• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN SMART POWER DALAM DIPLOMASI IN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENERAPAN SMART POWER DALAM DIPLOMASI IN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kelompok yang disebut Rohingya di Myanmar merupakan kelompok yang berbeda dengan kelompok dominan yang berada di Myanmar, baik secara linguistik, religi, maupun secara etnik. Meski sudah bertempat di daerah yang kelak menjadi Myanmar sejak abad kelima belas serta bertempat dan membentuk dari populasi Rakhine State pada masa ini, kelompok Rohingya masih

dianggap sebagai kelompok imigran ilegal dari India dan tidak diakui sebagai warga negara oleh Myanmar.1 Sampai pada saat ini, pengakuan pemerintah

Myanmar terhadap kelompok Rohingya masih minim. Hukum kependudukan yang dikeluarkan Myanmar pada tahun 1982 justru menetapkan larangan untuk memberikan kelompok Rohingya kependudukan secara penuh. Pengakuan yang diterima oleh kelompok Muslim di Myanmar, termasuk Rohingya, cenderung berbentuk surat kependudukan yang bersifat sementara.2

Ketiadaan pengakuan secara formal ini berdampak ke berbagai sektor kehidupan kelompok Rohingya, mulai dari pernikahan, pekerjaan, pendidikan, sampai kebebasan mobilisasi, baik spasial maupun sosial. Tiadanya status sebagai warga negara secara penuh membatasi kehidupan mereka dan berfungsi sebagai suatu diskriminasi sistemik terhadap kelompok Rohingya. Kesenjangan sosial dari status Rakhine State yang merupakan daerah yang pada dasarnya terbelakang di Myanmar semakin melebar dengan ketiadaan hak untuk populasi Rohingya yang membentuk bagian yang cukup besar dari populasi Rakhine State. Diskriminasi ini semakin terasa dengan munculnya konflik atas dasar alasan-alasan religius. Konflik terbuka yang dimulai dari tahun 2012 menjadi salah satu dari berbagai

1 Eleanor Albert, “The Rohingya Migrant Crisis,” Council on Foreign Relations (diakses pada 18 April 2017), http://www.cfr.org/burmamyanmar/rohingya-migrant-crisis/p36651

2 Oliver Tickell, “Burma’s race laws, expulsions, driving Rohingya refugees,” The Ecologist (diakses pada 18 April 2017),

(2)

faktor yang telah dipaparkan yang akhirnya mendorong kelompok Rohingya di Myanmar untuk keluar dan mencari perlindungan di negara-negara lain.3

Indonesia merupakan salah satu negara yang dituju oleh pengungsi Rohingya di samping Thailand, Malaysia, dan Bangladesh. Menghadapi permasalahan kemanusiaan global ini, Indonesia menyatakan keprihatinan dan telah menerima dan menyediakan perlindungan bagi seribu pengungsi Rohingya. Di samping itu, Indonesia juga aktif menjalankan baik diplomasi bilateral maupun regional dengan Myanmar dalam rangka menyelesaikan permasalahan ini. Penekanan pada penggunaan diplomasi sebagai tool menghadapi Myanmar ini dapat ditelusuri lebih jauh ke hubungan diplomasi yang sudah terjalin antara Indonesia dan Myanmar sejak sebelum kemerdekaan kedua negara dan terus berlanjut dalam wujud dukungan Indonesia pada reformasi demokratisasi Myanmar.4 Dukungan terhadap demokratisasi Myanmar yang selalu dijalankan

oleh Indonesia merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung stabilisasi daerah regional ASEAN, baik dalam isu keamanan maupun isu hak asasi manusia,5 yang mana isu pengungsi Rohingya menjadi salah satu masalah utama

ASEAN.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin mengetahui bagaimana penerapan smart power berpengaruh pada efektivitas diplomasi Indonesia terkait isu Rohingya?

3 Ibid.

4 Ibrahim Almuttaqi, “Seizing the opportunity to lift Jakarta-Naypyitaw relations,” The Jakarta PostFair Observer (diakses pada 18 April 2017),

http://www.thejakartapost.com/news/2016/03/31/seizing-opportunity-lift-jakarta-naypyitaw-relations.html

5 Jarno Lang, “Indonesia-Myanmar Relations: Promoting Democracy in South-East Asia.” Fair Observer (diakses pada 18 April 2017),

(3)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bagian ini bertujuan untuk memaparkan landasan konsep dan teori yang digunakan untuk mengkaji masalah. Dalam membahas isu mengenai strategi diplomasi Indonesia untuk mengatasi permasalahan pengungsi Rohingya, penulis akan merujuk kepada pemikiran sejumlah ahli, yaitu: (1) smart power yang dituliskan oleh Nye, (2) perluasan konsep power menurut Barnett dan Duvall, serta (3) konflik asimetris dan peran pihak ketiga berdasarkan tulisan Rasbotham. Selanjutnya, penulis akan memberikan justifikasi terhadap pilihan konsep dan teori yang dijelaskan.

2.1. Smart Power: Kombinasi Hard dan Soft Power (Joseph Nye, Jr.)

Salah satu ahli yang paling berpengaruh dalam memberikan definisi terhadap konsep power adalah Joseph Nye, Jr. Pada bagian ini, penulis akan menjabarkan konsep smart power yang merupakan kombinasi dari hard dan soft power.

2.1.1. Hard Power

Nye mengartikan hard power sebagai kemampuan yang digunakan negara dengan melibatkan berbagai cara koersif untuk dapat mencapai tujuan atau kepentingan nasionalnya. Hard power meliputi kemampuan ekonomi dan militer yang cenderung berwujud material. Sebagai contoh, praktik penggunaan hard power biasanya berfokus kepada strategi intervensi militer, pelarangan perdagangan, maupun diplomasi koersif.6

2.1.2. Soft Power

Nye berargumen bahwa soft power merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk mendapatkan hasil atau tujuan yang diinginkan dengan daya tarik.7 Soft power meliputi aspek budaya, ideologi, ataupun kebijakan luar

negeri suatu negara sehingga sifatnya cenderung lebih immateriil dibandingkan hard power. Melalui soft power,negara akan berfokus kepada

6 Wilson, Ernest J., “Hard Power, Soft Power, Smart Power,” The Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 616 (2008), hlm. 114.

(4)

sikap yang persuasif, atraktif, dan menunjukkan good manner tanpa menggunakan paksaan atau ancaman. Praktik ini membutuhkan waktu yang cenderung lebih lama untuk menginternalisasi nilai budaya yang digunakan untuk mempengaruhi pihak lain.8

2.1.3. Smart Power

Kompleksitas dari suatu permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan hanya menggunakan hard atau soft power saja kemudian membutuhkan kombinasi strategi dari keduanya. Kombinasi penggunaan hard dan soft power ini menurut Nye disebut sebagai smart power. Penggunaan smart power dibutuhkan karena adanya tuntutan yang lebih luas seperti ancaman terhadap kemanusiaan yang perlu diselesaikan baik dengan cara yang konservatif melalui intervensi maupun dengan daya tarik yang dipergunakan untuk mempengaruhi pihak lain melalui diplomasi dan negosiasi. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan tindakan yang efektif demi mencapai tujuan negara melalui kombinasi kapabilitas yang dimiliki.9

2.2. Perluasan Konsep Power

Di sisi lain, kajian smart power tidak dapat terlepas dari bagaimana terjadi perubahan dalam memandang konsep power seiring berkembangnya perspektif lain selain Realisme. Kajian mengenai power yang ada selama ini selalu bertemu hambatan yang sama, yaitu ketika ingin menjelaskan bagaimana kapabilitas yang dimiliki suatu aktor dapat diubah menjadi hasil. Penjelasan dari kesulitan dalam kajian power tersebut, oleh Barnett dan Duvall dijelaskan karena definisi power

yang terlalu sempit, yaitu power yang diterapkan secara langsung dengan target yang spesifik. Barnett dan Duvall melihat bahwa kajian mengenai power tidak hanya sebatas kapabilitas yang dimiliki suatu aktor, namun juga struktur sosial yang menentukan bagaimana, kapan, dan mengapa power bisa berpengaruh pada

8 Matteo Palaver, Power and Its Forms: Hard, Soft, Smart (Department of International Relations of the London School of Economics: London, 2011), hlm. 86.

(5)

aktor lainnya.10 Berdasarkan pandangan tersebut, Barnett dan Duvall membagi power berdasarkan dua dimensi, yaitu sesuai media dan caranya bekerja, sehingga menghasilkan empat kategorisasi power, memperluas definisi power seperti yang digambarkan di bawah ini:

Sumber: Michael Barnett and Raymond Duvall. “Power in International Politics,” International Organization , Vol. 59, No. 1. (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 48.

Selain jenis compulsory power yang dominan, yaitu jenis power yang berasal dari kapabilitas aktor serta berlaku secara spesifik, Barnett dan Duvall juga menjelaskan power yang bersifat lebih struktural dan tersebar. Jenis-jenis power

tersebut antara lain: (1) structural power, yang juga berlaku secara langsung seperti compulsory power namun berasal dari struktur relasi para aktor; (2)

institutional power, yang berasal dari kapabilitas aktor namun berlaku secara tersebar; (3) productive power, yang berasal dari struktur relasi aktor dan berlaku secara tersebar.11 Peranan dari ketiga jenis alternatif power tersebut cenderung

menekankan pada konsep kerja sama dibandingkan koersi, dengan tingkat yang semakin soft dengan semakin eksternal sumbernya serta tersebarnya pengaruh dari

power tersebut. Jenis alternatif power ini cenderung lebih terdifusi dan struktural, serta dipertahankan tidak melalui coercive means, tetapi melalui consent yang didapatkan melalui cara yang lebih persuasif,12 sesuai dengan jenis smart power

yang dibawakan oleh Nye.

10 Michael Barnett dan Raymond Duvall, “Power in International Politics,” International Organization, Vol. 59, No. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), hlm. 39-45.

(6)

2.3. Konflik Asimetris dan Peran Pihak Ketiga (Rasbotham)

Dalam kajian penyelesaian konflik di antara dua pihak yang bertikai, terdapat dua jenis kategorisasi konflik, yaitu konflik simetris yang cenderung disebabkan perbedaan kepentingan dan konflik asimetris yang disebabkan struktur relasi tak berimbang yang hanya bisa diubah melalui jalan konflik. Dalam konflik di antara dua pihak, kemungkinan positive feedback, atau rangkaian reaksi yang mengakibatkan suatu eskalasi konflik, sangat besar, dan oleh karena itu diperlukan adanya campur tangan pihak ketiga untuk mengubah struktur konflik. Secara teoretis, jenis pihak ketiga yang terlibat dalam konflik dibedakan menjadi

powerful dan powerless third party sesuai dengan sumber daya yang mereka bawa ke dalam sebuah konflik. Powerful third party diartikan sebagai pihak ketiga yang memiliki power lebih dan memiliki kapasitas untuk menggunakan sumber daya material baik untuk mempengaruhi atau memaksa, sedangkan powerless third party merupakan pihak ketiga yang cenderung powerless dan bertindak sebagai mediator.13

Terma powerless sendiri merupakan suatu terma yang diakui oleh Rasbotham sebagai sesuatu yang ambigu dan tak terlepas dari adanya konsep hard

dan soft power milik Nye. Rasbotham secara pribadi menyatakan bahwa jenis

power yang soft lebih baik untuk penyelesaian konflik secara damai. Menurutnya,

soft power yang digunakan dalam penyelesaian suatu konflik dapat diklasifikasi lebih jauh ke dalam kategori exchange power yang menggunakan pendekatan

bargaining dan kompromi dengan integrative power yang menekankan pada pendekatan persuasif dan transformasi konflik secara jangka panjang.14 Jenis

pihak ketiga yang berbeda akan cenderung menggunakan taktik yang berbeda. Rasbotham melihat bahwa pihak ketiga yang berbentuk negara cenderung memiliki lebih banyak power dan bergerak dengan asumsi win-lose di antara dua pihak yang berkonflik. Di sisi lain, pihak ketiga yang berperan sebagai mediator tidak resmi yang memiliki power yang lebih sedikit cenderung bergerak dengan

(7)

asumsi win-win atau lose-lose dan berusaha mencari suatu solusi yang bisa menguntungkan kedua belah pihak.15

2.4. Justifikasi Konsep dan Teori

Pilihan penulis dalam menggunakan konsep smart power tidak terlepas dari realitas sistem internasional yang berlaku saat ini, yaitu hubungan yang lebih berbasis pada kerja sama dibandingkan paksaan, dan juga sifat dari daerah regional ASEAN, yaitu ASEAN Way yang mementingkan prinsip non-intervensi dan konsensus. Konsep kedua, yaitu perluasan power, merupakan penjelasan lebih jauh dari dimensi power untuk menjelaskan bagaimana dan kapan power, baik

hard maupun soft, dapat berlaku dan berdampak pada relasi antar dalam hubungan internasional. Konsep terakhir, yaitu terkait penggunaan power oleh pihak ketiga, merupakan suatu usaha dari pihak penulis untuk memperjelas pembagian di antara

hard dan soft power dalam peran suatu aktor sebagai pihak ketiga dalam dalam suatu konflik. Hal ini sesuai dengan topik yang diangkat tim penulis, yaitu peran Indonesia dalam konflik asimetris yang terjadi di antara kelompok masyarakat dominan Myanmar dengan kelompok minoritas Rohingya.

(8)

BAB 3 PEMBAHASAN

3.1. Sejarah Hubungan Diplomasi Indonesia-Myanmar

Tanggal 4 Januari 2017 lalu, Myanmar merayakan hari kemerdekaannya yang ke-69 dari penjajahan Inggris. Perayaan itu juga ikut dilaksanakan di Indonesia dengan fasilitas yang disediakan oleh Kedutaan Besar Myanmar untuk Indonesia. Pada perayaan tersebut, Duta Besar Myanmar untuk Indonesia Aung Htoo menyatakan rasa syukur akan kembalinya pemerintahan yang demokratis di Myanmar setelah bertahan-tahun merdeka, sebuah kemajuan yang dia akui tidak terlepas dari peran Indonesia dalam memasukkan Myanmar ke dalam ASEAN serta dukungan konsisten Indonesia dalam transformasi demokrasi yang dialami oleh Myanmar. Pernyataan tersebut disetujui dan ditambahkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil dengan peran Indonesia sebagai sahabat erat Myanmar yang terus mendukung transformasi secara konstruktif tidak peduli pendapat negara lain akan Myanmar.16

Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan yang sesuai dengan karakteristik ASEAN sebagai sebuah rezim internasional yang konstruktif. Berbeda dengan reaksi negara-negara Barat dan juga tetangga Asia Pasifik lainnya seperti Jepang dan Australia yang melaksanakan kebijakan sanksi setelah konflik 1988 di Myanmar, negara-negara ASEAN,17 termasuk Indonesia, justru

menggunakan kebijakan pendekatan konstruktif atau constructive engagement. Alih-alih melaksanakan pendekatan sebagai powerful third party dengan hard power dengan cara mengucilkan Myanmar, ASEAN justru menekankan pada

integrative power yang bertujuan untuk mengubah Myanmar secara jangka panjang. Kunci dari penggunaan integrative power ini yaitu dengan menerima Myanmar sebagai anggota ASEAN pada 23 Juli 1997 dalam rangka membuat

16 Andreas Gerry Tuwo, “Melihat Peran Indonesia dalam Transformasi Demokrasi Myanmar,” Liputan6 (diakses pada 22 April 2017), http://global.liputan6.com/read/2776517/melihat-peranan-indonesia-dalam-transformasi-demokrasi-myanmar

(9)

Myanmar lebih terbuka akan reformasi dengan mengadopsi nilai-nilai ASEAN.18

Masuknya Myanmar ke dalam ASEAN tidak terlepas dari kontribusi Indonesia yang terus melindungi Myanmar dari cercaan dan aksi embargo dunia internasional serta mendorong masuknya Myanmar ke dalam ASEAN.

Dukungan ini terus berlanjut sampai dengan saat ini, yang mana Indonesia menjadi salah satu model demokrasi yang dijadikan contoh oleh Myanmar untuk proses demokratisasi19 dan juga pihak ketiga dalam permasalahan kemanusiaan

yang menimpa Myanmar, di antaranya masalah Rohingya. Diplomasi dan usaha yang telah dilakukan Indonesia terkait permasalahan Rohingya akan dijabarkan di bawah ini.

3.2. Diplomasi Indonesia-Myanmar terkait Rohingya

Dalam mempraktikkan kapabilitas smart power yang dimiliki Indonesia untuk turut mengupayakan penyesaian masalah pengungsi Rohingya, Indonesia mengombinasikan kemampuan hard dan soft power terhadap Myanmar. Menurut laporan UNICEF, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan di Rakhine State adalah dengan memberikan sosialisasi mengenai kesehatan yang meliputi nutrisi, air, dan sanitasi.20 Dalam lingkup hard power,

Indonesia kemudian turut memberikan dana bantuan pembangunan sejumlah infrastrukstur seperti rumah sakit untuk mengatasi masalah kesehatan tersebut. Sementara itu, proses pemberian bantuan pembangunan ini dilaksanakan dengan praktik soft power melalui kegiatan diplomasi dan negosiasi yang dilaksanakan oleh sejumlah perwakilan resmi Indonesia.

18 Fan Hongwei, “ASEAN’s ‘Constructive Engagement’ Policy toward Myanmar,” China International Studies (China: China Academic Journal Electronic Publishing House, 2012), hlm. 54-57.

19 Victor Maulana, “Indonesia Laboratorium bagi Myanmar Belajar Demokrasi dan Pluralisme,” SINDO News (diakses pada 22 April 2017),

https://international.sindonews.com/read/1174200/40/indonesia-laboratorium-bagi-myanmar-belajar-demokrasi-dan-pluralisme-1485350156

20 Myint Kay Thi, “UNICEF calls for better healthcare services in Rakhine,” Myanmar Time, (diakses pada 22 April 2017),

(10)

Berdasarkan hasil pertemuan antara Presiden Myanmar Htin Kyaw dengan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla dalam kesempatan KTT ASEM ke-11, disampaikan bahwa Pemerintah Daerah Rakhine State telah memberikan dukungan sepenuhnya atas rencana Indonesia dalam memberikan bantuan pembangunan infrastruktur di Rakhine State. Pertemuan bilateral antara KBRI Yangon dengan Sekretaris Daerah (Sekda) Rakhine State U Tin Maung Swe di Sittwe, Kantor Gubernur Rakhine State kemudian dilaksanakan pada Maret 2017. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan situasi pengungsi di camp penampungan etnis Rakhine (Bengali/pendatang) di Sittwe, rencana pembangunan rumah sakit di Mrauk Bwe, perkembangan pemberian bantuan pembangunan infrastruktur lainnya seperti pembangunan sekolah, fasilitas jalan, pasar, dan juga pengiriman produk makanan dari Pemerintah Indonesia.21

Sejumlah pemberian bantuan kemanusiaan dan pembangunan infrastruktur ini kemudian diterima oleh Sekda Rakhine State dengan terbuka. Kementerian Luar Negeri Myanmar juga menyatakan kesiapan mereka untuk melakukan koordinasi intensif dengan KBRI Yangon dan institusi Indonesia terkait selama proses pembangunan infrastruktur yang dinilai sangat tepat bagi masyarakat di Rakhine State. Hal ini dikarenakan pembangunan fasilitas tersebut akan memudahkan interaksi antar etnis di berbagai sektor ekonomi, sosial, kesehatan dan pendidikan di wilayah tersebut.22

Keberhasilan Indonesia dalam menjalin hubungan diplomasi dengan pemerintah Myanmar terkait dengan isu Rohingya merupakan sebuah efektivitas dari strategi smart power. Hal ini dikarenakan pemerintah Myanmar kerap bungkam dan menolak untuk memberikan keterangan mengenai situasi di Myanmar. Misalnya, kelompok politisi di Rakhine State bahkan menolak untuk berbicara kepada Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal PBB yang mengetuai Advisory Commission on Rakhine State, yaitu kerja sama Kementerian Luar

21 Kementerian Luar Negeri RI, “Kunjungan Ke Pemerintah Daerah Rakhine State dan Rumah Sakit Mrauk Bway Oleh Delegasi KBRI Yangon,” Portal Berita Kementerian Luar Negeri RI, (diakses pada 22 April 2017),

(11)

Negeri Myanmar dengan Kofi Annan Foundation untuk mengusulkan cara-cara konkret memperbaiki kesejahteraan semua orang di Rakhine State.23

Dalam upaya mempengaruhi tindakan Myanmar, pemerintah Indonesia menerapkan strategi constructive engagement. Menurtut Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI Desra Percaya, Indonesia berhasil disegani oleh pemerintah Myanmar karena Indonesia memilih untuk menggunakan pendekatan persuasif alih-alih pendekatan yang koersif. Kepada media, Indonesia tidak menyampaikan pernyataan keras yang memojokkan pemerintah Myanmar. Penolakan atas sikap pemerintah Myanmar tersebut Indonesia sampaikan secara langsung melalui pertemuan yang disepakati kedua pihak. Melalui pertemuan bilateral tersebut, Indonesia menyampaikan pentingnya perhormatan bagi warga Rohingya serta pengaman stabilitas yang inklusif dan berkesinambungan. Indonesia juga berupaya untuk memahami situasi di Rakhine dan turut memberikan bantuan kemanusiaan yang dapat diterima secara terbuka oleh pemerintah Myanmar.24

Strategi smart power yang merupakan kombinasi dari kapabilitas hard dan

soft power merupakan kunci bagi keberhasilan diplomasi Indonesia terhadap upaya untuk mempengaruhi tindakan yang diambil oleh pemerintah Myanmar. Perwakilan Indonesia dalam ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) Dinna Wisnu mengungkapkan keuntungan dan kelemahan pendekatan proaktif yang sejauh ini dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dalam menjalin hubungan dengan pemerintah Myanmar terkait dengan isu Rohingya.25

Melalui cara yang proaktif yang diplomatis, tidak konfrontatif, dan tidak mempermalukan Myanmar, Indonesia dapat mengawasi serta memastikan bahwa kekerasan di Rakhine State tidak lagi terjadi. Terdapat empat keuntungan dari cara proaktif, yakni: (1) kesempatan untuk menyampaikan kepada publik dan 23 Dinna Wisnu, “Opsi Pendekatan Isu Rohingya,” SINDO News (diakses 22 April 2017), https://nasional.sindonews.com/read/1162768/18/opsi-pendekatan-isu-rohingya-1481683235 24 Ahmad Romadoni, “Jurus Diplomasi Indonesia agar Didengar Myanmar Terkait Rohingya,” Liputan6 (diakses 22 April 2017), http://news.liputan6.com/read/2851563/jurus-diplomasi-indonesia-agar-didengar-myanmar-terkait-rohingya

(12)

komunitas internasional mengenai prinsip-prinsip yang menggerakkan Indonesia untuk terlibat, (2) kesempatan untuk meyakinkan Myanmar bahwa informasi yang diberikan kepada Indonesia akan membantu mengurai segala tudingan negatif yang makin membesar kepada pemerintah Myanmar, (3) kesempatan untuk mengangkat martabat ASEAN dan mendapatkan respek yang lebih luas di ASEAN serta negara-negara mitra ASEAN mengenai relevansi ASEAN dalam situasi ketegangan yang tinggi, dan (4) kesempatan untuk menjembatani perluasan keterlibatan masyarakat sipil di Myanmar dengan Indonesia dan ASEAN.26

Sementara itu, terdapat tiga kelemahan dari cara proaktif, di antaranya: (1) risiko keterbatasan sumber daya jika ternyata masalah Rohingya ini membutuhkan sumber daya yang lebih besar daripada yang dapat ditanggapi oleh Indonesia, (2) sikap Myanmar yang cenderung untuk mengisolasi diri terhadap pihak luar secara umum dan mendekat kepada Tiongkok dalam hal pembangunan, dan (3) perencanaan pendekatan proaktif yang baik jika tidak ingin disalahartikan sebagai tindakan untuk menekan pemerintah Myanmar.27

3.3. Indonesia sebagai Pihak Ketiga dalam Negosiasi Myanmar-Bangladesh

Dari ratusan ribu pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari persekusi yang terjadi di negara asalnya yaitu Myanmar, mayoritas yang mencapai jumlah dua ratus ribu melarikan diri ke Pakistan atau daerah yang kini bernama Bangladesh setelah Perang Kemerdekaan Pakistan Timur. Pada awalnya, pemerintah Bangladesh menerima arus imigran Rohingya yang datang ke daerah mereka. Namun pada tahun 2012, dengan alasan bahwa arus pengungsi Rohingya mengancam keamanan nasional negara mereka, Menteri Luar Negeri Bangladesh Dipu Moni menegaskan bahwa Bangladesh menutup diri terhadap arus pengungsi Rohingya lebih jauh.28

Menggunakan definisi dari Konvensi PBB mengenai Pengungsi yaitu pengungsi sebagai “kelompok masyarakat yang melarikan diri dari negaranya

26 Ibid. 27 Ibid.

(13)

karena alasan persekusi”, pemerintah Bangladesh menilai bahwa konflik Rohingya pada tahun 2012 berakar dari aksi kriminal dimana tiga orang laki-laki Rohingya memperkosa seorang wanita beragama Buddhis, bukan persekusi. Dari definisi tersebut, pemerintah Bangladesh tidak mengakui arus imigran yang datang dari Rohingya sebagai pengungsi. Bangladesh sendiri bukanlah negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi PBB. Argumen dari Menteri Luar Negeri Dipu Moni diperkuat oleh alasan overpopulasi Bangladesh sendiri, rendahnya pendidikan imigran Rohingya yang memberatkan ekonomi Bangladesh, dan juga memburuknya citra Bangladesh di Timur Tengah karena kriminal-kriminal beretnis Rohingya yang menggunakan tanda pengenal Bangladesh palsu.29

Dengan ketegangan di antara Myanmar dan Bangladesh, dimana Myanmar menghasilkan arus imigran dan Bangladesh menolak arus tersebut, kelompok Rohingya terombang-ambing tanpa tujuan yang pasti. Keadaan tersebut tergambar dalam pengakuan salah seorang imigran Rohingya di Bangladesh yang bernama Mohammad Afzal, sebagai berikut:

“Kami bukan siapapun, Myanmar membunuh kami dan Bangladesh menolak kami. Jika saja negara lain lebih murah hati, mungkin kami dapat menyelamatkan diri kami.” 30

Menghadapi hal tersebut, Indonesia melaksanakan perannya sebagai seorang mediator, melakukan diplomasi secara intensif untuk menjembatani kedua negara. Peran mediator merupakan sebuah peran yang datang secara otomatis pada Indonesia dengan posisinya yang berpegang pada prinsip bebas aktif sekaligus sebagai salah satu pendiri ASEAN, terutama setelah transisinya menuju sebuah pemerintahan yang demokratis. Dalam menjalankan perannya, Indonesia telah berhasil mempertemukan dan memfasilitasi pertemuan di antara Myanmar dan Bangladesh lewat jasa utusan khusus, yang akhirnya dilaksanakan dengan dikirimkannya salah seorang anggota dewan Myanmar ke Dhaka untuk membahas

(14)

isu Rohingya tersebut.31 Kesuksesan mediasi ini tidak terlepas dari sifat Indonesia

yang hati-hati, sesuai dengan salah satu prinsip yang dipegang oleh ASEAN yaitu non-intervensi. Hal tersebut diekspresikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dalam pernyataannya bahwa:

“Saya melaksanakan diplomasi kami secara hati-hati agar tidak mengakibatkan ketidakseimbangan, karena konflik Rohingya sendiri merupakan isu yang sangat sensitif dan terkait dengan kedaulatan suatu negara. Kedaulatan suatu negara merupakan sesuatu yang sangat

penting.”32

Pernyataan dari Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memperlihatkan bahwa meskipun bertindak sebagai pihak ketiga berbentuk negara yang cenderung memiliki power yang lebih banyak dibanding pihak ketiga non-negara, karakter dari Indonesia dan juga ASEAN membuat pelaksanaan diplomasi Indonesia pada peran mediator semata. Hal ini membuat Indonesia masuk ke dalam kategorisasi

powerless third party meski merupakan negara yang cenderung masuk ke dalam kategori powerful third party atau third party with muscle. Tim penulis kategorisasi Indonesia menjadi powerless third party bukan dikarenakan ketiadaan

power, namun dikarenakan pendekatan constructive engagement yang diadopsi oleh Indonesia.

Meski tidak menggunakan hard power seperti umumnya pihak-pihak ketiga berbentuk negara dalam konflik, Indonesia tetap menggunakan power, kendati dalam bentuk yang berbeda yaitu soft power yang bersifat integrative. Pendekatan yang bersifat soft ini dinilai lebih sustainable dan peaceful, seperti yang dilihat dari pembangunan sekolah yang dilakukan oleh Indonesia di Rakhine State. Sejauh ini Indonesia telah membangun enam sekolah di Rakhine State. Sekolah-sekolah tersebut terbuka baik bagi komunitas Muslim maupun komunitas Hindu. Kebijakan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengubah struktur dan

31 Tempo, “Indonesia Offers Constructive Input to OIC,” Tempo.Co (diakses pada 22 April 2017), https://en.tempo.co/read/news/2017/01/20/055837916/Indonesia-Offers-Constructive-Inputs-to-OIC

32 Matiur Rahman, “Indonesia offers ‘bridge building’ to solve Rohingya crisis,” Prothom Alo English (diakses pada 22 April 2017),

(15)

membangun rasa toleransi dari level grassroot demi tercapainya suatu penyelesaian konflik yang bersifat lebih jangka panjang dan damai.33

(16)

BAB 4 PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan smart power dalam diplomasi yang dilaksanakan oleh Indonesia terkait dengan isu Rohingya. Berdasarkan konsep soft power yang diungkapkan oleh Nye, diketahui bahwa kombinasi dari praktik hard dan soft power dalam diplomasi yang dilaksanakan Indonesia terhadap Myanmar menjadi kunci bagi keberhasilan hubungan bilateral yang terjadi di antara kedua pihak, secara khusus untuk memperoleh kepercayaan Myanmar yang membuka diri terhadap Indonesia perihal upaya untuk menyelesaikan permasalahan pengungsi Rohingya di Rakhine State.

Selain dari itu, jenis power yang digunakan oleh Indonesia pada umumnya sesuai dengan konsep perluasan power yang dibawa oleh Barnett dan Duvall, yaitu jenis power yang dampaknya semakin diffused dan berasal dari relasi sosial. Hal ini tidak terlepas dari konteks wilayah regional dimana Indonesia berada, yaitu Asia Tenggara, yang menganut nilai-nilai yang berbeda dengan nilai-nilai yang ada di Barat sehingga menghasilkan rezim yang berbeda pula. Rezim yang membentuk hubungan relasi Indonesia merupakan rezim yang berasas pada nilai non-intervensi dan konsensus. Dengan kedua nilai tersebut sebagai basis dari ASEAN, penggunaan hard power selayaknya bentuk power konvensional dalam kajian HI bukanlah pilihan kebijakan yang feasible untuk mendapatkan hasil yang baik di wilayah ASEAN.

Alih-alih menggunakan mekanisme paksaan, kebijakan yang diambil oleh ASEAN cenderung menggunakan pendekatan constructive engagement, yaitu dengan metode persuasi yang lebih peaceful dan bertujuan untuk mengubah struktur untuk jangka waktu yang panjang. Keberhasilan penggunaan metode

(17)

Asia Pasifik lainnya, justru keberhasilan didapat menggunakan pendekatan yang konstruktif. Pendekatan konstruktif inilah yang sampai saat ini tetap digunakan Indonesia dalam mengatasi permasalahan Rohingya. Indonesia sadar bahwa hal ini terkait erat dengan kedaulatan suatu negara dan harus ditangani dengan hati-hati tanpa terlalu menekan pihak manapun.

Keberhasilan dapat dilihat dari bagaimana kepercayaan Myanmar berhasil didapatkan Indonesia beserta bagaimana Myanmar akhirnya mengirimkan utusan untuk membuka komunikasi dengan Bangladesh berkat diplomasi intensif yang dijalankan Indonesia. Akan tetapi, meski sekilas tim penulis tampak condong pada peran soft power dalam keberhasilan diplomasi Indonesia yang telah dipaparkan di atas, sesungguhnya keberhasilan tersebut tidak lepas pula dari peran hard power.

Hard power tidak sebatas pada jenis-jenis power yang bersifat koersif, namun juga digunakan untuk mendefinisikan power yang bersifat materiil seperti sumber daya ekonomi dan militer yang dimiliki suatu negara. Secara tidak langsung, diplomasi Indonesia juga didukung oleh unsur-unsur hard power ini, seperti bantuan dana yang akhirnya digunakan untuk membangun sekolah-sekolah di Rakhine State beserta pesawat yang digunakan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi untuk melakukan diplomasi intensif.

Pada akhir dari paper ini, penulis sampai pada kesimpulan bahwa Indonesia menerapkan smart power dalam diplomasinya. Alasan di balik kesimpulan ini tidak diakibatkan dominannya penerapan soft power dibandingkan

(18)

4.2. Saran

Hasil dari pembahasan kami menunjukkan bahwa konsep power yang semata berupa hard power sudah tidak cukup untuk menjelaskan realita dalam hubungan internasional kontemporer. Hasil ini semakin kentara di dalam konteks kajian yang kami pilih, yaitu diplomasi Indonesia terkait masalah kemanusiaan Rohingya. Sebagai salah satu dari negara penggagas ASEAN yang sarat dengan

ASEAN Way, cara berdiplomasi Indonesia didasarkan pada prinsip constructive engagement yang cenderung soft. Untuk pengembangan penelitian, kajian ini dapat dirumuskan ke dalam bentuk perencanaan kebijakan luar negeri bagi negara-negara di Asia Tenggara yang sesuai dengan upaya penyelesaian konflik dengan asas anti-intervensi di ASEAN. Kombinasi hard dan soft power yakni

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Albert, Eleanor. “The Rohingya Migrant Crisis,” Council on Foreign Relations. Diakses pada 18 April 2017), http://www.cfr.org/burmamyanmar/rohingya-migrant-crisis/p36651

Almuttaqi, Ibrahim. “Seizing the opportunity to lift Jakarta-Naypyitaw relations,”

The Jakarta PostFair Observer. Diakses pada 18 April 2017,

http://www.thejakartapost.com/news/2016/03/31/seizing-opportunity-lift-jakarta-naypyitaw-relations.html

Barnett, Michael, dan Raymond Duvall. “Power in International Politics,”

International Organization , Vol. 59, No. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 2005): 39-75.

BBC. “Overview of Burma Sanctions,” BBC News. Diakses pada 22 April 2017, http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/8195956.stm

Chowdhury, Kamran Reza. “We are nobody,” Radio Free Asia. Diakses pada 22 April 2017,

http://www.rfa.org/english/news/myanmar/bangladesh-indonesia-12202016140626.html

Ernest J. Wilson. “Hard Power, Soft Power, Smart Power,” The Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 616 (2008): 110-124.

Hongwei, Fan. “ASEAN’s ‘Constructive Engagement’ Policy toward Myanmar,”

China International Studies. China: China Academic Journal Electronic Publishing House, 2012: 54-70.

Joseph S. Nye, Jr. “Get Smart: Combining Hard and Soft Power,” Foreign Affairs,

Vol. 88, No. 4 (2009): 160-163.

Kay Thi, Myint. “UNICEF calls for better healthcare services in Rakhine,”

Myanmar Time. Diakses pada 22 April 2017,

http://www.mmtimes.com/index.php/national-news/25679-unicef-calls-for-better-healthcare-services-in-rakhine.html

Kementerian Luar Negeri RI. “Kunjungan Ke Pemerintah Daerah Rakhine State dan Rumah Sakit Mrauk Bway Oleh Delegasi KBRI Yangon,” Portal Berita Kementerian Luar Negeri RI. Diakses pada 22 April 2017,

http://www.kemlu.go.id/yangon/id/berita-agenda/berita-perwakilan/Pages/Kunjungan-Rumah-Sakit-di-Rakhine-State.aspx

Lang, Jarno. “Indonesia-Myanmar Relations: Promoting Democracy in South-East Asia.” Fair Observer. Diakses pada 18 April 2017),

https://www.fairobserver.com/region/asia_pacific/indonesia-myanmar-relations-promoting-democracy-south-east-asia/

Maulana, Victor. “Indonesia Laboratorium bagi Myanmar Belajar Demokrasi dan Pluralisme,” SINDO News. Diakses pada 22 April 2017),

https://international.sindonews.com/read/1174200/40/indonesia- laboratorium-bagi-myanmar-belajar-demokrasi-dan-pluralisme-1485350156

Palaver, Matteo. Power and Its Forms: Hard, Soft, Smart. Department of

(20)

Rahman, Matiur. “Indonesia offers ‘bridge building’ to solve Rohingya crisis,”

Prothom Alo English. Diakses pada 22 April 2017, http://en.prothom- alo.com/bangladesh/news/134881/Indonesia-offers-%E2%80%98bridge-building%E2%80%99-to-resolve

Rasbotham, Oliver. “Introduction to Conflict Resolution: Concepts and Definition,” Contemporary Conflict Resolution, 3rd Ed. United States: Wiley, 2015.

Rasyid, Barrister Harun Ur. “Why are Rohingyas being refused entry to Bangladesh?” Thed Daily Star. Diakses pada 22 April 2017, http://www.thedailystar.net/news-detail-238943

Romadoni, Ahmad. “Jurus Diplomasi Indonesia agar Didengar Myanmar Terkait Rohingya,” Liputan6. Diakses 22 April 2017,

http://news.liputan6.com/read/2851563/jurus-diplomasi-indonesia-agar-didengar-myanmar-terkait-rohingya

Shin, Aung. “Special schools to build in Rakhine with Indonesia’s fund,”

Myanmar Times. Diakses pada 22 April 2017,

http://www.mmtimes.com/index.php/national-news/6862-special-schools-to-build-in-rakhine-with-indonesia-s-fund.html

Tempo. “Indonesia Offers Constructive Input to OIC,” Tempo.Co. Diakses pada 22 April 2017,

https://en.tempo.co/read/news/2017/01/20/055837916/Indonesia-Offers-Constructive-Inputs-to-OIC

Tickell, Oliver. “Burma’s race laws, expulsions, driving Rohingya refugees,” The Ecologist. Diakses pada 18 April 2017,

http://www.theecologist.org/News/news_round_up/2888577/burmas_race_l aws_expulsions_driving_rohingya_refugees.html

Tuwo, Andreas Gerry. “Melihat Peran Indonesia dalam Transformasi Demokrasi Myanmar,” Liputan6. Diakses pada 22 April 2017,

http://global.liputan6.com/read/2776517/melihat-peranan-indonesia-dalam-transformasi-demokrasi-myanmar

Wisnu, Dinna. “Opsi Pendekatan Isu Rohingya,” SINDO News. Diakses 22 April 2017, https://nasional.sindonews.com/read/1162768/18/opsi-pendekatan-isu-rohingya-1481683235

Referensi

Dokumen terkait

Persepsi wisata terhadap ketepatan jam kunjung di Taman Pintar, sebagian besar menilai positif dengan penilaian tepat waktu (87 persen) dan sangat tepat waktu

,;ekurang-kurangnyn setara dengan pengalaman. 5.3.:1 Kw-:,us alau pengalamun, pengetahtlan dan/atall kepakaran yang dlmakl!Udkan telah diikutilelipt>rolehi daJam rna

Halaman menu utama merupakan halaman inti dari game yang dilengkapi dengan 6 navigasi tombol yaitu: tombol materi, tombol kuis teks, tombol peta Indonesia,

Perubahan tutupan/penggunaan lahan periode 2004-2012 menunjukkan adanya trend peningkatan dan penurunan luasan. Peningkatan luasan terjadi pada beberapa jenis

Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh hasil pengkategorian, akses pangan Sumatera Utara selama enam tahun yakni mulai tahun 2005 sampai 2010 berada pada kategori baik

saat menghadapi suatu masalah, sedangkan siswa dengan gaya kognitif. reflektif akan menggunakan lebih banyak waktu untuk merespon

Menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, pendapat yang mengatakan bahwa kelahiran perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam timbul dan apa yang termaktub dalam

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi Sistem Informasi S-1 pada Fakultas Teknik Program Studi Sistem Informasi