BAHASA DAN GENDER
Dalam Keragaman Pemahaman
Dr.Hj. Huriyah Saleh, M.Pd
BAHASA DAN GENDER
Dalam Keragaman Pemahaman
© Huriyah Saleh, 2017
Penulis:
Dr. Hj. Huriyah Saleh, M.Pd
Disain Grafis:
Tim Kreatif Eduvision
Cetakan I: September 2017
ISBN: 978-602-5521-13-3
Diterbitkan oleh:
EDUVISION
Graha Bima Terrace A-60 Cirebon, Jawa Barat, Indonesia Email: eduvision_publishing@yahoo.com
www.eduvision.webs.com
All right reserved
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Rabby yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Tanpa hidayah dan taufik-Nya, mustahil buku ini akan terselesaikan. Shalawat dan salam untuk Baginda Rasulullah, para keluarganya, para sahabatnya dan parapengikutnya, termasuk kita semua.
Buku yang berjudul “Bahasa dan Gender dalam Keragaman Pemahaman” ini isinya sebagian merupakan perbaikan dari artikel-artikel sosiolinguistik yang pernah penulis terbitkan dalam jurnal, namun
artikel-artikel tersebut telah direvisi kembali oleh penulis (revised edition) dan sebagian
lagi diambil dari buku-buku bacaan “Sociolinguistics”, sehingga dengan
kehadiran buku ini diharapkan dapat dijadikan referensi (buku rujukan) yang sangat bermanfaat bagi para mahasiswa jurusan Tadris Bahasa Inggris (TBI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Syekh Nurjati Cirebon dalam mempelajari “Sociolinguistics” yang ditulis
dalam bahasa Indonesia, mengingat buku semacam ini masih jarang tersedia di pasaran.
Kita dapat mengartikan bahwa “Sociolinguistics is study the relationship
between language and society”. Artinya ilmu yang mengkaji hubungan antara bahasa dengan masyarakat. Sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakaian bahasa di dalam masyarakat.
Pemakaian bahasa (language use) merupakan bentuk interaksisosial yang terjadi
dalam situasi konkret. Misalnya seseorang yang berada di dalam masyarakat, maka ia tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah dari yang lainnya. Ia merupakan anggota dari kelompok masyarakat sosialnya. Oleh karena itu,
bahasa dan pemakaian bahasa (language use) tidak diamati sebagai individual
melainkan merupakan gejala sosial. Bahasa dan pemakaian bahasa (language
use) yang dipandang sebagai gejala sosial tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor-faktor linguistik, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor-faktor-faktor sosial, situasional
dan kultural. Dalam hal ini Fishman menyebutnya sebagai : “who speak what
language to whom and when”. Faktor-faktorsosial, situasional dan kultural yang
mempengaruhi pemakaian bahasa (language use) dalam istilah sosiolinguistik hal
ini disebut sebagai variasi bahasa (language variety). Untuk dapat menggunakan
Dengan terbitnya buku “Bahasa dan Gender dalam Keragaman Pemahaman” ini didorong oleh tekad yang kuat dan motivasi diri yang tinggi serta dukungan dari berbagai pihak, terutama sekali dari Direktur Program Pasca Sarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Bapak Prof. Dr. H. Jamali, M.Ag. Sahabat penulis Bapak Prof. Dr. H. Ilzamuddin Ma’mur, M.Pd (Guru Besar UIN Banten) dan Bapak Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Bapak Dr. H. Sumanta, M.Ag. Terima kasih atas dorongan yang telah diberikan kepada penulis untuk segera mutasi ke guru Besar, karena pada saat ini pemerintah melalui Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) memberi kemudahan dan peluang bagi para dosen yang sudah Doktor/S3 dan menduduki golongan IV/C/Lektor Kepala untuk segera memproses mutasi ke guru besar, hal ini dikarenakan untuk mengisi kekosong anantara jumlah perguruan tinggi dengan jumlah guru besar yang ada masih belum seimbang (balance). Sehubungan dengan itu maka para dosen yang berada pada level tersebut termasuk penulis untuk segera menulis karya ilmiah di antaranya menulis buku. Dukungan juga datang dari orang-orang terdekat dan terkasih, yaitu suami, anak-anak, cucu-cucu, kakak-kakak dan adik-adik serta ananda Ai Sabrina tercinta yang selalu membantu dalam penulisan buku ini.
Terima kasih penulis sampaikan pula kepada semua pihak atas segala bantuan baik moril maupun materil terhadap penulis selama penulisan buku ini, sehingga penulisannya dapat dirampungkan bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah 1438 H atau hari raya qurban tanggal 01 September 2017.
Akhirnya, dengan selesainya penulisan buku ini, penulis sudah
sepatutnya untuk mengucapkan syukur Alhamdulillah, karena hanya berkat
hidayah dan bimbingan-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi masyarakat, khususnya bagi para mahasiswa yang mencintai bahasa dan gender yang pada akhirnya akan dapat menjadi sebuah amal shaleh yang berbuah pahala selamanya, sebagai bekal di akhirat
kelak. Amin ya Rabbal’alamin.
Hanya Allah Yang Maha Benar, sementara bagi penulis kesalahan dan kekhilafan bisa saja terjadi dalam penulisan buku ini. Untuk itu masukan dalam rangka penulisan berikutnya sangat diharapkan.
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : BAHASA DALAM PENDEKATAN SOSIOLINGUISTIK
I. PENDAHULUAN_____1
II. PEMBAHASAN_____2
1. Pentingnya Bahasa_____2
2. Hakikat Bahasa_____3
3. Bahasa dalam Konteks Sosial_____4
4. Variasi Bahasa_____7
5. Penelitian Ilmiah tentang Bahasa_____12
6. Hubungan Antara Bahasa dengan Masyarakat_____15
7. Sosialinguistik dan Sosiologi Bahasa_____16
8. Bahasa dalam Pendekatan Sosiolinguistik_____19
III. KESIMPULAN_____20
REFERENSI_____21 BAB II. PENGGUNAAN BAHASA
DALAM MASYARAKAT MULTILINGUAL
I. PENDAHULUAN_____23
II.PEMBAHASAN_____25
1. Hakikat Masyarakat Tutur (Speech Community)____25
2. PemilihanVariasi / Kode dalam masyarakat Multilingual (Multilingual Community)_____27
3. Diglossiaatau Polyglossia_____31
4. Sikap terhadap H (High) VS L (Low) dalam situasi
Diglossia_____35
5. Alih Kode (Code Switching) atau Campur Kode
(Code Mixing)_____36
6. Situational dan Metaphorical Switching_____38 III. KESIMPULAN_____39
REFERENSI_____40
BAB III :BAHASA, DIALEK DAN VARIASI
I. PENDAHULUAN_____43
II.PEMBAHASAN_____45
1. Variasi Bahasa dan Dialek_____45
2. Dialek Regional Sebagai Variasi Bahasa_____50
3. Gaya (Style) dan Register_____53
III. KESIMPULAN_____56
BABIV : KESOPANSANTUNAN BERBAHASA DAN SOLIDARITAS
I. PENDAHULUAN_____59
II.PEMBAHASAN_____61
1. HakikatKesopansantunan_____61
2. Prinsip-prinsip Maxim Dalam Kesopansantunan_____63
3. Pandangan Nosi Muka Terhadap Istilah
Kesopansantunan_____67
4. Strategi untuk Melakukan Face Threatening Acts
(FTA)_____68
5. KritikTerhadapTeori Kesopansantunan Brown dan
Levinson_____70
6. Kontrak Percakapan dalam Berinteraksi_____71
7. Kesopansantunan Linguistik dalam Budaya yang
Berbeda_____72
8. Kesopansantunan dan Solidaritas dalam Penggunaan Thou/To
(Bentuk-bentuksaya) dan You/Vous (Kamu dalam Bahasa yang berbeda_____74
9. Istilah Pegadresan dan Syarat-syaratnya_____79
10. Beberapa Bahasa Memiliki Sistem Kesopansantunan yang
Kompleks_____82
11. Prinsip Kesopansantunan dalam Berbahasa_____87
12. Strategi dalam Percakapan_____88
III. KESIMPULAN_____88
REFERENSI_____89
BAB V :ANALISIS PERCAKAPAN (INTERAKSI SOSIAL MENGHADAPI BEBERAPAREFLEKSI GENRE DAN REGISTER)
I. PENDAHULUAN_____91
II.PEMBAHASAN_____97
1. Batasan Studi Analisis Percakapan_____97
2. Hakikat Register_____97
3. Hakikat Genre_____102
III. KESIMPULAN_____106
REFERENSI_____107
BAB VI : SOSIOLINGUISTIK DANPENDIDIKAN BAHASA I. PENDAHULUAN_____109
II.PEMBAHASAN_____110
1. Hakikat Sikap_____110
2. Sikap Terhadap Bahasa_____111
3. Istilah Sosiolinguistik_____114
4. Masalah-masalah dalam Sosiolinguistik_____116
5. Manfaat Sosiolinguistik_____117
6. Pendidikan Bahasa_____119
III. KESIMPULAN_____126 REFERENSI_____127 BAB VII : BAHASA DAN GENDER
I. PENDAHULUAN_____129
II.PEMBAHASAN_____130
1. Beberapa Pendekatan tentang Bahasa dan Gender_____130
2. Hubungan antara Bahasa dan Gender_____133
3. Suara Perempuan dan Laki-laki_____134
4. Aksen Feminitas_____135
5. Apakah Bahasa itu Seksis?_____136
6. Gender dalam Bahasa Pria dan Wanita_____139
7. Perbedaan Bahasa Pria dan Wanita_____139
8. Dominasi Bahasa Pria_____148
9. Bahasa Wanita Masa Kini: Cerdas, Terbuka dan
Mandiri_____149
III. KESIMPULAN_____150
REFERENSI_____152
BAB VIII : PUISITENTANG KEHIDUPAN “PEREMPUAN-PEREMPUAN PERKASA: SEBUAH KAJIAN GENDER”
I. PENDAHULUAN_____153
II.PEMBAHASAN_____158
1. Hakikat Puisi_____158
1.1.Pengertian Puisi_____158
1.2.Unsur-unsur dalam Puisi_____160
2. Hakikat Gender_____165
3. Puisi “Perempuan-Perempuan Perkasa”_____167
4. Makna Kehidupan dan Cinta Kasih dalam Puisi
“Perempuan-perempuan Perkasa”_____168
III. KESIMPULAN_____172
REFERENSI_____178
BAB IX : VARIASI BAHASADALAM MENULIS PESAN SINGKAT (SHORTMESSAGE SYSTEM) (QUALITATIVE RESEARCH)
A. LATAR BELAKANG MASALAH_____175
B. PERTANYAAN PENELITIAN_____177
C. TUJUAN PENELITIAN_____178
D. MANFAAT PENELITIAN_____178
E. KAJIAN TEORI_____179
1. Variasi Bahasa dalam Menulis Pesan Singkat atau SMS
(Short Message System)_____179
2. VariasiBahasa_____180
F. METODOLOGI PENELITIAN_____192
1. Tujuan Khusus Penelitian_____192
2. Tempat dan Waktu Penelitian_____192
3. Metode Penelitian_____192
4. Data dan Sumber Data_____194
5. Instrumen Penelitian_____195
6. Teknik Pengumpulan Data_____195
7. Teknik Analisis Data_____197
8. Interpretasi Data_____197
9. Pemeriksaan Keabsahan Data_____198
G. PAPARAN DATA_____199
H. TEMUAN PENELITIAN_____214
I. KESIMPULAN_____215
REFERENSI_____216 DAFTAR PUSTAKA
BAB I
BAHASA DALAM PENDEKATAN SOSIOLINGUISTIK
I.
PENDAHULUAN
Allah subhanahu wata’ala telah mengangkat derajat manusia lebih tinggi
dari pada makhluk-makhluk lain ciptaanNya melalui bahasa. Allah
menyebutkan secara jelas dan tegas di dalam Al-Qur’an, suarat Al-Baqarah ayat
31, yang terjemahannya sebagai berikut : “Dan Dia mengajarkan semua nama
benda kepada Nabi Adam”. Hal itu diajukan-nya pula kepada malaikat-malaikat
Allah. Kemudian Dia berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku semua itu jika kamu
memang benar”. Para malaikat ternyata tidak mampu menyebutkan
nama-nama benda itu, sedangkan Nabi Adam, Bapak seluruh umat manusia yang
baru saja diciptakan-Nya mampu menyebutkannya. Inilah sumber paling
otentik dan sangat dipercaya yang mengatakan sejak semula manusia telah
dibekali dengan kemampuan berbahasa. Kemampuan ini terus berkembang
sesuai dengan perkembangan zaman serta terus berubah sesuai dengan
perubahan situasi dan kondisi yang melingkupi manusia.
Bahasa adalah sarana kemanusiaan yang mengubah manusia dari
makhluk biologis menjadi makhluk sosiokultural (Sabarti Akhadiah, 1999).
Bahasa sebagai wahana komunikasi manusia sangat penting dan sangat
dibutuhkan oleh setiap manusia dalam berinteraksi dengan manusia lain.
Komunikasi dapat menjadi perekat yang mengikat orang-orang dalam sistem
kemasyarakatan. Masyarakat atau sistem sosial manusia berdasarkan pada
komunikasi kebahasaan, tanpa bahasa sistem komunikasi manusia tidak akan
ada dan akan lenyaplah manusia. Oleh karena itu, bahasa tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia dan juga dari para penuturnya, baik
penutur sebagai individu maupun penutur sebagai kelompok yang memahami
keanekaragaman bahasa yang digunakan oleh masyarakat, baik masyarakat
monolingual maupun multilingual.
Dimensi kemasyarakatan terhadap bahasa mendapat perhatian lebih
dari para ahli bahasa, pada dua dasa warsa belakangan yang dapat
menimbulkan ragam-ragam bahasa yang tidak hanya berfungsi sebagai
petunjuk adanya perbedaan antara para penuturnya, tetapi juga sebagai
indikasi situasi penggunaan bahasa. Pengkajian bahasa dengan dimensi
kemasyarakatan seperti itulah yang dikaji di dalam sosio linguistik.
II.
PEMBAHASAN
1.
Pentingnya Bahasa
Bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan mengikuti
di dalam setiap pekerjaannya. Mulai saat bangun tidur pagi-pagi sampai larut
malam waktu ia beristirahat, manusia tidak lepasnya memakai bahasa, bahkan
pada waktu tidurpun tidak jarang ia “memakai bahasanya”. Pada waktu
manusia diam (kelihatan tidak berbicara), pada hakikatnya ia masih juga
memakai bahasa, karena bahasa merupakan sarana yang digunakan orang
untuk membentuk pikiran dan mengungkapkan perasaan, kemauan dari
tindakan-tindakannya, sarana yang dipakai orang untuk mempengaruhi dan
dipengaruhi; dan bahasa juga merupakan tanda yang jelas dari kepribadian
seseorang, yang baik maupun yang buruk; tanda yang jelas dari keluarga dan
bangsa; tanda yang jelas dari budi pekerti seseorang. Dari pembicaraan
seseorang, kita dapat memahami tidak hanya keinginannya, pendidikannya,
pergaulannya, kebudayaannya, kebiasaannya dan lain sebagainya. Itulah
2.
Hakikat Bahasa
Bahasa menurut pandangan Todd (2000) diartikan sebagai berikut:
Bahasa memiliki ciri-ciri yang sama dalam beberapa hal. Pertama, semua
bahasa mempunyai “sumber yang sama” yaitu kelompok masyarakat pemakai
bahasa (the group of community of language user); kedua, semua bahasa mempunyai “tujuan yang sama” yaitu sebagai sarana untuk menyampaikan
pikiran, perasaan, dan sikap seseorang; ketiga, semua bahasa mempergunakan
“medium yang sama” yaitu bunyi bahasa (language sound). Sedangkan menurut pandangan Lim Kiat Boey (1975) mengenai bahasa bahwa bahasa
berbeda antara satu dengan yang lainnya dalam hal struktur yaitu sistem atau
aturan-aturan dan kaidah-kaidah yang dipergunakannya. Artinya bahwa
bahasa-bahasa di dunia ini mempunyai sistemnya sendiri-sendiri, yakni sistem
lambang bunyi tersebut bersifat arbitrer (arbitrary) artinya adalah bahwa hubungan antara konsep dan lambang bunyi bahasa tidak selalu dapat
dijelaskan secara logis karena hanya berdasarkan atas persetujuan
(kesepakatan) bersama (social convention) antara anggota masyarakat pemakai bahasa tersebut (Fromkin, et-al, 1999).
Misalnya orang Indonesia menyebut tumbuhan yang berbatang
keras, besar dan berdaun dengan sebutan [pohon], orang Inggris
menyebutnya dengan sebutan [
tree
], orang Arab menyebutnya dengan
sebutan [
sajaroh
], orang Sunda menyebutnya [
tangkal
] dan orang Jawa
menyebutnya dengan sebutan [
uwit atau wiwitan
].
Karena perbedaan-perbedaan dalam sistem inilah maka bahasa itu
merupakan sesuatu yang unik dan harus dipelajari. Dan disebabkan bahasa
itu dalam beberapa hal mempunyai ciri-ciri yang sama, maka bahasa itu
dapat dipelajari oleh siapapun. Artinya meskipun sebuah bahasa itu
mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu
digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang
tataran fonologis, morfologis, sintaksis maupun pada tataran leksikon (Abdul
Chaer & Leonie Agustina, 2005). Oleh karena bahasa berfungsi sebagai alat
untuk menyatakan perasaan, pengalaman dan pendapat seseorang mengenai
dunia yang ditinggalinya, maka melalui bahasa inilah manusia mampu
mengungkap rahasia alam, menaklukkannya dan menyususn ilmu
pengetahuan serta membangun kebudayaan.
Berdasarkan penjelasan mengenai bahasa seperti telah diuraikan di atas
menunjukkan betapa eratnya hubungan antara bahasa dengan kehidupan
manusia. Bahasa tidak hanya merupakan sarana kemanusiaan, tetapi bahasa
juga memberikan suatu kesiap-siagaan intelektual dan lebih memungkinkan
pencapaian-pencapaian sosial (Chauchard, 1983). Kesiap-siagaan intelektual
merupakan suatu sikap manusia yang dipakai sebagai titik tolak bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan pencapaian sosial
adalah hasil yang diperoleh dalam kehidupan masyarakat dan dalam lingkup
kehidupan. Semakin tinggi perkembangan bahasa suatu masyarakat, semakin
besar pula hasil yang diperoleh, berarti semakin tinggi pula nilai kebudayaan
masyarakat yang bersangkutan. Karena bahasa merupakan bagian dari
kebudayaan, maka bahasa mengelompokkan antara dunia alamiah dan dunia
budaya dalam cara-cara yang bermanfaat. Bahasa merupakan sistem
pengelompokkan yang dapat memberikan petunjuk tentang bagaimana
mempelajari kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai budaya, sistem
pengelompokkan merupakan kesepakatan sosial.
3.
Bahasa dalam Konteks Sosial
Para ahli bahasa mempelajari hubungan antara bahasa dengan
masyarakat. Mereka sangat tertarik untuk menjelaskan mengapa kita
berbicara dengan cara yang berbeda dalam konteks sosial yang berbeda dan
menunjukkan fungsi sosial dari bahasa serta cara-cara di mana bahasa itu
digunakan untuk menjelaskan makna sosial dari bahasa itu sendiri. Kita
karena kita berbicara dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial yang
mempengaruhi pemilihan dari cara-cara berbicara yang tepat. Perhatikan
percakapan antara Ray dengan kepala sekolah dan Ray dengan ibunya.
Contoh 1
Ray : Good morning, sir
Principle : What are you doing here at this time?
Ray : Mr. Button kept up in, sir
Contoh 2
Ray : Hi, mom
Mum : You’re late
Ray : Yeah, that bastard sootbucket kept us in again.
Mum : Nana’s here
Ray : : Oh sorry. Where is she?
Apabila kita melihat, membaca dan memperhatikan contoh percakapan
antara Ray dengan Kepala Sekolah digambarkan dengan fakta bahwa bahasa
membantu adanya sebuah jarak antara Ray dengan Kepala Sekolah atau ada
sesuatu yang harus dihormati oleh Ray ketika menyapa Kepala Sekolah karena
konteks/setting percakapan itu terjadi di sekolah, sehingga percakapan itu
menjadi formal dan bahasa yang digunakan juga harus bahasa formal.
Sementara ketika Ray berbicara dengan ibunya, ada sesuatu yang intim dan
akrab terjadi antara Ray dengan ibunya karena percakapan itu terjadi di
rumah. Karena konteksnya di rumah, maka percakapanpun menjadi tidak
formal sehingga bahasa yang dipakaipun menjadi tidak formal juga (alias
bahasa informal). Dengan demikian, ketika kita berbicara dengan orang lain
harus selalu memperhatikan konteks sosial dan konvensi masyarakat di mana
bahasa itu digunakan. Dalam kaitan ini Wardhaugh (1998) memberikan
pengertian bahasa sebagai berikut: “A language is a system of arbitrary vocal
syimbols by a means of group of people to interact, with social convention”.
digunakan oleh sekelompok masyarakat dalam berinteraksi sesuai dengan
konvensi (kesepakatan) masyarakatnya.
Berdasarkan kesepakatan para ahli bahasa, khusus dalam bidang
sosiolinguistik, bahasa juga diistilahkan dengan kode sebagai berikut: “ code is
a set of conversations for converting one signaling system into another. In
sociolinguistics code refers to a langauge as a variety of language”. ( Holmes,
1994).
Dalam kaitan ini Ferdinand de saussure dalam Wardhaugh (1998)
membedakan antara langue dan parole, sedangkan Chomsky membedakannya
antara competence dan performance. Yang dimaksud dengan Competence
adalah kemampuan seseorang dalam berkomunikasi sesuai dengan fungsi dan
situasi serta norma-norma dalam konteks sosialnya, sedangkan performance
adalah kemampuan seseorang dalam mengungkapkan ujaran-ujuran yang
ingin di sampaikannya sesuai dengan tingkatan sosialnya.
Kemampuan bahasa yang dimiliki oleh penutur beserta keterampilan
mengungkapkan sesuai dengan fungsi dan situasi serta norma-norma
pemakaian dalam konteks sosialnya disebut dengan kemampuan komunikatif.
Sementara kemampuan komunikatif seseorang dalam menyampaikan sesuatu
kepada orang lain harus memperhatikan faktor sosial yakni siapa yang
berbicara dan dengan siapa kita berbicara; konteks sosial di mana terjadinya
interaksi (di mana mereka berbicara); topik, yakni apa yang dibicarakan; dan
fungsi percakapannya itu untuk apa? yakni mengapa mereka berbicara. Ini
artinya bahwa untuk dapat disebut berkemampuan komunikatif di samping
mempunyai kemampuan-kemampuan sebagaimana telah disebutkan di atas,
para penutur pun harus memiliki kemampuan struktural untuk membedakan
kalimat-kalimat grammatikal dan yang tidak grammatikal. Setiap penutur
dituntut memiliki keterampilan untuk memiliki bentuk-bentuk bahasa yang
sesuai dengan situasinya, menyesuaikan ungkapan dengan setiap tingkah
lakunya dan tidak hanya menginterpretasi makna referensial tetapi harus
Seluruh elemen yang terdapat dalam kemampuan komunikatif seseorang
ini harus diperhitungkan dalam pemberian bahasa secara menyeluruh, bulat
dan utuh. Sebab antara elemen yang satu dengan elemen yang lain saling
berkaitan. Dengan tidak mengabaikan gradasi di antara penutur-penuturnya.
Kemampuan komunikatif semacam itu pada dasarnya dimiliki oleh setiap
anggota masyarakat dan menjadi milik seluruh masyarakat.
4.
Variasi Bahasa
Seperti diketahui bersama bahwa setiap bahasa memiliki sejumlah
variasi dan perbedaan. Para ahli mencoba memberikan berbagai pengertian
tentang variasi bahasa. Holmes (1994) mendefinisikan variasi bahasa sebagai
berikut: “variety is a specific set of linguistic items on speech patterns (for example: sounds, words, grammatical features) which can uniquely associate external factor (in social groups)”. Artinya variasi bahasa adalah sekumpulan item-item linguistik khusus terhadap pola-pola bahasa (seperti: bunyi,
kata-kata, ciri-ciri tata bahasa) yang secara unik dapat menghubungkan faktor
eksternal (dalam kelompok-kelompok masyarakat). Holmes (1994) juga
membedakan variasi bahasa ke dalam bahasa vernacular, standard, Lingua Franca, Pidgin dan Creole.
Vernacular, digunakan dalam banyak cara. Vernacular biasanya
merujuk pada sebuah bahasa yang belum distandarkan (dibakukan) dan belum
memiliki status resmi. Misalnya: bahasa Buang di Papua New Guinea disebut
sebagai bahasa vernacular. Di dalam masyarakat multilingual, banyak etnis
(suku) yang berbeda atau bahasa yang berbeda digunakan oleh
kelompok-kelompok yang berbeda merujuk pada bahasa-bahasa vernacular. Seperti
Indonesia memiliki banyak bahasa vernacular misalnya: ada bahasa Jawa,
Sunda, Batak, Minang, Sasak, Betawi, Madura dan sebagainya. Semua
bahasa-bahasa tersebut merujuk kepada bahasa-bahasa vernacular. Vernacular biasanya
disebut sebagai bahasa pertama dipelajari oleh orang-orang dalam masyarakat
fungsi-fungsi informal. Istilah vernacular pada umumnya merujuk pada bahasa
percakapan (bahasa sehari-hari) digunakan untuk berkomunikasi di rumah
dengan teman-teman dekat. Ia juga disebut sebagai bahasa solidaritas antara
orang-orang dari kelompok suku yang sama. Bahasa vernacular juga digunakan
oleh orang-orang untuk berinteraksi sehari-hari dalam domain-domain
informal.
Standard, bahasa standar lebih halus dari pada bahasa vernacular
karena ia digunakan dalam banyak cara yang berbeda oleh para ahli bahasa.
Variasi standar pada umumnya merupakan bahasa tulis dan yang telah melalui
beberapa tingkatan aturan atau kodifikasi (misalnya: dalam sebuah grammar
dan sebuah kamus). Variasi standar dikenal sebagai variasi yang berwibawa
oleh sekelompok masyarakat, dan variasi ini digunakan untuk fungsi-fungsi
yang formal (tinggi) sepanjang adanya perbedaan-perbedaan dari variasi
informal (rendah). Holmes (1994) mengemukakan bahwa perkembangan dari
bahasa Inggris menjelaskan tiga kriteria penting yang
mencirikan/menunjukkan sebuah bahasa standar yaitu: ia merupakan variasi
yang berwibawa dan berpengaruh, ia dibakukan dan distabilkan dan ia
membantu fungsi-fungsi formal (tinggi) yang digunakan oleh banyak orang
untuk berkomunikasi di pengadilan, literatur dan administrasi.
Lingua Franca diartikan oleh Wardhaugh (1998) sebagai berikut: “a
lingua Franca as a language which is used habitually by people whose mother
tongues are different in order to facilitate communication between them”.
Artinya bahwa UNESCO pada tahun 1953 dalam Wardhaugh (1998)
mendefinisikan Lingua Franca sebagai bahasa yang digunakan secara
kebiasaan oleh orang-orang yang bahasa ibunya berbeda untuk memfasilitasi
komunikasi di antara mereka. Definisi ini tidak berbeda apa yang dikemukakan
oleh Holmes (1994) sebagai berikut: “Lingua Franca defined as a language used
for communication between people whose first langauges differ” . Artinya
bahwa Lingua Franca diartikan sebagai bahasa yang digunakan untuk
Lingua Franca disebut juga sebagai bahasa pergaulan di antara orang-orang
yang bahasa pertamanya berbeda untuk berkomunikasi di antara mereka.
Misalnya Tukano merupakan Lingua Franca yang digunakan di antara
orang-orang Colombia dan India, yang tinggal di daerah Amazon antara wilayah
Colombia dan Brazil. Jika orang-orang India ingin berkomunikasi dengan non
India, mereka menggunakan Lingua Franca sebagai bahasa kedua mereka. Di
Papua New Guinea, Tokpisin dijadikan sebagai Lingua Franca. Lingua Franca,
pada awalnya sering berkembang sebagai bahasa perdagangan yang
menjelaskan adanya pengaruh dari faktor-faktor ekonomi terhadap perubahan
bahasa. Di Afrika Barat, Hausa dipelajari sebagai bahasa kedua dan digunakan
hampir di setiap tempat pasar. Di Afrika Timur, Swahili digunakan secara
meluas sebagai bahasa perdagangan dan ia juga dikenal dan digunakan secara
meluas di pemerintahan Tanzania, bahkan dipilih untuk dipromosikan sebagai
bahasa nasional negeri tersebut. Sejarah Tokpisin juga sama dengan sejarah
bahasa Swahili. Ia meluas sebagai Lingua Franca yang bermanfaat untuk
perdagangan di Papua New Guinea, dan menjadi terkenal dan digunakan serta
diangkat sebagai bahasa resmi.
Di belahan dunia yang lain, bahasa Arab, Mandarin dan Hindi telah
digunakan sebagai Lingua Franca. Dari sini, bahasa Arab menjadi Lingua
Franca dihubungkan dengan meluasnya Islam. Kini, bahasa Inggris digunakan
di banyak tempat dan banyak tujuan sebagai Lingua Franca, misalnya: dalam
perjalanan dan sering dalam perdagangan, komersial dan hubungan-hubungan
Internasional.
Pidgin dan Creole
Pidgin merupakan sebuah bahasa yang tidak memiliki native speaker, ia bukan bahasa pertama seseorang tetapi ia merupakan bahasa kontak (Holmes,
1994).
Pidgin
seringkali dianggap sebagai variasi yang diturunkan untuk
Dengan penyederhanaan tata bahasa dan kosakata dari bahasa itu, variasi
Fonologi yang dapat dipertimbangkan, kebutuhan-kebutuhan spesial dari
kelompok kontak. Proses Pidginisasi mungkin memerlukan sebuah situasi
yang melibatkan sedikitnya tiga bahasa, satu dari bahasa dominan di atas
yang lainnya.
Pidgin
bangkit dari penyederhanaan sebuah bahasa ketika
bahasa itu datang untuk mendominasi kelompok-kelompok penutur yang
dipisahkan dari yang lain oleh perbedaan-perbedaan bahasa. Misalnya
bahasa China
Pidgin
digunakan secara penting oleh para penutur dari
bahasa-bahasa China yang berbeda, dan
Tokpisin
digunakan sebagai sebuah
bahasa persatuan di antara para penutur dari banyak bahasa-bahasa yang
berbeda di Papua New Gunea.
Mengapa bahasa Pidgin berkembang?
a. Bahasa Pidgin berkembang sebagai alat komunikasi antara orang-orang yang tidak mempunyai bahasa umum. Pidgin bangkit ketika dua kelompok dengan bahasa-bahasa yang berbeda berkomunikasi
dalam situasi di mana ada bahasa ketiga yang dominan.
b. Pidgin berkembang sebagai bahasa perdagangan antara para pedagang, menggunakan bahasa kolonial. Seperti bahasa Portugis
dan Spanyol, atau bahasa Inggris, India, China, Afrika atau Amerika
yang mereka berdagang. Ia terjadi di pesisir pantai dalam konteks
multilingual.
c. Pidgin berkembang dengan sebuah jarak dari fungsi-fungsi yang sempit. Pidgin digunakan sebagai tujuan khusus, seperti perdagangan atau mungkin administrasi (Holmes, 1994).
bahasa Creole. Sehingga, Tok pisin seringkali disebut Pidgin dan seringkali disebut Creole.
Pidginisasi pada umumnya melibatkan beberapa jenis penyederhanaan
dari sebuah bahasa, misalnya pengurangan dalam morfologi dan sintak,
toleransi dari variasi fonologi yang dapat dipertimbangkan, pengurangan
dalam jumlah fungsi-fungsi di mana Pidgin digunakan dari peminjaman kata-kata yang mahal dari mother tongues lokal. Sebaliknya kreolisasi melibatkan perluasan morfologi dan sintak, aturan fonologi, peningkatan yang sengaja
dalam banyak fungsi di mana bahasa itu digunakan dan perkembangan dari
system yang stabil dan rasional untuk peningkatan kosakata, tetapi bahkan
proses yang berbeda, ia masih belum jelas apakah kita sedang membicarakan
tentang Pidgin, sebuah Pidgin yang meluas atau sebuah Creole dalam situasi tertentu.
Bahasa Pidgin dan Creole didistribusikan biasanya di tempat-tempat yang aksesnya mudah dan langsung ke samudera-samudera. Konsekuensinya,
mereka diperoleh secara pokok di Caribean, sekitar pantai Timur dan Utara
dari Amerika bagian Selatan, sekitar pantai Afrika, khususnya pantai Barat dan
menyebrangi lautan Pacific dan India. Distribusi mereka nampak menjadi
akrab dihubungkan dengan pola-pola perdagangan, termasuk perdagangan
para buruh. Hancock dalam (Wardhaugh, 1998) mencatat 127 Pidgin dan
Creole. Tiga puluh lima Pidgin dan Creole berasal dari bahasa Inggris. Misalnya: Creole berdasar bahasa Inggris, yaitu: Antigua, Barbados, Grenada, Jamaica dan
Guyana. Yang lainnya Creole berdasar bahasa Perancis, misalnya: Mantinique,
St. Lucia dan Haiti: Aruba, Bonaire, Curacao berasal dari Creole Portugis, dan
satu kepulauan Virgin berasal dari Creole Belanda.
5.
Penelitian Ilmiah Tentang Bahasa
Sebagaimana kajian ilmiah tentang bahasa dan seperti kajian-kajian
ilmiah lainnya, dalam kaitan ini, analisis bahasa perlu dilakukan secara
melalui pengamatan secara objektif terhadap data bahasa yang aktual dan
memodifikasi teori sesuai dengan apa yang dirasakannya menjadi pola atau
keteraturan yang mendasari data itu. Dalam bagian ini dijelaskan bahwa
bahasa memenuhi kriteria ilmu atau pengetahuan ilmiah seperti dikemukakan
oleh Louis O. Kattsoff (1989) bahwa bahasa tersususun dari
perangkat-perangkat tanda yang digabungkan dengan cara-cara tertentu. Ada tanda satu
demi satu seperti yang ditunjukkan oleh huruf abjad. Apabila
huruf-huruf ini digabungkan dengan cara-cara tertentu menimbulkan apa yang
dinamakan ‘kata-kata’ atau ‘istilah-istilah dasar’ bahasa. Misalnya, huruf-huruf
abjad ‘L’, ‘e’, ‘t’, ‘b’, ‘a’ jika disusun secara tepat dapat menghasilkan kata table yang artinya ‘meja’ dalam bahasa Indonesia. Jadi, hakikat bahasa terletak pada
kesesuaian antara bunyi bahasa (fonem), dengan lambang yang ditunjukkan melalui huruf abjad. Kemudian, penyusunan huruf-huruf itu secara tepat yang
membentuk kata-kata atau istilah-istilah dasar bahasa yang mengandung kata
tertentu.
Hal senada dengan apa yang dikemukakan oleh Djunaidi (1987) bahwa
bahasa memenuhi kriteria ilmu atau pengetahuan ilmiah sebagai berikut:
1) Objektif, artinya tidak hanya berdasarkan pendapat peneliti
sendiri;
2) Empiris, artinya berdasarkan data yang dapat diamati oleh panca
indera;
3) Logis, artinya prosedur dan pengumpulan data melalui penalaran
ilmiah atau sintesis antara penalaran induktif dan deduktif; dan
4) Rasional, artinya pembahasan data berdasarkan rasio (pikiran)
atau masuk akal.
Penalaran induktif atau induksi ilmiah dikemukakan oleh Djunaidi (1987)
sebagai cara berfikir di mana ditarik kesimpulan yang bersifat umum
(generalization) dari berbagai kasus yang bersifat individual. Langkah-langkah yang ditempuh dalam induksi ilmiah sebagai berikut:
2) Memahami (dengan pemikiran) data yang diamati;
3) Merumuskan hipotesis atau jawaban sementara; dan
4) Menguji hipotesis yang dirumuskan.
TEORI
FAKTA
Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini 1) Mengamati data Empiris:
Bahasa Inggris
a. Car = Mobil (tunggal)
b.Cars = Lebih dari satu mobil (jamak) c. Table = Meja (tunggal)
d.Tables = Lebih dari satu meja (jamak) e. Teacher = Guru (tunggal)
f. Teachers = Lebih dari satu guru (jamak)
2) Memahami, data yang diamati yakni akhiran ‘S’ pada kata-kata ‘cars’, ‘tables’ dan ‘teachers’ dipergunakan untuk menyatukan jamak atau lebih dari satu.
Memahami data
yang diamati
Merumuskan
Hipotesis
Khasanah
pengetahuan ilmiah
Mengamati
Data Empiris
Ditolak
Menguji
Hipotesis
3) Merumuskan hipotesis: yakni akhiran ‘s’ pada kata benda (noun)
dipergunakan untuk menyatakan ‘jamak’.
4) Menguji hipotesis yang dirumuskan dengan data pendukung.
Hipotesis diterima, artinya didukung oleh fakta lainnya, misalnya:
bentuk jamak ‘chair’ adalah ‘chairs’, bentuk jamak ‘pen’ adalah ‘pens’ dan seterusnya. Untuk selanjutnya menjadi khasanah pengetahuan
yang pada gilirannya dapat dipergunakan untuk meneliti dan
memahami data lain. Selanjutnya, hipotesis ditolak, artinya tidak
didukung oleh fakta lainnya, misalnya bentuk jamak ‘foot’ adalah ‘feet’ bukan *foots*. Dengan melalui langkah yang sama dapatlah ditentukan hipotesis ke 2, yaitu perubahan vokal [u]-[i] dalam kata
benda ‘foot’ [fut], ‘feet’ [fit] digunakan untuk menyatakan ‘jamak’, data pendukung misalnya kata lainnya seperti:
Goose [gus]-geese[gis] dan seterusnya
Logika deduktif, yaitu penalaran kesimpulan dari hal yang
bersifat umum menjadi khusus yang bersifat individual, juga
dipergunakan dalam tahap lanjut dari analisis bahasa.
Di samping bahasa itu logis/ilmiah, ada juga bahasa konseptual,
emosional dan puitis. Bahasa bukan hanya ekspresi gagasan/pikiran,
melainkan juga ekspresi perasaan dan afeksi. Contoh yang sangat sederhana.
Kita dapat melihat perkembangan kemampuan bicara seorang anak kecil yang
mulanya ditandai dengan jeritan-jeritan yang bersifat emosional. Kemudian
perkembangan fisik yang diikuti oleh perkembangan pikiran akan menuntut
anak berupaya mengungkapkan pikiran/gagasan yang merupakan perwujudan
sosialisasi terhadap lingkungannya.
Uraian yang telah dikemukakan di atas menunjukkan timbulnya bahasa
dan pertanyaan berikutnya muncul apakah akibat-akibat yang ditimbulkan
dari bahasa tersebut bagi perkembangan kebudayaan manusia secara
pengalaman manusia yang dirasakan penting bagi perorangan atau bagi
masyarakat. Bahasa mencerminkan dunia apa adanya. Bahasa tidak hanya
mencerminkan pengalaman manusia serta kondisi lingkungan di mana
pengalaman itu berkembang tetapi juga mempunyai pengaruh atas
pengalaman-pengalaman tersebut (Titus, et.al., 1984).
6.
Hubungan Antara Bahasa Dengan Masyarakat
Seperti telah diuraikan di atas bahwa bahasa memiliki hubungan yang
sangat erat dengan masyarakat. Bahasa dapat mempengaruhi
pengalaman-pengalaman manusia. Seringkali orang memandang bahasa sebagai alat
komunikasi saja, padahal lebih dari itu. Dalam kehidupan sehari-hari kita,
disadari atau tidak, langsung atau tidak langsung, tindakan kita sering
dipengaruhi oleh bahasa. Misalnya bahasa iklan, mampu mempengaruhi
orang-orang untuk membeli barang-barang hasil produksi perusahaan tersebut.
Contoh lain yaitu bahasa agama, mampu mempengaruhi seseorang atau
sekelompok orang pemeluk agama itu untuk bertindak sesuai dengan
ajaran-ajaran agama tersebut sebagaimana yang diinginkan oleh mereka yang
menyususn bahasa tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka bahasa dapat
mempengaruhi pengalaman dan pemikiran manusia dengan cara yang
bermacam-macam, baik dengan cara halus, membujuk bahkan sampai dengan
cara mengajak, dengan cara itu dapat memproyeksi bagaimana bahasa
membentuk alamnya sendiri dalam dunia kita. Bahasa juga dapat mencetak
pikiran-pikiran para penuturnya karena terdapat interaksi antara
bentuk-bentuk bahasa yang digunakan oleh seseorang dengan peradaban manusia.
Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Harry Hoijer dalam Titus
(1984) seorang ahli bahasa mengemukakan bahwa bahasa bukan hanya
sebagai alat komunikasi saja, ia juga merupakan suatu cara untuk
mengarahkan persepsi para penuturnya dan menyediakan cara-cara yang
biasa untuk memperoleh pengalaman ke dalam ketegori-ketegori penting.
penutur bergantung pada berapa besar dalam melakukan kegiatan berbahasa
yang digunakannya. Semakin sering seseorang melakukan aktivitas berbahasa,
maka semakin besar pula peran bahasa dalam membentuk seperangkat cara
yang besar-besar mampu mengarahkan persepsi para penutur kepada tujuan
yang digunakan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan mengapa orang yang
tidak pernah melakukan aktivitas berbahasa, seperti anak terasing yang tidak
memiliki cara-cara yang lazim dan memiliki kemampuan untuk
mengungkapkan perasaannya sebagaimana yang dilakukan manusia normal.
7.
Sosiolinguistik dan Sosiologi Bahasa
Sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya
dengan pemakainnya di dalam masyarakat. Senada dengan apa yang dikatakan
oleh Holmes (1994) bahwa “sociolinguistics study the relationship between language and society”. Ini berarti bahwa sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta merupakan
bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Appel, R (1976)
mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pemakaian bahasa (langauge use) adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi konkret. Ketika seseorang berada di dalam masyarakat tidak lagi dipandang sebagai individu
yang terpisah dari yang lainnya. Ia merupakan anggota dari kelompok
masyarakat sosialnya. Oleh karena itu, bahasa dan pemakaian bahasanya tidak
diobservasi secara individual, tetapi dikaitkan dengan kegiatannya di dalam
masyarakat atau dengan kata lain, bahasa tidak saja dipandang sebagai
individual tetapi juga merupakan gejala sosial.
Bahasa dan pemakaian bahasa yang dipandang sebagai gejala sosial tidak
hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik (linguistic factors), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor nonlinguistik, antara lain adalah faktor-faktor
Di samping pemakaian bahasa dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial
seperti telah diuraikan di atas, pemakaian bahasa juga dipengaruhi oleh apa
yang disebut dengan faktor-faktor situasional, misalnya: siapa yang berbicara
dengan bahasa apa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa seperti
dikemukakan oleh Fishman (1976), “who speak what language to whom and when”.
Faktor-faktor sosial dan situasional yang ada di masyarakat dan juga
mempengaruhi pemakaian bahasa memunculkan keanekaragaman bahasa
atau dalam sosiolinguistik disebut dengan variasi bahasa. Variasi bahasa
tampak dalam pemakaiannya baik secara individu maupun secara kelompok.
Secara individu, peristiwa itu dapat kita amati pada pemakaian orang
perorang. Setiap orang berbeda cara pemakaian bahasanya. Perbedaan itu
dapat kita lihat dari segi pengucapannya, intonasinya, pillihan kata-katanya,
susunan kalimatnya, cara berbicaranya dan lain sebagainya. Pemakaian bahasa
perseorangan sering disebut oleh Abdul Chaer dan Leonie (2005) sebagai
idiolek. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasanya
atau idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa,
susunan kalimat dan sebagainya. Namun yang paling dominan adalah “warna”
suara itu, suara bicaranya tanpa melihat orangnya kita dapat mengenali orang
yang berbicara.
Dalam masyarakat yang para penuturnya heterogen terdapat
keanekaragaman pemakaian bahasa yang dapat dikenal antara lain dengan
memperhatikan adanya berbagai dialek. Dialek diartikan oleh Holmes
(1994:132) sebagai berikut: “Dialect is variety of a language used by a group of spekers whitin a particular speech community (there is mutual intelligible). Artinya bahwa dialek merupakan variasi dari sebuah bahasa digunakan oleh
sekelompok penutur di dalam masyarakat bahasa khusus (adanya saling
pengertian). Dialek menunjukkan adanya kekhususan pemakaian bahasa di
dalam daerah tertentu atau tingkat masyarakat tertentu, yang berbeda dengan
pemakaian bahasa yang disebabkan oleh perbedaan asal daerah penuturnya
disebut dialek geografis, sedangkan perbedaan pemakaian bahasa karena
perbedaan tingkat kemasyarakatan penuturnya disebut dialek sosial Holmes,
(1994) mengemukakan sebagai berikut: social dialect : a dialect is spoken by a speech community that is marely socially isolated (there is unmutual intelligible). Artinya bahwa dialek sosial atau sosialek adalah sebuah dialek yang diucapkan
oleh kelompok masyarakat bahasa yang secara sosial terisolasi (tidak ada
saling pengertian). Dalam pengertian seperti ini mungkin sekali dalam suatu
dialek geografis terdapat pula berbagai sosiolek, sebab masyarakat penutur
yang memakai dialek daerah itu terdiri dari tingkat kemasyarakatannya (social level).
Seperti apa yang telah diuraikan di atas menunjukkan terdapat
hubungan antara bahasa dan pemakaian bahasa dengan peristiwa-peristiwa
sosial. Kita mengetahui bahwa antara bahasa dan peristiwa kebahasaan
termasuk bidang kajian linguistik. Sedangkan masyarakat dan
peristiwa-peristiwa kemasyarakatannya termasuk bidang kajian sosiologi. Studi
interdisipliner yang mempelajari masalah-masalah kebahasaan dalam
hubungannya dengan masalah sosial dikenal dengan sebutan sosiolinguistik
(Fishman, 1976). Dalam hal ini Fishman lebih cenderung untuk menyebutkan
sebagai sosiologi bahasa (language sociology), dengan pertimbangan, karena studi ini pada hakikatnya mempelajari masalah-masalah sosial dalam
hubungannya dengan pemakaian bahasa, dengan memasukkan unsur
kebudayaan yang melatarbelakangi pemakaian bahasa. Appel (1976)
menyebut sosiolinguistik sebagai studi tentang bahasa dan pemakaian bahasa
dalam hubungannya dengan masyarakat dan kebudayaan sementara Hymes
(1975) lebih menitik beratkan pada segi kegunaannya. Hymes mengemukakan
bahwa sosiolinguistik dapat dipakai sebagai petunjuk tentang kemungkinan
pemakaian data dan analisis linguistik dalam disiplin-disiplin lain yang
berhubungan dengan kehidupan sosial dan sebaliknya, pemakaian data dan
oleh Fishman (1976) sebagai berikut: melihat sosiolinguistik dari sudut adanya
hubungan variasi bahasa, fungsi bahasa, dan pemakaian bahasa serta akibat
terjadinya interaksi antara ketiganya, dan memberikan batasan sosiolinguistik
sebagai studi tentang sifat-sifat khusus/karakteristik variasi bahasa, sifat-sifat
khusus fungsi bahasa, dan sifat-sifat khusus pemakaian bahasa dan hubungan
interaksi serta perubahan-perubahan antara ketiganya di dalam masyarakat
tuturnya.
8.
Bahasa Dalam Pendekatan Sosiolinguistik
Sosiolinguistik memandang bahasa dan pemakaian bahasa tidak hanya
sebagai sistem struktur tetapi juga sebagai sistem komunikasi. Dalam
pengertian seperti telah diuraikan di atas, maka bahasa tidak saja ditentukan
oleh faktor-faktor struktural tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor sosial,
faktor-faktor situasional dan faktor-faktor kultural. Faktor-faktor struktural
(structural factors) berhubungan dengan kaidah-kaidah tata bahasa (grammatical rules), dan juga termasuk aspek linguistik (linguistic aspects). Sedangkan faktor-faktor sosio situasio-kultural (cultural-situational factors) berhubungan dengan pemilihan variasi bahasa dalam konteks sosialnya dan
termasuk dalam aspek nonlinguistik. Agar supaya kita dapat menggunakan
bahasa dengan baik, benar dan tepat sebagai sarana komunikasi, maka kita
perlu memperhatikan baik aspek linguistik maupun aspek nonlinguistik. Sebab
bahasa yang baik (secara situasional) tidak selalu benar (secara grammatika)
dan belum tentu tepat (secara kultural). Untuk dapat berbicara dengan benar
secara grammatikal dan terampil memiliki variasi bahasa yang baik dan tepat
sesuai dengan konteks sosialnya, kita perlu memadukan antara ketiga aspek di
atas, yakni aspek grammatikal, situasional dan aspek kultural. Hal ini
III.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian mengenai pentingnya bahasa, hakikat bahasa,
bahasa dalam konteks sosial, variasi bahasa, penelitian ilmiah tentang bahasa,
hubungan antara bahasa dengan masyarakat, sosiolinguistik dan sosiologi
bahasa dan yang terakhir pendekatan sosiolinguistik terhadap bahasa seperti
telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa dalam
pandangan sosiolinguistik sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta
merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan, sehingga dalam hal ini
sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan
pemakaiannya di dalam masyarakat. Ketika seseorang berada di dalam
masyarakat tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah dari yang
lainnya, tetapi ia merupakan anggota kelompok sosialnya. Sehingga bahasa dan
pemakaian bahasanya tidak diamati secara individual tetapi merupakan gejala
sosial.
Bahasa dan pemakaian bahasa yang dipandang sebagai gejala sosial tidak
hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik (linguistic factors) tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor nonlinguistik antara lain faktor-faktor sosial
seperti: status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin
dan sebagainya, sehingga dengan adanya faktor-faktor tersebut di atas, maka
bahasa dan pemakaian bahasa dapat memunculkan keanekaragaman bahasa
yang digunakan oleh seseorang atau dalam sosiolinguistik sering disebut
dengan variasi bahasa.
Sosiolinguistik juga memandang bahasa tidak hanya sebagai sistem
struktur (structural system) tetapi juga sebagai sistem komunikasi (communication system). Dalam pengertian ini, bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor struktural (structure factors) tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor sosial, situasional dan kultural (budaya). Jika faktor-faktor
struktural berhubungan dengan kaidah tata bahasa dan termasuk aspek
linguistik, maka faktor-faktor sosial, situasional dan kultural (budaya)
termasuk ke dalam aspek non linguistik. Agar kita dapat menggunakan bahasa
dengan baik, benar dan tepat sebagai sarana komunikasi, maka kita perlu
memperhatikan baik aspek linguistik maupun aspek nonlinguistik. Sebab
bahasa yang baik (secara situasional), tidak selalu baik (secara grammatikal)
dan belum tentu tepat (secara kultural).
Demikian tulisan yang sangat sederhana mengenai pendekatan
Sosiolinguistik terhadap bahasa sebagaimana telah diuraikan di atas,
mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi para pembacanya.
REFERENSI
Abdul Chaer & Leonie Agustina. 2005. Sosiolinguistik. Jakarta: PT. Rineka Cipta Apel, R, dkk. 1976. Sociolinguisitcs. Antwerpen/Utrecht: Het Spectrum.
Chauchard, Paul. 1983. Bahasa dan Pikiran dialihbahasakan oleh A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius
Djunaidi, A. 1987. Pengembangan Materi Pengajaran Bahasa Inggris: Berdasarkan Pendekatan Linguistik Kontrastif. Jakarta: Depdikbud
Fishman, Joshua A. 1976. Advances In the Sociology of Language. Mouton: The Hague-Paris
Fromkin, Victoria, et. al. 1999. An Introduction to Language. Toronto: Harcout Holmes, Janet. 1994. An Introduction to Sociolinguistics. London: Longman
Group Uk Limited
Hymes, Dell. 1975. The Communication Competence dalam Pride, J.B dan Holmes, B (ed). Sociolinguistics. Middlessex: Pinguin Books
Kattsoff, Louis O. 1989. Pengantar Filsafat. dialihbahasakan oleh Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana
Sabarti Akhadiah. 1999. Pendidikan Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Makalah disampaikan dalam Rangka Bulan Bahasa dan Sastra. Jakarta:UNJ
Titus, Horold, H, dkk. 1984. Persoalan-persoalan Filsafat dialihbahasakan oleh Hm. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang
BAB II
PENGGUNAAN BAHASA
DALAM MASYARAKAT MULTILINGUAL
I.
PENDAHULUAN
Kabupaten dan kota Cirebon terletak di bagian Timur Jawa barat,
mendekati perbatasan Jawa Tengah atau lebih tepatnya di antara kabupaten
Kuningan, Indramayu, Majalengka dan kabupaten Brebes yang menyebabkan
masyarakatnya menggunakan keberagaman bahasa (multilingual community). Sebagian besar penduduk cirebon adalah suku asli Cirebon yang bahasa
pertamanya (first language) adalah bahasa Jawa Cirebon dan bahasa Sunda. Di kota Cirebon, khususnya di sepanjang pertokoan di kota Cirebon banyak
dihuni oleh suku Cina, suku Arab dan bahkan ada juga suku India. Mereka
sudah lama tinggal beranak cucu dan mencari kehidupan di sana.
Di Cirebon, terletak stasiun kereta api terbesar yang setiap saat
membawa masyarakat yang hendak bepergian menuju kota-kota besar, seperti
Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang dll. Di Cirebon juga, terdapat pelabuhan
kapal terbesar dan perguruan tinggi Negeri dan Swasta. Karena Cirebon,
letaknya di tengah-tengah dari daerah-daerah kabupaten yang lainnya, maka
banyak masyarakat yang sengaja datang ke Cirebon untuk menuntut ilmu,
mencari pekerjaan dan bahkan menjadikan Cirebon sebagai tempat
persinggahan terakhir bagi para pendatang. Dengan banyaknya suku yang
tinggal di Cirebon maka dapat dikatakan bahwa masyarakat Cirebon
menggunakan keberagaman bahasa (multilingual comunity).
Penduduk Cirebon dapat hidup berdampingan dengan rukun dan
harmonis dengan suku-suku yang lain. Hal ini menimbulkan adanya pergaulan,
interaksi dan komunikasi antar suku dalam frekuensi yang cukup tinggi dalam
Karena dalam situasi seperti ini bahasa masih diartikan sebagai berikut :
“Language is a vechile for the realization of interpersonal relations and for the
performance of social transactions betweem individuals. Language can be seen
as a tool for the creation amd maintenance of social relations (Richards and
Rodgers, 1986). Artinya bahasa merupakan alat untuk merealisasikan
hubungan-hubungan interpersonal dan untuk melaksanakan
transaksi-transaksi sosial di antara individu-individu. Bahasa juga dapat dipahami
sebagai alat untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan-hubungan
sosial.
Terjadinya interaksi dan komunikasi di antara masyarakat di Cirebon
dengan suku-suku yang lain menjadi suatu hal yang sangat menarik untuk
dicermati secara sosiolinguistik dengan kajian etnografi komunikasi. Etnografi
komunikasi adalah bagian dari sosiolinguistik yang memerikan suatu
masyarakat atau suku, etnografi tentang suatu bahasa memfokuskan pada
pemakaian bahasa (language use) dalam komunikasi menggunakan bahasa.
Sosiolinguistik lebih menekankan pada pemakaian bahasa bukan pada struktur
bahasa. Wardhaugh (1998) mengemukakan bahwa etnografi komunikasi
merupakan gambaran dan keseluruhan faktor yang terkait dengan
pemahaman bagaimana suatu kejadian komunikasi tertentu dapat mencapai
tujuannya. Pola-pola komunikasi dapat dilihat berdasarkan analisis komponen
tutur yang dipengaruhi oleh aspek-aspek linguistik, interaksi sosial dan
kebudayaan dalam pola komunikasi. Dalam kaitan ini Hymes (1974)
menyebutnya sebagai “Etnography of communication” untuk menganalisis
perilaku komunikasi manusia yang berhubungan erat dengan kebudayaan.
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai hakikat masyarakat tutur
(speech community), pemilihan variasi/kode dalam masyarakat multilingual
(multilingual community), diglossia atau polyglossia, sikap terhadap H (high)
vs L (low) dalam situasi diglossia, alih kode (code switching) atau campur kode
II.
PEMBAHASAN
1.
Hakikat Masyarakat Tutur (
Speech Community
).
Masyarakat tutur (
speech community
) digunakan secara luas oleh para
ahli sosiolinguistik merujuk pada masyarakat berdasarkan bahasa (Hudson,
1996). Dalam istilah sosiolinguistik, masyarakat tutur disebut “
Speech
Community”
bagi Gumperz lebih suka menggunakan istilah “
Linguistic
Community”
(Gumperz, 1971). “
Linguistic Community”
oleh Gumperz
diartikan sebagai berikut, “....
a social group which may be either
monolingual or multilingual held together by frequency of social interaction
patterns and set off from the surrounding areas by weakness in the lines of
communication linguistic, communities may consist of small groups bound
together by face to face contract or may cover large regions, depending on
the level of abstraction we wish to achieve
(Wardhaugh. 1998).
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Gumperz di atas diartikan
bahwa komunitas didefinisikan terpisah hubungannya dengan komunitas
lainnya. Secara internal, sebuah komunitas memiliki kepaduan sosial, secara
eksternal para anggotanya harus menganggap dirinya terlepas dari komunitas
lainnya berdasarkan cara-cara tertentu. Pengertian ini merupakan
pengembangan dari definisi “
speech community”
yang dikemukakan oleh
Bloomfield dalam Wardhaugh (1998). Ia mengemukakan bahwa “
speech
community is as a group of people who interact by means of speech. Speech
community is meant as all of people who use a given language or the same
dialect”.
Artinya bahwa “
speech community”
adalah sekelompok manusia
yang berinteraksi dengan menggunakan ujaran atau dialek yang sama.
Gumperz (1971) menawarkan pengertian lain mengenai
speech
community,
yakni... kelompok manusia yang ditandai dengan adanya
verbal yang dimiliki bersama dan bermula dari kelompok yang sama dengan
perbedaan-perbedaan penting dalam pemakaian bahasa.
Dalam kaitan ini Chaer dan Agustina (2005) mengemukakan bahwa
speech community
dapat diartikan sebagai suatu masyarakat yang
anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi/kode bahasa beserta
norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya. Istilah
speech community
bersifat relatif, dapat menyangkut masyarakat yang sangat luas, dan dapat
pula hanya menyangkut sekelompok kecil orang.
Berdasarkan berbagai pendapat mengenai pengertian
speech community
seperti telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat
tutur (
speech community
) pada hakikatnya dapat terbentuk karena adanya
kebersamaan dalam kode-kode linguistik (secara terperinci dalam
aspek-aspkenya, yaitu sistem bunyi, sintaksis dan semantik). Dalam hubungan ini
sebenarnya tidak ada hubungan pasti antara persamaan linguistik dengan
keanggotaan masyarakat bahasa. Dengan saling pengertian itu, ternyata
timbul dimensi sosial psikologis yang subyektif. Jadi masyarakat tutur
(
speech community
) akan dapat terbangun jika ada saling pengertian dan
kebersamaan di antara anggota-anggota masyarakatnya (Huriyah, 2013).
Untuk memahami konsep masyarakat tutur (
speech community
), kita
perlu memahami tiga macam masyarakat tutur yang biasa kita temukan.
Yakni : sebahasa dan saling pengertian, sebahasa tapi tidak saling mengerti
dan berbeda bahasa tapi saling mengerti. Yang sebahasa dan saling mengerti
terjadi karena mungkin tadinya “ sebahasa” dan kedua bahasa itu bisa
dianggap sebagai varian yang sudah mempunyai kemandirian. Sebahasa tapi
tidak saling mengerti berarti dapat dianggap sebagai satu masyarakat tutur
karena mereka mempunyai saling pengertian yang dalam. Sosiolinguistik
merupakan jaminan bagi terciptanya masyarakat tutur dan komunikasi.
namanya interaksi. Dua bahasa yang berbeda ini bisa kita anggap sebagai
dialek atau varian dari bahasa yang sama.
2.
Pemilihan Variasi/Kode Dalam Masyarakat Multilingual
(
Multilingual Community
).
Multilingualism oleh Wardhaugh (1998) diartikan sebagai kemampuan
seseorang untuk menguasai dan menggunakan lebih dari dua bahasa. Hal
senada dengan apa yang dikemukakan oleh Holmes (1994) bahwa. “in
multilingual communities people use more than one language. Its meaning
that people in this situation, they may speak more than one language, thus,
they have linguistic repertoire”. Artinya di dalam masyarakat multilingual,
orang menggunakan lebih dari satu bahasa. Maksudnya bahwa
orang-orang dalam situasi ini mereka mungkin berbicara lebih dari satu bahasa,
sehingga mereka memiliki linguistic repertoire. Repertoire oleh Holmes (1994)
diartikan sebagai berikut, “Repertoire is the set of language variaties used in
the speaking and writing practices of a speech community”. Artinya Repertoire
adalah serangkaian variasi bahasa digunakan di dalam praktek-praktek
berbicara dan menulis dari masyarakat tutur.
Kebanyakan orang-orang yang multilingual ditemukan pada orang-orang
seperti para pengunjung, imigran, wisatawan, anak-anak hasil kawin campur
lintas daerah atau negara, dan atau orang-orang tertentu yang tekun belajar
lebih dari dua bahasa. Namun demikian, di kebanyakan belahan dunia ini,
kemampuan berbicara dalam banyak bahasa tidak terlalu menonjol. Orang
yang multilingual tidak perlu secara tepat memiliki kemampuan yang sama
dalam bahasa-bahasa yang digunakan, dan apabila terdapat kesamaan dalam
penggunaan lebih dari dua bahasa, maka hal semacam itu menjadi suatu yang
luar biasa, seperti yang dikemukakan oleh Wardhaugh (1998), multilingualism
meliputi keseimbangan, menguasai semua bahasa bagaikan penutur asli di
Orang yang berada di dalam masyarakat multilingual biasanya memiliki
kemampuan untuk menguasai bahasa yang berbeda dan mengubah ubah
bahasa yang berbeda tersebut, dalam pembicaraan yang berbeda. Perbedaan
kompetensi di dalam variasi bahasa membuat jarak dari penguasaan item-item
leksikal, memformulasi ekspresi seperti pada saat memberi salam (greetings)
dan keterampilan-keterampilan conversation (percakapan) yang bersifat
mendasar atas semua cara menuju ke penguasaan sempurna terhadap
grammatika, kosakata dan gaya bahasa. Orang yang multilingual juga biasanya
dapat membentuk kompetensinya di dalam penggunaan kode secara luas, yang
menunjukkan bahwa mereka membutuhkannya dalam konteks bahasa yang
mereka gunakan, sebab konteks membatasi pilihan bahasa.
Di dalam masyarakat multilingual di mana orang menggunakan lebih
dari satu bahasa akan ditemukan faktor-faktor sosial seperti dikemukakan oleh
Fishman (1989) sebagai berikut: “who speak, what language, to whom, when,
and to what end,” semuanya merupakan faktor sosial. Pilihan bahasa setiap
orang merupakan bagian dari identitas sosial masyarakatnya.
Orang-orang yang multilingual yang masih eksis di Amazon bagian barat
laut, di perbatasan antara Columbia dan Brasil (Wardhaugh, 1998) adalah
orang Tukano. Orang Tukano merupakan masyarakat yang multilingual karena
setiap lelaki harus menikah di luar kelompok bahasa mereka, atau setiap lelaki
tidak boleh memiliki istri yang berbicara dalam bahasanya. Dengan demikian,
setiap lelaki memilih istri dan menikah dengan perempuan yang memiliki
bahasa yang berbeda. Selanjutnya pada saat menikah perempuan berpindah
mengikuti suami. Konsekuensinya adalah di beberapa desa berbagai bahasa
digunakan, bahasa para suami, variasi bahasa yang dibicarakan oleh para istri
yang berasal dari berbagai lingkungan, dan berkembang menjadi bahasa
campuran regional. Contoh lain di Indonesia misalnya, bahasa pertama penulis
adalah bahasa Jawa Cirebon, bahasa pertama suami penulis adalah bahasa
Sunda, penulis sekeluarga pernah tinggal di Lombok Nusa Tenggara Barat
Lombok yang bahasa pertamanya adalah bahasa Sasak, anak-anak lahir dan
dibesarkan serta diasuh oleh pembantu yang bahasa pertamanya berbeda
dengan bahasa Ayah dan bahasa Ibunya, yakni bahasa Sasak. Anak-anak yang
seperti ini dapat dikatakan anak-anak yang lahir dan dibesarkan dalam
lingkungan multilingual. Yakni ayah mereka berbicara satu bahasa, ibu mereka
berbicara bahasa yang lain dan pembantu yang setiap hari bergaul dan
mengasuh anak-anak tersebut pun tentu berbicara dalam bahasa yang lain.
Dengan demikian, maka multilingualisme merupakan sesuatu yang normal di
dalam komunitas tersebut.
Contoh yang lain mengenai multilingualism adalah Siane di Papua New
Guinea, (Wardhaugh, 1998), di mana di antara penduduk Siane adalah sesuatu
yang normal, bila orang mengetahui sejumlah bahasa. Mereka berlomba
belajar bahasa, sehingga siapa yang dapat menggunakan suatu bahasa,
sedangkan yang lainnya belum/tidak tahu, maka mereka ((bagi yang belum
tahu) akan berusaha mempelajari bahasa tersebut.
Seseorang yang multilingual, situasilah yang akan memproduksi
efek-efek lain atas suatu atau beberapa bahasa yang dipengaruhinya. Seperti
pemudaran atau kehilangan bahasa yang terjadi pada para imigran. Semuanya
terjadi karena situasi kontak (Contact situation) antar masyarakat.
Di dalam masyarakat multilingual di mana orang-orang menggunakan
lebih dari satu variasi/kode akan ditemukan dan harus diperhatikan hal-hal
yang berkaitan dengan apa yang disebut dengan faktor-faktor sosial. Dalam
kaitan ini Holmes (1994) menyebutnya dengan... “who you are talking to, the
social context of talk, the function and topic of the discussion”. Faktor-faktor
sosial ini sangat penting dalam memilih bahasa yang memiliki banyak jenis
dari masyarakat tutur yang berbeda. Hal ini sangat bermanfaat, khususnya
ketika menggambarkan pemilihan kode dalam masyarakat tutur yang luas,
untuk melihat interaksi-interaksi yang khusus yang melibatkan faktor-faktor
tersebut. Kita dapat membayangkan, misalnya: sebuah typical dari interaksi
secara jelas terdiri dari anggota-anggota keluarga, dan typical topik akan
terdiri dari kegiatan-kegiatan keluarga.
Di dalam memilih kode/variasi, terlebih dahulu kita harus menyiapkan
sejumlah contoh typical interaksi yang relevan di dalam menggambarkan
pola-pola dari pemilihan kode/variasi dalam masyarakat tutur. Sejumlah contoh
typical interaksi dikenal sebagai domain-domain dari penggunaan bahasa
(domains of language use).
Konsep domain yang dipopulerkan oleh Joshua Fishman (1989) berguna
untuk deskripsi dan penjelasan distribusi sarana komunikasi. Fishman
mendefinisikan domain sebagai berikut:“social contruct that abtracted of
communication topics, relation between communicator and location of
communication is suitable for society institution, and the scope of speech
community activity”. Artinya konstruk sosial yang diabstraksikan dari
topic-topik komunikasi, hubungan antar komunikator, dan lokasi komunikasi, sesuai
dengan institusi masyarakat dan ruang lingkup aktivitas masyarakat bahasa
itu. Berkaitan dengan domain-domain dari penggunaan bahasa maka
faktor-faktor yang menentukan domain tersebut mencakup bidang yang dibicarakan,
hubungan peran antar partisipasipan dan setting interaksi itu (Ibrahim, 1994).
Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Holmes (1994) bahwa “Domain
involves typical interactions between typical participants in typical settings”.
Artinya domain melibatkan typical interaksi antara typical participant di dalam
setting-setting atau latar tpycal. Contoh domain-domain dari penggunaan
bahasa berikut ini.
Domain
Addressee
Setting
topic
Variety/Code
Family
Parents
Home Planning/going
to the zoo
Education
Teacher
School Solving a math
Education
Teacher
Primary Telling a strory
School
Friendship
Friend Open How to play kites
Field
Family
Parents
Home Planning to have
dinner together
Tulislah variasi/kode/bahasa sesua