62
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Tindak Pidana Terorisme jelas merupakan kejahatan terorisme
sebagai “Extra Ordinary Crime”. Tapi tidak berarti sanksi yang dijatuhkan
kepada pelaku bersifat tidak bermartbat. Sanksi pada hakikatnya merupakan
elemen yang penting dalam penegakan hukum pidana sebagai salah satu
sarana di dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan. Saksi yang pada
hakikat demikian harus diimplemantasikan secara proporsional terhadap
pelaku tindak pidana terorisme.
Namun kemudian masalah yang muncul adalah tindak pidana
terorisme berdasarkan perbuatan, dampak dan niat banyak yang merugikan
masyarakat dan membawa kepada hal-hal kerugian yang besar. Hal ini yang
kemudian membawa pada ranah kesalahpahaman pengimplementasian
sanksi yang tepat terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dimana karena
dampak yang ditimbulkan sangat besar ditengah-tengah dan merugikan
masyarakat, maka terkesan sewenang-wenang yang dijatuhkan yaitu tidak
lagi memandang martabat pelaku terorisme.
Namun demikian penulis juga sadar jika bermartabat yang dimaksud
tidak hanya kepada pelaku saja namun juga kepada korban dan masyarakat
yang dirugikan. Maka penulis menyimpulkan penerapan sanksi pidana
63
bermartabat yang bertujuan untuk memanusiakan manusia. Sanksi yang
proporsional dalam arti tidak sebesar-besarnya atau sekecil-kecilnya,
melainkan proporsional yang dimaksud adalah seimbang tidak berat
Penerapan sanksi yang adil dilihat dari perbuatan, dampak dan niat pelaku
tindak pidana teroris.
B.
SARAN
Pertama, kedepannya penerapan sanksi terhadap pelaku tindak
pidana teroris haruslah mengedepankan sanksi yang berbasis keadilan
bermartabat, yaitu sanksi yang proporsional.
Kedua, kedepan legislator harus memikirkan adanya upaya
deradikalisasi yang harus dimuat dalam Undang-Undang Terorisme
kedepan. Deradikalisasi sebagai upaya pencegahan yang dilakukan agar
para narapidana dan mantan narapidana serta pihak lain yang berpotensi
terlibat tindak pidana untuk tidak melakukan atau tidak melakukan kembali