• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERFORMATIVITY DI DALAM PRACTICE TURN Ju

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERFORMATIVITY DI DALAM PRACTICE TURN Ju"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PERFORMATIVITY DI

DALAM PRACTICE TURN

Judith Butler, Subjek yang Berperforma, dan

Teori Berbasis Praktik

Priska Sabrina Luvita

Desember 2014

(2)

1 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a

Performativity di Dalam Practice Turn

Judith Butler, Subjek yang Berperforma, dan Pendekatan Berbasis Praktik

[T]here is no being behind doing, effecting, becoming the doer is merely a fiction added to the deed—the deed is everything. Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals)

Subjek Revolusi: Sebuah Prolog

Workers of the World, Unite. You have nothing to lose but your chains!”, kalimat di

akhir buku Communist Manifesto oleh Karl Marx dan Frederick Engels yang tersohor itu

saya jadikan kalimat pembuka pada prolog ini bukanlah untuk direproduksi ulang

pada tulisan singkat ini. Kalimat ini saya kutip sebagai upaya untuk pengontrasan.

Dalam kalimat singkat yang membara ini dapat dilihat bahwa revolusi membutuhkan

massa dalam hal ini tentunya, manusia yang secara spesifik merupakan kaum

proletar yang tereksploitasi dan terampas hidupnya oleh para kaum borjuis. Pemikiran

ini akan kemudian sangat kontras dengan teori-teori dan pendekatan yang berkembang

sekitar dua dekade belakangan ini, yaitu teori-teori berbasiskan praktik atau yang

disebut Practice Theory.

Maka kemudian tulisan ini akan bertujuan untuk memperlihatkan kontras

pemikiran ini, terutama dengan fokus kepada pemikiran yang relatif baru

berkembang beberapa dekade belakangan ini. Sebuah perkenalan yang akan dibuka

pintu awalnya dalam mengembangkan tulisan ini dengan pemikiran Judith Butler,

seorang filsuf feminis pos-strukturalis Amerika Serikat. Pemikiran Butler penulis ambil

karena ia menentang klaim para pemikir feminis lainnya yang direpresentasikan oleh

kritiknya pada Monique Wittig, yaitu yang mengharuskan adanya doer behind the deed1

1

(3)

2 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a

dalam praktik material budaya dalam kontruksi gender.2 Klaim yang mengundang

kontroversi inilah kemudian menjadi jelas dan signifikan kemudian jika dipandang dari

sudut pandang Practice Theory hari ini. Oleh karenanya, pemikiran-permikiran oleh

Butler, terutama Performativity akan menjadi jangkar dalam tulisan ini.3

Perkara Subjek yang Berperforma: the Deed before the Doer

Judith ‛utler, sebagai seorang filsuf feminis, memang senang menciptakan riak di atas air yang tenang . 4 Dari seluruh karir Butler, terdapat tiga klaim kontroversial

yang menjadi basis analisisnya, yaitu: Pertama, bahwa gender (yang berbeda maknanya

dengan sex atau jenis kelamin) sampai dengan tubuh dengan identitas jenis kelamin

tertentu bukanlah suatu hal yang natural. Suatu yang sifatnya lahiriah akan secara

otomatis melekat sebagai identitas dari seseorang. Kedua, karena gender bukanlah suatu

hal yang natural, Butler menolak ontologi biner dari gender maupun jenis kelamin yang

selalu terbagi dua. Secara gamblang bahkan Butler mengungkapkan bahwa cara

berpikir dualistik tersebut merupakan suatu bentuk fiksi yang meregulasikan

bentuk-bentuk rezim heteroseksual.5 Sebuah bentuk kekuatan atas sistem pengaturan tubuh.

Terakhir, klaim kontroversial yang seringkali menjadi aspek yang banyak dikritik dan

sekaligus yang menjadi pembuka tulisan ini, yaitu bahwa tidak ada pelaku di balik

tindakan . Klaim ini diutarakan karena saat gender merupakan fiksi, maka kategorisasi

atas si apa perempuan kemudian tidak dapat dilihat sebagai suatu yang semudah

aspek biologis. Lalu kenapa pelaku , dalam artian ini subyek, hilang? Jika subyek

hilang, bagaimana dengan agensi perubahan? Dengan konsekuensi fatal untuk

2

Sesuai tradisi feminis, gender dianggap sebagai aspek yang sama sekali berbeda dengan jenis kelamin (sex).

3 Walaupun akan juga sedikit menyinggung Teori Subyeksivikasi oleh Butler 4Atau ya g ia se diri se ut se agai

testing the ater, melakukan analisis yang akan menciptakan kontroversi

ha ya u tuk e a ta g do i asi take for gra ted dari basis pengetahuan sebelumnya.

5

(4)

3 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a

menghilangkan subyek, apakah mungkin perubahan dapat dilakukan tanpa adanya

agen perubahan yang bersatu seperti seruan dari Marx?

Rangkaian pertanyaan di atas kemudian menjadi kritik umum6 mengenai klaim

Butler yang mengambil akar dari pemikiran Nietzche, there is no doer behind the deed . Pemikiran yang amat kontras dengan pemikiran fundamentalis identitas politik; di

mana identitas diasumsikan untuk hadir sebelum kepentingan politik ada, sehingga

kepentingan politik dan tindakan politik hanya merupakan elaborasi dari identitas dari

entitas yang telah ada sebelumnya.7 Tetapi kemudian kritik akan subyek tetap muncul

dalam pemikiran Butler kerap kali terus bermunculan dan dianggap menjadi titik

lemah dari konstruk teoritis Butler. Konsekuensi pemikiran ini kemudian juga berupa

pertanyaan akan si(apa) subyek yang mampu untuk berperforma?

Konteks keilmuan pada zaman tercetusnya klaim kontroversial oleh Butler

tersebut adalah karena terdapat kecemasan atas kritik tanpa agensi yang jika dapat

disimpulkan secara cukup reduktif, merupakan kritik yang kontra revolusioner. Butler

sendiri, yang mendedikasikan dirinya untuk mengungkap bentuk power (kuasa) atas

gender berkata bahwa, for power to act, there must be a subject .8 Maka kemudian untuk

memahami dan (jika ingin) memberikan gugatan atas klaim tersebut, saya kemudian

mencoba menelusuri klaim ini di dalam trajektori pemikiran Butler sendiri dengan

bertanya, Jika benar demikian, lalu bagaimana? . Namun, sebelum sampai kepada

telusuran bagaimana tersebut, sedikit akan saya singgung latar belakang kemunculan

klaim akademis Butler. Klaim Butler muncul untuk memberikan alternatif dari

terbentuknya subyek yang menjadi perdebatan esensialis dan konstruktivis. Apakah

kemudian subyek ada prior dari budaya ataukah subyek dibentuk dari konstruk budaya.

6

Para tokoh yang terkenal dengan kritiknya pada Butler antara lain adalah Seyla Benhabib, Drucilla Cornell dan Nancy Fraser. Lebih lanjut lihat di Kirsten Campbell, The Plague of the “u je t: Psy hoa alysis a d Judith Butler s

Psy hi Life of Po er , International Journal of Sexuality and Gender Studies, Vol. 6, Nos. ½ (2001), 36

7

Ibid., 194-195

8

(5)

4 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a

Terlebih dari itu, karena Butler menolak pemikiran biner yang menjadi umum tidak

hanya dalam pemikiran feminis, tetapi dalam trayek filosofi pemikiran Barat, Butler

juga memberikan klaim ini untuk menantang dikotomi subyek/obyek. Perdebatan yang

dijawab Butler dengan klaim-klaim kontroversialnya. Tetapi kemudian performativitas

yang dikembangkan Butler banyak digunakan pada pengkajian studi teater selain

tentunya, studi akan feminis (spesifiknya studi akan queer). Lalu bagaimana

konsekuensi pemikiran Butler kemudian?

Terlepas dari gugatan kritik dan konteks perdebatan keilmuan yang coba di usik

oleh Butler, ia tidak menyatakan bahwa dengan demikian subyek kemudian hilang.

Semudah bahwa dengan asumsinya, subyek tidak harus selalu ada di balik setiap

tindakan. Sebaliknya, subyek, atau the doer terkonstruk secara variable di dalam dan

melalui deeds atau tindakan-tindakannya.9 Konsep performativity yang selanjutnya

dikembangkan Butler dari istilah performative oleh John L. Austin pada tahun 1955 dan

Jacques Derrida10 kemudian lebih memfokuskan agensi dari kata-kata. Subyek

berperforma yang menantang dikotomi subyek/obyek. Jadi dapat ditarik kesimpulan

bahwa Butler tidak menghilangkan subyek, ia melebarkan si(apa) yang mampu

berperforma dalam mempengaruhi dunia. Subyek tidak dibentuk oleh budaya, namun

subyek terbentuk dan hanya mungkin dibentuk dari serangkaian tindakan yang terus

berulang (Acts of styled repetition). The deed before the doer. Tetapi pelebaran subyek

Butler lebih difokuskan pada aspek linguistik seperti yang diungkapkannya pada salah

satu bagian dari The Psychic Life of Power di bawah ini:

The subject" is sometimes bandied about as if it were interchangeable with "the person" or "the individual. The genealogy of the subject as a critical category, however,

9 Kutipan aslinya berupa [T]he doer is aria l o stru ted i a d through the deed ,

Ibid., 195

10

James Loxley, Performativity (Amerika Serikat: Routledge, 2007), 5 da We dy Kohli, Perfor ati ity a d

(6)

5 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a suggests that the subject, rather than be identified strictly with the individual, ought to be designated as a linguistic category, a placeholder, a structure in formation. 11

Dan dapat dilihat juga penekanannya pada kutipan dibawah ini:

As we have seen, for Butler identity is produced through the repetition of imitative or citational acts: the subject, the speaker or doer, is thus the creation of the doing, a creation dissimulated as the deed s origin.12

Namun pada perkembangannya, terutama pada karyanya setelah Gender Trouble

(1990) dan Bodies That Matter (1993) yaitu The Psychic Life of Power (1997), Butler lebih

memfokuskan kajian teoritisnya pada aspek psikis manusia yang menjadi subyek yang

dibentuk oleh power daripada aspek material tubuh.13 Dalam karyanya ini, Butler

mengembangkan teori Subyeksi (Subjection), di mana subyek neither fully determined by

power nor fully determining of power (but significantly and partially both) 14 dan [T]here is no

formation of the subject without a passionate attachment to subjection 15 Pemahaman ini sulit

untuk diterjemahkan, namun mengingat trajektori pemikiran Butler sangat

terpengaruhi oleh interpelasi oleh Althusser dan iterabilitas16 dari Derrida, kalimat di

atas dapat dipahami bahwa Butler bermaksud untuk mengungkapkan betapa eksistensi

subyek sangat bergantung pada bentuk power dan tidak ada yang lebih

mendeterminasi relasi antar keduanya. Keduanya saling mendeterminasi dan

terdeterminasi sehingga yang ada adalah relasi yang dinamis diantara keduanya.

Itterability atau iterabilitas merupakan suatu istilah yang menyerupai konsep (quasi-concept), namun bukan merupakan konsep yang dikembangkan oleh Derrida. Iterabilitas adalah kondisi yang memungkinkan suatu untuk

eksis da alid da pada saat ya g ersa aa juga e gu gkapka ko disi ya g tidak e u gki ka suatu

(7)

6 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a

Subyeksivikasi, atau bentuk internalisasi atas identitas di sini, merupakan upaya paling

banal untuk mempertahankan eksistensi subyek.

Namun konsekuensi filosofis dari The Psychic Life of Power, terutama pada

perkembangan Passionate/Stubborn Attachment yang berasumsi bahwa semua bentuk

rekognisi yang diharuskan terjadi saat subyeksivikasi pasti merupakan bentuk

subordinasi17 menciptakan pandangan yang pesimistik akan alternatif perubahan.

Karena kemudian dengan demikian Butler tidak memberikan celah optimis bahwa

dapat ada sebuah bentuk rekognisi secara mutual yang dapat membentuk alternatif

subyeksivikasi yang tidak subordinatif.18

Saat The Deed Bertemu Practice Turn

Kembali lagi pada pembahasan bahwa tindakan atau the deed muncul menjadi

bentuk materialitas yang di dalamnya terkonstruk variable dari apa yang dapat

dikatakan sebagai subyek, pandangan ini dapat bertemu dengan teori-teori yang

berbasiskan praktik dan mungkin justru dapat memberikan nafas baru bagi trajektori

performativity yang dikembangkan oleh Butler maupun nafas bagi perkembangan teori

praktik. Namun saya akan mencoba melihat kemungkinan perkawinan performativitas

dengan pendekatan praktik. Sebelumnya, peralihan fokus penelitian untuk memahami

relasi hubungan yang terjadi hari ini merupakan upaya yang sifatnya progresif dan

inovatif yang sudah tidak asing dikenal dalam perjalanan studi keilmuan. Peralihan

Linguistik, Peralihan Afektif, Peralihan Postmodern, Peralihan Kritis, dan

Peralihan-peralihan lain merupakan beberapa contoh yang berkembang sebelumnya. Peralihan

yang akan menjadi fokus tulisan ini adalah Peralihan Praktik (Practice Turn) yang

17 Kirsten Campbell,

Ibid., 40

18

Hal ini dikarenakan teori subyeksivikasi Butler tarik dari konsep subyeksivikasi Michel Foucault, di mana [T]he

(8)

7 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a

ditandai oleh kemunculan teori-teori berbasis praktik pada studi keilmuan

kontemporer. Beberapa tokoh yang fokus menggeluti peralihan ini adalah Stephen

Turner19, Barry Barnes20, Ann Swidler21, Bruno Latour22, Andrew Pickering,23 dan lain dapat dipahami lebih baik dengan berfokus pada aksi

dan praktik dibanding pada aktor dan dan organisasi

Pengetahuan dikonstitusikan di dalam rangkaian praktik

Praktik adalah sudut pandang intepretatif untuk mengkaji penataan yang terorganisir daripada objek empirik ataupun domain dasar baru dalam ilmu

pengetahuan Ontologi

Epistemologi Definisi atas Praktik

Maksud dari pendekatan melalui praktik kemudian adalah untuk menjadi titik

temu dari dikotomi pendekatan sistem sosial (makro) dan perilaku sosial (mikro),

struktur dan agen, dan obyektivisme dan subyektivisme.25 Pendekatan praktik dapat

menjelaskan bagaimana pengaturan dan perubahan terjadi di ranah makro sampai

19

Terutama atas bukunya yaitu, The Social Theory of Practices: Tradition, Tacit Knowledge, and Presuppositions

pada tahun 1994 yang menekankan pada shared practices yang menciptakan tacit knowledge bagi relasi kehidupan.

20

Praktik sebagai hal yang kolektif dan imun akan analisis individualis

21

Melihat aspek organisasi dari segi praktiknya

22 Latour mengusur prinsip simetri di mana apa agensi dan atribut dari subyek manusia juga dimiliki subyek

(9)

8 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a

dengan pikiran dan interaksi individual di ranah mikro.26 Ontologi alternatif ini dapat

ditelusuri dari Anthony Giddens yang memberikan tawaran baru dalam memahami

teori sosial, yaitu bahwa agensi dari manusia dan struktur sosial saling membentuk

satu sama lain dengan perantara praktik.27 Praktik menjadi fondasi dasar dari dikotomi

subyek dan obyek. Pandangan yang terus dirujuk untuk pengembangan teori-teori

berbasis praktik. Namun kalimat ini terasa akrab. Mengingatkan pada kalimat yang

telah saya singgung sebelumnya, the deed before the doer. Apakah kemudian asumsi klaim Butler justru mendapatkan nafasnya pada teori praktik?

Secara singkat, terdapat tiga kesamaan ontologis yang dapat membuat klaim

Butler dapat dikembangkan untuk menjadi teori yang berbasiskan praktik. Pertama,

konteks kemunculan akademis Butler pun turut membantu sinergi dengan

perkembangan teori-teori praktik, karena walaupun bukan untuk menjawab

perdebatan makro-mikro secara khusus, tetapi karena menaruh pentingnya

mengintervensi pemikiran biner dan dualisme yang menubuh pada pemikiran

filosofis Barat ia pun ikut menaruh posisi yang tidak menyetujui diskursus people make

society ataupun society makes people .28 Maka kemudian Butler pun menekankan pada

aspek pendekatan alternatif lain yang tidak jatuh pada pemikiran biner itu. Karena

pemikiran biner hanya semata ilusi, hasil fiksi dari linguistik.29

Kedua, Butler memperlebar si(apa) saja yang dapat berperforma dengan

mengembangkan teori Speech Act oleh J. L. Austin. Kata memiliki pengaruh aktif

Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. Ibid., 33.

30 Kata da pe uruta dia ggap tidak ha ya se agai e tuk reflek si ti daka ya g dilakuka su yek ya g

(10)

9 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a

Namun konsekuensi dari pengembangan Speech Act Theory performativitas dari gender

seluruhnya dilihat dari konsepsi linguistik seperti kutipan dibawah ini:

[G]ender is held to be a significatory practice in which acts are to be understood through linguistic concepts and in which gender subjectivities and identifications are produced and acquire the hardness of gender ontologies in the process of their own reiterated citationality.31

Lalu apakah subyek non-manusia yang dipertimbangkan oleh Butler hanya semata

kata-kata linguistik yang terus-menerus dikutip? Tidak hanya itu. Dari aspek

performativitas yang dikembangkan Butler, ia juga memberikan gambaran betapa

penting tubuh berperan di sini. Walaupun tubuh kemudian semata menjadi panggung

atau hasil reifikasi internalisasi subyek.

Dalam teori subyeksivikasi pun ‛utler memberikan ruang pada aspek yang

non-human saat passionate/stubborn attachment yang menjadi syarat rekognisi dan

pembentukan subyek dapat berupa si(apa) pun, apa yang termasuk dalam kategorisasi

subyek maupun obyek secara tradisional. Si(apa) pun tidak penting, yang penting

adalah untuk attach to an object .32 Pandangan yang membuka peran bagi segala aspek

(obyek) untuk berkontribusi pada relasi sosial individu. Hal yang lebih sehari-hari

adalah jika saya terikat pada anda dan hal tersebut saya internalisasikan sebagai siapa

saya dalam proses subyeksivikasi, maka apalah arti saya tanpa anda?33

Terakhir, the deed atau tindakan, aksi ataupun secara luas saya artikan juga sebagai praktik , menjadi aspek material untuk melihat dinamika relasi yang nyata .

Bahkan mengapa Butler mengembangkan konsep performativitas adalah juga karena

gender hanya dapat eksis saat itu diperformakan, jika tidak, maka gender hanya

merupakan fiksi belaka. Gender reality is performative which means, quite simply, that it is real

31

(11)

10 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a only to the extent that it is performed. 34Oleh karenanya, aspek praktik atau lebih tepatnya

serangkaian praktik yang berulang menjadi aspek yang penting bagi konstruk

pemikiran Butler. Fokus analisis kemudian, seperti teori praktik, adalah pada aspek

empirik praktik yang berperforma dibandingkan fokus akan subyek atau organisasi

yang seolah-olah telah ada sebelumnya. [T]he human is not only produced over and

against the inhuman, but through a set of foreclosures, radical erasures ... .35Bahkan si(apa)

itu manusia pun tidak dapat dilihat sebagai suatu hal yang natural dan alamiah.

Tetapi walaupun terdapat tiga kesamaan yang telah dijabarkan sebelumnya,

performativitas oleh Butler tetap berada dalam trayektori pemikiran yang berbeda

dengan teori praktik yang tengah berkembang. Namun bukan berarti hal tersebut tidak

mungkin. Elin Diamond, seorang Profesor dari Amerika Serikat yang terkenal dengan

karya-karyanya yang berfokus pada perkawinan akan praktik dan feminis/teori kritis

memberikan rambu saat performativitas bersanding dalam praktik:

When performativity materializes as performance in that risky and dangerous negotiation between a doing (a reiteration of norms) and a thing done (discursive conventions that frame our interpretations), between someone's body and the conventions of embodiment, we have access to cultural meanings and critique. Performativity, I would suggest, must be rooted in the materiality and historical density of performance 36

Diamond memberikan rambu ini agar performativitas dapat memiliki nafas

dengan juga memperluas jangkauan dari fokusnya sehingga alternatif agensi

perubahan kemudian tidak dibebankan semata-mata pada aspek psikis subyek yang

conscious seperti yang coba Butler kembangkan di The Physic Life of Power37 tetapi

menjangkau alternatif yang lebih lugas dan optimis saat dapat mengkaji relasi

34

Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. Ibid., 278-279.

35 Judith Butler, Bodies That Matter: O the dis ursi e li its of se (Amerika Serikat: Routledge, 1993), 8 36

Janelle Reinelt, ‘e ie of Perfor ati ity a d Perfor a e y A dre Parker; E e Kosofsky “edg i k; Performance and Cultural Politics by Eli Dia o d , Theatre Journal, Vol. 49, No. 3 (Okt, 1997),. 382.

37

(12)

11 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a

kehidupan dengan yang dinamis ini secara mendalam dari kajian praktik yang

berlangsung.

Konklusi: Kontribusi dan Tawaran Perubahan dari Teori Praktik

Teori Praktik menawarkan sebuah alternatif untuk keluar dari dikotomi

makro-mikro dan dengan mengkaji serangkaian praktik dalam suatu peristiwa dikatakan

dapat mengakomodir aspek-aspek makro maupun mikro tanpa perlu jatuh ke salah

satu kategorisasi tersebut. Performativitas kemudian walaupun berfokus pada

performa , tetapi berada dalam trayektori akademis yang nampaknya berbeda dengan

teori-teori praktik yang tengah berkembang. Namun dari segala kritik nihilis yang

diterima oleh Butler dengan klaim-klaimnya saat mengkonstruk konsep performativitas,

saya temukan beberapa aspek yang secara ontologis cukup sejalan dengan teori praktik.

Namun persamaan dalam ranah ontologis antara performativitas dan teori

praktik tersebut pada hari ini pun tidak membuat performativitas menjadi rujukan

dalam teori praktik. Karena konsekuensi dari subyeksivikasi yang merupakan

perkembangan dari performativitas kemudian menuju ke jalur yang berbeda dengan

teori praktik saat melekatnya asumsi dasar bahwa bentuk subyektivikasi pasti

merupakan bentuk subordinasi. Dan karena asumsi bahwa tempat di mana power ada

sekaligus merupakan tempat bagi agensi membuat konsekuensi politis trayektori

pemikiran Butler menaruh alternatif tawaran perubahan di dalam subyek. Subyek yang

dengan conscious pada penulisan The Psychic Life of Power. Dalam hal ini, menitik beratkan pada aspek psikis dari manusia yang kemudian baru merujuk pada

materialitas tubuh yang bergerak atas alam kesadaran. Suatu konsekuensi yang tidak

mengakomodir aspek non-manusia yang muncul pada asumsi dasar performativitas.

Hal ini yang juga menjadi fokus Diamond saat ia berusaha mengawinkan

(13)

12 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a

dilakukan, walaupun perlu penyesuaian yang lebih menyeluruh akan aspek tindakan

sebagai bentuk reifikasi dari norma pada tubuh dan hal yang dilakukan oleh obyek .

Dalam hal ini termasuk aspek kerangka diskursif yang membingkai interpretasi.

Tentunya konsekuensi perubahan dari pendekatan ini pun akan berbeda karena

dengan demikian materialitas dan kerangka diskursif dari praktik akan menjadi dua

aspek yang harus dituntaskan dalam perumusan alternatif perubahan. Walaupun

tentunya tanpa terburu-buru meng-amin-kan rambu dari Diamond, perlu dikaji lebih

lanjut kemungkinan-kemungkinan yang lain dari perkawinan performativitas di dalam

pendekatan praktik. Namun suatu hal yang dapat disimpulkan, performativitas dapat

(14)

13 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a Daftar Pustaka

Butler, Judith. Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (Amerika Serikat:

Routledge, 1990)

--- The Psychic Life of Power (Amerika Serikat: Stanford University Press, 1997)

--- ‛odies That Matter On the discursive limits of sex (Amerika Serikat: Routledge, 1993)

Jagger, Gill. Judith Butler: Sexual Politics, Social Change and The Power of Performative

(Amerika Serikat: Routledge, 2008)

Loxley, James. Performativity (Amerika Serikat: Routledge, 2007)

Ellen, ‚my, Dependency, subordination, and recognition On Judith ‛utler s theory of subjection , Continental Philosophy Review (2006) 38: 199 222

Huizing, Ard dan Cavanagh, Mary, Planting Contemporary Practice Theory in The

Garden of Informational Science , Information Research vol. 16(4) Paper 497 (2011),

http://InformationR.net/ir/16-4/paper497.html

Campbell, Kirsten, The Plague of the Subject: Psychoanalysis and Judith ‛utler s

Psychic Life of Power , International Journal of Sexuality and Gender Studies, Vol. 6,

Nos. ½ (2001), 35-48.

Kohli, Wendy, Performativity and Pedagogy The Making of Educational Subjects ,

Studies in Philosophy and Education vol. 18 (Belanda: Kluwer Academic Publishers,

1999), 319 326

Reinelt, Janelle, Review of Performativity and Performanc eby ‚ndrew Parker Eve Kosofsky Sedgwick Performance and Cultural Politics by Elin Diamond ,

Referensi

Dokumen terkait

pada tahun 2017 berarti peningkatan aktiva ini tidak diiringi dengan perputaran aktiva secara keseluruhan sehingga tidak memberikan perubahan terhadap peningkatan

Ketika suatu liabilitas keuangan yang ada digantikan oleh liabilitas keuangan lain dari pemberi pinjaman yang sama dengan persyaratan yang berbeda secara substantial, atau

 Penyelenggara bandar udara atau perusahaan angkutan udara wajib melaporkan kepada Kepolisian dalam hal mengetahui adanya barang tidak dikenal yang patut diduga

adalah membendung bola yang dilakukan oleh satu orang pemain Block ganda adalah membendung bola yang dilakukan oleh dua orang pemain atau lebih.Hal yang harus diperhatikan dalam

Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Populasi yang dilibatkan adalah pendidik Sekolah Dasar di Sumatera Barat. Sampel dipilih secara acak dan

Untuk mengatasi permasalahan diatas, penulis memberikan beberapa saran, yaitu sebaiknya perusahaan mengakui semua biaya yang timbul atas perolehan aset tetap sebagai

mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pemakaian bahasa ( langauge use ) adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi konkret.. Ketika seseorang berada

Walaupun sej ak penet apan UU No.23/ 1999 t ent ang Bank Indonesia yang kemudian diamandemen menj adi UU No.3/ 2004, pembent ukan Ot orit as Jasa Keuangan (OJK) t et ap