BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pola Asuh Anak
Pola asuh anak adalah kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan yang berdampak luas pada kehidupan seluruh anggota keluarga yang menjadi
dasar penyediaan pengasuhan yang tepat dan bermutu pada anak termasuk pengasuhan makanan bergizi (Depkes RI, 2000).
Pola asuh anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatan dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal
kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau di
masyarakat dan sebagainya dari si ibu atau pengasuh anak (Sunarti, 2004).
Masa pengasuhan, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan dan
perawatan orang tua oleh karena itu orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak. Melalui orang tua, anak beradaptasi dengan lingkungannya untuk mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan hidup yang
berlaku di lingkungannya. Dengan demikian dasar pengembangan dari seorang individu telah diletakkan oleh orang tua melalui praktek pengasuhan anak sejak ia
masih bayi (Supanto, 1990).
Kerangka konseptual yang dikemukan oleh UNICEF yang dikembangkan
yaitu : (1) perhatian/dukungan ibu terhadap anak, (2) pemberian ASI atau
makanan pendamping pada anak, (3) rangsangan psikososial terhadap anak, (4) persiapan dan penyimpanan makanan, (5) praktek kebersihan atau higiene dan
sanitasi lingkungan dan (6) perawatan balita dalam keadaan sakit seperti mencari tempat pelayanan kesehatan. Pemberian ASI dan makanan pendamping pada anak serta persiapan dan penyimpanan makanan tercakup dalam praktek pemberian
makan (Engle, 1997).
2.1.1. Peraktek Pemberian Makanan
2.1.1.1.Pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan Makanan Pendamping Pada Anak
Pola asuh anak berkaitan dengan keadaan gizi anak. Pembrian kolostrum pada bayi dihari-hari pertama kehidupan berdampak positif pada keadaan gizi
anak pada umur selanjutnya. Anak-anak dengan keadaan gizi yang lebih baik berkaitan erat juga dengan perilaku pemberian ASI. Mereka yang sudah tidak diberikan ASI lagi ternyata keadaan gizinya lebih rendah (Jahari, dkk, 2000).
Pemberian makanan balita bertujuan untuk mendapat zat gizi yang diperlukan tubuh untuk pertumbuhan dan pengaturan faal tubuh. Zat gizi berperan memelihara dan memulihkan kesehatan serta untuk melaksanakan kegiatan
sehari-hari, dalam pengaturan makanan yang tepat dan benar merupakan kunci pemecahan masalah (Suharjo, 2003).
Tujuan pemberian makanan pada anak balita adalah :
1. Untuk mendapat zat gizi yang diperlukan tubuh dan digunakan oleh tubuh.
2. Untuk pertumbuhan dan pengaturan faal tubuh.
4. Untuk mencegah terjadinya berbagai gangguan gizi pada balita diperlukan
adanya perilaku penunjang dari para orang tua, ibu atau pengasuhan dalam
keluarga.
5. Selalu memberikan makanan bergizi yang seimbang kepada balita (Suharjo,
2003).
Anjuran makanan untuk balita mulai dari lahir hingga berumur lima tahun yang di berikan oleh ibu kepada anak antara lain :
1. Makanan Anak sejak Lahir Sampai Usia 2 tahun
Keadaan gizi anak pada waktu lahir sangat di pengaruhi oleh keadaan gizi
ibu selama hamil. Ibu yang selama hamilnya menderita gangguan gizi selain akan melahirkan anak yang gizinya kurang baik, juga memungkinkan dapat melahirkan anak dengan berbagai kelainan dalam pertumbuhannya. Dalam usia empat bulan,
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang paling utama.
Air susu ibu merupakan makanan pokok yang terbaik bagi bayi. Bila ibu
dan bayi sehat, ASI hendaknya cepat diberikan. ASI diproduksi pada 1-5 hari pertama dinamakan kolostrum, yaitu cairan kental berwarna kekuningan. Kolostrum mengandung lebih banyak antibodi, protein, mineral dan vitamin A.
Pemberian ASI tidak dibatasi dan dapat diberikan setiap saat. ASI eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang,
pepaya, bubur susu, biskuit dan tim.
ASI benar-benar bergizi sehingga tidak memerlukan tambahan.
(sembelit) dan obesitas (kegemukan) tampak lebih kecil kemungkinan terjadi pada
bayi yang mengkonsumsi ASI (Hayati, 2009).
ASI eksklusif adalah bayi yang diberi ASI saja tanpa tambahan cairan lain
seperti susu formula, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur, biskuit dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 4 bulan, tetapi bila mungkin
sampai 6 bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan harus mulai diperkenalkan dengan makanan padat, sedangkan ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2 tahun atau
bahkan lebih dari 2 tahun (Roesli, 2000).
Setelah berumur 6 bulan, bayi memerlukan makanan pendamping karena
kebutuhan gizi bayi meningkat dan tidak seluruhnya dapat dipengaruhi oleh ASI. Pemberian makanan pendamping harus bertahap dan bervariasi, dari mulai bentuk cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan
lembek dan akhirnya makanan padat. Pemberian makanan pendamping dilakukan secara berangsur untuk mengembangan kemampuan bayi mengunyah dan menelan serta menerima bermacam-macam makanan dengan berbagai tekstur dan
rasa (Arisman, 2004).
Pertumbuhan anak usia 1-3 tahun tidak sama dengan masa bayi, tetapi
pada masa ini aktifitasnya lebih banyak. Golongan ini sangat rentan terhadap penyakit dan gizi dan infeksi. Syarat makanan yang harus diberikan adalah makanan yang mudah dicerna dan tidak merangsang (tidak pedas) dengan jadwal
frekuensi makan pada bayi dan anak balita, hendaknya diatur sesuai dengan
perkembangan usia dan kemampuan organ pencernaannya (Depkes RI, 2006). 2. Makanan Anak Usia 3 Tahun Sampai 5 Tahun
Makanan anak usia 3 tahun sampai 5 tahun, tetap sama dengan makanan sebelumnya. Terutama protein dan vitamin A, di samping kalori dalam jumlah yang cukup. Anak-anak dalam usia ini sudah dapat lebih banyak dikenalkan
dengan makanan yang disajikan untuk keluarga. Bahan-bahan makanan seperti tahu, tempe, dan sayuran dapat diberikan sejak anak melewati usia 1 tahun.
Anak berusia 1-5 tahun merupakan konsumen pasif, dimana makanan yang dimakan anak hanya sebatas makanan tumbuhan disamping ASI atau
tergantung pada apa yang disediakan oleh orang tuanya yang memang sudah dianggap dapat memenuhi gizi anak, sehingga peranan orang tua dalam menentukan makanan yang bergizi lengkap dan seimbang. Pada usia ini, rasa
ingin tahu anak juga sanga tinggi sehingga para ibu memiliki kesempatan untuk memperkenalkan berbagai jenis makanan yang beraneka ragam yang dapat dikonsumsi oleh balita. Setelah anak mencapai usia 5 tahun, makanan padat sudah
dapat diberikan karena dengan bertambahnya umur maka kebutuhan zat gizi akan semakin meningkat.
Pengetahuan ibu juga sangat diperlukan dalam mengolah makanan untuk anak balita. Pada masa balita umumnya anak balita mempunyai selera makan yang bergelombang dan cenderung memilih. Mereka lebih cenderung lebih suka
Apabila tidak terpenuhinya gizi dalam tubuh anak balita maka akan
menyebabkan gangguan gizi. Ada beberapa hal yang menyebabkan gangguan gizi adalah karena tidak sesuainya jumlah zat gizi yang diperoleh dari makanan
dengan kebutuhan tubuh mereka. Gizi yang buruk menyebabkan mudahnya terjadinya infeksi karena daya tubuh menurun, sebaliknya, penyakit infeksi sering menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan zat gizi sedangkan nafsu makan
biasanya menurun dan dapat mengakibatkan anak yang gizinya baik akan menderita gangguan gizi.
2.1.1.2.Persiapan dan Penyimpanan Makanan
Pada saat mempersiapkan makanan, kebersihan makanan perlu mendapat
perhatian khusus. Makanan yang kurang bersih dan sudah tercemar dapat menyebabkan diare atau cacingan pada anak. Begitu juga dengan si pembuat makanan dan peralatan yang dipakai seperti sendok, mangkok, gelas, piring dan
sebagainya sangat menentukan bersih tidaknya makanan. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
a. Simpan makanan dalam keadaan bersih, hindari pencemaran dari debu dan
binatang.
b. Alat makan dan memasak harus bersih.
c. Ibu atau anggota keluarga yang memberikan makanan harus mencuci tangan
dengan sabun sebelum memberikan makan.
d. Makanan selingan sebaiknya dibuat sendiri.
Praktek kebersihan dan kesehatan sanitasi lingkungan adalah usaha untuk
pengawasan terhadap lingkungan fisik manusia yang dapat memberikan akibat yang merugikan kesehatan jasmani dan kelangsungan hidupnya (Slamed, 1996).
Widaninggar (2003) mengatakan kondisi lingkungan anak harus benar diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan rumah dan lingkungan adalah bangunan rumah, kebutuhan
ruangan (bermain-main) pergantian udara, sinar matahari, penerangan, air bersih, pembuangan sampah, saluran pembuangan air limbah (SPAL), kamar mandi, dan
halaman rumah. Kebersihan, baik kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan memegang peranan penting bagi tumbuh kembang anak, kebersihan
perorangan yang kurang akan memudahkan terjadinya penyakit kulit dan saluran pencernaan seperti diare, cacingan, dan lain-lain. Kebersihan lingkungan erat hubungan dengan penyakit saluran pernapasan, saluran pencernaan, serta penyakit
akibat nyamuk.
Oleh karena itu penting membuat lingkungan layak untuk tumbuh kembang anak, sehingga meningkatkan rasa aman bagi ibu/pengasuh anak dalam
menyediakan kesempatan bagi anaknya untuk eksplorasi lingkungan. Menanamkan kebersihan di rumah sangat penting karena sumber infeksi amat
banyak di sekeliling balita. Oleh karena itu untuk menghindari segala kemungkinan infeksi dan penyakit, maka rumah dan anak-anak harus diamankan dari serangan penyakit.
Menurut Sulistijani (2001), mengatakan bahwa lingkungan yang sehat perlu diupayakan dan dibiasakan, tetapi tidak dilakukan sekaligus, harus
bersih rapi dan teratur. Oleh karena itu anak perlu dilatih untuk mengembangkan
sifat-sifat sehat sebagai berikut : (a) mandi 2 kali sehari; (b) cuci tangan sebelum dan sesudah makan; (c) menyikat gigi sebelum tidur; (d) membuang sampah pada
tempatnya; dan (e) buang air kecil dan besar pada tempatnya.
2.1.3. Praktek Perawatan Anak dan Keluarga Dalam Keadaan Sakit
Praktek perawatan kesehatan anak dalam keadaan sakit adalah salah satu
aspek pola asuh yang dapat mempengaruhi status gizi anak, membaik praktek pengasuhan kesehatan adalah hal-hal yang dilakukan untuk menjaga status
kesehatan anak, menjauhkan dan menghindarkan penyakit serta dapat menyebabkan turunnya keadaan kesehatan anak. Praktek perawatan kesehatan
meliputi pengobatan penyakit pada anak apabila anak menderita sakit dan tindakan pencegahan terhadap penyakit sehingga anak tidak sampai terkena suatu penyakit. Praktek perawatan kesehatan anak yang baik dapat ditempuh dengan
cara memperhatikan keadaan gizi anak, kelengkapan imunisasi, kebersihan diri anak dan lingkungan di mana anak berada, serta upaya ibu dalam hal mencari pengobatan terhadap anak apabila sakit ibu membawa anak ke tempat pelayanan
kesehatan seperti rumah sakit, klinik, puskesmas, polindes (Zeitlin, 1990).
Masa bayi dan balita sangat rentan terhadap penyakit seperti flu, diare atau
penyakit infeksi lainnya. Jika anak sering menderita sakit dapat menghambat atau mengganggu proses tumbuh kembang anak. Ada beberapa penyebab seorang anak mudah terserang penyakit adalah :
1. Apabila kecukupan gizi terganggu karena anak sulit makan dan nafsu makan menurun. Akibatnya daya tahan tubuh menurun sehingga anak menjadi rentan
2. Lingkungan yang kurang mendukung sehingga perlu diciptakan lingkungan
dan perilaku yang sehat.
3. Jika orang tua lalai dalam memperhatikan proses tumbuh kembang anak oleh
karena itu perlu memantau dan menstimulasi tumbuh kembang bayi dan anak secara teratur sesuai dengan tahapan usianya dan segera memeriksakan kedokter jika anak menderita sakit.
2.2. Status Gizi
Menurut penelitian Hafrida (2004), terdapat kecenderungan pola asuh
dengan status gizi. Semakin baik pola asuh anak maka proporsi gizi baik pada anak juga akan semakin besar. Dengan kata lain, jika pola asuh anak di dalam
keluarga semakin baik tentunya tingkat konsumsi pangan anak juga akan semakin baik dan akhirnya akan mempengaruhi keadaan gizi anak.
Status gizi adalah keadaan kesehatan individu-individu atau
kelompok-kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik dan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan dan fisiknya dapat diukur secara antropometri (Suharjo, 2005).
Status gizi merupakan tanda-tanda penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari
pangan yang dikonsumsi pada suatu saat didasarkan pada kategori dan indikator yang di gunakan (Depkes RI, 2002).
2.2.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Menurut Soekirman (1990), menyatakan faktor yang mempengaruhi
keluarga, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, sosial budaya dan bencana
alam.
1. Tingkat Pendapatan Keluarga
Menurut Adisasmito (2007), mengatakan di Indonesia dan negara lain
menunjukkan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara kurang gizi dan
kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi
buruk, proporsi anak yang gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan
pendapatan. Semakin kecil pendapatan penduduk, semakin tinggi persentase
anak.
Menurut Winarno (1993) mengatakan bahwa terdapat kecenderungan
penurunan pengeluaran sesuai dengan kenaikan pendapatannya, namun
pengeluaran untuk pangan masih merupakan bagian terbesar dari pengeluaran
rumah tangga Indonesia, disamping itu Winarno juga menambahkan salah satu
penyebab malnutrisi disebabkan oleh faktor ekonomi dan sosial budaya yang
secara nyata telah memberikan gambaran menyeluruh mengenai masalah gizi di
daerah masyarakat miskin.
Hubungan pendapatan dan gizi dalam keluarga didorong oleh pengaruh yang menguntungkan dari peningkatan pendapatan untuk perbaikan kesehatan dan
gizi. Sebaliknya jika rendahnya pendapatan seseorang maka daya beli berkurang sehingga kemungkinan kebiasaan makan dan cara-cara lain menghalangi
2. TingkatPengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, atau pengetahuan adalah sesuatu yang
diketahui, penginderaan terjadi melalui panca indera, yaitu : penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan karsa. Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai macam sumber, misalnya :
media masa, elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan dan sebagainya. Pengetahuan ini dapat membentuk keyakinan tertentu, sehingga seseorang
berperilaku sesuai dengan keyakinan tersebut. Pengetahuan merupakan resultan dari akibat proses penginderaan terhadap suatu objek, penginderaan tersebut
sebagian besar berasal dari penglihatan dan pendengaran (Notoatmojo, 1993). Pengetahuan gizi seseorang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan dan status gizinya, dimana pengetahuan gizi
tersebut didukung oleh latar belakang pendidikannya. Rendahnya tingkat pedidikan menyebabkan berbagai keterbatasan dalam menerima informasi dan penanganan masalah gizi dan kesehatan, sekalipun di daerah tempat tinggalnya
banyak tersedia bahan makanan (sayuran dan buah) serta pelayanan kesehatan yang memadai, yang dapat menyampaikan informasi tentang bagaimana
mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi.
Dengan tingkat pengetahuan yang rendah, maka walaupun makanan yang berkualitas baik masuk ke rumah tangga, tidak ada jaminan apakah makanan itu
pengetahuan ibu. Makin tinggi tingkat pengeluaran dan tingkat pengetauan gizi
ibu, maka makin baik pula kecukuan gizi anak balita mereka (Grant, 1986).
Menurut Suharjo (1996), suatu hal yang harus diperhatikan tentang
pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan :
1. Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.
2. Setiap orang hanya cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu
menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan yang optimal,
pemeliharaan dan energi.
3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.
Pada keluarga pengetahuan yang rendah sering kali tidak puas dengan makanan dan tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena ketidaktahuan ibu, seperti air susu ibu (ASI) dan sesudah usia enam bulan tidak mendapat makanan
pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat baik jumlah atau kualitasnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disajikan dan dipersiapkan di rumah tangga
(Adisasmito, 2007).
Faktor pengetahuan menyebabkan status gizi berubah disebabkan oleh :
a. Ibu yang tidak memahami tentang gizi.
b. Tidak memahami cara mengolah makanan agar zat-zat yang terkandung tidak
hilang saat pengolahan.
c. Tidak memahami tentang cara konsumsi makanan anak balita.
d. Jenis makanan yang mempengaruhi jiwa anak misalnya timbul kebosanan
terhadap makanan olahan ibunya.
e. Rendahnya tingkat pengetahuan mengakibatkan rendahnya pendidikan, dan
cukup tetapi karena tidak ada dana untuk membeli bahan makanan tertentu
yang kadar gizinya tinggi seperti daging.
3. Tingkat Pendidikan
Menurut Ahmadi (2001) pendidikan adalah usaha untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah berlangsung seumur hidup. Pendidikan gizi adalah pengetahuan yang memungkinkan seseorang dan
mempertahankan pola makan berdasarkan prinsip-prinsip ilmu untuk mempraktekkan atau pelaksanaan dengan pengertian makanan yang bergizi, baik bahan makanan, pengolahan, sikap dan emosi pada seseorang yang berkaitan
dengan makanan (Soegeng, 1999).
Pendidikan dalam keluarga merupakan lingkungan anak yang pertama dan
merupakan dasar bagi pendidikan anak selanjutnya. Disamping keluarga sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga merupakan tempat sang anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidupnya, tidak
terkecuali kebutuhan gizi dan kesehatan (Bitai dkk, 1998).
Menurut Adisasmito (2007), mengatakan unsur pendidikan ibu
berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak, apabila ibu berpendidikan lebih baik maka mengerti cara pemberian makan, menggunakan pelayanan kesehatan, menjaga kebersihan lingkungan bebas dari penyakit.
Ibu yang berpendidikan lebih baik kemungkinan menggunakan perawatan kesehatan dan fasilitas kesehatan pelayanan kesehatan yang ada dari ibu yang
Jumlah anggota keluarga dan banyaknya anak dalam keluarga akan
berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pangan, jumlah anggota keluarga yang besar dibarengi dengan distribusi pangan yang tidak merata sehingga
menyebabkan anak dalam keluarga mengalami kekurangan gizi (Suharni, 1985). Berdasarkan pendapat di atas bahwa besarnya tanggungan keluarga akan semakin kecil tingkat konsumsi pangan untuk masing-masing anggota keluarga
atau dapat dikatakan semakin besar tanggungan keluarga semakin besar pula pangan yang harus tersedia.
5. Status Pekerjaan Ibu
Ibu-ibu yang bekerja dari pagi hingga sore tidak memiliki waktu yang
cukup bagi anak-anak dan keluarga. Dalam hal ini ibu mempunyai peran ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga dan wanita pekerja. Walaupun demikian ibu dituntut tanggung jawabnya kepada suami dan anak-anaknya, khususnya
memelihara anak. Keadaan yang demikian dapat mempengaruhi keadaan gizi keluarga khususnya anak balita dan usia sekolah. Ibu-ibu yang bekerja tidak mempunyai waktu yang cukup untuk memperhatikan makanan anak yang sesuai
dengan kebutuhan dan kecukupan serta kurang perhatian dan pengasuhan kepada anak (Berg, A & Sajogyo, 1986).
2.2.2. Pengaruh Perokok Pasif Terhadap Status Gizi Balita
Perokok pasif adalah orang yang ikut menghirup asap rokok yang
dikeluarkan oleh perokok aktif pada saat merokok. Menghirup asap rokok orang lain lebih berbahaya dibandingkan menghisap rokok sendiri. Bahkan bahaya yang
dapat diderita perokok pasif ini tidak lebih baik dari perokok aktif (Sapphire,
2009).
Hasil studi penelitian epidemologi menunjukkan bukti yang kuat bahwa
paparan asap rokok lingkungan terhadap anak berkaitan peningkatan jumlah penyakit saluran nafas bawah, asma, dan penyakit infeksi lainnya. Paparan semasa kanak-kanak juga dapat menyebabkan pertumbuhan kanker semasa dewasa.
Penelitian meta analisis yang dilakukan Strachan dan Cook menyimpulkan bahwa hubungan orang tua perokok dan penyakit saluran nafas bawah akut pada bayi
sangat mungkin. Paparan asap rokok lingkungan (salah satu keluarga adalah perokok) setelah bayi lahir menyebabkan peningkatan resiko penyakit pernafasan
akut pada anak. Juga terbukti ada hubungan antara orang tua perokok khususnya dengan penyakit saluran nafas bawah akut pada tahun kedua dan tahun ketiga kehidupan anak (Rad Marssy, 2007).
Data yang dikutip dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebutkan bahwa ada 121 juta keluarga di Indonesia yang menjadi keluarga perokok. Dengan kata lain, apabila dalam satu keluarga terdapat seorang bayi dan
balita, bearti 121 juta anak Indonesia menjadi perokok pasif.
2.2.3. Penilaian Status Gizi
Untuk mengetahui pertumbuhan anak, secara praktis dilakukan
pengukuran tinggi badan dan berat badan secara teratur. Ada beberapa cara menilai status gizi yaitu dengan pengukuran antropometri, klinis, biokimia dan
Indeks Antropometri
Pengukuran status gizi anak berdasarkan antropometri adalah jenis pengukuran yang paling sederhana dan praktis karena mudah dilakukan dan dapat
dilakukan dalam jumlah sampel yang besar. Secara umum antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Antropometri merupakan pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi yang dapat dilakukan
terhadap Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB) dan lingkaran bagian-bagian tubuh serta tebal lemak dibawah kulit (Supariasa, dkk, 2001).
Sampai saat ini, ada beberapa kegiatan penilaian status gizi yang dilakukan yaitu kegiatan Pemantauan Status Gizi (PSG), kegiatan bulan penimbangan dan
dalam kegiatan penelitian. Jenis pengukuran yang paling sering dilakukan adalah antropometri, karena mudah, prosedurnya sederhana dan dapat dilakukan berulang serta cukup peka untuk mengetahui adanya perubahan pertumbuhan tertentu pada
anak balita.
Cara pengukuran dengan antopometri dilakukan dengan mengukur beberapa parameter antara lain : umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan
atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit. Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Indeks
antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi adalah Berat Badan menurut umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB).
1. Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Pilihan indeks antropometri tergantung pada tujuan penilaian status gizi.
mudah berubah namun tidak spesifik karena berat badan selain dipengaruhi oleh
umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan.
2. Indeks Tinggi Badan menurut Umur
Indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lalu karena dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan denganbertambahnya umur. Pertambahan tinggi badan atau panjang badan relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam
waktu yang singkat. Pengaruh kurang gizi terhadap perrtumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam waktu yang cukup lama.
3. Indeks Berat Badan Menurut Tinggi Badan
Indeks tunggal BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menyatakan
status gizi saat ini seperti halnya dengan BB/U yang digunakan bila data umur yang akurat sulit diperoleh. Oleh karena itu, indeks BB/TB termasuk indikator status gizi yang independen terhadap umur. Indeks BB/TB menggambarkan
secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini, dapat dikategarikan sebagai kurus merupakan pengukuran antropometri yang terbaik (Soekirman, 2000).
Menurut Soekirman (2000), untuk menilai status gizi balita dengan
menggunakan indeks Berat Badan/Tinggi Badan (BB/TB) yang dikonversikan dengan baku rujukan WHO Anthro 2005, status gizi dapat dibagi enam kategori :
1. Sangat Gemuk : jika skor simpangan baku > 3,0 SD 2. Gemuk : jika skor simpangan baku 2,0 < Z < 3,0 3. Risiko Gemuk : jika skor simpangan baku 1,0 < Z < 2,0
4. Normal : jika skor simpangan baku -2,0 < Z < 1,0 5. Kurus : jika skor simpangan baku -3,0 < Z < -2,0
2.3. Keluarga Perokok
Menurut Departemen Kesehatan RI (1998): Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang
terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Menurut Dufall dan Logan (1986), keluarga adalah sekumpulan dengan
ikatan perkawinan, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya dan meningkatkan perkembangan fisik, mental,
emosional serta sosial dari setiap anggota keluarga.
Keluarga juga berperan atau berfungsi sebagai tempat belajar berbagai
dasar kehidupan bermasyarakat sangat tepat dijadikan sebagai filter utama untuk membentuk pola hidup sehat guna menjaga ketahanan keluarga. Keluarga yang dibangun dengan dasar yang kuat dan memiliki individu yang sehat akan menjadi
keluarga yang berperngaruh kuat dalam pembangunan semua bidang. Karena dengan kondisi keluarga yang sehat, sebuah keluarga akan mencapai tahap kesejahteraan (Sudaryati, 2013).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), merokok didefenisikan sebagai menghisap rokok, sedangkan rokok itu sendiri diartikan gulungan
tembakau (kira-kira sebesar kelingking) ynag dibungkus (daun nipah, kertas, dsb). Keluarga perokok adalah sebuah rumah tangga atau keluarga yang mempunyai salah satu anggota keuarga yang merokok baik perempuan maupun
pria yang tinggal serumah dalam satu atap. Merokok merupakan salah satu kebiasaan yang lazim ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Merokok merupakan
menyetujui atau melihat manfaat yang dikandungnya. Namun tidak mudah untuk
menurunkan terlebih menghilangkannya.
Kebiasaan merokok merupakan suatu kebudayaan bagi Suku Karo yang
berada di Kecamatan Berastagi dan kebiasaan ini sangat sulit untuk diubah. Akan tetapi jika tidak segera diubah maka akan berdampak bagi kualitas SDM yang akan terlihat dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu keluarga yang
mempunyai anggota perokok perlu diperhatikan bagaimana pola asuh anak pada keluarga tersebut. Karena jika kebiasaan merokok dengan pola asuh yang tidak
baik akan memperburuk status gizi balita. 2.3.1. Indikator Perilaku Merokok
Sujoraharjo (1995) mengatakan bahwa 40% dari perokok-perokok adalah perokok berat. Ada tiga indikator perilaku merokok antara lain :
1. Aktivitas fisik, merupakan perilaku yang ditampakkan individu saat merokok.
Perilaku ini berupa keadaan individu berada pada kondisi memegang rokok,
menghisap rokok, dan menghembuskan asap rokok.
2. Akivitas psikologis, merupakan aktivitas yang muncul bersamaan dengan
aktivitas fsik. Akivitas psikologis berupa asosiasi individu terhadap rokok yang dihisap yang dianggap mampu meningkatkan daya konsentrasi, memperlancar kemampuan ketegangan, meredakan ketegangan,
meningkatkan kepercayaan diri, dan penghilang kesepian.
3. Intensitas merokok yang cukup tinggi, yaitu seberapa sering atau seberapa
Menurut Engle (1997), Pola Asuh adalah kemampuan keluarga dan
masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan dalam memenuhi kebutuhan fifik, mental, dan sosial dari anak yang sedang tumbuh dan anggota
lainnya. Pola asuh meliputi 6 hal yaitu : (1) perhatian/dukungan ibu terhadap anak, (2) pemberian ASI atau makanan pendamping pada anak, (3) rangsangan psikososial terhadap anak, (4) persiapan dan penyimpanan makanan, (5) praktek
kebersihan atau higiene dan sanitasi lingkungan dan (6) perawatan balita dalam keadaan sakit seperti mencari tempat pelayanan kesehatan. Pemberian ASI dan
Berkaitan dengan kota, pedesaan Gambar 2.1 Kerangka Teori
Pola Asuh:
1. Peraktek pemberian makanan meliputi: Pemberian makanan pendamping
serta persiapan dan penyimpanan makanan. Status Gizi Balita 2. Peraktek kebersihan/hygiene dan sanitasi Keluarga Perokok
lingkungan. BB/TB
3. Perawatan anak dan keluarga dalam
keadaaan sakit.
Karakteristik keluarga perokok: 1. Tingkat pendapatan keluarga. 2. Tingkat pengetahuan.
3. Tingkat pendidikan. 4. Jumlah anggota keluarga. 5. Pekerjaan Ibu.
6. Perilaku merokok anggota keluarga.
Gambar 2.2. Kerangka konsep gambaran pola asuh dan status gizi balita pada keluarga perokok
Berdasarkan kerangka konsep di atas maka dapat kita lihat bahwa status gizi dipengaruhi oleh pola asuh yang meliputi praktek pemberian makanan
(pemberian makanan pendamping ASI serta persiapan dan penyimpanan makanan), praktek kebersihan/hygiene dan sanitasi lingkungan, serta perawatan anak dan keluarga dalam keadaan sakit. Jika pola asuh anak di dalam keluarga
keluarga, jumlah anggota keluarga, dan perilaku merokok anggota keluarga juga