Bahan-bahan Keterangan (Data)
Setiap keputusan harus didasarkan kepada data yang lengkap dan akurat, serta merupakan sumbangan bahan-bahan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan.
c. Memberikan Gambaran
Gambaran mengenai hasil-hasil yang telah dicapai dalam proses perkembangan tujuan, serta memberi sumbangan pada aplikasi dalam bidang metodologi.
4. Pendekatan Evaluasi a. Evaluasi Semu
Evaluasi semu merupakan pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk mengahsilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya.
Evaluasi Formal merupakan pendekatan untuk mendapatkan informasi yang valid dan cepat dipercaya yang didasarkan pada tujuan formal.
c. Evaluasi Keputusan Teori
Evaluasi keputusan teori merupakan pendekatan evaluasi yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yuang dapat dipertanggungjawabkan dan valid mengenai hasil-hasil yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai pendekatan teori lainnya.
5. Evaluasi dalam perspektif agama
Evaluasi berasal dari kata “to evaluate” yang berarti menilai. Disamping kata evaluasi terdapat pula istilah measurement yang berarti mengukur. Pengukuran dalam pendidikan adalah usaha untuk memahami kondisi-kondisi objektif tenang sesuatu yang akan dinilai. Penilaian dalam pendidikan islam akan objektif apabila disandarkan pada nilai-nilai Al-Quran dan Al-Hadits.
Suharsimi Arikunto mengajukan tiga istilah dalam pembahasan evaluasi yaitu, pengukuran, penilaian dan evaluasi. Pengukuran (measurement) adalah membandingkan sesuatu dengan suatu ukuran. Pengukuran ini bersifat kuantitatif. Penilaian adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik dan buruk penilaian ini bersifat kualitatif, sedangkan evaluasi mencakup pengukuran dan penilaian.
Berdasarkan pengertian di atas menunujukan bahwa pengukuran dalam pendidikan bersifat kongkrit, objektif serta didasarkan pada ukuran-ukuran umum yang dapat dipahami. Misalnya pelaksanaan shalat. Shalat seseorang itu bisa diukur dan juga dinilai. Pengukuran shalat didasrkan pada pelaksanaan syarat dan rukun-rukunnya maka shalatnya dianggap sah apabila telah terpenuhi syarat dan rukun-rukunnya yang menjadi patokan dan dasar dalam pengukuran tersebut.
Sedangkan penilaian shalat berkaitan dengan adab-adab dalam pelaksanaan shalat seperti keikhlasan, kekhusuan, dan sebagainya. Penilaian biasanya lebih sulit daripada pengukuran apabila dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan, dimana yang berhak menilai sesuatu yang batiniah adalah wewenang Allah. Dalam Al-Quran dan Al-Hadits banyak kita temui tolak ukur dalam pendidikan islam. Misalnya tolak ukur shalat yang sempurna adalah dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar.
Al-Hisab
Memiliki makna mengira, menafsirkan menghitung, dan menganggap, misalnya dalam Al-Quran :
“Dan jika kamu melahirkan apa yang ada dihatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu. Maka Allah akan mengampuni bagi siapa yang dikehendaki” (Q.S Al-Baqarah : 284)
Al-Bala
Memiliki makna cobaan ujian. Misalnya dalam al-quran:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”, Al-hukm
Memiliki makna putusan atau vonis misalnya dalam al-quran surat an-naml ayat 78 “Sesungguhnya Tuhanmu akan menyelesaikan perkara antara mereka dengan keputusan-Nya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”
Al- qodo
Memiliki arti putusan misalnya dalam al-quran surat toha ayat 72, mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja. An-Nazhar
Memilki makna melihat misalnya dalam Al-Quran surat An-Namal ayat 27, berkata Sulaiman: “Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta.
Muhasabah
mengemukakan:“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk akhirat (yaumul hisab).
B. Evaluasi Kasus-Kasus Pelanggaran HAM dan Problematika HAM Masa Kontemporer
1. KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM DALAM PERSFEKTIF THEORY a. Pelanggaran Genosida
Kata genosida pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di Amerika Serikat. Kata ini diambil dari bahasa Yunani genos (ras, bangsa atau rakyat) dan bahasa Latin caedere (pembunuhan). Genosida adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan ataumemusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa,ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atauseluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkansecara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.
Penyelidikan tentang Pelanggaran HAM Yang Berat
Penyelidikan terhadap Pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh:
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dalam UU No. 26 tahun 2000, pelanggaran HAM yang berat juga dapat diselesaikanmelalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tahun 2004 diundangkan UU No.27 Tahun 2004 tentang KKR yang mempunyai tugas menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat dimasa lalu dan menciptakan rekonsiliasi. Namun UU ini bertentangandengan norma-norma hukum internasional dan merugikan kepentingan korban,sehingga dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
memberikan rekomendasi untuk adanya penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi termasuk penuntutan pelaku, refomasi institusi yang mendukung terjadinya pelangaran HAM dan pemulihan kepada korban.Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional merupakan lembaga permanen dan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan yurisdiksinya atas orang-orang (pelaku) untuk kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional. Dibentuk dengan dasar bahwasampai saat ini masih berlangsung kekejaman yang mengguncangkan nurani umatmanusia sehingga mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia.
Selain itu juga upaya untuk memutuskan rantai kekebalan hukum (impunity) bagi para pelakukejahatan.Kewenangan Mahkamah Pidana Internasional :Kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi Mahkamah adalah: 1) genosida; 2) kejahatan terhadap kemanusiaan; 3) kejahatan perang; dan; 4) kejahatan agresi.Hubungan Mahkamah Pidana Internasional dengan Pengadilan (HAM) Nasional :Mahkamah Pidana Internasional adalah peradilan yang bersifat sebagai komplementer dari yurisdiksi domestik (pengadilan nasional), artinya mahkamah pidana internasionalhanya berwenang untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang menjadi yuridiksinya apabila suatu negara tidak mampu (unable) atau mau (unwilling) mengadili kejahatan-kejahatan tersebut. Kewenangan Mahkamah Pidana Internasional terkait dengan hak-hak korban : Mahkamah pidana internasional mempunyai kewenangan untuk menetapkan prinsip - prinsip yang berkenaan dengan ganti rugi kepada, atau berkenaan dengan, korban,termasuk restitusi, kompensasi dan rehabilitasi.
b. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “ Perbudakan ”
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, definisi perbudakan dapat kita temukan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, di dalam penjelasan umum dijelaskan definisi dari perbudakan sebagai berikut “Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktik serupa perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya.”
yang menjadi salah satu tujuan perdagangan orang (lihat Pasal 1 angka 1, dan angka 7). Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang juga disebutkan bahwa perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.
Pelaku perbudakan dapat dijerat dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yang berbunyi: (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selain itu, jika melibatkan anak sebagai korban perbudakan, maka pelaku perbudakan dapat dijerat dengan Pasal 74 ayat (2) huruf a jo Pasal 183 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”):
Pasal 74 (2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1)
meliputi:
segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
Dalam aspek perlindungan pekerja anak dari perbudakan, sebagai anggota Organisasi Ketenagakerjaan Internasional atau Internasional Labour Organization (ILO), Indonesia juga meratifikasi Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 yang disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional ke-87 tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak). Negara anggota ILO yang mengesahkan konvensi ini wajib mengambil tindakan segera dan efektifuntuk menjamin pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, yakni salah satunya adalah segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan.
Di samping peraturan perundang-undangan yang telah kami sebutkan, larangan perbudakan manusia juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Mengatur sebagai berikut: “Hak. untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.” Kemudian, di dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. dinyatakan:
a) Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba.
b) Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang.”\
c. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “ Aborsi ”
Menurut Encyclopedia Britania “ The American College Of Obstericians and Gyneologist “ ada dua jenis aborsi:
2. Therapeutic abortion, artinya bahwa penghentian kehamilan melakukan perlakuan tenaga medis, melalui operasi atau penggunaan RU486 atau beberapa terapi lainnya.
Sedangkan beberapa kelompok masyarakat yang pro kehidupan mendifinisikan aborsi sebagai sebuah tujuan untuk menghalangi proses perkembangan yang dari waktu ke waktu konsepsi hingga melahirkan. Adapun Aborsi menurut beberapa pandangan aspek, diantaranya:
Aspek perspektif HAM
Ditinjau dari perspektif HAM, seorang wanita mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan aborsi karena merupakan bagian dari hak kesehatan reproduksi yang sangat mendasar. Aborsi merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dihindari bagi wanita yang tidak menginginkan kehamilannya karena adanya beberapa alasan seperti kegagalan akibat penggunaan kontrasepsi, atau memang sengaja tidak menggunakan kontrasepsi,. kehamilan yang diakibatkan karena kekerasan seksual seperti pemerkosaan.
Program Aksi ICPD Cairo secara specifik menyatakan bahwa abortsi tidak harus digunakan sebagai metode KB. Bagaimanapun juga ketika wanita tidak mempunyai akses untuk mendapatkan metode KB yang sesuai dan tersedia dan tidak mampu membayar, maka banyak orang yang menggunakan aborsi sebagai metode untuk mengatur kelahiran.5
Aspek Hukum Indonesia
Hukum yang ada di Indonesia seharusnya mampu menyelamatkan ibu dari kematian akibat tindak aborsi tak aman oleh tenaga tak terlatih (dukun). Ada lebih dari 3 aturan aborsi di Indonesia yang berlaku hingga saat ini yaitu:
1. Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan melanggar hukum. Sampai saat ini masih diterapkan.
3. Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang menuliskan dalam kondisi tertentu, bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi).
4. PP No 61 Tahun 2014 tentang pelegalan aborsi bagi korban perkosaan
5. Pasal 299 KUHP (1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah..
Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juruobat, pidananya dapat ditambah sepertiga (3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu.
6. Pasal 346 KUHP. Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
7. Pasal 348 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun..
Aspek Agama
muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara keselamatan nyawa seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara keselamatan nyawa manusia semuanya.” (QS 5:32)
Aspek Sosial Budaya
Aborsi dipandang sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan norma dan etika budaya ketimuran, karena budaya timur masih memegang kuat agamanya.
Pada saat yang sama, aborsi dapat menyebabkan masalah dalam keluarga yang merupakan bagian dari masyarakat. Faktanya adalah bahwa sangat penting bagi seorang wanita untuk memiliki suasana yang mendukung dari bagian dari kerabat terdekat, yakni suami dan orangtua. Spesialis sangat merekomendasikan mengambil keputusan aborsi oleh kedua pasangan yang dapat membuat keluarga kuat sedangkan perselisihan dapat mengakibatkan perceraian.Jadi peran keluarga dalam mengambil keputusan tidak kurang penting dibandingkan pengaruh masyarakat atau keyakinan pribadi.
bertindak bijak dengan memberikan support, maka bisa jadi si calon ibu tidak sampai berpikir pendek dan nekad.
Adanya pengaruh globalisasi yang terjadi di Indonesia, menjadikan remaja mulai menjadikan kultur negara - negara maju sebagai acuan hidupnya. Terkadang remaja tidak memfilter apa yang mereka dapat, baik dan buruk nya kultur tersebut sekedar ditiru saja. Adanya anggapan bahwa budaya barat adalah sesuatu yang hebat dan lebih modern. Sehingga para remaja beranggapan bahwa, bila tidak menirukan budaya barat tersebut maka akan dianggap ketinggalan jaman. Misalnya dampak dari ada nya globalisasi dalah terjadinya pergaulan yang bebas dan terkesan tanpa adanya kontrol.
Pada awalnya pergaulan bebas belum meluas, sehingga masih terlihat sebagai sesuatu yang tabu. Namun dengan berjalannya waktu, dan kurang ada nya kontrol terhadap penetrasi budaya barat tersebut, free sex pun semakin meluas. Sehingga free sex mulai dianggap sebagai hal yang biasa pada sebagian orang, misalnya pada kota besar atau metropolitan, free sex mulai menjamur, sehingga akibat dari free sex seperti aborsi mulai banyak terjadi.
d. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “ Pembunuhan ”
Pembunuhan dalam bahasa arab disebut dengan istilah al-qatl, yaitu upaya menghilangkan nyawa seseorang sehingga menyebabkan kematian, baik dilakukan dengan sengaja maupun tidak, baik memakai alat ataupun tidak. Dibawah ini ada beberapa Theori terkait pembunuhan:
Aspek hukum
dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 4 tahun penjara, 346-349 (aborsi) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya (antara 4 - 12 tahun) penjara, 351 ayat 3 (penganiayaan biasa yang mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 7 tahun penjara, 353 ayat 3 (penganiayaan berencana yang mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 9 tahun penjara, 354 ayat 2 (penganiayaan berat yang mengakibatkan matinya orang dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 10 tahun penjara, 355 ayat 2 (penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 15 tahun penjara, 359 (karena kelalaiannya mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 5 tahun penjara atau satu tahun kurungan.
Dalam kasus pembunuhan sebagaimana terjadi di Patar Selamat, terdapat beberapa pasal yang mungkin diterapkan, kemungkinan itu adalah pada pasal-pasal: 338, 340. Bedanya 340 daripada 338 adalah, 340 didahului dengan adanya rencana terlebih dahulu, artinya ada kesempatan untuk berpikir dengan tenang, atau dalam bahasa gampangnya barangkali bisa disebut sebagai bukan spontanitas.
Kemungkinan lainnya adalah pasal-pasal: 351 ayat (3), 353 ayat (3), 354 ayat (2), dan 355 ayat (2).Selintas yang penulis baca di Media Bawean, Penyidik menyangkakan dengan pasal 338. Perlu dipahaami bahwa itu boleh-boleh saja, akan tetapi nantinya Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan mempelajari lebih lanjut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari Penyidik dan JPU akan menentukan dakwaan atas dasar BAP daripada Penyidik tersebut. Sudah barang tentu JPU tidaak akan hanya menggunakan satu pasal saja, sebab bila hanya dengan satu pasal, dihawatirkan dalam pemeriksaan di Pengadilan nanti tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan, jika itu terjadi, maka terdakwa bisa bebas (vrijspraak), dan dalam kasus tertentu – tapi bukan dalam kasus di Patar Selamat ini--, bisa jadi terbukti dengan sah dan meyakinkan tapi bukanlah merupakan tindak pidana, yang ini istilah hukumnya adalah lepas dari segala tuntutan hukum.
pula, maka masih mungkin penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan matinya orang, dan seterusnya. Jadi JPU akan menggunakan pasal berlapis dengan kriteria primer, subsider, lebih subsider, dan seterusnya.
Di dalam memutus perkara hakim akan mempertimbangkan tentang alasan-alasan yang meringnkan dan memberatkan, misalnya faktor yang meringankan adalah si pelaku masih muda, menyesali akan perbuatannya, dan sebagainya, sedang alasan yang memberatkan misalnya karena dilakukan di bulan suci ramadhan, menggunakan senjata tajam dan sebagainya.
Di samping itu hakim terlebih dahulu akan mempelajari tentang adakah alasan penghapus pidana? Alasan penghapus pidana tersebut ada yang terdapat dalam Undang-undang, ada pula yang terdapat di luar Undang-undang (dhi KUHP). Alasan-alasan penghapus pidana dalam KUHP dapat kita lihat dalam pasal-pasal:44 (kemampuan bertanggung jawab), 45 (belum cukup umur bisa dijatuhi tindakan), 48 (overmacht/daya paksa), 49 (noodwer/pembelaan terpaksa), 50 (melaksanakan perintah undang-undang), 51 (melaksanakan perintah jabatan). Dalam kasus di Patar Selamat dalam ketentuan tersebut hanya satu pasal saja yang mungkin terdapat, yaitu pasal 44, itupun nantinya harus dibuktikan dengan alat bukti yang disebut dengan keterangan ahli. Hanya saja sepenjang yang penulis baca di media tidak nampak gejala itu. Perihal gangguan jiwa, dalam KUHP diistilahkan ‘jiwanya cacat dalam pertumbuhan’ dan ‘sakit berubah akal’ (pasal 44). Jiwanya cacat dalam pertumbuhan, memang sedari kecil sudah menderita kelainan (kata orang bawean, la deri paloatan) misalnya idiot, dan sebagainya, sedang sakit berubah akal adalah sakit jiwa.
Kemungkinan lain yang bisa terjadi, si terdakwa akan berdalih, bahwa ia tidak bermaksud membunuh, tapi hanya ingin menganiaya saja. Untuk alasan itu maka hakim perlu mempelajari teori tentang kesengajaan, yang dalam hal itu ada tiga teori tentang kesengajaan, yaitu kesengajaan sebagai maksud, sebagai sadar kepastian dan sebagai sadar kemungkinan.
1. Kesengajaan sebagai maksud, adalah memang terdapat hubungan langsung antara kehendak jiwa dan fakta kejadian, misalnya terdakwa menyatakan, ‘ya…, saya memang bermaksud membunuh oleh sebab.
berkehendak untuk membunuh, tapi, siapapun kalau dipancung pasti hal yang tidak dikehendakinya itu akan terjadi. (Hal ini tidak terjadi pada kasus di Patar Selamat).
3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan, adalah memang jiwa tidak menghendaki akibat itu terjadi, tapi semestinya ia menyadari bahwa jika itu dilakukan, kemungkinan besar akibat yang tidak dikehendakinya itu akan terjadi, misalnya terdakwa mengatakan, bahwa ia tidak bermaksud membunuh, tapi mestinya ia menyadari bila pedang setajam itu ditebaskan pada bagian badan manusia akan menyebabkan pendarahan yang hebat, dan dengan demikian kemungkinan besar si korban akan kehabisan daran, yang tentu akan mengakibatkan kematiannya. Apalagi bila pedang itu mengandung racun.
Dari situlah hakim akan mengambil kesimpulan dengan apa yang disebut ‘mengobyektifkan’. Jadi walaupun terdakwa mengatakan tidak bermaksud, maka hakim bisa mengkategorikan sebagai sengaja..
e. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “Penyiksaan/Eksploitasi“ Perspektif HAM Terhadap Anak Jalanan
Negara menempatkan posisi anak dalam kebijakan pembangunan sejajar dengan isu politik juga ekonomi. Pemerintah tak sepantasnya menempatkan anak sebagai persoalan domestik. Berdasarkan Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak, negara berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak anak tanpa diskriminasi.
Bagaimana kenyataannya? Lihatlah anak jalanan. Berdasarkan catatan Departemen Sosial (Depsos), jumlah anak jalanan mencapai 39.861 orang dengan sekitar 48% di antaranya anak yang baru turun ke jalan. Catatan itu diperoleh dari hasil survei sejak tahun 1998 di 12 kota besar di Indonesia. Secara nasional diperkirakan terdapat sebanyak 60.000 sampai 75.000 anak jalanan. Depsos juga mencatat bahwa 60% anak jalanan putus sekolah, 80% masih berhubungan dengan keluarganya, dan 18% perempuan.
lagi menjadi 1.124 kasus pada 2006. Jumlah kekerasan terhadap anak-anak ini hanyalah jumlah yang dilaporkan wilayah sekitar Jabodetabek. Sementara jumlah kekerasan terhadap anak secara nasional diperkirakan mencapai 72.000 kasus.
Dari berbagai analisis, pemicu terjadinya kekerasan terhadap anak, di antaranya diakibatkan oleh kekerasan dalam rumah tangga, disfungsi keluarga, ekonomi, dan pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Penyebab lainnya, terinspirasi tayangan televisi maupun media-media lain yang tersebar di lingkungan masyarakat. Yang mengejutkan, 62% tayangan televisi maupun media lainnya ternyata telah membangun dan menciptakan perilaku kekerasan terhadap anak.
Pasal 1 ayat 1 UU No 23 tahun 2002 menyebutkan, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun) termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pasal 1 KHA/Keppres No. 36/1990 menyatakan, Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan UU yang berlaku bagi yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Senada dengan itu, Pasal 1 ayat 5 UU No. 39/1999 tentang HAM mengatakan, Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian penuh terhadap perlindungan anak karena dalam amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28b ayat 2 disebutkan, Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan Pasal 34 (1) berbunyi, Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara. Di sisi lain, perlindungan terhadap keberadaan anak ditegaskan secara eksplisit dalam 15 pasal yang mengatur hak-hak anak dan pasal 52 – 66 UU No. 39/1999 tentang HAM.
pemenuhan dan perlindungan hak-hak sipil politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Sayangnya, banyaknya peraturan itu tidak didukung dengan implementasinya. Harus diakui, keberadaan anak-anak merupakan mayoritas di negeri ini. Karenanya diperlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi anak belum sepenuhnya terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya. Berbagai bukti empiris menunjukkan bahwa masih dijumpai anak-anak yang mendapat perlakuan yang belum sesuai dengan harapan. Kendalanya antara lain, kurangnya koordinasi antarinstansi pemerintah, belum terlaksananya sosialisasi dengan baik, dan kemiskinan yang masih dialami masyarakat.
Aspek Perspektif Pancasila terhadap kasus eksploitasi anak
Menurut Undang-Undang RI No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Anak memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut : Bab III tentang Hak Anak, Pasal 4: “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Di era serba semrawut ini, eksploitasi anak marak terjadi. Eksploitasi anak dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan masalah yang kompleks, berdimensi sosial, ekonomi dan budaya. Dari data statistik, sekira 6 % anak Indonesia usia 10-14 tahun, atau tak kurang dari 1,6 juta anak jadi bagian dari angkatan kerja. Data Organisasi Buruh Internasional (ILO) lebih heboh lagi. Di Indonesia diperkirakan lebih dari 4,2 juta anak terlibat dalam pekerjaan berbahaya atau berisiko tinggi. Sekira 1,5 juta diantaranya adalah anak perempuan. Sedangkan data hasil survei Universitas Indonesia dan Program Penghapusan Buruh Anak ILO, mengungkap, dari sekira 2,6 juta Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Indonesia saat ini, 34,83 % diantaranya anak-anak, dan 93 % diantaranya adalah anak perempuan.
Pancasila tidak memberikan ruang untuk eksploitasi anak-anak. Pancasila, pada sila kedua berbunyi: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yakni makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa,yang memiliki potensi, pikir, rasa, karsa dan cipta. Karena potensi ini manusia mempunyai dan menempati kedudukan dan martabat yang tinggi. Kata adil mengandung makna bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas ukuran/norma-norma yang obyektif, dan tidak subyektif sehingga tidak sewenang-wenang. Kata beradab berasal dari kata adab, artinya budaya. Jadi adab mengandung arti berbudaya, yaitu sikap hidup, keputusan dan tindakan yang selalu dilandasi oleh nilai-nilai budaya, terutama norma sosial dan kesusilaan/moral. Jadi, kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung pengertian adanya kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungannya dengan norma-norma dan kebudayaan umumnya. Salah satunya butir Pancasila sila 2 mengatakan bahwa kita harus mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Ini mengindikasikan bahwa Pancasila sangat menentang eksploitasi anak (child exploitation). Sebab perbuatan tersebut merupakan sikap yang tidak adil dan tidak beradab terhadap anak yang juga memiliki hak untuk hidup sejahtera seperti rakyat Indonesia pada umumnya. Disamping itu, konsitusi Pancasila melarang keras melibatkan dan keterlibatan anak dalam dunia yang penuh dengan kekerasan, baik itu kekerasan mental maupun kekerasan fisik.
kesewenang-wenangan. Keputusan untuk “mempekerjakan” anak pasti merupakan keputusan yang sulit bagi orang tua manapun. Namun sungguh benar-benar tidak adil apabila orang tua merenggut dunia anak-anak mereka, hanya demi alasan ekonomi. Seharusnya asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah bahwa semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan orang tua berorientasi pada kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan yang utama. Selain itu orang tua juga harus menghargai asas penghargaan terhadap pendapat anak, yaitu penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.
Namun, karena sekarang eksploitasi anak semakin merajalela, sudah sewajarnya apabila upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bagaimana peran pemerintah, masyarakat dan orang tua dalam mengatasi eksploitasi pada anak. Sebagai regulator pemerintah mempunyai peran yang sangat penting dalam menetapkan kebijakan yang menguntungkan dan berpihak pada penegakan hak asasi manusia terutama hak anak. Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pihak yang mengeksploitasi anak dapat dikenakan pidana yang sesuai dan adil.
Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut:
a) Nondiskriminasi
b) Kepentingan yang Terbaik Bagi Anak;
c) Hak untuk hidup,kelangsungan hidup,dan perkembangan;dan d) Penghargaan terhadap pendapat anak.
Jadi, pada dasarnya proses mencapai kesejahteraan haruslah dengan cara-cara yang berperikemanusiaan. Apapun yang terkandung di dalam proses-proses tersebut harus etis dan tidak boleh merugikan manusia individual manapun, jangan sampai kita mengeksploitasi anak hanya demi kepentingan diri kita masing-masing, karena eksploitasi anak merupakan tindakan yang sangat tidak berkemanusiaan.
Aspek Psikologis
Dalam aspek psikologi masa kanak-kanak merupakan periode perkembangan yang terjadi mulai akhir masa bayi hingga sekitar usia 5 atau 6 tahun; kadang periode ini disebut tahun-tahun prasekolah. Selama waktu tersebut, anak kecil belajar menjadi mandiri dan merawat diri sendiri, mereka mengembangkan keterampilan kesiapan sekolah (mengikuti perintah, mengenali huruf) dan mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain dengan teman sebaya. Kelas satu Sekolah Dasar biasanya menandai berakhirnya periode ini. Masa Kanak-kanak tengah dan akhir (middle and late childhood) merupakan periode perkembangan yang dimulai dari sekitar usia 6 hingga usia 11 tahun; kadang periode ini disebut periode sekolah dasar. Anak menguasai keterampilan membaca, menulis, aritmatik, dan mereka secara formal dihadapkan pada dunia yang lebih besar dan budayanya. Prestasi menjadi tema sentral yang lebih dari dunia anak, dan kontrol diri meningkat.
Papalia (1995), seorang ahli perkembangan manusia dalam bukunya Human Development, mengatakan bahwa anak berkembang dengan cara bermain. Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Dengan bermain anak-anak menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi indra-indra tubuhnya, mengeksplorasi dunia sekitarnya, menemukan seperti apa lingkungan yang ia tinggali dan menemukan seperti apa diri mereka sendiri. Dengan bermain, anak-anak menemukan dan mempelajari hal-hal atau keahlian baru dan belajar (learn) kapan harus menggunakan keahlian tersebut, serta memuaskan apa yang menjadi kebutuhannya (need). Lewat bermain, fisik anak akan terlatih, kemampuan kognitif dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain akan berkembang. Selain itu bermain juga didefinisikan sebagai semua kegiatan anak yang dirasakan olehnya menyenangkan dan dinikmati (pleasurable and enjoyable).
dieksploitasi. Eksploitasi dalam kamus ilmiah berarti pemerasan atau penarikan keuntungan secara tidak wajar. Eksploitasi terhadap anak adalah mempekerjakan seorang anak dengan tujuan ingin meraih keuntungan. Eksploitasi anak dapat berupa: Eksploitasi ekonomi, penyalahgunaan narkoba, eksploitasi & kekerasan seksual, penjualan, perdagangan & penculikan anak,eksploitasi dalam bentuk lain. Faktor-faktor adanya eksploitasi anak antara lain :
1. Tekanan ekonomi. Karena tekanan ekonomi ini orangtua memaksa anaknya untuk menghidupi sendiri dan memenuhi kebutuhan sekolah sendiri.
2. Tekanan psikologis. Beberapa mengalami stres karena kurang kasih sayang, diacuhkan orang tua dan merasa orang tua mereka terlalu banyak aturan yang menekan perasaan mereka sama sekali tidak ada kebebasan.
Sedangkan tekanan dari luar yang mendukung mereka ketika mendapatkan tekanan dari rumah:
1. Pengaruh teman-teman sekolah yang mulai mengenalkannya dengan diskotik. 2. Pengaruh teman-teman kerja (pabrik, pub, billyard) yang mengenalkan pada kerja
tambahan untuk mendapatkan uang lebih dengan menemani para tamu untuk minum atau ngedrug.
3. Dijebak baik oleh teman sendiri, dengan menawarkan pekerjaan. Eksploitasi anak mempunyai dampak yang sangat buruk dikemudian hari.
Eksploitasi anak-anak dapat berakibat buruk terhadap perkembangan jiwa meraka, karena meraka bekerja pada lingkungan orang dewasa. Hal ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua khususnya pemerintah jangan cuma memperingati hari anak nasional yang jatuh pada 22 juli dengan seremonial yang mungkin memakan biaya yang cukup banyak tapi mari kita merenung dan menatap kebelakang bagaimana kondisi generasi penerus bangsa. Semua orang pasti menggiginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Oleh karena itu, berikanlah yang terbaik untuk mereka. Jangan biarkan mereka kepanasan ditengah teriknya sang mentari yang dihiasi dengan gumbalan asap kendaraan, tetapi biarkanlah mereka dengan dunianya sendiri, dunia yang penuh dengan keceriaan dan beraneka macam permainan. Biarkan mereka dengan sejuta mimpinya untuk menatap hari esok yang lebih baik.
Aspek Hukum
Dalam KUHP pencemaran nama baik diistilahkan sebagai penghinaan/penistaan terhadap seseorang, terdapat dalam Bab XVI, Buku I KUHP khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318 KUHP. Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang, secara umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311 ayat (1),Pasal 315, Pasal 317 ayat (1) dan Pasal 318 ayat (1) KUHP yang menyebutkan :Pasal 310 ayat satu (1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-. (2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan,dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara Sie Infokum Ditama Binbangkum 3 selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp 4.500,-. (3) Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa sipembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri. Adapun rincian pendukungnya dibawah ini:
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dalam Pasal 27 ayat [3] UU ITE menyatakan: “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Pasal 45 ayat (1) UU ITE ditentukan bahwa: “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Pasal 311 ayat (1) UU ITE: Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau
Pasal 315 KUHP: Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat menista atau menista dengan tulisan, yang dilakukan kepada seseorang baik ditempat umum dengan lisan, atau dengan tulisan, maupun dihadapan orang itu sendiri dengan lisan atau dengan perbuatan, begitupun dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.
Pasal 317 ayat (1) KUHP: Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat pengaduan atas pemberitahuan yang palsu kepada pembesar negeri tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi tersinggung,maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 318 ayat (1) KUHP: Barangsiapa dengan sengaja dengan melakukan sesuatu perbuatan,menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, maka dihukum karena tuduhan memfitnah,dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.2.
2. CONTOH KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM
a. Kasus Pelanggaran HAM “Genosida: Study kasus OPM”
Pasca Perang Dingin, terjadi perubahan konstelasi politik internasional. Konflik yang sebelumnya terjadi antar-negara, bergeser menjadi konflik domestik. Perang Dingin turut memiliki kontribusi yang signifikan dalam mengklasifikasikan negara-negara di dunia, menjadi golongan Komunis atau Liberal, yang secara tidak langsung berakibat pada terjadinya konflik internal, karena terpecahnya kelompok kepentingan masyarakat kedalam dua ideologi tersebut. Selain mengakibatkan bergesernya jenis konflik, setelah berakhirnya Perang Dingin, aktor internasional pun memiliki peranan yang penting, khususnya dalam penyelesaian sengketa internasional.
oleh masyarakat Papua tersebut di inisiasikan oleh Belanda, yang menjadi pemerintahan kolonial Indonesia sebelum dekolonisasi. Pemerintahan Soekarno yang pada saat itu sangat menentang kolonialisme, membentuk Tiga Komando Rakyat (Trikora) pada tahun 1961, yang secara garis besar bertujuan untuk melepaskan Papua dari penguasaan Belanda dan memasukkan wilayah tersebut kedalam wilayah NKRI. Kebijakan tersebut telah membagi masyarakat Papua kedalam kelompok pro dan kontra.
Amerika Serikat yang pada saat itu dalam usaha untuk mencegah masuknya komunisme ke Indonesia, meminta dukungan dari negara-negara Barat agar Belanda bersedia mengambil solusi politik untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Pada tahun 1962, dengan adanya mediasi dari PBB, Indonesia dan Belanda melakukan Perjanjian New York yang memerintahkan Belanda untuk menyerahkan penguasaannya kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) dan meninggalkan wilayah Papua selama enam tahun sampai dilakukannya pemungutan suara yang bertujuan untuk menentukan posisi Papua.
Ketika pada tahun 1969 dilakukan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), Pemerintah Indonesia mengajukan diri sebagai perwakilan dalam konsensus musyawarah tersebut, dengan alasan bahwa masyarakat Papua masih dianggap terlalu primitif dalam ”memberikan suaranya”. Hasil pemungutan suara tersebut menunjukkan bahwa Papua menjadi bagian dari NKRI, dan kemudian disahkan dalam Resolusi PBB no. 2504. Sehingga pada tahun 1973, Papua resmi menjadi milik NKRI (LIPI;2011).
Keputusan ini semakin memperluas gap antara pemerintah NKRI dan masyarakat Papua yang kecewa karena tidak diikutsertakan sejak dalam proses pembentukan UNTEA sampai ketika dilakukannya pengambilan suara. Sehingga mengakibatkan terbentuknya kelompok-kelompok militer yang represif memperjuangkan pemisahan wilayah Papua dari NKRI, salahsatu kelompok yang paling represif dalam memperjuangkan hal ini ialah Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang telah terbentuk sejak tahun 1964. (Andrew Tan;2007).
Program Transmigrasi. Program ini semakin menimbulkan perpecahan sosial di wilayah Papua, karena memunculkan prasangka buruk terhadap suku Jawa yang dianggap akan semakin memarjinalkan masyarakat asli Papua.
Respon Pemerintah Indonesia untuk meredam konflik di Papua adalah dengan memberlakukan sejumlah Daerah Operasi Militer (DOM) di wilayah Papua, sejak tahun 1965 (Operasi Sadar) sampai dengan tahun 2004, di Kabupaten Puncak Jaya, setelah diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, tahun 2001 (Neles Tebay;2009). Meskipun tingkat kekerasan yang terjadi di Papua setelah Otsus jauh lebih sedikit bila dibandingkan ketika era Orde Baru (hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya jumlah korban). Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) merupakan kebijakan yang dibentuk ketika berada dibawah pemerintah Presiden Megawati Soekarno putri, sebagai bentuk dari respon pemerintah nasional dalam menyikapi tuntutan dari masyarakat Papua untuk memisahkan diri dari NKRI.
Inisiatif untuk menyelesaikan konflik Papua dengan jalan damai telah ada sejak tahun 1998, ketika Indonesia berada pada Era Reformasi, yaitu dengan dilakukannya dialog Papua dengan 100 ketua (Tim 100) dengan Presiden Habibie, yang kemudian diberi nama Forum Rekonsiliasi Masyarakat Irian Jaya (Foreri). Kemudian pada tahun 1999, Presiden Abdulrahman Wahid membentuk Kongres Rakyat Papua sebagai wadah untuk menyampaikan seluruh aspirasi masyarakat Papua kepada pemerintahan pusat. Pada Tahun 2001, Otsus dibentuk dengan harapan dapat memuaskan masyarakat Papua. Pemerintah berkomitmen untuk menjamin eksistensi orang asli Papua, memelihara nilai-nilai kultural, dan pemerintah bertugas membentuk peraturan perundang-undangan untuk memperlancar UU Otsus tersebut.
Namun, delapan tahun setelah Otsus diberlakukan, pemerintah masih menghadapi banyak permasalahan, seperti kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum diberlakukannya Otsus, masih banyak terjadinya penebangan hutan liar, rendahnya tingkat pendidikan, eksplorasi SDA, dan tingginya tingkat penyebaran HIV/AIDS menunjukkan bahwa tujuan Otsus masih jauh dari keberhasilan.
Komitmen damai melalui jalur dialog tidak hanya datang dari kelompok pemerintah, tetapi juga dari pihak Papua. Kekerasan dan banyaknya korban yang berjatuhan selama masa DOM, memunculkan tekad masyarakat Papua serta kelompok separatisme untuk menghentikan tindakan kekerasan. Bahkan kelompok OPM-pun yang masih bergerilya di hutan, mendukung ide dialog perdamaian dengan pemerintah tersebut. Dialog damai juga di prakarsai oleh Gereja Katolik se-Papua, yang terdiri dari empat uskup, masing-masing: Uskup Keuskupan Agung Merauke, Uskup Keuskupan Agats, Uskup Keuskupan Manokwari-Sorong, dan Uskup Keuskupan Jayapura, yang menemui mantan Presiden Abdulrrahman Wahid, memohon untuk menyelesaikan konflik dengan jalur dialog damai, pada tahun 2001. Menurut Neles Tebay, meskipun komitmen untuk melakukan dialog damai sudah muncul, namun dialog tersebut belum pernah benar-benar terjadi, karena belum adanya rasa percaya dari pihak-pihak yang berkonflik.
b. Kasus Pelanggaran HAM “ Perbudakan ”
Sebulan yang lalu kita dikejutkan dengan sebuah peristiwa di sebuah pabrik di Tangerang. Peristiwa tersebut adalah kasus Perbudakan di salah satu pabrik kuali milik Yuki Irawan-tersangka yang sekarang sudah ditahan di Mapolres Tangerang. Kasus ini diangkat oleh media ketika salah satu korban perbudakan pulang ke kampung halamannya di Lampung. Korban ini menceritakan kejadian perbudakan kepada kepala desa dan akhirnya pengaduan berlanjut hingga melibatkan Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasam (Kontras), Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), hingga Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri). Korban menceritakan bahwa ia bekerja di pabrik tersebut karena di rekrut oleh seseorang dari kampungnya yang menjanjikan gaji 700 ribu rupiah per-bulan. Semua makan dan penginapan juga ditanggung perusahaan.
galak, terdapat pula oknum aparat yaitu tentara dan juga anggota Brimob yang sering berkunjung ke pabrik. Menurut pengakuan korban pada saat melapor ke kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bahwa pemilik pabrik tersebut, Yuki Irawan pernah menampar dan mengancam jika para buruh kabur akan ditembak dan dibuang ke laut.
Kejadian tersebut telah melanggar prinsip-prinsip dari Hak Azasi Manusia (HAM) dan juga aturan-aturan yang ada dalam Undang-undang Ketenagakerjaan terkait waktu kerja, keselamatan dan kesehatan kerja serta pengupahan. Peristiwa tersebut juga melanggar Undang-undang Perlindungan Anak dimana beberapa anak dibawah umur dipaksa bekerja di pabrik tersebut. Dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 86 Ayat (1) disebutkan: Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
c. Kasus Pelanggaran HAM “ Aborsi ”
Perspektif Aborsi dalam Realitas Sosial Dinamika Masyarakat Urban Pontianak, (Selasa, 30 Oktober 2007), aborsi bukan sesuatu yang baru terdengar secara medis Aborsi adalah penghentian dan pengeluaran hasil kehamilan dan janin dari rahim sebelum dapat hidup kedalam kandungan. Harus diakui bahwa sampai saat ini praktik aborsi masih menjadi kontroversi. Seperti apa perspektif aborsi dalam ralitas sosial masyarakat kita? Catatan Pringgo Pontianak Berdasarkan data yang dihimpun Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), tahun 2000 angka aborsi di Indonesia mencapai 2,3 juta kasus. Selang setahun kemudian, angka itu naik menjadi 2,5 juta. Ironisnya lagi, sebagian besar kasus aborsi yang terjadi dilakukan secara sengaja (procured abortion) dan oleh perempuan yang telah bersuami.
dikuburkan oleh mahasiswa lelaki KI (21) di semak-semak sekitar kompleks BTN Safira Kelurahan Rahandouna, Kota Kendari Selasa (30/7) sekitar pukul 20.00 WITA. "Lelaki KI dan wanita NF (20) mengaku bahwa bayi tidak berdosa tersebut adalah hasil hubungan mereka. Keduanya sudah ditetapkan sebagai tersangka," ungkap Agung Basuki seperti dikutip dari Antara, Rabu (31/7).
Mahasiswa wanita NF mengaku bayi yang dikandungnya lahir setelah mengkonsumsi obat yang diterimanya dari lelaki KI. Sekitar pukul 20.00 WITA lelaki KI bersama rekannya yang masih dalam buron mengendarai sepeda motor menuju kawasan semak belukar di sekitar kompleks BTN Safira dengan maksud menguburkan bayi tersebut. Warga yang sedang mengintai pencuri sapi curiga keberadaan dua lelaki yang berboncengan motor masuk dalam semak-semak."Kami curiga karena mendengar mereka seperti menggali lubang untuk menanam sesuatu. Kami panggil dan menanyakan sedang apa," kata saksi Lambeso (62). Dua lelaki itu bukannya menjawab pertanyaan warga tetapi bermaksud melarikan diri, namun mengurungkan niat setelah warga mengancam membakar sepeda motor mereka. "Mereka sempat melarikan diri dalam hutan, tetapi mendengar sepeda motornya akan dibakar akhirnya kembali," tutur Lambeso. Warga yang mencurigai sebagai pencuri sapi menggiring ke Polsek Poasia, namun akhirnya dibebaskan karena tidak cukup bukti. Pada Rabu (31/7) sekitar pukul 07.30 WITA, warga mendatangi tempat yang dicurigai adanya sesuatu yang ditanam oleh dua lelaki tersebut. Warga terkejut, ternyata yang dikuburkan adalah seorang bayi perempuan dan akhirnya dilaporkan ke Polsek Poasia. Polisi kemudian menciduk KI dan wanita NF yang dijerat melanggar pasal 346 tentang aborsi dengan ancaman empat tahun penjara. di rumah kontrakan di Jalan Jati Raya. "Wanita NF divisum di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sultra dan lelaki KI dimintai keterangan oleh penyidik," demikian Agung Basuki.
d. Kasus Pelanggaran HAM “ Pembunuhan ”
Ibu dua anak yang tengah mengurus proses perceraian dengan suaminya itu kerap datang ke kafe di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, tempat JAH bekerja sehari-hari.
Bunga asmara di antara mereka. Singkat kata, keduanya berhubungan layaknya pasangan kekasih. "Hubungannya lebih dari teman dekat deh," ujar dia di sela pemeriksaan di Polres Kota Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Sabtu (22/11/2014).
Sri tuduh JAH selingkuh Jumat (18/11/2014), JAH, Sri serta sejumlah rekannya berwisata ke kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat. Acara dilanjutkan ke kafe di bilangan Blok M, Jakarta Selatan dan sebuah kelab malam di kawasan Glodok, Jakarta Barat.
Sepanjang dari Blok M hingga ke Glodok, keduanya menenggak minuman keras hingga sedikit mabuk. Saat itu, Sri bertanya kepada JAH, apakah benar dia berselingkuh dengan wanita lain. JAH pun membantahnya. Namun, Sri yang mengaku memiliki bukti bersikeras menuduh JAH berselingkuh. Cekcok pun dimulai.
Kasat Reskrim Polres Bandara Kompol Aszhari Kurniawan mengatakan, Sri mengusir JAH dari mobilnya. Namun, JAH menolak. JAH pun meminta Sri untuk mengantarkan ke bandara jika memang tidak mau bertemu dirinya lagi. "Bahasa marahnya tersangka, kalau gitu antar saya ke bandara, saya mau pulang," ujar dia. JAH dan korban masuk ke pelataran parkir Terminal 1A bandara pada Sabtu (15/11/2014) sekitar pukul 08.00 WIB. Cekcok masih terus terjadi di dalam mobil. Amarah JAH memuncak. Spontan, dia yang berada di kursi sopir mencekik leher Sri selama sekitar tiga menit. Di tangan sang kekasih, Sri tewas. JAH sempat merebahkan sandaran jok Sri dan menutup wajahnya dengan sehelai kain abu-abu. Aszhari menyebut, hal tersebut agar korban tidak terlalu nampak dari luar mobil. JAH keluar dari mobil usai menguncinya dari dalam. Dia kemudian bertolak ke terminal keberangkatan 1A dengan berjalan kaki. Dia membeli tiket pesawat Lion Air ke Denpasar, Bali. JAH baru terbang sekitar pukul 14.25 WIB. Dari Bali, dia bertolak ke Jayapura, Papua dengan transit terlebih dahulu di Makassar. JAH sempat menginap satu hari di Jayapura sebelum terbang ke tanah kelahirannya di Nabire, Papua.
tengah keluar mobil Sri dengan wajah tegang. Atas bekal itu, polisi melakukan pengembangan.
Tersangka dikenakan Pasal 338 KUHP tentang penghilangan nyawa orang. Tersangka terancam hukuman 15 tahun penjara.
e. Kasus Pelanggaran HAM “ Penyiksaan/Ekspolitasi ”
Tak ada yang istimewa dari rumah di Jalan Adibrata, Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir, Bandung, Jawa Barat itu. Sekilas, rumah milik Budi Halim ini, layaknya tempat tinggal lain di sekitarnya. Namun rumah itu tiba-tiba menjadi perhatian masyarakat ketika seorang anak perempuan lulusan sekolah lanjutan pertama bernama Dewi melapor ke Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung, awal Juli silam. Budi Halim menyekap belasan anak buat dipekerjakan.
Dewi adalah satu di antara anak-anak di bawah umur yang dipekerjakan di CV Langgeng Computer Embriodery, pabrik konveksi milik Budi Halim dan istrinya, Herawati. Dewi kabur dari rumah Budi--yang sekaligus menjadi pabrik--karena tak tahan dipekerjakan di luar batas kemanusiaan. Polisi yang menggerebek konveksi tersebut kemudian menemukan 12 anak berusia 11 hingga 18 tahun. Sebagian besar dari mereka berasal dari daerah sekitar Bandung dan Cianjur.
Dede Sutianingsih, seorang anak yang juga senasib dengan Dewi akhirnya berkisah. Menurut gadis muda ini, anak-anak yang bekerja di konveksi milik Budi harus bekerja selama 12 jam dari pukul 07.00 hingga 19.00 WIB. Mereka hanya diberi waktu istirahat setengah jam. Parahnya, selama istirahat itu mereka dilarang ke luar atau beranjak dari tempat kerja. "Jongkok atau berdiri sebentar saja si Engkoh (Budi) dan si Enci (Herawati) suka marah. Bahkan sering mencaci maki dengan kata-kata goblok, anjing, sambil mendorong kepala," kata-kata Dede, miris.
Bisa jadi, penderitaan tadi tak dialami mereka, seandainya tak ada orang yang bernama Pipin, calo pekerja. Namun, perempuan ini malah mengaku tak menyangka anak-anak itu akan bernasib buruk. "Kalau kursus menjahit kan harus bayar. Sedangkan bekerja di konveksi itu bekerja sambil belajar," kata Pipin yang mengaku mendapat upah Rp 20 ribu per anak dari Budi.
menjahit. Namun, setelah beberapa bulan bekerja, janji tinggal janji. Gaji tak pernah mereka terima, yang ada malah cacian dan makian. "Alasannya gaji belum dibayar, karena bekerja baru empat bulan, belum setahun," kata Dede.
Sebenarnya anak-anak tadi sudah tak betah buat tinggal dan bekerja di tempat itu. Namun Ai Solihat--yang berusia 11 tahun--tak berani pulang kampung, karena takut tersesat. Sementara Pipit, sempat berniat kabur, namun pintu konveksi selalu digembok. Kini anak-anak itu memilih pulang kampung dan kembali ke orangtuanya. Dede, Ai Solihat, dan Pipit yang berasal dari Gunung Halu, Bandung, mengaku belum berencana mencari pekerjaan lain. Maklum, mereka umumnya trauma dengan perlakuan Budi dan Herawati, sang majikan.
Budi dan Herawati yang kini resmi menjadi tersangka, kontan membantah telah menyekap dan mempekerjakan anak-anak di luar batas kemanusiaan. Menurut Budi, anak-anak diterima kerja semata-mata sebagai upaya menolong orangtua mereka. "Di antara anak-anak itu, bahkan ada yang diserahkan langsung orangtuanya," kata lelaki yang mendirikan konveksi sejak 1995 ini.
Apapun alasan yang dikemukakan Budi dan Herawati, keduanya kini dikenai status tahanan rumah setelah sebelumnya harus meringkuk di tahanan Polwiltabes Bandung. Suami istri yang diganjar Pasal 333 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tentang Perampasan Kebebasan Seseorang itu, mengaku pasrah. Menurut Kepala Polwiltabes Bandung Ajun Komisaris Besar Polisi Masguntur Laupe, dari pemeriksaan awal tersangka telah menyekap anak-anak di bawah umur. "Unsur penyekapan telah terbukti dengan pintu gerbang yang digembok. Termasuk soal gaji yang tidak dibayar," kata Masguntur.
Kasus penyekapan pekerja anak di Bandung, hanya satu contoh dari banyak kasus buruh anak di Indonesia.
Dalam Undang-undang Perburuhan No. 20 Tahun 1999, disebutkan bahwa usia minimum anak yang diperbolehkan bekerja di Indonesia adalah 15 tahun. Namun dalam praktiknya, anak di bawah usia itu pun ada yang dipekerjakan. Kondisi memprihatinkan ini sebenarnya sangat disadari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Namun upaya Depnakertrans belum membuahkan hasil lantaran pengawas pekerja anak untuk seluruh Indonesia baru 150 orang.
Anak-anak, menurut Jacob, bagaimana pun memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan waktu bermain. "Kondisi ini kadang diperburuk dengan penegakan hukum yang tidak adil," kata Jacob, tampak geram.
Ironisnya, Jacob mengakui, pemberantasan pekerja anak-anak memang sangat sulit. Hal ini karena faktor ekonomi yang kemudian diperparah dengan krisis ekonomi. Kesulitan inilah yang kemudian banyak mendorong orangtua memaksa anaknya untuk bekerja. "Kalau perekonomian baik, saya kira siapa pun tak akan mempekerjakan anaknya," kata Jacob.
Kendati demikian, Menurut Manajer Program Nasional untuk Organisasi Buruh PBB (ILO) Panji Putranto tak sepakat dengan Jacob. Menurut dia, eksploitasi pekerja anak sebenarnya tak sulit diberantas. Semua tergantung pada kemauan dan komitmen pemerintah. "Kenyataannya, selama ini usaha pemerintah belum maksimal," kata Panji.
Panji mengusulkan, pemerintah membuat pilot project di tempat atau di daerah yang pekerja anaknya cukup banyak. Di daerah tersebut, pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat sudah berupaya memberikan pengertian kepada orangtua yang mempekerjakan anak-anaknya. "Selama ini penanganan pekerja anak-anak terkesan rumit karena pemerintah daerah pun tak pernah mengimplementasikan perda yang mengatur pekerja anak-anak," kata Panji. Tampaknya derita pekerja anak Indonesia, bakal menjadi kisah pilu yang sangat panjang.(YYT/Tim Derap Hukum SCTV)
f. Kasus Pelanggaran HAM “ Pencemaran Nama Baik ”
Kasus pencemaran nama baik RS. Omni Internasional dengan Prita Mulyasari. Prita Mulyasari adalah seorang ibu dua anak yang tadinya hidup biasa-biasa saja, kemudian sontak menjadi terkenal hanya gara-gara mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional yang berlokasi di kawasan Tangerang, Banten pada 7 Agustus 2008.
Karena merasa tidak puas dengan perlakuan yang diterima selama dirawat di rumah sakit tersebut, Prita menuliskan keluhannya ini ke dalam email yang kemudian dikirim ke beberapa orang temannya.Berikut adalah kutipan isi surat yang ditulis oleh Prita.
kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.
Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandar International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus
Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah trombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr I (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.
Dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.
Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.
Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.
Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.
Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.
Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.
Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.
Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.
Dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.
Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.
Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.
Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og (Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.
Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan manajemen. Atas nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya. Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.
Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.
membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.
Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.
Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut.
Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah. Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. Logkanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.