• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kewenangan Bank Indonesia dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Kewenangan Bank Indonesia dalam"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Kewenangan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan sektor Perbankan di Indonesia setelah disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan

Febrianti (8111415161)

Hukum Perbankan, Rombel 001

I. Pendahuluan

Dalam pembicaraan sehari-hari, bank dikenal sebagai lembaga keuangan yang kegiatan

utamanya menerima simpanan. Kemudian bank juga dikenal sebagai tempat untuk meminjam uang

(kredit) bagi masyrakat yang membutuhkan. Jadi secara sederhana bank adalah suatu wadah untuk

menyimpan dan meminjam uang. Namun, dalam perkembangannya, istilah bank dimaksudkan

sebagai suatu jenis pranata finansial yang melaksanakan jasa-jasa keuangan yang cukup beraneka

ragam, seperti pinjaman, memberi pinjaman, mengedarkan mata uang, mengadakan pengawasan

terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan untuk benda-benda berharga,

membiayai usaha-usaha perusahaan (A. Abdurrahman, 1993: 80).

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan merumuskan bahwa,

“Bank adalah badan usaha yang mengimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyelurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam

rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

Dari pengertian diatas, tentunya dapat dijelaskan bahwa bank berfungsi sebagai financial

intermediary dengan usaha utama menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta

memberikan jasa-jasa lainnya yang lazim dilakukan bank dalam lalu lintas pembayaran1. Kedua dari fungsi tersebut tidak dapat dipisahkan dalam penerapannya. Sebagai lembaga keuangan, bank

mempunyai kewajiban untuk menjaga stabilitas nilai uang, mendorong kegiatan ekonomi, dan

perluasan kesempatan kerja.2

Berkaca pada pesatnya perkembangan ekonomi Indonesia saat ini, tentunya akan bersanding

dengan pertumbuhan dalam bidang lembaga keuangan, khususnya pada sektor perbankan. Terhadap

hal tersebut, diperlukannya suatu badan/lembaga yang memiliki peran sentral dalam menentukan

dan memberikan arahan dalam perkembangan perbankan serta dapat melindungi masyarakat. Bank

Indonesia sebagai bank sentral memiliki kewenangan dan kewajiban untuk membina serta

(2)

melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan perbankan.3 Secara umum, peran Bank Indonesia sebagai bank sentral sangat penting dan strategis dalam upaya menciptakan sistem perbankan yang

sehat dan efisien. Hal ini diperlukan karena dunia perbankan adalah salah satu pilar utama dalam

pembangunan ekonomi syatu negara.4 Namun dalam jenjang perjalanannya, Bank Indonesia dalam menjalankan tugas sentralnya terhadap perbankan di Indonesia bukan tanpa kesalahan. Salah satu

kasus yang paling diingat adalah gagalnya Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Bank

Century. Bank Indonesia dianggap tidak mampu bertindak tegas atau tidak mampu menjatuhkan

hukuman yang keras kepada bank yang dinilai melakukan kejahatan dibidang perbankan.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, maka dianggap perlu untuk dilakukan penyesuaian

terhadap pengaturan dan penataan kembali kelembagaan keuangan terutama dalam sektor

perbankan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (UU BI)

pada Pasal 34 ayat (1), maka dibentuklah suatu lembaga yang disebut dengan Otoritas Jasa

Keuangan (OJK) yang memiliki kewenangan yang hampir sama dengan kewenangan Bank

Indonesia, karena pada dasarnya memang merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Bank

Indonesia. Maka bukanlah hal yang tidak mungkin apabila nantinya dalam pelaksanaannya tersebut

dapat menimbulkan benturan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia, terutama dalam

hal siapa yang berwenang dalam menjalankan tugas dan wewenang tersebut.

II. Kewenangan Bank Indonesia sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan

Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral mempunyai peranan yang utama dan penting.

Setiap negara mempunyai satu bank sentral dan hampir disetiap provinsi memiliki cabang Bank

Sentral. Fungsi utama Bank Sentral adalah mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengn

keuangan disuatu negara. Di Indonesia pelaksanaan fungsi tersebut dipegang oleh Bank Indonesia

(BI).

A. Kedudukan Bank Indonesia

Secara konstitusional, setelah terjadi Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945,

dalam hal susunan, kedudukan, kewenangan, tangung jawab, dan independensi Bank Indonesia

telah memperoleh legitimasi yang sanat memadai. Bank Indonesia merupakan lembaga negara yang

memiliki independensi dalam menjalankan setiap tugas dan kewenanannya, hal tersebut telah

ditetapkan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Bank Indonesia bahwa, “Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak

lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini”. Penegasan independensi Bank Indonesia merupakan wujud dari adanya reformasi sistem perbankan nasional.

(3)

Namun perihal independensi tersebut terdapat pertentangan dan menimbulkan kekaburan norma

dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa “Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan kebijakan

moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan

umum pemerintah di bidang perekonomian”, pasal tersebut cukup dapat diartikan bahwa pemerintah berhak untuk ikut campur tangan dalam setiap kebijakan moneter Bank Indonesia

karena harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah dibidang perekonomian.

Sebagaimana diketahui bahwa Bank Indonesia lahir setelah berlakunya Undan-Undang

Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada 1 Juli 1953.

Berdasarkan Undang-Undang tersebut Bank Indonesia sebagai Bank Sentral sekaligus bertugas

untuk mengawasi bank-bank (khususnya mengenai urusan kredit). Namun demikian, aturan

pelaksanaan ketentuan pengawasan tersebut baru ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP)

Nomor 1 Tahun 1955 tentang Pengawasan terhadap urusan kredit, yang menyatakan bahwa Bank

Indonesia melakukan pengawasan bank terhadap semua bank yang beroperasi di Indonesia guna

kepentingan solvabilitas dan likuiditas badan-badan kredit tersebut dan pemberian kredit secara

sehat yang berdasarkan asas-asas kebjakan Bank yang tepat. Tugas Bank Indonesia tersebut

dilakukan atas nama Dewan Moneter.5

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Bank Indonesia yang mengatur

bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini

merupakan tujuan tunggal (Singgle Target) bagi Bank Indonesia, tetapi pada hakikatnya

mempunyai dimensi ganda, yakni kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa serta kestabilan

nilai rupiah terhadap mata uang negara lain.6 Kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa terhadap mata uang dapat diukur dari perkembangan laju inflasi, sedangkan kestabilan nilai rupiah

terhadap mata uang negara lain tercermin dari perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang

negara lain. Kestabilan rupiah menjadi faktor yang sangat penting untuk mendukung pembangunan

ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.7

Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam Pasal 8 Undang-Undang Bank Indonesia diatur

bahwa Bank Indonesia mempunyai 3 (tiga) bidang tugas utama, yaitu:

a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,

b. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran,

c. Mengatur dan mengawasi Bank.

5 Kusdarwanto, Tesis, Kewenanan Bank Indonesia dalam Pengawasan Perbankan setelah Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Program Studi Magister Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2013, Hlm 23

6

Djoni S. Gazali, Op.Cit, Hlm 104

(4)

Tugas utama Bank Indonesia tersebut memiliki keterkaitan satu dengan lainnya, oleh sebab itu

diperlukannya upaya saling mendukung untuk mencapai tujuan bank Indonesia secara efektif dan

efisien dalam mencapai kestabilan nilai rupiah.

B. Kewenangan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankan

Certo dalam Mamam Ukas mengatakan bahwa, “controlling is the process managers go

trough to control”.8 Kalimat tersebut dapat diartikan bahwa, Penawasan adalah proses seorang

manajer atau pimpinan untuk melakukan pengawasan. Jika dikaitkan dengan Bank Indonesia maka

sebagai pimpinan, Bank Indonesia harus melakukan pengawasan terhadap seluruh pelaku industri

jasa keuangan perbankan di Indonesia agar keseluruhan tujuan, tugas, dan kewenanan Bank

Indonesia sebagai Bank Sentral dapat dilaksanakan secara efektif dan mencapai keberhasilan.

Tugas Bank Indonesia dalam mengawasi perbankan di Indonesia sangat jelas dan tegas

ditentukan dalam Pasal 8 huruf c Undang-Undang Bank Indonesia, yakni bahwa “mengatur dan

mengawasi bank”. Secara redaksional dalam pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa tugas untuk melakukan pengaturan dan pengawasan bagi Bank Indonesia tidak dilakukan secara terpisah atau

berdiri sendiri. Pada Bab V Undang-Undang Bank Indonesia diatur tentang “Tugas Mengatur dan

Menjaga Kelancaan Sistem Pembayaran” dan pada Bab VI Undang-Undang Bank Indonesia diatur

tentang “Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank”. Sedangkan “Tugas Mengawasi” tidak diatur dalam satu bab tersendiri, melainkan pencantuman tugas “mengatur dan mengawasi” digabungkan

dalam satu abab yaitu Bab VI Undang-Undang Bank Indonesia yang terdiri dari Pasal 24 s.d Pasal

35.

Pengawasan Perbankan pada prinsipnya terbagi dalam dua jenis, yaitu, macroeconomic

supervision dan prudential supervision. Adapun pemahaman dari kedua hal tersebut adalah :9

a. Macro-economic supervision adalah pengawasan dalam rangka mendorong bank-bank untuk

ikut menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter.

b. Prudential supervision adalah pengawasan yang mendorong bank secara individual tetap

sehat serta mampu memelihara kepentingan masyarakat secara baik.

Tujuan yang ingin dicapai oleh macro-prudential supervision adalah mengarahkan dan mendorong

bank serta sekaligus mengawasinya, agar dapat berperan dalam berbagai program pencapaian

sasaran ekonomi makro. Sedangkan tujuan prudential supervision adalah mengupayakan agar setiap

bank secara individual sehat dan aman, serta seluruh industri perbankan sehat, sehingga

kepercayaan masyarakat dapat terjaga.10

8 Maman Ukas, Manajemen: Konsep, Prinsip dan Aplikasi, Agnini, Bandung, 2004

9 Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank: Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penja min Simpanan di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 220-221.

(5)

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentan Perbankan, perihal pengawasan dan

pengaturan perbankan, Bank Indonesia sebagai otoritas yang berwenang dalam hal melakukan

pengaturan dan pengawasan bank memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan

usaha tertentu bank, menetapkan peraturan, melaksanakan pengawasan Bank serta mengenakan

sanksi terhadap bank.

Dalam hal kewenangan memberikan izin (right to license), yang dimaksud adalah

kewenangan untuk menetapkan tata cara perizinan dan pencabutan izin usaha bank, pemberian izin

pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, pemberian persetujuan atas kepemilikan dan

pengurusan bank, pemberian izin kepada bank untuk menjalani kegiatan-kegiatan usaha tertentu.11

Kewenangan pemberian izin tersebut merupakan seleksi awal terhadap kehadiran sebuah

bank dengan menetapkan tata cara perizinan dan pendirian suatu bank. Pada umumnya persyaratan

pendirian bank menyangkut 3 (tiga) aspek, yaitu:12

(a) Akhlak dan moral calon pemilik dan pengurus bank,

(b) Kemampuan menyediakan dana dalam jumlah tertentu untuk modal bank, dan

(c) Kesungguhan dan kemampuan dari para calon pemilik dan pengurus bank dalam

melakukan kegiatan usaha bank.

Kewenangan untuk mengatur (right to regulate) adalah menetapkan ketentuan yang

menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka mencptakan perbankan sehat guna

memenuhi jasa dalam rangka menciptakan perbankan yang diinginkan masyarakat.13

Didalam Kewenangan Mengawasi, Bank Indonesia membaginya dalam 2 (dua)

pengawasan, yaitu:14

a. Pengawasan bank secara langsung (on-site supervision)

Terdiri dari pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus dengan tujuan untuk mendapatkan

gambaran keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan Bank terhadap

peraturan yang berlaku, serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik tidak sehat

yang membahayakan kelangsungan usaha Bank.

b. Pengawasan tidak langsung (off-site supervision)

Pengawasan melalui alat pemantau seperti laporan berkala yang disampaikan bank, laporan

hasil pemeriksaan dan informasi lainnya.

Sedangkan kewenangan untuk mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan terhadap Bank apabila suatu Bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Tindakan ini

mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan asas perbankan yang sehat.15

11 Bank Indonesia, Bookled Perbankan Indonesia, 2010, Direktorat Perizinan dan Informasi Bank Indonesia, Jakarta, 2010, hlm 11-12

(6)

Dalam hal menjalankan tugas pengawasan bank, Bank indonesia melaksanakan sistem

pengawasan dengan menggunakan 2 pendekatan, yaitu:16

1. Pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance based supervision), yaitu pemantauan

kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan

bank di masa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan

dikelola secara baik dan benar menurut prinsip kehati-hatian. Pengawasan terhadap

pemenuhan aspek kepatuhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksaan

pengawasan bank berdasarkan risiko;

2. Pengawasan berdasarkan risiko (risk based supervision) yaitu pengawasan bank yang

menggunakan strategi dan metodologi berdasarkan risiko yang memungkinkan pengawasan

bank dapat mendeteksi risiko yang signifikan secara dini dan mengambil tindakan

pengawasan yang sesuai dan tepat waktu.

Berkaitan dengan tugas mengatur dan mengawasi bank, Bank Indonesia sebagai bank sentral

berwenang:17

a. Menetapkan peraturan perbankan termasuk ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat

prinsip kehati-hatian.

b. Memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank,

termasuk memberikan dan mencabut izin usaha tertentu dari bank, memberikan izin

pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas

kepemilikan dan kepengurusan bank, memberikan izin kepada bank untuk menjalankan

kegiatan usaha tertentu

c. Melaksanakan pengawasan bank secara langsung dan tidak langsung melalui penyampaian

laporan, keterangan oleh bank serta hasil pemeriksaan terhadap bank, secara berkala ataupun

setiap waktu jika diperlukan.

d. Menugaskan kepada pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia dalam melaksanakan

pemeriksaan. Pihak lain yang melaksanakan pemeriksaan wajib merahasiakan keterangan

dan data yang diperbolehkan.

e. Memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan

transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut

diduga merupakan tindakan pidana di bidang perbankan.

f. Melakukan tindakan tertentu sebagai akibat dari penilaian Bank Indonesia terhadap suatu

bank atas kegiatan yang dapat membahayakan usaha bank tersebut dan/atau sistem

perbankan secara keseluruhan.

15

Ibid

16 Ibid, hlm 12-14

(7)

g. Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan

yang independentI, dan dibentuk dengan undang-undang.

h. Mengatur dan mengembangkan sistem informasi antar bank. Sistem informasi dapat

dilakukan sendiri oleh Bank Indonesia dan/atau oleh pihak lain dengan persetujuan Bank

Indonesia.

i. Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Ketentuan Undang-Undang Perbankan didalamnya termuat prinsip kehati-hatian

sebagaimana dalam Pasal 2, hal tersebut untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggara

kegiatan usaha agar terwujud sistem perbankan yang sehat dan juga efisen. Oleh karenanya, setiap

pengaturan dan pengawasan dibidang perbankan harus didukung pula dengan penerapan sanksi

yang adil serta harus disesuaikan pula dengam standar yang berlaku secara Internasional.

III. Kewenangan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan sektor Perbankan di Indonesia setelah disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Perkembangan ekonomi Indonesia saat ini yang diikuti dengan pertumbuhan dalam bidang

lembaga keuangan khususnya sektor perbankan dapat terlihat dari adanya perubahan peraturan

perundang-undangan yang terjadi. Segala perubahan tersebut pada dasarnya dilandasi untuk

mencapa kesejahteraan dan perlindungan masyarakat. Salah satunya adalah dengan lahirnya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

A. Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan

Pada awalnya rencana pembentukan Otoritas Jasa Keuangan telah lama dirancang melalui

Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Namun, Otoritas Jasa

Keuangan belum dibentuk pada waktu itu walaupun telah diamanatkan dibentuk sebelum akhir

tahun 2002. Kemudian barulah pada tanggal 22 November 2011 melalui amanat Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank

Indonesia Pasal 34, terbentuk lembaga negara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan disahkannya

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Alasan pembentukan lembaga ini antara lain adalah makin kompleks dan bervariasinya

produk jasa keuangan, munculnya gejala konglomerasi perusahaan jasa keuangan, dan globalisasi

industri jasa keuangan. Disamping itu, salah satu alasan rencana pembentukan Otoritas Jasa

Keuangan (OJK) adalah karenaa pemerintah beranggapan bahwa Bank Indonesia sebagai bank

sentral telah gagal dalam mengawasi sektor perbankan. Kegagalan tersebut dapat dilihat dar krisis

(8)

dilikudasi pada saat itu.18 Kemudian salah satu kasus yang paling diingat adalah gagalnya Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Bank Century. Bank Indonesia dianggap tidak mampu

bertindak tegas atau tidak mampu menjatuhkan hukuman yang keras kepada bank yang dinilai

melakukan kejahatan dibidang perbankan. Disamping itu alasan lain dari pembentukan Otoritas Jasa

Keuangan ini agar Bank Indonesia fokus kepada pengelolaan moneter dan tidak perlu mengurusi

pengawasan bank karena bank itu merupakan sektor dalam perekonomian.

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011

tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan bahwa “OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk

hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini”. Selanjutnya dalam Pasal 4 bahwa tujuan dibentuknya OJK adalah agar keseluruhan sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil,

transparan, dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan

dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2011, dimana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diberikan tugas-tugas pengaturan

dan pengawasan terhadap:

1. Bidang Perbankan

a) Menetapkan ketentuan persyaratan dan tat cara pendirian bank, perizinan bank,

ketentuan persyaratan dan tata cara pembukaan kantor bank, serta pembukaan kantor

cabang, kantor cabang pembantu dan kantor perwakilan diluar negeri.

b) Menetpkan ketentuan mengenai pihak yang dapat membeli saham.

c) Menetapkan ketentuan mengenai perubahan kepemilikan saham, merger, konsolidasi,

dan akuisisi.

d) Pengawasan bank.

e) Melakukan tindakan yang diperlukan dalam hal bank mengalami kesulitan yang

membahayakan kelangsungan usahanya.

f) Mengatur pengangkatan dewan komisaris, direksi, dan tenaga asing bank.

g) Menetapkan ketentuan kerahasiaan bank.

h) Menetapkan ketentuan sanksi pidana dan/atau wewenang lain sebagaimana diatur dalam

UU perbankan

i) Tugas OJK tidak mencakup sistem pmbayaran, lender of resort, dan kebijakan moneter.

2. Bidang Pasar Modal

a) Mengatur sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang di Pasar Modal.

(9)

3. Bidang industri keuangan non-bank

a) OJK berwenang memeriksa dan menyidik. OJK bisa mempekerjakan penyidik

kepolisian dan kejaksaan dalam jangka waktu tertentu.

b) OJK dipimpin dewan komisioner yang beranggotakan tujuh orang, terdiri dari satu orang

ketua yang merangkap anggota, satu anggota independen, satu orang ex officio dari

Dewan Gubernur Bank Indonesia, satu orang ex officio pejabat Kementerian Keuangan

setingkat eselon I dan masing-masing satu orang kepala eksekutif dari tiga bidang

pengawasan.

c) Menteri Keuangan berwenang mengusulkan anggota komisioner independen dan ex

officio Kementerian Keuangan, Komisioner ex officio kepala eksekutif dari internal,

yakni deputi kepala eksekutif.

d) OJK wajib berkoordinasi dengan Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan LPS

melalui Forum stabilitas sektor keuangan.

B. Pengalihan Kewenangan Pengaturan dan Pengawasan Perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan

Pembentukan lembaga baru dalam bidang pengawasan tentu akan berdampak bagi Bank

Indonesia dan juga bagi Otoritas Jasa Keuangan. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 24

Undang-Undang Bank Indonesia dalam mengemban tugas untuk mengatur dan mengawasi bank, Bank

Indonesia berwenang untuk memberikan dan mencabut izin pendirian bank, menetapkan peraturan,

mengawasi, sampai memberikan sanksi kepada bank sesuai dengan perundang-undangan. Dari

penjelasan tersebut tentunya dapat dilihat bahwa Bank Indonesia bukan hanya berwenang saja

dalam mengatur dan mengawasi sistem perbankan nasional. Namun, Bank Indonesia juga memiliki

tanggung jawab dan kewajiban yang utuh dalam melakukan pembinaan kepada bank, baik dengan

cara represif maupun prefentif.

Dengan adanya pembentukan OJK, kewenangan Bank Indonesia yang semula memegang

penuh dalam sistem perbankan nasional kini dibatasi oleh pemerintah dan DPR. Sebab, didalam

ketentuan Pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 telah menyebutkan bahwa OJK

melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan disektor

perbankan. Selain itu, didalam ketentuannya yakni pada Pasal 7 UU OJK juga telah disebutkan

bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan, OJK

mempunyai wewenang yaitu:

(10)

1. Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana

kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi

dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank, dan

2. Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi,

dan aktivitas di bidang jasa

b. Pengaturan dan pengawasan mengennai kesehatan bank yang meliputi:

1. Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum,

batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan

pencadangan bank;

2. Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;

3. Sistem informasi debitur;

4. Pengujian kredit (credit testing); dan

5. Standar akuntasi bank.

c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:

1. Manajemen risiko;

2. Tata kelola bank;

3. Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan

4. Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan

d. Pemeriksaan bank

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana

diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, maka kewenangan-kewenangan yang beralih

tersebut adalah:

1) Mengatur dan mengawasi bank (Pasal 8 point c)

2) Menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan kegiatan usaha

tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank

sesui dengan ketentuan perundang-undangan. (Pasal 24)

3) Menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian. (Pasal 25)

4) Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24

(Pasal 26):

a. Memberikan dan mencabut izin usaha bank.

b. Memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor bank.

c. Memberikan persetujuan atas kepemilikan dan keperngurusan bank.

d. Memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan usaha tertentu.

5) Melakukan pengawasan bank sebagaimana dimaksud Pasal 24, yaitu pengawasan langsung

(11)

6) Mewajibkan bank untuk (Pasal 28):

a. Menyampaikan laporan, keterangan dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang

ditetapkan oleh Bank Indonesia

b. Apabila diperlukan, kewajiban tersebut diatas dikenakan pula terhadap perusahaan

induk, perusahaan anak, pihak terkit, dan pihak terafiliasai dari pihak bank

7) Melakukan pemeriksaan (Pasal 29)

a. Terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan

b. Apabila diperlukan, pemeriksaan sebagaimana dimaksud diatas dapat dilakukan terhadap

perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi, dan debitur bank

c. Bank dan pihak-pihak sebagaimana dimaksud diatas, wajib memberikan kepasa

pemeriksa:

(1) Keterangan dan data yang diminta

(2) Kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen, dan sasaran fisik yang

berkaitan dengan kegiatan usahanya

(3) Hal-hal yang diperlukan.

8) Menugasi pihak lain (Pasal 30)

a. Untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2)

b. Pihak lain yang melaksanakan pemeriksaan sebagamana dimaksud dalam ayat (1), wajib

merahasiakan keterangan dan data yang diperoleh dalam pemeriksaan

c. Syarat-syarat bagi pihak lain yang ditugasi pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan

Bank Indonesia

9) Memerintahkan bank untuk (Pasal 31):

a. Menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila

menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan terhadap suatu transaksi patut diduga

merupakan tindak pidana di bidang perbankan

b. Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud diatas tidak diperoleh bukti yang

cukup, OJK pada hari itu juga mencabut perintah penghentian transaksi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1)

10)Mengatur (Pasal 32):

a. Serta mengembangkan sistem informasi antar bank

b. Sistem informasi tersebut dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain dibidang

keuangan

c. Penyelenggaraan sistem informasi tersebut dapat dilakukan sendiri dan/atau oleh pihak

(12)

11)Dalam keadaan suatu bank menurut penilaian OJK membahayakan kelangsungan usaha

bank yang bersangkutan dan/atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan

perbankan yang membahayakan perekonomian nasional. OJK melakukan tindakan

sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku (Pasal 33).

Berkaitan dengan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan tersebut, kewenangan Bank

Indonesia setelah berlakunya UU OJK dalam pengawasan bank, hanya mencakup bidang

macroprudential saja. Seperti yang berkaitan dengan kebijakan moneter dan sistem pembayaran

seperti ketentuan tentang Giro Wajib Minimum (GWM), ketentuan devisa, Operasi Pasar Terbuka

(OTP), dan laporan-laporan serta pemeriksaan yang terkait dengan pelaksanaan tugas dibidang

moneter dan sistem pembayaran yang merupakan kewenanan otoritas moneter Bank Indonesia.

Sedangkan tugas dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan hanya dari aspek mikroprudensial seperti

kelembagaan, kegiatan perusahaan, dan penilaian tingkat kesehatan.

Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/11/PBI/2014 Tentang Pengaturan dan

Pengawasan Makroprudensial, maka kewenangan BI dalam pengawasan bank adalah :

1. Bank Indonesia melakukan pengawasan makroprudensial melalui surveilans Sistem

Keuangan dan pemeriksaan terhadap Bank dan lembaga lainnya yang memiliki

keterkaitan dengan Bank jika diperlukan (Pasal 5).

2. Bank Indonesia melakukan surveilans dalam rangka melakukan penilaian terhadap

Risiko melalui pemantauan perkembangan kondisi Sistem Keuangan, identifikasi dan

analisis risiko Sistem Keuangan, serta penilaian risiko Sistem Keuangan (Pasal 6).

3. Bank wajib menyediakan dan menyampaikan data dan informasi yang diperlukan oleh

Bank Indonesia dan wajib bertanggung jawab atas kebenaran data dan informasi yang

disampaikan melalui sistem pelaporan Bank, pertemuan langsung, dan/ atau sarana

komunikasi lain yang ditetapkan Bank Indonesia(Pasal 7).

4. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan sebagaimana terhadap Systemically Important

Bank dan/ atau Bank lainnya untuk meyakini Risiko Sistemik yang bersumber dari

kegiatan usaha Bank dengan cakupan pemeriksaan dapat meliputi pemeriksaan terhadap

implementasi kebijakan dan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia dan/atau

kewajaran data yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia (Pasal 8).

5. Dalam melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Bank

Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan induk, perusahaan afiliasi,

dan perusahaan anak dari Bank yang dinilai memberikan eksposur risiko yang signifikan

terhadap Bank atau berdampak sistemik(Pasal 9).

6. Bank memberikan kepada pemeriksa: dokumen dan/atau data yang diminta, keterangan

(13)

tertulis, akses terhadap sistem informasi Bank; dan/atau hal lain yang diperlukan dalam

pemeriksaan dan dilarang menghambat proses pemeriksaan (Pasal 10).

7. Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan yang wajib

menjaga kerahasiaan data dan informasi yang diperoleh dari hasil pemeriksaan (Pasal

11).

Dengan adanya UU OJK, maka pengawasan perbankan tidak lagi berada ditangan Bank

Indonesia melainkan berada pada tangan OJK. Meskipun telah terbentuk lembaga pengawasan

tersebut, namun peranan Bank Indonesia terhadap pengwasan bank tidak dapat dikesampingkan.

Sebab lemabaga tersebut (OJK) tetap harus mempunyai hubungan kordinasi yang baik dengan Bank

Indonesia, diantaranya menyangkut keterangan dan data perbankan yang ada.

Dengan telah terbentuknya OJK, Bank Indonesia akan fokus kepada kewenangan dalam hal

kebijakan moneter yaitu kebijakan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang

dilakukan antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan atau suku bunga.

IV. Penutup

A. Kesimpulan

Pengalihan kewenangan merupakan konsekuensi dari terbentuknya lembaga baru yang

berfungsi sebagai pengawas. Bank Indonesia harus merelakan salah satu kewenangannya tersebut

beralih ke lembaga pengawas baru yaitu Otoritas Jasa Keuangan yang didasarkan pada

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. Adapun tugas dan kewenangan Bank Indonesia yang beralih

menyangkut tentang kewenangan pengawasan perbankan yang meliputi kewenangan memberi izin,

termasuk memberikan izin pendirian bank, pendirian kantor cabang sampai dengan pencabutan izin,

kewenangan untuk mengatur, kewenangan untuk mengawasi.

Pada dasarnya hilangnya fungsi pengawasan perbankan menjadi sebuah tantangan besar

bagi Bank Indonesia. Pembenahan peran dan tugas Bank Indonesia untuk masa mendatang terus

dilakukan guna membangun suatu Bank Indonesia yang baru dimana fungsi pengawasan perbankan

sudah tidak ada. Pada awalnya pembentukan Otoritas Jasa Keuangan menimbulkan banyak

perdebatan bahwa Otoritas Jasa Keuangan sering dinilai hanya menimbulkan pemborosan karena

selama ini Bank Indonesia yang mengawasi lembaga perbankan dianggap sudah melakukan

tugasnya dengan baik serta dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara kedua lembaga

negara tersebut. Namun menurut argumentasi penulis pribadi bahwa pembentukan Otoritas Jasa

Keuangan justru dapat memperbaiki sistem pengawasan yang sudah ada. Pembentukan Otoritas

Jasa Keuangan menjadi sangat penting dan krusial demi masa depan dunia perbankan yang saat ini

tengah mengalami masa pertumbuhan. Sistem keuangan di Indonesia antara lembaga keuangan

bank dengan lembaga keuangan non bank membutuhkan suatu lembaga yang memiliki otoritas

(14)

keuangan non-bank. Dan sebagai pengawas industri keuangan yang baru, Otoritas Jasa Keuangan

diharapkan mampu membuat kebijakan dan peraturan yang jauh lebih baik sehingga mampu

mendorong kemajuan industri keuangan nasional. Disamping itu, dalam pembentukan Otoritas Jasa

Keuangan dihadirkan program terkait dengan perlindungan konsumen, karena seiring dengan

tumbuhnya produk dan jasa pada industri juga akan selalu muncul persoalan terkait dengan

perlindungan konsumen.

Dalam hal beberapa fungsi Otoritas Jasa Keuangan dan lembaga lain terkait khususnya

Bank Indonesia akan terlihat tumpang tindih. Namun, apabila dilihat kembali dalam hal pembagian

kerjanya antara Otoritas Jasa Keuangan dengan lembaga lain terkait khususnya Bank Indonesia

memiliki langkah dan fokus kerja yang berbeda. Otoritas Jasa Keuangan menitik beratkan pada

pengawasan terhadap terhadap bank-bank di Indonesia agar mereka tetap menjalankan kegiatan

secara sehat dan mampu memelihara kepentingan masyarakat sebagai pengguna jasa perbankan

(microprudential). Bank Indonesia sebagai lembaga yang memberikan arahan mengenai

perkembangan perbankan, melakukan pengawasan terhadap bank-bank di Indonesia agar mereka

terus menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter (macroprudential). Tentu

saja dalam hal ini BI harus memastikan bahwa bank-bank tersebut turut mendukung kebijakan yang

dikeluarkan BI dalam menjaga stabilitas moneter.

Walaupun antara Otoritas Jasa Keuangan dengan bank Indonesia memilki langkah dan fokus

kerja yang berbeda, namun sebenarnya kedua lembaga tersebut tidak dapat dipisahkan secara

mutlak dalam peran dan wewenangnya. Untuk itu perlu adanya koordinasi yang baik anatara kedua

lembaga negara tersebut.

B. Saran

Hal pertama yang menjadi kunci keberhasilan sebagaimana tujuan pengalihan kewenangan

Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan adalah diterapkannya mekanisme koordinasi yang

baik antara kedua lembaga negara tersebut. Mekanisme tersebut dilakukan terhadap adanya potensi

benturan tugas dan kewenangan diantara Bank Indonesia dan OJK. Hal tersebut juga didasari pada

Pasal 39 s.d 43 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan yang mengamanatkan OJK berkoordinasi

dengan BI dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan, BI dapat melakukan

pemeriksaan langsung terhadap bank dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih

dahulu kepada OJK namun tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank, OJK

menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengenai bank bermasalah yang

sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK. Dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu

mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segera

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Bank Indonesia. 2010. Bookled Perbankan Indonesia. Direktorat Perizinan dan Informasi Bank

Indonesia. Jakarta.

Chandra, M Jeffri Arlinandes. 2015. Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pengaturan Dan

Pengawasan Perbankan Setelah Terbitnya Undang-Undang No 21 Tahun 2011 Tentang

Otoritas Jasa Keuangan. Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1. Fakultas Hukum Universitas

Dehasen Bengkulu. http://jurnal.unived.ac.id/index.php/jhs/article/download/336/304

diakses tanggal 06 April 2018 Pukul 15.30 WB

Gazali, Djoni S. dan Rachmadi Usman. 2012. Hukum Perbankan. Jakarta: Sinar Grafika.

Indonesia, Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Undang- Undang No. 21 Tahun 2011 (LN. No. 111 Tahun 2011, TLN. No. 5253).

Kusdarwanto. 2013. Tesis. Kewenanan Bank Indonesia dalam Pengawasan Perbankan setelah

Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Program Studi Magister Fakultas Hukum

Universitas Airlangga. Surabaya.

Lestari, Hesty D. Otoritas Jasa Keuangan: Sistem Baru Dalam Pengaturan dan Pengawasan Sektor

Jasa Keuangan. Jurnal Hukum. Magister Ilmu Hukum. Universitas Muhammadiyah Jakarta.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/download/13369/9064 diakses tanggal

04 April 2018 Pukul 10.00 WIB

Peraturan Bank Indonesia No. 16/11/PBI/2014 Tentang Pengaturan dan Pengawasan

Makroprudensial.

Solahudin, Ahmad. 2015. Pemisahan Kewenangan Bank Indonesia Dengan Otoritas Jasa Keuangan

Dalam Pengawasan Bank. IAAI (Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional-Indonesia). Jurnal

Online. http://jurnalius.ac.id/ojs/index.php/jurnalIUS/article/download/202/176 diakses

tanggal 06 April 2018 Pukul 15.30 WIB

Undang-Undang Perbankan, (UU Nomor. 7 Tahun 1992 Jo. UU Nomor. 10 Tahun 1998),Jakarta :

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departmen Hukum dan Ham,2007.

Undang-Undang tentang Bank Indonesia, Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 (LN. No. 66 Tahun 1999, TLN. No. 3843) sebagaimana diubah melalui UU No. 3 Tahun 2004 sebagaimana diubah melalui UU No.6 Tahun 2009 (LN. No. 7 Tahun 2009, TLN. No. 4962).

Yumya, Afika. 2008. Skripsi Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap

Kewenangan Bank Indonesia Dibidang Pengawasan Perbankan. Fakultas Hukum

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu program d’Sign Net TV berisi ulasan seputar desain interior serta eksterior dan menunjukkan instruksi membuat kerajinan tangan untuk properti khusus

Tak lupa juga diperuntukkan kepada dosen-dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dan tak lupa juga kepada sahabat dan teman-teman yang

Berdasarkan analisis geometri paket seismik dan analisis horizon serta fasies seismik, dapat diinterpretasikan bahwa stratigrafi endapan lisu dapat dibagi dalam empat fase

Fitur yang ada dalam aplikasi ini adalah beberapa jenis hewan yang ditampulkan secara 3D dengan suara dan animasi menggunakan teknologi Augmented Reality. Hasil pengujian

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan bahwa Status hukum hak milik atas tanah yang diperoleh warga negara Indonesia yang menikah dengan warga

Multimedia adalah kombinasi dari komputer dan video (Rosch, 1996) atau Multimedia secara umum merupakan kombinasi tiga elemen, yaitu suara, gambar dan teks (McCormick 1996)

Berdasarkan pembahasan semua parameter tesebut di atas, dapat disimpulkan bahwa produk kompos yang dihasilkan dari lokasi Timika dan Kuala Kencana sudah memenuhi kriteria

Sesuai dengan kalender pendidikan program Strata-I Biologi Universitas Negeri Semarang (UNNES), setiap mahasiswa diwajibkan untuk melaksanakan Praktik Kerja Lapangan