• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pola Asuh Anak - Gambaran Pola Asuh dan Status Gizi Balita Pada Keluarga Perokok di Kecamatan Berastagi Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pola Asuh Anak - Gambaran Pola Asuh dan Status Gizi Balita Pada Keluarga Perokok di Kecamatan Berastagi Tahun 2014"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pola Asuh Anak

Pola asuh anak adalah kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan yang berdampak luas pada kehidupan seluruh anggota keluarga yang menjadi

dasar penyediaan pengasuhan yang tepat dan bermutu pada anak termasuk pengasuhan makanan bergizi (Depkes RI, 2000).

Pola asuh anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatan dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal

kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau di

masyarakat dan sebagainya dari si ibu atau pengasuh anak (Sunarti, 2004).

Masa pengasuhan, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan dan

perawatan orang tua oleh karena itu orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak. Melalui orang tua, anak beradaptasi dengan lingkungannya untuk mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan hidup yang

berlaku di lingkungannya. Dengan demikian dasar pengembangan dari seorang individu telah diletakkan oleh orang tua melalui praktek pengasuhan anak sejak ia

masih bayi (Supanto, 1990).

Kerangka konseptual yang dikemukan oleh UNICEF yang dikembangkan

(2)

yaitu : (1) perhatian/dukungan ibu terhadap anak, (2) pemberian ASI atau

makanan pendamping pada anak, (3) rangsangan psikososial terhadap anak, (4) persiapan dan penyimpanan makanan, (5) praktek kebersihan atau higiene dan

sanitasi lingkungan dan (6) perawatan balita dalam keadaan sakit seperti mencari tempat pelayanan kesehatan. Pemberian ASI dan makanan pendamping pada anak serta persiapan dan penyimpanan makanan tercakup dalam praktek pemberian

makan (Engle, 1997).

2.1.1. Peraktek Pemberian Makanan

2.1.1.1.Pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan Makanan Pendamping Pada Anak

Pola asuh anak berkaitan dengan keadaan gizi anak. Pembrian kolostrum pada bayi dihari-hari pertama kehidupan berdampak positif pada keadaan gizi

anak pada umur selanjutnya. Anak-anak dengan keadaan gizi yang lebih baik berkaitan erat juga dengan perilaku pemberian ASI. Mereka yang sudah tidak diberikan ASI lagi ternyata keadaan gizinya lebih rendah (Jahari, dkk, 2000).

Pemberian makanan balita bertujuan untuk mendapat zat gizi yang diperlukan tubuh untuk pertumbuhan dan pengaturan faal tubuh. Zat gizi berperan memelihara dan memulihkan kesehatan serta untuk melaksanakan kegiatan

sehari-hari, dalam pengaturan makanan yang tepat dan benar merupakan kunci pemecahan masalah (Suharjo, 2003).

Tujuan pemberian makanan pada anak balita adalah :

1. Untuk mendapat zat gizi yang diperlukan tubuh dan digunakan oleh tubuh.

2. Untuk pertumbuhan dan pengaturan faal tubuh.

(3)

4. Untuk mencegah terjadinya berbagai gangguan gizi pada balita diperlukan

adanya perilaku penunjang dari para orang tua, ibu atau pengasuhan dalam

keluarga.

5. Selalu memberikan makanan bergizi yang seimbang kepada balita (Suharjo,

2003).

Anjuran makanan untuk balita mulai dari lahir hingga berumur lima tahun yang di berikan oleh ibu kepada anak antara lain :

1. Makanan Anak sejak Lahir Sampai Usia 2 tahun

Keadaan gizi anak pada waktu lahir sangat di pengaruhi oleh keadaan gizi

ibu selama hamil. Ibu yang selama hamilnya menderita gangguan gizi selain akan melahirkan anak yang gizinya kurang baik, juga memungkinkan dapat melahirkan anak dengan berbagai kelainan dalam pertumbuhannya. Dalam usia empat bulan,

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang paling utama.

Air susu ibu merupakan makanan pokok yang terbaik bagi bayi. Bila ibu

dan bayi sehat, ASI hendaknya cepat diberikan. ASI diproduksi pada 1-5 hari pertama dinamakan kolostrum, yaitu cairan kental berwarna kekuningan. Kolostrum mengandung lebih banyak antibodi, protein, mineral dan vitamin A.

Pemberian ASI tidak dibatasi dan dapat diberikan setiap saat. ASI eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang,

pepaya, bubur susu, biskuit dan tim.

ASI benar-benar bergizi sehingga tidak memerlukan tambahan.

(4)

(sembelit) dan obesitas (kegemukan) tampak lebih kecil kemungkinan terjadi pada

bayi yang mengkonsumsi ASI (Hayati, 2009).

ASI eksklusif adalah bayi yang diberi ASI saja tanpa tambahan cairan lain

seperti susu formula, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur, biskuit dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 4 bulan, tetapi bila mungkin

sampai 6 bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan harus mulai diperkenalkan dengan makanan padat, sedangkan ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2 tahun atau

bahkan lebih dari 2 tahun (Roesli, 2000).

Setelah berumur 6 bulan, bayi memerlukan makanan pendamping karena

kebutuhan gizi bayi meningkat dan tidak seluruhnya dapat dipengaruhi oleh ASI. Pemberian makanan pendamping harus bertahap dan bervariasi, dari mulai bentuk cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan

lembek dan akhirnya makanan padat. Pemberian makanan pendamping dilakukan secara berangsur untuk mengembangan kemampuan bayi mengunyah dan menelan serta menerima bermacam-macam makanan dengan berbagai tekstur dan

rasa (Arisman, 2004).

Pertumbuhan anak usia 1-3 tahun tidak sama dengan masa bayi, tetapi

pada masa ini aktifitasnya lebih banyak. Golongan ini sangat rentan terhadap penyakit dan gizi dan infeksi. Syarat makanan yang harus diberikan adalah makanan yang mudah dicerna dan tidak merangsang (tidak pedas) dengan jadwal

(5)

frekuensi makan pada bayi dan anak balita, hendaknya diatur sesuai dengan

perkembangan usia dan kemampuan organ pencernaannya (Depkes RI, 2006). 2. Makanan Anak Usia 3 Tahun Sampai 5 Tahun

Makanan anak usia 3 tahun sampai 5 tahun, tetap sama dengan makanan sebelumnya. Terutama protein dan vitamin A, di samping kalori dalam jumlah yang cukup. Anak-anak dalam usia ini sudah dapat lebih banyak dikenalkan

dengan makanan yang disajikan untuk keluarga. Bahan-bahan makanan seperti tahu, tempe, dan sayuran dapat diberikan sejak anak melewati usia 1 tahun.

Anak berusia 1-5 tahun merupakan konsumen pasif, dimana makanan yang dimakan anak hanya sebatas makanan tumbuhan disamping ASI atau

tergantung pada apa yang disediakan oleh orang tuanya yang memang sudah dianggap dapat memenuhi gizi anak, sehingga peranan orang tua dalam menentukan makanan yang bergizi lengkap dan seimbang. Pada usia ini, rasa

ingin tahu anak juga sanga tinggi sehingga para ibu memiliki kesempatan untuk memperkenalkan berbagai jenis makanan yang beraneka ragam yang dapat dikonsumsi oleh balita. Setelah anak mencapai usia 5 tahun, makanan padat sudah

dapat diberikan karena dengan bertambahnya umur maka kebutuhan zat gizi akan semakin meningkat.

Pengetahuan ibu juga sangat diperlukan dalam mengolah makanan untuk anak balita. Pada masa balita umumnya anak balita mempunyai selera makan yang bergelombang dan cenderung memilih. Mereka lebih cenderung lebih suka

(6)

Apabila tidak terpenuhinya gizi dalam tubuh anak balita maka akan

menyebabkan gangguan gizi. Ada beberapa hal yang menyebabkan gangguan gizi adalah karena tidak sesuainya jumlah zat gizi yang diperoleh dari makanan

dengan kebutuhan tubuh mereka. Gizi yang buruk menyebabkan mudahnya terjadinya infeksi karena daya tubuh menurun, sebaliknya, penyakit infeksi sering menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan zat gizi sedangkan nafsu makan

biasanya menurun dan dapat mengakibatkan anak yang gizinya baik akan menderita gangguan gizi.

2.1.1.2.Persiapan dan Penyimpanan Makanan

Pada saat mempersiapkan makanan, kebersihan makanan perlu mendapat

perhatian khusus. Makanan yang kurang bersih dan sudah tercemar dapat menyebabkan diare atau cacingan pada anak. Begitu juga dengan si pembuat makanan dan peralatan yang dipakai seperti sendok, mangkok, gelas, piring dan

sebagainya sangat menentukan bersih tidaknya makanan. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :

a. Simpan makanan dalam keadaan bersih, hindari pencemaran dari debu dan

binatang.

b. Alat makan dan memasak harus bersih.

c. Ibu atau anggota keluarga yang memberikan makanan harus mencuci tangan

dengan sabun sebelum memberikan makan.

d. Makanan selingan sebaiknya dibuat sendiri.

(7)

Praktek kebersihan dan kesehatan sanitasi lingkungan adalah usaha untuk

pengawasan terhadap lingkungan fisik manusia yang dapat memberikan akibat yang merugikan kesehatan jasmani dan kelangsungan hidupnya (Slamed, 1996).

Widaninggar (2003) mengatakan kondisi lingkungan anak harus benar diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan rumah dan lingkungan adalah bangunan rumah, kebutuhan

ruangan (bermain-main) pergantian udara, sinar matahari, penerangan, air bersih, pembuangan sampah, saluran pembuangan air limbah (SPAL), kamar mandi, dan

halaman rumah. Kebersihan, baik kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan memegang peranan penting bagi tumbuh kembang anak, kebersihan

perorangan yang kurang akan memudahkan terjadinya penyakit kulit dan saluran pencernaan seperti diare, cacingan, dan lain-lain. Kebersihan lingkungan erat hubungan dengan penyakit saluran pernapasan, saluran pencernaan, serta penyakit

akibat nyamuk.

Oleh karena itu penting membuat lingkungan layak untuk tumbuh kembang anak, sehingga meningkatkan rasa aman bagi ibu/pengasuh anak dalam

menyediakan kesempatan bagi anaknya untuk eksplorasi lingkungan. Menanamkan kebersihan di rumah sangat penting karena sumber infeksi amat

banyak di sekeliling balita. Oleh karena itu untuk menghindari segala kemungkinan infeksi dan penyakit, maka rumah dan anak-anak harus diamankan dari serangan penyakit.

Menurut Sulistijani (2001), mengatakan bahwa lingkungan yang sehat perlu diupayakan dan dibiasakan, tetapi tidak dilakukan sekaligus, harus

(8)

bersih rapi dan teratur. Oleh karena itu anak perlu dilatih untuk mengembangkan

sifat-sifat sehat sebagai berikut : (a) mandi 2 kali sehari; (b) cuci tangan sebelum dan sesudah makan; (c) menyikat gigi sebelum tidur; (d) membuang sampah pada

tempatnya; dan (e) buang air kecil dan besar pada tempatnya.

2.1.3. Praktek Perawatan Anak dan Keluarga Dalam Keadaan Sakit

Praktek perawatan kesehatan anak dalam keadaan sakit adalah salah satu

aspek pola asuh yang dapat mempengaruhi status gizi anak, membaik praktek pengasuhan kesehatan adalah hal-hal yang dilakukan untuk menjaga status

kesehatan anak, menjauhkan dan menghindarkan penyakit serta dapat menyebabkan turunnya keadaan kesehatan anak. Praktek perawatan kesehatan

meliputi pengobatan penyakit pada anak apabila anak menderita sakit dan tindakan pencegahan terhadap penyakit sehingga anak tidak sampai terkena suatu penyakit. Praktek perawatan kesehatan anak yang baik dapat ditempuh dengan

cara memperhatikan keadaan gizi anak, kelengkapan imunisasi, kebersihan diri anak dan lingkungan di mana anak berada, serta upaya ibu dalam hal mencari pengobatan terhadap anak apabila sakit ibu membawa anak ke tempat pelayanan

kesehatan seperti rumah sakit, klinik, puskesmas, polindes (Zeitlin, 1990).

Masa bayi dan balita sangat rentan terhadap penyakit seperti flu, diare atau

penyakit infeksi lainnya. Jika anak sering menderita sakit dapat menghambat atau mengganggu proses tumbuh kembang anak. Ada beberapa penyebab seorang anak mudah terserang penyakit adalah :

1. Apabila kecukupan gizi terganggu karena anak sulit makan dan nafsu makan menurun. Akibatnya daya tahan tubuh menurun sehingga anak menjadi rentan

(9)

2. Lingkungan yang kurang mendukung sehingga perlu diciptakan lingkungan

dan perilaku yang sehat.

3. Jika orang tua lalai dalam memperhatikan proses tumbuh kembang anak oleh

karena itu perlu memantau dan menstimulasi tumbuh kembang bayi dan anak secara teratur sesuai dengan tahapan usianya dan segera memeriksakan kedokter jika anak menderita sakit.

2.2. Status Gizi

Menurut penelitian Hafrida (2004), terdapat kecenderungan pola asuh

dengan status gizi. Semakin baik pola asuh anak maka proporsi gizi baik pada anak juga akan semakin besar. Dengan kata lain, jika pola asuh anak di dalam

keluarga semakin baik tentunya tingkat konsumsi pangan anak juga akan semakin baik dan akhirnya akan mempengaruhi keadaan gizi anak.

Status gizi adalah keadaan kesehatan individu-individu atau

kelompok-kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik dan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan dan fisiknya dapat diukur secara antropometri (Suharjo, 2005).

Status gizi merupakan tanda-tanda penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari

pangan yang dikonsumsi pada suatu saat didasarkan pada kategori dan indikator yang di gunakan (Depkes RI, 2002).

2.2.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Menurut Soekirman (1990), menyatakan faktor yang mempengaruhi

(10)

keluarga, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, sosial budaya dan bencana

alam.

1. Tingkat Pendapatan Keluarga

Menurut Adisasmito (2007), mengatakan di Indonesia dan negara lain

menunjukkan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara kurang gizi dan

kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi

buruk, proporsi anak yang gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan

pendapatan. Semakin kecil pendapatan penduduk, semakin tinggi persentase

anak.

Menurut Winarno (1993) mengatakan bahwa terdapat kecenderungan

penurunan pengeluaran sesuai dengan kenaikan pendapatannya, namun

pengeluaran untuk pangan masih merupakan bagian terbesar dari pengeluaran

rumah tangga Indonesia, disamping itu Winarno juga menambahkan salah satu

penyebab malnutrisi disebabkan oleh faktor ekonomi dan sosial budaya yang

secara nyata telah memberikan gambaran menyeluruh mengenai masalah gizi di

daerah masyarakat miskin.

Hubungan pendapatan dan gizi dalam keluarga didorong oleh pengaruh yang menguntungkan dari peningkatan pendapatan untuk perbaikan kesehatan dan

gizi. Sebaliknya jika rendahnya pendapatan seseorang maka daya beli berkurang sehingga kemungkinan kebiasaan makan dan cara-cara lain menghalangi

(11)

2. TingkatPengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, atau pengetahuan adalah sesuatu yang

diketahui, penginderaan terjadi melalui panca indera, yaitu : penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan karsa. Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai macam sumber, misalnya :

media masa, elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan dan sebagainya. Pengetahuan ini dapat membentuk keyakinan tertentu, sehingga seseorang

berperilaku sesuai dengan keyakinan tersebut. Pengetahuan merupakan resultan dari akibat proses penginderaan terhadap suatu objek, penginderaan tersebut

sebagian besar berasal dari penglihatan dan pendengaran (Notoatmojo, 1993). Pengetahuan gizi seseorang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan dan status gizinya, dimana pengetahuan gizi

tersebut didukung oleh latar belakang pendidikannya. Rendahnya tingkat pedidikan menyebabkan berbagai keterbatasan dalam menerima informasi dan penanganan masalah gizi dan kesehatan, sekalipun di daerah tempat tinggalnya

banyak tersedia bahan makanan (sayuran dan buah) serta pelayanan kesehatan yang memadai, yang dapat menyampaikan informasi tentang bagaimana

mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi.

Dengan tingkat pengetahuan yang rendah, maka walaupun makanan yang berkualitas baik masuk ke rumah tangga, tidak ada jaminan apakah makanan itu

(12)

pengetahuan ibu. Makin tinggi tingkat pengeluaran dan tingkat pengetauan gizi

ibu, maka makin baik pula kecukuan gizi anak balita mereka (Grant, 1986).

Menurut Suharjo (1996), suatu hal yang harus diperhatikan tentang

pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan :

1. Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.

2. Setiap orang hanya cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu

menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan yang optimal,

pemeliharaan dan energi.

3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar

menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.

Pada keluarga pengetahuan yang rendah sering kali tidak puas dengan makanan dan tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena ketidaktahuan ibu, seperti air susu ibu (ASI) dan sesudah usia enam bulan tidak mendapat makanan

pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat baik jumlah atau kualitasnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disajikan dan dipersiapkan di rumah tangga

(Adisasmito, 2007).

Faktor pengetahuan menyebabkan status gizi berubah disebabkan oleh :

a. Ibu yang tidak memahami tentang gizi.

b. Tidak memahami cara mengolah makanan agar zat-zat yang terkandung tidak

hilang saat pengolahan.

c. Tidak memahami tentang cara konsumsi makanan anak balita.

d. Jenis makanan yang mempengaruhi jiwa anak misalnya timbul kebosanan

terhadap makanan olahan ibunya.

e. Rendahnya tingkat pengetahuan mengakibatkan rendahnya pendidikan, dan

(13)

cukup tetapi karena tidak ada dana untuk membeli bahan makanan tertentu

yang kadar gizinya tinggi seperti daging.

3. Tingkat Pendidikan

Menurut Ahmadi (2001) pendidikan adalah usaha untuk mengembangkan

kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah berlangsung seumur hidup. Pendidikan gizi adalah pengetahuan yang memungkinkan seseorang dan

mempertahankan pola makan berdasarkan prinsip-prinsip ilmu untuk mempraktekkan atau pelaksanaan dengan pengertian makanan yang bergizi, baik bahan makanan, pengolahan, sikap dan emosi pada seseorang yang berkaitan

dengan makanan (Soegeng, 1999).

Pendidikan dalam keluarga merupakan lingkungan anak yang pertama dan

merupakan dasar bagi pendidikan anak selanjutnya. Disamping keluarga sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga merupakan tempat sang anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidupnya, tidak

terkecuali kebutuhan gizi dan kesehatan (Bitai dkk, 1998).

Menurut Adisasmito (2007), mengatakan unsur pendidikan ibu

berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak, apabila ibu berpendidikan lebih baik maka mengerti cara pemberian makan, menggunakan pelayanan kesehatan, menjaga kebersihan lingkungan bebas dari penyakit.

Ibu yang berpendidikan lebih baik kemungkinan menggunakan perawatan kesehatan dan fasilitas kesehatan pelayanan kesehatan yang ada dari ibu yang

(14)

Jumlah anggota keluarga dan banyaknya anak dalam keluarga akan

berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pangan, jumlah anggota keluarga yang besar dibarengi dengan distribusi pangan yang tidak merata sehingga

menyebabkan anak dalam keluarga mengalami kekurangan gizi (Suharni, 1985). Berdasarkan pendapat di atas bahwa besarnya tanggungan keluarga akan semakin kecil tingkat konsumsi pangan untuk masing-masing anggota keluarga

atau dapat dikatakan semakin besar tanggungan keluarga semakin besar pula pangan yang harus tersedia.

5. Status Pekerjaan Ibu

Ibu-ibu yang bekerja dari pagi hingga sore tidak memiliki waktu yang

cukup bagi anak-anak dan keluarga. Dalam hal ini ibu mempunyai peran ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga dan wanita pekerja. Walaupun demikian ibu dituntut tanggung jawabnya kepada suami dan anak-anaknya, khususnya

memelihara anak. Keadaan yang demikian dapat mempengaruhi keadaan gizi keluarga khususnya anak balita dan usia sekolah. Ibu-ibu yang bekerja tidak mempunyai waktu yang cukup untuk memperhatikan makanan anak yang sesuai

dengan kebutuhan dan kecukupan serta kurang perhatian dan pengasuhan kepada anak (Berg, A & Sajogyo, 1986).

2.2.2. Pengaruh Perokok Pasif Terhadap Status Gizi Balita

Perokok pasif adalah orang yang ikut menghirup asap rokok yang

dikeluarkan oleh perokok aktif pada saat merokok. Menghirup asap rokok orang lain lebih berbahaya dibandingkan menghisap rokok sendiri. Bahkan bahaya yang

(15)

dapat diderita perokok pasif ini tidak lebih baik dari perokok aktif (Sapphire,

2009).

Hasil studi penelitian epidemologi menunjukkan bukti yang kuat bahwa

paparan asap rokok lingkungan terhadap anak berkaitan peningkatan jumlah penyakit saluran nafas bawah, asma, dan penyakit infeksi lainnya. Paparan semasa kanak-kanak juga dapat menyebabkan pertumbuhan kanker semasa dewasa.

Penelitian meta analisis yang dilakukan Strachan dan Cook menyimpulkan bahwa hubungan orang tua perokok dan penyakit saluran nafas bawah akut pada bayi

sangat mungkin. Paparan asap rokok lingkungan (salah satu keluarga adalah perokok) setelah bayi lahir menyebabkan peningkatan resiko penyakit pernafasan

akut pada anak. Juga terbukti ada hubungan antara orang tua perokok khususnya dengan penyakit saluran nafas bawah akut pada tahun kedua dan tahun ketiga kehidupan anak (Rad Marssy, 2007).

Data yang dikutip dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebutkan bahwa ada 121 juta keluarga di Indonesia yang menjadi keluarga perokok. Dengan kata lain, apabila dalam satu keluarga terdapat seorang bayi dan

balita, bearti 121 juta anak Indonesia menjadi perokok pasif.

2.2.3. Penilaian Status Gizi

Untuk mengetahui pertumbuhan anak, secara praktis dilakukan

pengukuran tinggi badan dan berat badan secara teratur. Ada beberapa cara menilai status gizi yaitu dengan pengukuran antropometri, klinis, biokimia dan

(16)

Indeks Antropometri

Pengukuran status gizi anak berdasarkan antropometri adalah jenis pengukuran yang paling sederhana dan praktis karena mudah dilakukan dan dapat

dilakukan dalam jumlah sampel yang besar. Secara umum antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Antropometri merupakan pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi yang dapat dilakukan

terhadap Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB) dan lingkaran bagian-bagian tubuh serta tebal lemak dibawah kulit (Supariasa, dkk, 2001).

Sampai saat ini, ada beberapa kegiatan penilaian status gizi yang dilakukan yaitu kegiatan Pemantauan Status Gizi (PSG), kegiatan bulan penimbangan dan

dalam kegiatan penelitian. Jenis pengukuran yang paling sering dilakukan adalah antropometri, karena mudah, prosedurnya sederhana dan dapat dilakukan berulang serta cukup peka untuk mengetahui adanya perubahan pertumbuhan tertentu pada

anak balita.

Cara pengukuran dengan antopometri dilakukan dengan mengukur beberapa parameter antara lain : umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan

atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit. Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Indeks

antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi adalah Berat Badan menurut umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB).

1. Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)

Pilihan indeks antropometri tergantung pada tujuan penilaian status gizi.

(17)

mudah berubah namun tidak spesifik karena berat badan selain dipengaruhi oleh

umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan.

2. Indeks Tinggi Badan menurut Umur

Indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lalu karena dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan denganbertambahnya umur. Pertambahan tinggi badan atau panjang badan relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam

waktu yang singkat. Pengaruh kurang gizi terhadap perrtumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam waktu yang cukup lama.

3. Indeks Berat Badan Menurut Tinggi Badan

Indeks tunggal BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menyatakan

status gizi saat ini seperti halnya dengan BB/U yang digunakan bila data umur yang akurat sulit diperoleh. Oleh karena itu, indeks BB/TB termasuk indikator status gizi yang independen terhadap umur. Indeks BB/TB menggambarkan

secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini, dapat dikategarikan sebagai kurus merupakan pengukuran antropometri yang terbaik (Soekirman, 2000).

Menurut Soekirman (2000), untuk menilai status gizi balita dengan

menggunakan indeks Berat Badan/Tinggi Badan (BB/TB) yang dikonversikan dengan baku rujukan WHO Anthro 2005, status gizi dapat dibagi enam kategori :

1. Sangat Gemuk : jika skor simpangan baku > 3,0 SD 2. Gemuk : jika skor simpangan baku 2,0 < Z < 3,0 3. Risiko Gemuk : jika skor simpangan baku 1,0 < Z < 2,0

4. Normal : jika skor simpangan baku -2,0 < Z < 1,0 5. Kurus : jika skor simpangan baku -3,0 < Z < -2,0

(18)

2.3. Keluarga Perokok

Menurut Departemen Kesehatan RI (1998): Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang

terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.

Menurut Dufall dan Logan (1986), keluarga adalah sekumpulan dengan

ikatan perkawinan, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya dan meningkatkan perkembangan fisik, mental,

emosional serta sosial dari setiap anggota keluarga.

Keluarga juga berperan atau berfungsi sebagai tempat belajar berbagai

dasar kehidupan bermasyarakat sangat tepat dijadikan sebagai filter utama untuk membentuk pola hidup sehat guna menjaga ketahanan keluarga. Keluarga yang dibangun dengan dasar yang kuat dan memiliki individu yang sehat akan menjadi

keluarga yang berperngaruh kuat dalam pembangunan semua bidang. Karena dengan kondisi keluarga yang sehat, sebuah keluarga akan mencapai tahap kesejahteraan (Sudaryati, 2013).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), merokok didefenisikan sebagai menghisap rokok, sedangkan rokok itu sendiri diartikan gulungan

tembakau (kira-kira sebesar kelingking) ynag dibungkus (daun nipah, kertas, dsb). Keluarga perokok adalah sebuah rumah tangga atau keluarga yang mempunyai salah satu anggota keuarga yang merokok baik perempuan maupun

pria yang tinggal serumah dalam satu atap. Merokok merupakan salah satu kebiasaan yang lazim ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Merokok merupakan

(19)

menyetujui atau melihat manfaat yang dikandungnya. Namun tidak mudah untuk

menurunkan terlebih menghilangkannya.

Kebiasaan merokok merupakan suatu kebudayaan bagi Suku Karo yang

berada di Kecamatan Berastagi dan kebiasaan ini sangat sulit untuk diubah. Akan tetapi jika tidak segera diubah maka akan berdampak bagi kualitas SDM yang akan terlihat dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu keluarga yang

mempunyai anggota perokok perlu diperhatikan bagaimana pola asuh anak pada keluarga tersebut. Karena jika kebiasaan merokok dengan pola asuh yang tidak

baik akan memperburuk status gizi balita. 2.3.1. Indikator Perilaku Merokok

Sujoraharjo (1995) mengatakan bahwa 40% dari perokok-perokok adalah perokok berat. Ada tiga indikator perilaku merokok antara lain :

1. Aktivitas fisik, merupakan perilaku yang ditampakkan individu saat merokok.

Perilaku ini berupa keadaan individu berada pada kondisi memegang rokok,

menghisap rokok, dan menghembuskan asap rokok.

2. Akivitas psikologis, merupakan aktivitas yang muncul bersamaan dengan

aktivitas fsik. Akivitas psikologis berupa asosiasi individu terhadap rokok yang dihisap yang dianggap mampu meningkatkan daya konsentrasi, memperlancar kemampuan ketegangan, meredakan ketegangan,

meningkatkan kepercayaan diri, dan penghilang kesepian.

3. Intensitas merokok yang cukup tinggi, yaitu seberapa sering atau seberapa

(20)

Menurut Engle (1997), Pola Asuh adalah kemampuan keluarga dan

masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan dalam memenuhi kebutuhan fifik, mental, dan sosial dari anak yang sedang tumbuh dan anggota

lainnya. Pola asuh meliputi 6 hal yaitu : (1) perhatian/dukungan ibu terhadap anak, (2) pemberian ASI atau makanan pendamping pada anak, (3) rangsangan psikososial terhadap anak, (4) persiapan dan penyimpanan makanan, (5) praktek

kebersihan atau higiene dan sanitasi lingkungan dan (6) perawatan balita dalam keadaan sakit seperti mencari tempat pelayanan kesehatan. Pemberian ASI dan

(21)

Berkaitan dengan kota, pedesaan Gambar 2.1 Kerangka Teori

(22)

Pola Asuh:

1. Peraktek pemberian makanan meliputi: Pemberian makanan pendamping

serta persiapan dan penyimpanan makanan. Status Gizi Balita 2. Peraktek kebersihan/hygiene dan sanitasi Keluarga Perokok

lingkungan. BB/TB

3. Perawatan anak dan keluarga dalam

keadaaan sakit.

Karakteristik keluarga perokok: 1. Tingkat pendapatan keluarga. 2. Tingkat pengetahuan.

3. Tingkat pendidikan. 4. Jumlah anggota keluarga. 5. Pekerjaan Ibu.

6. Perilaku merokok anggota keluarga.

Gambar 2.2. Kerangka konsep gambaran pola asuh dan status gizi balita pada keluarga perokok

Berdasarkan kerangka konsep di atas maka dapat kita lihat bahwa status gizi dipengaruhi oleh pola asuh yang meliputi praktek pemberian makanan

(pemberian makanan pendamping ASI serta persiapan dan penyimpanan makanan), praktek kebersihan/hygiene dan sanitasi lingkungan, serta perawatan anak dan keluarga dalam keadaan sakit. Jika pola asuh anak di dalam keluarga

(23)

keluarga, jumlah anggota keluarga, dan perilaku merokok anggota keluarga juga

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Teori
Gambar 2.2.  Kerangka konsep gambaran pola asuh dan status gizi balita pada               keluarga perokok

Referensi

Dokumen terkait

Telah dirancang sebuah prototype ruang penyimpanan benih padi berdasarkan pengontrolan temperatur dan kelembaban. Berdasarkan data referensi yang dikumpulkan, diperoleh

Ke tiga anggota tim DP2M-Dikti cukup terkesan dengan besaran dana yang disediakan, publikasi dosen Unand (menurut mereka cukup banyak) dan banyaknya jenis skim penelitian

[r]

Tidak ada jalan lain untuk menghindar bahkan menyingkirkan pengaruh negatif dari hal-hal yang disebut diatas adalah mendalami, memahami dan mengaplikasikan Aqidah Islamiyah yang

This survey project covered the following people groups in the districts of Tawang, West Kameng and East Kameng: Tawang Monpa, Dirang Monpa, Kalaktang Monpa, Sartang, Lish,

Kesimpulan yang bisa didapat dari penelitan tentang pergeseran kata enyong pada masyarakat Jawa di Kabupaten Batang yaitu bahwa pada masayarakat yang tinggal di daerah rural,

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mengangkat permasalahan ini sebagai skripsi dengan judul: “Pengaruh Atribut Produk dan Persepsi Harga Terhadap

Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan metode pembelajaran drill dengan modifikasi bola dapat meningkatkan hasil belajar passing