A. Sistem Hukum Indonesia
Tentu pada saat sekarang, tidak ada suatu bangsa yang tak memiliki
hukum sendiri, dan tiap-tiap bangsa memiliki sistem hukumnya sendiri, demikian
juga dengan Indonesia yang memiliki sistem tersendiri.122 Sistem sendiri menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang pertama, suatu perangkat unsur yang secara
teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, kemudian susunan
yang teratur dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya, dan terakhir adalah
metode, seperti pola-pola atau fenomena sosial.123 Lawrence M friedman dalam
bukunya yang berjudul sistem hukum perspektif ilmu sosial menuliskan
pengertian sistem adalah sebuah unit yang beroperasi dengan batas-batas tertentu.
Sistem bisa bersifat mekanis, organis, atau sosial.124
Membahas sistem hukum terlebih dahulu dipahami apa itu pengertian dari
hukum. Beberapa para sarjana memberikan pengertian hukum sebagai berikut:125
1. S.M. Amin, S.H. memberikan definisi hukum ialah
kumpulan-kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi, dan
tujuan hukum ialah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan
manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
122
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm.169
123
http://kbbi.web.id/sistem (diakses tanggal 24 Mei 2017 pukul 12.01)
124
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, ( Bandung: Nusa Media,2009 ), hlm.6.
125
2. J.C.T. Simorangkir, S.H. dan Woerjono Sastropranoto, S.H.
mendefinisikan hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat
memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat yang dibuat oleh Badan-badan resmi yang berwajib,
pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan
diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.
3. M.H. Tirtaatmidjaja, S.H. menegaskan bahwa hukum adalah semua
aturan atau norma yang harus diturut dalam tingkah laku dan
tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti
kerugian, jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri
sendiri atau harta.
Secara sederhana hukum dapat didefinisikan yaitu sekumpulan aturan atau
norma, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang membahas mengenai salah atau
benar, berikut hak dan kewajibannya.126 Jika unsur sistem digabungkan dengan
hukum, maka sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur
yang mempunyai hubungan timbal balik untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.
Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti
peraturan hukum, asas hukum, dan pengertian hukum. Dalam sistem hukum
terdapat bagian-bagian yang masing-masing terdiri dari unsur-unsur yang
mempunyai hubungan khusus atau tatanan. Antara unsur-unsur di dalam suatu
126
sistem dengan unsur-unsur dari lingkungan di luar sistem terdapat hubungan
khusus atau tatanan, dan tatanan ini disebut struktur.127
Secara umum terdapat dua sistem hukum besar yaitu Sistem Hukum Eropa
Kontinental dan Sistem Hukum Anglo-Saxon. Sistem hukum Eropa Kontinental
berkembang terutama di Eropa daratan sebagian disebut dengan istilh Civil Law.
Semula sistem hukum ini berasal dari kodifikasi hukum yag berlaku di Kekaisaran
Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus.128 Kodifikasi itu kemudian
berlaku sebagai sumber hukum yang utama. Ferdinand Stone dalam bukunya A
Primer on Codification (1955) menyatkan bahwa terdapat empat macam ciri dari
Kodifikasi sebagaimana dianut oleh Civil Law system, yaitu:129
a. Hukum yang dalam esensinya ditulis dalam bentuk statuta (ketentuan
hukum tertulis), ketimbang dalam bentuk pandangan pengadilan
(keputusan pengadilan);
b. Ketentuan-ketentuan dari codex dirancang dan disusun secara
sistematis;
c. Codex yang digunakan oleh pengadilan-pengadilan dan badan-badan
legislative lainnya berbentuk seragam;
d. Codex itu disusun oleh para ahli ketimbang oleh orang awam
(Kompetensi professional).
127
http://www.npslawoffice.com/pengertian-sistem-hukum/ (diakses tanggal 24 Mei 2017 pukul 12.20)
128
J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, ( Jakarta: Percetakan Gloria, 2001), hlm. 36.
129
Prinsip utama atau prinsip dasar dari sistem hukum Eropa Kontinental
ialah bahwa hukum itu memperoleh kekuatan mengikat karena berbentuk
undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi. Dalam sistem hukum ini
dikenal suatu adagium yang berbunyi “ tidak ada hukum selain undang-undang”,
dengan kata lain hukum selalu diidentikkan dengan undang-undang. Hakim dalam
hal ini tidak bebas dalam menciptakan hukum baru, karena hakim hanya
meerapkan dan menafsirkan peraturan yang berdasarkan wewenang yang ada
padanya. Putusan hakim tidak mengikat umum tetapi hanya mengikat para pihak
yang berperkara.130
Sebagai sumber hukum dalam sistem ini adalah undang-undang yang
dibentuk oleh badan legislatif. Selain itu peraturan-peraturan yang dipakai sebagai
pegangan kekuasaan ekesekutif yang dibuat olehnya berdasarkan kewenangannya
dan kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat yang tidak bertentangan
dengan undang-undang. Dalam sistem hukum Eropa Kontinental hukum
digolongkan menjadi dua bagian utama yaitu hukum public dan hukum privat.
Hukum publik meliputi Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara,
Hukum Pidana. Sedangkan Hukum privat meliputi hukum sipil dan hukum
dagang.131
Yang kedua ialah sistem hukum Anglo Saxon. Sistem hukum ini
mula-mula berkembang di Negara inggris, dan dikenal dengan istilah Common Law.
Sistem hukum ini dianut di Negara-negara anggota persemakmuran Inggris,
Amerika Utara, Kanada, Ameika Serikat. Sistem hukum anglo saxon bersumber
130
J.B. Daliyo, Op.cit, hlm. 36.
131
pada putusan-putusan hakim atau putusan pengadilan atau yurisprudensi.
Putusan-putusan hakim mewujudkan kepastian hukum, maka melalui Putusan-putusan-Putusan-putusan
hakim itu prinsip-prinsip hukum dibentuk dan mengikat umum.132
Kebiasaan-kebiasaan dan peraturan hukum tertulis yang beruppa
undang-undang dan peraturan administrasi Negara tetap diakui. Karena pada dasarnya
terbentuknya kebiasaan dan peraturan tertulis tersebut bersumber dari putusan
pengadilan. Hakim berperan besar dalam menciptakan kaidah-kaiah hukum yang
mengatur tata kehidupan masyarakat. Hakim memiliki wewenang untuk
menafsirkan peraturan-peraturan hukum dan menciptakan prinsip-prinsip hukum
baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim-hakim lain dalam memutuskan
perkara sejenis.
Dalam pembagian hukumnya, sistem hukum ini juga membagi hukum
menjadi dua golongan, yaitu hukum publik dan hukum privat. Hukum privat
dalam sistem hukum ini lebih ditujukan kepada kaidah hukum tentanng hak milik,
hukum tentang orang, hukum perjanjian dan hukum tentang perbuatn melawan
hukum.133
Budiono Kusumohamidjojo menuliskan beberapa poin yang menajdi
perbedaan antara Civil Law dan Common Law, yakni:134
a. Pada poin yang pertama yang membedakan Civil Law dan Common
Law ialah sumbernya. Sistem hukum Civil Law menyatakan hukum
merupakan produk dari badan-badan legislatif, sedangkan pada sistem
132
Ibid.
133
Ibid, hlm. 38.
134
hukum Common Law hukum berasal dari keputusan-keputusan
badan-badan peradilan yang mengakui, mengukuhkan dan menerapkan
kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat.
b. Pokok kedua yang membedaan kedua sitem hukum tersebut dilihat pada
sistematiknya. Kaidah-kaidah Common Law terhimpun dalam
himpunan (compendium) keputusan-keputusan hakim, sedangkan Civil
Law tersusun secara sistematis dalam codies tertentu, seperti KUH
Perdata, KUH Dagang, KUH Pidana, dan sebagainya.
c. Pokok yang ketiga, Common Law biasanya menerapkan sistem
adversial (perlawanan), dalam mana dua pihak mengajukan kasusnya
kepada hakim yang netral. Sedangkan dalam Civil Law biasa
menggunakan sistem inquisitorial (Interogasi) dalam mana jaksa yang
menjalankan peranan untuk membangun pembuktian dan agumentasi
untuk pihak yang lain pada tahap penyelidikan.
Indonesia sendiri termasuk Negara yang menganut Sistem Hukum Eropa
Kontinental atau Civil Law. Hal ini dapat dilihat dari sejarah, dan politik hukum,
sumber hukum maupun dalam sistem penegakkan hukumnya. Namun dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
dipengaruhi oleh sistem hukum adat dan juga sistem hukum islam. hal ini
bagian yang masing-masing juga merupakan sistem yang dinamakan Subsistem,
tetapi kesemuanya itu bersama-sama merupakan satu kesatuan yang utuh.135
Dalam sistem hukum positif Indonesia terdapat subsistem hukum perdata,
sussistem hukum pidana, susbsistem hukum tata Negara dan lain-lain, di mana
masing-masing subsistem tersebut berbeda-beda. Meskipun demikian semua
subsistem dlam sistem hukum Indonesia tersebut merupakan satu kesatuan yang
utuh untuk mewujudkan keamanan, ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. 136
Mengenai peradilan, badan peradilan dalam sistem hukum Civil Law
boleh disebut sebagai sistem yang bersifat hirearki linear. Di Indonesia
membentuk kesatuan yang memberlakukan tiga tingkat peradilan yang linear,
yakni:137
1. Pengadilan biasa
2. Pengadilan banding yang mengadili permohonan banding dari
pengadilan-pengadilan yang lebih rendah
3. Pengadilan tingkat terakhir yang mengadili permohonan.
B. Pengertian dan Karakteristik Lembaga Kuasi Yudisial
Lembaga Kuasi Yudisial yang dapat juga disebut kuasi pengadilan atau
semi pengadilan merupakan lembaga yang memiliki kewenangan untuk
memeriksa dan memutus sesuatu perselisihan ataupun perkara pelanggaran
hukum, dan pelangar etika tertentu dengan keputusan yang bersifat final dan
135
Handri Raharjo, Sistem Hukum Indonesia, (Pustaka Yustisia : Yogyakarta, 2016), hlm. 37.
136
Ibid,hlm.37.
137
mengikat (final and binding) sebagaimana putusan pengadilan yang bersifat
“Inkracht” pada umumnya. Beberapa lembaga yang bersifat kuasi yudisial ini
berbentuk komisi-komisi Negara. Namun ada pula yang menggunakan istilah
badan ataupun dewan.138
Di samping bersifat mengadili, lembaga ini juga memiliki fungsi-fungsi
yang bersifat campuran dengan fungsi regulasi dan/atau fungsi administrasi.
Fungsi regulasi dapat dikaitkan dengan fungsi legislatif menurut doktrin ”Trias
Politica Mostesqueieu”, sedangkan fungsi administrasi identic dengan fungsi
eksekutif. Karena itu, komisi-komisi Negara atau lembaga-lembaga yang
memiliki kewenangan mengadili ini dapat dikatakan merupakan lembaga yang
memiliki fungsi campuran.139
Untuk menentukan suatu lembaga memenuhi karakteristik sebagai
lembaga kuasi yudisial atau tidak dapat diliihat dari bentuk kekuasaannya. Bentuk
kekuasaan tersebut antara lain:140
1. Kekuasaan untuk memberikan penilaian dan pertimbangan. (The power
to exercise judgement and disrection);
2. Kekuasaan untuk mendengar dan menentukan atau memastikan
fakta-fakta dan untuk membuat putusan. (The power to hear and determine or
to ascertain facts and decide);
3. Kekuasaan untuk membuat amar putuan dan
pertimbangan-pertimbangan yang mengikat suatu subjek hukum dengan amar putusan
138
Jimly Asshiddiqie, Putih Hitam Pengadillan Khusus, diakses dari https://books.google.com diakses pada tanggal 1 Maret 2017 pukul 13.20. hlm. 13.
139
Ibid,hlm. 13.
140
dan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dibuatnya. (The power to
make binding others and judgements);
4. Kekuasaan untuk mempengaruhi hak orang atau hak milik orang per
orang. (The power to affect the personal or property rights of private
person);
5. Kekuasaan untuk menguji saksi-saksi, untuk memaksa saksi untuk
hadir, dan untuk mendengar keterangan para pihak dalam persidangan.
(The power to examine witnesses, to compel the attendance of
witnesses, and to hear the litigation of issues on a hearing);
6. Kekuasaan untuk menegakkan keputusan atau menjatuhkan sanksi
hukuman. (The power to enforce decisions or impose penalties).
C. Beberapa Lembaga Kuasi Yudisial yang Ada di Indonesia
1. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga yang
dibentuk untuk menyelesaikan persoalan persaingan usaha yang mempunyai peran
multifungsi dan keahlian sehingga dianggap mampu menyelesaikan dan
mempercepat proses penanganan perkara.141 Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat memberikan pengertian komisi adalah suatu lembaga independen
yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain, dan dalam
ayat yang selanjutnya dinyatakan bahwa komisi bertanggung jawab kepada
presiden.
141
Komisi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua
merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang anggota. Angota
Komisi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Masa jabatan dari anggota komisi adalah 5 (Lima) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.142
Pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya
ditetapkan dengan keputusan Presiden. Untuk kelancaran dari pelaksanaan tugas,
komisi dibantu oleh sekretaris. Komisi juga dapat membentuk kelompok kerja.143
Dalam memenuhi tujuan daripada pembentukan KPPU, Komisi ini
diberikan tugas dan wewenang. Adapun yang menjadi tugas dari komisi tertulis
dalam Pasal 36 UU No 5 Tahun 1999 yang meliputi:144
a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat,
seperti: oligopoly, diskriminasi harga (Price discrimination), penetapan
harga (price fixing/price preatory), pembagian wilayah (market
allocation), pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal,
perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri.
b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku
usaha yang dilarang seperti monopoli, monopsi, penguasaan pasar dan
persekongkolan.
c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan
posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat, yang dapat timbul melalui
142
Pasal 31 Undang-Undang No 5 Tahun 1999.
143
Pasal 34 Undang-Undang No 5 Tahun 1999.
144
posisi dominan, jabatan rangkap, pemilikan saham, penggabungan,
peleburan, serta pengambilalihan.
d. Mengambil tindakan sesuai wewenang komisi.
e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat.
f. Menyusun pedoman dan/atau publikasi yang berkaitan dengan UU No.
5 Tahun 1999.
g. Memberi laporan sekala berkala atas hasil kerja komisi kepada presiden
dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dapat diuraikan
sebagai berikut:145
a. Menerima laporan dari masyarakat dan/atau dari pelaku usaha tentang
dugaan telah terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan curang.
b. Melakukan penelitian mengenai dugaan adanya kegiatan usaha atau
tindakan pelaku usaha yang dapat menimbulkan praktik monopoli
dan/atau persaingan curang.
c. Melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap kasus-kasus
dugaan praktik monopoli dan/atau persaingan curang yang didapatkan
karena laporan masyarakat, laporan pelaku usaha, ditemukan sendiri
oleh Komisi Pengawas dari hasil penelitiannya.
d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang adanya
suatu praktik monopoli dan/atau persaingan curang.
145
e. Melakukan pemanggilan terhadap pelaku usaha yang diduga telah
melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Anti Monopoli.
f. Melakukan pemanggilan dan menghadirkan saksi-saksi, saksi ahli, dan
setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan
Undang-Undang Anti Monopoli.
g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha,
saksi-saksi, saksi ahli atau pihak lainnya yang tidak bersedia memenuhi
panggialn Komisi Pengawas.
h. Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang
melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Anti Monopoli.
i. Mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti
lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.
j. Memberikan keputusan atau ketetapan tentang ada atau tidaknya
kerugian bagi pelaku usaha atau masyarakat.
k. Menginformasikan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan curang.
l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha
yang melanggar ketentuan dalam UU No 5 Tahun 1999.
Berdasarkan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Komisi, dapat dilihat
adanya beberapa karakteristik dari lembaga kuasi yudisial yang telah terpenuhi.
Adapun karakteristik yang telah terpenuhi ialah sebagai berikut:
a. Poin yang pertama KPPU memiliki kekuasaan untuk mendengar dan
keputusan. Hal ini dapat dilihat dari kewenangan KPPU pada poin b,c
dan d. Dalam poin tersebut dinyatakan bahwa KPPU dapat melakukan
penelitian, melakukan penyelidikan dan kemudian menyimpulkan hasil
penyelidikan an/atau pemeriksaan tentang adanya suatu praktik
monopoli dan/atau persaingan curang.
b. Kedua, KPPU memiliki kekuasaan untuk menguji saksi-saksi, untuk
memaksa saksi-saksi untuk hadir, dan untuk mendengar keterangan
para pihak dalam persidangan. Kekuasaan ini dapat dilihat pada
kewenangan KPPU yang tertera pada poin f, g dan h. Dimana dalam
poin tersebut dijelaskan bahwa Komisi memiliki kewenangan untuk
melakukan pemanggilan terhadap saksi, juga dapat meminta bantuan
dari penyidik untuk dapat menghadirkan saksi-saksi. Komisi juga
memiliki kewenangan untuk dapat meminta keterangan dari instansi
peerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan terhadap pelaku usaha
yang melanggar ketentuan Undang-undang.
c. Ketiga, KPPU memiliki kekuasaan untuk membuat amar putusan dan
pertimbangan-pertimbangan yang mengikat sesuatu subjek hukum
dengan amar putusan dan pertimbangan-pertimbangan yang dibuatnya.
Mengenai kekuasaan ini dapat dilihat pada kewenangan KPPU yang
tertuang dalam poin j. Pada poin ini dijelaskan bahwa KPPU memiliki
kewenangan membeikan keputusan atau ketetapan tentang ada atau
tidaknya kerugian bagi pelaku usaha atau masyarakat.
d. Keempat, KPPU memiliki kekuasaan untuk menegakkan keputusan
pada kewenangan KPPU yang ada pada poin l. Dalam poin tersebut
dijelaskan bahwa KPPU berhak untuk menjatuhkan sanksi berupa
tindakan administratif kpada pelaku usaha yangmelanggar ketentua
pada Undang-Undang No 5 tahun 1999.
Berdasarkan karakteristik yang dimiliki oleh KPPU tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa KPPU merupakan bagian daripada salah satu Lembaga Kuasi
Yudisial yang ada dalam Indonesia.
2. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang
Penyiaran memberikan pengertian Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah
lembaga Negara yang bersifat independen yang ada dipusat dan di daerah yang
tugas dan wewenangnya diatur dalam undang-undang ini sebagai wujud peran
serta masyarakat di bidang penyiaran. KPI terdiri atas KPI Pusat dibentuk
ditingkat pusat dan KPI Daerah dibentuk ditingkat provinsi. Dalam menjalankan
fungsi, tugas, wewenang dan kewajibannya KPI Pusat diawasi oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan KPI Daera diawasi oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.146
Anggota KPI pusat terdiri atas Sembilan anggota dan anggota KPI Daerah
terdiri atas 7 anggota. Ketua dan wakil ketua KPI dipilih dari da oleh anggota.
Dalam menjalankan tugasnya KPI dibantu oleh sebuah secretariat yang dibiayai
oleh Negara, KPI juga dapat dibantu oleh tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan.147
Angota KPI pusat dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan
146
Pasal 7 Undang-Undang No 32 Tahun 2002.
147
KPI Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atas usul
masyarakat melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka. Anggota KPI
Pusat secara administrative ditetspksn oleh Pesiden atas usul Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, dan anggota KPI Daerah secara administratif
dietapkan oleh Gubernur atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Povinsi.148
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai wujud peran serta masyarakat
berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan
penyiaran. Dalam menjalankan fungsinya KPI memiliki wewenang, yang dapat
disebutkan sebagai berikut :149
a. Menetapkan standar program siaran;
b. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran;
c. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran
serta standar program siaran;
d. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman
perilaku penyiaran serta standard program siaran;
e. Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah,
Lembaga Penyiaran, dan Masyarakat.
Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang No 32 Tahun 2002 menyatakan yang
menjadi tugas dan kewajiban dari KPI adalah sebagai berikut:
a. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan
benar sesuai dengan haok asasi manusia;
b. Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyaran;
148
Pasal 10 Undang-Undang No 32 Tahun 2002.
149
c. Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran
dan industry terkait;
d. Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang;
e. Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sangahan, serta
kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran;
f. Menyusun perencanaan pengenbangan sumber daya manusia yang
menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.
Berdasarkan kewenangan yang di miliki dari KPI tersebut dapat dilihat
bahwa KPI merupakan badan regulasi yang tersendiri yang sekaligus bertindak
sebagai administrator dan menjatuhkan sanksi apabila terjadi pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan.150 KPI dapat dinyatakan sebagai bagaian
daripada Lembaga Kuasi Yudisial di Indonesia dilihat dari karakteristiknya yang
memiliki kekuasaan untuk menajtuhkan sanksi terhadap suatu peanggaran
peraturan dan pedoman perilaku penyiaran.
3. Komisi Infomasi
Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang
Keterbukaan Informasi Publik, pengertian dari komisi informasi adalah lembaga
mandiri yang berfungsi menjalankan undang-udang dan peraturan pelaksanaanya
menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi public dan meyelesaiakn
sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi. Komisi
informasi terdiri atas komisi informasi pusat dan komisi informasi
kabupaten/kota. Komisi pusat berkedudukan di Ibu kota Negara dan komisi
informasi kabupaten/ota berkeduduka di ibu kota kabupaten/kota.151
150
Jimly Asshiddiqie. Op.cit. hlm.15.
151
Anggota komisi pusat berjumlah tujuh orang dan anggota komisi informasi
kabupaten/kota berjumlah 5 orang yang mencerminkan unsur pemerintah dan
unsur masyarakat. Komisi informasi dipimpin oleh seorang ketua merangkap
anggota dan didampingi oleh seorang wakil ketua merangkap anggota. Ketua dan
wakil ketua dari komisi informasi dipilih dari dan oleh anggota komisi
informasi.152
Pada umumnya yang menjadi tugas dari komisi informasi adalah sebagai
berikut:153
a. Menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian
sengketa informasi publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi
nonlitigasi yang diajukan oleh setiap pemohon informasi publik
berdasarkan alasan sebagaimana yang dimaksud dalam UU no 14
Tahun 2008;
b. Menetapkan kebijakan umum pelayan informasi publik;
c. Menetapkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.
Dalam hal tugas komisi informasi pusat memiliki tugas yang berdeda
dengan komisi informasi kabupaten/kota. Tugas daripada komisi informasi pusat
adalah sebagai berikut:154
a. Menetapkan prosedur pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui
mediasi dan/atau ajudikasi nontiligasi;
b. Menerima, memeriksa, dan memutus sengketa informasi publik di
daerah selama komisi informasi provinsi dan /atau komisi iformasi
kabupaten/kota belum terbentuk;
152
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008
153
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008
154
c. Memberikan laporan mengenai pelaksaan tugasnya berdasarkan
Undang-Undang ini kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia setahun sekali atau sewaktu-waktu jika diminta.
Sedangkan yang menjadi tugas dari komisi informasi provinsi dan/atau
komisi informasi kabupaten/kota adalah bertugas menerima, memeriksa, dan
memutus sengketa informasi publik di daerah melalui mediasi dan/atau ajudikasi
nonlitigasi. Dalam menjalankan tugasnya, komisi informasi memiliki wewenang
sebagai berikut:155
a. Memanggil dan/atau mempertemukan para pihak yang bersengketa ;
b. Meminta catatan bahan yang relevan yang dimiliki oleh Badan Publik
terkait untuk mengambil keputusan dalam upaya menyelesaiakan
sengketa informasi publik;
c. Meminta keterangan atau menghadirkan pejabat Badan Publik ataupun
pihak yang terkait sebagai saksi dalam penyelesaian sengketa informasi
publik;
d. Mengambil sumpah setiap saksi yang didengar keterangannya dalam
ajudikasi nonlitigasi penyelesaian sengketa informasi publik;
e. Membuat kode etik yang diumumkan kepada publik sehingga
masyarakat dapat menilai kinerja komisi informasi.
Komisi Informasi dapat disebut sebagai lembaga kuasi yudisial. Hal
tersebut dapat dilihat dari tugas dan wewenang daripada komisi informasi. Pada
poin a dari tugas komisi informasi dinyatakan bahwa komisi informasi bertugas
untuk memutus permohonan penyelesaian sengketa informasi publik. Dalam
155
wewenang komisi informasi juga dinyatakan bahwa komisi informasi dapat
menghadirkan pejabat badan publik ataupun pihak yang terkait sebagai saksi
dalam penyelesaian sengketa informasi publik.
4. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
Badan Pengawas Pemilu yang selanjutnya disebut Bawaslu adalah
lembaga penyelengara Pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu
di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.156 Keanggotaan Bawaslu
terdiri atas individu yang memiliki kemampuan pengawasan penyelenggara
pemilu. Anggota Bawaslu sebanyak lima orang, dan anggota Bawaslu Provinsi
sebanyak tiga orang. Bawaslu terdiri atas ketua yang merangkap anggota dan
anggota. Ketua Bawaslu dipilih dari dan oleh anggota Bawaslu.157
Bawaslu menyusun standar tata laksana kerja pengawasan tahapan
peyelenggaran Pemilu sebagai pedoman kerja bagi pengawas pemilu di setiap
tingkatan. Tugas dari Bawaslu meliputi :158
a. Mengawasi persiapan penyelenggaraan pemilu;
b. Mengawasi pelaksanaan tahapan penyelenggaraan pemilu;
c. Mengelola, memelihara, dan merawat arsip/dokumen serta melaksanaka
penyusutannya berdasarkan jadwal retensi arsip yang disusun oleh
Bawaslu dan ANRI;
d. Memantau atas pelaksanaan tindak lanjut penanganan pelanggaran
pidana Pemilu oleh instansi yang berwenang;
e. Mengawasi atas pelaksanaan putusan pelanggaran Pemilu
156
Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
157
Pasal 72 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
158
f. Evaluasi pengawasan Pemilu;
g. Menyusun laporan hasil pengawasan penyelenggaraan Pemilu;
h. Melaksanakan tugas lain yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dalam melaksanakan tugas tersebut Bawaslu diberikan wewenang yang
dapat diuraikan sebagai berikut:159
a. Menerima laporan dugaan pelangaran terhadap pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai pemilu;
b. Menerima laporan adanya dugaan pelanggaran administrasi Pemilu dan
mengkaji laporan dan temuan, serta merekomendasikannya kepada
yang berwenang;
c. Menyelesaikan sengketa Pemilu;
d. Membentuk Bawaslu Provinsi;
e. Mengangkat dan memberhentikan aggota Bawaslu Provinsi;
f. Melaksanakan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Badan Pengawas Pemilu ini memiliki kewenangan untuk memeriksa dan
memutus sengketa pemilu dengan putusan yang bersifat final dan mengikat bagi
Komisi Pemilihan Umum.160 Berdasarkan pernyataan yang ditulis oleh Jimly
Assidiqie dapat dinyatakan bahwa Bawaslu merupakan salah satu dari lembaga
Kuasi Yudisial.
159
Pasal 73 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
160
D. Kedudukan Lembaga Kuasi Yudisial di Indonesia
Pembahasan mengenai kedudukan kuasi yudisial akan lebih konprehensif
jika dimulai dengan pembahasan teoritis mengenai pemisahan kekuasaan.161 Teori
pemisahan kekuasaan yang pertama sekali dikenalkan oleh Jhon Locke. Menurut
Jhon Locke, kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi politik totaliter
dapat dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara
harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu orang
atau satu lembaga. Hal ini dilakukan dengan (legislative power), kekuasaan
eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).162
Pemikiran Jhon Locke ini didasari oleh konsepnya tentang liberalisme yang
memandang kebebasan invidu sebagai hal paling utama harus dibatasi hukum
yang dibuat oleh negara. Akan tetapi, negara tidak boleh dipimpin atau dikuasai
oleh seorang atau satu lembaga yang bersifat absolut sehingga menjadi
sewenang-wenang.163
Dalam bukunya berjudul Two treatises on civil government (1660) Jhon
Locke memisahkan kekuasaan dari tiap-tiap negara dalam :
1. Kekuasaan legisatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang
2. Kekuasaan eksekutif, kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang
161
Muhammad Risnain, Eksistensi Lembaga Kuasi Yudisial Dalam Sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia : Kajian TerhadapKomisi Pengawas Persaingan Usaha, Bandung, Maret 2014
162
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, ( Jakarta :Sinar Grafika, 2011), hlm. 61.
163
3. Kekuasaan federatif, kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi
serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan diluar
negeri.164
Menurut Jhon Locke ketiga kekuasaan ini harus dipisahkan satu sama
lainnya. Setengah abad kemudian, Montesqueiu (1689-1755) seorang pengarang
ahli politik dan filsafat Perancis menulis sebuah buku yang berjudul l’Esprit des
lois (jiwa undang-undang) yang diterbitkan di Jenewa pada tahun 1748 (2 jilid).
Dalam hasil karya ini montesqueiu menulis tentang Konstitusi Inggris yang antara
lain mengatakan bahwa dalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasaan
yang dirincinya dalam kekuasaan legislative, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan
yudikatif. Ketiga kekuasaan ini melaksanakan semata-mata dan
selengkap-lengkapnya kekuasaan yang ditentukan pada masing-masing.
Teori pemisahan kekuasaan ini dikemukakan oleh Montesquieu dalam
bukunya “L’espirit de loi” (jiwa perundang-undangan), oleh Immanuel kant teori
ini disebut sebagai doktrin Trias Politica.165 Teori ini terinspirasi dari pemikiran
Jhon Locke yang dituangkan dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government”
yang memisahkan kekuasaan negara tersebut dalam bentuk eksekutif, legislatif,
dan yudikatif. Secara garis besar ajaran Montesquieu ini membagi kekuasaan
kedalam tiga bidang pokok yang masing-masing berdiri sendiri, bahwa satu
kekuasaan mempunyai satu fungsi lepas dari kekuasaan lain yakni:
1. Kekuasaan eksekutif, menjalankan Undang-Undang.
2. Kekuasaan legislatif, menjalankan fungsi membentuk Undang-Undang.
164
C.S.T. Kansil, Ilmu Negara Umum dan Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2004) hlm. 52
165
3. Kekuasaan yudikatif, menjalankan fungsi pengadilan.
Beliau beranggapan bahwa ketiga kekuasaan tersebut harus terpisah satu
sama lain, mulai dari fungsi maupun mengenai alat perlengkapannya untuk
menjamin kemerdekaan individu dari tindakan kesewenang-wenangan penguasa.
Isi ajaran Montesqueiu ini adalah mengenai pemisahan kekuasaan negara (the
separation of power) yang lebih terkenal dengan istilah trias politika dimana
istilah ini diberikan oleh Immanuel Kant.
Istilah trias politica berasal dari bahasa Yunani yang artinya “politik tiga
serangkai”. Menurut ajaran trias politica dalam tiap pemerintahan negara harus
ada tiga jenis kekuasaan yang tidak dapat dipegang oleh satu tangan saja,
melainkan harus masing-masing kekuasaan itu terpisah. Ajaran trias politica ini
bertentangan dengan kekuasaan yang bersimaharajalela pada zaman feodalisme
dalam abad pertengahan. Pada zaman itu yang memegang ketiga kekuasaan dalam
negara ialah seorang raja, yang membuat sendiri undang-undang, menjalankanya
dan menghukum segala pelanggaran atas undang-undang yang dibuat dan
dijalankan oleh raja tersebut.
Monopoli atas ketiga kekuasaan tersebut dapat dibuktikan dalam
semboyan raja Louis XIV L’Estat cest moi kekuasaan mana berlangsung hingga
permulaan abad ke-17. Setelah pecah revolusi Perancis pada tahun 1789, barulah
paham tentang kekuasaan yang tertumpuk ditangan raja menjadi lenyap. Dan
ketika itu pula timbul gagasan baru mengenai pemisahan kekuasaan yang
dipelopori oleh Montesqueiu.166
166
Pada pokoknya ajaran trias politica isinya adalah pertama ,Kekuasaan
legislatif (legislative powers). Kekuasaan untuk membuat undang-undang harus
terletak dalam suatu badan yang berhak khusus untuk itu. Jika penyusunan
undang-undang tidak diletakkan pada suatu badan tertentu, maka mungkinkah tiap
golongan atau tiap orang mengadakan undang-undang untuk kepentingan sendiri.
Di dalam negara demokrasi yang peraturan-perundangannya harus berdasarkan
kedaulatan rakyat, maka badan perwakilan rakyat yang harus dianggap sebagai
badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang dan
yang disebut “legislative”. Badan ini adalah yang terpenting dalam susunan
kenegaraan, karena undang-undang adalah ibarat tiang yang menegakkan hidup
perumahan negara dan sebagai alat yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat
dan negara. Sebagai badan pembentuk undang-undang maka legislatif itu
hanyalah untuk mengadakan undang-undang saja, tidak boleh melaksanakannya.
Untuk menjalankan undang-undang itu harus diserahkan kepada suatu badan lain.
kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang adalah “eksekutif”.
Kedua, ialah Kekuasaan eksekutif (Executive powers). Kekuasaan
menjalankan undang-undang ini dipegang oleh kepala negara. Kepala negara tentu
tidak dapat sendirian menjalankan segala undang-undang ini. oleh karena itu,
kekuasaan dari kepala negara dilimpahkan (didelegasikannya) kepada
peabat-pejabat pemerintah/negara yang bersama-sama merupakan suatu badan pelaksana
undang-undang (badan eksekutif). Badan ini berkewajiban menjalankan
kekuasaan eksekutif.
Yang ketiga ialah Kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman
ialah kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan undang-undang dan berhak
untuk memberikan peradilan kepada rakyat. Badan yudikatiflah yang berkuasa
memutuskan perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran
undang-undang yang telah diadakan dan dijalankan.167 Walaupun hakim itu biasanya
diangkat oleh kepala negara (eksekutif) tetapi mereka mempunyai kedudukan
yang istimewa dan mempunyai hak tersendiri, karena ia tidak diperintah oleh
kepala negara yang mengangkatnya, bahkan ia adalah badan yang berhak
menghukum kepala negara, jika melanggar hukum.
Kelanjutan mengenai dasar kekuasaan yudikatif ataupun kekuasaaan
kehakiman ini dapat terlihat jelas dalam konstitusi pasal 24 UUD Negara
Republik Indonesia 1945. Untuk membatasi penggunaan kekuasaan kehakiman
maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Dibentuknya undang-undang ini untuk melakukn penataa sistem
peradilan yang terpadu dan unt mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka
dan peradilan yang bersih serta beribawa.168
Pada Babnya yang ke V, undang-undang ini membahas mengenai
badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kekuasaan kehakiman.
Selain Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi,
terdapat badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman.169 Fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam pasal 38 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 meliputi, fungsi
167
Ibid.hlm.70.
168
Poin Menimbang Undang-Undang No 48 Tahun 2009.
169
penyelidikan dan penyidikan, fungsi penuntutan, pelaksanaan putusan, pemberian
jasa hukum dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.170
Melihat penjelasan mengenai pengertian kuasi yudisial dan
lembaga-lembaga yang termasuk dalam lembaga-lembaga kuasi yudisial yang sudah dituliskan
dalam sub bab sebelumnya, kuasi yudisial memiliki fungsi sebagaimana yang
diatur dalam pasal 38 ayat (2) Undang-Undang No 48 tahun 2009. Dalam
beberapa lembaga kuasi yudisial yang telah dijelaskan terlihat bahwa Bawaslu
sebagai lembaga kuasi yudisial memiliki kewenangan untuk mennyelesaikan
sengketa pemilu diluar dari pada pengadilan begitu pula KPPU yang memiliki
fungsi penyelidikan dan penyidikan terhadap permasalahan atau apabila terjadinya
kecurangan dalam persaingan usaha.
Ketentuan mengenai pasal 38 Undang-Undang 48 Tahun 2009 didasari
dari pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menyatakan kekuasaan kehakiman juga dimiliki
oleh badan-badan lain yang funginya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
Maka dapat disimpulkan, berdasarkan pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang
selanjutnya di tegaskan dalam pasal 38 Undang-Undang 48 Tahun 2009 bahwa
melihat dari fungsinya lembaga Kuasi Yudisial berkedudukan didalam kekuasaan
kehakiman di Indonesia.
E. Peranan Lembaga Kuasi Yudisial di Indonesia
Pada sub bab sebelumnya mengenai kedudukan daripada lembaga kuasi
yudisial, dapat disimpulkan bahwa kuasi yudisial berada dalam kekuasaan
kehakiman. Dalam pasal 38 undang-undang tentang kekuasaan kehakiman dapat
dinyatakan bahwa kuasi yudisial merupakan badan lain yang berperan sebagai
170
pelaksana kekuasaan kehakiman juga. Pasal tersebut juga telah menjelaskan
mengenai fungsi daripada badan tersebut.
Ketentuan mengenai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.171 Maka dapat dilihat fungsi
daripada kuasi yudisial bergantung pada ketentuan undang-undang yang
mengaturnya.
Dalam Undang-Undang 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran menyatakan
bahwa salah satu wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ialah mengawasi
pelaksanaan peraturan dan pedoman penyiaran di Indonesia serta dapat juga
memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman penyiaran di
Indonesia.172 Melihat wewenang tersebut KPI merupakan suatu lembaga yang
bersifat kuasi yudisial. Peranan kuasi yudisial dapat dlihat dari kewenangan KPI
yang berperan mengawasi dan juga dapat memberikan sanksi.
Komisi Informasi pada Undang-Undang 14 Tahun 2008 secara tegas
menetapkan salah satu tugas dari dibentuknya Komisi ini ialah untuk
menyelesaikan sengketa melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi. Begitu
juga Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang diberikan wewenang salah
satunnya menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam persaingan usaha.
Maka melihat tiga contoh lembaga kuasi yudisial diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa kuasi yudisial sebgai pelaksana kekuasaan kehakiman berperan
untuk menyelesaikan sengketa diluar dari pengadilan.
171
Pasal 38 Ayat (3) Undang-Undang No 48 Tahun 2009
172
A. BPSK Sebagai Lembaga Kuasi Yudisial
Undang-undang kekuasaan kehakiman menyatakan bahwa adanya
badan-badan lain yang memiliki fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
Mengenai badan-badan lain yang memiliki fungsi kekuasaan kehakiman tersebut
diatur dalam undang-undang. Undang-Undang Perlidungan Konsumen (UUPK)
membentuk suatu lembaga yang disebut Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK).173 Dibentuknya BPSK bertujuan untuk menjadi lembaga penyelesaian
sengketa konsumen melalui jalur luar pengadilan.174
Secara ringkas BPSK memiliki tugas untuk menangangi sengketa
konsumen melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi. Bertugas memberikan
konsultasi perlindungan konsumen juga melakukan pengawasan.175 Terhadap
tugas BPSK yang menyelesaiakan sengketa konsumen, BPSK memiliki
kewenangan untuk memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian
dipihak konsumen dan menjatuhkan sanksi terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang.176
Dalam menyelesaiakan tugasnya untuk menyelesaiakan sengketa
konsumen, BPSK membentuk majelis. Prosedur yang dilakukan dalam
penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK pun memiliki kemiripan dengan
173
Janus Sidabalok, Op.cit, hlm. 184.
174
Ibid, hlm.184.
175
Ibid, hlm. 184.
176
peradilan pada umumnya.177 Namun unsur –unsur yang ada dalam BPSK adalah
unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha, berbeda dengan
unsur –unsur yang ada pada peradilan. Tahapan yang dilalui secara ringkas dapat
disebutkan dalam tiga tahap, yakni tahap menerima gugatan, tahap memeriksa
gugatan, dan tahap pemberian putusan serta pelaksanaan putusan.178
Berdasarkan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh BPSK, BPSK
memiliki karakteristik lembaga kuasi yudisial sebagaimana yang dirumuskan oleh
Jimly Asshiddiqie. Adapun karakteristik yang dimiliki oleh Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) adalah sebagai berikut :
1. BPSK memiliki kekuasaan untuk mendengar dan menentukan atau
memastikan fakta-fakta. Pada tugas dan wewenangnya BPSK dapat
melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen. Untuk melaksanakan tugas tersebut BPSK dapat memanggil
para pihak yang bersengketa untuk dapat menyelesaikan sengketa yang
terjadi. BPSK juga dapat meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau
alat bukti lain.179
2. BPSK memiliki kekuasaan untuk menguji saksi-saksi, untuk memaksa
saksi-saksi untuk hadir, dan untuk mendengar keterangan para pihak
dalam persidangan. Kekuasaan yang dimiliki oleh BPSK ini terlihat
dari tugas dan wewenang BPSK yang tertuang pada pasal 52 poin h dan
i. Di mana dalam poin tersebut dijelaskan bahwa BPSK dapat
memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang
yang dianggap mengetahui tentang pelanggaran UUPK. Bahkan BPSK
177
Janus Sidabalok, Op.cit, hlm. 187.
178
Ibid, hlm.187.
179
sendiri memiliki wewenang untuk meminta bantuan dari penyidik untuk
dapat menghadirkan pelaku usaha, saksi saksi ahli dan juga orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran UUPK.
3. BPSK memiliki kekuasaan untuk menegakkan keputusan atau
menjatuhkan sanksi hukuman. Tugas dan wewenang BPSK yang
tertulis pada poin k dan m menjelaskan bahwa BPSK dapat
memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian di pihak
konsumen dan juga menjatuhkan sanksi administrative kepada pelaku
usaha iyang melanggar ketentuan undang-undang ini.
Berdasarkan penjelasan mengenai karakteristik kekuasaan yang dimiliki
BPSK tersebut, maka dapat dsimpulkan bahwa BPSK merupakan lembaga kuasi
yudisial. Maka dapat dikatakan bahwa kedudukan BPSK sebagai lembaga kuasi
yudisial berperan dalam mengadili penyelesaian sengketa konsumen diluar
pengadilan dan menjatuhkan putusan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan
didalam UUPK.
B. Kekuatan Hukum Putusan BPSK Sebagai Lembaga Kuasi Yudisial
dalam Sistem Hukum Indonesia
Herzien Inlandsch Reglemen atau HIR pasal 185 menentukan putusan
dapat dibagi menjadi dua macam, yakni putusan sela dan putusan akhir. Putusan
sela adalah putusan yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau
mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Putusan akhir ialah putusan yang
mengakhiri perkara pada tingkat pemeriksaan pengadilan, meliputi pengadilan
tingkat pertama, pengadilan tinggi dan mahkamah agung.180
180
Dalam hukum acara dikenal beberapa putusn sela, yaitu:181
1. Putusan Prepatoir, yaitu putusan sebagai persiapan putusan akhir,
tanpa mempunyai pengaruh atas pokok perkara putusan akhir. Sebagai
contoh, putusan untuk menolak pengunduran pemeriksaaan saksi.
2. Putusan Interlocutoir, adalah putusan yang isinya memerintahkan
pembuktian. Contohnya pemeriksaan saksi atau pemeriksaaan setempat.
Karena putusan ini menyangkut masalah pembuktian, maka putusan
interlocutoir akan mempengaruhi putusan akhir.
3. Putusan Incidentiel, adalah putusan yang berhubungan dengan insiden
yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa. Sebagai
contoh, putusan yang membolehkan pihak ketiga ikut serta dalam suatu
perkara.
4. Putusan Provisional, adalah ptusan yang menjawab tututan provinsi
yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan
pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir
dijatuhkan. Sebagai contoh, dalam perceraian sebelum pokok perkara
diputuskan, istri minta dibebaskan dari kewajiban untuk tinggal
bersama suaminya, karena suaminya yang suka menganiaya.
Putusan akhir berdasarkan sifat amarnya dapat dibedakan atas tiga macam
yaitu:182
1. Putusan Condemnatoir, yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak
yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi.
181
J.B Daliyo, Op.cit, hlm. 246.
182
2. Putusan Declaratoir, adalah putusan yang amarnya menyatakan suatu
keadaan sebagai keadaan yang sah menurut hukum.
3. Putusan Konstitutif, adalah puttusan yang amar putusannya
menciptakan suatu keadaan baru.
HIR tidak memuat ketentuan tentang kekuatan putusan hakim, namun
dalam pasal 180 hanya disebutkan adanya suatu putusan yang telah mempunyai
kekuatan tetap. Karena ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan tetap tentu
ada putusan hakim yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan hakim
yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang menurut
undang-undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa
melawn putusan itu. Jadi putusan yang tidak dapat diganggu gugat. Sedangkan
putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang
menutut ketentuan undang-undang masih terbuka kesempatan mengguunakan
upaya hukum melawan putusan misalnya banding dan kasasi.183
Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara
perdata memiliki tiga macam kekuatan, yaitu :184
1. Kekuatan pembuktian mengikat, artinya disini ialah putusan hakim itu
sebagai dokumen yang merupakan suatu akta otentik menurut
pengertian undang-undang, sehingga tidak hanya mempunyai kekuatan
pembuktian mengikat antara para pihak yang berperkara, tetapi
membuktikan bahwa telah ada suatu perkara antara pihak-pihak yang
disebutkan dalam putusan itu.
183
Moh. Taufik Makarao, Op.cit, hlm. 131.
184
2. Kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatannya untuk dapat dipaksakan
dengan bantuan aparat keamanan terhadap pihak yang tidak menaatinya
dengan sukarela.
3. Kekuatan mengajukan eksepsi (tangkisan), yaitu kekuatan untuk
menangkis suatu gugatan baru mengenai hal yang sudah pernah diputus
mengenai hal-hal yang sama, berdasarkan asas ne bi in idem ( tidak
boleh dijatuhkan putusan lagi dalam perkara yang sama.
Putusan dalam hukum acara perdata yang telah dijelaskan diatas berbeda
dengan putusan yang dikeluarkan oleh BPSK sebagai lembaga yang bersifat semi
peradilan atau lembaga kuasi yudisial. Dalam UUPK Pasal 54 ayat (3)
menegaskan bahwa putusan dari majelis BPSK bersifat final dan mengikat. arti
dari putusan yang bersifat final adalah bahwa tidak adanya upaya banding dan
kasasi pada putusan tersebut. Sedangkan arti mengikat pada sifat putusan tersebut
adalah putusan tersebut harus dijalankan oleh yang diwajibkan untuk itu.185
BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua
puluh satu) hari kerja setelah gugatan dterima.186 Segera setelah putusan
diucapkan, maka dimintalah penetapan esksekusinya kepada pengadilan neger
ditempat tergugat berkediaman.187Dalam waktu paling lambat 7 hari kerja sejak
menerima putusan BPSK sebagaimana dimaksud Pasal 55 UUPK pelaku usaha
wajib melaksanakan putusan tersebut.188 Ada hal yang menimbulkan kontradiktif
terhadap putusan BPSK, di mana dalam UUPK pasal 56 Ayat (2) dinyatakan para
pihak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri paling lambat 14
185
Abdul Halim Barkatulah, Op.cit, hlm. 182.
186
Pasal 55 Undang-Undang No 8 Tahun 1999.
187
Janus Sidabalok, Op.cit, hlm. 188
188
(empat belas) hari kerja setelah menerima putusan BPSK. Dengan dibukanya
kesempatan mengajukan keberatan maka dapat dikatakan bahwa putusan BPSK
belum bersifat final atau dapat dikatakan tidak berkekuatan hukum tetap.189
Penjelasan Pasal 54 ayat (3), putusan bersifat final BPSK adalah tidak
adanya upaya hukum banding dan kasasi. Jika dihubungkan pada ketentuan pasal
56 ayat (2) UUPK, maka dapat diketahui bahwa ternyata istilah final putusan
BPSK hanya dimaknai pada upaya banding, tetapi tidak termasuk terhadap upaya
mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri, yang ternyata atas putusan
pengadilan negeri ini UUPK masih membuka lagi kesempatan untuk mengajukan
kasasi kepada Mahkamah Agung.190
Putusan Majelis BPSK bersifat nonlitigasi, sehingga apabila ada pihak
yang keberatan atas putusan BPSK tersebut, mereka dapat mengajukan kepada
pengadilan negeri. Dalam arti pula putusan BPSK tidak memiliki kekuatan
eksekutorial.191
Pada dasarnya BPSK merupakan lembaga yang memiliki sifat semi
peradilan atau lembaga kuasi yudisial. Pengertian kuasi yudisial yang diberikan
oleh Jimly Asshiddiqie bahwa lembaga ini ialah lembaga yang memiliki sifat
mengadili. Lembaga ini juga berfungsi sebagai lembaga yang dapat menjalankan
fungsi kehakiman dalam penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Maka putusan
BPSK sebagai lembaga kuasi yudisial tidak berkekuatan hukum tetap.
189
Abdul Halim Barkatulah, Op.cit,hlm.182.
190
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit,hlm. 264.
191
C. Upaya Hukum Terhadap Putusan BPSK Sebagai Lembaga Kuasi
Yudisial
Upaya hukum adalah cara untuk memperbaiki kekeliruan dalaam suatu
putusan.192 Dalam hukum acara terdapat upaya-upaya hukum yang meliputi upaya
hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa pada asasnya
terbuka untuk setiap putusan selama tenggang waktu yang ditentukan oleh
undang-undang. Upaya hukum biasa bersifat menghentikan pelaksanaan putusan
untuk sementara. Dengan mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau mutlak
suatu putusan tidak dapat lagi diubah. Suatu putusan mempunyai kekuatan hukum
yang tetap apabila tidak tersedia lagi upaya hukum biasa. Untuk putusan-putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap ini tersedia upaya hukum luar biasa. Upaya
hukum luar biasa hanyalah diperbolehkan dalam hal-hal tertentu yang disebut
dalam undang-undang saja.193
1. Upaya hukum biasa
a. Upaya Hukum Banding
Upaya hukum banding diajukan apabila pihak-pihak yang berperkara
tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. Upaya
hukum banding diadakan oleh pembuat undang-undang, karena
dikhawatirkan bahwa hakim yang adalah manusia biasa, membuat
kesalahan dalam menjatuhkan sesuatu putusan. Karena itu dibuka
kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan
permohonan banding kepada pengadilan tinggi.
192
J.B Daliyo, Op.cit, hlm. 247.
193
Untuk mengetahui peraturan mengenai banding, perlu dibaca
ketentuan pasal 3 Undang-Undang No 1 Tahun 1951. Menurut
ketetuan pasal tersebut peraturan hukum acara perdata untuk
pemeriksaan ulangan atau banding pada pengadilan tinggi adlah
peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan
berlaku untuk pengadilan-pengadilan tinggi dalam daearah Republik
Indonesia.
Apabila putusan pengadilan negeri itu dimintakan banding,
permohonan banding tersebut disampaikan pada panitera pengadilan
negeri yang menjatuhkan putusan baik secara tertulis maupun secara
lisan, dalam wktu empat belas hari terhitung mulai hari berikutnya
pengumuman putusan kepada yang berkepentingan. Dengan
diajukannya permohonan banding, perkara menjadi mentah lagi.
Putusan pengadilan negeri tidak dapat dilaksanakan kecuali apabila
dalam putusan pengadilan tersebut adalah suatu putusan provisional.
Yang akan diperiksa adalah semua surat-suratnya, dengan lain
perkataan berkasnya.
Pengadilan tinggi dalam taraf banding akan meneliti apakah
pemeriksaan perkara tersebut telah dilakukan menurut cara yang
ditentukan oleh undang-undang dengan cukup teliti, selain itu akan
diperiksa apakah putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim pertama
putusan akan dibatalkan dan pengadilan tinggi akan memberikan
peradilan sendiri.194
b. Upaya Hukum Kasasi
Tugas pengadilan kasasi adalah menguji (meneliti) putusan
pengadilan-pengadilan bawahan tentang sudah tepat atau tidaknya
penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan
yang duduk perkaranya telah ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan
bawahan tersebut. Wirjono Prodjodikoro mengatakan kasasi adalah
salah satu tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi
atas putusan-putusan pengadilan lain. Soepomo mengatakan kasasi
adalah tindakan Mahkamah Agung untuk menegakkan dan
membetulkan hukum, jika hukum ditentang oleh putusan
hakim-hakim pada tingkat tertinggi.
Permohonan kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara
tertulis atau lisan melalu panitera pengadilan tingkat pertama dalam
tengang waktu 14 hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan
yang dimaksud diberitahukan kepada pemohon. Pemeriksaan kasasi
dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan surat-surat dan
hanya jika dipandang perlu Mahkamah Agung mendengar sendiri
para pihak atau saksi. Dalam mengambil keputusan mahkamah
agung tidak terikat pada alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon
kasasi dan dapat memakai alasan-asalan hukum lain.195
194
Ibid, hlm.164-172.
195
2. Upaya Hukum Luar Biasa
Yang termasuk dalam upaya hukum luar biasa adalah upaya hukum
peninjauan kembali (request civil). Menurut Sudikno Mertokusomo
Request Civil adalah peninjauan kembali suatu putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.196 Permohonan peninjauan kembali
hanya dapat diajukan satu kali. Permohonan peninjauan kembali tidak
menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus,
dan dalam hal sudah dicabut, permohonan peninjauan kembali itu tidak
dapat diajukan.197
Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon kepada
Mahkamah Agung melalui ketua Pengadilan negeri yang memutus
perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang
diperlukan. Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon
secara tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang
dijadikan dasar permohonan dan dimasukkan di kepaniteraan
pengadilan negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan
kembali, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimohonkan
peninjauan kemballi tersebut dan selanjutnya memeriksa dan memutus
sendiri perkaranya. Mahkamah Agung menolak permohonan
196
Ibid, hlm. 205
197
peninjauan kembali dalam hal Mahkamah gung berpemdapat
permohonan itu tidak beralasan.198
Terkait mengenai putusan yang dijatuhkan oleh BPSK telah dijelaskan
secara tegas pada UUPK. Pasal 54 UUPK ayat (3) menegaskan bahwa puutusan
BPSK bersifat final dan mengikat. Akan tetapi apabila tidak puas terhadap
putusan tersebut, para pihak diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan
kepada pengadilan negeri setempat paling lambat 14 hari setelah dikeluarkannya
putusan tersebut. Sebaliknya jika dalam tenggat waktu tersebut tidak diajukan
keberatan maka para pihak dianggap menerima keputusan tersebut dan tidak dapat
mengajukan keberatan.199
Peraturan mengenai pengajuan keberatan atas putusan BPSK dijelaskan
dalam Perma No 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan
Terhadap Putusan BPSK. Perma No 1 Tahun 2006 memberikan pengertian bahwa
keberatan adalah upaya bagi pelaku usaha dan konsumen yang tidak dapat
menerima putusan BPSK.200 Keberatan hanya dapat diajukan terhadap putusan
arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK.201
Pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan BPSK dan
berkas perkara.202 Keberatan terhadap putusn arbitrase yang dikelarkan oleh
BPSK dapat diajukan apabila memenuhi persyaratan pembatalan putusan arbitrase
sebgaimana yang telah diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu :203
198
Moh. Taufik Makarao, Op.cit, hlm. 209.
199
Janus Sidabalok, Op.cit.hlm.188.
200
Pasal 1 Ayat (1) Perma No 1 Tahun 2006.
201
Pasal 2 Perma No. 1 Tahun 2006.
202
Pasal 6 Ayat (2) Perma No 1 Tahun 2006
203
1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
2. Setelah putusan arbitrase BPSK diambil ditemukan dokumen yang
bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan.
3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Terhadap putusan majelis BPSK yang diajukan keberatan, pengadilan
negeri harus segera memeriksa dan memberi putusan atas keberatan itu paling
lama 21 hari sejak keberatan diterima. Jika para pihak tidak puas terhadap
putusan pengadilan negeri, UUPK menyatakan para pihak masih dapat
mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung paling lama 14 hari kerja
sejak putusan diterima. Mahkamah Agung wajib mengeluarkan putusan paling
lambat 30 hari sejak permohonan kasasi diterima.204
Berkenaan dengan adanya peluang untuk mengajukan keberatan atas
putusan BPSK kepada pengadilan, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo melihatnya
sebagai suatu upaya yang memiliki hakikat yang sama dengan upaya banding
terhadap putusan BPSK. Oleh karena itu, BPSK dengan sendirinya ditempatkan
seolah-olah sebagai instansi tingkat pertama seangkan pengadilan negeri
merupakan instansi tingkat banding. Hal lain yang memudahkan penganalogian
ini lebih disebabkan BPSK dalam menyelesaiakan sengketa konsumen
enggunakan hukum acara yang kurang lebih sama dengan hukum acara perdata
yang berlaku di peradilan umum. Disamping itu , kebaratan yang diajukan ke
204
pengadilan masuk ke dalam ranah hukum acara perdata dengan sendirinya
berlakulah ketentuan hukum acara perdata.205
Upaya keberatan umumnya dikenal dalam upaya-upaya administrative
dalam lingkup badan-badan eksekutif. Penggunaan istilah keberatan tidak lazim
dalam hukum acara yang berlaku, jika dikaitkan dengan ketentuan bahwa
pengadilan negeri yang menerima pengajuan keberatan wajib memberikan
putusan dalam waktu paling lama 21 hari, sehingga tidaklah mungkin keberatan
ini dianalogikan sebagai upaya gugatan baru ataupun perlawanan, karena proses
perkara gugatan baru atau perlawanan sangatlah formal dan memerlukan waktu
yang lama. Dengan demikian upaya keberatan yang diajukan oleh pihak yang
menolak putusan BPSK tiada lain dapat ditafsirkan sebagai upaya hukum
banding.206
205
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit, hlm. 264.
206
Susanti Adi Nugroho,Op.cit, hlm.264.
Bedasarkan penelitian yang telah dipaparkan mengenai kedudukan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai lembaga kuasi yudisal, maka dapat
dirumuskan kesimpulan dan saran sebagai berikut:
A. Kesimpulan
1. Pembentukan BPSK didasarkan pada adanya kecenderungan
masyarakat yang segan untuk beracara di pegadilan karena posisi
konsumen yang secara sosial dan finansial tidak seimbang dengan
pelaku usaha. Terbentuknya lembaga BPSK, maka penyelesaian
sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah dan murah.
Proses penyelesaian sengketa di BPSK adalah sangat sederhana karena
di BPSK hanya dikenal surat pengaduan konsumen dan jawaban pelaku
usaha , kecuali untuk sengketa yang diselesaikan dengan cara arbitrase
pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk mengajukan pembuktian.
Keberadaan BPSK juga diharapkan akan mengurangi beban tumpukan
perkara di pengadilan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
dibentuk di daerah tingkat II Kabupaten/Kotamadya.
BPSK berkedudukan sebagai lembaga yang dapat memeriksa dan
memutus sengketa konsumen, yang bekerja seolah-olah sebagai sebuah
pengadilan.
BPSK menyelesaikan tugas dan wewenangnya dalam menyelesaikan
Selain daripada menyelesaikan sengketa konsumen namun UUPK tidak
merincikan batasan-batasan dari sengketa onsumen yang dapat
diselesaikan melalui BPSK. BPSK juga bertugas untuk memberikan
konsultasi perlindungan konsumen, dan juga melakukan pengawasan
terhadap pencantuman klausula baku.
2. Lembaga Kuasi Yudisial yang dapat juga disebut kuasi pengadilan atau
semi pengadilan merupakan lembaga yang memiliki kewenangan untuk
memeriksa dan memutus sesuatu perselisihan ataupun perkara
pelanggaran hukum, dan pelangar etika tertentu dengan keputusan yang
bersifat final dan mengikat (final and binding) sebagaimana putusan
pengadilan yang bersifat “Inkracht” pada umumnya.
Atas penjelasan mengenai pengertian kuasi yudisial, kuasi yudisial
memiliki fungsi kehakiman sebagaimana yang diatur dalam pasal 38
ayat (2) Undang-Undang No 48 tahun 2009. Maka dapat disimpulkan,
berdasarkan pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang selanjutnya di tegaskan
dalam pasal 38 Undang-Undang 48 Tahun 2009 bahwa melihat dari
fungsinya lembaga Kuasi Yudisial berkedudukan didalam kekuasaan
kehakiman di Indonesia.
4. BPSK memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menetapkan ada
atau tidaknya kerugian dipihak konsumen dan menjatuhkan sanksi
terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang. Atas
tugas dan wewenang yang dimiliki oleh BPSK, dapat dilihat bahwa
BPSK memiliki kekuasaan sebagaimana karakteristik kekuasan dari