• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENUJU MASYARAKAT ADIL DAN SEJAHTERA Ole

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENUJU MASYARAKAT ADIL DAN SEJAHTERA Ole"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

* Makalah dipresentasikan dalam Kongres Pancasila IV yang dilaksanakan pada 31 Mei 1 Juni 2012 di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Indonesia.

** Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Bra wijaya

SEMANGAT GOTONG ROYONG DARI BADAN USAHA MILIK DESA MENUJU MASYARAKAT ADIL DAN SEJAHTERA

Oleh :

Sugeng Setya Cahyanto

Fakultas Ekonomi & Bisnis - Universitas Brawijaya Jl. Veteran Malang 65145 Indonesia

sugeng_setya@yahoo.com

Desa sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia telah terbukti menyelamatkan perekonomian Indonesia dari hantaman krisis ekonomi. Pola kehidupan desa yang masih memiliki jiwa pancasila dengan semangat gotong royongnya membuat pondasi yang kuat bagi perekonomian indonesaia. Akan tetapi 56 persen penduduk Indonesia bertempat tinggal di pedesaan dan disisi lain sebagian besar penduduk desa adalah miskin dan terbelakang. Dari sekitar 37 juta rakyat Indonesia yang miskin, 63,58 persen di antaranya adalah orang desa dan 70 persen dari orang desa itu adalah petani.

Untuk menghidupkan perkonomian desa perlu didirikan lembaga yang merangkul seluruh potensi dan kearifan lokal desa. Lembaga dimana merupakan wadah setiap warga desa memberikan kerja keras, buah pikiran, segenap potensi diri dan saling berbagi peran sesuai prinsip gotong royong yang mengakar dalam diri masyarakat desa. Lembaga yang sesuai bagi masyarakat desa yang menghilangkan penindasan antar masyarakat desa adalah Badan Usaha Milik Desa (BUMdes). BUMdes dengan semangat gotong royong harus bertujuan untuk memberikan keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta dalam pengelolaan dilaksanakan secara otonom oleh warga desa dengan mekanisme musyawarah dalam pengambilan keputusan.

Kata Kunci : Desa, Perekonomian, Kearifan lokal, Gotong Royong, BUMdes

Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul

mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini,

yaitu bukan saja persamaan politiek,

saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan,

artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya (Soekarno, Pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 Pendahuluan

Perjalanan Mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bagi NKRI masih

merupakan jalan panjang. Banyak rakyat Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Data sensus

penduduk tahun 2008 menunjukkan sekitar 56 persen penduduk Indonesia bertempat tinggal di

pedesaan dan disisi lain sebagian besar penduduk desa adalah miskin dan terbelakang. Dari

sekitar 37 juta rakyat Indonesia yang miskin, 63,58 persen di antaranya adalah orang desa dan 70

(2)

Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakkmampuan

memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan

berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral.

Menurut Badan Pusat Statistik (2000), kemiskinan didefinisikan sebagai pola konsumsi yang

setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun dipedesaan dan 480 kg/kapita/tahun di daerah

perkotaan. Menurut Soekanto (2000) kemiskinan adalah sebagai suatu keadaan dimana

seseorang tidak sanggup untuk memelihara dirinya sendiri yang sesuai dengan taraf hidup

kelompoknya dan juga tidak mampu untuk memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya

dalam kelompok tersebut.

Menurut Kartasasmita (1996) kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang

ditandai oleh pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi

ketimpangan. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatasnya

akses kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang

mempunyai potensi lebih tinggi.

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kemiskinan adalah suatu kondisi sosial

yang disebaban sistem yang menindas sehingga tidak mendapatkan akses lapangan pekerjaan,

pendidikan, kesehatan dan penghidupan yang layak untuk mendapatkan kesejahteraan.

Pemahamam yang sempit mengenai Kemiskinan yang cenderung kemiskinan material sehingga

seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum

kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan

konsumsi. Memang definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator

orang miskin, tetapi definisi ini sangat kurang memadai karena; (1) tidak cukup untuk

memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjadi sesat pikir bahwa menanggulangi kemiskinan

cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) mendorong manusia

untuk lebih konsumtif karena semakin tinggi konsumsi semakin dipandang kaya: (4)

menghasilkan kebijakan yang kontraproduktif

Indonesia yang merupakan Negara Agraris dan Maritim memiliki tanah yang subur dan

kekayaan hayati yang melimpah, ini tentunya kondisi yang ironis yang dialami rakyat Indonesia

seperti pepatah tikus mati dalam lumbung padi. Lingkungan Desa yang menjadi area yang

paling tinggi angka kemiskinan menunjukkan bahwa sistem yang diterapkan dan akses

(3)

memotong rantai kemiskinan yang turun dari generasi ke generasi. Seluruh elemen desa harus

turut serta bahu membahu bekerja sama memikul permasalahan ini, seperti halnya semangat

yang menjiwai bangsa ini yaitu Gotong Royong.

Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan adalah metode penulisan yang bersifat kualitatif.

Metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif

yang meliputi kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang memahami obyek penelitian

yang sedang dilakukan yang dapat didukung dengan studi literatur berdasarkan pendalaman

kajian pustaka baik berupa data maupun angka yang dapat dipahami dengan baik (Moleong,

2000). Metode kualitatif pada intinya merupakan suatu metode yang holistik. yaitu metode yang

memadukan analisis data dengan aspek-aspek yang terkait.

Pengumpulan data

Alat yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi kepustakaan (library research),

yaitu pengumpulan data yang di laku kan melalui data tertulis. yang banyak didapat dari

buku-buku dan internet.

1. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data kualitatif yang diperoleh dari data

sekunder yang berasal dari buku-buku. Surat kabar, dan internet serta data lainnya yang

mendukung penulisan ini.

2. Sifat dan Bentuk Laporan.

Sifat dan bentuk laporan yang akan disajikan adalah bersifat deskriptif, analitis. dan

informatif.

Menelisik Desa

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang

berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan

asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia (Undang-Undang Pemerintah Daerah No 32 tahun 2004)

Apabila dilihat dari asal kata, desa berasal dari bahasa sansekerta yaitu “deshi” yang

(4)

berikut: “ Desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografis, sosial, ekonomi, politik, dan cultural yang terdapat di suatu daerah dalam hubungan dan pengaruh secara timbal balik dengan daerah lainnya.” Dari pengertian tersebut terlihat bahwa, suatu desa harus memiliki beberapa syarat yaitu geografis, sosial, ekonomi, politik dan cultural yang bersatu dan memiliki kesamaan.

Dalam rangka pengentasan kemiskinan terdapat Penanggulangan Kemiskinan dan

Pemberdayaan masyarakat. Penanggulangan kemiskinan dapat diartikan sebagai upaya

membuat penduduk tidak menjadi miskin dan membendung jumlah penduduk miskin agar tidak

semakin bertambah banyak. Sedikit berbeda dengan Pemberdayaan masyarakat yang berarti

upaya membangun kesadaran orang miskin agar melakukan keswadayaan yang berkelanjutan

yang dilakukan di semua lini kegiatan sosial-ekonomi. Keduanya baik penanggulangan

kemiskinan maupun pemberdayaan masyarakat- merupakan derivasi dari pembangunan, yang

tujuan akhirnya adalah kesejahteraan rakyat. Permasalahan pembangunan adalah kemiskinan,

pengangguran, dan kesenjangan. Kesenjangan dapat dipahami sebagai kesenjangan antar

daerah, kesenjangan antar sektor, kesenjangan kota dan desa juga kesenjangan antar pelaku

ekonomi.

Dalam kebijakan pembangunan nasional di negara Indonesia, pembangunan desa

merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Maka pembangunan Desa oleh Mubyarto

(1988) didefinisikan sebagai pembangunan yang berlangsung di pedesaan dan meliputi seluruh

aspek kehidupan masyarakat yang dilaksanakan secara terpadu dengan mengembangkan

swadaya gotong royong.

Kegiatan perekonomian di pedesaan masih didominasi oleh usaha-usaha skala mikro dan

kecil dengan pelaku utama para petani, buruh tani, pedagang sarana produksi dan hasil

pertanian, pengelola hasil pertanian, serta industry rumah tangga. Namun demikian, para pelaku

usaha ini umumnya masih dihadapkan pada permasalahan klasik yaitu terbatasnya ketersediaan

modal. Sebagai unsur essensial dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup

masyarakat pedesaan, keterbatasan modal dapat membatasi ruang gerak aktifitas sekor pertanian

dan pedesaan (Hamid, 1986).

Ekonomi di pedesaan yang tergolong Usaha Kecil Menegah dapat tumbuh subur bila

ekonomi yang dipakai adalah Ekonomi Rakyat. Menurut Mubyarto (1994) dalam

Sumodiningrat (1999) istilah ekonomi rakyat dapat diartikan ekonomi usaha kecil sebagai

(5)

kesejahteraan yang adil dan merata. Tidak hanya kelompok-kelompok tertentu yang dapat

menikmati hasil-hasil pembangunan, akan tetapi seluruh warga negara yang mempunyai peran

dapat juga menikmati hasil pembangunan.

Sumodingrat (1999) menyatakan bahwa perekonomian rakyat merupakan padanan istilah

ekonomi rakyat yang berarti perekonomian yang diselenggarakan oleh rakyat. Perekonomian

yang diselenggarakan oleh rakyat merupakan usaha ekonomi yang menjadi sumber penghasilan

keluarga. Ekonomi rakyat berbeda dengan ekonomi kerakyatan. Ekonomi rakyat merupakan

kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh rakyat itu sendiri dengan menggunakan sumber daya

yang mereka miliki dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu pangan, sandang,

dan papan. Sedangkan ekonomi kerakyatan merupakan sistem ekonomi yang berbasis pada

kekuatan rakyat.

Ekonomi Desa dan Ekonomi Nasional

Menurut Kartasasmita (1996) ekonomi nasional yang tangguh dan mandiri hanya dapat

terwujud apabila pelaku-pelakunya tangguh dan mandiri, dan seluruh partisipasi masyarakat

dikerahkan, yang berarti partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya. Masyarakat diikutsertakan

dalam berbagai aspek dengan tujuan melancarkan pembangunan serta pemerataan hasil

pembangunan tersebut. Keikutsertaan masyarakat diharapkan mampu membuat masyarakat

dapat memandirikan diri mereka sendiri.

Kesejahteraan dan realisasi diri manusia merupakan jantung konsep pembangunan yang

memihak rakyat. Perasaan berharga diri yang diturunkan dari keikutsertaan dalam kegiatan

produksi adalah sama pentingnya bagi pencapaian mutu hidup yang tinggi dengan keikutsertaan

dalam konsumsi produk-produknya. Keefisienan sistem produksi, karenanya haruslah tidak

semata-mata dinilai berdasar produk-produknya, melainkan juga berdasar mutu kerja sebagai

sumber penghidupan yang disediakan bagi para pesertanya, dan berdasar kemampuannya

menyertakan segenap anggota masyarakat. Salah satu perbedaan penting antara pembangunan

yang memihak rakyat dan pembangunan yang mementingkan produksi ialah bahwa yang kedua

itu secara terus menerus menundukkan kebutuhan rakyat di bawah kebutuhan sistem agar

system produksi tunduk kepada kebutuhan rakyat (Korten, 1984).

Gagasan pemberdayaan ekonomi rakyat menurut Mahmudi (1999) adalah merupakan

(6)

penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) oleh masyarakat yang berbasiskan pada

kekuatan rakyat. Muatan gagasan ini tidak saja dituntut untuk dapat mendayagunakan dan

menghasilgunakan potensi sumber daya lokal untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, tetapi

juga terlindunginya hak-hak rakyat dalam pengelolaan sumberdaya lokal sesuai dengan

kepentingan ekonomi dan sosialnya. Pola hubungan ekonomi desa atau lokal dengan ekonomi

nasional yaitu ekonomi desa menjadi pilar dari ekonomi nasional, terbukti ekonomi lokal pada

waktu krisis 1998 dan 2008 mampu menyelamatkan ekonomi nasional.

KEARIFAN LOKAL

Kemajuan ekonomi, teknologi dan globalisasi yang kita rasakan hari ini menjadikan

nuansa kompetisi semakin terlihat. Dibalik kemajuan tersebut masih menyisakan pertanyaan

ulang yang serius "faktor apakah yang mendasari maju, mundur, dan dapat bertahannya suatu

masyarakat atau bangsa?". Harrison (2000) dan Huntington (2000). dalam bukunya berjudul

'Culture Matters: How Values Shape Human Progress" mengetengahkan jawaban atas

pertanyaan tersebut, bahwa aspek adat istiadat atau sosic, budaya sebagai faktor fundamental

atau modal utama ketahanan dan kemajuan suatu bangsa. Pendeknya, jika suatu bangsa tidak

mempunyai modal sosio budaya (social capital and culture) yang khas dan kuat (Fukuyama,

2000), maka bersiap-siaplah bangsa tersebut akan terhapus dari catatan peradaban

bangsa¬bangsa besar di dunia.

Pengetahuan indigenous ini berkembang melalui tradisi lisan dari mulut ke

mulut atau melalui pendidikan informal dan sejenisnya dan selalu mendapatkan tambahan dari

pengalaman baru, tetapi pengetahuan ini juga dapat hilang atau tereduksi. Sudah tentu,

pengetahuan-pengetahuan yang tidak relevan dengan perubahan keadaan dan kebutuhan akan

hilang atau ditinggalkan. Kapasitas petani dalam mengelola perubahan juga merupakan

bagian dari pengetahuan i n d i g e n ou s . Dengan demikian, pengetahuan indigenous

dapat dilihat sebagai sebuah akumulasi pengalaman kolektif dari generasi ke generasi

yang dinamis dan yang selalu berubah terus -menerus mengikuti perkembangan jaman.

Menurut Johnson (1992) dalam Sunaryo dan Joshi (2003), pengetahuan indigenous adalah

sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi

yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan seperti ini berkembang dalam

(7)

merupakan hasil kreativitas dan inovasi atau uji coba secara terus-menerus dengan melibatkan

masukan internal dan pengaruh eksternal dalam usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi baru

setempat. Oleh karena itu pengetahuan indigenous ini tidak dapat diartikan sebagai pengetahuan

kuno. terbelakang, statis atau tidak berubah.

GOTONG ROYONG

Istilah gotong royong sangat akrab dalam kosa kata masyarakat adat maupun keseluruhan

bangsa Indonesia. Hampir setiap masyarakat adat mempunyai istilah yang mempunyai padanan dengan kelembagaan “gotong royong”. Sebagai contoh, pada masyarakat Jawa dikenal dengan semangat dan kelembagaan gugur gunung a ta u holo pis kuntul baris; pada masyarakat

Maluku dikenal dengan pela gandhong; pada masyarakat Tapanuli dikenal dengan istilah

dalinan-nan-tolu (Siahaan dalam Pranadji (2009); dan pada masyarakat Minahasa dikenal

dengan istilah mapalus. Hal ini menunjukkan bahwa dalam khasanah adat istiadat di

Indonesia akan banyak ditemui keragaman istilah (menurut istilah etnis atau suku bangsa

setempat) namun dengan makna relatif sama. Ke ra gaman i stila h den gan ma kna ti dak

berbeda menunjukkan bahwa pada bangsa Indonesia secara sosio budaya dikenal (istilah atau)

semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Dari tulisan ini diharapkan dapat lebih dipahami mengenai

hubungan antara konsep ”gotong royong” dan sosio-budaya di satu sisi yang lain. Revitalisasi

adat istiadat, dikaitkan dengan upaya menjadikan bangsa besar, kuat dan dihormati dalam

pergaulan masyarakat dunia perlu mengungkit kembali elemen “gotong royong” sebagai

kelembagaan yang strategis dalam perspektif sosio budaya.

Dengan semangat gotong royong atau holo pis kuntul baris (istilah Jawa) negara

Indonesia ditegakkan kembali dan roda pemerintahan dijalankan. Jika setiap golongan (etnis,

adat, agama, atau sosial lainnya) menganggap diri lebih kuat atau lebih penting dari yang lain.

maka saat itulah semangat gotong royong tidak dapat dijalankan dengan baik. Esensi gotong

royong terkandung makna kesetaraan. keadilan dan kebersamaan dalam memecahkan masalah

atau mencapai tujuan bersama. Dari perspektif ini, pemaknaan gotong royong mencakup bahwa

dalam masyarakat Indonesia sudah terkandung makna adanya modal sosial dan budaya (social

capital) dan masyarakat madani (civil society). Dapat dikatakan bahwa istilah gotong royong

adalah substansi isi ("old wine"), sedangkan penggunaan frasa social capital dan civil society

(8)

Makna pemberdayaan melalui penguatan kelembagaan “gotong royong” pada masyarakat

adat hanya mungkin dipahami jika dilihat dari perspektif sosio budaya bangsa Indonesia. Dalam

budaya jawa istilah gotong royong dekat dengan semangat rukun. Istilah “Rukun agawe santoso,

crah agawe bubrah” (rukun dan bersatu akan membawa kejayaan, sedangkan perpecahan akan

membawa kehancuran) dikenal dalam kegotong royongan pada mayarakat desa dan adat.

Pranadji (2009) Belum ada padanan yang pas, misalnya dalam Bahasa Inggris, untuk merusmuskan pengganti istilah “gotong royong”. Istilah “self help” yang digunakan pakar masyarakat pedesaan, misalnya Korten (1990), belum sepenuhnya dapat menjelaskan makna “gotong royong”. Dalam istilah “gotong royong” paling tidak merangkum empat makna sekaligus, yaitu collective action to stuggle self to struggle, self governing, common goals, dan

sovereignty.

Telah dikenal luas bahwa Soekarno (1964) menyebut kata "gotong royong" sebagai

perasan dari dasar negara Pancasila, yang nilai-nilainya digali dari sejarah dan adat istiadat

bangsa Indonesia. Tidaklah berlebihan Soekarno menyebut demikian, karena semangat dan

institusi "Gotong Royong" telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari pada hampir seluruh

suku bangsa atau masyarakat adat yang ada di wilayah Nusantara. Gotong Royong juga dapat

disebut sebagai inti "kekuatan budaya" masyarakat adat di Indonesia, dan dapat dijadikan

landasan semangat dan tindakan kolektif untuk merevitalisasi adat istiadat bangsa. Dengan

semangat dan tindakan gotong royong ini pula bangsa Indonesia mempunyai keyakinan untuk

memerdekakan dirinya dari penindasan oleh bangsa lain.

PELEMBAGAAN PEREKONOMIAN DESA

Desa mawa cara negara mawa tata, adalah ungkapan masyarakat jawa yang

menunjukkan bahwa disetipa daerah memiliki keunikan masing-masing akan tetapi kita harus

menghargai lokalitas tiap daerah tersebut. Lalu bagaimana dengan perekonomian di tingkat

lokal, Krisnamurthi (2002) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi rakyat adalah

kegiatan ekonomi rakyat banyak dan pengertian dari ekonomi rakyat (banyak) adalah kegiatan

ekonomi yang dilakukan oleh orang banyak dengan skala kecil-kecil, dan bukan kegiatan

ekonomi yang dikuasasi oleh beberapa orang dengan perusahaan dan skala besar, walaupun yang

(9)

Krishnamurti (2003) juga menyebutkan bahwa tanpa akses yang cukup pada lembaga

keuangan (mikro), hampir seluruh rumah tangga miskin akan bergantung pada kemampuan

pembiayaannya sendiri yang sangat terbatas atau pada kelembagaan keuangan informal seperti

rentenir. tengkulak ataupun pelepas uang. Kondisi ini akan membatasi kemampuan kelompok

miskin berpartisipasi dan mendapat manfaat dari peluang pembangunan. Kelompok miskin

yang umumnya tinggal di pedesaan dan berusaha di sektor pertanian 'justru seharusnya lebih

diberdayakan agar mereka bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. Sektor pertanian tentu saja

akan tetap menjadi sektor kunci dalam upaya pengentasan kemiskinan serta memperkokoh

perekonomian pedesaan.

Menurut Kartasasmita (1996), pembangunan pedesaan harus dilakukan dengan

pendekatan yang sesuai dengan sifat dan cirinya. Pembangunan pedesaan harus mengikuti

empat upaya besar, satu sama lain saling berkaitan dan merupakan strategi pokok

pembangunan pedesaan, yaitu: Pertama, memberdayakan ekonomi masyarakat desa. Dalam

upaya ini diperlukan masukan modal dan bimbingan-bimbingan pemanfaatan teknologi dan

pemasaran untuk memampukan dan memandirikan masyarakat desa; Kedua, meningkatkan

kualitas sumberdaya manusia pedesaan agar memiliki dasar yang memadai untuk meningkatkan

dan memperkuat produktivitas dan daya saing; Ketiga, pembangunan prasarana di pedesaan.

Untuk daerah pedesaan prasarana perhubungan merupakan kebutuhan yang mutlak, karena

prasarana perhubungan akan memacu ketertinggalan masyarakat pedesaan; dan keempat,

membangun kelembagaan pedesaan baik yang bersifat formal maupun nonformal.

Kelembagaan yang dibutuhkan oleh pedesaan adalah terciptanya pelayanan yang baik terutama

untuk memacu perekonomian pedesaan seperti lembaga keuangan.

Menurut Ndraha (1987) bahwa partisipasi masyarakat didorong melalui, yaitu: (1) Proyek

pembangunan bagi masyarakat desa yang dirancang sederhana dan mudah dikelola oleh

masyarakat. (2) Organisasi dan lembaga kemasyarakatan yang mampu menggerakkan dan

menyalurkan aspirasi masyarakat. (3) Peningkatan peranan masyarakat dalam pembangunan.

Jadi masih dibutuhkan wadah untuk berpartisipasi di tingkat kelompok. Melalui wadah

partisipasi tersebut anggota kelompok akan saling belajar melalui pendekatan"learning by

doing" menuju pada tujuan peningkatan kualitas hidup yang lebih baik. Yang terjadi adalah

adanya perubahan pengetahuan, ketrampilan maupun sikap yang merupakan potensi untuk

(10)

BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDes) Definisi BUMDes dan Dasar Pembentukannya

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 213 ayat (1) “Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa” Junto PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa pada Pasal 78-81. Substansi Peraturan ini

menegaskan tentang janji pemenuhan demand (demand complience scenario) dalam konteks

pembangunan nasional dalam upaya turut mengakselerasi pembangunan ke desa. Hal yang

mendasari sebagai prinsip tata kelola BUMDes antara lain:

1. Logika pembentukan BUMDes didasarkan pada kebutuhan, potensi, kearifan lokal,

dan kapasitas desa, sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

2. Perencanaan dan pembentukan BUMDes adalah atas prakarsa (inisiasi) masyarakat

desa, serta mendasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif, partisipatif dan

emansipatif (user owned, user benefited, and user controlled) dengan mekanisme

member-base dan self-help.

3. Pengelolaan BUMDes harus dilakukan secara profesional, koperatif, dan

mandiri. Bangun BUMDes dapat beragam di setiap desa di Indonesia.

Dalam hal pembentukannya, BUMDes dibangun atas prakarsa masyarakat serta

mendasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif dan partisipatif. Selain itu, yang terpenting juga

adalah pengelolaannya dilakukan secara profesional dan mandiri. BUMDes sebagai badan

hukum, tentunya dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan

sesuai dengan kesepakatan yang terbangun di masyarakat desa. Dengan demikian, bentuk

BUMDes dapat beragam di setiap desa di Indonesia.

Berdasarkan hal di atas, BUMDes adalah lembaga usaha desa yang dikelola oleh

masyarakat dan pemerintahan desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa dan

dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa. BUMDes menurut Undang-undang nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah didirikan antara lain dalam rangka peningkatan

Pendapatan Asli Desa (PADesa). Oleh karena itu, jika PADesa dapat diperoleh dari

(11)

Di sisi lain, BUMDes sedapat mungkin dibangun atas semangat dan prakarsa

masyarakat dengan mengemban prinsip-prinsip kooperatif dan partisipatif, serta pengelolannya

dilakukan secara profesional dan mandiri. Prinsip Pengelolaan BUMDes (PKDSP FE UB, 2007)

yaitu ;

1. Kooperatif

Semua komponen yang terlibat di dalam BUMDes harus mampu melakukan

kerjasama yang baik demi pengembangan dan kelangsungan hidup usahanya.

2. Partisipatif

Semua komponen yang terlibat di dalam BUMDes harus bersedia secara sukarela

atau diminta memberikan dukungan dan kontribusi yang dapat mendorong kemajuan

usaha BUMDes.

3. Emansipatif

Semua komponen yang terlibat di dalam BUMDes harus diperlakukan sama tanpa

memandang golongan, suku, dan agama.

4. Transparan

Aktivitas yang berpengaruh terhadap kepentingan masyarakat umum harus dapat

diketahui oleh segenap lapisan masyarakat dengan mudah dan terbuka.

5. Akuntabel

Seluruh kegiatan usaha harus dapat dipertanggung jawabkan secara teknis maupun

administratif.

6. Sustainabel

Kegiatan usaha harus dapat dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat dalam

wadah BUMDes.

BUMDes yang diatur dengan Peraturan Mendagri No.39 tahun 2010 diyakini mempunyai

fleksibilitas untuk dapat beradaptasi dengan preferensi masyarakat perdesaan. Sebagai aset yang

dikelola oleh desa, BUMDes sudah pasti berupaya memajukan usaha-usaha perdesaan, dengan

harapan BUMDes akan lebih mudah untuk berfungsi sebagai lembaga pembiayaan usaha

perdesaan.

Tujuan pembentukan BUMDes untuk: 1) menghindarkan anggota masyarakat desa dari

(12)

meningkatkan peranan masyarakat desa dalam mengelola sumber-sumber pendapatan lain yang

sah; 3) memelihara dan meningkatkan adat kebiasaan gotong royong masyarakat, gemar

menabung secara tertib, teratur, dan berkelanjutan; 4) mendorong tumbuh dan berkembangnya

kegiatan ekonomi masyarakat desa; 5) mendorong berkembangnya usaha sektor informal untuk

dapat menyerap tenaga kerja masyarakat di desa; 6) meningkatkan kreativitas berwirausaha

anggota masyarakat desa yang berpenghasilan rendah; 7) Menjadi tulang punggung pertumbuhan

perekonomian desa dan pemerataan pendapatan.

Belajar dari pengalaman masa lalu, satu pendekatan baru yang diharapkan mampu

menstimulus dan menggerakkan roda perekonomian di pedesaan adalah melalui pendirian

kelembagaan ekonomi yang dikelola sepenuhnya oleh masyarakat desa. Lembaga ekonomi ini

tidak lagi didirikan atas dasar instruksi Pemerintah. Tetapi harus didasarkan pada keinginan

masyarakat desa yang berangkat dari adanya potensi yang jika dikelola dengan tepat akan

menimbulkan permintaan di pasar. Agar keberadaan lembaga ekonomi ini tidak dikuasai oleh

kelompok tertentu yang memiliki modal besar di pedesan. Maka kepemilikan lembaga itu oleh

desa dan dikontrol bersama di mana tujuan utamanya untuk meningkatkan standar hidup

ekonomi masyarakat.

Terdapat 7 (tujuh) ciri utama yang membedakan BUMDes dengan lembaga ekonomi

komersial pada umumnya yaitu:

1. Badan usaha ini dimiliki oleh desa dan dikelola secara bersama secara goyong royong;

2. Modal usaha bersumber dari desa (51%) dan dari masyarakat (49%) melalui

penyertaan modal (saham atau andil);

3. Operasionalisasinya menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari budaya lokal

(local wisdom);

4. Bidang usaha yang dijalankan didasarkan pada potensi dan hasil informasi pasar;

5. Keuntungan yang diperoleh ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota

(penyerta modal) dan masyarakat melalui kebijakan desa (village policy);

6. Difasilitasi oleh Pemerintah, Pemprov, Pemkab, dan Pemdes;

7. Pelaksanaan operasionalisasi dikontrol secara bersama (Pemdes, BPD, anggota).

BUMDes sebagai suatu lembaga ekonomi modal usahanya dibangun atas inisiatif

(13)

bersumber dari masyarakat. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan BUMDes dapat

mengajukan pinjaman modal kepada pihak luar, seperti dari Pemerintah Desa atau pihak lain,

bahkan melalui pihak ketiga. Ini sesuai dengan peraturan per undang-undangan (UU 32 tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 213 ayat 3). Penjelasan ini sangat penting untuk

mempersiapkan pendirian BUMDes, karena implikasinya akan bersentuhan dengan

pengaturannya dalam Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Desa (Perdes).

Ada empat peluang yang dapat diraih terkai BUMDes. Pertama, Pemda berkewajiban dan

berkeinginan untuk mewujudkan pemerintahan desa yang kuat di mana ekonomi kerakyatan

berperan penting Peran ekonomi kerakyatan sebagai ujung tombak kekuatan desa di masa depan

ini ditopang BUMDes dengan memperkuat usaha-usaha kecil di pedesaan. Kedua munculnya

program-program donor yang memfasilitasi berkembangnya BUMDes melalui dukungan

pendampingan yang handal. Ketiga, menekan arus Urbanisasi di Indonesia karena BUMDes

mampu menciptakan kesempatan kerja dan yang terpenting. Keempat, banyaknya unit usaha

BUMDes yang strategis dan memiliki keunggulan maupun potensi untuk berkembang dan

berhasil. Dengan demikian, BUMDes bisa meningkatkan kesejahteraan warga.

KESIMPULAN

BUMDes merupakan Alternalif Pengelolaan Potensi Kearifan Lokal Desa sekaligus

untuk pemberdayaan Masyarakat yang hidup digaris kemiskinan. Lembaga yang otonom didesa

dapat menaikkann taraf hidup dan kesadaran ekonomi politik masyarakat desa.

Keberlangsungannya BUMDes dapat lebih terjaga karena berdiri atas inisiatif masyarakat desa,

dikelola masyarakat desa, diawasi masyarakat desa, dan untuk kesejahteraan masyarakat desa

serta pola kehidupan masyarakat desa yang masih kental dengan Gotong Royong. Gotong

Royong yang merupakan bekerja keras bersama, memikul beban bersama, dan menikmati hasil

usaha secara adil dan merata bagi kesejahteraan bersama. Untuk Pengawasan BUMDes, Norma

sosial dan adat yang berlaku didesa akan menjadi benteng yang meminimalisir perilaku

menyimpang dalam kehidupan ekonomi di masyarakat desa. Kemandirian desa akan berdampak

pada Kuatnya Ekonomi nasional karena ditopang olah banyak Lembaga Perekonomian yang

dijiwai oleh semangat Gotong. Terwujudnya Keadilan Sosial sebagai pengamalan Pancasila

bukan menjadi hal yang utopis dan Terciptanya Negara Berdikari yang mewujudkan suatu

(14)

Daftar Pustaka

Bintarto. 1989. Interaksi Desa-Kota. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Fukuyama.F. 2000. Social Capital. in Culture Matters: How Values Shape Human Progress (Edited by L.E. Harrison and S.P. Hutington). Basic Books. New York.

Harrison. E.H. 2000. Why Culture Matters. In Cultures Matters: How Values Shape Human Progress (Edited by L.E. Harrison and S.P. Huntington). Basic Books. New York.

Huntington. S.P. 2000. Cultures Count. in Cultures Matters: How Values Shape Human Progress (Edited by L.E. Harrison and S.P. Huntington). Basic Books. New York.

Kartasamita. G. (1996). Pembangunan Untuk Rakyat, Jakarta : CIDES.

Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Melalui Kemitraan guna mewujudkan ekonomi nasional yang tangguh dan mandiri disampaikan pada seminar nasional lembaga pembinaan usaha kecil menengah dan koperasi 7 november 1996 di Jakarta.

Khrisnamurti, bayu. 2002. Pemberdayaan ekonomi rakyat: mencari format kebijakan optimal dalam jurnal ekonomi rakyat Th.1 - No2.

Korten, David C. 1984. Pembangunan yang Memihak Rakyat. Jakarta : Lembaga Studi Pembangunan.

Mahmudi, Ahmad. 1999. Prinsip-Prinsip Pemberdayaan Masyarakat. TOT P2KP oleh LPPSLH, Ambarawa, 27 Nopember 1999.

Moleong, L. J. (2003). Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT Remaja Rosdakarya Mubyarto dan S. Kartodirdjo. 1988. Pembangunan Pedesaan di Indonesia. Yogyakarta : Penerbit

Liberty.

Pranadji, T. 2009. Penguatan Kelembagaan Gotong Royong dalam Perspektif Sosio Budaya : Suatu Upaya Revitalisasi Adat Istiadat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 27 No.1 Juli 2009 : Jakarta

Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan (PKDSP) Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. 2007, Buku Panduan Pendirian Dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes ), Jakarta : PP-RPDN

Sumodingrat, Gunawan. 1999. Pemberdayaan masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Sunaryo dan L. J oshi. 2003. Peranan pengetahuan ekologi lokal dalam sistem

agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office. Bogor. Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah penduduk, pendidikan, upah minimum, dan produk domestik regional bruto (PDRB) secara simultan berpengaruh signifikan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab IV dapat disimpulkan sebagai berikut ini. a) Variabel independen partisipasi dan motivasi secara bersama-sama memberikan

Namun, hal ini belum dapat dijelaskan secara rinci bagaimana gangguan yang terjadi, karena tidak adanya penyimpangan yang signifikan dalam waktu yang relatif singkat

a) Bahwa keterangan terdakwa harus dinyatakan dalam persidangan. Keterangan tersebut dapat berisi penjelasan atau jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Majelis

lklim sosial yang baik ditandai dengan terciptanya hubungan yang harmonis anatara guru-anak didik, guru dan guru, guru dengan pihak pengelola (Kepala

Pemberian parit pada areal tidak meningkatkan berat biji per hektar dibandingkan tanpa parit namun pemberian bahan organik di dalam parit meningkatkan berat biji per

Dengan tujuan menghasilkan potensi gas Landfill yang dihasilkan dari penguraian limbah organik Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang Kabupaten Bekasi sebagai

Program Studi di Luar Kampus Utama Politeknik Negeri Pontianak di Kabupaten Kapuas Hulu yang selanjutnya disebut PSDKU Polnep di Kabupaten Kapuas Hulu adalah perguruan