• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Incest (Studi Putusan Nomor : 1349 Pid.Sus 2015 PN.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Incest (Studi Putusan Nomor : 1349 Pid.Sus 2015 PN.Mdn)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN INCEST DALAM BERBAGAI PERATURAN HUKUM

A. Hubungan Seksual Sedarah (Incest) ditinjau dari Kitab Undang-UndangHukum Pidana(KUHP)

Anak mempunyai kedudukan strategis dalam bangsa, negara, masyarakat

maupun keluarga. Anak merupakan tumpuan harapan masa depan bagi bangsa,

negara, masyarakat ataupun keluarga. Oleh karena kondisinya sebagai anak, maka

perlu perlakuan khusus agar dapat tumbuh dan berkembang sacara wajar baik

fisik, mental dan rohaninya. Untuk itu anak perlu dihindarkan dari perbuatan

pidana yang dapat mempengaruhi perkembangan fisik, mental dan rohaninya

tersebut. Menyadari kenyataan demikian di samping norma sosial, moral/etika;

dan norma hukum juga memberikan perlindungan demikian khusus diberikan

kepada anak, karena kalau dilakukan terhadap orang dewasa tidak dikualifikasi

sebagai tindak pidana atau pelanggaran hukum. Akan tetapi apabila dilakukan

terhadap anak itu menjadi tindak pidana. 34

Adapun perlindungan yang diberikan kepada anak oleh KUHP adalah

sebagai berikut: 1. Pasal 287 KUHP, melarang orang bersetubuh dengan

perempuan yang belum genap berusia 15 (lima belas) tahun. Baik

persetubuhan itu dilakukan atas dasar suka sama suka antara pelakunya.

Akan tetapi pasal ini tidak mengatur larangan bersetubuh dengan anak

yang belum dewasa.

34

(2)

2. Pasal 294 KUHP, melarang orang berbuat cabul dengan anaknya sendiri

atau anak pelihara atau orang yang belum dewasa, anak pungut, anak

pelihara yang berada di bawah pengawasannya.

3. Pasal 295 KUHP, melarang orang memudahkan perbuatan cabul oleh

anaknya, anak tirinya atau anak angkatnya yang belum dewasa, atau oleh

anak yang berada di bawah pengawasan dengan orang lain. Juga dilarang

memudahkan perbuatan cabul oleh orang dewasa dengan anak yang belum

dewasa.35

35

Ibid, Hal.99-100

Untuk pasal 287 KUHP kurang tepat untuk pengaturan incest. Sedangkan

bagi pasal 294 ayat (1) dan pasal 295 ayat (1) butir (1) masih relevan mengatur

incest. Kasus incest bukanlah kasus perkosaan biasa, melainkan juga menyangkut

kepercayaan, kelangsungan sebuah keluarga, masa depan anak, dan kondisi

psikologi yang terbentuk. Oleh karena itu, sangat disayangkan jika

Undang-undang Indonesia memperlakukan pelaku incest sama dengan korban perkosaan

biasa. Pertanggungjawaban pidananya terhadap pelaku incest, menurut KUHP

hanya relevan dengan pasal 294 ayat (1) dan pasal 295 ayat (1) butir (1). Dalam

kedua pasal ini tidak dikenal pidana penjara dan denda paling sedikit/

minimalnya, hanya mengenal pidana penjara paling banyak /maksimal saja, yaitu:

7 (tujuh) tahun pada pasal 294 ayat (1) dan 5 (lima) tahun pada pasal 295 ayat (1)

butir (1)

Pengaturan mengenai kejahatan incest dalam KUHP berada di dalam pasal

(3)

Melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tiri, anak angkat, anak

dibawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum

dewasa, yang pemeliharanya, pendidikan atau pengawasannya diserahkan

dengannya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa

dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.

Dalam rumusan Pasal 294 ayat (1) ini terdapat beberapa unsur, yaitu:

1. Unsur Subjektif Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri

pelaku. Unsur subjektif dalam pasal 294 ayat (1) ini adalah unsur “barang siapa”.

Barang siapa dalam hal ini dapat diartikan sebagai orang perorangan tanpa

terkecuali dan dalam hal ini adalah orang terdekat atau orang yang memiliki

hubungan dekat.

2.Unsur Objektif Unsur objektif adalah unsur dari luar diri pelaku yang terdiri

atas:

a. Perbuatan manusia, berupa:

1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;

2) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative, yaitu perbuatan yang

mendiamkan atau membiarkan.

b. Akibat (Result) perbuatan manusia:

Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan

kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa,

badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.

c. Keadaan-keadaan (circumstances) Pada umumnya, keadaan tersebut

dibedakan antara lain:

(4)

2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan

d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum Sifat dapat dihukum

berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman.

Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan

hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.36

Barda Nawawi Arif berpendapat bahwa bertolak dari pemikiran, pidana

pada hakekatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka

pertamatama merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Dalam

mengidentifikasikan tujuan pemidanaan, bertolak dari keseimbangan dua sasaran

pokok, yaitu “perlindungan masyarakat” dan “perlindungan/pembinaan individu

pelaku tindak pidana”. Bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok itu, maka

syarat pemidanaan menurut konsep juga bertolak dari pokok pemikiran

keseimbangan monodualistik antara kepentingan individu; antara faktor objektif

dan faktor subjektif. Oleh karena itu, syarat pemidanaan juga bertolak dari 2 pilar

yang sangat fundamental di dalam hokum pidana yaitu “asas legalitas”

(yangmerupakan “asas kemasyarakatan”) dan “asas kesalahan/asas cupabilitas”

(yang merupakan “asas kemanusiaan”). Dengan perkataan lain, pokok pemikiran

mengenai pemidanaan berhubungan erat dengan pokok pemikiran mengenai

tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seperti telah dikemukakan diatas.

Aspek lain dari perlindungan masyarakat adalah perlindungan terhadap korban

dan pemulihan keseimbangan nilai yang terganggu di dalam masyarakat. Untuk

memenuhi aspek ini konsep menyediakan jenis sanksi berupa “pembayaran ganti

kerugian” dan “pemenuhan kewajiban adat”. Kedua jenis sanksi ini dimasukkan

36

(5)

sebagai jenis pidana tambahan, karena dalam kenyataan sering terungkap, bahwa

penyelesaian masalah secaara yuridis formal dengan menjatuhkan sanksi pidana

pokok saja kepada terdakwa belum dirasakan oleh warga masyarakat sebagai

suatu penyelesaian masalah secara tuntas37

e. Mengupayakan anak untuk tetap bisa bersekolah dan diterima

kembali disekolah

.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, tindak pidana incest merupakan

tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga yang memiliki

hubungan darah dengan korbannya, dalam hal ini pelaku adalah seorang ayah dan

korban adalah anak kandungnya. Jika tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah

tangga merupakan tindak kekerasan seksual dalam hal ini tindak pidana inses

yang dilakukan oleh ayah terhadap anak kandungnya, hal ini akan lebih sulit

untuk dilaporkan atau disentuh oleh hukum karena mengingat bahwa pelaku

tindak pidana merupakan salah satu dari orang tua si anak. Bentuk perlindungan

yang dapat diberikan kepada anak korban kekerasan seksual dalam hal ini incest,

misalnya:

a.Memberikan penyediaan rumah aman ketika pelaku adalah ayah

kandung atau tempat tinggal yang sama dengan pelaku, rumah aman

disediakan bekerjasama dengan pemerintah

b. Memberikan bimbingan konseling keagamaan

c. Melakukan pemeriksaaan psikologis

d. Mendampingi dalam hal pemeriksaan kesehatan dan visum et

refertum

(6)

f. Melakukan pendampingan mulai dari kepolisian,kejaksaan sampai ke

pengadilan.

Pengaturan yang spesifik mengatur mengenai incest ada dalam pasal

RUU KUHP di bagian bab delik kesusilaan yakni dalam pasal 490,497 dan 498.

Pasal 490: (1) “Persetubuhanyang dilakukan terhadap seseorang yang

mempunyai hubungan sedarah dengannya dalam garis lurus atau kesamping

sampai derajat ketiga, dipidana pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling

lama 12 tahun. (2) Jika, dilakukan dengan perempuan yang belum berumur 18

tahun dan belum kawin maka dipidana pidana penjara paling lama 15 tahun dan

paling singkat 3 tahun”.38

38

Lihat Pasal 490 RUU KUHP.

Pasal 497: (1) “melakukan perbuatan cabul dengan anak

kandungnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling

lama 12 tahun”.

(2) Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan

dengan anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang

dipercayakan padanya untuk diasuh, dididik atau dijaga, atau dengan pembantu

rumah tangganya atau dengan bawahannya, dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.

(3) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan

paling lama 12 (dua belas) tahun:

a. pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan bawahannya atau dengan

(7)

b. dokter, guru, pegawai, pengurus, atau petugas pada lembaga

pemasyarakatan, lembaga negara tempat latihan karya, rumah pendidikan, rumah

yatim dan atau piatu, rumah sakit jiwa, atau panti sosial yang melakukan

perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke lembaga, rumah, atau panti

tersebut.39

Pasal 498 ayat (1): Setiap orang yang menghubungkan atau

memudahkanorang lain melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 497 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.40

39

Lihat Pasal 497 RUU KUHP

40

Lihat Pasal 498 RUU KUHP.

Dengan pengaturan yang demikian ini, dapat dikemukakan bahwa

kejahatan inses dalam KUHP telah mengalami perubahan. Perubahan itu ialah

ditambahkannya “cara persetubuhan” sebagai delik baru terkait dengan kejahatan

inses, yang di dalam Pasal 294 KUHP belum dimasukkan. Ditambahkannya

elemen “persetubuhan” dalam kejahatan inses akan memberikan perubahan yang

signifikan bagi mengantisipasi kejahatan inses yang biasanya hanya di kenakan

dengan cara-cara pencabulan.

Pasal 490 mengenai incest ini juga menunjukkan bahwa RUU KUHP

secara tegas melarang perbuatan-perbuatan inses baik yang dilakukan karena

hubungan sedarah juga dalam hubungan relasi yang bersifat khusus, baik yang

dilakukan dengan memenuhi unsur unsur paksaan, tanpa kehendak, tanpa

persetujuan dari salah satu pihak juga dalam inses yang terjadi melalui

(8)

Disamping itu dengan adanya pengaturan sanksi pidana minimal. akan

membatasi jaksa maupun hakim dalam penuntutan dan dalam memberikan

putusan. Kebebasan para penegak hukum tersebut menjadi terbatasi, sehingga

penjatuhan hukuman terhadapa pelaku inses tidak akan dapat terlalu ringan atau

terlalu berat. Penjatuhan sanksi pidana akan disesuaikan dengan pembuktian

fakta-fakta melalui alat bukti yang dikemukakan dalam persidangan. Selain itu

pembatasan sanksi hukum minimal ini diharapkan dapat memberikan rasa

keadilan dalam kehidupan manusia baik bagi pelaku, korban, maupun masyarakat.

Namun bila di telisik lebih jauh rumusan mengenai kejahatan inses dalam

RUU KUHP memiliki beberapa kelemahan.

Pertama, dalam Pasal 490 RUU KUHP defenisi inses yang ada mengalami

penyempitan makna sehingga apa yang dimaksud dengan kejahatan inses

melalui persetubuhan ialah jika hubungan antara korban dan pelaku memiliki

hubungan sedarah dalam garis lurus atau kesamping sampai derajat ketiga. Kedua,

Pasal 490 juga hanya menegaskan bahwa kejahatan inses terjadi jika

ada Persetubuhan yang dilakukan terhadap seseorang yang mempunyai hubungan

sedarah dengannya dalam garis lurus atau kesamping sampai derajat ketiga. Tanpa

merujuk lebih lanjut mengenai apakah persetubuhan dilakukan dengan cara-cara

kekerasan, ancaman kekerasan, dan sebagainya (dengan cara perkosaan). Hal ini

justru akan menurunkan derajat kejahatan inses. Karena haruslah dipisahkan

besar pertanggungjawaban pelaku inses yang dilakukan dengan cara-cara

kekerasan, misalnya kejahatan inses dengan cara perkosaan harus dibedakan

dengan inses yang dilakukan dalam konteks persetubuhan tanpa kekerasan

(9)

Kedua jika RUU KUHP konsisten maka rumusan persetubuhan tersebut

jika di kaitkan dengan pasal perkosaan sudah jelas-jelas masuk dalam kategori

perkosaan. Sehingga dalam pasal 490 RUU KUHP tersebut ada dua kejahatan

dengan pemberatan yang dilakukan oleh pelaku yakni pertama adalah kejahatan

perkosaan, kedua, perkosaan tersebut di lakukan terhadap anak dan ketiga adalah

perbuatan tersebut justru di tujukan kepada orang yang memiliki relasi atau

hubungan darah dengan pelaku.

Ketiga, rumusan Pasal 490 RUU KUHP menyatakan bahwa jika

persetubuhan dilakukan dengan perempuan yang belum berumur 18 tahun

dan belum kawin maka dipidana pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling

singkat 4 tahun, Rumusan seperti ini akan memiliki konsekwensi yang

penting. Masih tidak jelas apa pertimbangan dari para perumus RUU KUHP

memasukkan kata “belum kawin”. Sebaiknya istilah belum kawin di hilangkan

saja.

Keempat rumusan Pasal 497 menyatakan bahwa melakukan perbuatan

cabul dengan anak kandungnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3

tahun dan paling lama 12 tahun. Rumusan ini juga mengalami penyempitan

makna sehingga apa yang dimaksud dengan kejahatan inses melalui pencabulan

hanyalah terbatas dengan anak kandungnya saja atau dengan anak tirinya, anak

angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang dipercayakan padanya untuk

diasuh, dididik atau dijaga, atau dengan pembantu rumah tangganya atau dengan

bawahannya. berbeda dengan hubungan yang diatur dalam Pasal 490 RUU

KUHP yakni hubungan sedarah dengannya dalam garis lurus atau kesamping

(10)

berstatus anak dan orang dewasa, dimana tidak adanya pembedaan pidana bagi

pelaku. seharusnya bagi korban yang masih berstatus anak perlu pidana

pemberatan bagi pelaku.41

1. Adanya unsur “yang diketahuinya” dalam Pasal 489 ayat (1) sebagai

unsur yang harus dipenuhi guna dapatnya pelaku dipertanggungjawabkan pidana.

Hal ini disisi lain dapat dijadikan alasan bagi pelaku untuk mengelak dari tuntutan

hukum telah melakukan incest dengan alasan ia tidak mengetahui bahwa yang

disetubuhinya masih anggota keluarga sedarah, sehingga bila unsur pengetahuan

terdakwa tersebut tidak dapat dibuktikan, maka hakim akan memberikan putusan

bebas bagi terdakwa.

Apabila dicermati perihal pertanggungjawaban pidana pelaku incest

menurut RUU KUHP tersebut, masih terdapat kelemahan yang mungkin dapat

menjadi hambatan saat diberlakukan, yaitu:

42

2. Adanya penentuan pelaku dalam Pasal 489 ayat (2), yaitu dilakukan

oleh laki-laki terhadap perempuan yang belum berumur 18 tahun dan belum

kawin. Unsur ini jika dicermati, maka akan berakibat apabila pelakunya adalah

seorang perempuan, terhadapnya justru tidak dapat dipertanggungjawabkan

menurut Pasal 489 ayat (2) tersebut.43

41

Supriadi Widodo Edyyono Tindak Pidana Incest Dalam RUU KUHP Januari 17, 2016. Opini

42

Lamintang dan Theo Lamintang, 2009, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan Dan Norma Kepatutan, (Jakarta: Sinar Grafika,2009) Hal. 109.

43

(11)

B. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Undang-Undang No. 35 Tahun 2015 Peraturan Pengganti PerUndangan No. 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan kedua atas Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jo Undang-Undang No 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak.

Dalam hal korban tindak pidana adalah seorang anak, maka Indonesia

telah memiliki Undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai segala

bentuk perlindungan terhadap anak. Pada ketentuan pasal 1 angka (1) ditentukan

tentang batasan usia dari seorang anak, yaitu “Anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Bentuk perlindungan hukum terhadap anak menurut Undang-undang

No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pasal 59

Pemerintah dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak terekspoitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yag menjadi korban penyalahgunaan markotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Pasal 64

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :

a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;

b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; c. Penyediaan sarana dan prasaana khusus;

d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;

f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan

(12)

(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :

a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;

b.Upaya perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;

c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Pasal 66

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui :

a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual. (3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh, melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Pasal 67

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

(2) Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 68 (1) Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 69

(13)

a. Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan

b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Pasal 71

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dalam pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah, dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas mengenai perlindungan terhadap

anak dari segala bentuk kekerasan, secara khusus mengenai ketentuan pidana

terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak diatur dalam ketentuan pasal 81

ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,

yaitu “ setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang

lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling

singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta

rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000 (enam puluh juta rupiah).44

44

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak.

Pasal 81 ayat (1) memberikan ancaman terhadap orang yang melakukan

kekerasan seksual, yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Setiap orang

b. Dengan sengaja

c. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan

(14)

e. Atau dengan orang lain

f. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3

tahun

g. Denda paling banyak Rp.300.000.000,00 dan paling sedikit Rp.60.000.000,00

Kemudian dari rumusan ancaman pidana yang diberikan oleh pasal 81 ayat

(1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dapat

diuraikan sebagai berikut :

a. Setiap orang.

Dalam ketentuan pasal ini yang menjadi subyek hukum yang harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya adalah manusia secara individu atau

orang perseorangan.hal ini ditegaskan dengan penggunaan “setiap orang”. Dalam

hal tindak pidana inses yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak kandungnya,

penggunaan kata “setiap orang” belum tepat mengenai sasaran terhadap ayah

sebagai pelaku, karena “setiap orang” pada ketentuan ini bersifat umum.

b. Perbuatan pidana.

Dalam rumusan pada poin (b) , poin (c), poin (d), dan poin (e) dapat dijelaskan

bahwa apabila pelaku dengan sengaja atau dengan maksud dan berkehendak

melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan

hubungan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, maka pelaku tersebut

bisa dijerat dengan ketentuan pidana pada pasal ini.

c. Sanksi Pidana

1) Lama pidana

Lama pidana yang diberikan oleh pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 23

(15)

tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 dan paling sedikit

Rp.60.000.000,00. Di dalam ketentuan ancaman pidana ini juga tidak terdapat

pemberatan pidana, mengingat bahwa pelaku adalah orang tua.

Kehadiran Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

memberikan angin segar bagi para aktivis hukum dalam memberikan

perlindungan terhadap anak. Namun, Undang-Undang ini belum dapat berjalan

secara efektif. Untuk itu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 23

tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang No. 35 tahun

2014. Perubahan Undang-undang ini berguna untuk mempertegas pemberatan

sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak sehingga

menimbulkan efek jera bagi pelaku. Tidak hanya itu perubahan undang-undang

ini juga bertujuan untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak korban

maupun anak pelaku kejahatan. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi

Anak korban maupun anak pelaku kejahatan di kemudian hari agar tidak menjadi

pelaku kejahatan yang sama.

Adapun yang menjadi pemikiran sehingga menyebabkan lahirnya

Undang-Undang ini adalah:

a. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap

warganya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi

manusia;

b. Bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang

serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana

diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

(16)

c. Bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita

perjuangann bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib

dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan

terjadinya pelanggaran hak asasi manusia;

d. Bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap anak perlu

dilakukan penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang No.

23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 45

45

Undang-Undang No.35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Bentuk perlindungan yang telah ada dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak diatas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ketentuan yang

diatur dalam UU No.35 tahun 2014 hanya sedikit perubahan yang terjadi dalam

beberapa Pasal, misalnya:

1. Pasal 59 UU No. 23 tahun 2002 diubah menjadi:

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak. (2) Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:

a. Anak dalam situasi darurat;

b. Anak yang berkonflik dengan hukum; c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;

d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;

f. Anak yang menjadi korban pornografi; g. Anak dengan HIV/AIDS;

h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;

j. Anak korban kejahatan seksual; k. Anak korban kejahatan terorisme; l. Anak penyandang disabilitas;

(17)

o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi

orang tuanya 46

d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.”

Secara khusus perlindungan terhadap anak korban kejahatan seksual

sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j diatas dan Pasal 69 UU No.23

tahun 2002 tentang Pelrindungan Anak sebagaimana telah diubah dalam Pasal

69A sebagaimana berikut:

“Perlindungan Khusus bagi anak korban kejahatan seksual sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya:

a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan;

b. Rehabilitasi sosial;

c. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan

47

Pada kenyataannya, pengaturan mengenai larangan untuk melakukan

kekerasan seksual dalam Undang-Undang 35 Tahun 2014 tidak membuat

berkurangnya kasus kekerasan terhadap anak. Bahkan kasus kekerasan seksual

semakin bertambah, pelakunya banyak dilakukan oleh anak dan cara

melakukannya sangat sadis. Menyikapi hal tersebut, Presiden segera

mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 dengan alasan utama untuk mengatasi 2) Sistem perumusan pidana

Sistem perumusan pidana pada ketentuan pasal 81 ayat (1) adalah kumulatif

(penjara dan denda).Sistem perumusan kumulatif menyebabkan pidana berupa

pidana penjara serta pidana denda dapat dijatuhkan secara bersamaan.

46

Ibid Hal. 15

47

(18)

kondisi darurat kekerasan seksual, terutama yang dialami oleh anak.Materi

muatan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 pada intinya mengubah dua pasal, yaitu

a). Pasal 81 yang menyebutkan:

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);

(2)Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain;

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orangorang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersamasama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

(4)Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidanasebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D;

(5)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun;

(6)Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku;

(7)Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan chip;

(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan;

(9)Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak. Pasal 82 yang berbunyi :

(1)Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);

(19)

pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan (3)48

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah

diubah melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 20l4 tentang Perubahan atas

Und.ang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang salah

satu perubahannya menitikberatkan pada pemberatan sanksi pidana terhadap

pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Namun, perubahan Undang-Undang

tersebut belum menurunkan tingkat kekerasan seksual terhadap anak secara

signifikan.49

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Oleh karena itu, Negara perlu mengambil langkah-langkah yang optimal

dan komprehensif dengan tidak hanya memberikan pemberatan sanksi pidana,

juga menerapkan bentuk pencegahan (preventif) dengan memberikan tindakan

berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi bagi

pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Perlindungan Anak diatas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ketentuan

yang diatur dalam UU No.35 tahun 2014 hanya sedikit perubahan yang terjadi

dalam beberapa Pasal, misalnya:

Pasal 81

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi

setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

48

PP NO 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang-undang no 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak

49

Undang-Undang No. 17 Tahun 2016Tentang Penetapan PeraturanPemerintah

(20)

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah I 13 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan

1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.

(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksuddalam Pasal 76D

menimbulkan korban lebih dari1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat,gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10(sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksudpada ayat (1), ayat (3), ayat

(4), dan ayat (5),pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud padaayat (4) dan ayat (5) dapat

dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama

dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.

(9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.50

C. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga.

Setiap bentuk kekerasan dalam lingkup rumah tangga merupakan bentuk

pelanggaran hak asasi manusia dan martabat manusia. Kebanyakan korban dari

kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan dan anak. Sebagai makhluk

yang lemah sudah sepantasnya perempuan dan anak mendapatkan perlindungan

hukum dari Negara dan juga masyarakat. Sebagian besar kasus kekerasan

terhadap anak dan perempuan dalam rumah tangga jarang sekali terungkap

50

(21)

dikarenakan mindset pelaku kekerasan yang pada umumnya dilakukan oleh

lakilaki sebagai kepala keluarga menganggap bahwa hal tersebut merupakan

urusan rumah tangganya dan ia sebagai kepala keluarga berhak atas apapun yang

terjadi di dalam urusan rumah tangganya.

Dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga menjelaskan bahwa kekerasan dalam Rumah

Tangga adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang

berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,

psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk

melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan

hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Kemudian muncul pertanyaan, siapa saja yang termasuk dalam lingkup

Rumah Tangga? Dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan yang termasuk ke dalam

lingkup Rumah Tangga adalah:

1. Suami, isteri, dan anak;

2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana

dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,

pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga

tersebut.

Dalam ketentuan Pasal 46 disebutkan bahwa “Setiap orang yang

melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8

huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau

(22)

Kemudian dari rumusan ancaman pidana yang diberikan oleh pasal 46

Undang-Undang No.23 tahun 2004 tetang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah

Tangga, dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Setiap orang Dalam ketentuan pasal ini yang menjadi subjek hukum yang harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya adlaah manusia secara individu atau

orang perseorangan. Hal ini ditegaskan dengan penggunaan “setiap orang”. Dalam

hal tindak pidana hubungan seksual sedarah/incest yang dilakuan oleh orangtua

terhadap anak kandungnya , penggunaan kata “setiap orang” belum tepat

mengenai sasaran terhadap ayah sebagai pelaku, karena “setiap orang” pada

ketentuan ini bersifat umum.

2. Perbuatan pidana Dalam ketentuan pasal ini, yang merupakan perbuatan pidana

atau perbuatan yang dilarang oleh hukum adalah melakukan perbuatan seksual di

dalam lingkup rumah tangga. Yang berarti bahwa apabila terjadi kekerasan

seksual yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anak kandungnya (tindak

pidana incest/inses/hubungan seksual sedarah) maka sudah dapat dijerat dengan

ketentuan pidana pada pasal ini.

3. Sanksi pidana

a. Lama pidana yang diberikan oleh Pasal 46 Undang-undang No. 23 tahun 2004

adalah pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp

36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Tidak ada rumusan pidana khusus

dalam ketentuan ini, yang berarti bahwa pidana penjara bisa aja dijatuhkan dalam

rentang waktu 1 hari sampai 12 tahun. Kemudian di dalam ketentuan ancaman

pidana ini, juga tidak terdapat pemberatan pidana, mengingat bahwa pelaku

(23)

b. Sistem perumusan pidana Sistem perumusan pidana dalam pasal 46 ini adalah

Alternatif (penjara atau denda). Sistem perumusan alternatif menyebabkan pidana

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Potensi wisata adalah sumberdaya alam yang beraneka ragam, dari aspek fisik dan hayati, serta kekayaan budaya manusia yang dapat dikembangkan untuk pariwisata. Banyu

Analisis pengaruh budaya organisasi dan kompetensi sumber daya manusia terhadap kinerja pegawai pada kantor bank Indonesia Medan.. Medan: Universitas

Analisis SWOT terhadap faktor internal dan eksternal kantor cabang Medan, berhasil diproleh sembilan strategi dan kebijakan oprasional alternatif yang dapat diimplementasikan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi retinoblastoma melalui analisis citra fundus retina dengan menggunakan Backpropagation Neural Network..

Dari pembahasan mengenai proses penentuan alamat menggunakan bilangan cacah, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada empat tahapan, yakni penggambaran denah

n Daeng, dkk Industri rokok nasional sedang menghadapi tantangan besar, baik impor tembakau dan rokok dari luar negeri meningkat dan tekanan rezim internasional Persaingan

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini