PERFORMATIVITY DI
DALAM PRACTICE TURN
Judith Butler, Subjek yang Berperforma, dan
Teori Berbasis Praktik
Priska Sabrina Luvita
Desember 2014
1 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a
Performativity di Dalam Practice Turn
Judith Butler, Subjek yang Berperforma, dan Pendekatan Berbasis Praktik
[T]here is no being behind doing, effecting, becoming the doer is merely a fiction added to the deed—the deed is everything. Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals)
Subjek Revolusi: Sebuah Prolog
“Workers of the World, Unite. You have nothing to lose but your chains!”, kalimat di
akhir buku Communist Manifesto oleh Karl Marx dan Frederick Engels yang tersohor itu
saya jadikan kalimat pembuka pada prolog ini bukanlah untuk direproduksi ulang
pada tulisan singkat ini. Kalimat ini saya kutip sebagai upaya untuk pengontrasan.
Dalam kalimat singkat yang membara ini dapat dilihat bahwa revolusi membutuhkan
massa dalam hal ini tentunya, manusia yang secara spesifik merupakan kaum
proletar yang tereksploitasi dan terampas hidupnya oleh para kaum borjuis. Pemikiran
ini akan kemudian sangat kontras dengan teori-teori dan pendekatan yang berkembang
sekitar dua dekade belakangan ini, yaitu teori-teori berbasiskan praktik atau yang
disebut Practice Theory.
Maka kemudian tulisan ini akan bertujuan untuk memperlihatkan kontras
pemikiran ini, terutama dengan fokus kepada pemikiran yang relatif baru
berkembang beberapa dekade belakangan ini. Sebuah perkenalan yang akan dibuka
pintu awalnya dalam mengembangkan tulisan ini dengan pemikiran Judith Butler,
seorang filsuf feminis pos-strukturalis Amerika Serikat. Pemikiran Butler penulis ambil
karena ia menentang klaim para pemikir feminis lainnya yang direpresentasikan oleh
kritiknya pada Monique Wittig, yaitu yang mengharuskan adanya doer behind the deed1
1
2 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a
dalam praktik material budaya dalam kontruksi gender.2 Klaim yang mengundang
kontroversi inilah kemudian menjadi jelas dan signifikan kemudian jika dipandang dari
sudut pandang Practice Theory hari ini. Oleh karenanya, pemikiran-permikiran oleh
Butler, terutama Performativity akan menjadi jangkar dalam tulisan ini.3
Perkara Subjek yang Berperforma: the Deed before the Doer
Judith ‛utler, sebagai seorang filsuf feminis, memang senang menciptakan riak di atas air yang tenang . 4 Dari seluruh karir Butler, terdapat tiga klaim kontroversial
yang menjadi basis analisisnya, yaitu: Pertama, bahwa gender (yang berbeda maknanya
dengan sex atau jenis kelamin) sampai dengan tubuh dengan identitas jenis kelamin
tertentu bukanlah suatu hal yang natural. Suatu yang sifatnya lahiriah akan secara
otomatis melekat sebagai identitas dari seseorang. Kedua, karena gender bukanlah suatu
hal yang natural, Butler menolak ontologi biner dari gender maupun jenis kelamin yang
selalu terbagi dua. Secara gamblang bahkan Butler mengungkapkan bahwa cara
berpikir dualistik tersebut merupakan suatu bentuk fiksi yang meregulasikan
bentuk-bentuk rezim heteroseksual.5 Sebuah bentuk kekuatan atas sistem pengaturan tubuh.
Terakhir, klaim kontroversial yang seringkali menjadi aspek yang banyak dikritik dan
sekaligus yang menjadi pembuka tulisan ini, yaitu bahwa tidak ada pelaku di balik
tindakan . Klaim ini diutarakan karena saat gender merupakan fiksi, maka kategorisasi
atas si apa perempuan kemudian tidak dapat dilihat sebagai suatu yang semudah
aspek biologis. Lalu kenapa pelaku , dalam artian ini subyek, hilang? Jika subyek
hilang, bagaimana dengan agensi perubahan? Dengan konsekuensi fatal untuk
2
Sesuai tradisi feminis, gender dianggap sebagai aspek yang sama sekali berbeda dengan jenis kelamin (sex).
3 Walaupun akan juga sedikit menyinggung Teori Subyeksivikasi oleh Butler 4Atau ya g ia se diri se ut se agai
testing the ater, melakukan analisis yang akan menciptakan kontroversi
ha ya u tuk e a ta g do i asi take for gra ted dari basis pengetahuan sebelumnya.
5
3 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a
menghilangkan subyek, apakah mungkin perubahan dapat dilakukan tanpa adanya
agen perubahan yang bersatu seperti seruan dari Marx?
Rangkaian pertanyaan di atas kemudian menjadi kritik umum6 mengenai klaim
Butler yang mengambil akar dari pemikiran Nietzche, there is no doer behind the deed . Pemikiran yang amat kontras dengan pemikiran fundamentalis identitas politik; di
mana identitas diasumsikan untuk hadir sebelum kepentingan politik ada, sehingga
kepentingan politik dan tindakan politik hanya merupakan elaborasi dari identitas dari
entitas yang telah ada sebelumnya.7 Tetapi kemudian kritik akan subyek tetap muncul
dalam pemikiran Butler kerap kali terus bermunculan dan dianggap menjadi titik
lemah dari konstruk teoritis Butler. Konsekuensi pemikiran ini kemudian juga berupa
pertanyaan akan si(apa) subyek yang mampu untuk berperforma?
Konteks keilmuan pada zaman tercetusnya klaim kontroversial oleh Butler
tersebut adalah karena terdapat kecemasan atas kritik tanpa agensi yang jika dapat
disimpulkan secara cukup reduktif, merupakan kritik yang kontra revolusioner. Butler
sendiri, yang mendedikasikan dirinya untuk mengungkap bentuk power (kuasa) atas
gender berkata bahwa, for power to act, there must be a subject .8 Maka kemudian untuk
memahami dan (jika ingin) memberikan gugatan atas klaim tersebut, saya kemudian
mencoba menelusuri klaim ini di dalam trajektori pemikiran Butler sendiri dengan
bertanya, Jika benar demikian, lalu bagaimana? . Namun, sebelum sampai kepada
telusuran bagaimana tersebut, sedikit akan saya singgung latar belakang kemunculan
klaim akademis Butler. Klaim Butler muncul untuk memberikan alternatif dari
terbentuknya subyek yang menjadi perdebatan esensialis dan konstruktivis. Apakah
kemudian subyek ada prior dari budaya ataukah subyek dibentuk dari konstruk budaya.
6
Para tokoh yang terkenal dengan kritiknya pada Butler antara lain adalah Seyla Benhabib, Drucilla Cornell dan Nancy Fraser. Lebih lanjut lihat di Kirsten Campbell, The Plague of the “u je t: Psy hoa alysis a d Judith Butler s
Psy hi Life of Po er , International Journal of Sexuality and Gender Studies, Vol. 6, Nos. ½ (2001), 36
7
Ibid., 194-195
8
4 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a
Terlebih dari itu, karena Butler menolak pemikiran biner yang menjadi umum tidak
hanya dalam pemikiran feminis, tetapi dalam trayek filosofi pemikiran Barat, Butler
juga memberikan klaim ini untuk menantang dikotomi subyek/obyek. Perdebatan yang
dijawab Butler dengan klaim-klaim kontroversialnya. Tetapi kemudian performativitas
yang dikembangkan Butler banyak digunakan pada pengkajian studi teater selain
tentunya, studi akan feminis (spesifiknya studi akan queer). Lalu bagaimana
konsekuensi pemikiran Butler kemudian?
Terlepas dari gugatan kritik dan konteks perdebatan keilmuan yang coba di usik
oleh Butler, ia tidak menyatakan bahwa dengan demikian subyek kemudian hilang.
Semudah bahwa dengan asumsinya, subyek tidak harus selalu ada di balik setiap
tindakan. Sebaliknya, subyek, atau the doer terkonstruk secara variable di dalam dan
melalui deeds atau tindakan-tindakannya.9 Konsep performativity yang selanjutnya
dikembangkan Butler dari istilah performative oleh John L. Austin pada tahun 1955 dan
Jacques Derrida10 kemudian lebih memfokuskan agensi dari kata-kata. Subyek
berperforma yang menantang dikotomi subyek/obyek. Jadi dapat ditarik kesimpulan
bahwa Butler tidak menghilangkan subyek, ia melebarkan si(apa) yang mampu
berperforma dalam mempengaruhi dunia. Subyek tidak dibentuk oleh budaya, namun
subyek terbentuk dan hanya mungkin dibentuk dari serangkaian tindakan yang terus
berulang (Acts of styled repetition). The deed before the doer. Tetapi pelebaran subyek
Butler lebih difokuskan pada aspek linguistik seperti yang diungkapkannya pada salah
satu bagian dari The Psychic Life of Power di bawah ini:
The subject" is sometimes bandied about as if it were interchangeable with "the person" or "the individual. The genealogy of the subject as a critical category, however,
9 Kutipan aslinya berupa [T]he doer is aria l o stru ted i a d through the deed ,
Ibid., 195
10
James Loxley, Performativity (Amerika Serikat: Routledge, 2007), 5 da We dy Kohli, Perfor ati ity a d
5 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a suggests that the subject, rather than be identified strictly with the individual, ought to be designated as a linguistic category, a placeholder, a structure in formation. 11
Dan dapat dilihat juga penekanannya pada kutipan dibawah ini:
As we have seen, for Butler identity is produced through the repetition of imitative or citational acts: the subject, the speaker or doer, is thus the creation of the doing, a creation dissimulated as the deed s origin.12
Namun pada perkembangannya, terutama pada karyanya setelah Gender Trouble
(1990) dan Bodies That Matter (1993) yaitu The Psychic Life of Power (1997), Butler lebih
memfokuskan kajian teoritisnya pada aspek psikis manusia yang menjadi subyek yang
dibentuk oleh power daripada aspek material tubuh.13 Dalam karyanya ini, Butler
mengembangkan teori Subyeksi (Subjection), di mana subyek neither fully determined by
power nor fully determining of power (but significantly and partially both) 14 dan [T]here is no
formation of the subject without a passionate attachment to subjection 15 Pemahaman ini sulit
untuk diterjemahkan, namun mengingat trajektori pemikiran Butler sangat
terpengaruhi oleh interpelasi oleh Althusser dan iterabilitas16 dari Derrida, kalimat di
atas dapat dipahami bahwa Butler bermaksud untuk mengungkapkan betapa eksistensi
subyek sangat bergantung pada bentuk power dan tidak ada yang lebih
mendeterminasi relasi antar keduanya. Keduanya saling mendeterminasi dan
terdeterminasi sehingga yang ada adalah relasi yang dinamis diantara keduanya.
Itterability atau iterabilitas merupakan suatu istilah yang menyerupai konsep (quasi-concept), namun bukan merupakan konsep yang dikembangkan oleh Derrida. Iterabilitas adalah kondisi yang memungkinkan suatu untuk
eksis da alid da pada saat ya g ersa aa juga e gu gkapka ko disi ya g tidak e u gki ka suatu
6 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a
Subyeksivikasi, atau bentuk internalisasi atas identitas di sini, merupakan upaya paling
banal untuk mempertahankan eksistensi subyek.
Namun konsekuensi filosofis dari The Psychic Life of Power, terutama pada
perkembangan Passionate/Stubborn Attachment yang berasumsi bahwa semua bentuk
rekognisi yang diharuskan terjadi saat subyeksivikasi pasti merupakan bentuk
subordinasi17 menciptakan pandangan yang pesimistik akan alternatif perubahan.
Karena kemudian dengan demikian Butler tidak memberikan celah optimis bahwa
dapat ada sebuah bentuk rekognisi secara mutual yang dapat membentuk alternatif
subyeksivikasi yang tidak subordinatif.18
Saat The Deed Bertemu Practice Turn
Kembali lagi pada pembahasan bahwa tindakan atau the deed muncul menjadi
bentuk materialitas yang di dalamnya terkonstruk variable dari apa yang dapat
dikatakan sebagai subyek, pandangan ini dapat bertemu dengan teori-teori yang
berbasiskan praktik dan mungkin justru dapat memberikan nafas baru bagi trajektori
performativity yang dikembangkan oleh Butler maupun nafas bagi perkembangan teori
praktik. Namun saya akan mencoba melihat kemungkinan perkawinan performativitas
dengan pendekatan praktik. Sebelumnya, peralihan fokus penelitian untuk memahami
relasi hubungan yang terjadi hari ini merupakan upaya yang sifatnya progresif dan
inovatif yang sudah tidak asing dikenal dalam perjalanan studi keilmuan. Peralihan
Linguistik, Peralihan Afektif, Peralihan Postmodern, Peralihan Kritis, dan
Peralihan-peralihan lain merupakan beberapa contoh yang berkembang sebelumnya. Peralihan
yang akan menjadi fokus tulisan ini adalah Peralihan Praktik (Practice Turn) yang
17 Kirsten Campbell,
Ibid., 40
18
Hal ini dikarenakan teori subyeksivikasi Butler tarik dari konsep subyeksivikasi Michel Foucault, di mana [T]he
7 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a
ditandai oleh kemunculan teori-teori berbasis praktik pada studi keilmuan
kontemporer. Beberapa tokoh yang fokus menggeluti peralihan ini adalah Stephen
Turner19, Barry Barnes20, Ann Swidler21, Bruno Latour22, Andrew Pickering,23 dan lain dapat dipahami lebih baik dengan berfokus pada aksi
dan praktik dibanding pada aktor dan dan organisasi
Pengetahuan dikonstitusikan di dalam rangkaian praktik
Praktik adalah sudut pandang intepretatif untuk mengkaji penataan yang terorganisir daripada objek empirik ataupun domain dasar baru dalam ilmu
pengetahuan Ontologi
Epistemologi Definisi atas Praktik
Maksud dari pendekatan melalui praktik kemudian adalah untuk menjadi titik
temu dari dikotomi pendekatan sistem sosial (makro) dan perilaku sosial (mikro),
struktur dan agen, dan obyektivisme dan subyektivisme.25 Pendekatan praktik dapat
menjelaskan bagaimana pengaturan dan perubahan terjadi di ranah makro sampai
19
Terutama atas bukunya yaitu, The Social Theory of Practices: Tradition, Tacit Knowledge, and Presuppositions
pada tahun 1994 yang menekankan pada shared practices yang menciptakan tacit knowledge bagi relasi kehidupan.
20
Praktik sebagai hal yang kolektif dan imun akan analisis individualis
21
Melihat aspek organisasi dari segi praktiknya
22 Latour mengusur prinsip simetri di mana apa agensi dan atribut dari subyek manusia juga dimiliki subyek
8 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a
dengan pikiran dan interaksi individual di ranah mikro.26 Ontologi alternatif ini dapat
ditelusuri dari Anthony Giddens yang memberikan tawaran baru dalam memahami
teori sosial, yaitu bahwa agensi dari manusia dan struktur sosial saling membentuk
satu sama lain dengan perantara praktik.27 Praktik menjadi fondasi dasar dari dikotomi
subyek dan obyek. Pandangan yang terus dirujuk untuk pengembangan teori-teori
berbasis praktik. Namun kalimat ini terasa akrab. Mengingatkan pada kalimat yang
telah saya singgung sebelumnya, the deed before the doer. Apakah kemudian asumsi klaim Butler justru mendapatkan nafasnya pada teori praktik?
Secara singkat, terdapat tiga kesamaan ontologis yang dapat membuat klaim
Butler dapat dikembangkan untuk menjadi teori yang berbasiskan praktik. Pertama,
konteks kemunculan akademis Butler pun turut membantu sinergi dengan
perkembangan teori-teori praktik, karena walaupun bukan untuk menjawab
perdebatan makro-mikro secara khusus, tetapi karena menaruh pentingnya
mengintervensi pemikiran biner dan dualisme yang menubuh pada pemikiran
filosofis Barat ia pun ikut menaruh posisi yang tidak menyetujui diskursus people make
society ataupun society makes people .28 Maka kemudian Butler pun menekankan pada
aspek pendekatan alternatif lain yang tidak jatuh pada pemikiran biner itu. Karena
pemikiran biner hanya semata ilusi, hasil fiksi dari linguistik.29
Kedua, Butler memperlebar si(apa) saja yang dapat berperforma dengan
mengembangkan teori Speech Act oleh J. L. Austin. Kata memiliki pengaruh aktif
Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. Ibid., 33.
30 Kata da pe uruta dia ggap tidak ha ya se agai e tuk reflek si ti daka ya g dilakuka su yek ya g
9 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a
Namun konsekuensi dari pengembangan Speech Act Theory performativitas dari gender
seluruhnya dilihat dari konsepsi linguistik seperti kutipan dibawah ini:
[G]ender is held to be a significatory practice in which acts are to be understood through linguistic concepts and in which gender subjectivities and identifications are produced and acquire the hardness of gender ontologies in the process of their own reiterated citationality.31
Lalu apakah subyek non-manusia yang dipertimbangkan oleh Butler hanya semata
kata-kata linguistik yang terus-menerus dikutip? Tidak hanya itu. Dari aspek
performativitas yang dikembangkan Butler, ia juga memberikan gambaran betapa
penting tubuh berperan di sini. Walaupun tubuh kemudian semata menjadi panggung
atau hasil reifikasi internalisasi subyek.
Dalam teori subyeksivikasi pun ‛utler memberikan ruang pada aspek yang
non-human saat passionate/stubborn attachment yang menjadi syarat rekognisi dan
pembentukan subyek dapat berupa si(apa) pun, apa yang termasuk dalam kategorisasi
subyek maupun obyek secara tradisional. Si(apa) pun tidak penting, yang penting
adalah untuk attach to an object .32 Pandangan yang membuka peran bagi segala aspek
(obyek) untuk berkontribusi pada relasi sosial individu. Hal yang lebih sehari-hari
adalah jika saya terikat pada anda dan hal tersebut saya internalisasikan sebagai siapa
saya dalam proses subyeksivikasi, maka apalah arti saya tanpa anda?33
Terakhir, the deed atau tindakan, aksi ataupun secara luas saya artikan juga sebagai praktik , menjadi aspek material untuk melihat dinamika relasi yang nyata .
Bahkan mengapa Butler mengembangkan konsep performativitas adalah juga karena
gender hanya dapat eksis saat itu diperformakan, jika tidak, maka gender hanya
merupakan fiksi belaka. Gender reality is performative which means, quite simply, that it is real
31
10 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a only to the extent that it is performed. 34Oleh karenanya, aspek praktik atau lebih tepatnya
serangkaian praktik yang berulang menjadi aspek yang penting bagi konstruk
pemikiran Butler. Fokus analisis kemudian, seperti teori praktik, adalah pada aspek
empirik praktik yang berperforma dibandingkan fokus akan subyek atau organisasi
yang seolah-olah telah ada sebelumnya. [T]he human is not only produced over and
against the inhuman, but through a set of foreclosures, radical erasures ... .35Bahkan si(apa)
itu manusia pun tidak dapat dilihat sebagai suatu hal yang natural dan alamiah.
Tetapi walaupun terdapat tiga kesamaan yang telah dijabarkan sebelumnya,
performativitas oleh Butler tetap berada dalam trayektori pemikiran yang berbeda
dengan teori praktik yang tengah berkembang. Namun bukan berarti hal tersebut tidak
mungkin. Elin Diamond, seorang Profesor dari Amerika Serikat yang terkenal dengan
karya-karyanya yang berfokus pada perkawinan akan praktik dan feminis/teori kritis
memberikan rambu saat performativitas bersanding dalam praktik:
When performativity materializes as performance in that risky and dangerous negotiation between a doing (a reiteration of norms) and a thing done (discursive conventions that frame our interpretations), between someone's body and the conventions of embodiment, we have access to cultural meanings and critique. Performativity, I would suggest, must be rooted in the materiality and historical density of performance 36
Diamond memberikan rambu ini agar performativitas dapat memiliki nafas
dengan juga memperluas jangkauan dari fokusnya sehingga alternatif agensi
perubahan kemudian tidak dibebankan semata-mata pada aspek psikis subyek yang
conscious seperti yang coba Butler kembangkan di The Physic Life of Power37 tetapi
menjangkau alternatif yang lebih lugas dan optimis saat dapat mengkaji relasi
34
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. Ibid., 278-279.
35 Judith Butler, Bodies That Matter: O the dis ursi e li its of se (Amerika Serikat: Routledge, 1993), 8 36
Janelle Reinelt, ‘e ie of Perfor ati ity a d Perfor a e y A dre Parker; E e Kosofsky “edg i k; Performance and Cultural Politics by Eli Dia o d , Theatre Journal, Vol. 49, No. 3 (Okt, 1997),. 382.
37
11 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a
kehidupan dengan yang dinamis ini secara mendalam dari kajian praktik yang
berlangsung.
Konklusi: Kontribusi dan Tawaran Perubahan dari Teori Praktik
Teori Praktik menawarkan sebuah alternatif untuk keluar dari dikotomi
makro-mikro dan dengan mengkaji serangkaian praktik dalam suatu peristiwa dikatakan
dapat mengakomodir aspek-aspek makro maupun mikro tanpa perlu jatuh ke salah
satu kategorisasi tersebut. Performativitas kemudian walaupun berfokus pada
performa , tetapi berada dalam trayektori akademis yang nampaknya berbeda dengan
teori-teori praktik yang tengah berkembang. Namun dari segala kritik nihilis yang
diterima oleh Butler dengan klaim-klaimnya saat mengkonstruk konsep performativitas,
saya temukan beberapa aspek yang secara ontologis cukup sejalan dengan teori praktik.
Namun persamaan dalam ranah ontologis antara performativitas dan teori
praktik tersebut pada hari ini pun tidak membuat performativitas menjadi rujukan
dalam teori praktik. Karena konsekuensi dari subyeksivikasi yang merupakan
perkembangan dari performativitas kemudian menuju ke jalur yang berbeda dengan
teori praktik saat melekatnya asumsi dasar bahwa bentuk subyektivikasi pasti
merupakan bentuk subordinasi. Dan karena asumsi bahwa tempat di mana power ada
sekaligus merupakan tempat bagi agensi membuat konsekuensi politis trayektori
pemikiran Butler menaruh alternatif tawaran perubahan di dalam subyek. Subyek yang
dengan conscious pada penulisan The Psychic Life of Power. Dalam hal ini, menitik beratkan pada aspek psikis dari manusia yang kemudian baru merujuk pada
materialitas tubuh yang bergerak atas alam kesadaran. Suatu konsekuensi yang tidak
mengakomodir aspek non-manusia yang muncul pada asumsi dasar performativitas.
Hal ini yang juga menjadi fokus Diamond saat ia berusaha mengawinkan
12 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a
dilakukan, walaupun perlu penyesuaian yang lebih menyeluruh akan aspek tindakan
sebagai bentuk reifikasi dari norma pada tubuh dan hal yang dilakukan oleh obyek .
Dalam hal ini termasuk aspek kerangka diskursif yang membingkai interpretasi.
Tentunya konsekuensi perubahan dari pendekatan ini pun akan berbeda karena
dengan demikian materialitas dan kerangka diskursif dari praktik akan menjadi dua
aspek yang harus dituntaskan dalam perumusan alternatif perubahan. Walaupun
tentunya tanpa terburu-buru meng-amin-kan rambu dari Diamond, perlu dikaji lebih
lanjut kemungkinan-kemungkinan yang lain dari perkawinan performativitas di dalam
pendekatan praktik. Namun suatu hal yang dapat disimpulkan, performativitas dapat
13 | P r i s k a S a b r i n a L u v i t a Daftar Pustaka
Butler, Judith. Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (Amerika Serikat:
Routledge, 1990)
--- The Psychic Life of Power (Amerika Serikat: Stanford University Press, 1997)
--- ‛odies That Matter On the discursive limits of sex (Amerika Serikat: Routledge, 1993)
Jagger, Gill. Judith Butler: Sexual Politics, Social Change and The Power of Performative
(Amerika Serikat: Routledge, 2008)
Loxley, James. Performativity (Amerika Serikat: Routledge, 2007)
Ellen, ‚my, Dependency, subordination, and recognition On Judith ‛utler s theory of subjection , Continental Philosophy Review (2006) 38: 199 222
Huizing, Ard dan Cavanagh, Mary, Planting Contemporary Practice Theory in The
Garden of Informational Science , Information Research vol. 16(4) Paper 497 (2011),
http://InformationR.net/ir/16-4/paper497.html
Campbell, Kirsten, The Plague of the Subject: Psychoanalysis and Judith ‛utler s
Psychic Life of Power , International Journal of Sexuality and Gender Studies, Vol. 6,
Nos. ½ (2001), 35-48.
Kohli, Wendy, Performativity and Pedagogy The Making of Educational Subjects ,
Studies in Philosophy and Education vol. 18 (Belanda: Kluwer Academic Publishers,
1999), 319 326
Reinelt, Janelle, Review of Performativity and Performanc eby ‚ndrew Parker Eve Kosofsky Sedgwick Performance and Cultural Politics by Elin Diamond ,