• Tidak ada hasil yang ditemukan

Parenting Stres pada Orang Tua dalam Merawat Anak Tunagrahita di SLB ABC Taman Pendidikan Islam (TPI) Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Parenting Stres pada Orang Tua dalam Merawat Anak Tunagrahita di SLB ABC Taman Pendidikan Islam (TPI) Medan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Parenting stress

2.1.1. Definisi stres

Stres merupakan suatu persepsi atau pengalaman individu terhadap perubahan yang berasal dari stressor yang terlihat sebagai ancaman (Potter & Perry, 2005; National Safety Council, 2003). Stressor merupakan kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial, lingkungan, perkembangan, spiritual, atau kultural yang tidak terpenuhi baik berasal dari dalam diri individu atau di luar diri individu (Potter & Perry, 2005). Lestari (2014) menyatakan bahwa stres dalam psikologi stres berarti sebagai suatu proses yang dijalani seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya. Cronin dan Becher (2015) berpendapat bahwa stres adalah pengalaman seseorang yang secara umum bersifat negatif atau tidak disenangi yang terjadi dari tuntutan lingkungan. Lazarus (1976 dalam Nasir & Muhith, 2011) menyatakan bahwa stres bersifat individual. Maka dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu pengalaman yang menekan diri individu terhadap perubahan lingkungan yang tidak disenangi atau ketidakmampuan untuk memenuhi tuntutan yang ada.

2.1.2. Jenis-jenis stres

(2)

stres buruk atau distress apabila seseorang merespon suatu tuntutan dengan sebuah ancaman sehingga mengakibatkan marah, tegang, bingung, cemas, dan merasa bersalah. Distress dapat berupa akut dan kronik. Distress akut memiliki sumber stres yang cukup kuat dan dapat hilang dengan cepat, sedangkan distress kronis terjadi akibat sumber stres yang tidak terlalu kuat dan dapat terjadi selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun.

Nasir dan Muhith (2011) menerangkan bahwa stres juga terbagi menjadi 4 jenis, yaitu frustasi, konflik, perubahan, dan tekanan. Frustasi ialah perasaan sesorang yang terhambat untuk mencapai suatu jalan yang akan dilalui. Konflik ialah kondisi pada dua atau lebih perilaku yang saling bertentangan di mana kedua perilaku saling memberatkan atau butuh diwujudkan. Perubahan yaitu kondisi yang diterima tidak semestinya sehingga membutuhkan penyesuaian. Tekanan yaitu sebuah harapan atau tuntutan besar pada seseorang untuk melakukan perilaku tertentu.

2.1.3. Definisi parenting stress

Deater-Deckard (2004 dalam lestari, 2014) menyatakan bahwa parenting stress merupakan serangkaian proses yang membawa pada kondisi psikologis

(3)

Model stres pengasuhan Abidin ( 1982 dalam Ahern, 2004) mengemukakan bahwa stres menjadi alasan kearah tidak berfungsinya pengasuhan orang tua terhadap anak, sehingga intinya menjelaskan pada ketidaksesuaian respon orang tua dalam menanggapi konflik dengan anak-anak mereka. parenting stress dapat terjadi hanya dalam memenuhi kebutuhan peran sebagai orang tua terhadap anak. Akan tetapi parenting stress yang dialami orang tua juga dapat dikarenakan kehidupan sosial dan lingkungan orang tua, tanggung jawab sebagai orang tua, dan kehidupan sehari-hari (Cronin & Becher, 2015). Maka dapat dikatakan bahwa parenting stress adalah situasi penuh tekanan dalam tugas mengasuh anak dan

beradaptasi dengan tuntutan peran sebagai orang tua. 2.1.4. Penyebab dan akibat parenting stress

Penyebab dan akibat parenting stressmerupakan hubungan yang berkaitan. Pendekatan untuk melihat penyebab dan akibat parenting stress dapat dilihat dari dua pendekatan yang utama, yaitu teori P-C-R (parent- child- relationship) dan teori daily hassles(Lestari, 2012). Teori P-C-R menegaskan bahwa parenting stress bersumber dari ranah orang tua, ranah anak, dan ranah hubungan orang

tua-anak. Ranah orang tua (parent) yaitu segala aspek parenting stress yang muncul dari pihak orang tua. Ranah anak (child) yaitu segala aspek parenting stress yang muncul dari perilaku anak. Ranah hubungan orang tua-anak (relationship) yaitu segala aspek parenting stress yang bersumber dari hubungan orang tua-anak.

(4)

dengan pasangan yang kurang harmonis, dankesehatan yang buruk. Sebaliknya ranah anak juga dapat memicuparenting stress, misalnya kemampuan beradaptasi anak yang rendah,kurang penerimaan terhadap orang tua, suka menuntut atau menyusahkan,suasana hati yang buruk, mengalami kekacauan pikiran, dan kurangmemiliki kemampuan untuk memperkuat orang tua. Ranah relasiorang tua- anak yang memicu parenting stress adalah derajat konflik yangmuncul dalam interaksi orang tua-anak (Lestari 2012).

Lestari (2012) menegaskan bahwa ketiga ranah parenting stress tersebut pada akhirnya akan menyebabkan penurunan kualitas dan efektivitas perilaku pengasuhan oleh orang tua. Penurunan kualitas pengasuhan ini pada akhirnya akan meningkatkan problem emosi dan perilaku anak, misalnya perilaku agresi, pembangkangan, kecemasan, dan kesedihan yang kronis. Dengan demikian pendekatan P-C-R memperlihatkan adanya saling mempengaruhi antara orang tua dan anak atau disebut dua arah. Teori P-C-R diperluas dan dilengkapi oleh teori daily hassles, yaitu terdapat juga parenting stress yang bersifat stres sehari-hari

atau mingguan sehingga tidak sampai menimbulkan gangguan psikologis (Lestari 2012).

2.1.5. Aspek – aspek parenting stress

Model ini tentang pengasuhan orang tua yang dicerminkan dalam aspek-aspek teori Abidin (dalam Abidin, 1989; Ahern, 2004; ) meliputi:

a. The parent distress (distress orang tua)

parenting stress disini menunjukkan distress orang tua sebagai sebuah

(5)

dengan peran orang tua dalam pengasuhan anak. Tingkat parenting stress ini berhubungan dengan karakteristik individu yang mengalami gangguan. Beberapa indikator yang menunjukkan distress orang tua ialah feelings of competence, social isolation, restriction imposed by parent role, relationships with spouse,

health of parent, dan parent depression.

Feelings of competence (perasaan dari memiliki kemampuan), yaitu orang

tua diliputi oleh tuntutan dari perannya dan kekurangan perasaan akan kemampuannya dalam merawat anak. Hal ini dihubungkan dengan kurangnya pengetahuan orang tua dalam hal perkembangan anak dan keterampilan manajemen anak yang sesuai. Selanjutnya, social isolation (perasaan isolasi sosial), yaitu orang tua merasa terisolasi secara sosial dan ketidakhadiran dukungan emosional dari teman sehingga meningkatkan kemungkinan tidak berfungsinya pengasuhan orang tua dalam bentuk mengabaikan anaknya.

Restriction imposed by parent role (adanya pembatasan pada kebebasan

(6)

Health of parent (kesehatan orang tua), yaitu sampai taraf tertentu,

efektivitas proses pengasuhan orang tua terhadap anak dapat mempengaruhi kondisi kesehatan orang tua. Parent depression (depresi orang tua), yaitu orang tua mengalami beberapa gejala depresi ringan hingga menengah dan rasa bersalah (kecewa), yang mana pada suatu waktu dapat melemahkan kemampuannya untuk menangani tanggung jawabnya terhadap pengasuhan. Permasalahan ini secara khas dihubungkan dengan tingkatan depresi meliputi keluhan hilangnya energi.

b. The difficult child (perilaku anak yang sulit)

parenting stress disini digambarkan dengan adanya perilaku anak yang

sering terlibat dalam mempermudah pengasuhan atau malah lebih mempersulit karena orang tua merasa anaknya memiliki banyak karakteristik tingkah laku yang mengganggu. Perilaku anak yang sulit memiliki beberapa indikator yang menjadi stres orang tua yaitu child adaptability, child demands, child mood,dan districtability.

Child adaptability (penyesuaian diri anak), yaitu anak menunjukkan

(7)

khas anak yang bisa dilihat dari ekspresinya sehari- hari. Districtability, yaitu orang tua merasa anaknya menunjukkan perilaku yang terlalu aktif dan sulit mengikuti perintah.

c. The parent-child dysfunctional interaction (tidak berfungsinya

interaksi orang tua-anak)

parenting stress disini menunjukkan interaksi antara orang tua dan anak

yang tidak berfungsi dengan baik yang berfokus pada tingkat penguatan dari anak terhadap orang tua serta tingkat harapan orang tua terhadap anak. Indikator yang menunjukkan tidak berfungsinya interaksi orang tua dan anak ialah child reinforced parent, acceptability of child to parent, dan Attachment.

Child reinforced parent (anak memberi penguatan pada orang tua), yaitu

orang tua merasa tidak ada penguatan yang positif dari anaknya. interaksi antara orang tua dengan anak tidak menghasilkan perasaan yang nyaman terhadap anaknya. Acceptability of child to parent (hal yang dapat diterima dari anak oleh orang tua), yaitu stres pengasuhan orang tua karena karakteristik anak seperti intelektual, fisik, dan emosi yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan orang tua sehingga lebih besar dapat menyebabkan penolakan orang tua. Attachment (kedekatan/kasih sayang), yaitu orang tua tidak memiliki kedekatan emosional dengan anaknya sehingga mempengaruhi perasaan orang tua.

2.1.6. Faktor yang mempengaruhi parenting stress

(8)

cohesion, family income, dan maternal psychological well being. Child behavioral

problems menggambarkan perilaku anak yang bermasalah. Hal ini dapat

mempengaruhi parenting stress yaitu dengan adanya perasaan orang tua terhadap penerimaan anak, perasaan terisolasi, dan perasaan terhadap kemampuan mereka untuk menjalankan peran orang tua. Kategori yang diukur dalam masalah perilaku anak ialah perilaku menarik diri, permasalahan sosial, cemas dan depresi, gangguan pemusatan perhatian, gangguan proses berpikir, agresif, jahat, dan keluhan-keluhan somatik.

Family cohesion merupakan bentuk perhatian yang diberi oleh keluarga.

Perhatian dalam hal ini ialah berbagai rasa tanggung jawab, pertolongan, dan dukungan interpersonal di rumah. Dukungan keluarga dalam mengasuh anak dapat meningkatkan rasa percaya orang tua dalam merawat anaknya, namun jika tidak ada dukungan keluarga akan membuat perasaan terisolasi dan mudah untuk mengalami stres. Family income meliputi status sosial ekonomi, dukungan keluarga, dan sumber daya coping yaitu coping skills.

Maternal psychological well being merupakankesejahteraan psikologis yang

(9)

Johnston dan koleganya (2003) juga mengungkapkan potensi demografik lain seperti psikososial dan faktor biologis sebagai prediktor parenting stress yaitu meliputi maternal age, jaringan sosial dan dukungan, problem solving dan coping skills, religious affiliation, sumber daya komunitas, status dan kepuasan

pernikahan, pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, kesehatan anak, maternal culpability. Sedangkan Lestari (2012) menyatakan faktor-faktor yang dapat

mendorong timbulnya stres dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu individu, keluarga, dan lingkungan.

Pada tingkatan pertama yaitu individu. Faktor individu dapat bersumber dari pribadi orang tua maupun anak. Pribadi orang tua dapat berupa kesehatan fisik, mental, dan emosi orang tua . Hal ini dapat menjadi faktor yang mendorong timbulnya parenting stress. misalnya sakit yang dialami orang tua dan berlangsung dalam jangka panjang. Sedangkan dari pihak anak, faktor–faktor individu yang dapat mendorongparenting stress dapat berupa masalah kesehatan fisik dan problem perilaku. Adapun parenting stress yang terjadi sehari–hari sering kali disebabkan oleh problem perilaku anak. Anak Tunagrahita biasanya sangat sulit diatur, suka membangkang, sering menimbulkan kekacauan bahkan kerusakan. Orang tua yang menghadapi anak yang demikian akan mudah mengalami parenting stress.

(10)

dengan konflik, baik antarpasangan maupun antara orang tua-anak, sangat berpotensi menimbulkan parenting stress.Lingkungan juga dapat menjadi faktor stres pengasuhan dengan melihat situasi lingkungan. Kondisi stres dapat berlangsung dalam jangka pendek, situasional atau aksidental. Namun, bila tidak segera diatasi atau dikelola dengan baik, kondisi stres ini dapat berlangsung dalam jangka panjang juga.

2.2. Pengasuhan pada anak Tunagrahita

Pengasuhan adalah kata yang memiliki makna merawat (Lestari, 2012). Maka dalam hal ini pengasuhan dari orang tua adalah sama dengan perawatan yang diberikan orang tua. Keterbatasan inteligensi, keterbatasan sosial, dan keterbatasan fungsi mental lainnya yang dimiliki anak Tunagrahita terus terjadi sepanjang hidupnya (Somantri, 2007). Hal ini tentu dapat menjadi stressor bagi orang tua dalam merawat anaknya. Pengasuhan dari orang tua juga akan dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya ialah kondisi anak (Supartini, 2004).

(11)

menghargai, menerima, dan mencintai anak. Sedangkan pada seorang ibu, reaksi emosi turun naik adalah hal yang sering dialami sepanjang kehidupan anak. Walaupun berbagai perasaan dari orang tua, namun anak Tunagrahita harus memiliki kesempatan untuk mendapatkan pengasuhan yang baik (Setiono, 2011).

Merawat anak Tunagrahita tidak sama dengan merawat anak yang normal. Perawatan pada anak Tunagrahita bertujuan untuk meningkatkan keterampilan, perkembangan anak dan menangani tingkah laku anak dengan cara yang konstruktif dan tidak menyakiti. Walaupun orientasi orang tua terus untuk merawat anak, akan tetapi sebagai orang tua juga perlu untuk memiliki kesempatan hidup, belajar, bekerja, dan menikmati hidup dalam komunitasnya (Setiono, 2011).

Setiono (2011) menjelaskan bahwa pembelajaran yang penting bagi orang tua dalam merawat anak disabilitas termasuk Tunagrahita ialah menjalin relasi yang positif dengan anak, yaitu dengan cara menyediakan waktu untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan menunjukkan afeksi. Kemudian mengajari anak keterampilan dan tingkah laku baru. Orang tua juga mendorong tingkah laku anak dengan tingkah laku yang dikehendaki. Orang tua juga dapat menangani tingkah laku anak yang tidak dikehendaki.

2.3. Tunagrahita

2.3.1. Definisi Anak Tunagrahita

(12)

untuk menyatakan keadaan Tunagrahita ini adalah Retardasi mental atau mental retardation (Somantri, 2007). Hallahan dan Kauffman (1994, dalam Mangunsong

1998) mengutip pernyataan American Association on Mental Retardation [AAMR] untuk batasan Tunagrahita yaitu:

Maka dapat disimpulkan bahwa Tunagrahita adalah suatu kondisi seorang anak yang memiliki fungsi intelektual di bawah rata-rata dan disertai oleh ketidakmampuan dalam melakukan keterampilan adaptif yang terjadi pada masa perkembangan. Fungsi intelektual dapat diketahui dengan melakukan tes intelegensi sedangkan keterampilan adaptif dapat diketahui dengan melihat kemampuan anak dalam menyesuaikan diri di lingkungannya (Mangunsong, 1998).

Anak tunagrahita berkaitan dengan konsep Mental Age (MA). Mental Age adalah kemampuan mental yang dimiliki oleh seorang anak pada usia tertentu. Seorang anak yang memiliki MA lebih rendah dari umurnya (Cronology Age) dapat diindikasikan memiliki kemampuan kecerdasan di bawah rata-rata. Maka anak Tunagrahita selalu memiliki MA yang lebih rendah daripada umurnya (CA) secara jelas (Somantri, 2006). Mental Age yang rendah akan sulit untuk mandiri walaupun umurnya (CA) sudah dalam kategori dewasa sehingga masih dalam

(13)

2.3.2. Klasifikasi Tunagrahita

Tunagrahita dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahan atau intelegensi dan berdasarkan tingkat dukungan/bimbingan yang diperlukan oleh anak Tunagrahita. Klasifikasi Tunagrahita berdasarkan tingkat keparahan atau intelegensi memiliki 4 kategori yang dinyatakan AAMR (Mangunsong, 1998; Somantri, 2006). Kategori tersebut ialah ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Pengklasifikasian ini berdasarkan tingkat IQ anak.

a. Tunagrahita ringan

Pada anak Tunagrahita ringan, tingkat IQ yang dimiliki ialah sebesar 55 sampai 68. Tingkat Tunagrahita ringan ini masih dapat dididik dalam membaca, menulis dan berhitung sederhana. Anak Tunagrahita ringan masih dapat dilatih untuk mendapat penghasilan bagi dirinya sendiri seperti dalam bidang pertanian, peternakan, dan pekerjaan rumah tangga. Namun mereka tidak dapat melakukan penyesuian sosial secara mandiri seperti membelanjakan uangnya dengan lugu, tidak dapat merencanakan masa depan, dan suka berbuat kesalahan. Fisik anak Tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan dan akan terlihat seperti normal lainnya.

b. Tunagrahita sedang

(14)

c. Tunagrahita berat

Pada anak Tunagrahita ringan, tingkat IQ yang dimiliki ialah sebesar 20-35. Anak Tunagrahita berat, pada masa prasekolah tidak dapat atau kurang untuk berkomunikasi. Anak Tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total seperti berpakaian, mandi, makan, dal lain-lain sepanjang hidupnya. Tanda fisik yang sering menyertai anak Tunagrahita berat ialah lidah yang menjulur ke luar dan mengeluarkan air liur, kondidsi kepala lebih besar dari normalnya, dan lemah.

d. Tunagrahita sangat berat

Pada anak Tunagrahita ringan, tingkat IQ yang dimiliki dibawah 20. Anak Tunagrahita sangat berat ini membutuhkan perawatan total dan memiliki kemampuan seperti anak normal yang berusia dibawah 3 tahun. Anak Tunagrahita sangat berat biasanya disertai oleh kerusakan otak dan kelainan fisik seperti hydrocepalus, mongolism, dan lain-lain.

Klasifikasi anak Tunagrahita berdasarkan tingkat dukungan/bimbingan yang diperlukan oleh anak Tunagrahita memiliki 4 tingkatan, yaitu intermittent, limited, extensive, dan pervasive(AAMR, 1992 dalam Mangunsong, 1998). Anak

(15)

dewasa. Anak Tunagrahita pada tahap extensivememerlukan bimbingan secara regular dalam suatu lingkungan dalam waktu yang tidak ditentukan. Sedangkan tahap pervasivememerlukan bimbingan dengan intensitas yang tinggi.

2.3.3. Etiologi Tunagrahita

Proses pengkajian penyebab tunagrahita, menurut Lumbantobing (2010) perlu diperhatikan predisposisi genetik, faktor lingkungan, dan waktu terjadinya pemaparan. Beberapa penyebab Tunagrahita dapat dicegah dan diobati. Namun ada beberapa penyebab yang tidak dapat diobati. Menurut Lumbantobing (2010), beberapa penyebab Tunagrahita yang dapat dicegah atau diobati ialah terjadi asfiksia lahir, trauma lahir, dan jejas lahir. Pada keadaan kehamilan yang tidak dikontrol, bimbingan persalinan yang tidak adekuat, dan fasilitas persalinan tidak memadai dapat menyebabkan jejas pada otak dan Tunagrahita. Oleh karena itu peningkatan kemampuan membimbing persalinan dan pengelolaan masa kehamilan yang baik dapat mengurangi risiko asfiksia, trauma lahir, dan tunagrahita.

(16)

dapat mengakibatkan kerusakan otak dan Tunagrahita. Namun penyebab dari Tunagrahita adalah multifaktor (Lumbantobing, 2010).

2.3.4. Karakteristik anak Tunagrahita

Anak Tunagrahita dapat didiagnosis dari indikator kecurigaan oleh profesional atau keluarga. Hal ini karena ada beberapa tanda perilaku awal yang menandakan gangguan kognitif. Tanda perilaku tersebut ialah tidak berespon terhadap kontak, kontak mata buruk selama proses pemberian makan, kurang aktivitas yang spontan, tidak berespon terhadap suara dan gerakan, iritabilitas, dan makan lambat (Crocker, 1983 dalam Wong, 2008)

Menurut Somantri (2007), karakteristik anak Tunagrahita meliputi keterbatasan inteligensi, keterbatasan sosial, dan keterbatasan fungsi mental lainnya. Keterbatasan inteligensi berarti tidak mampu atau terbatas kemampuannya untuk mempelajari informasi dan keterampilan-keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah dan situasi kehidupan, belajar, berpikir abstrak, kreatif, berpikir kritis, menghindari kesalahan, mengatasi kesulitan, dan merencanakan masa depan. Effendi (2006) mejelaskan bahwa akibat keterbatasan inteligensi, anak Tunagrahita ringan mencapai prestasi tertinggi dalam bidang membaca, menulis, dan berhitung hanya sampai setara dengan anak normal kelas III-IV SD.

(17)

salah satu atau lebih pada proses tersebut sehingga anak Tunagrahita tidak dapat berprestasi sesuai dengan usianya (Efendi, 2006).

Keterbasan sosial yang terjadi pada tunagrahita dapat dilihat dari kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat. Keterbatasan dalam sosial lainnya seperti bergantung sangat besar pada orang tua, cenderung berteman dengan anak yang lebih muda usianya, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial, dan mudah dipengaruhi. Maka anak tunagrahita sangat penting untuk terus dibimbing dan diawasi.

Keterbatasan mental lainnya dapat berupa tidak dapat membedakan sesuatu yang baik dan buruk serta yang benar dan salah. Anak tunagrahita tidak dapat diberi tugas dengan waktu yang lama mereka memerlukan waktu yang lama untuk bereaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Selain itu, anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam bahasa karena kurang berfungsi sistem pusat pengelolaan perbendaharaan kata. Hal ini menjadi dasar untuk mengajarkan anak dengan sering mengulang kata-kata yang konkret dan pendekatan yang konkret

2.3.5. Dampak ketunagrahitaan pada orang tua

(18)

terlatih untuk mengurusnya. Selain itu orang tua akan merasa berkewajiban untuk memelihara tetapi melakukan tanpa memberi kehangatan dan memeliharanya dengan berlebihan sebagai kompensasi terhadap perasaan menolak.

Kedua, merasa bersalah dengan melahirkan anak. Perasaan bersalah ini

menimbulkan praduga yang berlebihan dalam hal merasa ada yang tidak beres dengan urusan keturunan hingga timbulnya depresi, merasa kurang mampu mengasuhnya hingga menghilangkan kepercayaaan diri sendiri dalam mengasuh anaknya. Ketiga, Kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak yang normal. Keempat, terkejut dan kehilangan kepercayaan diri. Kelima,banyak tulisan yang

Referensi

Dokumen terkait

The research is focused on the development a tool for converting IOTNE into IOTED and apply the tool to obtain EDM in the Indonesian industrial sector based on the 2008

Bagi user biasa, nama login dapat digunakan untuk memasuki sebuah shell yang disiapkan sistem melalui proses autentifikasi password dan melakukan pekerjaan-pekerjaan dalam

Kekurangan yang terjadi pada sabuk ini adalah terjadinya slip antara sabuk dan puli sehingga tidak digunakan untuk putaran tetap atau perbandingan transmisi yang tetap

Ada sebagian orang yang senang sekali membatasi hidup orang lain berdasarkan warna yang dia gunakan, misalnya mengatakan “kamu sih suka baju warna hitam,

Dalam prakteknya seorang pendidik dituntut untuk membawa peserta didik (menghipnotis) kedalam kondisi relakas, bawah sadar. Pendeknya bagaimana seorang pendidik mengunakan

Biasanya, lantai (floor) yang menjadi tempat latihan senam ini berukuruan 12 x 12 meter dan kebanyakan gerakan dalam senam lantai membutuhkan matras sebagai alat bantu yang

Keluarga dengan status sosial ekonomi rendah tidak hanya kekurangan dukungan finansial, sosial, dan pendidikan dari saudara mereka, rekan- rekan atau masyarakat

JudulPenelitian : Tingkat Pengetahuan dan Sikap Siswi SMKN 8 Medan Tentang Faktor ResikoTerjadinyaKanker Serviks.. Universitas