• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR EMOSI DALAM PERILAKU KONSUMEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FAKTOR EMOSI DALAM PERILAKU KONSUMEN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR EMOSI DALAM PERILAKU KONSUMEN

Oleh : Darsono

Abstrak

Tulisan ini membahas dari aspek rasional dan emosional bagi pemasaran. Pertama, tiga factor utama lingkungan toko (factor social, desain, dan ambient) harus dikelola sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan mood positif bagi konsumen. Sherman, et al,. (1997) menemukan bahwa factor social dan desain dari lingkungan toko berpengaruh positif terhadap kesenangan (pleasure),

sedangkan factor ambience berpengaruh positif terhadap arousal. Kedua, pemasar harus menerapkan pendekatan iklan yang berbeda untuk kategori individu yang berlainan. Pendekatan soft – sell (image-oriented) cocok diimplementasikan untuk menarik minat high self-monitoring individuals yang sangat mempedulikan “being the right person in the right place at the right

time’’ (Synder dan Debono, 1985) Ketiga, pemasar dapat bahwa menawarkan nilai social dan emosional tertentu melalui prestige pricing; ketersediaan yang terbatas; komunikasi pemasaran yang berbasis citra social dan berfokus pada asosiasi dengan orang, obyek atau simbol tertentu ; dan penawaran eksklusif yang baru (Sheth, et al., 1999). Keempat, pemasar juga dapat membentuk kelompok konsumen eksklusif yang mengelola berbagai aktivitas khusus. Dalam kasus hedonic consumption, konsumen cenderung akan lebih terlibat dan berpatisipasi aktif dalam aktivitas-aktivitas khusus, karena event semacam itu dapat menawarkan kepuasan emosional kepada mereka.

PENDAHULUAN

Orientasi pelanggan merupakan faktor kunci keberhasilan dalam dunia pemasaran modern. Istilah ini telah menjadi semacam ‘mantra ajaib’ dalam sebagian besar buku-buku teks laris bidang pemasaran dan perilaku konsumen. Setiap organisasi, baik yang berorientasi pada laba maupun yang nirlaba, wajib menggunakan sudut pandang konsumen dalam merencanakan dan mengorganisasi aktivitas-aktivitas pemasarannya.

(2)

Tulisan ini berusaha mengupas berbagai kelemahan paradigma pemrosesan informasi, kemudian membahas peranan faktor emosi dalam perilaku konsumen, dan akhirnya mendiskusikan implikasinya bagi strategi pemasaran.

PARADIGMA PEMROSESAN INFORMASI

Secara teoritis, setiap kali seseorang membeli barang/jasa, ia berharap barang/jasa tersebut akan memberikan utilitas atau kegunaan maksimal. Dengan kata lain, setiap konsumen adalah rational economic man yang memiliki alasan rasional dan membuat pilihan rasional dalam pembelian produk. Pandangan ini merupakan asumsi dasar paradigma pemrrosesan informasi (information processing paradigm)terhadap perilaku konsumen.

Studi perilaku konsumen dalam teori ini berfokus pada mekanisme pemrosesan informasi, yaitu cara konsumen mengumpulkan, memproses , menyimpan, memanggil kembali, dan menggunakan informasi dalam proses pembuatan keputusan (Marsden dan Littler, 1998). Pada umumnya proses pembuatan keputusan pembelian yang lengkap dan paling kompleks terdiri atas lima tahap identifikasi kebutuhan, pencarian informasi, pengevaluasian informasi keputusan pembelian dan perilaku purnabeli (Hawkins, et al. 1992; Kotler,et al., 1998; Sheth, et al., 1999).

Proses pembelian dimulai dengan identifikasi kebutuhan atau masalah, dimana konsumen merasakan adanya perbedaan antara kondisi aktual dan kondisi yang diinginkan. Hal ini terjadi karena stimulus internal (seperti rasa lapar dan haus) atau stimulus ekternal (iklan, pajangan, produk dan lain-lain).

Bila kebutuhan telah teridentifikasi (baik dalam wujud kebutuhan fungsional, sosial, emosional, epistemik, maupun situasional; lihat Sheth,et al., 1999), konsumen kemudian mencari informasi mengenai berbagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ia dapat saja mengandalkan pengalaman dan pengetahuan terdahulu atau mungkin pula mencari informasi dari sumber pribadi, sumber komersial, sumber publik dan sumber pengalaman (Kotler, et al., 1998). Tidak semua merek akan dipertimbangkan oleh konsumen. Sheth, et al. (1999) menegaskan bahwa konsumen hanya mempertimbangkan serangkaian merek yang terdiri atas awareness set (semua merek yang disadari/dikenal),

evoked set (merek-merek yang diingat), dan consideration set (merek-merek yang dipertimbangkan)

(3)

membuat pilihan dengan jalan mengevaluasi semua atribut produk dan melakukan trade off di antara atribut-atribut yang lemah dengan yang kuat. Di lain pihak, pendekatan non-kompensatoris terdiri atas: penetapan batas minimum (cut-off) untuk semua atribut (the conjunctive rule), penetapan batas minimum untuk atribut-atribut paling penting (the disjunctive rule), pemilihan alternatif terbaik dalam hal ranking derajat kepentingan (the lexicographic rule) ,dan kombinasi antara ranking derajat kepentingan dan nilai batas minimum (elimination by aspects model).

Biasanya konsumen akan membeli merek yang paling disukainya, namun tindakan pembelian tidak selau sama dengan yang direncanakan. Ada dua

intervening factors yang berpengaruh yaitu sikap orang lain yang dianggap penting dan faktor situasional yang tidak terduga (Lilien ,et al ., 1992; Kotler, et al,. 1998)

Proses keputusan konsumen tidak berakhir dengan tindakan pembelian. Setelah menggunakan atau mengkonsumsi produk, konsumen akan merasakan tingkat kepuasan atau ketidak puasan tertentu. Kepuasan konsumen tergatung pada perbandingan atara harapan konsumen dan kinerja produk yang dipersepsikan konsumen (Oliver, 1997). Bila kinerja sama dengan harapan, konsumen akan puas; bila kinerja melebihi harapan, konsumen akan merasa senang/bahagia; namun bila kinerja lebih rendah daripada harapan, maka konsumen akan merasa tidak puas. Reaksi konsumen terhadap kepuasan/ketidakpuasan tersebut dapat dalam tiga bentuk: exit, voice (compalining) danloyalty(Sheth, et al,. 1999).

Berdasarkan model lima tahap tersebut, Hawkins, et al. (1992) mengembangkan tiga tipe pengambilan keputusan konsumen: extended, limited,

dan habitual decision making. Tipe extended decisison making dan limited decision making mencakup kelima tahap yang ada. Namun, ada perbedaan di antara keduanya. Situasi extended decision making dihadapi bila pembelian dilakukan untuk pertama kalinya; jarang dilakukan (karena harga yang mahal atau daya tahan produk); atau situasi pembelian dengan resiko yang besar atas pilihan yang keliru. Dalam situasi seperti ini, konsumen akan mencari informasi eksternal secara ekstensif dan mengevaluasi setiap alternatif secara cermat. Di lain pihak, konnsumen relatif hanya melakukan sedikit usaha dan mencurahkan sedikit waktu untuk mencari informasi baru dan mengevaluasi alternatif dalam

(4)

Dalam pada itu, Lilien, et al. (1992) mengajukan beberapa model kuantitatif yang bermanfaat untuk memahami perilaku konsumen dalam setiap tahap secara lebih mendalam. Pertama, mereka mengusulkan penggunaan model sokastik purchase dan discrete choice models dalam tahap identifikasi kebutuhan. Kedua, mereka merekomendasikan penerapan individual awareness models, consideration models, dan information integration models dalam tahap pencarian informasi. Ketiga, mereka menawarkan implementasi perceptual mapping dan attitude models dalam tahap evaluasi. Keempat, mereka menyarankan pemakaian multinomial discrete choice models dan Markov models dalam tahap pembelian. Terakhir, mereka mengusulkan penerapan

variety seeking models, satisfaction models, dan communication and network modelsdalam tahap purnabeli.

KRITIK TERHADAP PARADIGMA PEMROSESAN INFORMASI

Menurut Marsden dan Littler (1998), ada lima perspektif perilaku konsumen kontemporer: kognitif (pemrosesan informasi, grand utopian, hierachy of effect), behavioral (behavior modification/learning, radical behaviorism), sifat ( psikografis, gaya pembuatan keputusan), interpretif (humanistik,

phenomenological), dan postmodern (post-structuralism, deconstructionism). Meskipun paradigma pemrosesan informasi sebagai bagian dari perspektif kognitif hingga kini masih mendominasi studi perilaku konsumen (Oliver, 1997; Marsden dan nLittler, 1998), pendekatan tersebut tidak lepas dari berbagai kritik.

Kritik utama terhadap perspektif kognitif adalah menyangkut asumsi dasarnya. Perspektif kognitif, behavioral, dan sifat diposisikan sebagai perspektif tradisional yang memiliki sembilan asumsi dasar berupa :

determinism, environmentalism, reactive, unchangeability, homeostatis rationality,objectivity, elementalism dan knowable (Marsden dan Litler, 1998). Sebaliknya ,perspektif interpretif dan postmodern diklasifikasikan sebagai perspektif baru yang memiliki sembilan asumsi dasar yang berbeda yaitu :

Freedom, constitutionalism, proactive, changeability, heterostatis, irrationality ,subjectivity, holism, dan unknowable(Marsden dan Littler, 1998).

(5)

ini tidak dapat menjelaskan kompleksitas, variasi, kedalaman, dan dinamika pengalaman konsumen.

Kritik lainnya berkaitan dengan pandangan bahwa konsumen merupakan pengambilan keputusan yang kompleks dan rasional yang selalu berusaha memaksimumkan utilitas dan melakukan trade off atas berbagai pilihan. Konsumen diasumsikan mengevaluasi berbagai merek/produk atas dasar manfaat atau utilitas fungsional (seperti reliabilitas, daya tahan, harga, kinerja, dan features) dan memilih merek/produk yang memberikan manfaat maksimum. Meskipun ada argumentasi bahwa paradigma pemrosesan informasi juga mencakup aspek- aspek eksperiensial dari konsumsi (Craig-Lees,1995), namun riset Holbrook dan Hirschman (1982) menunjukkan dengan jelas bahwa paradigma tersebut menyentuh hanya sebagian kecil dari aspek-aspek emosi. Emosi seperti kesedihan, malu, cinta dan kebencian tidak dicakup oleh paradigma tersebut.

Psikolog dari UNSW Sydney, Michael Edwardson (1998) berpendapat bahwa emosi telah dengan sengaja dikeluarkan dari persamaaan dalam model pemrosesan informasi karena sulit mengukurnya. Dengan demikian, model pemrosesan informasi terlalu sempit untuk menjelaskan gambaran keseluruhan mengenai pengalaman konsumsi, terutam aspek 3F: Fantasies, Feelings, dan

Fun (Hiirshman dan Holbrook, 1982). Selain itu kesulitan dalam pengukuran emosi tidak lantas berarti tidak mungkin mengukurnya, Beberapa peneliti seperti Richins (1997) dan Edwardson (1998) mengajukan metode-metode praktis untuk mengukur emosi konsumen.

Kritik berikutnya menyangkut pertanyaan “mungkinkah” konsumen membuat keputusan pembelian yang bersifat emosional dan tidak sepenuhnya rasional?” Berdasarkan asumsi paradigma pemrosesan informasi, situasi semacam itu tidak dimungkinkan namun dalam praktek dapat saja situasi semacam itu terjadi.

Salah satu contohnya mencakup dua perilaku yang berbeda namun berkaitan, yaitu compulsive buying dan compulsive consumption. Sheth, et al. (1999) mendefinisikan compulsive buying sebagai” suatu tendensi kronis untuk membeli produk secara berlebihan dan melampaui kebutuhan dan sumber daya seseorang”. Seorang compulsive buyer cenderung senang (bahkan keranjingan) berbelanja, selalu membeli item-item yang mungkin dia sendiri tidak pernah memakainya (terutama barang-barang yang sedang diobral), dan bahkan membeli produk yang sesungguhnya di luar batas kemampuan finansialnya.

(6)

dapat merugikan dirinya sendiri dan atau ornag lain” (O’Guinn dan Faber, 1989). Beberapa contoh perilaku semacam ini meliputi kecanduan minuman keras, compulsive gambling, penyalah gunaan obat-obatan, compulsive sexuality, eating disorders, compulsive exercising, dan compulsive smoking.

Lebih lanjut, hedonic consumption (seperti pengalaman naik

roller-coaster, bungry-jumping, skydiving, rock, climbing, membeli lukisan, nonton pertandingan sepak bola, atau nonton konser heavy metal) juga merupakan contoh lain keputusan pembelian yang lebih bersifat emosional. Aspek fundamental dari nilai konsumsi semacam ini adalah “pure enjoyment ,excitement, captivation, escapism, and spontaneity” (Babin, et al., 1994). Manfaat ekspresif (expressive benefits) berkaitan dengan produk yang dikonsumsi bersifat non-fungsional dan tidak sepenuhnya rasional (sekalipun dapat menjadi pertimbangan rasional berdasarkan pengalaman emosional sebelumnya)

Selain itu karena pembelian impulsif lebih disebabkan oleh kebutuhan untuk membeli daripada kebutuhan akan produk (Rook,1987, dikutip dalam Babin et al., 1994), sebagian besar pembelian impulsif merupakan perilaku emosional. Perilaku seperti ini umumnya memiliki karakter istik spesifik: (1) hasrat spontan untuk bertindak yang menyimpang dari pola perilaku sebelumnya; (2) psychological disequiblibrium yang menyebabkan konsumen merasa diluar kendali untuk sementara waktu; (3) konflik psikologis antara mendapatkan kepuasan saat ini dan menghindari dorongan yang keliru atau tidak rasional; (4) adanya penurunan kriteria maksimisasi utilitas dalam evaluasi produk ; dan (5) adanya sikap acuh tak acuh terhadap konsekuensi negatif yang mungkin timbul akibat konsumsi produk (Rook dan Hoch, 1985, dikutip dalam Hirschman, 1992).

Jadi jelaslah bahwa paradigma pemrosesan informasi bukan merupakan model perilaku konsumen yang lengkap. Pada kenyataanya, setiap perspektif perilaku konsumen memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tidak ada satupun model tunggal yang terbaik. Paradigma pemrosesan informasi tetap berguna, karena mampu menjelaskan berbagai aspek perilaku konsumen. Namun, integrasi berbagai perspektif akan memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai keseluruhan pengalaman konsumen.

PERANAN FAKTOR EMOSI

Emosi dapat diartikan sebagai “consciousness of the occurrence of some physiological arousal followed by a behavioral response along with appraised

(7)

yakni antecedent, appraisal,feeling action tendency, action dan goal (Roseman, Wiest, dan Swartz, 1994, dikutip dalam Edwardson, 1998).

Plutchik (dalam Sheth, et al., 1999) mengidentifikasi delapan emosi primer yang masing-masing di antaranya dapat bervariasi intensitasnya: fear, anger, joy, sadness, acceptance, disgust, anticipation, dan surprise. Kombinasi dari emosi primer tersebut menghasilkan beberapa emosi lainnya, misalnya

aggressiveness (antara anger dan anticipation), optimism (anticipation dan joy), love (joy dan acceptance), submission (acceptance dan fear), awe (fear dan surprise), disappointment (surprise dan sadness), remorse (sadness dan disgust), da contempt (disgust dan anger).

Istilah emosi, affect, dan mood sering digunakan secara silih berganti. Meskipun demikian ,menurut Oliver (1997), ketiganya dapat dibedakan . Ia menyatakan bahwa affect mengacu pada “the feeling side of consiciousness,, as apposed to thinking, which taps the cognitive domain”, sedangkan emosi mencakup “ arousal ,various forms of affect, and cognitive interpretations of

affect that may be given a single description”. Sementara itu, mood lebih merupakan “a temporary state of pleasant disposition, although it, too,has its many variations such as irritability or grouchiness” (Gardner, 1985, dikutip dalam Oliver, 1997).

Forgas (dalam Ferrari, 1997) menyatakan bahwa dalam batas tertentu ,mood mempengaruhi apa yang dipelajari dan dihafalkan orang, dan cara mereka menangani informasi. Ia juga berargumen bahwa semakin lama kita memikirkan sesuatu masalah, semakin mungkin kita membuat kesimpulan yang cenderung emosional. Oleh sebab itu, studi mengenai peranan emosi kini semakin penting guna memahami perilaku konsumen, khususnya pengalaman konsumsi.

Emosi dan mood states memainkan peranan penting dalam proses pengambilan keputusan konsumen, mulai dari identifikasi masalah sampai perilaku purnabeli. Umumnya, setiap produk tangible dan intangible memiliki ‘makna simbolis’ (Belk,1988; Levy dalam Holbrook dan Hirschman, 1982). Peranan simbolis sangat penting dan dominan dalam berbagai kasus, terutama dalam hedonic consumption. Hirschman dan Holbrook (1982) mendefinisikan hedonic consumption sebagai “those facets of consumer behavior that relate to

the multisensory, fantasy and emotive aspects of one’s experience with products’’.Terdapat empat tipe hedonic consumption (Sheth, et al,. 1999), yaitu sensory pleasure (mengunjungi art gallery, membaca puisi, membeli lukisan),

(8)

Konsumen membeli dan mengkonsumsi produk bukan sekedar karena nilai fungsionalnya, namun juga karena nilai sosial dan emosionalnya. Nilai social dan emosional tersebut mencakup sensory enjoyment, attainment of desired mood states, achievement of social goals, dan self concept fulfillment

(Sheth, et al,. 1999). Dengan kata lain, pembelian dilakukan atas dasar kemampuan produk untuk menstimulasi dan memuaskan emosi. Baik emosi positif (seperti meningkatnya rasa percaya diri karena memakai jas ekslusif dan parfum terkenal) maupun emosi negative (seperti rasa takut saat nonton film horror atau naik roller-coaster) dapat menjadi pengalaman yang menyenangkan.

Sejumlah riset menunjukkan bahwa emosi memainkan peranan signifikan dalam pengumpulan informasi, evaluasi dan seleksi produk, Batra dan Ray (1986, dikutip dalam Craig – Less, et al,. 1995), misalnya menemukan bahwa mood positif berpengaruh positif pada product recall dan sikap terhadap produk dan iklan, sementara mood negative memiliki pengaruh sebaliknya. Jadi individu yang sedang dalam mood positif lebih gampang menerima stimulus pemasaran seperti iklan dan wiraniaga daripada mereka yang sedang dalam mood negative. Riset lainnya oleh Hirschman dan Holbrook (1992) menunjukkan bahwa enosi mempengaruhi seleksi produk, khususnya bila produk yang dibeli itu merupakan symbol ekspresif, misalnya sebagai hadiah kepada kekasih atau untuk memperingati peristiwa penting dalam hidup (ulang tahun, pertunangan, pernikahan kelahiran dan lain-lain)

Lebih lanjut O’ Guinn and faber (1989) menekankan pentingnya emosi seperti “arousal, exicitation, enhanced perceptions of sights, sounds and tactile sensations, and feelings of power and being liked” selama berbelanja guna mendorong pembelian. Seperti halnya emosi, mood konsumen juga penting dalam pengambilan keputusan, karena berpengaruh pada kapan dan dimana konsumen berbelanja, apa mereka berbelanja sendiri ataukah bersama orang lain, dan bagaimana mereka merespon suasana belanja actual (Schiffman, et al,. 1997). Atas dasar pentingnya factor emosi, Holbroook, O’Shaughnessy dan Belll (1990, dikutip dalam Craig Less,1995), mengembangkan model pengambilan keputusan yang memasukkkan pula factor emosi.

(9)

produk berdasarkan atribut-atribut kunci dalam penilaian kepuasan mereka (Swan dan Bowers,1998).

Dengan demikian, faktor emosional tidak boleh diabaikan dalam analisis perilaku konsumen. Pemahaman mengenai sisi rasional dan emosional konsumen dapat memberikan manfaat berupa gambaran yang lebih utuh mengenai perilaku konsumen secara keseluruhan.

IMPLIKASI PADA STRATEGI PEMASARAN

Ada banyak implikasi dari aspek rasional dan emosional konsumen bagi strategi pemasaran. Tulisan ini hanya akan membahas beberapa diantaranya . Pertama, tiga factor utama lingkungan toko (factor social, desain, dan ambient) harus dikelola sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan mood positif bagi konsumen. Sherman, et al,. (1997) menemukan bahwa factor social dan desain dari lingkungan toko berpengaruh positif terhadap kesenangan (pleasure),

sedangkan factorambience berpengaruh positif terhadap arousal. Riset tersebut juga menemukan bahwa pleasure berpengaruh positif terhadap uang yang dibelanjakan dan preferensi terhadap toko, dan arousalberpengaruh positif pada uang yang dibelanjakan di toko, waktu yang dicurahkan di toko, dan jumlah item yang dibeli di toko tersebut.

Karena factor social ditentukan oleh interaksi antar orang yang hadir di toko, para pemasar harus memberdayakan dan melatih setiap stafnya, terutama wiraniaga dan staf layanan pelanggan, agar dapat memahami dan menanganai berbagai respon emosional pelanggan (Edwardson, 1998). Staf yang terlatih baik cenderung memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk menjalin hubungan yang positif, hangat dan akrab dengan para pelangggan. Hal ini pada gilirannya akan berkontribusi pada terciptanya pengalaman konsumen yang menyenangkan.

Para pemasar juga harus mempertimbangkan dengan cermat unsur -unsur visual atau factor desain (seperti layout, warna, kebersihan, dan ruang/space) dalam suasana toko. Banyak cara yang dapat diterapkan untuk membuat konsumen merasa nyaman dan senang pada saat pembelian (at the point of purchase), misalnya, merancang layout yang menarik dan cukup luas, menggunakan warna-warna terang, menggunakan pewangi ruangan atau mengggunakan alunan musik yang tenang (Holbrook dan Gardner, 19993, dikutip dalam Sherman, et al., 1997).

(10)

sangat mempedulikan “being the right person in the right place at the right time’’ (Synder dan Debono, 1985) Contohnya, iklan rokok lucky strike menekankan citra ”an American” dan ”original”, parfum Axe (macho dan atraktif), Pepsi (generation next), dan Swatch (generasi anak muda).

Dilain pihak pendekatan hard-sell (product-quality-orieneted) sesuai digunakan untuk menarik minat low self-monitoring individuals yang menekankan aspek keselarasan perilaku mereka dalam konteks social dan sikap, nilai, serta watak mereka (Snyder dan DeBono, 1985). Sebagai contoh ,iklan Burger King dan Kentucky Fried Chicken menekankan aspek rasa yang enak dan kualitas makanan mereka.

Ketiga, pemasar dapat bahwa menawarkan nilai social dan emosional tertentu melalui prestige pricing; ketersediaan yang terbatas; komunikasi pemasaran yang berbasis citra social dan berfokus pada asosiasi dengan orang, obyek atau simbol tertentu ;dan penawaran eksklusif yang baru (Sheth, et al., 1999). Mobil eksklusif dengan harga selangit seperti Rolls Royce dan Lamborghini, serta lukisan orisinal dan langka karya pelukis terkenal seperti Van Gogh memberikan prestige sosial kepada para pemilikinya. Contoh menarik lainnya adalah taktik para pemasar yang menjual produk-produk hadiah Hari Valentine (seperti bunga dan berlian) sebagai symbol kasih sayang.

Keempat, pemasar juga dapat membentuk kelompok konsumen eksklusif (seperti Harley Owner Group) yang mengelola berbagai aktivitas khusus. Dalam kasus hedonic consumption, konsumen cenderung akan lebih terlibat dan berpatisipasi aktif dalam aktivitas-aktivitas khusus, karena event semacam itu dapat menawarkan kepuasan emosional kepada mereka.

REFERENSI

Fandy Tjiptono, (2000), “ Perspektif Manajemen & Pemasaran Kontemporer”, Penerbit Andi Yogyakarta.

Marsden, D. dan Littler, D. (1998), “Positioning Alternative Perspectives of Consummer Behaviour”,Journal of Marketing Mangement, 14,h. 3-28.

Oliver ,R.L (1997), Satisfaction: A Behavioral Perspective on the Consumer. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.

(11)

Sheth ,J.N., et al. (1991), Consumption Values and Market Choices: Theory & Application. Cincinnati: South –Western Publishing Co.

Sheth ,J.N., Mittal, B. dan Newman, B.I. (1999),Customer Behavior: Consumer Behaviorand Beyond. Fort Worth: The Dryden Press.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Apabila suatu kata memiliki makna yang hampir sama (mirip) dengan satu atau lebih kata yang lain, maka dapat dikatakan bahwa kata-kata tersebut memiliki hubungan atau relasi

Layanan Konseling Kecakapan Wdup (Life Skiffs) bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Pengertian Konseling Kecakapsn Hidup

- Apa karir yang anda pilih dan rencanakan berkaitan dengan pengalaman belajar anda tentang warisan genetik dan pendapat orang lain tentang karir tersebut?.. Hal yang akan

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecurangan adalah suatu tindakan yang sengaja dilakukan oleh satu atau lebih individual dari suatu manajemen yang terdiri

Baterai bagi para pengguna Android menjadi begitu penting, sebab saat menggunakan Android power yang digunakan terbilang boros, apa lagi kalau sering digunakan untuk

Saya akan dedahkan bagaimana anda juga boleh jadi power menulis copywriting dengan FORMULA 5 LANGKAH dalam ebook RAHSIA COPYWRITING INSTANT SALES di dalam modul ini. Mengapa

[r]