• Tidak ada hasil yang ditemukan

Roro Jonggrang cerita dongeng durhaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Roro Jonggrang cerita dongeng durhaka"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Roro Jonggrang

( Asal usul Candi Prambanan)

Alkisah pada zaman dahulu kala, berdiri sebuah kerajaan yang sangat besar yang bernama Prambanan. Rakyat Prambanan sangat damai dan makmur di bawah kepemimpinan raja yang bernama Prabu Baka. Kerajaan-kerajaan kecil di wilayah sekitar Prambanan juga sangat tunduk dan menghormati kepemimpinan Prabu Baka.

Sementara itu di lain tempat, ada satu kerajaan yang tak kalah besarnya dengan kerajaan Prambanan, yakni kerajaan Pengging. Kerajaan tersebut terkenal sangat arogan dan ingin selalu memperluas wilayah kekuasaanya. Kerajaan Pengging mempunyai seorang ksatria sakti yang bernama Bondowoso. Dia mempunyai senjata sakti yang bernama Bandung, sehingga Bondowoso terkenal dengan sebutan Bandung Bondowoso. Selain mempunyai senjata yang sakti, Bandung Bondowoso juga mempunyai bala tentara berupa Jin. Bala tentara tersebut yang digunakan Bandung Bondowoso untuk membantunya untuk menyerang kerajaan lain dan memenuhi segala keinginannya.

Hingga Suatu ketika, Raja Pengging yang arogan memanggil Bandung Bondowoso. Raja Pengging itu kemudian memerintahkan Bandung Bondowoso untuk menyerang Kerajaan Prambanan. Keesokan harinya Bandung Bondowoso memanggil

balatentaranya yang berupa Jin untuk berkumpul, dan langsung berangkat ke Kerajaan Prambanan.

Setibanya di Prambanan, mereka langsung menyerbu masuk ke dalam istana Prambanan. Prabu Baka dan pasukannya kalang kabut, karena mereka kurang persiapan. Akhirnya Bandung Bondowoso berhasil menduduki Kerajaan Prambanan, dan Prabu Baka tewas karena terkena senjata Bandung Bondowoso.

Kemenangan Bandung Bondowoso dan pasukannya disambut gembira oleh Raja Pengging. Kemudian Raja Pengging pun mengamanatkan Bandung Bondowoso untuk menempati Istana Prambanan dan mengurus segala isinya,termasuk keluarga Prabu Baka.

Pada saat Bandung Bondowoso tinggal di Istana Kerajaan Prambanan, dia melihat seorang wanita yang sangat cantik jelita. Wanita tersebut adalah Roro Jonggrang, putri dari Prabu Baka. Saat melihat Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso mulai jatuh hati. Dengan tanpa berpikir panjang lagi, Bandung Bondowoso langsung memanggil dan melamar Roro Jonggrang.

“Wahai Roro Jonggrang, bersediakah seandainya dikau menjadi permaisuriku?”, Tanya Bandung Bondowoso pada Roro Jonggrang.

Mendengar pertanyaan dari Bandung Bondowoso tersebut, Roro Jonggrang hanya terdiam dan kelihatan bingung. Sebenarnya dia sangat membenci Bandung

▸ Baca selengkapnya: latar suasana cerita roro jonggrang

(2)

“Baiklah,aku menerima lamaranmu. Tetapi setelah kamu memenuhi satu syarat dariku”,jawab Roro Jonggrang.

“Apakah syaratmu itu Roro Jonggrang?”,Tanya Bandung Bandawasa.

“Buatkan aku seribu candi dan dua buah sumur dalam waktu satu malam”, Jawab Roro Jonggrang.

Mendengar syarat yang diajukan Roro Jonggrang tersebut, Bandung Bondowoso pun langsung menyetujuinya. Dia merasa bahwa itu adalah syarat yang sangat mudah baginya, karena Bandung Bondowoso mempunyai balatentara Jin yang sangat banyak.

Pada malam harinya, Bandung Bandawasa mulai mengumpulkan balatentaranya. Dalam waktu sekejap, balatentara yang berupa Jin tersebut datang. Setelah mendengar perintah dari Bandung Bondowoso, para balatentara itu langsung membangun candi dan sumur dengan sangat cepat.

Roro Jonggrang yang menyaksikan pembangunan candi mulai gelisah dan

ketakutan, karena dalam dua per tiga malam, tinggal tiga buah candi dan sebuah sumur saja yang belum mereka selesaikan. Roro Jonggrang kemudian berpikir keras, mencari cara supaya Bandung Bondowoso tidak dapat memenuhi

persyaratannya.

Setelah berpikir keras, Roro Jonggrang akhirnya menemukan jalan keluar. Dia akan membuat suasana menjadi seperti pagi,sehingga para Jin tersebut menghentikan pembuatan candi.

Roro Jonggrang segera memanggil semua dayang-dayang yang ada di istana. Dayang-dayang tersebut diberi tugas Roro Jonggrang untuk membakar jerami, membunyikan lesung, serta menaburkan bunga yang berbau semerbak mewangi. Mendengar perintah dari Roro Jonggrang, dayang-dayang segera membakar jerami. Tak lama kemudian langit tampak kemerah merahan, dan lesung pun mulai

dibunyikan. Bau harum bunga yang disebar mulai tercium, dan ayam pun mulai berkokok.

Melihat langit memerah, bunyi lesung, dan bau harumnya bunga tersebut, maka balatentara Bandung Bondowoso mulai pergi meninggalkan pekerjaannya. Mereka pikir hari sudah mulai pagi, dan mereka pun harus pergi.

▸ Baca selengkapnya: resolusi dari cerita roro jonggrang

(3)

Mengetahui kegagalan Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang lalu menghampiri Bandung Bondowoso. “Kamu gagal memenuhi syarat dariku, Bandung Bondowoso”, kata Roro Jonggrang.

Mendengar kata Roro Jonggrang tersebut, Bandung Bondowoso sangat marah. Dengan nada sangat keras, Bandung Bondowoso berkata: “Kau curang Roro

Jonggrang. Sebenarnya engkaulah yang menggagalkan pembangunan seribu candi ini. Oleh karena itu, Engkau aku kutuk menjadi arca yang ada di dalam candi yang keseribu !”

Berkat kesaktian Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang berubah menjadi

arca/patung. Wujud arca tersebut hingga kini dapat disaksikan di dalam kompleks candi Prambanan, dan nama candi tersebut dikenal dengan nama candi Roro

(4)

Si Malin Kundang

Dahulu kala di Padang Sumatera Barat tepatnya di Perkampungan Pantai Air Manis ada seorang janda bernama Mande Rubayah. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Malin Kundang. Malin sangat disayang oleh ibunya, karena sejak kecil Malin Kundang sudah ditinggal mati oleh ayahnya.

Malin dan ibunya tinggal di perkampungan nalayan. Ibunya suah tua ia hanya bekerja sebagai penjual kue. Pada suatu hari Malin jatuh sakit. Tubuhnya mendadak panas sekali. Mande Rubayah tentu saja sangat bingung. Tidak pernah Malin jatuh sakit seperti ini. Mande Rubayah berusaha sekuatnya unuk mengabobati Malin dengan mendatangkan tabib.

Nyawa Malin yang hampir melayang itu akhirnya dapat diselamatkan berkat usaha keras ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia makin disayang. Demikianlah Mande Rubayah sangat menyayangi anaknya. Sebaliknya Malin juga amat sayang kepada ibunya.

Ketika sudah dewasa, Malin berpamitan kepada ibunya untuk pergi merantau. Pada saat itu memang ada kapal besar yang merapat di Pantai Air Manis.

“Bu, ini kesempatan yang baik bagi saya,” kata Malin. “Belum tentu setahun sekali ada kapal besar merapat di pantai ini. Saya berjanji akan merubah nasib kita sehingga kita akan menjadi kaya raya.”

Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengijinkan anaknya pergi. Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus.

Hari-hari berlalu terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut. Ia bertanya-tanya dalam hati, sampai di manakah anaknya kini? Jika ada ombak dan badai besar menghempas ke pantai, dadanya berdebar-debar. Ia mengadahkan kedua tangannya ke aas sembari berdo’a agar anaknya selamat dalam pelayaran. Jika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya. Tetapi semua awak kapal atau nahkoda tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Malin tidak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya.

Itulah yang dilakukan Mande Rubayah setiap hari selama bertahun-tahun. Tubuhnya semakin tua dimakan usia. Jika berjalan ia mulai terbungkuk-bungkuk.

(5)

seorang bangsawan kaya raya. Ia turut gembira mendengar kabar itu. Ia selalu berdo’a agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya.

“Ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang...” rintih MANDE RUBAYAH tiap malam. Namun hingga berbulan – bulan semenjak ia menerima kabar malin belum juga datang menengoknya. Namun ia yakin bahwa pada suatu saat Malin pasti akan kembali.

Harapannya terkabul. Pada suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang indah berlayar menuju pantai. Kapal itu megah dan bertingkat – tingkat. Orang kampung mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira.

Ketika kapal itu mulai merapat, tampak sepasang muda mudi berdiri di anjungan. Pakaian mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum. Mereka nampak bahagia karena disambut dengan meriah.

Mande Rubayah ikut berdesakan melihat dan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras. Dia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anak kesayangannya si Malin Kundang.

Belum lagi tetua desa sempat menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. Ia langsung memeluk malin erat – erat. Seolah takut kehilangan anaknya lagi. “Malin, anakku,” katanya menahan isak tangis karena gembira.

“Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”

Malin terpana karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang – camping itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Seingat Malin, ibunya adalah seorang wanita berbadan tegar yang kuat menggendongnya kemana saja. Sebelum dia sempat berpikir dengan tenang, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, “Cuih! Wanita buruk inikah ibumu? Mengapa kau membohongi aku?”

lalu dia meludah lagi. “Bukankah dulu kau katakan ibumu adalah seorang bangsawan sederajad dengan kami?”

Mendengar kata – kata istrinya, Malin Kundang mendorong wanita itu hingga terguling ke pasir. Mande Rubayah hampir tidak percaya pada perikau anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata, “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, nak!”

(6)

Ia malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata, “Hai, perempuan tua! Ibuku tidak seperti engkau! Melarat dan dekil!”

Wanita tua itu terkapar di pasir. Orang banyak terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Tak disangka Malin yang dulu disayangi tega berbuat demikian. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, Pantai Air Manis sudah sepi. Dilaut dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Hatinya perih seperti ditusuk-tusuk. Tangannya ditadahkannya ke langit. Ia kemudian berseru dengan hatinya yang pilu, “Ya, Allah Yang Maha Kuasa, kalau dia bukan anakku, aku maafkan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku, Malin Kundang, aku mohon keadilan-Mu, Ya Tuhan ...!”

Tidak lama kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah menjadi gelap. Hujan tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya. Entah bagaimana awalnya tiba-tiba datanglah badai besar. Menghantam kapal malin kundang. Disusul sambaran petir yang menggelegar. Seketika kapal itu hancur berkeping-keping. Kemudian terhempas ombak hingga ke pantai.

Ketika mathari pagi memancarkan sinarnya, badai telah reda. Di kaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang. Tak jauh dari tempat itu nampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Konon itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu. Disela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak dan ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.

Demikianlah sampai sekarang jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jeritan manusia. Sungguh memilukan kedengarannya. Kadang-kadang bunyinya seperti orang meratap menyesali diri. “Ampuuuun, Bu ... ! Ampuuuun... Buuuuu ... !” konon itulah suara si Malin Kundang.

(7)

Asal Usul Danau Toba

Di Sumatera Utara terdapat danau yang sangat besar dan ditengah-tengah danau tersebut terdapat sebuah pulau. Danau itu bernama Danau Toba sedangkan pulau ditengahnya dinamakan Pulau Samosir. Konon danau tersebut berasal dari kutukan dewa.

Di sebuah desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani. Ia seorang petani yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang cerah, petani itu memancing ikan di sungai. “Mudah-mudahan hari ini aku mendapat ikan yang besar,” gumam petani tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar.

Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan kilatan yang menakjubkan. “Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi

memakanku.” Petani tersebut terkejut mendengar suara dari ikan itu. Karena keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita. “Bermimpikah aku?,” gumam petani.

“Jangan takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang budi padamu karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,” kata gadis itu. “Namaku Puteri, aku tidak keberatan untuk menjadi iastrimu,” kata gadis itu seolah mendesak. Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.

(8)

Setahun kemudian, kebahagiaan Petani dan istri bertambah, karena istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera. Kebahagiaan mereka tidak membuat mereka lupa diri. Putera tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu kebiasaan yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar. Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.

Lama kelamaan, Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Petani selalu mengingatkan Petani agar bersabar atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak kita!” kata Petani kepada istrinya. “Syukurlah, kanda berpikiran seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik,” puji Puteri kepada suaminya.

Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Petani itu. Pada suatu hari, Putera mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi Putera tidak memenuhi tugasnya. Petani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Putera sedang bermain bola. Petani menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya. “Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan !,” umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.

(9)

Asal Usul Kota Banyuwangi

Pada zaman dahulu di kawasan ujung timur Propinsi Jawa Timur terdapat sebuah kerajaan besar yang diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijaksana. Raja tersebut mempunyai seorang putra yang gagah bernama Raden Banterang. Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. “Pagi hari ini aku akan berburu ke hutan. Siapkan alat berburu,” kata Raden Banterang kepada para abdinya. Setelah peralatan berburu siap, Raden Banterang disertai beberapa pengiringnya berangkat ke hutan. Ketika Raden Banterang berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di depannya. Ia segera mengejar kijang itu hingga masuk jauh ke hutan. Ia terpisah dengan para pengiringnya.

“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang, ketika kehilangan jejak buruannya. “Akan ku cari terus sampai dapat,” tekadnya. Raden Banterang menerobos semak belukar dan pepohonan hutan. Namun, binatang buruan itu tidak ditemukan. Ia tiba di sebuah sungai yang sangat bening airnya. “Hem, segar nian air sungai ini,” Raden Banterang minum air sungai itu, sampai merasa hilang dahaganya. Setelah itu, ia meninggalkan sungai. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik jelita.

“Ha? Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia seorang manusia? Jangan-jangan setan penunggu hutan,” gumam Raden Banterang bertanya-tanya. Raden Banterang memberanikan diri mendekati gadis cantik itu. “Kau manusia atau penunggu hutan?” sapa Raden Banterang. “Saya manusia,” jawab gadis itu sambil tersenyum. Raden Banterang pun memperkenalkan dirinya. Gadis cantik itu menyambutnya. “Nama saya Surati berasal dari kerajaan Klungkung”. “Saya berada di tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah saya telah gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar ucapan gadis itu, Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulang ke istana. Tak lama kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia.

(10)

berada di depannya adalah kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk membalas dendam, karena Raden Banterang telah membunuh ayahandanya. Surati menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden Banterang karena telah berhutang budi. Dengan begitu, Surati tidak mau membantu ajakan kakak kandungnya. Rupaksa marah mendengar jawaban adiknya. Namun, ia sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati. “Ikat kepala ini harus kau simpan di bawah tempat tidurmu,” pesan Rupaksa.

(11)

kakak kandung Adinda. Dialah yang memberi sebuah ikat kepala kepada Adinda,” Surati menjelaskan kembali, agar Raden Banterang luluh hatinya. Namun, Raden Banterang tetap percaya bahwa istrinya akan mencelakakan dirinya. “Kakanda suamiku! Bukalah hati dan perasaan Kakanda! Adinda rela mati demi keselamatan Kakanda. Tetapi berilah kesempatan kepada Adinda untuk menceritakan perihal pertemuan Adinda dengan kakak kandung Adinda bernama Rupaksa,” ucap Surati mengingatkan.

“Kakak Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda diminati bantuan, tetapi Adinda tolah!”. Mendengar hal tersebut , hati Raden Banterang tidak cair bahkan menganggap istrinya berbohong.. “Kakanda ! Jika air sungai ini menjadi bening dan harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk, berarti Adinda bersalah!” seru Surati. Raden Banterang menganggap ucapan istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden Banterang segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu menghilang.

Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau nan harum merebak di sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara gemetar. “Istriku tidak berdosa! Air kali ini harum baunya!” Betapa menyesalnya Raden Banterang. Ia meratapi kematian istrinya, dan menyesali kebodohannya. Namun sudah terlambat.

Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa Jawa disebut

(12)

Batu Menangis (Legenda dari

Kalimantan)

Darmi memandangi wajahnya lewat cermin yang tergantung di dinding kamarnya.

“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.”

Matanya memandang ke sekeliling ruangan.

Hanya selembar kasur yang tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia dambakan. Bahkan lemari untuk pakaian pun hanya sebuah peti bekas. Darmi mengeluh dalam hati.

Darmi memang bukan anak orang kaya. Ibunya hanya seorang janda miskin. Untuk menghidupi mereka berdua, ibunya bekerja membanting tulang dari pagi hingga malam. Pekerjaan apapun dia lakukan. Mencari kayu bakar di hutan, menyabit rumput untuk pakan kambing tetangga, mencucikan baju orang lain, apapun dia kerjakan untuk bisa memperoleh upah. Sebaliknya Darmi adalah anak yang manja. Sedikit pun dia tidak iba melihat ibunya bekerja keras sepanjang hari. Bahkan dengan teganya dia memaksa ibunya untuk memberinya uang jika ada sesuatu yang ingin dibelinya.

“Ibu, ayo berikan uang padaku! Besok akan ada pesta di desa sebelah, aku harus pergi dengan memakai baju baru. Bajuku sudah usang semua,” katanya.

“Nak, kemarin kan kau baru beli baju baru. Pakailah yang itu saja. Lagipula uang ibu hanya cukup untuk makan kita dua hari. Nanti kalau kau pakai untuk membeli baju, kita tidak bisa makan nak!” kata ibunya mengiba.

“Alah itu kan urusan ibu buat cari uang lagi. Baju yang kemarin itu kan sudah aku pakai, malu dong pakai baju yang itu-itu lagi. Nanti apa kata orang! Sudahlah ayo berikan uangnya

sekarang!” kata Darmi dengan kasar.

Terpaksa sang ibu memberikan uang yang diminta anaknya itu. Dia memang sangat sayang pada anak semata wayangnya itu.

Begitulah, hari demi hari sang ibu semakin tua dan menderita. Sementara Darmi yang dikaruniai wajah yang cantik semakin boros. Kerjaannya hanya menghabiskan uang untuk membeli baju-baju bagus, alat-alat kosmetik yang mahal dan pergi ke pesta-pesta untuk memamerkan kecantikannya.

Suatu hari Darmi meminta ibunya untuk membelikannya bedak di pasar. Tapi ibunya tidak tahu bedak apa yang dimaksud.

“Sebaiknya kau ikut saja ibu ke pasar, jadi kau bisa memilih sendiri,” kata ibunya.

(13)

“Ya sudah kalau kau malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya dengan sedih.

“Baiklah, ibu janji ya! Selama perjalanan ibu tidak boleh berjalan di sampingku dan tidak boleh berbicara padaku!” katanya.

Ibunya hanya memandang anaknya dengan sedih lalu mengiyakan.

Akhirnya mereka pun berjalan beriringan. Sangat ganjil kelihatannya. Darmi terlihat sangat cantik dengan baju merah mudanya yang terlihat mahal dan dibelakangnya ibunya yang sudah bungkuk memakai baju lusuh yang penuh tambalan. Di tengah jalan Darmi bertemu dengan teman-temannya dari desa tetangga yang menyapanya.

“Hai Darmi, mau pergi kemana kau?” sapa mereka. “Aku mau ke pasar,” jawab Darmi.

“Oh, siapa nenek yang di belakangmu itu? Ibumu?” tanya mereka.

“Oh bukan! Bukan!. Mana mungkin ibuku sejelek itu. Dia itu cuma pembantuku,” sahut Darmi cepat-cepat.

Betapa hancur hati ibunya mendengar anak kesayangannya tidak mau mengakuinya sebagai ibunya sendiri. Namun ditahannya rasa dukanya di dalam hati.

Kejadian itu berulang terus menerus sepanjang perjalanan mereka. Semakin lama hati si ibu semakin hancur. Akhirnya dia tidak tahan lagi menahan kesedihannya. Sambil bercucuran air mata dia menegur anaknya.

“Wahai anakku sebegitu malunyakah kau mengakui aku sebagai ibumu? Aku yang melahirkanmu ke dunia ini. Apakah ini balasanmu pada ibumu yang menyayangimu?”

Darmi menoleh dan berkata, “Hah aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas jadi pembantuku daripada jadi ibuku!”

Usai mengucapkan kata-kata kasar tersebut Darmi dengan angkuh kembali meneruskan langkahnya.

Ibunya Darmi sambil bercucuran air mata mengadukan dukanya kepada Tuhan. Wajahnya menengadah ke langit dan dari mulutnya keluarlah kutukan, “Oh Tuhanku! Hamba tidak sanggup lagi menahan rasa sedih di hatiku. Tolong hukumlah anak hamba yang durhaka. Berilah dia hukuman yang setimpal!”

Tiba-tiba langit berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang

menggelegar. Darmi ketakutan dan hendak berlari ke arah ibunya. Namun dia merasa kakinya begitu berat. Ketika dia memandang ke bawah dilihatnya kakinya telah menjadi batu, lalu kini betisnya, pahanya dan terus naik ke atas. Darmi ketakutan, dia berteriak meminta pertolongan pada ibunya. Tapi ibunya hanya memandangnya dengan berderai air mata.

(14)
(15)

Batu Gantung: Kisah Cinta yang Tak

Sampai

Kencan Sondang dan Togar kali ini sangat berbeda dan lebih istimewa dari biasanya. Bagaimana tidak? Togar melamar dia saat mereka sedang berjalan-jalan ke Danau Toba. Kapal yang mereka naiki mendekat pada batu gantung. Memang begitulah biasanya agar para wisatawan bisa mengabadikan Batu Gantung yang melegenda itu di dalam kamera mereka.

Suasana kapal berisik karena para wisatawan di dalam kapal berlomba mengabadikan Batu Gantung tersebut. Tiba-tiba Togar menarik tangan Sondang menuju moncong kapal seolah-olah mereka ingin melakukan adegan titanic. Muka Sondang memerah saat Togar menggenggam erat jemari Sondang dan menatapnya serius.

“Aku ngomongnya di sini saja yach?” Kata Togar.

“Apa?”

“Aku mau melamar kamu…” Kata Togar tanpa tedeng aling-aling. Sesaat waktu seperti berhenti, kedua mata saling beradu. Angin di Danau Toba yang kencang menyerakkan rambut panjang Sondang.

“Serius” Kata Togar meyakinkan Sondang. “Batu gantung ini akan menjadi saksi cinta kita.”

Sondang terharu dan menatap kearah batu gantung yang melegenda itu. Togar menunggu jawaban dari Sondang tetapi Sondang masih tetap diam membisu tak tahu harus menjawab apa.

“Ayolah…” Togar memohon. Tiba-tiba Sondang mengangguk pelan dan disambut tawa bahagia Togar sambil memeluk Sondang.

“Ini perjanjian kita!” Kata Togar sambil menggoyang-goyangkan telunjuknya kearah wajah Sondang seperti takut dikhianati Sondang suatu saat. Tangannya merogoh isi kantungnya dan mengeluarkan sebuah cincin sebagai tanda cintanya membuat Sondang tak mampu menahan senyum. Togar menyarungkan cincin itu ke jemari Sondang sambil berkata. “Barangsiapa melanggar perjanjian kita. Nasibnya akan sama seperti batu gantung itu.” Kata Togar horor membuat Sondang takut.

Tiba-tiba kapal bergerak membuat Sondang dan Togar goyah. Kapal akan menuju pinggiran Danau Toba. Togar menarik tangan Sondang kembali ke dalam kapal. Hari itu mereka kembali ke Medan.

Beberapa minggu kemudian Sondang sudah melakukan aktifitas seperti biasa di perkotaan Medan. Hari-harinya yang sibuk pun semakin sibuk karena mempersiapka pernikahannya yang bisa dihitung hari. Sondang dan keluarganya sangat bahagia atas lamaran Togar yang memang Togar adalah orang yang diidam-idamkan Mamaknya untuk jadi menantu.

Terik mentari membakar kulitnya saat dia harus melangkah pulang ke rumah sehabis dari kantor. Di rumah dia disambut Mamaknya yang duduk termenung.

“Kenapa, Mak?” Tanya Sondang sambil mengerutkan keningnya.

(16)

“Ah, sudahlah Mak. Jangan fikir macam-macam.” Sondang menepuk pundak Mamaknya sambil masuk ke kamar untuk ganti baju.

Malam harinya, Sondang dan Mamaknya baru saja pulang berjalan-jalan. Itu dilakukan Sondang untuk menyenangkan hati Mamaknya yang sedang galau. Mereka sudah disambut Togar yang berdiri di teras rumahnya.

“Masuk ke rumah, yuk!” Kata Sondang. Tetapi Togar menggeleng dan mengisyaratkan untuk tetap di teras saja. Mamaknya masuk duluan.

“Ada apa?” Tanya Sondang karena melihat seperti ada hal yang serius ingin disampaikan.

“Maaf…” Kata Togar pelan.

“Maaf kenapa?” Wajah Sondang seperti ketakutan dan berusaha mengikuti gerakan wajah Togar yang menunduk. Sondang menunggu jawaban tetapi Togar dia membisu. “Hei!” Sondang mengguncang-guncang tubuh Togar. Habis usaha Sondang memaksa Togar bicara sampai Sondang bersimpuh di bawah kaki Togar. Sondang menutupi wajahnya yang menangis.

“Kumohon bicaralah! Aku takut sekali.” Tangis Sondang pelan agar tidak kedengaran

BLAAARRRR!!! Bagai petir menyambar membuat hati Sondang hancur berkeping-keping dan tak terselamatkan lagi. Spontan Sondang yang emosi mendaratkan tangannya ke pipi Togar. PLAK!!!

“Kenapa? Kenapa kau langgar janji kita!!!” Isak Sondang.

“Maaf… Aku sudah… punya calon yang lain.” Togar terbata. Sekejap kemudian Sondang mencampakkan cincin pemberiannya ke wajah Togar. Sondang berlari masuk ke rumahnya menahan tangisan apalagi saat dia berpapasan dengan Mamaknya. Hati Sondang seperti dihempaskan dengan kerasnya dari ketinggian kebahagiaannya yang terlebih dahulu muncul.

Keesokan harinya mata Sondang nanar memandangi batu gantung yang ada di depannya. Wisatawan yang lain sibuk untuk foto-foto tetapi Sondang terpana seorang diri. Hari itu dia tidak bekerja setelah kepatahan hatinya yang diperbuat seseorang yang sangat dia cintai.

Tiba-tiba bergema kembali dalam ingatannya suara Togar yang lantang menyatakan. “Barangsiapa melanggar perjanjian kita. Nasibnya akan sama seperti batu gantung itu.” Sondang tak tahan membendung airmata. Ternyata yang menghianati perjanjian itu adalah Togar sendiri. Dia makin sedih bila pulang ke Medan dan tanggal pernikahan sudah dekat. Pada hari H pasti para undangan akan datang dan melihat tak ada pernikahan sama sekali. “Aku harus jawab apa?” Gumamnya lirih.

Matanya melirik air danau toba yang kelam. Menandakan sangat dalam. Sondang berjalan gontai mendekati pinggir kapal. Dan memandangi bayangannya di air itu walau tidak jelas karena ombak.

(17)

memperhatikannya. Sondang terkejut melihat sosok di depannya adalah seorang nenek tua penjual kacang.

“Jangan, Nak. Kau masih muda dan cantik pula.” Kata Nenek itu sambil memeluk Sondang yang galau. Beberapa saat kemudian Sondang dan Nenek penjual kacang sudah ada di daratan tepatnya di terminal menunggu bus ke kota Medan. Sondang hanya bisa tersenyum malu mengingat kebodohannya.

“Kalau dia pergi kabur. Berarti dia bukan temanmu, sama seperti aku dulu saat harus keguguran. Aku galau dan hampir bunuh diri. Oppung dolimu bilang bahwa bayi itu tidak mau berteman dengan kita makanya dia kabur.” Nenek yang tak memiliki anak itu mengingat masa lalunya.

“Iya, Pung.” Kata Sondang pelan.

“Kalau kau malu menjawab para undangan nanti. Oppung harap kau kuat yah? Berdoa pada yang di atas.” Nenek itu mengelus rambutnya lembut. Sebentar kemudian Sondang melangkahkan kakinya ke dalam bus dan melambaikan tangan pada si nenek baik tadi.

(18)

TANGKUBAN PERAHU

Pada jaman dahulu, tersebutlah kisah seorang puteri raja di Jawa Barat bernama

Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama

Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu. Ia berburu dengan ditemani oleh Tumang, anjing kesayangan istana. Sangkuriang tidak tahu, bahwa anjing itu adalah titisan dewa dan juga bapaknya.

Pada suatu hari Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk mengejar hewan buruan. Maka anjing tersebut diusirnya ke dalam hutan. Ketika kembali ke istana, Sangkuriang menceritakan kejadian itu pada ibunya. Bukan main marahnya Dayang Sumbi begitu mendengar cerita itu. Tanpa sengaja ia memukul kepala Sangkuriang dengan sendok nasi yang dipegangnya. Sangkuriang terluka. Ia sangat kecewa dan pergi mengembara.

Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali dirinya. Ia selalu berdoa dan sangat tekun bertapa. Pada suatu ketika, para dewa memberinya sebuah hadiah. Ia akan selamanya muda dan memiliki kecantikan abadi. Setelah bertahun-tahun mengembara, Sangkuriang akhirnya berniat untuk kembali ke tanah airnya. Sesampainya di sana, kerajaan itu sudah berubah total. Disana dijumpainya seorang gadis jelita, yang tak lain adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona oleh kecantikan wanita tersebut, Sangkuriang melamarnya. Oleh karena pemuda itu sangat tampan, Dayang Sumbi pun sangat terpesona padanya.

Pada suatu hari Sangkuriang minta pamit untuk berburu. Ia minta tolong Dayang Sumbi untuk merapikan ikat kepalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi ketika melihat bekas luka di kepala calon suaminya. Luka itu persis seperti luka anaknya yang telah pergi merantau. Setelah lama diperhatikannya, ternyata wajah pemuda itu sangat mirip dengan wajah anaknya. Ia menjadi sangat ketakutan. Maka

kemudian ia mencari daya upaya untuk menggagalkan proses peminangan itu. Ia mengajukan dua buah syarat. Pertama, ia meminta pemuda itu untuk membendung sungai Citarum. Dan kedua, ia minta Sangkuriang untuk membuat sebuah sampan besar untuk menyeberang sungai itu. Kedua syarat itu harus sudah dipenuhi

sebelum fajar menyingsing.

(19)

Sangkuriang mengira hari sudah menjelang pagi. Ia pun menghentikan

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui asal-usul cerita kesaktian tongkat Tunggal Panaluan pada masyarakat Batak Toba, (2) untuk mengetahui fakta-fakta

Dalam Al-Qur’an Allah mengatakan (QS. Tidak durhaka kepada kedua orang tuanya. Selain memerintahkan untuk berbuat baik terhadap keduanya, Islam juga melarang kita untuk berbuat

datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang

Apabila melakukan hal-hal yang cercela, baik melakukan dosa kepada Allah serta durhaka kepada kedua orang tuanya, maka yang harus diperhatikan oleh seorang anak

Catatan dari cerita rakyat Surabaya : dongeng asal usul Surabaya adalah Lambang kota Surabaya juga diambil dari kisah pertarungan kedua hewan ini, yaitu ikan hiu sura dan

Tema yang terdapat dalam mukashi banashi “Tsuru no Hanashi” pun memiliki kesamaan dengan tema yang dimiliki legenda “Asal-Usul Danau Toba” yaitu, pelanggaran janji yang

Banyak sekali kisah-kisah anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya tidak mau menerima nasihat, ajakan dan perintah yang di berikan oleh kedua orang tuanya,

Berdasarkan hasil analisis terhadap data penelitian pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini ditemukan nilai-nilai pendidikan dalam cerita Asal usul Danau