BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Retardasi Mental
2.1.1 Definisi Retardasi Mental
Menurut International Stastistical Classification of Diseases and Related
Health Problem (ICD-10), retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai
oleh adanya keterbatasan (impairment) keterampilan (kecakapan, skills) selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat inteligensia
yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial. Retardasi mental dapat
terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya.
Prevalensi dari gangguan jiwa lainnya sekurang-kurangnya tiga sampai empat
lipat pada populasi ini dibanding dengan populasi umum (Lumbantobing,
2006).
Retardasi mental menurut Diagnostic and Statistical Manual IV-TR (DSM
IV-TR, 2004) adalah gangguan yang ditandai oleh fungsi intelektual disertai
oleh defisit atau hendaya fungsi adaptif sedikitnya dua area kemampuan:
komunikasi, perawatan diri, pemenuhan kebutuhan hidup, kemampuan
sosial/interpersonal, penggunaan sumber komunitas, kemandirian, kemampuan
fungsi akademik, pekerjaan, waktu luang, kesehatan, keamanan dan harus
terjadi sebelum usia 18 tahun. Di samping menggunakan kriteria IQ (kuosien
inteligensi) bahwa perlu diperhatikan kriteria sosialnya, kemampuan
suatu keadaaan dengan ciri-ciri, yaitu disabilitas yang ditandai dengan suatu
limitasi/keterbatasan yang bermakna baik dalam fungsi intelektual maupun
perilaku adaptif yang diekspresikan dalam keterampilan konseptual, sosial dan
praktis. Keadaan ini terjadi sebelum usia 18 tahun (Kusumawardhani, 2013).
American Association on Mental Retardation (AAMR) menggunakan suatu pendekatan multi-dimensional atau biopsikososial yang mencakup 5 dimensi
yaitu: kemampuan intelektual, perilaku adaptif, partisipasi, interaksi, dan peran
sosial, kesehatan fisik dan mental, konteks budaya dan juga lingkungan. Oleh
karena itu, tingkat IQ yang ditetapkan hanya merupakan petunjuk dan
seharusnya tidak ditetapkan secara kaku dalam memandang keabsahan
permasalahan lintas budaya. Derajat retardasi mental dipengaruhi berbagai
faktor seperti misalnya terdapatnya berbagai disabilitas (misalnya
panca-indera), tersedianya sarana pendidikan, sikap dari caregiver dan stimulasi yang diberikan (Kusumawardhani, 2013).
2.1.2 Kriteria Diagnostik Retardasi Mental
Kriteria Diagnostik untuk retardasi mental menurut DSM-IV-TR (2004)
adalah:
1. Fungsi intelektual secara signifikan: IQ lebih kurang 70 atau dibawah
pada seorang individu melakukan tes IQ.
2. Kekurangan yang terjadi bersamaan atau hendaya yang muncul pada
fungsi adapatif (keefektifan seseorang dalam memenuhi standar yang
diharapkan untuk usianya oleh kelompok masyarakat) dalam minimal
kebutuhan hidup, kemampuan sosial/interpersonal, penggunaan sumber
komunitas, kemandirian, kemampuan fungsi akademik, pekerjaan, waktu
luang, kesehatan, keamanan.
3. Terjadi sebelum umur 18 tahun
2.1.3 Klasifikasi Retardasi Mental
Klasifikasi retardasi mental berdasarkan derajat keparahan dan kelemahan
intelektual terbagi dalam lima tingkatan menurut DSM IV-TR (2004), yaitu:
1. Retardasi Mental Ringan
Retardasi Mental ringan ini secara kasar setara dengan kelompok
retardasi yang dapat dididik (educable). Kelompok ini membentuk sebagian besar (sekitar 85%) dari kelompok retardasi mental. Pada usia pra sekolah
(0-5 tahun) mereka dapat mengembangkan kecakapan sosial dan
komunikatif, mempunyai sedikit hendaya dalam bidang sensorimotor, dan
sering tidak dapat dibedakan dari anak yang tanpa retardasi mental, sampai
usia yang lebih lanjut. Pada usia remaja, mereka dapat memperoleh
kecakapan akademik sampai setara kira-kira tingkat enam (kelas 6 SD).
Sewaktu masa dewasa, mereka biasanya dapat menguasai kecakapan sosial
dan vokasional cukup sekedar untuk bisa mandiri, namun mungkin
membutuhkan supervisi, bimbingan dan pertolongan, terutama ketika
mengalami tekanan sosial atau tekanan ekonomi.
2. Retardasi Mental Sedang
Retardasi Mental sedang ini secara kasar setara dengan kelompok
dapat dilatih ini tidak dapat digunakan, karena memberi kesan mereka dari
kelompok ini tidak dapat dididik (educable). Kelompok ini membentuk sekitar 10% dari kelompok retardasi mental. Kebanyakan individu dengan
tingkat retardasi ini memperoleh kecakapan komunikasi selama masa anak
dini. Mereka memperoleh manfaat dari latihan vokasional, dan dengan
pengawasan yang sedang dapat mengurus atau merawat diri sendiri. Mereka
juga memperoleh manfaat dari latihan kecakapan sosial dan okupasional
namun mungkin tidak dapat melampaui pendidikan akademik lebih dari
tingkat dua (kelas dua sekolah dasar). Mereka dapat bepergian di
lingkungan yang sudah dikenal.
Selama remaja, mereka kesulitan dalam mengenal norma-norma
pergaulan lingkungan sehingga mengganggu hubungan persaudaraan. Pada
masa dewasa sebagian besar dapat melakukan kerja yang kasar (unskilled) atau setengah kasar (semi skilled) di bawah pengawasan workshop yang
dilindungi. Mereka dapat menyesuaikan diri pada komunitas lingkungan
dengan pengawasan (supervisi).
3. Retardasi Mental Berat
Kelompok retardasi mental ini membentuk 3-4% dari kelompok retardasi
mental. Selama masa anak, mereka sedikit atau tidak mampu
berkomunikasi. Sewaktu usia sekolah mereka dapat belajar bicara dan dapat
dilatih dalam kecakapan mengurus diri secara sederhana. Mereka
memperoleh jangkauan yang terbatas pada instruksi pelajaran pra-akademik,
menguasai seperti belajar membaca melihat beberapa kata. Sewaktu usia
dewasa mereka dapat melakukan kerja yang sederhana bila diawasi secara
ketat. Kebanyakan dapat menyesuaikan diri pada kehidupan di masyarakat,
bersama keluarganya, jika tidak didapatkan hambatan yang menyertai yang
membutuhkan perawatan khusus.
4. Retardasi Mental Sangat Berat
Kelompok retardasi mental ini membentuk 2% dari kelompok retardasi
mental. Pada sebagian besar individu dengan diagnosis ini dapat
diidentifikasi kelainan neurologik, yang mengakibatkan retardasi mentalnya.
Sewaktu masa anak, mereka menunujukkan gangguan yang berat dalam
bidang sensorimotor. Perkembangan motorik dan mengurus diri dan
kemampuan komunikasi dapat ditingkatkan dengan latihan-latihan yang
adekuat. Beberapa di antaranya dapat melakukan tugas sederhana di tempat
yang disupervisi dan dilindungi.
5. Retardasi Mental Tidak Tergolongkan
Diagnosis untuk retardasi mental tidak tergolongkan, seharusnya
digunakan ketika ada dugaan kuat retardasi mental tetapi seseorang tidak
bisa dites dengan tes inteligensi standar. Hal ini bisa terjadi saat anak-anak,
remaja, atau dewasa ketika mereka mengalami hendaya yang terlalu berat
atau tidak bisa bekerjasama untuk menjalani tes, atau pada bayi, saat ada
keputusan klinik dari gangguan fungsi intelektual secara signifikan, tetapi
umumnya, seseorang yang lebih muda, lebih sukar untuk dikaji adanya
retardasi mental kecuali pada hendaya berat.
2.1.4 Etiologi Retardasi Mental
Beberapa kasus retardasi mental dapat disebabkan oleh masalah biologis
yang teridentifikasi, termasuk cacat genetik dan kromosom, racun yang berasal
dari lingkungan, kekurangan nutrisi pada wanita hamil dan bayi, dan
penyakit-penyakit yang menimpa wanita hamil, bayi dan anak-anak (Leonard & Wen,
Haugaard, 2008).
1. Abnormal kromosom dan gen
a. Sindroma Down adalah penyebab paling umum masalah kromosom pada
retardasi mental. Sindroma Down umumnya terjadi karena kromosom 21
dari ibu gagal terpisah selama proses meiosis (pembelahan sel yang
terjadi selama pembentukan sel reproduksi). Ketika sepasang kromosom
yang tidak terpisah ini bersatu dengan kormosom 21 dari ayah, anak
tersebut menerima tiga salinan koromosom 21 satu (label trisomi 21 juga
digunakan untuk mendeskripsikan Sindroma Down). Kasus langka ketika
Sindroma Down disebabkan oleh translokasi bagian kromosom 21 ke
kromosom 14.
Sindroma Down terjadi sekitar 1,5 dari setiap 1000 kelahiran. Karena
abnormal kromosom berasal dari sel telur ibu dalam empat per lima
kasus, prevalensi Sindroma Down sangat terkait dengan usia ibu.
Perkiraan Sindroma Down terjadi sekitar 1 dari 1000 kelahiran pada ibu
ibu yang berusia diatas 44 tahun. Anak dengan sndroma Down
menunjukkan hendaya khas dalam mengekspresikan bahasa, walaupun
mereka mengerti bahasa.
Kemampuan mereka dalam berbicara pada umumnya terdiri dari
kalimat sederhana dan sering mengalami masalah dalam artikulasi,
sehingga kalimat yang disampaikan sulit untuk dimengerti. Anak
Sindroma Down sering digambarkan sangat bersosialisasi dan lebih
sedikit menunjukkan masalah perilaku dibandingkan anak dengan
penyebab organik bentuk retardasi mental.
b. Sindroma Fragile X adalah penyebab paling umum retardasi mental yang diwariskan. Ditemukan sekitar 1 dari 4000 kelahiran pada laki-laki dan 1
dari 8000 kelahiran pada perempuan. Sindroma Fragile X disebabkan oleh mutasi pada bagian lengan panjang kromosom X. Mutasi ini berada
pada gen yang saat ini disebut Fragile X Mental Retardation Gene
(FMR1).
Perempuan lebih sedikit terkena sindrom ini dibandingkan laki-laki
karena hanya satu kromosom X yang aktif dalam setiap sel. Karena
perempuan mempunyai dua kromosom, sebuah kromosom X dengan
sebuah gen FMR1 normal mungkin menjadi aktif dalam banyak sel yang
juga terdapat sebuah kromosom X dengan sebuah gen FMR1 termutasi,
sehingga sel mereka lebih sedikit rusak. Dibandingkan laki-laki yang
hanya mempunyai satu kromosom X, semua sel dengan kromosom X
Hampir semua laki-laki dengan sindroma Fragile X mengalami
gangguan kognitif dalam rentang sedang sampai berat. Anak dengan
sindroma Fragile X sering berbicara sangat cepat, mengulangnya beberapa kali sehingga sulit untuk dimengerti. Mereka juga menunjukkan
perilaku kecemasan sosial yang tinggi yang disebabkan oleh
kewaspadaan berlebihan (hyperurosal) dari sistem saraf otonom,
menyebabkan reaksi berlebihan pada situasi sosial.
c. Phenylketonuria (PKU) adalah gangguan yang dihasilkan oleh sebuah
mutasi gen Phenylalanine Hydroxylase (PAH), yang ditemukan pada
bagian lengan pendek pada kromosom 12. Prevalensi PKU diperkirakan
1 dari 10.000 kelahiran diantara keturunan Eropa bagian barat dan
prevalensi lebih sedikit pada ras dan suku keturunan lain.
d. Sindrom Williams disebabkan oleh penghapusan gen pada kromosom 7.
IQ anak dengan sindrom Williams sekitar 75% berada pada rentang
50-70 sehingga memperlihatkan kesulitan belajar. Anak-anak dengan
sindroma ini sangat bersosialisasi dan selalu bersikap ramah dan
bersahabat. Meskipun begitu, mereka kesulitan untuk mendapatkan
teman. Hal ini dapat disebabkan karena keterbatasan kognitif atau
kemungkinan karena sikap ramah mereka yang membosankan dan
tindakan hiperaktif yang membuat temannya merasa menjengkelkan.
Pada anak yang lebih besar dan dewasa sering menunjukkan tingkat
kecemasan yang tinggi dan mengatakan bahwa mereka sangat kuatir
e. Sindroma Prader-Willi disebabkan oleh abnormalitas kromosom 15 dan
sekitar 65% kasus disebabkan oleh penghapusan gen dari kromosom di
pihak ayah. Prevalensi sindroma ini sekitar 1 dari 1.000 kelahiran. IQ
pada umumnya berada pada rata-rata rendah sampai tingkat sedang pada
retardasi mental. Ciri-ciri yang menonjol adalah obesitas. Anak dan
dewasa dengan sindroma ini hampir selalu lapar dan merasa asyik
dengan makanan. Selain itu, banyak yang mendeskripsikan bahwa
mereka memiliki emosi yang labil, suka berdebat, keras kepala, pemarah,
sedikit sensitif dan cemas, dan mereka bisa menangis dan merasa sakit
hati dengan mudah.
f. Sindroma Angelman disebabkan oleh abnormalitas di area yang sama
dengan sindrom Prader-Willi yaitu kromosom 15, penghapusan terjadi
dari kromosom ibu. Hendaya kognitif yang dialami oleh sindroma ini
lebih berat dibandingkan pada sindroma Prader-Willi. Kebanyakan anak
tidak dapat berbicara dan memiliki fitur wajah yang tidak normal, sering
menunjukkan ekspresi wajah yang bahagia.
2. Racun yang berasal dari lingkungan
Racun dalam dosis yang tinggi bisa menyebabkan retardasi mental berat
atau sangat berat, dalam dosis yang rendah dapat memberikan dampak
negatif tetapi tidak terlihat pada anak (misalnya IQ berkurang 10 poin).
a. Keracunan timbal dapat terjadi jika seorang anak menelan timbal dalam
jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat dan berefek bahaya dan
ringan namun efeknya tetap terlihat pada fungsi kognitif, seperti
rendahnya skor IQ dan masalah membaca.
b. Merkuri tertelan terutama melalui makanan laut.
c. Alkohol dikonsumsi oleh seorang wanita selama hamil bisa sangat
berefek pada perkembangan janin, namun efeknya dapat bervariasi pada
janin walaupun ibu mereka mengkonsumsi alkohol yang sama.
Mengkonsumsi alkohol dapat menyebabkan anak mengalami fetal alcohol syndrome yang menyebabkan kecilnya massa otak anak, hambatan motorik, perkembangan bahasa, dan hiperaktif.
d. Kekurangan nutrisi atau malnutrisi selama tahun pertama kehidupan bisa
membahayakan fungsi kognitif, tetapi tampaknya hanya ketika malnutrisi
berat. Trismester tiga dan bulan keenam kehidupan merupakan waktu
yang paling sensitif karena saat itu perkembangan otak terjadi.
e. Penyakit infeksi yang paling menyebabkan hendaya kognitif pada anak
adalah meningitis dan ensefalitis. Rubella dan sifilis sangat mudah
tertransfer dari ibu kepada janinnya.
f. Cedera kepala bisa secara permanen merusak fungsi kognitif. Jatuh dari
sepeda atau dari trampoline adalah sumber dari berbagai cedera.
2.1.5 Terapi Retardasi Mental
Retardasi mental adalah berhubungan dengan beberapa kelompok gangguan heterogen dan berbagai faktor psikososial. Terapi yang terbaik untuk retardasi
mental adalah pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Kaplan & Sadock,
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer merupakan tindakan yang dilakukan untuk
menghilangkan atau menurunkan kondisi yang menyebabkan perkembangan
gangguan yang disertai dengan retardasi mental. Tindakan tersebut termasuk
(1) pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat
umum tentang retardasi mental, (2) usaha terus-menerus dari professional
bidang kesehatan untuk menjaga dan memperbaharui kebijaksanaan
kesehatan masyarakat, (3) aturan untuk memberikan pelayanan kesehatan
maternal dan anak yang optimal, (4) eradikasi gangguan yang diketahui
disertai dengan kerusakan sistem saraf pusat. Untuk anak-anak dan ibu
dengan status sosioekonomi rendah, pelayanan medis prenatal dan postnatal
yang sesuai dan berbagai program pelengkap dan bantuan pelayanan sosial
dapat menolong menekan komplikasi medis dna psikososial.
b. Pencegahan sekunder dan tersier
Jika suatu gangguan yang disertai dengan retardasi mental telah dikenali,
gangguan harus diobati untuk mempersingkat perjalanan penyakit dan untuk
menekan sekuela atau kecacatan yang terjadi setelahnya.
Anak retardasi mental sering kali memiliki kesulitan emosional dan
perilaku yang memerlukan terapi psikiatrik.Kemampuan kognitif dan sosial
yang terbatas yang dimiliki anak tersebut memerlukan modalitas yterapi
modalitas terapi psikiatrik yang dimodifikasi berdasarkan tingkat
(1) Pendidikan untuk anak : lingkungan pendidikan untuk anak-anak
dengan retardasi mental harus termasuk program yang lengkap yang
menjawab latihan keterampilan adaptif, latihan keterampilan sosial,
dan latihan kejuruan.
(2) Terapi perilaku, kognitif, dan psikodinamika.
(3) Pendidikan keluarga
(4) Intervensi farmakologis
2.1.6 Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental
Berdasarkan teori perkembangan psikososial menurut Erik H. Erickson, fase
perkembangan manusia terdiri dari bayi sampai usia tua dan fase itu secara
biologik dan psikologik individu mempunyai potensi kesiapan untuk maju ke
taraf fungsional berikutnya yang lebih tinggi, bila dasar-dasar organik biologik
tidak defektif dan mempunyai bawaan (genetic endowment) yang normal (Kusumawardhani, 2013).
Perilaku sosial menurut Sunaryo merupakan aktivitas dalam hubungan
dengan orang lain, baik orang tua, saudara, guru, maupun teman yang meliputi
proses berpikir, beremosi, dan mengambil keputusan (Jahja, 2011).
Pada anak normal dalam melewati tahap perkembangan sosialnya dapat
berjalan seiring dengan tingkat usianya. Namun, pada tiap tahapan
perkembangan anak retardasi mental selalu mengalami kendala sehingga
seringkali tampak sikap dan perilaku anak retardasi mental berada di bawah
usia kalendernya dan ketika usia 5-6 tahun mereka belum mencapai
Anak retardasi mental mengalami kesulitan dalam memahami dan
mengartikan norma lingkungan sehingga perilaku anak retardasi mental sering
dianggap aneh oleh sebagian anggota masyarakat karena tindakannya tidak
lazim dilihat dari ukuran normatif atau karena tingkah lakunya tidak sesuai
dengan tingkat umurnya. Dilihat dari usia mereka memang dewasa, tetapi
perilaku yang ditampilkan tampak seperti anak-anak. Akibatnya anak
tunagrahita tidak jarang diisolasi dan kehadirannya ditolak lingkungan (Kemis
& Rosnawati, 2013).
Akibat dari sering mengalami kegagalan dan hambatan dalam memenuhi
segala kebutuhannya, anak retardasi mental mudah frustasi dan pada gilirannya
akan muncul perilaku menyimpang sebagai reaksi dari mekanisme pertahanan
diri, dan sebagai wujud penyesuaian sosial yang salah (maladjusted). Bentuk penyesuaian yang salah tersebut seperti kompensasi yang berlebihan,
pengalihan (displacement), nakal (delinquent), regresi, destruksi, agresif dan
lain-lain (Efendi, 2006).
Tingkah laku anak retardasi mental menurut Kemis dan Rosnawati (2013),
yaitu:
1. Hiperaktivitas seperti meraih obyek tanpa tujuan, tidak bisa diam dan
duduk lama
2. Mengganggu teman (anak lain) dengan memukul, meludahi, mencubit
3. Beralih perhatian yaitu sulit memusatkan perhatian pada suatu
kegiatan/pekerjaan dan cepat beralih perhatian atau merespon semua
obyek yang ada di sekitarnya
4. Mudah frustasi yaitu menghentikan aktivitas/pekerjaan jika tidak berhasil
dan disalahkan orang lain (teman, guru)
5. Sering menangis yaitu menangis tanpa sebab yang jelas, menangis jika
merasa terganggu dan tidak terpenuhi keinginannya
6. Merusak benda/barang seperti merobek buku, menggigit pensil/pulpen,
melempar barang, menggigit meja/kursi, mencorat-coret meja, mengotori
dinding, membanting pintu/jendela dan melempar kaca jendela
7. Melukai diri dengan membentur-benturkan kepala, memukul-mukul
pipi/dagu, mengorek-ngorek luka di tangan atau kaki dan menjambak
rambut
8. Meledak-ledak (impulsif) yaitu mudah marah/tersinggung dan tidak
kooperatif
9. Menarik diri yaitu pemalu, tidak ada keberanian dalam komunikasi dan
berhadapan dengan orang lain, menutup wajah dan menundukkan kepala.
Tingkah laku sosial tercakup hal-hal seperti keterikatan dan ketergantungan,
hubungan kesebayaan, self concept, dan tingkah laku moral. Tingkah laku
keterikatan dan ketergantungan adalah kontak anak dengan orang dewasa
(orang lain). Masalah keterikatan anak dan ketergantungan anak terbelakang
telah diteliti oleh Zigler (1961) dan Steneman (1962, 1969). Ketika anak
kecenderungan ketergantungannya bertambah. Berbeda dengan anak normal,
anak retardasi mental lebih banyak bergantung pada orang lain, dan kurang
terpengaruh oleh bantuan sosial (Soemantri 2007).
Mc Iver menggunakan Children’s Personality Quaestionare dan
menyimpulkan ternyata anak retardasi mental laki-laki emosinya tidak matang,
depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya, impulsif, lancang
dan merusak. Anak retardasi mental perempuan mudah dipengaruhi, kurang
tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri dan cenderung melanggar
ketentuan. Anak retardasi mental cenderung berteman dengan anak yang lebih
muda usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu
memikul tanggung jawab sosial sehingga harus selalu dibimbing dan diawasi
(Somantri, 2007).
2.2 Kecemasan
2.2.1 Definisi Kecemasan
Kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar
disertai respons autonom (sumber sering tidak spesifik atau tidak diketahui
oleh individu); perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya.
Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan
adanya bahaya dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi
ancaman (NANDA, 2012).
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang
berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Kecemasan adalah
dikomunikasikan secara interpersonal (Stuart, 2012). Kecemasan terjadi
sebagai hasil dari sebuah ancaman pada kepribadian seseorang, harga diri, atau
identitas diri. Kecemasan dialami ketika nilai-nilai seseorang mengenali bahwa
keberadaannya sebagai seseorang terancam. Nilai-nilai yang termasuk
didalamnya adalah fisik, sosial, moral, dan unsur emosional dalam kehidupan
(Stuart & Sundeen, 1998).
Kecemasan adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak
mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian masih tetap utuh,
perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal (Hawari,
2013).
Kecemasan adalah respons terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak
diketahui, internal, samar-samar, atau konfliktual (Kaplan & Sadock, 2010).
Kecemasan terjadi sebagai hasil dari ancaman terhadap biologis, psikologis
atau integritas sosial, akibat dari sumber-sumber eksternal. Hal ini merupakan
sebuah pengalaman universal dan bagian kondisi manusia (Fortinash & Worret,
2000).
2.2.2 Tanda dan Gejala Kecemasan
Kecemasan adalah sebuah pengalaman yang tidak menyenangkan dan tidak
nyaman sehingga tidak ada satupun yang menginginkannya. (Stuart &
Sundeen, 1997). Gangguan kecemasan dikategorikan berdasarkan apakah
seseorang memiliki gejala yang kompleks ataupun terbatas (Fortinash &
Stuart (2012) menyatakan bahwa ansietas dapat diekspresikan secara
langsung melalui perubahan fisiologis, perilaku, kognitif dan afektif.
1. Respon fisiologis berhubungan dengan ansietas terutama dimediasi oleh
sistem saraf otonom yaitu saraf simpatis dan parasimpatis. Berbagai
respon fisiologis yang dapat diobservasi, yaitu:
a. Kardiovaskular: palpitasi, jantung berdebar, pingsan, tekanan darah
meningkat, tekanan darah menurun, denyut nadi menurun.
b. Pernafasan: napas cepat dan dangkal, tekanan pada dada, sensasi
tercekik, terengah-engah.
c. Neuromuskular: refleks meningkat, reaksi terkejut, mata berkedip-kedip,
insomnia, tremor, rigiditas, gelisah, wajah tegang, kelemahan umum,
tungkai lemah, gerakan yang janggal.
d. Gastrointestinal: kehilangan nafsu makan, menolak makan, rasa tidak
nyaman pada perut, nyeri abdomen, mual, nyeri ulu hati dan diare.
e. Saluran perkemihan: tidak dapat menahan kencing dan sering berkemih
f. Kulit: wajah kemerahan, keringat terlokalisasi (telapak tangan), gatal,
rasa panas dan dingin pada kulit, wajah pucat dan berkeringat seluruh
tubuh.
2. Respon perilaku: gelisah, ketegangan fisik, tremor, terkejut, bicara cepat,
kurang koodinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan
diri dari masalah, menghindar, hiperventilasi dan sangat waspada.
3. Respon kognitif: perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah
lapang persepsi menurun, bingung, takut kehilangan kendali, mimpi
buruk, takut cedera atau kematian, produktivitas menurun.
4. Respon afektif: mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup,
ketakutan, khawatir, mati rasa, rasa bersalah dan malu.
2.2.3 Tingkat Kecemasan
Respon kecemasan berada pada satu kesatuan, dan individu bisa lebih
sukses atau kurang sukses pada penggunaan metode-metode yang bervariasi
untuk mengontrol pengalaman kecemasan mereka sendiri. Tingkat kecemasan
terdiri dari ringan, sedang, berat, panik berdasarkan respon kecemasan.
(Videbeck, 2008).
Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan (Peplau, 1952) dalam Videbeck (2008).
Tingkat Kecemasan
Fisiologis Kognitif/persepsi Emosi / Afektif
Cemas Ringan
Ketegangan otot ringan Lapangan persepsi luas
Perilaku otomatis
Sadar akan lingkungan Terlihat tenang, percaya diri
Penuh perhatian Waspada dan memerhatikan
Tingkat pembelajaran
optimal
Cemas Sedang
Pupil dilatasi, mulai
Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan (Peplau, 1952) dalam Videbeck (2008).
Tingkat Kecemasan
Fisiologis Kognitif/persepsi Emosi / Afektif
Cemas Berat Ketegangan otot berat Lapang persepsi terbatas
Sangat cemas
Hiperventilasi Proses berpikir
terpecah-pecah
Agitasi
Kontak mata buruk Sulit berpikir Takut
Pengeluaran keringat meningkat
Mondar-mandir,
Panik Flight, fight, atau freeze Persepsi sangat sempit
Agitasi motorik kasar Kepribadian kacau Lepas kendali
Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan (Peplau, 1952) dalam Videbeck (2008).
Pupil dilatasi Tidak dapat
2.2.4 Rentang Respon Kecemasan
Hildegrad Peplau (1952) dalam Interpersonal Relations in Nursing, seorang
pelopor keperawatan jiwa, mengidentifikasi empat tingkat kecemasan yang
bertujuan untuk mengilustrasikan pandangan terhadap kecemasan dan
ketegangan yang dikembangkan oleh Harry Stack Sullivan (1882-1949),
seorang psikiater terkemuka dari Amerika dan ahli teori perkembangan
(Fortinash & Worret, 2000).
Sedang Panik
Ringan Berat
Skema 2.1 Rentang respon kecemasan Hildegrad Peplau (1952)
Hildegrad Peplau menerangkan bahwa kecemasan yang meningkat
mengakibatkan:
1. Lapangan persepsi menyempit
2. Energi akan tersedia untuk menyelesaikan masalah
3. Disorganisasi meningkat
Skema 2.2 Rentang Respon Kecemasan menurut Stuart (2012):
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
2.2.5 Penyebab Kecemasan
1. Faktor Presipitasi
Ansietas adalah faktor utama pada perkembangan kepribadian dan
pembentukan sifat karakter individu. Ada beberapa teori penyebab
kecemasan yang muncul (Stuart, 2012 ; Stuart & Sundeen, 1998):
c. Teori Psikoanalitik
Freud memandang bahwa ansietas merupakan konflik emosional yang
mewakili hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh budaya seseorang.
Ego berfungsi untuk menengahi kedua elemen yang bertentangan. Freud
juga menambahkan bahwa fungsi utama kecemasan untuk mengingatkan
ego bahwa ada bahaya.
d. Teori Interpersonal
Sullivan memandang bahwa inti dari teori kecemasan adalah perasaan
takut terhadap penolakan interpersonal. Trauma selama masa pertumbuhan,
seperti kehilangan dan perpisahan dapat mengakibatkan ansietas. Sullivan
yakin bahwa ansietas dikemudian hari muncul dalam situasi interpersonal
dimana sesorang mempersepsikan dirinya akan dipandang tidak baik dan
akan kehilangan seseorang berdasarkan nilai yang dipahaminya.
e. Teori Perilaku
Berdasarkan pendapat teoritisi perkembangan, ansietas adalah hasil dari
frustasi, yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang
untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Faktor presipitasi tersebut
menghambat usaha seseorang untuk memperoleh kepuasan dan
perlindungan.
f. Teori Keluarga
Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan biasanya
terjadi dalam keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih antara
g. Teori Biologis
Para peneliti mempelajari bahwa otak mengandung reseptor spesifik
untuk benzodiazepine dan obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator
inhibisi asam gama-aminobutirat (GABA), yang berperan penting dalam
mekanisme biologis yang berhubungan dengan kecemasan. Selain itu,
kesehatan umum individu dan riwayat kecemasan pada keluarga memiliki
efek nyata sebagai predisposisi kecemasan.
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi kecemasan dapat dikelompokkan dalam dua kategori
(Stuart, 2012), yaitu:
a. Ancaman terhadap integritas fisik meliputi disabilitas fisiologis yang
akan terjadi atau penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas
hidup sehari-hari.
b. Ancaman terhadap sistem diri dapat membahayakan identitas, harga diri,
dan fungsi sosial yang terintegrasi pada individu.
2.3 Kecemasan Orang Tua dengan Anak Retardasi Mental
Keluarga merupakan lembaga sosial yang pertama dikenal anak. Keluarga
terdiri dari ayah, ibu dan anak dan hubungan yang dekat ini tidak mungkin
dipisahkan. Pada prinsipnya keluarga memiliki fungsi sosial, edukatif, seksual dan
pengelolaan ekonomi dan orangtua memiliki tugas supaya peran tersebut dapat
Kamus Besar Bahasa Indonesia, orang tua adalah ayah ibu kandung, orang yang
dianggap tua, orang yang dihormati.
Anak retardasi mental lebih banyak tinggal bersama dengan keluarganya
hingga dewasa, sehingga ketergantungan kepada keluarganya akan lebih tinggi
dibandingkan keluarga yang tidak memiliki anggota keluarga dengan retardasi
mental. Pengaruh terhadap orang tua dan anggota keluarga ketika memiliki anak
retardasi mental dimulai ketika mereka mengetahui bahwa anak mereka memiliki
keterbatasan kognitif yang sangat signifikan. Hal ini sering terjadi selama
kehamilan karena tes untuk mendeteksi variasi gen dan kromosom tidak normal
yang mengakibatkan keterbatasan kognitif sudah dapat dilakukan. Keputusan
untuk melakukan aborsi dan melahirkan terkadang menjadi sesuatu mudah bagi
sebagian orang tua tetapi sangat sulit bagi orang tua lain (Haugaard, 2008).
Kehadiran anak retardasi mental dalam keluarga cenderung menimbulkan
ketegangan pada keluarga tersebut. Ketika mengetahui bahwa anaknya tergolong
retardasi mental, orang tua pada umumnya mengalami perasaan bersalah dan
menunjukkan mekanisme pertahanan diri, atau merasa kecewa yang mendalam
(Somantri, 2007 ; Kemis & Rosnawati, 2013).
Reaksi yang muncul pada orang tua saat anaknya lahir dapat berbeda-beda,
tergantung pada berbagai faktor (Somantri, 2007). Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Orang tua segara mengetahui atau terlambat diketahuinya bahwa anaknya
retardasi mental
2. Derajat / tingkat keparahan retardasi mental yang dialami anaknya
Perasaan dan tingkah laku orang tua berbeda-beda dan dapat dibagi menjadi:
1. Perasaan melindungi anak secara berlebihan
2. Ada perasaan bersalah melahirkan anak berkelainan, sehingga
memunculkan praduga yang berlebihan seperti merasa ada yang tidak beres
tentang urusan keturunan dan merasa kurang mampu mengasuhnya.
3. Kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak yang normal sehingga
menyebabkan cepat marah dan tingkah laku agresif bahkan depresi.
4. Terkejut dan kehilangan kepercayaan diri
5. Bingung dan malu yang mengakibatkan orang tua kurang suka bergaul
dengan tetangga dan lebih suka menyendiri.
Banyak orang tua cemas dengan anak-anak mereka, tetapi orang tua anak
retardasi mental melaporkan lebih banyak kecemasan dibandingkan orang tua
anak normal. Mereka mencemaskan tentang keterbatasan kognitif anak yang akan
membatasi pekerjaan mereka, sosial, tujuan-tujuan keluarga, bahkan efek kepada
anak-anak mereka yang lain karena mempunyai saudara yang retardasi mental
(Haugaard, 2008).
Orang tua cemas ketika anaknya tersebut bermain dan bersosialisasi dengan
anak lain karena keterbatasan kognitif, anaknya malah melakukan hal yang salah
dan bisa mengganggu anak lain (Haugaard, 2008). Perilaku anak retardasi mental
yang juga merisaukan atau menyusahkan orang tua ialah perilaku mencederai diri
(self mutilating) mengantukkan kepalanya, menggigit jarinya, perilaku agresif,
mengamuk. Tidak jarang juga orang tua menyatakan bahwa anaknya suka
Anak retardasi mental mengalami gangguan tidur dan bisa berjalan-jalan
mengelilingi rumah pada malam hari, sehingga orang tua harus terjaga (Haugaard,
2008; Lumbantobing, 2006).
Anak retardasi mental belajar dengan cara yang berbeda dan perkembangan
yang lebih lambat dibandingkan anak yang lain sehingga orang tua merasa frustasi
dan kehilangan semangat dalam merawat anaknya (Haugaard, 2008). Kecemasan
dan depresi juga lebih banyak dialami oleh ibu karena ibu yang cenderung secara
langsung dalam merawat anak retardasi mental. Oleh karena itu, ibu tampaknya
lebih rentan terhadap stress yang terkait dengan masalah perilaku anak (Azeem et.