• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Gizi Kurang pada Balita Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gizi Kurang pada Balita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Gizi Kurang pada Balita Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gizi Kurang pada Balita"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Gizi Kurang pada Balita

Status gizi sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat-zat gizi makanan yang dapat dinilai dengan berbagai cara yaitu melalui penilaian klinis, biokimia dan antropometri (Riyadi, 1995). Menurut Almatsier (2003) status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.

Setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda berdasarkan umurnya. Anak yang berusia 1-3 tahun (batita) merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Sedangkan anak usia 3-5 tahun (prasekolah) merupakan konsumen aktif, yang berarti bahwa anak-anak sudah dapat memilih makanan sendiri. Anak-anak pada usia pra sekolah menurut Khomsan (2004) sering dianggap sedang memasuki fase Jonny won’t eat (anak sering tidak mau makan)

Usia balita merupakan periode paling kritis dalam kehidupan manusia. Bayi sampai anak berusia 5 tahun yang lazim disebut balita, dalam ilmu gizi dikelompokkan sebagai golongan yang rawan terhadap kekurangan gizi. Gizi kurang pada balita diakibatkan konsumsi makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein dan atau karena gangguan kesehatan. Sejak sebelum merdeka hingga sekarang pada anak-anak khususnya balita masih merupakan masalah yang memprihatinkan (Soekirman 2000).

Pada umumnya balita adalah periode usia yang juga banyak menderita penyakit dan infeksi, dengan angka kematian yang relatif paling tinggi dibandingkan periode umur lainnya (Hastuti 2008). Oleh karena itu kebutuhan gizi merupakan kebutuhan yang penting dalam membantu proses pertumbuhan dan perkembangan balita. Hidayat (2004) menyebutkan bahwa manfaat gizi dalam tubuh adalah dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak, serta mencegah terjadinya berbagai penyakit akibat kurang gizi dalam tubuh seperti kekurangan energi dan protein yang dapat menghambat tumbuh kembang anak.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gizi Kurang pada Balita

Kurang gizi dianggap sebagai masalah ekologi karena merupakan hasil akhir dari berbagai pengaruh faktor-faktor yang saling berinteraksi di dalam ekologi (lingkungan) fisik, biologi dan budaya masyarakat. Pada umumnya kurang gizi terjadi karena kemiskinan, keterbatasan ketersediaan pangan,

(2)

pengetahuan gizi rendah, kebiasaan makan dan faktor lainnya (Suhardjo 1989). Namun ada fakta yang menunjukkan bahwa gizi kurang tidak selalu terjadi pada keluarga-keluarga miskin atau tinggal di lingkungan yang kumuh. Dengan kata lain, anak-anak yang mengalami gizi kurang dapat ditemukan pada keluarga-keluarga mampu (tidak miskin) yang hidup di lingkungan masyarakat yang cukup baik.

Menurut (Engel, Manon dan Haddad,1997) anak balita yang mengalami gizi kurang salah satunya disebabkan oleh kurangnya kepedulian ibu dalam mengasuh anak terutama dalam pemberian makanan misalnya ibu membiasakan diri untuk mencuci tangan sebelum makan. Lebih rinci faktor-faktor yang menyebabkan gizi kurang pada balita akan dijelaskan sebagai berikut.

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumahtangga) pada waktu tertentu. Konsumsi merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat gizi. Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, berat badan, iklim dan aktivitas fisik (Almatsier 2003).

Frekuensi makan dapat menunjukkan tingkat kecukupan konsumsi gizi. Semakin tinggi frekuensi makan, maka semakin besar kemungkinan terpenuhinya kecukupan gizi. Frekuensi makan pada seseorang dengan kondisi ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan kondisi ekonomi lemah. Hal ini disebabkan orang dengan kondisi ekonomi yang lemah memiliki daya beli yang rendah sehingga tidak dapat mengkonsumsi makanan dengan frekuensi yang cukup. Ketiadaan pangan dapat mengakibatkan berkurangnya asupan seseorang (Arisman 2009).

Menurut Hardinsyah & Martianto (1992) ada tiga hal yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu kualitas dan ragam pangan yang tersedia dari produksi, pendapatan dan tingkat pengetahuan gizi. Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang (sekeluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu. Hal ini menunjukkan

(3)

bahwa telaah tentang konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi.

Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan untuk melakukan aktivitas (internal dan eksternal), dan mempertahankan daya tahan tubuh. Kebutuhan gizi merupakan sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan. Kekurangan atau kelebihan konsumsi zat gizi dari kebutuhan normal jika berlangsung dalam jangka waktu lama dapat membahayakan kesehatan (Hardinsyah & Martianto 1992).

Kesehatan (Infeksi)

Sebagaimana Negara berkembang lainnya masalah kesehatan anak di Indonesia masih berupa : (1) penyakit infeksi, pada umumnya infeksi saluran nafas dan penyakit-penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi ; (2) penyakit diare ; dan (3) masalah gizi khususnya malnutrisi. Keadaan status gizi anak merupakan akibat interaksi berbagai faktor, yang paling utama adalah dua faktor yaitu konsumsi dan infeksi (Soekirman 2000). Penyakit infeksi dan status gizi seorang anak masih sering dianggap sebagai dua hal yang terpisah. Sebenarnya antara dua faktor yang sama-sama menentukan kesehatan anak ini terdapat hubungan yang timbal balik yang sangat erat dan saling mempengaruhi.

Penyakit infeksi seperti diare, campak, dan infeksi saluran nafas bisa berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu mempengaruhi nafsu makan, dapat menyebabkan kehilangan makanan karena diare/muntah-muntah, atau mempengaruhi metabolisme makanan. Secara umum defisiensi gizi sering merupakan awal dari gangguan defisiensi sistem kekebalan tubuh. Selain infeksi oleh kuman dan virus, infeksi dapat berupa masuknya parasit ke dalam tubuh yaitu cacing / kecacingan (Arisman 2009).

Menurut Sukarni (1989) usia balita merupakan usia yang rentan terhadap masalah pangan, gizi dan kesehatan. Kemampuan saluran pencernaan pada usia ini masih terbatas, kebutuhan zat gizi yang cukup tinggi dan aktifnya interaksi dengan lingkungan bersanitasi buruk dapat memudahkan penularan infeksi. Oleh karena itu diperlukan perhatian khusus dari orang tua. Perhatian atau kepedulian yang tinggi dari ibu dan keluarga dalam mengasuh anak akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangannya di masa depan.

(4)

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga

Umur orang tua. Umur orang tua terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu dalam mengasuh anak. Seorang ibu yang masih muda kemungkinan kurang memiliki pengalaman dalam mengasuh anak sehingga dalam merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Ibu dengan usia muda cenderung memperhatikan kepentingannya sendiri daripada anak dan keluarga (Hurlock 1993).

Pendidikan Orang Tua. Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, (Sukandar 2007). Dari berbagai penelitian diketahui bahwa apabila pendidikan dan pengetahuan dalam berbagai bidang gizi yang dimiliki orang tua baik, maka keadaan gizi anak juga baik (Riyadi 2006). Semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka akan semakin luas wawasan berfikirnya, sehingga lebih banyak informasi yang diperoleh. Hal tersebut akan berdampak positif terhadap ragam pangan yang dikonsumsi. Latar belakang pendidikan ibu juga berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk konsumsi pangan sehari-hari (Engle et al. 1997). Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk berbuat dapat digunakan untuk mendapatkan informasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik (Madanijah 2003).

Pekerjaan Orang Tua. Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan. Besar pendapatan yang diterima individu akan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dilakukan (Suhardjo 1989). Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar (Engel et al. 1994). Bila mereka bekerja maka akan diupah lebih tinggi dibanding dengan orang yang berpendidikan rendah. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan individu akan berpengaruh terhadap besar pendapatan yang akan diterimanya. Kemampuan individu menyediakan makanan dalam jumlah yang cukup dipengaruhi oleh pendapatan dan daya beli yang cukup.

Besar Keluarga . Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Menurut Sanjur (1982), banyaknya

(5)

anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan dalam hubungannya dengan pengeluaran pangan rumah tangga. Besar kecilnya anggota keluarga dapat mempengaruhi kebutuhan keluarga, semakin besar anggota keluarga maka kebutuhan pangan yang harus tercukupi semakin meningkat, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan pangan keluarga akan tinggi ( Lumeta 1987).

Peningkatan jumlah keluarga menurunkan konsumsi pangan hewani dan pangan sumber karbohidrat diganti dengan yang lebih murah atau dalam porsi yang lebih kecil (Hartog et al. 1995). Menurut BKKBN (1998), jumlah anggota keluarga dapat diklasifikasikan sebagai besar keluarga dalam tiga kategori, yaitu kecil (<4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (> 7 orang). Suhardjo (1989) menyatakan bahwa ada hubungan yang sangat nyata antara besar keluarga dengan kurang gizi pada masing-masing keluarga.

Pendapatan Keluarga. Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan lebih dominan daripada kebutuhan non pangan. Sebaliknya, jika pendapatan meningkat maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat kebutuhan akan pangan sudah terpenuhi (Husaini et al. 2000).

Menurut Sajogyo (1994) rendahnya pendapatan merupakan faktor yang menyebabkan orang tidak mampu membeli dan memilih pangan yang bermutu gizi baik dan beragam. Sesuai dengan Hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang baik. Sebaliknya, rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang (Berg 1986)

(6)

Pola Asuh

Pola pengasuhan merupakan sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, dan memberi kasih sayang. Oleh karena itu menurut Hastuti (2008) pola pengasuhan mencakup pengasuhan makan, pengasuhan hidup sehat, pengasuhan akademik, pengasuhan sosial ekonomi, serta pengasuhan moral dan disiplin. Pola pengasuhan tersebut berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum,pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, peran keluarga dalam masyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat dari ibu atau pengasuh (Soekirman 2000). Dalam penelitian Diana (2004) di Sumatera Barat, pola asuh anak yang kurang akan mempunyai resiko anak balita KEP 1,5 kali dibandingkan dengan anak balita yang dengan pola asuh cukup. Selain itu Diana (2004) juga menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh adalah pendidikan ibu,pekerjaan ibu,umur,dan tingkat pengetahuan ibu.

Pola Asuh Makan. Pola asuh makan merupakan praktek-praktek pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak yang berkaitan dengan pemberian makan (Karyadi 1985). Pemberian makanan bergizi mutlak dianjurkan untuk anak melalui peran ibu atau pengasuhnya. Menurut Hastuti (2008) pola asuh makan mengacu pada apa dan bagaimana anak makan, serta situasi pada saat anak makan. Makanan dan minuman bergizi harus dapat disediakan orang tua bahkan sejak masa prenatal (sebelum kelahiran) hingga masa post natal (setelah kelahiran), periode usia bayi, balita, usia prasekolah,usia sekolah hingga periode usia dewasa. Anak telah memiliki kemampuan motorik halus ketika berusia dua tahun, olah karena itu pada usia ini anak dapat dibiasakan untuk memegang sendok makan dan gelas minumnya sendiri, belajar memasukkan makanan ke dalam mulut dan mengunyahnya dengan baik.

Kebiasaan makan yang beragam, bergizi dan berimbang, harus dibiasakan sejak usia dini. Pemberian makanan yang baik akan membentuk kebiasaan makan yang baik pula pada anak. Selain itu, balita yang mendapatkan kualitas pengasuhan yang lebih baik kemungkinan besar akan memiliki angka kesakitan yang rendah dan status gizi yang relatif lebih baik. Praktek pola asuh makan terdiri dari : (1) pemberian makan yang sesuai umur dan kemampuan anak, (2) kepekaan ibu atau pengasuh mengetahui waktu makan anak, (3) upaya menumbuhkan nafsu makan anak, (4) menciptakan situasi makan yang baik

(7)

seperti memberikan rasa nyaman, (5) kuantitas dan kualitas makanan serta (6) cara penyajian dan pemberian makan yang benar (Engel dkk 1997). Apabila praktik pengasuhan yang diterapkan oleh keluarga khususnya ibu yang berkaitan dengan cara dan situasi makan dapat memberikan suasana yang menyenangkan bagi anak, maka ibu tidak akan mengalami kesulitan dalam hal pemberian makan kepada anak. Pada usia anak di bawah lima tahun merupakan masa yang tergolong rawan. Pada umumnya anak mulai susah makan atau suka pada makanan jajanan yang rendah energi dan tidak bergizi. Oleh karena itu perhatian terhadap makanan dan kesehatan bagi anak pada usia ini sangat diperlukan (Hardinsyah & Martianto 1992).

Pola Asuh Hidup Bersih

Kebersihan adalah faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan, Hal ini terlihat dari banyaknya orang yang mendapat penyakit karena tidak memperhatikan faktor kebersihan (Depkes RI 1995). Beberapa penyakit tertentu misalnya penyakit kulit bakteria dan jamur berhubungan erat dengan kebersihan perorangan (personal hygene) (Notoadmojo 2007)

Hygene diri sangat penting diketahui dan dipraktikkan oleh setiap orang untuk kesehatan dirinya maupun kesehatan masyarakat. Hygene diri adalah pengetahuan yang sifatnya individualistis, artinya sangat tergantung dari diri sendiri, yang praktiknya harus diketahui, dimengerti dan dilaksanakan oleh setiap individu (Suklan 2000). Mengingat balita adalah individu pasif, maka penjagaan kesehatannya merupakan tanggung jawab individu dewasa di sekitarnya, terutama oleh orang tuanya (Depkes 1995)

Ruang lingkup kebersihan pribadi meliputi kebersihan kulit, rambut, mata, kuku, hidung, telinga, mulut dan gigi. tangan dan kaki, pakaian, serta kebersihan sesudah buang air besar dan buang air kecil. Anak harus dapat belajar menjaga kesehatannya sendiri sejak dini seperti memotong kuku setiap minggu dan menjaga kebersihannya, menggosok gigi sehari dua kali, mandi dengan sabun sehari dua kali, mencuci anggota badan sebelum tidur, menggunakan pakaian bersih dan sebagainya. Selain menjaga kebersihan diri, terpenuhinya pelayanan kesehatan balita juga sangat penting agar status kesehatan balita tetap terjaga. (Depkes 1995)

Pola Asuh Kesehatan (Akses terhadap pelayanan kesehatan dasar)

Orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan asuhan kesehatan kepada anak sehingga anak selalu berada dalam kondisi terbebas dari penyakit

(8)

serta dapat beraktifitas rutin selayaknya individu normal. Hastuti (2008) menyebutkan bahwa ada dua usaha yang dapat dilakukan orang tua untuk melakukan pola asuh hidup sehat yaitu preventif dan kuratif. Upaya preventif adalah dengan membiasakan pola hidup sehat, melalui penanaman kebiasaan hidup bersih dan teratur seperti mandi, keramas rambut,gosok gigi,guting kuku, dan cuci tangan sebelum makan. Upaya tersebut perlu ditanamkan sejak usia dini. Upaya kuratif yang dapat dilakukan meliputi upaya orang tua untuk memberikan pengobatan dan perawatan agar anak selalu berada dalam kondisi terbebas dari penyakit infeksi, dan penyakit lain yang umum terjadi pada anak. Menurut Azwar (1990) pelayanan kesehatan yang baik harus memenuhi minimal tiga persyaratan pokok yakni sesuai dengan kebutuhan pemakaian jasa pelayanan, terjangkau oleh pemakai jasa pelayanan serta terjaminnya mutu. Untuk memenuhi syarat sesuai kebutuhan masyarakat dan keterjaminan mutu, maka pelayanan kesehatan tersebut akan menjadi mahal sehingga tidak dapat dijangkau oleh masyarakat. Salah satu jenis pelayanan kesehatan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat antara lain Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU). Kartu Menuju Sehat (KMS) yang diperoleh dari posyandu berguna untuk memonitor berat badan anak setiap bulannya.

Kartu Menuju Sehat (KMS) adalah alat yang memungkinkan dilakukannya pengamatan terhadap pertumbuhan anak dengan cara sederhana yang berfungsi sebagai alat pemantauan gerak pertumbuhan (Arisman 2009). Imunisasi dan vitamin A berguna untuk mencegah timbulnya penyakit tertentu pada balita. Penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi ialah TBC, dipteria, pertunis, tetanus, polio dan campak melalui kegiatan vaksinasi DPT. Pada dasarnya, status gizi anak balita dan perawatan kesehatan dikatakan baik bila berat badannya setiap bulan meningkat (Hardinsyah & Martianto, 1992).

Kondisi Lingkungan

Kondisi lingkungan adalah segala sesuatu baik benda maupun keadaan yang berada disekitar manusia yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan seseorang atau kelompok masyarakat. Kesehatan lingkungan mencakup aspek yang sangat luas yang meliputi hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Pentingnya lingkungan yang sehat akan mempengaruhi sikap dan perilaku manusia.

(9)

Sanitasi Lingkungan Perumahan

Keadaan perumahan merupakan salah satu faktor yang menentukan keadaan hygene dan sanitasi lingkungan. Rumah merupakan tempat manusia berlindung dari panas, terik matahari, hujan dan lain-lain yang dapat mengganggu kesehatan, keamanan, dan kenyamanan manusia. Menurut Latfiah et al (2002) rumah dikatakan sehat jika memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :

1. Lantai rumah harus mudah dibersihkan misalnya lantai yang terbuat dari keramik, teraso, tegel atau semen, dan kayu atau bambu. Lantai tanah tidak memenuhi syarat kesehatan karena dapat menjadi sumber penyakit seperti cacing dan bakteri penyebab sakit perut.

2. Atap rumah harus kuat dan tidak mudah bocor misalnya genteng, asbes, gelombang, seng, sirap, dan nipah

3. Dinding rumah yang baik adalah tembok yang dapat dicat dan dibersihkan dengan mudah. Menurut Depkes (2008) penggunaan jenis dinding dapat pula digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteran masyarakat.

4. Ventilasi udara biasanya berupa jendela yang dilengkapi dengan lubang angin.Fungsi ventilasi udara adalah untuk pertukaran udara agar di dalam rumah tetap bersih dan segar. Sebaiknya setiap ruangan mempunyai sedikitnya satu buah jendela yang bisa dibuka dan ditutup sehingga udara dapat mengalir lancar.

5. Rumah harus memiliki sumber air bersih dan sehat. Syarat lokalisasi bertujuan agar sumber air minum terhindar dari kotoran, sehingga perlu diperhatikan jarak sumber air minum dengan cubluk (kakus) lubang galian sampah, lubang galian untuk air limbah dan sumber-sumber pengotor lainnya. Menurt Widyati dan Yuliarsih (2002) jarak sumur dengan WC minimum 10 meter

6. Jumlah kamar mandi sebaiknya disesuaikan dengan jumlah annggota keluarga. Jika anggota keluarga ada empat orang maka paling sedikit harus ada satu kamar mandi. Setiap kamar mandi biasanya dilengkapi dengan jamban atau WC

7. Rumah harus memiliki sarana pembuangan air limbah dan sampah. Air limbah terdiri dari kotoran manusia,air kotoran dapur, kamar mandi termasuk air kotor dari permukaan tanah. Kurang lebih 80 % air yang

(10)

digunakan oleh manusia untuk aktivitas sehari-hari akan dibuang lagi dalam bentuk yang sudah kotor dan tercemar. Pembuangan limbah manusia yang tidak pada tempatnya dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat. Oleh karena itu menurut Sukandar (2007), pembuangan kotoran manusia harus dapat dibuat dengan baik agar tidak mencemari lingkungan sekitar karena di dalam kotoran manusia, banyak sekali terdapat bibit-bibit penyakit yang mampu menyebabkan dan menularkan berbagai penyakit. Selain itu juga menimbulkan bau yang tidak sedap

8. Kandang ternak harus terpisah cukup jauh dari rumah agar rumah terjaga kebersihan dan kesehatannya. Selain itu kandang ternak harus memiliki tempat pembuangan kotoran

Status Gizi dan Morbiditas

Morbiditas dan status gizi merupakan variabel yang mencerminkan status kesehatan. Morbiditas ini meliputi prevalensi penyakit menular dan penyakit tidak menular. Derajat kesehatan atau status kesehatan adalah tingkat kesehatan perorangan, kelompok atau masyarakat yang diukur dengan angka kematian, umur harapan hidup, status gizi, dan angka kesakitan (morbiditas). Kesehatan merupakan masalah yang kompleks hingga tidak mungkin diukur semua faktor yang mempengaruhinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena itu diperlukan suatu alat yang dapat memberi indikasi untuk menggambarkan keadaan kesehatan. Indikator kesehatan dapat digunakan untuk mengukur status kesehatan, memonitor kemajuan keadaan kesehatan dan merupakan alat bantu dalam mengadakan evaluasi program kesehatan Depkes (2008).

Faktor yang mempengaruhi kesehatan adalah penyebab penyakit, manusia, dan lingkungan. Gangguan keseimbangan diantara ketiga faktor tersebut menimbulkan gangguan kesehatan yang menyebabkan penurunan derajat kesehatan seseorang. Penyebab penyakit dapat berasal dari dalam maupun luar tubuh. Daya tahan tubuh manusia akan mempengaruhi kemudahan terkena penyakit. Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia dan dapat mempengaruhi kehidupannya (Supariasa dkk 2001).

Menurut Subandriyo (1993), angka kesakitan (morbiditas) lebih mencerminkan keadaan kesehatan sesungguhnya, sebab kejadian kesakitan mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai faktor lingkungan, seperti perumahan, air minum dan kebersihan serta faktor kemiskinan, kekurangan gizi

(11)

serta pelayanan kesehatan di daerah tersebut. Sedangkan angka kematian lebih banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi kedokteran sehingga kurang mencerminkan keadaan kesehatan yang sesungguhnya.

Antara status gizi kurang dan infeksi terdapat interaksi bolak-balik. Infeksi dapat menimbulkan gizi kurang melalui berbagai mekanisme. Infeksi yang akut mengakibatkan kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap makanan. Orang yang mengalami gizi kurang, daya tahan tubuh terhadap penyakit menjadi rendah, sehingga mudah terkena serangan penyakit infeksi (Suhardjo 1989).

Keadaan kesehatan atau adanya infeksi akan berpengaruh terhadap status gizi. Penurunan keadaan gizi dan pertumbuhan akibat adanya kejadian sakit (morbiditas), mekanismenya mencakup penurunan asupan makanan, gangguan penyerapan, gangguan peningkatan kebutuhan gizi, serta peningkatan kerusakan jaringan (Latham 1997). Ada hubungan yang sinergistik antara kejadian sakit dengan status gizi. Infeksi bersama-sama penurunan asupan makanan merupakan sebab utama kurang gizi

Makanan Tambahan serta Peranannya dalam Mengatasi Gizi Kurang Makanan tambahan adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi yang diberikan pada bayi atau anak di atas 6 bulan untuk memenuhi kebutuhan gizinya selain dari ASI (Depkes RI, 2000). Tujuan pemberian makanan tambahan pada bayi atau anak diantaranya untuk melengkapi zat-zat gizi yang kurang karena kebutuhan zat gizi akan semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya usia bayi atau anak. Pemberian Makanan Tambahan merupakan salah satu komponen penting dalam Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) dan program yang dirancang oleh pemerintah. PMT sebagai sarana pemulihan gizi dalam arti kuratif, rehabilitatif dan sebagai sarana untuk penyuluhan merupakan salah satu bentuk kegiatan pemberian gizi berupa makanan dari luar keluarga.

Pemberian makanan tambahan bertujuan untuk memperbaiki keadaan gizi pada anak golongan rawan gizi yang menderita kurang gizi, dan diberikan dengan kriteria anak balita yang tiga kali berturut-turut tidak naik timbangannya serta yang berat badannya pada KMS terletak dibawah garis merah. Bahan makanan yang digunakan dalam PMT hendaknya bahan-bahan yang ada atau dapat dihasilkan setempat, sehingga kemungkinan kelestarian program lebih besar. Diutamakan bahan makanan sumbar kalori dan protein tanpa

(12)

mengesampingkan sumber zat gizi lain seperti: padi-padian, umbi-umbian, kacang-kacangan, ikan, sayuran hijau, kelapa dan hasil olahannya.

Prasyarat pemberian makanan tambahan pada anak adalah nilai gizi harus berkisar 200 – 300 kalori dan protein 5 – 8 gram, mempergunakan bahan makanan setempat dan diperkaya protein nabati/hewani, mempergunakan resep daerah atau dimodifikasi, serta dipersiapkan, dimasak, dan dikemas dengan baik, aman memenuhi syarat kebersihan serta kesehatan. Pemberian makanan tambahan (PMT) diberikan dengan frekuensi minimal 3 kali seminggu selama 100 – 160 hari. PMT yang diberikan dapat berupa makanan selingan seperti biskuit atau makanan lengkap (porsi) kecil.

Program intervensi yang dikhususkan untuk balita yang menderita masalah gizi kurang dikenal dengan sebutan PMT. Jumlah makanan untuk PMT diperkirakan 300-400 kalori dan 15-20 gram protein per 100 gram bahan yang diberikan selama 180 hari makan anak untuk balita dengan status gizi buruk dan 90 hari makan anak untuk balita dengan status gizi kurang

Makanan Tambahan Biskuit ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Standar Nasional Indonesia , biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan percetakan. Dalam prosesnya, biskuit juga dapat ditambahkan dengan bahan tambahan pangan yang diijinkan. Menurut Boober et al (2006) bahwa biskuit konvensional yang tinggi lemak dan gula yang diasosiasikan dengan diet tidak sehat oleh konsumen dapat dimodikasi. Salah satu modifikasi biskuit yang pernah dilakukan sebelumnya yaitu biskuit dengan subsitusi tepung ikan lele dumbo dan isolate protein kedelai oleh Kusharto et al 2009.

Lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan salah satu jenis lele yang memiliki ukuran besar yang dikembangkan di Indonesia. Protein ikan lele tergolong istimewa karena bukan hanya berfungsi sebagai penambah jumlah protein yang dikonsumsi tetapi juga pelengkap mutu protein. Protein ikan lele mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup (FAO 1972 dalam Astawan 2008) yaitu Arginin (6.3%), Histidin (2.8%), Isoleusin (4,3%), Leusin (9.5%), Lisisn (10.5%), Metionin (1.4%), Fenilalanin (4.8%), Treonin (4.8%), Valin (4.7%), Triptofan (0.8%). Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering untuk kemudian digiling menjadi tepung.

(13)

Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang potensial karena kandungan protein yang tinggi yaitu 40%. Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni, karena kadar protein minimumnya 95% dalam berat kering. Isolat protein kedelai selain sebagai pengikat dan pengemulsi, juga dapat berfungsi sebagai sebagai additive untuk memperbaiki penampakan produk, tekstur, serta flavour produk (Koswara 1995).

Biskuit dengan subsitusi tepung ikan lele dumbo dan isolate protein kedelai yang dikembangkan oleh Kusharto et al 2009 merupakan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dan isolat protein kedelai. Komposisi dari PMT biskuit terdiri dari : tepung ikan lele (tepung daging dan tepung kepala), tepung terigu, isolat protein kedelai, telur ayam, gula bubuk, margarin, mentega, dan susu. Dengan komposisi demikian memberikan sumbangan zat gizi yang cukup tinggi. Berikut formulasi biskuit dengan tambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai

Tabel 1 Formulasi biskuit dengan tambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai

Komponen %

Tepung ikan lele 3.5

Tepung kepala ikan lele 1.5

Isolat protein kedelai 10.0

Tepung terigu 25.0 Gula bubuk 18.0 Telur 18.0 Margarin 9.0 Mentega 9.0 Tepung susu 6.0 Total 100.0 Baking powder 8.0 Soda kue 4.0

Sumber : Kusharto et all 2009

Dalam 50 g biskuit lele mengandung energi 240 kkal dan protein sebanyak 10 g. Hasil pengukuran daya cerna protein dengan metode enzimatik secara in vitro sebesar 89.34% (Mervina 2009), tergolong sedang karena nilainya menyerupai daya cerna kacang kacangan (FAO/WHO/UNU 1994)

Gambar

Tabel 1  Formulasi  biskuit  dengan  tambahan  tepung  ikan  dan  isolat  protein kedelai

Referensi

Dokumen terkait

Figure 3 and Figure 4 displays strength of soil moisture – temperature coupling in summer monsoon period of JJAS based on modelling datasets obtained from climate model

Pengujian terhadap konstruksi mata jaring dinding dasar mendapatkan bahwa konstruksi mata jaring berbentuk persegi panjang dengan ukuran l dan w = 2,4 × 2,8 (cm) adalah

Dengan demikian, hasil penelitian tidak berhasil membuktikan bahwa variabel independen komposisi dewan komisaris independen merupakan variabel yang relevan untuk

Hari ini saya magang diajarkan oleh DJ Suryadin Laoddang. Pelatihan Karyawan, Pelatihan SDM Perusahaan, Pelatihan

1) bagi siswa, dengan menggunakan strategi pembelajaran ekspositori diharapkan mampu mendorong siswa untuk memposisikan dirinya sebagai peserta didik yang aktif

Pada peristiwa hukum yang sama (dengan menggunakan pola 2) penjelasannya adalah: Untuk mewujudkan adanya perlindungan terhadap keturunan ( hifdz an-nasl ), maka harus

Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan media, yang digunakan guru dalam pembelajaran menulis naskah drama dan hasil menulis naskah

Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa secara bersama-sama variabel struktur modal, likuiditas, profitabilitas, dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap luas pengungkapan