BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan
hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi
Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa
negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Kepentingan
terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan
hidup umat manusia. Berbagai upaya dalam pelaksanaan pembinaan dan
perlindungan bagi anak terkadang dihadapkan pada permasalahan serta tantangan
dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku di
kalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan
melanggar hukum tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Penyimpangan
tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan anak sering sekali
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain pengaruh dampak negatif dari
perkembangan arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian
orang tua telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan
masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang
Kartono, juvenile deliquency ialah perilaku jahat (dursila), atau
kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara
sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian
sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang
menyimpang.4
Penyimpangan tingkah laku yang dilakukan anak saat ini semakin hari
semakin mengalami peningkatan dan beragam bentuknya, baik berupa
penyimpangan tingkah laku yang masih dapat ditolerir oleh masyarakat hingga
sampai kepada penyimpangan tingkah laku yang termasuk kedalam perbuatan
melanggar hukum atau tindak pidana yang harus diselesaikan melalui jalur hukum
dan memiliki sanksi pidana. UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana memberikan istilah Anak yang Berkonflik dengan Hukum kepada anak
yang melakukan tindak pidana.
Seseorang yang menurut Undang-undang melakukan perbuatan melanggar
hukum atau tindak pidana adalah seseorang yang perbuatannya dapat dikenakan
hukuman pidana.5 Setiap orang baik dewasa maupun anak-anak yang melakukan tindak pidana akan menjalani sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana
yang dilaksanakan bagi anak dan orang dewasa tentu berbeda hal ini disebabkan
karena terbentuknya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak yang diperuntukkan bagi anak yang melakukan tindak pidana. Pelaksanaan
Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan sesuai dengan asas-asas yang
terkandung dalam Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
4
Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2013, hlm. 6.
5
Pidana Anak yaitu berdasarkan asas perlindungan, keadilan, nondiskriminasi
kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak,
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan dan pembimbingan
anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya
terakhir dan penghindaran pembalasan. Penjelasan umum Undang-Undang No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menekankan bahwa sistem
peradilan pidana bagi anak harus didasarkan pada peran dan tugas masyarakat,
pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk meningkatkan Kesejahteraan Anak serta memberikan perlindungan
khusus kepada Anak yang berhadapan dengan Hukum harus sesuai dengan
Konvensi Hak-Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik
Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan
Konvensi Hak-Hak Anak.
Pasal 1 angka 8 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
memberikan istilah Anak Didik Pemasyarakatan bagi Anak Pidana yang
melakukan perbuatan pidana dan berdasarkan putusan pengadilan menjalani
pidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak. Istilah Anak Didik
Pemasyarakatan tidak hanya diberikan bagi anak yang berdasarkan putusan
pengadilan menjalani pidana, namun istilah anak didik pemasyarakatan juga
diberikan kepada Anak Negara serta Anak Sipil .Anak Pidana yang berdasarkan
putusan pengadilan menjalani masa pidananya ditempatkan di dalam Lembaga
Seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan
merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan bagi narapidana dan anak
didik pemasyarakatan (anak pidana).
Lembaga pemasyarakatan yang seharusnya menjadi tempat pembinaan
bagi anak pidana saat ini merupakan institusi pemerintah yang rentan terhadap
berbagai pelanggaran, baik yang bersifat kelembagaan ataupun individual. Berita
di media massa berulang kali mengangkat citra buruk Lapas, dari beragam
kekerasan di dalamnya, sampai tuduhan bahwa Lapas merupakan sarang
penyimpanan dan peredaran narkoba “ paling aman” dibanding tempat di luar.6
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly juga mengakui bahwa
kondisi Lapas di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan dan persoalan dari
tahun ke tahun pun masih sama, hampir seluruh Lembaga Pemasyarakatan yang
ada di Indonesia mengalami over capacity (kelebihan muatan) serta keterbatasan
sumber daya manusia.7 Minimnya kapasitas Rutan dan Lapas, ketidak lengkapan fasilitas, buruknya pelayanan dan kurangnya sipir menjadi pemicu buruknya
pelayanan hak-hak narapidana. Sistem database pemasyarakatan juga mencatat,
jumlah penghuni Lapas per 31 Desember 2011 sebanyak 136.145 orang. Setahun
kemudian, 31 Desember 2012, angka itu bertambah menjadi 150.592 orang. Akhir
2013, peningkatannya menjadi 160.061 orang. Terakhir data per 17 Juli 2014 ada
167.163 narapidana yang menghuni Rutan di seluruh Indonesia. Kasubdit
6
A. Josias Simon R dan Thomas Sunaryo, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, Bandung: Lubuk Agung, 2011, hlm. 5
7
Meilikhah, Menkum HAM Akui Kondisi Lapas di Indonesia Memprihatinkan,
Komunikasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM
Akbar Hadi Prabowo mengakatan bahwa setiap tahun terjadi peningkatan yang
luar biasa di dalam Lapas, rata-rata terjadi peningkatan lebih dari 10 ribu orang
pertahunnya.8 Peningkatan jumlah atau over capacity (kelebihan muatan) tidak hanya menjadi masalah di Lapas saat ini, namun masalah kesehatan juga menjadi
masalah yang sangat memprihatinkan.
Kondisi Lapas Anak saat ini juga mengalami beberapa masalah yang
sangat memprihatinkan, hal ini disebabkan oleh perilaku dan kehidupan
anak-anak penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak berisiko terinfeksi
penyakit menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS. Menurut World Population
Foundation (WPF) Indonesia dan Plan Indonesia, sebagian dari anak penghuni
Lapas yang menjadi Anak Didik (Andik) kedua lembaga tersebut berprilaku
seksual yang tidak aman dan menyimpang, berbagai jarum suntik untuk
pemakaian narkoba dan tato. Perilaku tersebut di atas membuat Anak Didik
Pemasyarakatan rentan terhadap infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS.
Dari kasus yang ada hampir 50% Anak Didik di Lapas disebabkan karena mereka
terlibat kasus penyalahgunaan narkoba, dan sebagian besar anak-anak yang berada
di dalam Lapas secara seksual sudah aktif sebelum mereka masuk ke dalam
Lapas. Karena sebagian mereka adalah anak jalanan, atau anak-anak tanpa
dukungan penuh dari orang tua, sehingga mereka melakukan pergaulan bebas.9
8
Nasional, Over Kapasitas Lapas Tembus 153 persen , Pemerintah Optimalkan Pemberian Hak Napi http://www.jawapos.com/baca/artikel/5878/Over-Kapasitas-Lapas-Tembus-153-Persen, 16/08/14 diakses pada tanggal 25 November 2014
9
Penularan penyakit menular seksual, HIV dan penyakit menular lainnya
serta lingkungan yang tidak bersih mampu membawa penghuni Lapas kepada
kematian. Kematian menjemput seiring dengan buruknya perawatan kesehatan,
buruknya nutrisi dan buruknya lingkungan sehingga penyakit menular dengan
cepat menyebar keseluruh penghuni Lapas.
Anak yang menjalani pidana di dalam Lapas Anak merupakan anak yg
juga harus diperhatikan secara penuh hak-haknya, tumbuh kembangnya,
kesehatan fisik serta mentalnya, karena anak yang menjalani pidana di dalam
Lapas juga merupakan manusia yang memiliki hak asasi yang harus dilindungi
dan dihormati. Anak pidana juga merupakan anak penurus cita-cita perjuangan
bangsa yang harus dilindungi dan diperlakukan baik serta dibina untuk
menciptakan sumber daya manusia yang baik dan tidak mengulangi perbuatannya
lagi serta mampu diterima dalam masyarakat ketika telah selesai menjalani masa
pidana di dalam Lapas.
Kesehatan merupakan isu krusial yang harus dihadapi setiap negara karena
berkorelasi langsung dengan pengembangan integritas pribadi setiap individu
supaya hidup bermartabat (kesehatan, bersama-sama dengan taraf pendidikan dan
daya beli masyarakat, merupakan komponen penilaian capaian Human
Development Index negara-negara di dunia). Negara dengan kesehatan rakyatnya
tersebut rendah, maka akan sulit bersaing dengan negara-negara lain di tengah
sengitnya kompetisi global.10
Salah satu potensi bangsa yang merupakan modal dasar pembangunan
nasional adalah penduduk sebagai sumber daya manusia yang berjumlah besar
dan produktif. Dengan kata lain bahwa keberhasilan dari pembangunan nasional
ditentukan oleh manusia sebagai pelaku dari pembangunan itu sendiri.
Pembangunan dapat terselenggara dengan baik apabila dilaksanakan oleh manusia
yang bermental dan berkualitas baik.11 Dalam hubungan inilah Pemasyarakatan memiliki peranan yang sangat strategis dalam rangka pembinaan sumber daya
manusia. Pemasyarakatan sebagai sistem pembinaan narapidana diselenggarakan
dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) agar menjadi
manusia seutuhnya menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak
mengulangi tindak pidana. Dengan demikian mereka dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat hidup wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab. Pemasyarakatan secara institusional juga menjadikan fungsi
sebagai lembaga pendidikan dan pembangunan yang memiliki ciri terbuka dan
produktif, yaitu lembaga pendidikan yang mendidik warga binaan
pemasyarakatan dalam rangka terciptanya kualitas manusia dan lembaga
pembangunan yang mengikut sertakan warga binaan pemasyarakatan menjadi
manusia pembangunan yang produktif.12
10
Titon Slamet Kurnia, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di Indonesia, Bandung: P.T. Alumni, 2007, hlm.2.
11
A. Josias Simon R dan Thomas Sunaryo,Op.Cit. hlm.29 12
Kesehatan pribadi baik fisik maupun mental merupakan prasyarat penting
bagi tercapainya kesejahteraan, maupun derajat tertinggi dari kehidupan manusia.
atas dasar pertimbangan tersebut maka hak untuk mendapatkan standar kesehatan
yang paling tinggi dirumuskan sebagai suatu hak asasi.13
Hak atas derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu jenis HAM
(Hak Asasi Manusia) telah diakui dalam aturan hukum nasional Indonesia
maupun hukum internasional. Dalam Pasal 28B ayat 2 UUD 1945 menjamin
setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam Pasal 28H ayat 1 UUD 1945
menjamin setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Kemudian pada Pasal 34 ayat 3 UUD 1945 juga menjamin hak atas
fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak. Demikian juga
halnya dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan di dalam Pasal 4
disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan. Terkait pemenuhan hak atas
kesehatan, di dalam Pasal 25 ayat (1) DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia) juga dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas tingkat hidup yang
menjamin kesehatan dan keadaan, baik untuk dirinya dan untuk keluarganya,
termasuk soal makanan, pakaian, perumahan, dan perawatan kesehatannya, serta
usaha-usaha sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan saat menganggur,
janda, lanjut usia, atau mengalami kekurangan nafkah lain-lain karena keadaan
yang diluar kekuasaannya. Pasal 62 UU No. 39 Tahun 1999 tentang menjelaskan
13
juga bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental
spiritualnya. Jelas terlihat dalam peraturan perundang-undangan di atas bahwa
setiap orang tanpa terkecuali memiliki hak yang sama atas derajat kesehatan,
demikian dengan anak didik pemasyarakatan sebagai manusia dan warga negara
juga memiliki hak atas kesehatan sebagaimana dijamin dalam Pasal 25 ayat (1)
DUHAM tersebut dan memperoleh hak atas pelayanan kesehatan serta jaminan
sosial yang layak sebagaimana dijamin dalam Pasal 62 UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Konvensi Hak Anak Pasal 24 juga
menegaskan dan menjamin bahwa hak anak atas peningkatan standar kesehatan
yang paling tinggi dapat diperoleh dan atas berbagai fasilitas untuk pengobatan
penyakit dan rehabilitasi kesehatan, dan negara menjamin tidak seorang anak pun
dapat dirampas haknya atas akses ke pelayanan perawatan kesehatan tersebut.
Demikian halnya pelaksanaan pembinaan terhadap anak pidana di dalam
Lapas dilaksanakan berdasarkan sistem pemasyarakatan yaitu suatu sistem
perlakuan terhadap narapidana dengan menganut konsep pembaharuan pidana
penjara yang berdasarkan Pancasila dan asas kemanusiaan yang bersifat universal.
Narapidana diperlakukan sebagai subjek yang memiliki eksistensi, harga diri,
didudukkan sejajar dengan manusia yang lain, dan dibina dengan memperhatikan
hak-hak narapidana agar kelak setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan tidak
lagi mengulangi perbuatannya dan bisa beradaptasi dengan masyarakat.14 Dengan demikian hak atas kesehatan juga merupakan hak yang patutnya diterima oleh
14
setiap orang termasuk anak pidana sebab hak atas kesehatan merupakan hak asasi
manusia yang harus di hormati dan dilindungi. Adapun hak-hak narapidana yang
harus diperhatikan dan dilindungi serta dipenuhi jelas diatur dalam UU No. 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dalam Pasal 14 yaitu berhak mendapatkan
perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani dan mendapatkan pelayanan
kesehatan dan makanan yang layak. Selanjutnya lebih rinci lagi diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Pasal 7 ayat (1), Pasal 14, Pasal
16 ayat (1) (2) (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) mengenai pemenuhan hak
yang berkaitan dengan kesehatan narapidana dan Anak didik pemasyarakatan baik
mengenai perawatan rohani dan jasmani, pelayanan kesehatan dan makanan.
Pemenuhan hak atas kesehatan merupakan hak bagi tiap orang termasuk
anak pidana untuk meningkatkan derajat kesehatan yang optimal. Dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan optimal, setiap orang mempunyai hak atas
pelayanan kesehatan serta hak yang berkaitan dengan pemenuhan kesehatan.
Anak Didik Pemasyarakatan juga merupakan anak, yang harus diperhatikan
perkembangan fisik dan mentalnya dikarenakan anak merupakan penerus cita-cita
perjuangan bangsa yang berhak atas derajat kesehatan optimal sebagai hak
asasinya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas masalah pemenuhan
hak kesehatan Anak Didik Pemasyarakatan, sehingga tulisan ini diberi judul
“PEMENUHAN HAK ATAS KESEHATAN ANAK DIDIK
PEMASYARAKATAN (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan
di atas maka perumusan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perlindungan hak atas kesehatan Anak Didik Pemasyarakatan
menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia?
2. Bagaimana pemenuhan hak atas kesehatan Anak Didik Pemasyarakatan di
Lembaga Pemasyarakatan Anak kelas IIA Tanjung Gusta Medan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana diuraikan di atas, tujuan dari
penulisan karya ilmiah ini adalah :
1. Untuk mengetahui perlindungan hak atas kesehatan Anak Didik
Pemasyarakatan menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia
2. Untuk mengetahui pemenuhan hak atas kesehatan Anak Didik
Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Anak kelas IIA Tanjung
Gusta Medan
D. Manfaat Penulisan
Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, penulisan ini
diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan skripsi ini dapat menambah khasana ilmu pengetahuan Hukum
Pidana khususnya mengenai pemenuhan hak atas kesehatan anak didik
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum, praktis hukum
dan Lembaga Pemasyarakatan Anak Medan mengenai pemenuhan hak
atas kesehatan anak didik pemasyarakatan
b. Sebagai bahan masukan bagi instansi yang terkait khususnya
Direktorat Jendral Pemasyarakatan tentang pemenuhan hak atas
kesehatan anak didik pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan
Anak Tanjung Gusta Medan.
E. Keaslian Penulisan
Karya ilmiah ini adalah asli karya penulis sendiri, setelah berdasarkan
penelusuran terhadap judul dan hasil penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya, khususnya di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana, tidak ada yang
melakukan penelitian mengenai permasalahan ini. Dengan demikian karya ilmiah
(skripsi) berjudul PEMENUHAN HAK ATAS KESEHATAN ANAK DIDIK
PEMASYARAKATAN (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung
Gusta Medan) merupakan karya asli penulis dan bukan hasil ciptaan dari orang
lain atau hasil meniru karya ilmiah orang lain.
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Perlindungan Hak Anak sebagai Hak Asasi Manusia
Istilah HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan suatu istilah baru, dan
menjadi bahasa sehari-hari semenjak Perang Dunia ke II dan pembentukan
dalam Piagam PBB meskipun dalam ketentuan yang kurang spesifik dan tanpa
menyebutkan hal yang terkait. Dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa,
perlindungan hak-hak asasi manusia diolah lebih lanjut dalam sejumlah konvensi
dan deklarasi.15Dalam dunia global ini, hampir di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang mulai memahami akan pentingnya keterlibatan
terhadap persoalan HAM. Lebih dari itu dengan semakin meluasnya liberalisasi
dan demokratisasi politik, semakin banyak pula pemerintahan yang
mengupayakan terciptanya perlindungan HAM di negeri masing-masing.16
HAM adalah hak seorang manusia yang sangat asasi dan tidak bisa
diintervensi oleh manusia di luar dirinya atau oleh kelompok atau oleh
lembaga-lembaga manapun untuk meniadakannya. HAM, pada hakekatnya telah ada sejak
seorang manusia masih berada dalam kandungan ibunya hingga ia lahir dan
sepanjang hidupnya hingga pada suatu saat ia meninggal dunia.17
Pengertian Hak Asasi menurut Pasal 1 Undang-undang No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. Untuk memperdalam pengertian
HAM maka perlu dikutip pertimbangan dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang
15
Peter Baehr, dkk, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996, hlm. 17
16
M. Afif Hasbullah, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia (Upaya Mewujudkan Masyarakat Yang Demokratis), Lamongan, Jatim: Universitas Islam Darul Ulum Lamongan bekerjasama dengan Pustaka Belajar, 2005, hlm. 1
17
Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berbunyi: “Bahwa Hak Asasi Manusia
merupakan hak dasar secara kodrati melekat pada diri manusia bersifat universal
dan langgeng oleh karena itu harus dilindungi, dihormati dan tidak boleh
diabaikan”.
Perlindungan HAM memiliki sejarah panjang yang dimulai dari martabat
alamiah dan hak-hak kemanusiaan yang sama dan tidak dapat dicabut. Pengakuan
martabat dan hak-hak tersebut merupakan dasar kemerdekaan, keadilan, dan
perdamaian dunia. Kita melihat HAM sebagai sesuatu yang vital untuk menjaga
kehidupan manusia tetap manusiawi dan menjaga hak yang paling berharga, yaitu
hak untuk menjadi manusia. Hak-hak tersebut melekat pada diri setiap manusia,
bahkan membentuk harkat manusia itu sendiri sebagaimana ditegaskan dalam
pembukaan UDHR: “...dan untuk mengkonfirmasi keyakinan terhadap HAM,
dalam kehormatan manusia, dalam persamaan hak setiap laki-laki, dan
perempuan, dan negara-negara baik besar maupun kecil...” (and toreaffirmfaith in
fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person, in the
equal rights of men and women and of nations large andsmall).18
Hak asasi di suatu negara berbeda dengan di negara lain dalam hukum dan
praktek penegakan hukumnya maupun dalam bentuk perlindungan dan
pelaksanaan hukumnya. Hak asasi yang perlu ditegakkan itu haruslah disertai
dengan perlindungan hukum baik dalam bentuk undang-undang atau peraturan.19 Dalam konteks nasional persoalan perlindungan HAM amat penting dalam
hukum, terutama erat kaitannya dengan peranan pemerintah sebagai
18
O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Bandung: P.T. Alumni, 2006, hlm. 5
19
penyelenggara dalam melindungi hak-hak rakyatnya. Besar tidaknya negara
menyediakan instrumen hukum terhadap persoalan HAM minimal diukur dengan
banyaknya regulasi tentang HAM, baik berupa undang-undang maupun konvensi
internasional tentang HAM yang telah diratifikasi dan diimplementasikan pada
suatu negara.20 Anak yang merupakan bagian dari suatu negara dan termasuk sebagai anggota masyarakat internasional juga memiliki hak-hak yang wajib
dilindungi oleh negara sebagai suatu Hak Asasi Manusia dengan membentuk
peraturan perundang-undangan yang menjamin serta melindungi hak anak sebagai
suatu HAM. Anak
Dalam hukum Indonesia terdapat pluralisme mengenai kriteria anak, hal
ini disebabkan karena tiap peraturan perundang-undangan memberikan kriteria
tersendiri tentang anak sehingga tidak adanya keseragaman dalam memberikan
kriteria tentang anak.21
Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian “Anak” dimata hukum
positif22 Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang di bawah umur/keadaan di bawah
umur (minderjarigheid)/ inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang
dibawah pengawasan wali (minderjarige ondervoordij). Bertitik tolak kepada
aspek tersebut di atas ternyata hukum positif Indonesia (ius constitutum/ ius
20
M. Afif Hasbullah, Op.Cit. hlm. 2 21
Darwan prinst, Hukum Anak Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 2 22
Syamsul Arifin, Mohammad Siddik, dan Fajar Khaify Rizki, Pengantar Falsafah Hukum, Bandung: Citapustaka Media, 2014, hlm. 83 , Hukum positif adalah hukum yang berlaku dalam suatu daerah dan waktu tertentu dan disebut juga “ius-constitutum” (hukum yang seharusnya ditaati/ dipatuhi oleh masyarakat pada suatu waktu dan di suatu daerah, dan hukum yang dalam kenyataannya benar-benar ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat (hukum yang hidup/
operatum) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku
universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak.23 Apabila dijabarkan, pengertian anak menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia
adalah sebagai berikut :
1. Anak menurut Hukum Adat
Pengertian tentang anak yang diberikan oleh hukum adat, adalah
bahwa anak dikatakan dibawah umur (minderjarigheid) apabila
seseorang berada dalam keadaan dikuasai oleh orang lain yaitu jika
tidak dikuasai oleh orang tuanya maka dikuasai oleh walinya
(voogd).24
2. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU No.11 Tahun
2012) Pasal 1 angka (3) merumuskan, bahwa anak adalah Anak yang
telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun.
3. Anak dalam Hukum Perburuhan
Pasal 1 angka (1) Undang-undang Pokok Perburuhan (UU No. 12
Tahun 1948) mendefinisikan, anak adalah orang laki-laki atau
perempuan berumur 14 (empat belas) tahun ke bawah.
4. Anak/orang yang belum dewasa menurut KUHP
23
Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia, Teori, Praktek dan Permasalahannya,
Bandung: Mandar Maju, 2005, hlm. 3-4 24
Pasal 45 KUHP memberikan defenisi anak yaitu orang yang belum
dewasa dan belum berumur 16 (enam belas) tahun.
5. Anak menurut Hukum Perdata
KUH Perdata dalam Pasal 330 mengatakan, orang yang belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu)
tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
6. Anak menurut Undang-Undang Perkawinan
Pasal 7 angka (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyebutkan, seorang pria hanya diizinkan melangsungkan
perkawinan apabila umurnya telah mencapai 19 (sembilan belas) tahun
dan wanita telah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
7. Anak menurut Undang-Undang Kesejahteraan Anak
Pasal 1 angka (2) UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu)
tahun dan belum pernah kawin.
8. Anak dalam Konvensi Hak Anak (Convention On The Right Of Child )
Konvensi Hak Anak (KHA)/(Convention On The Right Of Child )
yang disetujui oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November
1989, mendefinisikan “anak” yaitu “semua manusia yang berumur
dibawah 18 (delapan belas) tahun dan dalam KHA bayi dalam
kandungan termasuk dalam kategori anak.
9. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 jo UU No.35 Tahun 2014 tentang
Pasal 1 butir 1 Undang-undang Perlindungan Anak menyatakan bahwa
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
dan anak yang masih dalam kandungan juga termasuk dalam kategori
anak
10.Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menentukan
batas usia anak adalah 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin.
11.Anak dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995
Dalam Pasal 1 butir (8) UU No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan memberikan pengertian anak sebagai seseorang yang
belum mencapai usia 18 tahun.
Anak sebagai seseorang yang masih dalam pertumbuhan serta masih
berada dalam penguasaan orang tua belum memiliki kematangan fisik serta
mental seperti orang dewasa sehingga negara wajib memberikan perhatian serta
perlindungan mengingat anak merupakan manusia yang rentan terhadap kekerasan
dan diskriminasi.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki perhatian terhadap
perlindungan anak sebagai bentuk perlindungan HAM bagi anak untuk menjamin
tumbuh dan perkembangan anak baik secara jasmani, rohani maupun sosial. Salah
satu bukti keseriusan Indonesia dalam memperhatikan dan mensejahterahkan anak
sebagai bentuk perlindungan hak asasi anak yaitu membentuk peraturan
perundang-undangan yang menjamin dan melindungi hak anak serta ikut
meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hak-hak Anak
satu negara yang paling awal meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak mempunyai
kewajiban hukum internasional untuk menyerapnya ke dalam hukum nasional dan
mengintegrasikannya ke dalam norma hukum positif nasional sehingga berlaku
dan memiliki kekuatan hukum mengikat ke dalam.25
Adapun komitmen perlindungan yang dilakukan negara Indonesia sebagai
bentuk perlindungan terhadap hak anak sebagai suatu HAM yaitu dengan
membentuk peraturan perundang-undangan serta meratifikasi instrumen
internasional mengenai hak-hak anak diantaranya:
1. Dalam Konvensi Hak Anak yaitu sebuah konvensi atau kesepakatan yang
disusun khusus tentang perlindungan terhadap kesejahteraan anak-anak yang
mengandung misi penegasan hak-hak anak, perlindungan anak oleh negara,
peran serta berbagai pihak (masyarakat, negara, swasta) dalam menjamin
penghormatan hak-hak anak.26 Dalam hal ini Indonesia telah meratifikasi konvensi ini dengan Keppres No. 36 tahun 1990 dengan kata lain dengan
meratifikasi konvensi ini maka negara Indonesia wajib untuk:
1. Memberikan perlindungan kepada anak terhadap perlakuan diskriminasi
atau hukuman
2. Memberikan perlindungan dan perawatan seperti untuk kesejahteraan,
keselamatan dan kesehatan
3. Menghormati tanggungjawab hak dan kewajiban orang tua dan keluarga
4. Mengakui hak hidup anak, serta kewajiban negara menjamin
perkembangan dan kelangsungan hidup anak
25
Muhammad Joni dan Zulchaina Z, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1999 , hlm.3-4
26
5. Memberikan kepada anak haknya untuk memperoleh kebangsaan, nama
serta untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya
6. Memberikan kepada anak haknya untuk memelihara jati diri termasuk
kebangsaan, nama dan hubungan keluarga
7. Memberikan kebebasan menyatakan pandangan/pendapat
8. Memberikan kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama
9. Memberikan kebebasan untuk berhimpun, berkumpul, dan berserikat
10.Memberikan informasi dan beraneka ragam sumber yang diperlukan
11.Orang tua bertanggung jawab untuk membesarkan dan membina anak,
negara mengambil langkah membantu orang tua yang bekerja agar anak
mendapatkan perawatan dan fasilitas
12.Memberikan perlindungan akibat kekerasan fisik, mental,
penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan salah (eksploitasi) serta
penyalahgunaan seksual
13.Memberikan perlindungan hukum terhadap gangguan (kehidupan pribadi,
keluarga, surat menyurat atas serangan yang tidak sah
14.Memberikan perlindungan kepada anak yang tidak mempunyai orang tua
menjadi kewajiban negara
15.Memberikan perlindungan kepada anak yang menjadi status pengungsi
16.Memberikan kepada anak cacat haknya mendapat perawatan khusus
17.Memberikan pelayanan kesehatan
19.Memberikan kepada anak hak atas taraf hidup yang layak bagi
pengembangan fisik, mental dan sosial
20.Memberikan kepada anak hak atas pendidikan
21.Memberikan kepada anak haknya untuk beristirahat dan bersenang-senang
untuk terlibat dalam kegiatan bermain, berekreasi dan seni budaya
22.Memberikan kepada anak haknya atas perlindungan eksploitasi
23.Memberikan perlindungan dari penggunaan obat terlarang
24.Memberikan perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi seksual
25.Memberikan perlindungan terhadap penculikan dan penjualan atau
perdagangan anak
26.Melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi terhadap segala aspek
kesejahteraan anak
27.Membuat larangan penyiksaan, hukuman yang tidak manusiawi
28.Memberikan suatu hukum acara peradilan anak
29.Memberikan kepada anak bantuan hukum baik di dalam pengadilan
maupun di luar pengadilan
2. UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak juga mencantumkan Bab
khusus tentang Hak Anak yang terdiri dari beberapa pasal yaitu :
a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan
dalam keluarga maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan
perkembangan anak dengan wajar
b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan
c. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungannya baik dalam
kandungan maupun sesudah dilahirkan
d. Anak berhak atas lingkungan hidup yang baik agar tidak
membahayakan dan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak
e. anak berhak atas pertolongan dan perlindungan pertama sekali ketika
dalam keadaan yang membahayakan
f. anak berhak atas asuhan oleh negara atau orang atau badan apabila
tidak memiliki orangtua
g. anak yang tidak mampu berhak atas bantuan agar dalam lingkungan
keluarganya dia dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar
h. anak yang mengalami masalah kelakuan, serta anak yang berdasarkan
putusan hakim dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum
berhak atas pelayanan dan asuhan yang berguna untuk mengatasi
hambatan yang terjadi dalam pertumbuhan dan perkembangannya
i. anak cacat berhak atas pelayanan khusus untuk memcapai tingkat
pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuannya
j. setiap anak tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, suku, agama,
kedudukan sosial, politik berhak atas bantuan dan pelayanan yang
mewujudkan kesejahteraannya
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga memberikan perlindungan terhadap
anak seperti:27
1. Perlindungan anak dari tindak pidana
27
a. Menjaga kesopanan anak
b. Larangan bersetubuh dengan orang yang belum berusia 15 (lima belas)
tahun
c. Larangan berbuat cabul dengan anak di bawah usia 15 (lima belas)
tahun
d. Larangan menculik anak di bawah usia 21 (dua puluh satu) tahun
e. Larangan menyembunyikan orang belum dewasa 21 (dua puluh satu)
tahun
f. Larangan melarikan perempuan yang belum berusia 21 (dua puluh satu)
tahun
g. Larangan menggugurkan kandungan
h. Larangan membunuh anak
2. Larangan mempekerjakan anak
4. Hak-hak anak yang dilindungi juga diatur dalam Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 jo UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak meliputi :
a. Hak hidup, tumbuh, berkembangan, berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapatkan perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
b. Hak atas nama dan identitas diri dan status kewarganegaraan
c. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berekspresi dan berpikir
d. Hak untuk mengetahui orang tuannya dan dibesarkan serta diasuh pihak
lain apabila karena sesuatu hal orang tuanya tidak mampu
e. Hak memperoleh pelayanan kesehatan jasmani, rohani, jaminan sosial
sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritual dan sosial.
f. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran
g. Hak untuk didengar pendapatnya, menerima serta mencari informasi
h. Hak berekreasi, istirahat, memanfaatkan waktu luang , bergul dengan
teman sebaya, dan bagi yang cacat mendapatkan rehabilitasi, bantuan
sosial dan memelihara taraf kesejahteraan sosial
i. Dalam pengasuhan, anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan
diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi atau seksual, penelantaran,
kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidak adilan, perlakuan salah
lainnya
j. Hak untuk diasuh orang tuanya sendiri, kecuali apabila ada aturan hukum
yang meniadakannya.
k. Hak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan
politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kekerasan
sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan dan
pelibatan dalam peperangan.
l. Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan
atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, hak memperoleh
kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan, atau hukuman
penjara hanya dapat dilakukan sesuai hukum dan merupakan upaya
m. Anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan yang
manusiawi dan penempatannya dipisah dari orang dewasa, memperoleh
bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif , berhak membela diri
dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan
tidak memihak.
n. Anak menjadi korban berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan
lainnya.
2. Pemasyarakatan dan Anak Didik Pemasyarakatan
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan terhadap
Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara
pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata
peradilan pidana. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa inti dari
pemasyarakatan adalah pembinaan terhadap narapidana dan anak didik
pemasyarakatan agar nantinya dapat kembali ke masyarakat dengan baik. Untuk
dapat melakukan pembinaan itu diperlukan suatu sistem, yang dinamakan sistem
pemasyarakatan.28 Pemasyarakatan merupakan tujuan dari pemenjaraan yaitu memperlakuan narapidana dengan cara pemasyarakatan atau memberikan
pembinaan serta bimbingan bagi narapidana/anak didik pemasyarakatan.29 Pemasyarakatan adalah suatu sistem perlakuan terhadap narapidana dengan tidak
memberikan pembalasan yang setimpal kepada narapidana/anak didik
28
Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta: Djambatan, 2005, hlm. 113 29
pemasyarakatan berupa hukuman tindakan keras sebagai pembalasan atas
kejahatan yang telah diperbuatnya.30
Pada awalnya, penjatuhan hukuman penjara kepada pelaku tindak pidana
merupakan upaya balas dendam kepada pelaku tindak pidana untuk melindungi
masayarakat, agar masyarakat terlindung dari tindak pidana yang dilakukan oleh
penjahat. Dalam praktek kepenjaraan, terpidana benar-benar merasakan unsur
penyiksaan antara lain tidak diperhatikannya masalah kesehatan, pendidikan,
makanan dan pekerjaan, dan lain sebagainya. Bahkan unsur perlakuan yang tidak
manusiawi juga bukan menjadi hal yang aneh.31Sekitar abad 18 diawal abad 19, John Howard yang dikenal sebagai bapak pembaharu kepenjaraan, prihatin
melihat keadaan penjara, perlakuan terhadap narapidana hingga pada akhirnya
perjuangan John Howard membuahkan hasil dan mendapat sambutan baik dari
berbagai pihak. John Howard berpendapat bahwa narapidana harus diperlakukan
sebagai manusia yang perlu dibina agar kelak setelah habis masa pidananya, dapat
kembali ke masyarakat dengan lebih baik. Pembinaan yang dilakukan meliputi
pembinaan fisik, mental, pendidikan umum, kesehatan, dan sebagainya. Pada
tahun-tahun berikutnya banyak para ahli hukum, filsafat, kriminologi, sosiologi,
paedagogi yang ikut mengembangkan tujuan pemidanaan.
Di Indonesia tujuan perlakuan terhadap narapidana mulai nampak sejak
tahun 1964, setelah Dr. Sahardjo, S.H. mengemukakan pandangannya dalam
Konferensi Kepenjaraan di Lembang Bandung. Bertolak dari pandangan Dr.
Sahardjo, S.H. tentang hukum sebagai penganyom, hal ini membuka jalan
30
Bachtiar Agus Salim, Pidana Penjara dalam Stelsel Pidana di Indonesia, Medan: USU Press, 2009, hlm. 90-91
31
perlakuan terhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan pidana
penjara. Kemudian konsep pemasyarakatan tersebut disempurnakan oleh
Keputusan Konferensi Dinas Para Pimpinan Kepenjaraan pada tanggal 27 April
1964 yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan
dengan sistem pemasyarakatan. Adapun prinsip-prinsip untuk bimbingan dan
pembinaan sistem pemasyarakatan berdasarkan 10 rumusan yaitu:32
1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal
hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat.
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara
3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan
bimbingan
4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih
jahat daripada sebelum ia masuk lembaga
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan
kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi
waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara
saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara
7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila
8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia
meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana
bahwa ia itu penjahat
32
9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan
10.Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan
pelaksanaan sistem pemasyarakatan.
Pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara dalam pelaksanaannya
diharapkan tidak hanya mempermudah reintegrasi narapidana dengan masyarakat,
tetapi juga menjadikan narapidana menjadi warga masyarakat yang mendukung
keterbatasan dan kebaikan dalam masyarakat mereka, menjadi manusia seutuhnya
yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:33Menjadi anggota masyarakat yang berguna, aktif, dan produktif, berbahagia di dunia dan akhirat. Ada tiga hal
penting yang harus diperhatikan dan dipahami terlebih dahulu dalam
melaksanakan pemasyarakatan yaitu:
a. bahwa proses pemasyarakatan diatur dan dikelola dengan semangat
pengayoman dan pembinaan bukan pembalasan dan penjaraan
b. bahwa proses pemasyarakatan mencakup pembinaan narapidana di dalam
dan di luar lembaga (intramural dan ekstramural)
c. proses pemasyarakatan memerlukan partisipasi, keterpaduan dari para
petugas pemasyarakatan pada narapidana dan anak didik pemasyarakatan
serta anggota masyarakat umum.
Dalam rangka mewujudkan sistem pemasyarakatan, pemerintah berusaha
mengganti secara keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang masih
mendasarkan pada sistem kepenjaraan dengan peraturan yang berdasarkan nilai
Pancasila dan UUD 1945, maka pada tanggal 30 Desember 1995 dibentuklah UU
33
pemasyarakatan yaitu UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang
terdiri dari 8 bab dan 54 pasal.34
Pelaksanaan pidana penjara dengan Sistem Pemasyarakatan di Indonesia
saat ini mengacu pada UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam
Pasal 1 ayat 2 Undang- undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
Pemasyarakatan adalah kegiatan pembinaan warga binaan pemasyarakatan (WBP)
berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian
akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Dalam pasal ini ada 3
unsur penting dalam pemasyarakatan yaitu sistem, lembaga serta cara pembinaan.
Pemasyarakatan sebagai tujuan sistem pemenjaraan di Indonesia
dilaksanakan berdasarkan sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan adalah
suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan
pemasyarakatan (WBP) berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan terpadu antara
pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan
pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara
wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.35Lembaga Pemasyarakatan adalah unit pelaksanaan bidang pemasyarakatan dalam
lingkungan Departemen Kehakiman yang memiliki tugas untuk melaksanakan
pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di dalam
Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan pembinaan narapidana dan anak didik
34
Ibid, hlm. 125 35
pemasyarakatan yang dilaksanakan di luar lembaga pemasyarakatan ditugaskan
kepada Balai Bimbingan Pemasyarakatan (BISPA).36
Sistem Pemasyarakatan juga memiliki fungsi untuk menyiapkan warga
binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat,
sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan
bertanggung jawab. Berintegrasi dimaksud adalah pemulihan kesatuan hubungan
antara warga binaan pemasyarakatan dengan masyarakat. Sistem Pemasyarakatan
tidak hanya menjadikan narapidana dan anak didik pemasyarakatan sebagai objek
melainkan sebagai subjek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya yang
sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan
pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah
faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan
dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang
dapat dikenakan pidana. Adapun pelaksanaan Sistem pemasyarakatan yaitu
didasarkan pada beberapa hal, sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 UU No. 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa sistem pembinaan pemasyarakatan
dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Pengayoman
Adalah perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka
melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh
Warga Binaan Pemasyarakatan, serta memberi bekal hidup kepada Warga
36
Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam
masyarakat.
b. Persamaan perlakuan dan pelayanan
Adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan
Pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan
c. Pendidikan
Penyelenggara pendidikan dan pembimbingan dilaksanakan berdasarkan
Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan,
pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.
d. Pembimbingan
Bimbingan yang diberikan kepada Warga Binaan Pemasyarakatan
dilaksanakan berdasarkan Pancasila.
e. Penghormatan harkat dan martabat manusia
Sebagai orang yang tersesat, Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap
diperlakukan sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat yang harus
dijunjung tinggi dan dihormati serta dilindungi haknya.
f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan Kehilangan
kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan yang mana Warga Binaan
Pemasyarakatan harus berada dalam Lapas untuk jangka waktu tertentu,
sehingga memiliki waktu untuk memperbaikinya. Dalam Lapas, seluruh
Warga Binaan Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya layaknya
memperoleh perawatan kesehatan, makanan, minuman, pakaian, tempat tidur,
latihan , keterampilan, olah raga, atau rekreasi.
g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang
tertentu.Yang dimaksud dengan hak untuk tetap berhubungan dengan
keluarga dan orang-orang tertentu adalah meskipun Warga Binaan
Pemasyarakatan berada di Lapas, namun harus tetap didekatkan dan
dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat,
antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan
ke dalam Lapas dari anggota masyarakat yang bebas dan kesempatan
berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi
keluarga.
Upaya mewujudkan pelaksanaan UU No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, Pemerintah RI mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga
Binaan Pemasyarakatan pada tanggal 19 Mei 1999. Dalam Peraturan Pemerintah
ini dijelaskan bagaimana proses pembinaan serta pembimbingan pemasyarakatan.
Adapun program pembinaan serta pembimbingan yang dilakukan adalah meliputi
kegiatan pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian.
Pelaksanaan program pembinaan merupakan program yang diperuntukkan bagi
narapidana dan anak didik pemasyarakatan sedangkan program pembimbingan
dilaksanakan bagi klien pemasyarakatan. Adapun pembinaan dan pembimbingan
kepribadian dan kemandirian yang dimaksud meliputi hal-hal yang berkaitan
a. ketaqwaan kepata Tuhan Yang Maha Esa
b. kesadaran berbangsa dan bernegara
c. intelektual
d. sikap dan perilaku
e. kesehatan jasmani dan rohani
f. kesadaran hukum
g. reintegrasi sehat dengan masyarakat
h. keterampilan kerja, dan
i. latihan kerja dan produksi
berhubungan dengan pelaksanaan program pembinaan kepada narapidana
dan anak didik pemasyarakatan dilaksanakan melalui tiga tahapan yaitu tahap
awal, tahap lanjutan, dan tahap akhir seperti diatur dalam Pasal 7 PP No 31 Tahun
1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Pelaksanaan pentahapan yang dimaksud dalam pasal 7 PP No. 31 Tahun 1999
tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
selengkapnya diatur dalam pasal 9 PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai berikut:
1. Pembinaan tahap awal bagi narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan
1/3 (satu per tiga) dari masa pidananya.
2. Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7
a. tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal
sampai dengan ½ (satu per dua) dari masa pidana
b. tahap lanjutan kedua sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan
pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana.
3. Pembinaan tahap akhir sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7
dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya
masa pidana dari narapidana yang bersangkutan. Dan pentahapan pembinaan
tahap awal, lanjutan dan akhir yang dimaksud ditetapkan melalui sidang Tim
Pengamat Pemasyarakatan.
Dalam pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan yang diatur dalam PP
No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan yang menjadi objek dari pembinaan dan pembimbingan tersebut
yaitu warga binaan pemasyarakatan. Warga binaan pemasyarakatan yang
dimaksud yaitu Anak Didik Pemasyarakatan dan Narapidana. Sebenarnya
narapidana dan anak didik pemasyarakatan, pada dasarnya sama, karena mereka
sama-sama orang yang dipidana oleh pengadilan dan menghuni di Lapas. Akan
tetapi Undang-Undang Pemasyarakatan tampak menghendaki perbedaannya.
Meskipun undang-undang tidak memberi penjelasan, dapat diketahui bahwa
istilah anak didik pemasyarakatan diberikan untuk terpidana anak. Tidak
digunakan istilah narapidana untuk anak, akan tetapi menggunakan istilah anak
didik pemasyarakatan, karena dipengaruhi gaya bahasa eufemismus. Dengan
menggunakan ungkapan anak didik pemasyarakatan tersebut merupakan
menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan
bagi anak.37
Anak Didik Pemasyarakatan sebagaimana yang diuraikan dalam ketentuan
Pasal 1 angka 8 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan terdiri dari Anak
Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil.
a. Anak Pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan
menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18
(delapan belas) tahun.
b. Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan
diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak
paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun
c. Anak Sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua ataupun
walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas
Anak.
3. Hak-Hak Anak Didik Pemasyarakatan
Anak Didik Pemasyarakatan (Anak Pidana) adalah anak yang berdasarkan
putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling
lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun berdasarkan ketentuan Pasal 1
angka 8 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Meskipun anak pidana
sebagai seseorang yang dijatuhi hukuman akibat dari perbuatannya dan menjalani
hukuman di dalam Lapas Anak, namun anak pidana juga masih memiliki hak-hak
yang harus dilindungi dan dipenuhi.
37
Anak pidana yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak berhak
untuk memperoleh pendidikan dan latihan baik formal maupun informal sesuai
dengan bakat dan kemampuannya, serta berhak memperoleh hak-haknya sesuai
dengan yang diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan.38 Adapun hak-hak Anak Pidana diatur dalam Pasal 22 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pembinaan
dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan yaitu:
1. Berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya
2. Berhak mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani
3. Berhak mendapat pendidikan dan pengajaran
4. Berhak mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
5. Berhak menyampaikan keluhan
6. Berhak mendapat bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang
7. Berhak menerima kunjungan keluarga,penasihat hukum, atau orang tertentu
lainnya
8. Berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
9. Berhak mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga
10.Berhak mendapatkan pembebasan bersyarat
11.Berhak mendapatkan cuti menjelang bebas
12.Berhak mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
38
Anak pidana merupakan anak yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan
negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara
tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas keberlangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Terkait masalah keberlangsungan hidup, tumbuh dan berkembang anak
pidana, maka anak pidana perlu mendapatkan perhatian khusus terhadap
kesehatan anak baik fisik maupun mental anak. Sebab harus disadari bahwa hak
atas derajat kesehatan yang optimal bagi setiap rakyat termasuk anak pidana
merupakan sebagi salah satu jenis HAM yang telah diakui dalam aturan hukum
Nasional Indonesia.39 Dalam UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan juga menjamin hak yang berkaitan dengan kesehatan anak pidana diantaranya adalah
berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, berhak
mendapatkan perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani, berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. Selaian itu dalam
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan juga jelas disebutkan dalam
Ketentuan Umum bahwa pelayanan kesehatan adalah upaya promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif, di bidang kesehatan bagi Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan di LAPAS. Jelas bahwa hak terkait kesehatan Anak Didik
39
Pemasyarakatan (Anak Pidana) sangat penting dan berpengaruh dalam
keberlangsungan hidup anak, dan tumbuh kembangnya.
G. Metode Penelitian
Berkenaan dengan ruang lingkup karya tulis ini, metode penelitian yang
digunakan untuk karya tulis ini adalah metode penelitian hukum yaitu suatu
kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu
yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu,
dengan jalan menganalisanya dan kecuali itu maka juga diadakannya pemeriksaan
yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, kemudian mengusahakan suatu
pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang
bersangkutan.40 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah jenis penelitian yuridis empiris
atau lapangan (field research) , jenis penelitian ini menunjukkan peneliti
untuk mendapatkan data primer dan mengidentifikasi hukum sebagai perilaku
yang mempola. Pendekatan ini ditujukan untuk memperoleh keterangan,
penjelasan, dan data mengenai pemenuhan hak atas kesehatan anak didik
pemasyarakatan dan melihat secara langsung bentuk penerapannya di
Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta Medan.
2. Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel
a. Lokasi Penelitian
40
Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta
Medan.
Alasan dari pemilihan Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta
Medan karena:
1. satu-satunya lembaga pemasyarakatan atau unit pelaksanaan teknis
Pemasyarakatan Anak di Wilayah Sumatera Utara yang
melaksanakan pendidikan dan pembinaan terhadap anak serta
memenuhi hak anak didik pemasyarakatan.
2. lembaga tersebut memenuhi syarat untuk dijadikan lokasi penelitian
mengingat anak merupakan generasi penerus perjuangan dan cita-cita
bangsa dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
keberlangsungan sebuah bangsa dan negara.
b. Populasi
populasi dari penelitian ini adalah seluruh anak pidana di Lembaga
Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta Medan
c. Sampel
teknik penarikan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sampel random sederhana ( simple random sampling) yaitu pemilihan
sampel yang diambil secara acak atau sembarang dari unsur populasi
artinya setiap unsur populasi mempunyai kemungkinan yang sama untuk
dapat dipilih sebagai sampel. Sampel yang dipilih dalam penelitian ini
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
melalui:
a. daftar pertanyaan (Quistionare), pengumpulan data dengan cara
dilakukan dalam bentuk daftar pertanyaan baik bersifat tertutup
maupun terbuka yang diisi oleh anak pidana.
b. wawancara merupakan cara pengumpulan data yang dilakukan dengan
mengajukan pertanyaan langsung kepada reponden yang berpedoman
pada dasar pertanyaan yang disiapkan. Wawancara dilakukan melalui
tanya jawab dengan pejabat struktural, staf serta anak didik
pemasyarakatan di Lapas Anak Tanjung Gusta Medan.
c. studi dokumentasi adalah cara memperoleh data dengan
mengumpulkan semua informasi yang sudah ada, berkaitan dengan
permasalahan penelitian dari sumber-sumber terkait.
4. Sumber Data
1) Data Sekunder yang terdiri dari:
a. bahan hukum primer, bahan hukum yang isinya mengikat karena
dikeluarkan oleh pemerintah atau negara yaitu peraturan
perundang-undangan.
b. bahan hukum sekunder, bahan hukum yang berasal dari bahan-bahan
yang isinya memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer
dan dapat membantu membatu menganalisis, seperti: buku-buku,
c. bahan hukum tersier,bahan hukum yang memberikan penjelasan
bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti: catatan
kuliah, kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ensiklopedi,
dan sebagainya
2) Data Primer
Sebagai penunjang bagi data sekunder tersebut, penelitian ini juga
membutuhkan data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari
lapangan. Data yang dimaksud adalah data yang diperoleh dari
wawancara dengan staf, pejabat struktural serta anak pidana di Lapas
Anak Tanjung Gusta Medan.
5. Analisis Data
Data-data yang telah terkumpul baik data primer dan sekunder selanjutnya
diolah dan dianalisa secara normatif, logis, dan sistematis dengan
menggunakan data kualitatif dan dipaparkan secara deskriptif. Hal ini
dilakukan untuk mendapatkan pemahaman dari objek yang diteliti sesuai
dengan perumusan masalah yaitu mengenai pemenuhan hak atas kesehatan
anak didik pemasyarakatan di Lapas Anak Tanjung Gusta Medan. Pengolaan
data secara kualitatif dan memaparkan secara deskriptif akhirnya diperoleh
suatu kesimpulan bahwa penelitian akan memperoleh hasil yang benar dan
akurat untuk menjawab permasalahan. Dengan pemaparan secara deskriptif,
maka penelitian ini mampu menjelaskan pelaksanaan pemenuhan hak atas
H. Sistematika Penulisan
Secara sistematis, skripsi ini terbagi menjadi 4 (empat) bab dan tiap bab
dibagi atas beberapa sub bab yang dapat diperinci sebagai berikut:
BAB I : Bab Pendahuluan yang terdiri atas Latar Belakang, Perumusan
Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian
Penulisan, Tinjauan Kepustakaan (terdiri atas 3 (tiga) sub bab
yaitu Perlindungan Hak Anak sebagai Hak Asasi Manusia,
Pemasyarakatan dan Anak Didik Pemasyarakatan, serta Hak-hak
Anak Didik Pemasyarakatan, Metode Penelitian, Sistematika
Penulisan.
BAB II : Bab ini membahas mengenai perlindungan hak atas kesehatan
Anak Didik Pemasyarakatan menurut Peraturan Perundang
Undangan di Indonesia. Dalam bab ini diuraikan mengenai hak
atas kesehatan Anak Didik Pemasyarakatan yang terdapat dalam
2 (dua) Undang-Undang, 1 (satu) Peraturan Pemerintah dan 1
(satu) Peraturan Menteri terkait dengan hak atas kesehatan serta
penyelenggaraan hak atas kesehatan Anak Didik
Pemasyarakatan.
BAB III : Bab ini membahas mengenai Pemenuhan Hak atas Kesehatan
Anak Didik Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Anak
Tanjung Gusta Medan. Dalam bab ini diuraikan menjadi 5
(lima) sub bab yaitu membahas mengenai Gambaran Umum
dalam sub bab ini terdapat sub sub bab mengenai sejarah, visi
misi dan moto, struktur dan gambaran fisik serta jumlah
penghuni Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta
Medan, Pemenuhan hak berkaitan dengan kesehatan Anak Didik
Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung
Gusta Medan, Pembinaan yang berkaitan dengan kesehatan
Anak Didik Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Anak
Tanjung Gusta Medan, Kendala dalam pemenuhan hak atas
kesehatan Anak Didik Pemasyarakatan, serta Upaya yang
dilakukan dalam mengatasi kendala dalam pemenuhan hak atas
kesehatan Anak Didik Pemasyarakatan.
BAB IV : Bab ini terdiri atas 2 (dua) sub bab yaitu kesimpulan dan saran.
Sub bab kesimpulan berisi mengenai kesimpulan terhadap
bab-bab yang telah dibahas sebelumnya secara keseluruhan dan sub
bab saran berisi mengenai saran yang diberikan penulis terhadap