• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKTOR PERTANIAN DALAM KONTEKS AWAL PEMB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEKTOR PERTANIAN DALAM KONTEKS AWAL PEMB"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

SEKTOR PERTANIAN DALAM KONTEKS AWAL PEMBANGUNAN EKONOMI JEPANG

Akhmad Daerobi*

I. PENGANTAR

Jepang pada pertengahan abad ke-19, merupakan Negara yang sama terbelakangnya dengan setiap negara Asia lainnya. Clifford Geertz (1963), seorang antropolog Amerika, menyatakan bahwa Jepang sama dengan Jawa dalam beberapa hal pada pertengahan abad kesembilan belas: kedua-duanya berpenduduk banyak, keduanya melakukan padat karya dalam penanaman padi, dan keduanya mempunyai hasil padi per hektar yang boleh dikatakan tidak jauh berbeda.

Sementara itu, dilihat dari letak geografisnya, Jepang berada di atas Lingkaran Api Pasifik di pertemuan tiga lempeng tektonik. Oleh karena itu, Jepang sering mengalami gempa bumi berkekuatan rendah, dan sesekali letusan gunung berapi. Gempa bumi yang merusak sering menyebabkan tsunami. Setiap abadnya, di Jepang terjadi beberapa kali tsunami. Dilihat dari sumberdaya alamnya, Jepang miskin dalam sumberdaya alam dan tidak menarik bagi sebuah pasar. Sekitar 70% hingga 80% dari wilayah Jepang terdiri dari pegunungan yang berhutan-hutan, dan daerahnya curam. Daerah yang curam berbahaya untuk dihuni karena risiko tanah longsor akibat gempa bumi, kondisi tanah yang lunak, dan hujan lebat. Dalam konteks demikian, sampai pertengahan abad 19 Negara Barat tidak tertarik pada Negara Jepang. untuk mengunjunginya. Negara Barat lebih tertarik mengunjungi dan membuat koloni di Asia Selatan dan Asia Tenggara, yang letaknya strategis, jalur pelayaran dan perdagangan internasional, serta kaya akan sumber daya alam.

(2)

Namun dalam perkembangannya, Jepang dewasa ini merupakan negara yang dapat dikatagorikan sebagai negara maju; baik dilihat dari sisi ekonomi, industri maupun teknologi. Di sisi ekonomi, Jepang merupakan negara dengan perekonomian terbesar nomor dua di dunia setelah Amerika Serikat,dengan PDB nominal sekitar AS$

4,5 triliun, dan masuk dalam urutan tiga besar dalam keseimbangan kemampuan berbelanja setelah AS dan RRC (IMF, 2006). Pada tahun 2006, terdapat 326 perusahaan Jepang masuk ke dalam daftar Forbes Global 2000 atau 16,3% dari 2000 perusahaan publik terbesar di dunia. Bursa Saham Tokyo memiliki total kapitalisasi pasar terbesar nomor dua di dunia. Dalam perdagangan luar negeri, Jepang berada di peringkat ke-4 negara pengekspor terbesar dan peringkat ke-6 negara pengimpor terbesar di dunia. Sebagai negara maju, penduduk Jepang memiliki standar hidup yang tinggi (peringkat ke-8 dalam Indeks Pembangunan Manusia) dan angka harapan hidup tertinggi di dunia menurut perkiraan PBB. Industri utama Jepang adalah sektor perbankan, asuransi, realestat, bisnis eceran, transportasi, telekomunikasi, dan konstruksi. Jepang memiliki industri berteknologi tinggi di bidang otomotif, elektronik, perkakas mesin, baja dan logam nonbesi, industri kapal, industri kimia, tekstil, dan pengolahan makanan.

Sementara sampai saat ini Indonesia dan negara Asia lainya, masih menghadapi masalah klasik: pengangguran, kemiskinan, utang luar negeri, ketimpangan wilayah, disparitas lainnya, ketergantungan yang sangat besar terhadap investasi asing, pendapatan per kapita relative rendah, teknologi yang masih sederhana, produktivitas yang rendah, ketidakstabilan sosial - ekonomi, dan sebagainya. Dengan kata lain, Jepang dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama melesat kemajuannya, menjadi sebuah Negara modern, jauh melampaui Negara Asia lainnya. Menjadi pertanyaan menarik, apa yang menjadi penyebab Jepang berbeda dengan Negara Asia lainnya ?

(3)

sebagian besar penduduk. Mereka seringkali terpesona dengan srategi industrialisasi yang diangap sebagai langkah tepat untuk mencapai kemajuan ekonomi. Sebelum membahas mengenai pembangunan ekonomi, terlebih dahulu diulas teori ekonomi pembangunan yang menghubungkan pertanian dengan pembangunan ekonomi, sehingga kita akan lebih mudah dalam melihat bagaimana menempatkan pertanian sebagai titik awal pembangunan suatu bangsa.

II. KERANGKA TEORITIS: PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI

Pembangunan pada dasarnya merupakan proses aktualisasi menuju masyarakat yang sejahtera. Kesejahteraan itu sendiri berdimensi sangat kompleks, menyangkut fisik dan jiwa; beragam tata nilai; dan berbagai kombinasi ukuran. Namun demi kepentingan praktis tolok ukur yang sering digunakan adalah pendapatan nasional. Dalam konteks demikian, pembangunan seringkali didefinisikan sebagai suatu proses usaha yang berkesinambungan dalam rangka peningkatan pendapatan riil perkapita melalui peningkatan jumlah dan produktivitas sumber daya. Dari pandangan ini lahir berbagai konsep-konsep mengenai pembangunan ekonomi. Terdapat banyak teori mengenai pembangunan yang nota bene sebagai arahan bagi pemerintahan di negara sedang berkembang dalam intervensinya mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi.

(4)

1. The Lewis Model

Model pembangunan dua sektor pertama kali dikembangkan oleh W.A.Lewis. Menurut Lewis, terdapat dikotomi dalam masyarakat di negara-negara terbelakang yaitu adanya dua sektor yang hidup berdampingan, sektor capital intensive (industri) dan sektor labor intensive (pertanian). Pada prinsipnya, model pembangunan dua sektor ini menititkberatkan pada mekanisme transformasi struktur ekonomi yang dialami oleh negara-negara sedang berkembang, yang semula lebih bersifat subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke struktur perekonomian yang lebih modern yang didominasi oleh sektor- sektor non primer, khususnya sektor industri dan jasa. Berkenaan dengan hal ini, maka industrialisasi pertanian merupakan media transmisi yang tepat bagi proses transformasi struktur ekonomi dari perekonomian subsisten ke perekonomian modern.

Dalam teorinya, Lewis (dalam Mudrajat Kuncoro, 1997) mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi dua sektor: (1) sektor tradisional yaitu sektor pertanian subsisten yang surplus tenaga kerja, dan (2) sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi penampung transfer tenaga kerja dari sektor tradisional.

(5)

Dalam perekonomian semacam ini, pangsa semua pekerja terhadap output yang dihasilkan adalah sama. Dengan demikian, nilai upah riil ditentukan oleh nilai rata-rata produk marjinal, dan bukan produk arjinal tenaga kerja itu sendiri.

Perekonomian industri terletak di perkotaan. Ciri perekonomian ini adalah tingkat produktivitas yang tinggi dari input yang digunakan, termasuk tenaga kerja. Hal ini menyiratkan bahwa nilai produk marjinal terutama dari tenaga kerja, bernilai positif. Dengan demikian, perekonomian perkotaan akan merupakan daerah tujuan bagi para pekerja yang berasal dari pedesaan, karena nilai produk marjinal tenaga kerja yang positif akan menunjukkan bahwa fungsi produksi belum berada pada tingkat optimal yang mungkin dicapai. Jika ini terjadi, berarti penambahan tenaga kerja pada sistem produksi yang ada akan meningkatkan output yang diproduksi. Dengan demikian industri di perkotaan akan menyediakan lapangan pekerjaan, dan ini akan berusaha dipenuhi oleh penduduk pedesaan dengan jalan urbanisasi. Lewis mengasumsikan bahwa tingkat upah di kota 30 % lebih tingi daripada tingkat upah di pedesaan, yang lebih bersifat subsisten dan tingkat upah cenderung tetap, sehingga bentuk kurva penawaran tenaga kerja akan berbentuk horizontal atau elastis sempurma. Perbedaan upah jelas akan melengkapi daya tarik untuk melakukan urbanisasi.

Sektor industri akan terus menyerap tenaga kerja dari sektor pertanian sampai pada titik dimana tingkat upah sama dengan nilai produk marginal tenaga kerja sektor industri. Pada akhirnya rasio tenaga kerja-kapital (capital labor ratio) naik dan penawaran tenaga kerja di sektor pertanian tidak lagi elastis sempurna. Karena dalam model Lewis

diasumsikan bahwa surplus sektor industri dari selisih upah diinvestasikan kembali

seluruhnya, maka kurva produk marginal tenaga kerja akan bergeser ke kanan. Proses ini

dapat digambarkan sebagai pergeseran kurva penawaran tenaga kerja atau produktivitas

marginal ke kanan pada sektor industri pada tingkat upah yang lebih tinggi daripada upah

(6)

Gambar 1. Industrial Expansion in the Lewis Model. An unlimited

supply of labor available to the industrial sector facilitates capital

accumulation and economic growth. Source: Lewis (dalam (Nafziger, 2006)

(7)

meningkatkan produktivitas marjinal produk, meningkatkan tenaga kerja yang digunakan, memperbesar surplus, dan seterusnya, sampai semua surplus tenaga kerja di sektor pertanian diserap oleh sektor industri. Pada titik QL3, kurva supply (SLk) slopenya meningkat dan menambah tenaga kerja yang dapat ditarik melalui upah yang tingi. Pada saat produktivitas meningkat dari MRPL 3 ke MRPL4, mencerminkan permintaan terhadap tenaga kerja berpotongan dengan kurva supp supply tenaga kerja pada upah sebesar WT dan jumlah tenaga kerja QL4 lebih dari surplus tenaga kerja di pedesaan.

Proses pertumbuhan seperti diuraikan di atas disebut sebagai pertumbuhan berkesinambungan (self-sustaining growth) dari sektor industri dan perluasan kesempatan tenaga kerja tersebut diasumsikan akan terus berlangsung sampai semua surplus tenaga kerja perdesaan diserap habis oleh sektor industri. Tenaga kerja tambahan yang berikutnya hanya dapat ditarik dari sektor pertanian tradisional dengan biaya yang lebih tinggi. Dengan demikian ketika tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja di sektor industri terus mengalami pertumbuhan, maka kemiringan kurva penawaran tenaga kerja berslope positif. Transformasi struktur perekonomian akan terjadi dari perekonomian yang didominasi oleh sektor pertanian yang tradisional ke perekonomian yang didominasi oleh sektor industri yang modern.

(8)

keamanan di dalam negeri. Kelemahan kedua menyangkut asumsi surplus tenaga kerja yang terjadi di perdesaan.

Kenyataan menunjukkan bahwa kelangkaan tenaga kerja pertanian di perdesaan sudah mulai dirasakan, sementara pengangguran banyak terjadi di perkotaan. Kelemahan ketiga menyangkut asumsi tentang pasar tenaga kerja yang kompetitif di sektor industri, sehingga menjamin upah riil di perkotaan yang konstan sampai pada suatu titik dimana surplus tenaga kerja habis terpakai. Pada kenyataannya upah di pasar tenaga kerja sektor industri cenderung meningkat dari waktu ke waktu, baik secara absolut maupun secara riil.

2. The FeiRanis Modification

Dengan beberapa kelemahan tersebut di atas, maka konsep pembangunan dengan berbasis pada perubahan struktural seperti dalam model Lewis memerlukan beberapa penyempurnaan sesuai dengan fenomena ekonomi yang ada. Dalam hal ini Fei dan Ranis (1964) memperbaiki kelemahan model Lewis dengan penekanan pada masalah surplus tenaga kerja yang tidak terbatas dari model Lewis. Penyempurnaan tersebut terutama pada pentahapan perubahan tenaga kerja. Model Fei-Ranis membagi tahap perubahan transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri menjadi tiga tahap berdasarkan pada produktivitas marjinal tenaga kerja dengan tingkat upah dianggap konstan dan ditetapkan secara eksogenus.

(9)

Tahap kedua adalah kondisi dimana produk marginal tenaga kerja sudah positip namun besarnya masih lebih kecil dari tingkat upah. Artinya setiap pengurangan satu satuan tenaga kerja di sektor pertanian akan menurunkan total produksi. Pada tahap ini transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri memiliki biaya imbangan positip, sehingga kurva penawaran tenaga kerja memiliki elastisitas positip. Transfer tenaga kerja terus terjadi yang mengakibatkan penurunan produksi, namun penurunan tersebut masih lebih rendah dari besarnya tingkat upah yang tidak jadi dibayarkan. Di sisi lain karena surplus produksi yang ditawarkan ke sektor industri menurun sementara permintaan meningkat, yang diakibatkan oleh adanya penambahan tenaga kerja, maka harga relatif komoditas pertanian akan meningkat.

Tahap ketiga adalah tahap komersialisasi di kedua sektor ekonomi. Pada tahap ini produk marginal tenaga kerja sudah lebih tinggi dari tingkat upah. Pengusaha yang bergerak di sektor pertanian mulai mempertahankan tenaga kerjanya. Transfer tenaga kerja masih akan terjadi jika inovasi teknologi di sektor pertanian dapat meningkatkan produk marginal tenaga kerja. Sementara itu, karena adanya asumsi pembentukan modal di sektor industri direinvestasi, maka permintaan tenaga kerja di sektor ini juga akan terus meningkat.

Secara grafis, ketiga tahapan tersebut dapat digambarkan seperti yang disajikan pada Gambar 2. Pada tahap pertama, tenaga kerja sektor pertanian yang mempunyai produktivitas marjinal (Marginal Physical Productivity = MPP) sama dengan nol dialihkan ke sektor industri dengan upah institusional yang sama. Pada Gambar 2 panel C ditunjukkan pada bagian horizontal dari kurva Total Physical Productivity (TPP), yaitu CX produktivitas total tetap sehingga produktivitas marginal tenaga kerja sebesar MN adalah nol. Pada panel B ditunjukkan jumlah tenaga kerja sebesar NM dari kurva MPP (kurva NMRU) ataubagian CX dari kurva TPP pada panel C, dipindahkan ke sektor industri

seperti ditunjukkan oleh OM pada panel A pada tingkat upah institusional yang sama yaitu

(10)

Pada tahap kedua, pekerja pertanian yang dapat memberikan sumbangan untuk menambah ouput (MPP>0) tetapi memproduksi lebih kecil daripada upah institusional, juga dialihkan ke sektor industri. Pada panel B ditunjukkan MPP pekerja pertanian sebesar MK positif dalam garis MR pada kurva MPP (atau NMRU) tetapi lebih rendah dari upah institusional KR (=NW). Dalam batas tertentu mereka sebenarnya juga penganggur tersembunyi. Akan tetapi dengan MPP positif, perpindahan tenaga kerja ini mengakibatkan menurunnya output sektor pertanian. Harga produk pertanian meningkat relatif terhadap produk industri, sehingga membutuhkan kenaikan upah minimal di sektor industri, di atas upah institusional, OW. Upah naik ke LH dan KQ, penawaran tenaga kerja tidak lagi perfect elasticity yang ditunjukkan oleh gerak naik kurva WT ke H dan Q, pada saat tenaga kerja sebesar ML dan LK pindah sedikit demi sedikit ke sektor industri (panel A).

(11)
(12)

III. MODEL PEMBANGUNAN JEPANG 1. Awal Pertanian di Jepang

Pola pertanian menetap di Jepang dimulai sekitar abad ketiga sebelum Masehi, dibawa migrant Asia Daratan yang dikenal sebagai penduduk Yayoi. Abad-abad selanjutnya sistem penegelolaan pertanian dengan teknologi yang lebih baik dikembangkan dengan menyesuaikan kondisi geografis dan iklim di berbagai wilayah Jepang. Padi sawah yang mampu tumbuh sepanjang tahun di kembangkan di area-area padat penduduk. Di Jepang, musim hujan terjadi setiap tahun sekali, sungai –sungai relatif pendek dan berarus deras, tidak menghasilkan daerah genangan air ( floodplains) yang luas seperti daerah Asia lainnya, maka masyarakatnya membuat fasilitas penyimpanan dan mengkontrol distribusi air sebagai pra kondisi tumbuhnya padi. Di sini penyebaran usaha tani padi diawali dengan kebutuhan buruh dan sumberdaya yang diperlukan tidak hanya untuk meratakan tanah, tetapu juga pembangunan dam, reservoirs, dan sistem saluran. Usaha tani ladang juga dikembangkan seperti kacang-kacangan, buah, sayuran, dan tanaman perkebunan, terutama di daerah tinggi, yang tidak sesuai dengan usaha tani padi. Peternakan relatif jarang, karena tidak sesuai dengan lingkungan pegunungan dan lembab. Masyarakat jepang sendiri pada umumnya vegetarian. Sumber protein mereka adalah kacang-kacangan terutama kedelai, dan ikan.

(13)

Dalam periode Tokugawa, keterbatasan lahan terjadi di berbagai wilayah., khususnya daerah barat daya yang pertumbuhan polulasinya tinggi dengan iklim yang nyaman. Kelembagaan dalam sistem Tokugawa, desa masih tetap dan kuat otonominya sebagai rumah tangga usaha tani, sementara ksatria dan tuan tanah sendiri, lebih tertarik mengabdi pada bangsawan di istana. Bagaimanapun pajak pertanian merupakan sumber pendapatan klas penguasa dan samurai. Seorang bangsawan yang kaya dan kuat tergantung pada luasnya lahan dan produktivitasnya yang ia kendalikan. Manakala pengeluaran meningkat sering dengan berkembangnya komersialisasi dan pembangunan ekonomi, bangsawan feodal mencoba memperluas kendali area pertaniannya melalui pengenaan pajak lebih tinggi dan dorongan meningkatkan output, sementara penduduk desa menghindari melalui diversifikasi tanaman dan aktifitas lain di luar ketentuan pajak (Francks, 2002).

Berbeda dengan negara lain seperti China, Indonesia, dan India; tuan tanah di Jepang secara aktif melakukan urusan-urusan desa, atau seringkali ikut aktif dalam memperkenalkan cara panenan dan teknik baru. Sebagai orang yang melakukan kerja tani, tuan tanah mempunyai banyak kepentingan dengan petani biasa. Tuan tanah umumnya lahir dalam keluarga yang memimpin desa selama beberapa generasi, sehngga lebih mudah bagi mereka melaksanakan kepemimpinannya, dan mengintegrasikan desanya. Semenetara tuan tanah di sebagaian besar negara Asia, seringkali tidak aktif dalam kegiatan pertanian. Banyak pula orang kaya membeli tanah sebagai investasi, tetapi tidak aktif dalam kegiatan pertanian (Kunio, 1992).

2. Kebijakan Awal Pertanian

(14)

ekonomi, namun produksi dan perubahan kelembagaan belum dilakukan secara revolusioner.

Pada awal pemerintahannya, Kaisar Meiji mengutus beberapa pembantunya mengelilingi Eropa dan Amerika guna mempelajari segala sesuatu tentang negara-negara di Barat. Utusan ini diberi tugas khusus mencari pola-pola pembangunan di Barat yang dapat diterapkan di Jepang, seperti pertanian, indsutri perdagangan, sistem hukum, pendidikan, dan sebagainya. Perjalanan ini memakan waktu 1 tahun 10 bulan yang selanjutnya mereka susun sebagai statu laporan yang disebut Beo Kairan Jikki. Melalui laporan ini, Kaisar Meiji menginginkan Asia harus berubah seperti bangsa-bangsa Barat, maka pola-pola Barat yang dianggap dapat ditiru, dikembangkan di Jepang. Mereka

merumuskan materi pembangunannya dengan prinsip “negara kuat adalah negara kaya, negara kaya adalah negara yang kuat”. Untuk menjadi kaya Jepang harus menjadi negara industri (Anwar, Prisma, 1983). Dilatar belakangi dengan sumberdaya alam yang

miskin, Jepang menjadi bangsa yang berpola fikir untuk selalu “berkreasi dan menciptakan” di segala bidang termasuk bidang pertaniannya.

Pada tahun 1870-an, pemerintah mengembangkan prasarana negaranya. Dari tahun 1885 – 1911, jaringan kereta api yang dikelola pemerintah meningkat dari 212 mil menjadi 4775 mil; jumlah kantor pos bertambah sekitar 5000 menjadi 7000, dan jumlah surat kabar yang ditangani pemerintah dari sekitar 100 juta menjadi 1500 juta surat; jumlah kantor telegraf meningkat dari sekitar 50 menjadi 4500, dan jumlah telegram yang ditangani per tahun bertambah dari sekitar 3 juta menjadi 25 juta. Pelayanan telepon mulai tumbuh setelah tahun 1892, dan pada tahun 1911 sekitar 180.000 rumah tangga dan kantor memiliki telepon. Modal swasta dikembangkan melalui pembangunan prasarana nasional. Pada tahun 1911, ada sekitar 1400 mil jalan kereta api swasta dan sekitar 1800 kapal uap yang dimiliki swasta dengan total muatan 1.375.000 ton. Penyediaan listrik mulai meningkat pada awal tahun 1900-an, dan pada tahun 1911 telah dicapai kapasitas 322.000 kWh (Kunio, 1992).

(15)

pabrik gula. Pemintalan kain tenun skala besar dibangun termasuk memperbesar mesin-mesin produksi. Setelah itu, produksi dan ekspor tekstil meningkat dengan kecepatan tinggi, dan impor tekstil menurun tajam. Sampai menjelang tahun 1905, sebagai akibat ketersediaan listrik, penenunan tangan sudah tergantikan dengan mesin tenun. Tabel 1 menunjukkan perkembangan produksi dan ekspor tekstil yang meningkat dari tahun ke tahun . Selama itu pula jumlah rumah tangga petani yang terlibat produksi sutera meningkat, dan total produksi meningkat sekitar enam kali. Menjelang akhir abad 19, sutera menjadi komoditi terpenting kedua setalah padi.

Tabel 1. Perkembangan Produk Tekstil

Sumber : Frank, 2002).

(16)

pertanian Jepang adalah sejarah beras dan berbagai pembaruan teknolgis adalah upaya meningkatkan beras. Beras dianggap oleh bangsa Jepang sebagai asset nasional. Sebagai upaya pertamanya adalah mengeluarkan land tax reform pada tahun 1873. Melalui land reform ini hak pengenaan pajak dan privelege klas Samurai dan Dainyo (tuan tanah) dihapus. Bagi tuan tanah yang tidak mampu membayar pajak, tanah diberikan ke petani penyewa yang mampu menggarap dan membayar pajak. Begitu memperoleh tanah para petani berusaha sebaik-baiknya untuk meningkatkan produksi. Dengan luas kepemilikan lahan yang besar dan terpusat pada satu lokasi, membuat produktivitas pertanian Jepang sangat tinggi. Produktivitas yang tinggi akan menutupi masa tidak produktif pada musim dingin dan gugur.

Melengkapi land reform, pemerintah melakukan pembangunan infrastruktur sekitar kawasan pertanian seperti jalan usaha tani, saluran air, dan lain-lain, sehingga lahan pertanian berada sekitar jalan raya. Sekitar 50 % area lahan mendapatkan irigasi. Secara tipikal rumah tanga petani memiliki satu atau beberapa lahan sawah irigasi di sekitar desa, sebidang ladang di pegunungan , dan akses ke area hutan. Hasil panena yang tinggi diperoleh dari lahan irigasi. Pengerjaan lahan pertanian berskala kecil, dengan tidak lebih satu hektar sawah. Petani yang memiliki lahan dua atau tiga hektar dianggap petani besar, dan jumlahnya relatif sedikit. Pengerjaan pertanian berskala kecil merupakan ciri utama pertanian modern Jepang.

Mengingat hanya sekitar 14 % area lahan yang bisa ditanami, sementara jumlah penduduk semakin bertambah, pemerintah bekerjasama dengan petani dan koperasi melakukan rekalamasi dan drainase area pantai dan rawa, membuat petak-petak daerah perbukitan, dan memanfaatkan setiap sudut tanah yang bisa ditanami. Pengelolaan lahan pertanian yang intensif ini, dan tidak adanya padang rumput (grazing land

),

membuat pengunjung luar negeri akan terkejut melihat Jepang tidak ada daerah pedalaman (countryside

).

(17)

periode sampai PD I, output pertanian tumbuh secara pasti, di atas pertumbuhan populasi dan lebih cepat dariapa yang dicapai sebelum Green Revolution di Asia. Tingkat pertumbuhan turun di antara perang dunia, tetapi mulai naik lagi pada akhir tahun 1930-an dan semakin cepat setelah PD II.

Tabel 2. Pertumbuhan Output dan Input Pertanian Jepang Selama Tahun 1880 – 1935 (% Per Tahun

Sumber: Ohkawa and Shinora,1978 (dalam Frank, 2002)

(18)

penyediaan sarana produksi; mengatur pengolahan produk pertanian dan penyimpanan produk; sebagai Bank; sebagai badan asuransi, dan menyediakan sarana pelayanan kesehatan masyarakat khususnya petani.

Untuk menjalankan fungsi tersebut JA Cooperative sampai saat ini memiliki jaringan kerjasama yang sangat besar dengan dengan pasar local khususnya supermarket, pasar internasional, dan pemerintah. Selain itu JA Cooperative juga memiliki berbagai fasilitas pertanian yang tersebar di seluruh Jepang seperti packaging center, processing center, pasar saprodi, pasar penjualan langsung (direct sale market), supermarket, gudang, penggilingan beras, dan fasilitas pembuat pupuk organik.

Melalui JA Coop, pemerintah memberikan subsidi harga jual untuk produk tertentu petani lokal. Produk tertentu dari petani dibeli oleh JA Coop, dan pemerintah mensubsidi ± 50% lebih tinggi dari harga pasar dan JA Coop, menjualnya kembali sama dengan harga pasar. Ini dilakukan ketika harga untuk produk yang sama dari luar harganya lebih murah. Dengan demikian petani Jepang tetap terlindungi dan produk mereka tetap terbeli oleh masyarakat.

Di bidang pengembangan teknologi, pada era Restotasi Meiji dilakukan melalui pengembangan inovasi pertanian dan model penyuluhannya dengan cara yang lebih modern dan terstruktur. Para tokoh petani veteran dan tuan tanah yang berpengalaman masih memainkan peranan yang cukup penting dalam menghasilkan dan menyebarluaskan inovasi pertanian. Menurut Tajima (1991), peranan petani veteran dalam penemuan dan penyebarluasan teknologi pertanian sejak tahun 1893 diperkuat dengan dukungan pemerintah melalui pengembangan jaringan stasiun penelitian pertanian baik di tingkat nasional maupun propinsi. Petani veteran berkerjasama dengan petugas stasiun penelitian melakukan kerjasama baik dalam hal percobaan dan uji coba maupun dalam penyebarluasan inovasi pertanian kepada petani secara luas.

(19)

Network. Tajima (1991) menyatakan jumlah staf lembaga tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari waktu ke waktu yaitu 5.000 orang (1912), 10.000 orang (1924) dan 14.000 orang (1935).

Di samping peran pemerintah, tidak terlepas pula kemampuan petani dalam meningkatkan dan mediversifikasikan produknya sesuai kebutuhan pasar dan industri. Sumber kemampuan ini tidak terletak pada ekstensifikasi lahan pertanian atau tenaga kerja, tetapi lebih pada perbaikan teknologi, dikombinasikan dengan pupuk dan input modern lainnya yang mudah didapat, karena adanya koperasi dan lembaga penyuluhan.. Menurut Hayami dan Ruttan (dalam Frank, 2002), model tersebut diistilahkan sebagai

induced innovation., yaitu jalur perubahan teknologi yang direspons secara tepat sesuai dengan

lingkungan lahan dan sejalan dengan teknologi Green Revolution yang sampai sekarang

(20)

Tabel 2. Estimasi Perbandingan Produktivitas Padi di Jepang dengan Negara Asia Lainnya pada Awal Pembangunan

Sumber : Hayami and Yamada (1969), table 1:108 (dalam Frank, 2002).

3. Kontribusi Pertanian dalam Awal Pembangunan Ekonomi

(21)

Dalam pengertian luas, keunggulan pertanian dalam perekonomian Jepang abad 19, merupakan kasus bahwa dasar pembangunan terletak di pedalaman dan sumber utama investasi dalam transformasi model pembangunan dua sektor, dengan turunnya kontrubusi pertanian terhadap GDP, dari sekitar 40 % pada tahun 1880-an menjadi 27 % dalam tahun 1920 dan 14 % pada tahun 1940. Populasi yang hidup di sektor petrtanian dari lebih 70 % pada tahun 1880-an menjadi sekitar 50 % pada tahun 1920 dan 40 % pada tahun 1940. Meskipun demikian, proses transformasi struktural dan transfer sumberdaya lebih kompleks, dan tidaklah linier.

Penyebaran teknologi , berdasarkan varitas unggul dan membuat lebih intensif pengunaan tenaga kerja dan secara pasokan pupuk lokal, telah meningkatkan output pangan dan tanaman ekspor tetapi pada waktu yang sama memungkinkan pertanian memberikan kelebihan waktu buruh bagi usaha industri baru dan savingnya bagi penggunaan non pertanian. Gambaran ini menunjukkan, proses relatuf bebas biaya perubahan teknologi, taking up the slack’ dalam deskripsi Gustav Ranis (Ranis 1969), yang menghasilkan lebih banyak produktivitas melalui pengadaan input di sector pedesaan dan kemampuan untuk mengalihkan surplus pertanian ke industri, berlanjut sampai abad 19 dan awal abad 20, secara gradual meningkatkan produk pertanian. Selanjutnya, peningkatan harga pangan yang cepat menyusul boom industri PD I, dan menggerakkan kerusuhan beras urban pada tahun 1918, menandai merosotnya kontribusi sector pertanian dalam proses pembangunan.

(22)

Bagaimanapun berbagai hal dari titik pandang ini kontribusi pertanian terhadap pertumbuhan dalam frame work dual ekonomi adalah adanya transfer tenaga kerja ke sektor industri. Jadi, jika jumlah pekerja Jepang secara signifikan dapat dilihat sebagai surplus produksi pertanian, mereka dapat direkrut ke dalam industri dengan tingkat upah konstant sedikit di atas level subsisten, menghasilkan profit bagi usaha industri sebagai sumber dana investasi dalam pengembangan sektor modern. Disini diakui bahwa pabrik tekstil mampu menarik tenaga kerja dengan upah rendah karena mereka sedikit kontribusinya terhadap income pertanian secara keseluruhan. Sejumlah usaha dibuat untuk menunjukkan bahwa prediksi tingkat upah industri yang rendah ketika kesempatan kerja di sektor industri meningkat terjadi sebelum PD II.

(23)

IV. IMPLIKASI TEORITIS

Teori-teori pasca Perang Dunia II, kebanyakan background negara maju, tetapi dihadapkan pada masalah dan potensi negara yang baru merdeka. Terdapat banyak teori mengenai pembangunan yang nota bene sebagai arahan bagi pemerintahan di negara sedang berkembang dalam intervensinya mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Salah satu pandangan yang dampaknya besar dan berlanjut hingga sekarang adalah model pertumbuhan yang dikembangkan oleh Harrod dan Domar. Pada intinya model ini berpijak pada pemikiran Keynes (1936) yang menekankan pentingnya aspek permintaan dalam mendorong pertumbuhan jangka panjang

Dalam model Harrod-Domar, pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh dua unsur pokok, yaitu tingkat investasi dan produktivitas modal (capital output ratio). Agar dapat tumbuh secara berkelanjutan, masyarakat dalam suatu perekonomian harus mempunyai tabungan yang merupakan sumber investasi. Secara teoritik hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan investasi dapat dijelaskan melalui konsep ICOR (Incremental Capital Output Ratio). Semakin tinggi ICOR proporsi investasi terhadap Produk Domestik Bruto semakin tinggi pula untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2000).

Sementara itu berkembang sebuah model pertumbuhan yang disebut neoklasik. Teori pertumbuhan neoklasik mulai memasukkan unsur teknologi yang diyakini akan berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Dalam teori neoklasik, teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh semua negara di dunia. Dalam perekonomian yang terbuka, di mana semua faktor produksi dapat berpindah secara leluasa dan teknologi dapat dimanfaatkan oleh setiap negara, maka pertumbuhan semua negara di dunia akan konvergen, yang berarti kesenjangan akan berkurang.

(24)

Dua di antaranya yang penting adalah dari Rostow (1960) dan Chenery-Syrquin (1975). Menurut Rostow, transformasi dari negara yang terkebelakang menjadi negara maju dapat dijelaskan melalui suatu urutan tingkatan atau tahap pembangunan yang dilalui oleh semua negara. Rostow mengemukakan lima tahap yang dilalui oleh suatu negara dalam proses pembangunannya; yaitu tahap Traditional Society, Preconditions for Growth, The Take-off, The Drive to Maturity, dan The Age of High Mass Consumption.

Menurut pemikiran Chenery dan Syrquin (1975), yang merupakan pengembangan pemikiran dari Collin Clark dan Kuznets, perkembangan perekonomian akan mengalami suatu transformasi (konsumsi, produksi dan lapangan kerja), dari perekonomian yang didominasi oleh sektor pertanian menjadi didominasi oleh sektor industri dan jasa. Clark

menggambarkan tentang ”modernisasi ekonomi”, atau proses pertumbuhan ekonomi

dalam kerangka perubahan proporsional yang besar menuju produksi sekunder dan peningkatan yang layak dalam produksi tersier. Negara yang telah mencapai tahapan modernisasi ekonomi inilah yang dianggap telah mengalami tahap industrialisasi.

Berdasarkan berbagai pemikiran tersebut, pembangunan di negara sedang berkembang mengandalkan modal, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, dan pemanfaatan teknologi padat modal secara masif untuk kegiatan industrialisasi. Industrialisasi dijalankan karena dinilai sebagai tahapan strategis yang mampu meningkatkan produktivitas secara efisien, sebagaimana pengalaman revolusi industri yang terjadi di Eropa dan Amerika selama akhir tahun 1800-an. Pertumbuhan eknomi pada waktu itu mampu menjadi pendorong perkembangan ekonomi. Industri dianggap sebagai jalan utama menuju pembangunan. Negara sedang berkembang pada tahun 1950-an dan tahun 1960-an dinasehatkan oleh perancang pembangunan untuk mendirikan industri baja, pembangkit tenaga listrik dan industri manufaktur. Pada waktu itu pembangunan pertanian kurang mendapat perhatian.

(25)

jasa-jasa. Proses pembangunan ekonomi ditandai oleh adanya perubahaan dalam kontribusi sektoral terhadap output nasional sebagai akibat terjadinya pergeseran tenaga kerja nasional dari sektor pertanian ke sektor industri dan kemudian ke sektor-sektor jasa-jasa. Sektor jasa-jasa dianggap sebagai tahap tertinggi dalam proses perkembangan ekonomi. Transformasi struktural disini diharuskan, karena sektor primer dipandang tidak memiliki nilai tambah yang tinggi serta nilai tukarnya rendah

Era industrialisasi ditandai dengan industri–industri baru berkembang dengan pesat, memberikan keuntungan yang sebagian besar diinvestigasikan lagi dalam bentuk baru. Indutri-industri baru ini membutuhkan banyak pekerja pabrik, yang pada akhirnya mendorong timbulnya layanan-layanan jasa yang mendukung para pekerja tersebut dan kebutuhan akan barang-barang manufaktur lainnya, perluasan lebih lanjut di daerah perkotaan dan dalam pabrik-pabrik modern lainnya. Persoalannya, pembangunan dengan model ini tidak seperti yang diharapkan. Pertumbuhan ekonomi memang pesat, tetapi diiringi oleh masalah yang selalu aktual, yaitu tingginya pengangguran, tingkat urbanisasi yang tinggi, kemiskinan yang parah, semakin tingginya gap kaya-miskin, dan berbagai kepincangan serta kesenjangan lainnya.

Lebih lanjut, strategi pembangunan yang mengandalkan akumulasi modal telah menimbulkan polarisasi dalam proses pembangunan dan menciptakan dualisme di banyak negara sedang berkembang (Sumidingrat, Gunawan dan Mudrajat Kuncoro, 1990). Struktur sosial yang kurang mendukung kehadiran teknologi dan cara berpikir yang tidak sesuai kehadiran teknologi, sehingga sebagian besar penduduk tidak ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan implementasi kebijakan. Lahir polarisasi di antara kelompok yang mampu memanfaatkan pertumbuhan ekonomi dan yang yang tidak mampu memanfaatkan pertumbuhan ekonomi (Jusawala, 1985). Terjadi bias baik di kota maupun di desa. Trickle down effect sebagaimana yang diharapkan tidak terjadi.

(26)

mendukung upaya tersebut. Namun ketika terjadi goncangan dahsyat secara mendadak akibat kekeringan kronis dan banjir besar, keseluruhan perekonomian macet. Pangan harus diimpor dengan menguras devisa, sehingga impor barang modal turun drastis. Akibatnya laju pertumbuhan industri sangat terpukul, dan sebagai dampaknya tingkat pertumbuhan ekonoi merosot tajam.

Salah satu sebab kegagalan strategi industrialisasi dalam mempercepat proses pembangunan adalah peran sektor industri yang masih relatif kecil dan lemahnya keterkaitan antara sektor pertanian tradisional dan sektor industri modern (Mudahar, 1982). Berkaitan dengan hal ini, para pemikir ekonomi mulai mengubah arah pandangnya dengan lebih memberikan bobot terhadap peran sektor pertanian dalam pembangunan. Sektor pertanian yang tumbuh cepat akan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk yang pada gilirannya akan meningkatkan permintaan produk non pertanian. Peningkatan permintaaan ini tidak hanya pada produk konsumsi akhir , tetapi juga produk yang digunakan sebagai input oleh petani (Tomich, et.al; 1995).

(27)

Sejauh transfer capital atau saving terkait, pertumbuhan industri dapat terjadi jika setiap surplus output atau income ynag dihasilkan sector tradisional digunakan untuk investasi dalam sector industri. Hal ini difasilitasi dalam berbagai cara: petani dapat dikenakan pajak untuk revenue pemerintah guba investasi dalam proyek industri, petani mungkin menginvestasikan profitmua, sewa atau saving dalam pengembangan p bisnis industri, atau petani dapat diajak menjual produknya dengan harga yang rendah, dan dijual kembali dengan harga lebih tinggi dalam area urban untuk mengahsilkan profit bagi reinvestment (an indirect way of taxing farmers). Petani dapat mendukung tumbuhanya tanaman eksport, yang menghasilkan profit yang investible dan the foreign exchange yang diperlukan untuk mengimpor peralatan capital bagi industri baru. Industrialisasi karenanya memerlukan beberapa mekanisme institutional sehingga produk pertanian yang surplus, yang segera dikonsumsi dalam sektor pertanian, maupun misalnya pekerja yang tidak produktif, dapat dialihakan untuk menambah kapasitas produksi sector industri.

(28)

dapat dipasarkan, atau dibayarkan sebagai pajak, maka produk sebelumya yang dikonsumsi oleh surplus relatifnya, dan ini dapat digunakan untuk kebutuhan pangan angkatan kerja industri perkotaan. Sepanjang surplus pekerja terjadi di sektor pertanian, mereka dapat dimanfaatkan oleh pekerja industri dengaqn upah konstant di atas subsisten sektor pertanian, dengan cara demikian meninggalkan profit investible di usaha industri. Model-model tersebut memberikan skenario pembanguan yang optimis, dalam mana agricultural surplus di arahkan untuk menciptakan employment di industri, output and incomes secara gradual muncul, sebagai hasil produktivitas yang tinggi di sector industri, dan perekonomian secara mantap ditransformasikan. Sebagaimana kita lihat, kasus Jepang digunakan sebagai salah satu contoh dalam proses ini, mengilustrasikan bagaimana pembangunan dual ekonomi dapat berhasi dengan baik. Lebih lanjut, pemikiran sepanjang lini ini dicoba dan diperkuat pada pendekatan secara luas di antara pemerintahan negara maju dalam tahun 1950-an dan 1960-an. Peran pasif sektor pertanian dalam model ini, dimana sumberdaya pertanian dialihkan ke sektor pertanian, dan permintaannya sendiri kecil atau tidak adan investasi baru, pada sektor pertanian memberikan justifikasi bahwa pengabaian sektor pertanian didukung oleh apa yang disebut oleh Michael Lipton sebagai urban bias (Lipton 1977).

(29)

sedang berkembang(termasuk Jepang). Pembangunan bangsa dengan demikian menyandarkan pada peningkatan import, bantuan asing dan pinjaman luar negeri untuk mendukung program industrialisasi dan pada waktu yang sama kekurangan pangan dan harga meningkat sebagai hasil kekhawatiran pekerja urban. Penduduk desa meskipun demikian secara kontinyu bermigrasi ke kota, tertarik oleh harapan pekerjaan di urban yang memberikan prospek dan kondisi lebih baik, hal ini berarti sepanjang periode menunggu dalam suatu pondok penampungan yang tersebar di banyak kota dunia ke tiga. Dalam perencanaan ekonomi, usaha untuk menekan petani ke dalam organisasi kelembagaan (mislnya usaha tani kolektif) akan mentransfer surplus ke industri dengan sangat resistens dan menunjukkan ketidakefektivan dalam level dukungan ke kebutuhan urban dan pertumbuhan penduduk. Ide dual ekonomi menjadikan kurang mendasar pada suatu model pembangunan ekonomi dan lerbih banyak mengungkapkan semakin adanya perbedaan dalam pertumbuhan output., standar kehidupan (living standards) dan kondisi kehidupan di antra era pedesaan di negara ketiga dan adanya kantong-kantong industri modern. Timbulnya problem tersebut menyebabkan adanya pemikiran ulang di antara ahli ekonomi dan perencana pembangunan..

(30)

munculnya teknologi baru di sektor pertanian juga membawa pemikiran ulang mengenai asumsi ekonomi mikro dan kelembagaan mengenai sifat rumha tangga usaha tani yang merespons secara kritis terhadap pencapaian tujuan pembangunan pedesaan. Model dual ekonomi telah cenderung menganggap rumah tangga usaha tani sebagai pemasok pasif sumberdaya dan beroperasi secara tradisional. Karena itu mereka tidak mengembangkan riset mengenai rumah tangga usaha tani yang beroperasi di negara sedang berkembang. Meskipun demikian, beberapa usaha telah dibuat, untuk menguji hipotesis surplus tenaga kerja, tetapi sebagian besar gagal untuk memperoleh bukti yang jelas bahwa rumah tanga usaha tani mempertahankan jumlah pekerja ssedikit kontribusi atau tidak terhadap income keluarga, paling tidak ketika melihat pertanian secara keseluruhan dalam satu tahun. Temuan demikian membawa pada studi teoritis dan empiris, di antara batas ilmu ekonomi dan antroplogi, dimana rumah tangga usaha tani di negara miskin bekerja, dan penyebaran Green Revolution menunjukkan pengembangan riset untuk respons petani dan komunitas pedesaan terhadap teknologi baru.

Adelman (1984) menawarkan konsep Agricultural Demand Led Industrialization (ADL) yang menekankan perlunya sector pertanian dijadikan basis dalam pembangunan nasional. Startegi industrialisasi ADLI merupakan program investasi masyarakat untuk mendorong kurva suplai produk pertanian menjadi lebih elastis.

Permintaan dalam negeri dikembangkan melalui pembangunan sektor pertanian sehingga

sektor pertanian menjadi pasar yang efektif untuk produk-produk sektor industry melalui

keterkaitan permintaan barang-barang antara (intermediate demand) dengan permintaan

akhir (final demand). Proses pembangunan industri melalui strategi ADLI bukan hanya

merupakan proses pembangunan yang didasarkan atas teknologi padat karya dengan sektor

pertanian sebagai sektor pemimpin yang akan menciptakan pertumbuhan seiring dengan

perluasan kesempatan kerja, namun juga merupakan program industrialisasi yang dapat

mendukung program ketahanan pangan dan pemerataan pendapatan. Dengan demikian, jelas

bahwa strategi ADLI merupakan strategi industrialisasi yang akan dapat mendukung

(31)

Paradigma baru pembangunan pertanian menempatkan strategi Agricultural Demand-Led Industrialization (ADLI) sebagai strategi industrialisasi yang menitikberatkan program pembangunan di sektor pertanian dan menjadikan sector pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri dan sektor-sektor lain (Adelman, 1984; de-Janvry, 1984). Strategi ini berperan penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian melalui peningkatan investasi dan inovasi teknologi, serta meningkatkan pendapatan masyarakat di perdesaan. Mengacu pada teori keterkaitan dimana keterkaitan ke belakang merangsang investasi pada pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri dan sektor-sektor lain (Adelman, 1984; de-Janvry, 1984). Strategi ini berperan penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian melalui peningkatan investasi dan inovasi teknologi, serta meningkatkan pendapatan masyarakat di perdesaan. Mengacu pada teori keterkaitan dimana keterkaitan ke belakang merangsang investasi pada industri yang mensuplai input dan keterkaitan ke depan mendorong investasi untuk tahapan produksi lebih lanjut, peningkatan produktivitas pertanian melalui keterkaitan ke belakang akan menstimulus permintaan input pertanian (pupuk, pestisida dan benih unggul) dan barang-barang kapital (jaringan irigasi, mesin pertanian, transportasi dan infrastruktur lain) serta meningkatkan permintaan tenaga kerja. Peningkatan kesempatan kerja bukan hanya di sektor pertanian, tetapi juga akan menciptakan kesempatan kerja non pertanian maupun jasa. Melalui keterkaitan ke depan, investasi di sektor pertanian tersebut akan menstimulus investasi di sektor industri pengolahan hasil pertanian dan industri non pertanian lain serta jasa. Di sisi lain peningkatan produktivitas pertanian akan meningkatkan pendapatan rumah tangga yang pada akhirnya menstimulus peningkatan konsumsi pangan, baik bahan pangan primer maupun olahan serta konsumsi non pertanian lain.

(32)

agroindustri atau industri pengolahan yang berbasis pertanian serta sector pertanian primer merupakan sektor andalan pembangunan pertanian melalui strategi ADLI.

V. KESIMPULAN

Berdasarkan apa yang sudah diuraikan, terdapat beberapa kesimpulan yang bisa menjadi rujukan bagi kita, bahwa sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa mempunyai peranan yang penting, sebagaimana halnya Jepang dalam awal-awal pembangunannya.

Pertama, pengembangan agro industri, sebagai awal pembangunan industri suatu bangsa. Melalui upaya ini, kaitan ke belakang, terutama dengan sektor pertanian saling mendukung. Pengembangan agro industri menyebabkan permintan bahan baku yang berasal dari sektor pertanian berkembang pula. Sebaliknya, sektor pertanian yang berkembang memberikan peluang semakin berkembangnya sektor industri. Kaitan ke belakang, perkembangan sektor pertanian akan mengembangkan pula sektor hulu, yaitu industri pupuk, bibit, dan obat-obatan. Demikian pula aktivitas transportasi, jasa perdagangan, akan semakin berkembang pula. Pada kenyataannya, output suatu sector tertentu akan menjadi input bagi sector lainnya. Kemajuan di suatu sektor tidak mungkin dapat dicapai tanpa dukungan sektor-sektor lain. Begitu juga sebaliknya, hilangnya kegiatan suatu sektor akan berdampak terhadap kegiatan sektor lain. Program

pembangunan yang bersifat “ego-sektor” semakin tidak populer karena diyakini akan merugikan kepentingan pembangunan secara keseluruhan.

(33)

Lembaga penyuluhan dapat bekerja sama dengan berbagai lembaga riset untuk mendimenasi inovasi-inovasi baru di sektor pertanian.

Ketiga, mengamankan bahan pangan di dalam negeri untuk kebutuhan masyarakat. Pangan jangan terlalu banyak diimpor, tetapi mendasarkan pada kebutuhan dalam negeri. Untuk ini, petani-petani padi perlu diberi insentif, seperti penguasaan atas lahan tertentu, subsidi input bagi usaha tani padi, subsidi bagi harga jual padi, kemudahaan dalam pemasaran, dan pembangunan infrastruktur seperti saluran irigasi, bendungan, dan jalan raya bagi transportasi di pedesaan. Khusus dalam penguasaan lahan, petani dapat dibantu dalam bentuk kredit murah ataupun melalui land reform.

Keempat, perlunya dikembangkan paradigma pemikiran yang menempatkan arti pentingnya sektor pertanian dalam pembangunan. Sektor pertanian yang kuat, merupakan landasan yang kuat bagi pembangunan ekonomi. Sektor pertanian yang tumbuh cepat akan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk yang pada gilirannya akan meningkatkan permintaan produk non pertanian. Peningkatan permintaaan ini tidak hanya pada produk konsumsi akhir , tetapi juga produk yang digunakan sebagai input oleh petani.

DAFTAR PUSTAKA

Adelman, I. 1984. Beyond Export-Led Growth. In Adelman, I. 1995. Institution and Development Strategies. The Selected Essay of Irma Adelman. University of California,

Chenery, H.B. and M. Syrquin. 1975. Pattern of Development 1950-1970. The World Bank,

Washington D.C. Berkeley, US.

Fei, J. C. and G. Ranis. 1964. Development of The Labor-Surplus Economy: Theory and Policy. Home-Wood, Irwin, Illionis.

(34)

Geertz, Clifford.1963. Agricultural Involution. University of California, Berkeley. Jhingan, M. L. 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Terjemahan, Rajawali Press, Jakarta AMP YKPN.

Kuncoro, M. 1997. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP

Kunio, Yoshihara. 1992. Pembangunan Ekonomi Jepang. UI-Press, Jakarta.

Lipton, M. 1977. Why Poor People Stay Poor Temple Smith, London.

Nafziger, Na E. Wayne. 2006. Economic Development. Cambridge University Press, New York.

Ranis, G. (1969) ‘The financing of Japanese economic development’, in FRANCKS, PENELOPE. 2002

Rostow, Walter W . ed. 1963. The Economics of Takeoff into Sustained Growth. London: Macmillan.

Tajima, Shigeo, 1991, Process of Development of Agricultural Extension in Japan in “Agricultural Extension in Asia and Pacific”, Asian Productivity

Organization/APO, Tokyo.

Timmer, C.P. (1988) ‘The agricultural transformation’ in H.Chenery and T.Srinivasan

(eds)

Todaro, Michael P. 2000. Economic Development. Seventh Edition. England: Addison- Wesley.

Tomich, Thomas P., Peter Kilby, and Bruce F. Johnston. 1995. Transforming Agrarian Economies: Opportunities Seized, OpportunitiesMissed. Cornell

University Ithaca, NY.

(35)

Gambar

Gambar 1.  Industrial Expansion in the Lewis Model. An unlimited                     supply of labor available to the industrial sector facilitates capital                      accumulation and economic growth
Gambar 2. Model Dua Sektor Fei-Ranis Sumber: Jhingan (2000)
Tabel 2. Pertumbuhan Output dan Input Pertanian Jepang  Selama Tahun 1880 –               1935 (%  Per Tahun
Tabel  2.  Estimasi  Perbandingan  Produktivitas Padi di Jepang  dengan Negara                   Asia Lainnya  pada Awal Pembangunan

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi yang berjudul Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Pemilihan Metode Kontrasepsi Intra Uterine Device (IUD) pada Peserta KB Baru (Studi di Kelurahan Tegal Besar

Penelitian selanjutnya akan lebih baik jika mempertimbangkan ukuran perusahaan, melakukan pengamatan yang lebih mendalam terhadap kepemilikan manajerial dan

Merupakan suatu bentuk hak penguasaan tanah oleh Negara dimana apabila disandingkan dengan hak-hak atas tanah di Indonesia secara terjemahan tidak berbeda dengan

Sadu wicara puniki anggen ngrereh data sane kapertama indik kawentenan nganggen sor singgih basa ritatkala mabebaosan ring pepruman olih kramaDesa Adat Ayunan, sane

Bahan yang digunakan adalah 65 ekor ikan Guppy (Poecilia reticulata), yang merupakan sebagai objek yang akan diamati, berukuran kecil dengan panjang ± 5 cm; air

Mengungkapkan makna secara tertulis dengan ejaan hanzi dalam wacana berbentuk paparan dan dialog sederhana tentang identitas diri, kehidupan sekolah, kehidupan

Ketahanan Atas Kolisi dan Preimage : Pembuktian terhadap ketahanan atas kolisi dari MD6 dilakukan secara langsung dan dengan kontradiksi dengan membuktikan bahwa jika

counselors: counselors are expected to maximize services guidance and counseling in schools, so that counseling services can help students fully in addressing the