• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENYALAHGUNAAN DANA HIBAH BANTUAN SOSIAL DITINJAU DARI UU NO. 31 TAHUN 1999 Jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia - Analisis Yuridis Terhadap Putusan Bebas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II PENYALAHGUNAAN DANA HIBAH BANTUAN SOSIAL DITINJAU DARI UU NO. 31 TAHUN 1999 Jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia - Analisis Yuridis Terhadap Putusan Bebas "

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENYALAHGUNAAN DANA HIBAH BANTUAN SOSIAL DITINJAU DARI UU NO. 31 TAHUN 1999 Jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

Kompleksitas tindak pidana korupsi, tidak saja menuntut pembaharuan metode pembuktiannya, tetapi telah menuntut dibentuknya suatu lembaga baru di dalam upaya pemberantasannya. Di Indonesia korupsi sudah menjadi suatu masalah yang serius dan sangat memprihatinkan. Dapat dikatakan demikian

karena korupsi sudah menggerogoti dan masuk hampir disetiap lapisan

masyarakat, bahkan institusi negara yang seharusnya mengabdi dan bekerja

melayani masyarakat tidak kalah hebatnya dalam melakukan perbuatan tersebut.

Mulai dari nominal yang kecil hingga nominal yang sangat besar, dengan

cara yang terorganisir maupun secara individu. Peningkatan kasus korupsi yang

semakin tinggi ini bukan hanya memberikan dampak yang buruk pada sektor

perekonomian saja, karena secara luas juga dapat memberikan dampak sosial yang

buruk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak dari masyarakat

Indonesia yang masih berada dibawah garis kemiskinan, infrastruktur yang masih

sangat tertinggal, dan pendidikan yang masih jauh dari harapan, namun banyak

dari pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi yang sehingga

menghambat pertumbuhan bangsa dan negara.

(2)

bangsa dan negara. korupsi tidak hanya berdampak pada lingkup nasional saja melainkan dapat pula mempengaruhi stabilitas Internasional. Itulah sebabnya melalui Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Korupsi dijadikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Karena cara-cara yang biasa digunakan sudah tidak dapat lagi menyelesaikan masalah korupsi yang ada, maka harus digunakan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary) untuk menanganinya.

Berbagai upaya telah dilakukan dalam usaha memberantas tindak pidana korupsi, baik yang bersifat preventif maupun represif56. Bahkan peraturan perundang-udangan korupsi sendiri telah mengalami beberapa kali perubahan, sejak diberlakukannya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/011/1957 tentang Pemberantasan Korupsi kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.57

Tujuan pemerintah dan pembuat undang-undang melakukan revisi atau mengganti produk legislasi tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai

56

Ridwan, Huk um Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press 2003) hlm 14.

Preventif, merupakan suatu pengendalian sosial yang dilakukan untuk mencegah kejadian yang belum terjadi. Atau merupakan suatu usaha yang dilakukan sebelum terjadinya suatu pelanggaran .

Represif, merupakan suatu pengendalian sosial yang dilakukan setelah terjadinya suatu pelanggaran. Atau, merupakan usaha-usaha yang dilakukan setelah pelanggaran terjadi.

57

Chaerudin, Strategi Pencegahan dan Penegak an Huk um Tindak Pidana Korupsi,

(3)

modus operandi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum, yang dapat dijadikan alasan bagi para pelaku tindak pidana korupsi untuk dapat melepaskan dirinya dari jeratan hukum.

1. Peraturan Tindak Pidana Korupsi sebelum lahirnya Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999

a) Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 tanggal 6 April 1957

Atas dasar perlunya keleluasaan bagi penguasa untuk bertindak terhadap para pelaku korupsi, pada tanggal 9 April 1957 Kepala Staf Angkatan Darat, selaku penguasa militer pada waktu itu, mengeluarkan peraturan Nomor Prt/PM-06/1957.58 Pada bagian konsideran Peraturan Penguasa Militer itu tergambar adanya kebutuhan mendesak untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengalami kemacetan.59Peraturan Penguasa milter ini merupakan cikal bakal peraturan perundang-undangan pidana khusus tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Rumusan Korupsi menurut peraturan perundangan-undangan ini dikelompokkan menjadi dua, yakni:60

1) Tiap Perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk

58

Elwi Danil, Op Cit, hlm 29. 59

Konsideran Peraturan Penguasa Militer itu pada bagian menimbang, menegaskan bahwa dengan tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantasa perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dianamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata kerja untuk dapat menerobs kemacetan dalam usaha memberantas korupsi.. dan seterusnya.

60

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuk tian Terbalik dalam Delik Korupsi

(4)

kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara. 2) Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang

menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan memperguanakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau material baginya.

Peraturan penguasa militer ini ternyata kemudian dirasakan belum cukup efektif, sehingga perlu dilengkapi dengan peraturan lain tentang penilikan harta benda.

b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Rumusan tindak pidana korupsi menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 “Barang siapa dengan melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangkan oleh bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

(5)

pelaku.61Demikian pula dengan sarana “melawan hukum”, baik mengandung pengertian melawan hukum formil ataupun materiil, memudahkan pembuktian perbuatan yang dapat dohukum, yaitu “memperkaya diri sendiri atau orang lain

atau suatu badan”.62

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 memformulasikan tindak pidana korupsi hanya dalam satu pasal, yaitu pasal 1 yang terdiri dari 2 ayat dan 5 sub ayat.63

Pasal 1 ayat (1) tersebut merumuskan tindak pidan korupsi ialah:

a. Barang siapa melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

b. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang laun, atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan negara atau perekonomian negara;

c. Barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal 209,210,387,388,415,416,417,418,419,420,423,425, dan 435 KUHP; d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti

dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau

61

Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Bandung: CV Mandar Maju, 2010), hlm 38-39

62

Ibid

63

(6)

sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya, atau oleh si pemberi hadiah atau kedudukan itu;

e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418,419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

Sedangkan didalam Pasal 1 ayat (2) dirumuskan, barang siapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a,b,c,d,e pasal ini.

Pada Pasal 1 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 terlihat adanya rumusan secara tegas mengenai unsur melawan hukum, yang secara tekstual berlainan dengan unsur yang ada dalam undang-undang korupsi sebelumnya. Unsur melawan hukum dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 itu memuat pengertian yang luas, yang mengandung pengertian melawan hukum formal dan materiil.

Pengaturan mengenai sanksi pidana perbutan tindak pidana korupsi pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, diatur didalam BAB V pada Pasal 28,29,30,31,32,33,34, dan 35.

(7)

dijatuhkan juga hukuman tambahan tersebut dapat Pasal 34 sub a, b, dan c Undang-undang ini.”

Pasal 29 : “Barang siapa dengan sengaja menghalangi, mempersulit, secara langsung tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dimuka Pengadilan terhadap terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 5 (lima)juta rupiah.”

Pasal 30 :”Barang siapa yang menurut Pasal 6, 7, 8, 9, 18, 20, 21, dan 22 Undang-undang ini wajib memberi keterangan dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun dan/atau denda setinggitingginya 5 (lima) juta rupiah.”

Pasal 31 :”Saksi yang tidak memenuhi ketentuan termaksud Pasal 10 dan 19 Undang-undang ini diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 3 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) juta rupiah.”

Pasal 32 : “Pelanggaran Pasal 220, 231, 421,422, 429 dan Pasal 430 K.U.H.P. dalamperkara korupsi diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 (enam) tahundan/atau denda setinggi-tingginya 4 (empat)juta rupiah.”

(8)

Pasal 34 : “Selain ketentuan-ketentuan Pidana yang dimaksud dalam K.U.H.P. maka sebagai hukuman tambahan adalah:

a. perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berujud dan yang tak berujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana itu dilakukan atau yang seluruhnya atau sebagian diperolehnya dengan tindak pidana korupsi itu, begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum ataupun bukan;

b. Perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berujud dan tak berujud yangtermaksud perusahaan si terhukum, dimana tindak pidana korupsi itu dilakukan begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum ataupun bukan,akan tetapi tindak pidananya bersangkutan dengan barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub a pasal ini.

c. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya

sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi.

Pasal 35 :

(9)

2) Jika didalam putusan perampasan barang-barang itu termasuk juga barang-barang pihakketiga yang mempunyai iktikad baik, maka mereka ini dapat mengajukan suratkeberatan terhadap perampasan barangbarangnya kepada Pengadilan yangbersangkutan, dalam waktu tiga bulan setelah pengumuman Hakim

Konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 menegaskan latar belakang pemikiran pembuat undang untuk memposisikan undang-undang tersebut sebagai instrumen hukum pidana dalam penanggulangan masalah korupsi. Pembuat undang-undang memberikan penegasan bahwa perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan/perekonmian negara dan menghambat pembangunan nasional, sementar udang-undang yang ada kurang mencukupi sebagai sarana untuk memberantas tindak pdana korupsi.64

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 itu sendiri dianggap oleh penegak hukum memiliki beberapa kelemahan, sehingga perlu diganti. Disamping tidak adanya ketegasan mengenai sifat rumusan tindak pidana korupsi sebagai delik formal, tidak adanya ketentuan yang daapt diterapkan terhadap korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi (coruptie criminal liability) tercatat sebagai kelemahan yang dimiliki oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.

Kelemahan lain yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah mengenai sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum (dua puluh tahun) dan minimum umum (satu hari), sehingga Jaksa

64

(10)

Penuntut Umum dan Hakim dapat bergerak secara leluasa dalam batas minimum umum dan maksimum umum itu. Kewenagan diskresi dalam menentukan sanksi pidana ini dapat menyinggung rasa keadilan masyarakat, karena ternyata dalam praktik terdapat kasus korupsi yang hanya dijatuhi pidana dibawah satu tahun, padahal tindak pidana korupsi itu sendiri memiliki dampak yang luas terhadap kesejahteraan masyarakat.

Secara praktis kehadiran undang-undang baru itu dapat dilihat sebagai suatu upaya untuk meningkatkan efek pencegahan (deterrent effect) yang lebih besar bagi pelaku potensial. Dari segi kebutuhan secara praktis dalam proses penegakan hukum pidana, oleh karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dianggap sudah tidak lagi efektif, maka ia sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan. Atas dasar pertimbangan demikian, dibentuklah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Pembentukan undang-undang baru tersebut untuk menutupi kelemahan yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.

2. Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

a. Perbuatan-perbuatan yang termasuk tindak pidana korupsi

(11)

tindak pidana korupsi, patut pula dipahami dari sisi karakteristik yuridis yang terdapat didalamnya. Paling sedikit ada lima belas aspek pembaruan yang dapat diposisikan sebagai karakteristik yuridis yang melekat didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu:65

a. Aspek hukum yang membedakan antara Undang-Undnag Nomor 31 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah dirumuskannya secara eksplisit tindak pidana korupsi sebagai delik formal, sehingga dengan demikian setiap pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan pidana terhadap terdakwa;

b. Diterapkannya konsep ajaran melawan hukum materiil (materiele wederrechttelijkheid)dalam fungsinya secara positif;

c. Adanya pengaturan korporasi sebagai subjek hukum disamping perseorangan; d. Adanya pengaturan tentang wilayah berlakunya atau yurisdiksi kriminal yang

dapat diberlakukan keluar batas teritorial Indonesia;

e. Adanya pengaturan tentang sistem pembalikan beban pembuktian terbatas atau berimbang atau “balanced burden of prof” dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999;

f. Adanya pengaturan tentang ancaman pidana dengan sistem minimum khusus disamping ancaman maksimum;

g. Diintroduksikannya ancaman pidana mati sebagai unsur pemberatan;

65

(12)

h. Adanya pengaturan tentang penyidikan gabungan (joint investigation teams)

dalam perkara tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya dibawah koordinasi Jaksa Agung;

i. Adanya pengaturan tentang penyidikan kedalam rahasia bank yang lebih luas yang diawali dengan pembekuan rekening tersangka/terdakwa, yang dapat dilanjutkan dengan penyitaan;

j. Adanya pengaturan tentang peran serta masyarakat sebagai saran kontrol sosial yang di pertegas dan di perluas, sehingga perlindungan hukum terhadap saksi pelopor lebih optimal dan efektif;

k. Adanya pengaturan yang mengamanatkan kepada undang-undang untuk membentuk sebuah Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersifat independen. l. Adanya pengakuan secara eksplisit menyebutkan korupsi sebagai “extra

ordinary crime” yakni kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan

secara luar biasa;

m. Dirumuskannya gratifikasi sebagai salah satu bentuk tindak pidanan korupsi; n. Penganutan sistem pembalikan beban pembuktian (omkering van de

bewijslast) secara terbatas;

o. Perluasan sumber alat bukti petunjuk yang dapat diperoleh dari informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik.

(13)

menegaskan pula pengertian melawan hukum suatu tindak pidana korupsi dalam arti formil dan materil.66

Dikatakan sebagai delik formil bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana, jika perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang tanpa harus menimbulkan akibat yang merugikan. Jadi meskipun perbuatan itu belum sampai menimbulkan akibat yang merugikan keuangan negara, maka pelakunya sudah dapat dihukum67. Demikian pula meskipun hasil dari perbuatan korupsi telah dikembalikan kepada negara, akan tetapi menghapus sifat melawan hukum perbuatan tersebut dan pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan di pidana.

Sedangkan pengertian sifat melawan hukum formil dan materiil, adalah perbuatan tersebut tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga merupakan perbuatan tercela dan bertentangan dengan perasaan keadilan masyarakat. Hal ini dirumuskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai berikut:68

“Bahwa suatu perbuatan dikatakan melawan hukum, dalam pengertian

formil dan materiil, bilamana tindak pidana korupsi tersebut mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana”.

66

Chaerudin, Strategi Pencegahan & Penegak an Huk um Tindak Pidana Korupsi,

(14)

Beberapa pertimbangan pembuat undang-undang mencantumkan unsur melawan hukum dalam perngertian formil maupun materil didalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah: Pertama, Korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga digolongkan sebagai extraordinary crime, maka pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa. Kedua, dampak dari tindak pidana korupsi selama ini, selain merugikan keuangan dan perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efesiensi tinggi; dan Ketiga, dalam upaya merespon perkembangan kebutuhan hukum didalam masyarakat, agar dapat lebih memudahkan di dalam pembuktian, sehingga dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang semakin canggih (sophisticated) dan rumit.

Marwan Mas mengklasifikasikan setidaknya ada 7 (tujuh) bentuk dan 30 jenis perbuatan korupsi (diatur dalam 13 Pasal UU Korupsi), mulai dari Pasal 2 sampai Pasal 12B UU Korupsi, kecuali Pasal 4 dan Pasal 12A sebagai berikut:69 1. Kerugian Keuangan / Perekonomian Negara

Melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara.

69

(15)

2. Suap – Menyuap (sogokan atau pelicin)

a. Menyuap pegawai negeri (memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya, pegawai negeri menrima suap, atau pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya),

b. Menyuap hakim, c. Menyuap advokat,

d. Hakim dan advokat menerima suap. 3. Penggelapan dalam Jabatan

a. Pegawai negeri menggelapkan uang negara, atau membiarkan penggelapan,

b. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi, c. Pegawai negeri merusak bukti (korupsi),

d. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusak barang bukti, e. Pegawai negeri membantu orang lain merusak barang bukti. 4. Pemerasan

5. Perbuatan Curang

a. Pemborong berbuat curang,

b. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang, c. Rekanan TNI/Polri berbuat curang,

d. Pengawas Rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang, e. Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang,

(16)

7. Gratifikasi (pemberian hadiah).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi merumuskan tindak pidana korupsi ke dalam 30 (tiga puluh) bentuk/jenis tindak pidana Korupsi. Ketiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut perinciannya adalah sebagai berikut:70

1. Pasal 2 : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perkonomian negara;

2. Pasal 3 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

3. Pasal 5 Ayat (1) huruf a : Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

4. Pasal 5 Ayat (1) huruf b : Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya;

70

(17)

5. Pasal 5 Ayat (2) : Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b;

6. Pasal 6 Ayat (1) huruf a : Setiap Orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

7. Pasal 6 Ayat (1) huruf b : Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

8. Pasal 6 Ayat (2) : bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b;

9. Pasal 7 Ayat (1) huruf a : pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaaan perang;

(18)

11. Pasal 7 Ayat (1) huruf c : setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang;

12. Pasal 7 Ayat (1) huruf d : setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang;

13. Pasal 7 Ayat (2) : bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c; 14. Pasal 8 : pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut;

15. Pasal 9: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

(19)

untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang bersangkutan, yang dikuasai karena jabatannya;

17. Pasal 10 huruf b : membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut;

18. Pasal 10 huruf c : membantu oranglain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

19. Pasal 11 : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

20. Pasal 12 huruf a : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

(20)

22. Pasal 12 huruf c : hakim yang menrima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; 23. Pasal 12 huruf d : seseorang yang menurut ketentuan peraturan

perundangundangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

24. Pasal 12 huruf e : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

25. Pasal 12 huruf f : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menajalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

(21)

barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

27. Pasal 12 huruf h : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menajalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

28. Pasal 12 huruf i : pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

29. Pasal 12 B : setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubugan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,

30. Pasal 13 : setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.

Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Kerugian keuangan negara; a. Pasal 2

(22)

2. Suap – Menyuap;

a. Pasal 5 ayat (1) huruf a b. Pasal 5 ayat (1) huruf b c. Pasal 5 ayat (2)

d. Pasal 6 ayat (1) huruf a e. Pasal 6 ayat (1) huruf b f. Pasal 6 ayat (2)

g. Pasal 11

h. Pasal 12 huruf a i. Pasal 12 huruf b j. Pasal 12 huruf c k. Pasal 12 huruf d l. Pasal 13

3. Penggelapan dalam jabatan; a. Pasal 8

b. Pasal 9

c. Pasal 10 huruf a d. Pasal 10 huruf b e. Pasal 10 huruf c 4. Pemerasan;

(23)

5. Perbuatan curang;

a. Pasal 7 ayat (1) huruf a b. Pasal 7 ayat (1) huruf b c. Pasal 7 ayat (1) huruf c d. Pasal 7 ayat (1) huruf d e. Pasal 7 ayat (2)

f. Pasal 12 huruf h

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan; a. Pasal 12 huruf i

7. Gratifikasi;

a. Pasal 12B Jo. Pasal 12C

Selain bentuk-bentuk perbuatan yang digolongkan dalam perbuatan tindak pidana korupsi yang telah dijelaskan diatas, terdapat tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang tertuang pada Pasal 21, 22, 23 dan 24 Bab III Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri atas :

1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (Pasal 21),

(24)

3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka (Pasal 22 jo. Pasal 29),

4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu (Pasal 22 jo. Pasal 35),

5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu (Pasal 22 jo. Pasal 36),

6. Saksi yang membuka identitas pelapor (Pasal 24 jo. Pasal 31).

Pengaturan mengenai bentuk-bentuk perbuatan korupsi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bersifat lebih rinci dibandingkan pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya, berdasarkan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 maka tindak pidana korupsi dikategorisasikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.

b. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.

Secara leksikal, kata “pertanggungjawaban” berasal dari bentuk kata

(25)

sesuatu berupa penuntutan, diperkarakan dan dipersalahkan sebagai akibat sikap sendiri dan orang lain. Selain itu, kata “tanggungjawab” merupakan kata benda abstrak yang bisa dipahami melalui sikap, tindakan dan prilaku. Setelah bentuk dasar, kata “tanggungjawab” mendapat imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”

menjadi “pertanggungjwaban” yang berarti perbuatan bertanggungjawab atau

suatu yang dipertanggungjawabkan.71

Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban pidana (crimina lliability) diartikan sebagai suatu kewajiban hukum pidana untuk memberikan pembalasan yang akan diterima pelaku terkait karena orang lain yang dirugikan. Sedangkan pertanggungjawaban pidana menurut Roeslan Saleh, menyangkut pengenaan pidana karena sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum pidana.

Pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan perbuatan pidana, karena perbuatan pidana menentukan sejauh mana seseorang dapat dimintai pertanggungjawabanya. Menurut Moeljatno bahwa seseorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhkan pidana) apabila kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Dengan demikian bahwa, pertanggungjawaban pidana tergantung pada dilakukanya tindak pidana, dalam artian bahwa adanya unsur kesalahan seperti melakukan perbuatan pidana terlebih dahulu, baru seseorang itu dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.72

71

Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka), hlm.1139.

72

(26)

Menurut ajaran dualistis antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana walaupun berkaitan erat haruslah dipisahkan karena ajaran dualistis beranggapan bahwa unsur pembentuk pidana hanyalah perbuatan. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Dengan demikian, dilihat dari istilahnya, hanya sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana, sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.73 Oleh karena itu berdasarkan ajaran dualistis tersebut maka antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana adalah berbeda namun berkaitan erat.

Pemisahan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana membawa konsekuensi bahwa belum tentu jika seseorang telah terbukti melakukan perbuatan pidana, dapat dimintai pertanggungjawabannya karena bisa saja orang yang melakukan perbuatan pidana tidak dapat dimintai pertanggung jawabannya misalnya karena orang tersebut gila, atau mungkin orang tersebut dipaksa untuk melakukan perbuatan itu.

Seseorang dinyatakan bersalah dan kepadanya dapat dimintai pertanggung jawabnya apabila orang tersebut telah memenuhi 3 elemen, antara lain:74

1. Kemampuan untuk bertanggungjawab;

2. Adanya sikap batin antara pelaku dan perbuatan pidana yang dilakukan, dimana sikap batin ini melahirkan 2 bentuk kesalahan yaitu kesengajaan dan kealpaan. Dimana syarat kesengajaan adalah weten en wilen

73

Ibid, hlm.26. 74

(27)

(mengetahui dan menghendaki), sedangkan syarat kealpaan adalah kurang adanya kehati-hatian;

3. Tidak adanya alasan penghapus pertanggungjawaban pidana yang secara garis besar dibagi menjadi alasan pembenar dan alasan pemaaf.

Pada tindak pidana korupsi sendiri, subjek yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu sebagai berikut:75

1. Korporasi;

2. Pegawai Negeri, yang meliputi;

a. Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Kepegawaian;

b. Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau Daerah; d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima

bantuan dari keuangan Negara atau Daerah;

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

3. Setiap orang adalah perseorangan atau termasuk korporasi.

75

(28)

Oleh karena itu, berdasarkan pasal tersebut maka dapat dilihat bahwa pertanggungjawaban dalam tindak pidana korupsi itu dapat dibebankan kepada seseorang dan korporasi. Dimana jika seseorang yang melakukan tindak pidana Korupsi maka pertanggungjawaban pidana dapat langsung dibebankan kepada orang tersebut, asal saja orang tersebut telah memenuhi 3 elemen untuk menyatakan bahwa seseorang dapat dimintai pertanggung jawabanya. Namun jika Korporasi yang melakukan tindak pidana Korupsi maka berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pengurusnya saja, ataupun korporasinya saja, atau dapat juga dibebankan kepada kedua-duanya, karena ketentuan Pasal 20 tersebutmemberikan peluang alternatif pilihan kepada penuntut umum untuk memberikan Dakwaan dan Tuntutan.76

c. Sanksi Dalam Tindak Pidana Korupsi

Samksi pidana terhadap tindak pidana korupsi dijatuhkan apabila perbuatan yang didakwakan terhadap terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum (vide Pasal 193 ayat (1) KUHAP) berdasarkan alat-alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.77

Macam-macam sanksi pidana yang dapat dijatuhkan pada terdakwa terdiri atas :

1. Pidana Pokok yang dapat berupa;78 a. Pidana Mati

76

Ibid, hlm.148.

77

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1995/1996 (Bahan Pokok Penyuluhan Hukum), Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Jakarta, hlm 77 dan 80

78

(29)

Pidana mati dapat diberikan kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomiannegara sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat 1 Undnag-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang dilakukan dalam keadaan tertentu seperti, pada saat terjadi bencana alam, peperangan, kericuhan, dan lain sebagainya;

b. Pidana Penjara

1) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) Tahun dan paling lama 20 (dua puluh) Tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2).

(30)

kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3).

3) Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) Tahun dan paling lama 12 (dua belas) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000.00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan langsung atau secara tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi (Pasal 21).

4) Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) Tahun atau paling lama 12 (dua belas) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, dan Pasal 36.

c. Pidana tambahan ;79

1) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

79

R.WiyoNo, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

(31)

2) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

3) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) Tahun;

4) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana;

5) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) Bulan sesudah putusan pengadilanyang telah berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut;

6) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan lamanya pidana tersebut sudah diputuskan dalam pengadilan

B. Perbuatan Penyalahgunaan Dana Hibah Bantuan Sosial

1. Prosedural Penggunaan Dana Hibah Bantuan Sosial Menurut Peraturan

Pemerintah No. 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

(32)

Perbuatan yang menyalahgunakan dana hibah dan bantuan sosial tentunya sangat tercela. Idealnya negara hukum dan menjunjung nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, Hibah dan bantuan sosial selayaknya digunakan sesuai peruntukan yang diatur dalam peraturan di Indonesia.

Hibah adalah pemberian uang/barang atau jasa dari pemerintah daerah kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukkannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan pemerintah daerah.

Bantuan Sosial adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.80

Pemberian Dana Hibah Bantuan Sosial tentunya memiliki prosedur yang diatur secara hukum sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dana Hibah Bantuan Negara juga dapat di berikan kepada yayasan yang memiliki program kerja dan melaksanakan kegiatan yang menunjang program Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.

80

(33)

Beberapa Tahapan yang harus dilalui yayasan untuk penggunaan Dana Hibah Bantuan Sosial yaitu melalui proses permohonan, pemberian, dan penerimaan dan penggunaan. Berikut akan diuraikan tahapan-tahapan pemberian dana hibah bantuan sosial:

a. Proses Permohonan

Pengajuan permohonan untuk menerima dana hibah bantuan sosial secara tertulis dilakukan oleh Yayasan kepada:

1) Menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya berkaitan dengan kegiatan yayasan; atau

2) Gubernur, Bupati, atau Walikota di tempat Yayasan melakukan kegiatannya.

Adapun syarat permohonan bantuan sosial yang diajukan harus dengan melampirkan dan melengkapi dokumen seperti:

a. Fotocopy mengenai keputusan Menteri Hukum dan HAM mengenai status badan hukum Yayasan;

b. Fotocopy keputusan Menteri mengenai persetujuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan, surat penerimaan pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan, dan/atau surat penerimaan perubahan data Yayasan, jika ada;

c. Fotocopy Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat Anggaran Dasar Yayasan;

(34)

e. Fotocopy laporan keuangan Yayasan selama 2 tahun terakhir secara berturut-turut sesuai dengan Undang-Undang;

f. Keterangan mengenai program kerja Yayasan yang sedang dan akan dilaksanakan;

g. Pernyataan tertulis dari instansi teknis yang berwenang dibidang kegiatan Yayasan.81

b. Proses Pemberian Dana Hibah Bantuan Sosial

Menteri terkait atau pimpian lembaga pemerintah non departemen, Gubernur, Bupati, atau Walikota meneliti kebenaran dokumen dana hibah bantuan sosial dan mencari fakta atau keterangan tentang keadaan Yayasan yang bersangkutan dari pihak lain yang dapat dipertanggungjawabkan akurasinya.82 Tahapan setelah syarat dan dokumen Permohonan bantuan sosial diberikan yaitu:

1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang memberikan dana bantuan sosial menunjuk SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) untuk melakukan usulan tertulis yang dilakukan pemohon bantuan sosial;

2) Kepala SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait menyampaikan hasil evaluasi berupa rekomendasi kepada kepala daerah melalui TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah).

81

Pasal 22 ayat (3) dan (4) Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2008 tentang Pelaksanaan tentang Undang-Undang Yayasan.

82

(35)

3) TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) memberikan pertimbangan atas rekomendasi yang dilakukan SKPD sesuai dengan prioritas dan kemampuan keuangan daerah.

4) Rekomendasi kepala SKPD dan pertimbangan TAPD menjadi dasar pencantuman alokasi anggaran bantuan sosial dalam rancangan KUA (Kebijakan Umum Anggaran) dan PPAS (Prioritas Plafon Anggaran Sementara).

5) Bantuan sosial berupa uang dicantumkan dalam RKA-PKPD (Rencana Kerja dan Anggaran- Pejabat Pengelola Perangkat Daerah) dan barang dalam RKA-SKPD.

6) Pelakasanaan Anggaran bantuan sosial berupa uang berdasarkan atas DPA-PPKD (Dokumen Pelaksana Anggaran-Pejabat Pengelola Keuangan Daerah) dan berupa barang berdasarkan DPA-SKPD. 7) Kepala Daerah menetapkan daftar penerima dan besaran bantuan

sosial dengan keputusan kepala daerah berdasarkan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.83

c. Proses Penerimaan dan Penggunaan Dana Bantuan Sosial

Yayasan Penerima dana bantuan sosial menurut Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan: “Yayasan yang menerima bantuan

83

(36)

negara wajib membuat dan menyampaikan laporan tahunan Yayasan setia 1 (satu) tahun sekali kepada menteri terkait atau pimpinan lembaga pemerintah No.ndepartemen, gubernur, bupati atau walikota yang memberikan bantuan tersebut”. Penyaluran/penyerahan dana bantuan

sosial tersebut didasarkan pada daftar penerima bantuan sosial yang tercantum dalam keputusan kepala daerah, dan pencairan bantuan sosial berupa uang dilakukan dengan cara pembayaran langsung (LS) dan di lengkapi dengan kuitansi bukti penerimaan uang bantuan sosial.84

Setelah adanya pemberian bantuan sosial tersebut kepada Yayasan juga diatur/dibatasi penggunaan dari bantuan sosial tersebut, seperti yang tercantum pada Pasal 37 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 2011 yaitu:

a. Penerimaan bantuan sosial bertanggung jawab secara formal dan material atas penggunaan bantuan sosisal yang diterimanya.

b. Pertangungjawaban penerima bantuan sosial meliputi:

1) Laporan penggunaan bantuan sosial oleh penerima bantuan sosial; 2) Surat pernyataan tanggungjawab yang menyatakan bahwa bantuan

sosial yang diterima telah digunakan sesuai dengan usulan; dan 3) Bukti-bukti pengeluaran yang lengkap dan sah sesuai peraturan

perundang-undangan bagi penerima bantuan sosial berupa uang atau salinan bukti serah terima barang bagi penerima bantuan sosial berupa barang.

84

(37)

c. Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b disampaikan kepada kepala daerah paling lambat tanggal 10 Januari tahun anggaran berikutnya, kecuali ditentukan lain sesuai peraturan perundang-undangan.

d. Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c disimpan dipergunakan leh penerima bantuan sosial selaku obyek pemeriksaan.

Dana Hibah Bantuan sosial yang diterima oleh Yayasan hanya dapat digunakan sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar dan sesuai dengan program kerja Yayasan. Bantuan sosial yang diterima oleh Yayasan dilarang dialihkan secara langsung kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas, atau pihak lain.85 Dan bantuan sosial yang diberikan oleh negara hanya diperuntukkan pencapaian sasaran program dan kegiatan pemerintah daerah dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas, dan manfaat untuk masyarakat.

2. Penyalahgunaan Dana Hibah Bantuan Sosial Sebagai Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Penyalahgunaan Dana Hibah Bantuan Sosial dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan tindak pidana korupsi seperti yang dijelaskan pada pasal 2 dan 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No.20 tahun 2001

85

(38)

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berikut akan di uraikan mengenai setiap unsur yang ada pada pasal 2 dan 3.

Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan bahwa:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Unsur Objektif Penyalahgunaan Dana Hibah Bantuan Sosial Sebagai Tindak

Pidana Korupsi dalam Pasal 2

1) Setiap orang;

2) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

3) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara;

a. Setiap orang

(39)

Jika melihat pengertian diatas, maka pelaku tindak pidana korupsi dapat disimpulkan menjadi orang perseorangan selaku manusia pribadi dan korporasi. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah berupa kumpulan orang atau harta kekayaan terorganisasi baik badan hukum maupun bukan badan hukum.

Penerima dana hibah bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah ialah sebagaimana yang telah ditetapkan pada pasal 1 ayat (14) Permendagri Nomor 32 Tahun 2011

“Hibah adalah pemberian uang/barang atau jasa dari pemerintah daerah

kepeada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukkannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan pemerintah daerah.”

Pemerintah dana hibah bantuan sosial yang melakukan tindak pidana korupsi perbuatan penyalahgunaan dana hibah bantuan sosial, dapat diminta pertanggungjawabannya karena telah memenuhi unsur “setiap orang”.

b. Unsur Memperkaya Diri Sendiri Atau Orang Lain Atau Suatu

Korporasi

Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dapat dilihat pertama sekali dari istilah “memperkaya” sebagai suatu bagian inti

(40)

sehingga dalam KUHP tidak terdapat pengaturannya. Akan tetapi dalam Pasal 368, 369, 378 KUHP ada unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain”

yang dialakukan dengan cara melawan hukum dan bukanlah unsur tingkah laku, tetapi unsur yang dituju oleh batin atau kesalahan dalam bentuk maksud. Jadi kehendak dalam melakukan perbuatan memaksa seperti yang ada dalam Pasal 368 dan 369 KUHP atau melakukan perbuatan menggerakkan. Pasal 378 KUHP ditujukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum yang bersifat subjektif.

Para ahli sepakat bahwa unsur “menguntungkan diri” yang terdapat dalam

ketiga Pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu Pasal 368, 369, dan 378 KUHP ini adalah sebagai “memperoleh atau menambah kekayaan

dari yang sudah ada”. Dalam salah satu putusannya (24/1/1950) Hoge Raad

menyatakan bahwa “si pelaku haruslah mempunyai maksud memperoleh

keuntungan berarti memperoleh kekayaan, dalam hal ini keuntungan dihubungkan dengan kekayaan (materil), bukan keuntungan yang berbentuk immaterial, misalnya kepuasan batin ketika mendapat penghargaan.86

Dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (1) sub (a) Undang-undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan unsur “memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan” jika

dihubungkan dalam Pasal 18 ayat (2) maka akan ada kewajiban bagi terdakwa pelaku tindak pidana korupsi untuk mengumumkan atau memberikan keterangan tentang sumber-sumber kekayaan yang dimilikinya sehingga dengan demikian

86

(41)

kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi dalam persidangan terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Penyalahgunaan Dana Hibah Bantuan Sosial dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana korupsi apabila telah memenuhi unsur “memperkaya diri

sendiri atau orang lain”, maksutnya ialah dana hibah bantuan sosial tersebut telah

digunakan menjadi keuntungan pribadi ataupun orang lain dan tidak sesuai dengan tujuan awal dari dana hibah bantuan sosial itu di peruntukkan. Sebagaimana yang dimaksudkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah menyatakan :

“Hibah adalah pemberian uang/barang dari pemerintah daerah kepada

pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukkannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusa pemerintah daerah”

c. Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara Atau Pe rekonomian

Negara

Dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.31 tahun 1999 Jo. UU No.20 tahun 2001 menjelaskan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan

(42)

dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.87

Dalam UU No.31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 “keuangan

negara” diartikan sebagai seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang

dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat Lembaga Negara, baik ditingkat pusat, maupun daerah;

b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan

negara88

Sedangkan pengertian perekonomian negara adalah perekonomian yang disusun sebagai suatu bentuk usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah seuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bertujuan untuk memberikan manfaat kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluru kehidupan rakyat.89

Dana Hibah bantuan sosial yang diberikan negara merupakan salah satu program pemerintah yang telah tercantum dalam APBN ataupun APBD, dan telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011. Setiap

87

Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Prak tik, (Jakarta: Maharani Press, 2008), hlm.38

88

Ibid, hlm.34

89

(43)

pemberian hibah bantuan sosial yang diberikan pemerintah baik berupa uang maupun barang harus sesuai dengan Undang-Undang sebagaimana yang telah diatur. Apabila hibah bantuan sosial tersebut disalahgunakan dan tidak sesuai dengan peraturan yang ada, maka “perbuatan penyalahgunaan dana hibah bantuan sosial” telah memenuhi unsur “merugikan keuangan atau perekonomian negara”,

karena tidaka sesuai dengan konsep dari dana bantuan sosial itu diberikan yang bersal dari APBD yaitu demi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Unsur Objektif Penyalahgunaan Dana Hibah Bantuan sebagai Tindak

Pidana Korupsi dalam Pasal 3

a. Perbuatan Menyalahgunakan Kewenangan Karena Jabatan Atau

Kedudukan

Menurut Prof.JeanRivero dan Prof.Waline, pengertian penyalahgunaan

kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu:90

1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang

bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan

kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;

2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut

adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari

tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-Undang atau

peraturan-peraturan lain;

90

(44)

3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang

seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah

menggunakan prosedur lain agar terlaksana;

Penyalahgunaan Dana hibah bantuan sosial juga telah memenuhi unsur

“penyalahgunaan kewenangan yang ada padanya” karena sesuai dengan pasal 22

ayat (1) Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 hibah bantuan sosial diberikan

kepada masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu. Dan peggunaan bantuan

sosial itu pun diatur dalam pasal 24 ayat (6) Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 32 Tahun 2011 yaitu ; rehabilitasi sosial, perlindungan sosial,

pemberdayaan sosial, jaminan sosial, penanggulangan kemiskinan, dan

penanggulangan bencana.

Dapat disimpulkan dari semua uraian unsur diatas, perbuatan penyalahgunaan Dana Hibah Bantuan Sosial merupakan salah satu bentuk dari tindak pidana korupsi. Karena telah memenuhi unsur objektif Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang-undang No. 20 Tahun 2001 “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana yang ada padanya”.

Yaitu dengan menggunakan dana hibah bantuan sosial tersebut tidak seusai dengan diperuntukkan seharusnya sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

(45)

Referensi

Dokumen terkait

Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu1. korporasi dengan

Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara

Merugikan keuangan negara sebagai akibat dari perbuatan : Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; dan

1.000.000.000,00 bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

Pidana Mati : Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

a. Perbuatan memperkaya dan atau menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dilakukan secara melawan hukum. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian terhadap

Pidana mati dapat dijatuhkan kepada setiap orang yang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara