• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHASA DAN GENDER DALAM KERAGAMAN PEMAHAMAN - IAIN Syekh Nurjati Cirebon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAHASA DAN GENDER DALAM KERAGAMAN PEMAHAMAN - IAIN Syekh Nurjati Cirebon"

Copied!
241
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

BAHASA DAN GENDER

Dalam Keragaman Pemahaman

Dr.Hj. Huriyah Saleh, M.Pd

(3)

BAHASA DAN GENDER

Dalam Keragaman Pemahaman

© Huriyah Saleh, 2017

Penulis:

Dr. Hj. Huriyah Saleh, M.Pd

Disain Grafis:

Tim Kreatif Eduvision

Cetakan I: September 2017

ISBN: 978-602-5521-13-3

Diterbitkan oleh:

EDUVISION

Graha Bima Terrace A-60 Cirebon, Jawa Barat, Indonesia Email: eduvision_publishing@yahoo.com

www.eduvision.webs.com

All right reserved

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Rabby yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Tanpa hidayah dan taufik-Nya, mustahil buku ini akan terselesaikan. Shalawat dan salam untuk Baginda Rasulullah, para keluarganya, para sahabatnya dan parapengikutnya, termasuk kita semua.

Buku yang berjudul “Bahasa dan Gender dalam Keragaman Pemahaman” ini isinya sebagian merupakan perbaikan dari artikel-artikel sosiolinguistik yang pernah penulis terbitkan dalam jurnal, namun

artikel-artikel tersebut telah direvisi kembali oleh penulis (revised edition) dan sebagian

lagi diambil dari buku-buku bacaan “Sociolinguistics”, sehingga dengan

kehadiran buku ini diharapkan dapat dijadikan referensi (buku rujukan) yang sangat bermanfaat bagi para mahasiswa jurusan Tadris Bahasa Inggris (TBI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Syekh Nurjati Cirebon dalam mempelajari “Sociolinguistics” yang ditulis

dalam bahasa Indonesia, mengingat buku semacam ini masih jarang tersedia di pasaran.

Kita dapat mengartikan bahwa “Sociolinguistics is study the relationship

between language and society”. Artinya ilmu yang mengkaji hubungan antara bahasa dengan masyarakat. Sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakaian bahasa di dalam masyarakat.

Pemakaian bahasa (language use) merupakan bentuk interaksisosial yang terjadi

dalam situasi konkret. Misalnya seseorang yang berada di dalam masyarakat, maka ia tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah dari yang lainnya. Ia merupakan anggota dari kelompok masyarakat sosialnya. Oleh karena itu,

bahasa dan pemakaian bahasa (language use) tidak diamati sebagai individual

melainkan merupakan gejala sosial. Bahasa dan pemakaian bahasa (language

use) yang dipandang sebagai gejala sosial tidak hanya dipengaruhi oleh

faktor-faktor linguistik, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor-faktor-faktor sosial, situasional

dan kultural. Dalam hal ini Fishman menyebutnya sebagai : “who speak what

language to whom and when”. Faktor-faktorsosial, situasional dan kultural yang

mempengaruhi pemakaian bahasa (language use) dalam istilah sosiolinguistik hal

ini disebut sebagai variasi bahasa (language variety). Untuk dapat menggunakan

(5)

Dengan terbitnya buku “Bahasa dan Gender dalam Keragaman Pemahaman” ini didorong oleh tekad yang kuat dan motivasi diri yang tinggi serta dukungan dari berbagai pihak, terutama sekali dari Direktur Program Pasca Sarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Bapak Prof. Dr. H. Jamali, M.Ag. Sahabat penulis Bapak Prof. Dr. H. Ilzamuddin Ma’mur, M.Pd (Guru Besar UIN Banten) dan Bapak Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Bapak Dr. H. Sumanta, M.Ag. Terima kasih atas dorongan yang telah diberikan kepada penulis untuk segera mutasi ke guru Besar, karena pada saat ini pemerintah melalui Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) memberi kemudahan dan peluang bagi para dosen yang sudah Doktor/S3 dan menduduki golongan IV/C/Lektor Kepala untuk segera memproses mutasi ke guru besar, hal ini dikarenakan untuk mengisi kekosong anantara jumlah perguruan tinggi dengan jumlah guru besar yang ada masih belum seimbang (balance). Sehubungan dengan itu maka para dosen yang berada pada level tersebut termasuk penulis untuk segera menulis karya ilmiah di antaranya menulis buku. Dukungan juga datang dari orang-orang terdekat dan terkasih, yaitu suami, anak-anak, cucu-cucu, kakak-kakak dan adik-adik serta ananda Ai Sabrina tercinta yang selalu membantu dalam penulisan buku ini.

Terima kasih penulis sampaikan pula kepada semua pihak atas segala bantuan baik moril maupun materil terhadap penulis selama penulisan buku ini, sehingga penulisannya dapat dirampungkan bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah 1438 H atau hari raya qurban tanggal 01 September 2017.

Akhirnya, dengan selesainya penulisan buku ini, penulis sudah

sepatutnya untuk mengucapkan syukur Alhamdulillah, karena hanya berkat

hidayah dan bimbingan-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi masyarakat, khususnya bagi para mahasiswa yang mencintai bahasa dan gender yang pada akhirnya akan dapat menjadi sebuah amal shaleh yang berbuah pahala selamanya, sebagai bekal di akhirat

kelak. Amin ya Rabbal’alamin.

Hanya Allah Yang Maha Benar, sementara bagi penulis kesalahan dan kekhilafan bisa saja terjadi dalam penulisan buku ini. Untuk itu masukan dalam rangka penulisan berikutnya sangat diharapkan.

(6)

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I : BAHASA DALAM PENDEKATAN SOSIOLINGUISTIK

I. PENDAHULUAN_____1

II. PEMBAHASAN_____2

1. Pentingnya Bahasa_____2

2. Hakikat Bahasa_____3

3. Bahasa dalam Konteks Sosial_____4

4. Variasi Bahasa_____7

5. Penelitian Ilmiah tentang Bahasa_____12

6. Hubungan Antara Bahasa dengan Masyarakat_____15

7. Sosialinguistik dan Sosiologi Bahasa_____16

8. Bahasa dalam Pendekatan Sosiolinguistik_____19

III. KESIMPULAN_____20

REFERENSI_____21 BAB II. PENGGUNAAN BAHASA

DALAM MASYARAKAT MULTILINGUAL

I. PENDAHULUAN_____23

II.PEMBAHASAN_____25

1. Hakikat Masyarakat Tutur (Speech Community)____25

2. PemilihanVariasi / Kode dalam masyarakat Multilingual (Multilingual Community)_____27

3. Diglossiaatau Polyglossia_____31

4. Sikap terhadap H (High) VS L (Low) dalam situasi

Diglossia_____35

5. Alih Kode (Code Switching) atau Campur Kode

(Code Mixing)_____36

6. Situational dan Metaphorical Switching_____38 III. KESIMPULAN_____39

REFERENSI_____40

BAB III :BAHASA, DIALEK DAN VARIASI

I. PENDAHULUAN_____43

II.PEMBAHASAN_____45

1. Variasi Bahasa dan Dialek_____45

2. Dialek Regional Sebagai Variasi Bahasa_____50

3. Gaya (Style) dan Register_____53

III. KESIMPULAN_____56

(7)

BABIV : KESOPANSANTUNAN BERBAHASA DAN SOLIDARITAS

I. PENDAHULUAN_____59

II.PEMBAHASAN_____61

1. HakikatKesopansantunan_____61

2. Prinsip-prinsip Maxim Dalam Kesopansantunan_____63

3. Pandangan Nosi Muka Terhadap Istilah

Kesopansantunan_____67

4. Strategi untuk Melakukan Face Threatening Acts

(FTA)_____68

5. KritikTerhadapTeori Kesopansantunan Brown dan

Levinson_____70

6. Kontrak Percakapan dalam Berinteraksi_____71

7. Kesopansantunan Linguistik dalam Budaya yang

Berbeda_____72

8. Kesopansantunan dan Solidaritas dalam Penggunaan Thou/To

(Bentuk-bentuksaya) dan You/Vous (Kamu dalam Bahasa yang berbeda_____74

9. Istilah Pegadresan dan Syarat-syaratnya_____79

10. Beberapa Bahasa Memiliki Sistem Kesopansantunan yang

Kompleks_____82

11. Prinsip Kesopansantunan dalam Berbahasa_____87

12. Strategi dalam Percakapan_____88

III. KESIMPULAN_____88

REFERENSI_____89

BAB V :ANALISIS PERCAKAPAN (INTERAKSI SOSIAL MENGHADAPI BEBERAPAREFLEKSI GENRE DAN REGISTER)

I. PENDAHULUAN_____91

II.PEMBAHASAN_____97

1. Batasan Studi Analisis Percakapan_____97

2. Hakikat Register_____97

3. Hakikat Genre_____102

III. KESIMPULAN_____106

REFERENSI_____107

BAB VI : SOSIOLINGUISTIK DANPENDIDIKAN BAHASA I. PENDAHULUAN_____109

II.PEMBAHASAN_____110

1. Hakikat Sikap_____110

2. Sikap Terhadap Bahasa_____111

3. Istilah Sosiolinguistik_____114

4. Masalah-masalah dalam Sosiolinguistik_____116

5. Manfaat Sosiolinguistik_____117

6. Pendidikan Bahasa_____119

(8)

III. KESIMPULAN_____126 REFERENSI_____127 BAB VII : BAHASA DAN GENDER

I. PENDAHULUAN_____129

II.PEMBAHASAN_____130

1. Beberapa Pendekatan tentang Bahasa dan Gender_____130

2. Hubungan antara Bahasa dan Gender_____133

3. Suara Perempuan dan Laki-laki_____134

4. Aksen Feminitas_____135

5. Apakah Bahasa itu Seksis?_____136

6. Gender dalam Bahasa Pria dan Wanita_____139

7. Perbedaan Bahasa Pria dan Wanita_____139

8. Dominasi Bahasa Pria_____148

9. Bahasa Wanita Masa Kini: Cerdas, Terbuka dan

Mandiri_____149

III. KESIMPULAN_____150

REFERENSI_____152

BAB VIII : PUISITENTANG KEHIDUPAN “PEREMPUAN-PEREMPUAN PERKASA: SEBUAH KAJIAN GENDER”

I. PENDAHULUAN_____153

II.PEMBAHASAN_____158

1. Hakikat Puisi_____158

1.1.Pengertian Puisi_____158

1.2.Unsur-unsur dalam Puisi_____160

2. Hakikat Gender_____165

3. Puisi “Perempuan-Perempuan Perkasa”_____167

4. Makna Kehidupan dan Cinta Kasih dalam Puisi

“Perempuan-perempuan Perkasa”_____168

III. KESIMPULAN_____172

REFERENSI_____178

BAB IX : VARIASI BAHASADALAM MENULIS PESAN SINGKAT (SHORTMESSAGE SYSTEM) (QUALITATIVE RESEARCH)

A. LATAR BELAKANG MASALAH_____175

B. PERTANYAAN PENELITIAN_____177

C. TUJUAN PENELITIAN_____178

D. MANFAAT PENELITIAN_____178

E. KAJIAN TEORI_____179

1. Variasi Bahasa dalam Menulis Pesan Singkat atau SMS

(Short Message System)_____179

2. VariasiBahasa_____180

(9)

F. METODOLOGI PENELITIAN_____192

1. Tujuan Khusus Penelitian_____192

2. Tempat dan Waktu Penelitian_____192

3. Metode Penelitian_____192

4. Data dan Sumber Data_____194

5. Instrumen Penelitian_____195

6. Teknik Pengumpulan Data_____195

7. Teknik Analisis Data_____197

8. Interpretasi Data_____197

9. Pemeriksaan Keabsahan Data_____198

G. PAPARAN DATA_____199

H. TEMUAN PENELITIAN_____214

I. KESIMPULAN_____215

REFERENSI_____216 DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I

BAHASA DALAM PENDEKATAN SOSIOLINGUISTIK

I.

PENDAHULUAN

Allah subhanahu wata’ala telah mengangkat derajat manusia lebih tinggi

dari pada makhluk-makhluk lain ciptaanNya melalui bahasa. Allah

menyebutkan secara jelas dan tegas di dalam Al-Qur’an, suarat Al-Baqarah ayat

31, yang terjemahannya sebagai berikut : “Dan Dia mengajarkan semua nama

benda kepada Nabi Adam”. Hal itu diajukan-nya pula kepada malaikat-malaikat

Allah. Kemudian Dia berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku semua itu jika kamu

memang benar”. Para malaikat ternyata tidak mampu menyebutkan

nama-nama benda itu, sedangkan Nabi Adam, Bapak seluruh umat manusia yang

baru saja diciptakan-Nya mampu menyebutkannya. Inilah sumber paling

otentik dan sangat dipercaya yang mengatakan sejak semula manusia telah

dibekali dengan kemampuan berbahasa. Kemampuan ini terus berkembang

sesuai dengan perkembangan zaman serta terus berubah sesuai dengan

perubahan situasi dan kondisi yang melingkupi manusia.

Bahasa adalah sarana kemanusiaan yang mengubah manusia dari

makhluk biologis menjadi makhluk sosiokultural (Sabarti Akhadiah, 1999).

Bahasa sebagai wahana komunikasi manusia sangat penting dan sangat

dibutuhkan oleh setiap manusia dalam berinteraksi dengan manusia lain.

Komunikasi dapat menjadi perekat yang mengikat orang-orang dalam sistem

kemasyarakatan. Masyarakat atau sistem sosial manusia berdasarkan pada

komunikasi kebahasaan, tanpa bahasa sistem komunikasi manusia tidak akan

ada dan akan lenyaplah manusia. Oleh karena itu, bahasa tidak dapat

dipisahkan dari kehidupan manusia dan juga dari para penuturnya, baik

penutur sebagai individu maupun penutur sebagai kelompok yang memahami

(11)

keanekaragaman bahasa yang digunakan oleh masyarakat, baik masyarakat

monolingual maupun multilingual.

Dimensi kemasyarakatan terhadap bahasa mendapat perhatian lebih

dari para ahli bahasa, pada dua dasa warsa belakangan yang dapat

menimbulkan ragam-ragam bahasa yang tidak hanya berfungsi sebagai

petunjuk adanya perbedaan antara para penuturnya, tetapi juga sebagai

indikasi situasi penggunaan bahasa. Pengkajian bahasa dengan dimensi

kemasyarakatan seperti itulah yang dikaji di dalam sosio linguistik.

II.

PEMBAHASAN

1.

Pentingnya Bahasa

Bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan mengikuti

di dalam setiap pekerjaannya. Mulai saat bangun tidur pagi-pagi sampai larut

malam waktu ia beristirahat, manusia tidak lepasnya memakai bahasa, bahkan

pada waktu tidurpun tidak jarang ia “memakai bahasanya”. Pada waktu

manusia diam (kelihatan tidak berbicara), pada hakikatnya ia masih juga

memakai bahasa, karena bahasa merupakan sarana yang digunakan orang

untuk membentuk pikiran dan mengungkapkan perasaan, kemauan dari

tindakan-tindakannya, sarana yang dipakai orang untuk mempengaruhi dan

dipengaruhi; dan bahasa juga merupakan tanda yang jelas dari kepribadian

seseorang, yang baik maupun yang buruk; tanda yang jelas dari keluarga dan

bangsa; tanda yang jelas dari budi pekerti seseorang. Dari pembicaraan

seseorang, kita dapat memahami tidak hanya keinginannya, pendidikannya,

pergaulannya, kebudayaannya, kebiasaannya dan lain sebagainya. Itulah

(12)

2.

Hakikat Bahasa

Bahasa menurut pandangan Todd (2000) diartikan sebagai berikut:

Bahasa memiliki ciri-ciri yang sama dalam beberapa hal. Pertama, semua

bahasa mempunyai “sumber yang sama” yaitu kelompok masyarakat pemakai

bahasa (the group of community of language user); kedua, semua bahasa mempunyai “tujuan yang sama” yaitu sebagai sarana untuk menyampaikan

pikiran, perasaan, dan sikap seseorang; ketiga, semua bahasa mempergunakan

“medium yang sama” yaitu bunyi bahasa (language sound). Sedangkan menurut pandangan Lim Kiat Boey (1975) mengenai bahasa bahwa bahasa

berbeda antara satu dengan yang lainnya dalam hal struktur yaitu sistem atau

aturan-aturan dan kaidah-kaidah yang dipergunakannya. Artinya bahwa

bahasa-bahasa di dunia ini mempunyai sistemnya sendiri-sendiri, yakni sistem

lambang bunyi tersebut bersifat arbitrer (arbitrary) artinya adalah bahwa hubungan antara konsep dan lambang bunyi bahasa tidak selalu dapat

dijelaskan secara logis karena hanya berdasarkan atas persetujuan

(kesepakatan) bersama (social convention) antara anggota masyarakat pemakai bahasa tersebut (Fromkin, et-al, 1999).

Misalnya orang Indonesia menyebut tumbuhan yang berbatang

keras, besar dan berdaun dengan sebutan [pohon], orang Inggris

menyebutnya dengan sebutan [

tree

], orang Arab menyebutnya dengan

sebutan [

sajaroh

], orang Sunda menyebutnya [

tangkal

] dan orang Jawa

menyebutnya dengan sebutan [

uwit atau wiwitan

].

Karena perbedaan-perbedaan dalam sistem inilah maka bahasa itu

merupakan sesuatu yang unik dan harus dipelajari. Dan disebabkan bahasa

itu dalam beberapa hal mempunyai ciri-ciri yang sama, maka bahasa itu

dapat dipelajari oleh siapapun. Artinya meskipun sebuah bahasa itu

mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu

digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang

(13)

tataran fonologis, morfologis, sintaksis maupun pada tataran leksikon (Abdul

Chaer & Leonie Agustina, 2005). Oleh karena bahasa berfungsi sebagai alat

untuk menyatakan perasaan, pengalaman dan pendapat seseorang mengenai

dunia yang ditinggalinya, maka melalui bahasa inilah manusia mampu

mengungkap rahasia alam, menaklukkannya dan menyususn ilmu

pengetahuan serta membangun kebudayaan.

Berdasarkan penjelasan mengenai bahasa seperti telah diuraikan di atas

menunjukkan betapa eratnya hubungan antara bahasa dengan kehidupan

manusia. Bahasa tidak hanya merupakan sarana kemanusiaan, tetapi bahasa

juga memberikan suatu kesiap-siagaan intelektual dan lebih memungkinkan

pencapaian-pencapaian sosial (Chauchard, 1983). Kesiap-siagaan intelektual

merupakan suatu sikap manusia yang dipakai sebagai titik tolak bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan pencapaian sosial

adalah hasil yang diperoleh dalam kehidupan masyarakat dan dalam lingkup

kehidupan. Semakin tinggi perkembangan bahasa suatu masyarakat, semakin

besar pula hasil yang diperoleh, berarti semakin tinggi pula nilai kebudayaan

masyarakat yang bersangkutan. Karena bahasa merupakan bagian dari

kebudayaan, maka bahasa mengelompokkan antara dunia alamiah dan dunia

budaya dalam cara-cara yang bermanfaat. Bahasa merupakan sistem

pengelompokkan yang dapat memberikan petunjuk tentang bagaimana

mempelajari kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai budaya, sistem

pengelompokkan merupakan kesepakatan sosial.

3.

Bahasa dalam Konteks Sosial

Para ahli bahasa mempelajari hubungan antara bahasa dengan

masyarakat. Mereka sangat tertarik untuk menjelaskan mengapa kita

berbicara dengan cara yang berbeda dalam konteks sosial yang berbeda dan

menunjukkan fungsi sosial dari bahasa serta cara-cara di mana bahasa itu

digunakan untuk menjelaskan makna sosial dari bahasa itu sendiri. Kita

(14)

karena kita berbicara dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial yang

mempengaruhi pemilihan dari cara-cara berbicara yang tepat. Perhatikan

percakapan antara Ray dengan kepala sekolah dan Ray dengan ibunya.

Contoh 1

Ray : Good morning, sir

Principle : What are you doing here at this time?

Ray : Mr. Button kept up in, sir

Contoh 2

Ray : Hi, mom

Mum : You’re late

Ray : Yeah, that bastard sootbucket kept us in again.

Mum : Nana’s here

Ray : : Oh sorry. Where is she?

Apabila kita melihat, membaca dan memperhatikan contoh percakapan

antara Ray dengan Kepala Sekolah digambarkan dengan fakta bahwa bahasa

membantu adanya sebuah jarak antara Ray dengan Kepala Sekolah atau ada

sesuatu yang harus dihormati oleh Ray ketika menyapa Kepala Sekolah karena

konteks/setting percakapan itu terjadi di sekolah, sehingga percakapan itu

menjadi formal dan bahasa yang digunakan juga harus bahasa formal.

Sementara ketika Ray berbicara dengan ibunya, ada sesuatu yang intim dan

akrab terjadi antara Ray dengan ibunya karena percakapan itu terjadi di

rumah. Karena konteksnya di rumah, maka percakapanpun menjadi tidak

formal sehingga bahasa yang dipakaipun menjadi tidak formal juga (alias

bahasa informal). Dengan demikian, ketika kita berbicara dengan orang lain

harus selalu memperhatikan konteks sosial dan konvensi masyarakat di mana

bahasa itu digunakan. Dalam kaitan ini Wardhaugh (1998) memberikan

pengertian bahasa sebagai berikut: “A language is a system of arbitrary vocal

syimbols by a means of group of people to interact, with social convention”.

(15)

digunakan oleh sekelompok masyarakat dalam berinteraksi sesuai dengan

konvensi (kesepakatan) masyarakatnya.

Berdasarkan kesepakatan para ahli bahasa, khusus dalam bidang

sosiolinguistik, bahasa juga diistilahkan dengan kode sebagai berikut: “ code is

a set of conversations for converting one signaling system into another. In

sociolinguistics code refers to a langauge as a variety of language”. ( Holmes,

1994).

Dalam kaitan ini Ferdinand de saussure dalam Wardhaugh (1998)

membedakan antara langue dan parole, sedangkan Chomsky membedakannya

antara competence dan performance. Yang dimaksud dengan Competence

adalah kemampuan seseorang dalam berkomunikasi sesuai dengan fungsi dan

situasi serta norma-norma dalam konteks sosialnya, sedangkan performance

adalah kemampuan seseorang dalam mengungkapkan ujaran-ujuran yang

ingin di sampaikannya sesuai dengan tingkatan sosialnya.

Kemampuan bahasa yang dimiliki oleh penutur beserta keterampilan

mengungkapkan sesuai dengan fungsi dan situasi serta norma-norma

pemakaian dalam konteks sosialnya disebut dengan kemampuan komunikatif.

Sementara kemampuan komunikatif seseorang dalam menyampaikan sesuatu

kepada orang lain harus memperhatikan faktor sosial yakni siapa yang

berbicara dan dengan siapa kita berbicara; konteks sosial di mana terjadinya

interaksi (di mana mereka berbicara); topik, yakni apa yang dibicarakan; dan

fungsi percakapannya itu untuk apa? yakni mengapa mereka berbicara. Ini

artinya bahwa untuk dapat disebut berkemampuan komunikatif di samping

mempunyai kemampuan-kemampuan sebagaimana telah disebutkan di atas,

para penutur pun harus memiliki kemampuan struktural untuk membedakan

kalimat-kalimat grammatikal dan yang tidak grammatikal. Setiap penutur

dituntut memiliki keterampilan untuk memiliki bentuk-bentuk bahasa yang

sesuai dengan situasinya, menyesuaikan ungkapan dengan setiap tingkah

lakunya dan tidak hanya menginterpretasi makna referensial tetapi harus

(16)

Seluruh elemen yang terdapat dalam kemampuan komunikatif seseorang

ini harus diperhitungkan dalam pemberian bahasa secara menyeluruh, bulat

dan utuh. Sebab antara elemen yang satu dengan elemen yang lain saling

berkaitan. Dengan tidak mengabaikan gradasi di antara penutur-penuturnya.

Kemampuan komunikatif semacam itu pada dasarnya dimiliki oleh setiap

anggota masyarakat dan menjadi milik seluruh masyarakat.

4.

Variasi Bahasa

Seperti diketahui bersama bahwa setiap bahasa memiliki sejumlah

variasi dan perbedaan. Para ahli mencoba memberikan berbagai pengertian

tentang variasi bahasa. Holmes (1994) mendefinisikan variasi bahasa sebagai

berikut: “variety is a specific set of linguistic items on speech patterns (for example: sounds, words, grammatical features) which can uniquely associate external factor (in social groups)”. Artinya variasi bahasa adalah sekumpulan item-item linguistik khusus terhadap pola-pola bahasa (seperti: bunyi,

kata-kata, ciri-ciri tata bahasa) yang secara unik dapat menghubungkan faktor

eksternal (dalam kelompok-kelompok masyarakat). Holmes (1994) juga

membedakan variasi bahasa ke dalam bahasa vernacular, standard, Lingua Franca, Pidgin dan Creole.

Vernacular, digunakan dalam banyak cara. Vernacular biasanya

merujuk pada sebuah bahasa yang belum distandarkan (dibakukan) dan belum

memiliki status resmi. Misalnya: bahasa Buang di Papua New Guinea disebut

sebagai bahasa vernacular. Di dalam masyarakat multilingual, banyak etnis

(suku) yang berbeda atau bahasa yang berbeda digunakan oleh

kelompok-kelompok yang berbeda merujuk pada bahasa-bahasa vernacular. Seperti

Indonesia memiliki banyak bahasa vernacular misalnya: ada bahasa Jawa,

Sunda, Batak, Minang, Sasak, Betawi, Madura dan sebagainya. Semua

bahasa-bahasa tersebut merujuk kepada bahasa-bahasa vernacular. Vernacular biasanya

disebut sebagai bahasa pertama dipelajari oleh orang-orang dalam masyarakat

(17)

fungsi-fungsi informal. Istilah vernacular pada umumnya merujuk pada bahasa

percakapan (bahasa sehari-hari) digunakan untuk berkomunikasi di rumah

dengan teman-teman dekat. Ia juga disebut sebagai bahasa solidaritas antara

orang-orang dari kelompok suku yang sama. Bahasa vernacular juga digunakan

oleh orang-orang untuk berinteraksi sehari-hari dalam domain-domain

informal.

Standard, bahasa standar lebih halus dari pada bahasa vernacular

karena ia digunakan dalam banyak cara yang berbeda oleh para ahli bahasa.

Variasi standar pada umumnya merupakan bahasa tulis dan yang telah melalui

beberapa tingkatan aturan atau kodifikasi (misalnya: dalam sebuah grammar

dan sebuah kamus). Variasi standar dikenal sebagai variasi yang berwibawa

oleh sekelompok masyarakat, dan variasi ini digunakan untuk fungsi-fungsi

yang formal (tinggi) sepanjang adanya perbedaan-perbedaan dari variasi

informal (rendah). Holmes (1994) mengemukakan bahwa perkembangan dari

bahasa Inggris menjelaskan tiga kriteria penting yang

mencirikan/menunjukkan sebuah bahasa standar yaitu: ia merupakan variasi

yang berwibawa dan berpengaruh, ia dibakukan dan distabilkan dan ia

membantu fungsi-fungsi formal (tinggi) yang digunakan oleh banyak orang

untuk berkomunikasi di pengadilan, literatur dan administrasi.

Lingua Franca diartikan oleh Wardhaugh (1998) sebagai berikut: “a

lingua Franca as a language which is used habitually by people whose mother

tongues are different in order to facilitate communication between them”.

Artinya bahwa UNESCO pada tahun 1953 dalam Wardhaugh (1998)

mendefinisikan Lingua Franca sebagai bahasa yang digunakan secara

kebiasaan oleh orang-orang yang bahasa ibunya berbeda untuk memfasilitasi

komunikasi di antara mereka. Definisi ini tidak berbeda apa yang dikemukakan

oleh Holmes (1994) sebagai berikut: “Lingua Franca defined as a language used

for communication between people whose first langauges differ” . Artinya

bahwa Lingua Franca diartikan sebagai bahasa yang digunakan untuk

(18)

Lingua Franca disebut juga sebagai bahasa pergaulan di antara orang-orang

yang bahasa pertamanya berbeda untuk berkomunikasi di antara mereka.

Misalnya Tukano merupakan Lingua Franca yang digunakan di antara

orang-orang Colombia dan India, yang tinggal di daerah Amazon antara wilayah

Colombia dan Brazil. Jika orang-orang India ingin berkomunikasi dengan non

India, mereka menggunakan Lingua Franca sebagai bahasa kedua mereka. Di

Papua New Guinea, Tokpisin dijadikan sebagai Lingua Franca. Lingua Franca,

pada awalnya sering berkembang sebagai bahasa perdagangan yang

menjelaskan adanya pengaruh dari faktor-faktor ekonomi terhadap perubahan

bahasa. Di Afrika Barat, Hausa dipelajari sebagai bahasa kedua dan digunakan

hampir di setiap tempat pasar. Di Afrika Timur, Swahili digunakan secara

meluas sebagai bahasa perdagangan dan ia juga dikenal dan digunakan secara

meluas di pemerintahan Tanzania, bahkan dipilih untuk dipromosikan sebagai

bahasa nasional negeri tersebut. Sejarah Tokpisin juga sama dengan sejarah

bahasa Swahili. Ia meluas sebagai Lingua Franca yang bermanfaat untuk

perdagangan di Papua New Guinea, dan menjadi terkenal dan digunakan serta

diangkat sebagai bahasa resmi.

Di belahan dunia yang lain, bahasa Arab, Mandarin dan Hindi telah

digunakan sebagai Lingua Franca. Dari sini, bahasa Arab menjadi Lingua

Franca dihubungkan dengan meluasnya Islam. Kini, bahasa Inggris digunakan

di banyak tempat dan banyak tujuan sebagai Lingua Franca, misalnya: dalam

perjalanan dan sering dalam perdagangan, komersial dan hubungan-hubungan

Internasional.

Pidgin dan Creole

Pidgin merupakan sebuah bahasa yang tidak memiliki native speaker, ia bukan bahasa pertama seseorang tetapi ia merupakan bahasa kontak (Holmes,

1994).

Pidgin

seringkali dianggap sebagai variasi yang diturunkan untuk

(19)

Dengan penyederhanaan tata bahasa dan kosakata dari bahasa itu, variasi

Fonologi yang dapat dipertimbangkan, kebutuhan-kebutuhan spesial dari

kelompok kontak. Proses Pidginisasi mungkin memerlukan sebuah situasi

yang melibatkan sedikitnya tiga bahasa, satu dari bahasa dominan di atas

yang lainnya.

Pidgin

bangkit dari penyederhanaan sebuah bahasa ketika

bahasa itu datang untuk mendominasi kelompok-kelompok penutur yang

dipisahkan dari yang lain oleh perbedaan-perbedaan bahasa. Misalnya

bahasa China

Pidgin

digunakan secara penting oleh para penutur dari

bahasa-bahasa China yang berbeda, dan

Tokpisin

digunakan sebagai sebuah

bahasa persatuan di antara para penutur dari banyak bahasa-bahasa yang

berbeda di Papua New Gunea.

Mengapa bahasa Pidgin berkembang?

a. Bahasa Pidgin berkembang sebagai alat komunikasi antara orang-orang yang tidak mempunyai bahasa umum. Pidgin bangkit ketika dua kelompok dengan bahasa-bahasa yang berbeda berkomunikasi

dalam situasi di mana ada bahasa ketiga yang dominan.

b. Pidgin berkembang sebagai bahasa perdagangan antara para pedagang, menggunakan bahasa kolonial. Seperti bahasa Portugis

dan Spanyol, atau bahasa Inggris, India, China, Afrika atau Amerika

yang mereka berdagang. Ia terjadi di pesisir pantai dalam konteks

multilingual.

c. Pidgin berkembang dengan sebuah jarak dari fungsi-fungsi yang sempit. Pidgin digunakan sebagai tujuan khusus, seperti perdagangan atau mungkin administrasi (Holmes, 1994).

(20)

bahasa Creole. Sehingga, Tok pisin seringkali disebut Pidgin dan seringkali disebut Creole.

Pidginisasi pada umumnya melibatkan beberapa jenis penyederhanaan

dari sebuah bahasa, misalnya pengurangan dalam morfologi dan sintak,

toleransi dari variasi fonologi yang dapat dipertimbangkan, pengurangan

dalam jumlah fungsi-fungsi di mana Pidgin digunakan dari peminjaman kata-kata yang mahal dari mother tongues lokal. Sebaliknya kreolisasi melibatkan perluasan morfologi dan sintak, aturan fonologi, peningkatan yang sengaja

dalam banyak fungsi di mana bahasa itu digunakan dan perkembangan dari

system yang stabil dan rasional untuk peningkatan kosakata, tetapi bahkan

proses yang berbeda, ia masih belum jelas apakah kita sedang membicarakan

tentang Pidgin, sebuah Pidgin yang meluas atau sebuah Creole dalam situasi tertentu.

Bahasa Pidgin dan Creole didistribusikan biasanya di tempat-tempat yang aksesnya mudah dan langsung ke samudera-samudera. Konsekuensinya,

mereka diperoleh secara pokok di Caribean, sekitar pantai Timur dan Utara

dari Amerika bagian Selatan, sekitar pantai Afrika, khususnya pantai Barat dan

menyebrangi lautan Pacific dan India. Distribusi mereka nampak menjadi

akrab dihubungkan dengan pola-pola perdagangan, termasuk perdagangan

para buruh. Hancock dalam (Wardhaugh, 1998) mencatat 127 Pidgin dan

Creole. Tiga puluh lima Pidgin dan Creole berasal dari bahasa Inggris. Misalnya: Creole berdasar bahasa Inggris, yaitu: Antigua, Barbados, Grenada, Jamaica dan

Guyana. Yang lainnya Creole berdasar bahasa Perancis, misalnya: Mantinique,

St. Lucia dan Haiti: Aruba, Bonaire, Curacao berasal dari Creole Portugis, dan

satu kepulauan Virgin berasal dari Creole Belanda.

5.

Penelitian Ilmiah Tentang Bahasa

Sebagaimana kajian ilmiah tentang bahasa dan seperti kajian-kajian

ilmiah lainnya, dalam kaitan ini, analisis bahasa perlu dilakukan secara

(21)

melalui pengamatan secara objektif terhadap data bahasa yang aktual dan

memodifikasi teori sesuai dengan apa yang dirasakannya menjadi pola atau

keteraturan yang mendasari data itu. Dalam bagian ini dijelaskan bahwa

bahasa memenuhi kriteria ilmu atau pengetahuan ilmiah seperti dikemukakan

oleh Louis O. Kattsoff (1989) bahwa bahasa tersususun dari

perangkat-perangkat tanda yang digabungkan dengan cara-cara tertentu. Ada tanda satu

demi satu seperti yang ditunjukkan oleh huruf abjad. Apabila

huruf-huruf ini digabungkan dengan cara-cara tertentu menimbulkan apa yang

dinamakan ‘kata-kata’ atau ‘istilah-istilah dasar’ bahasa. Misalnya, huruf-huruf

abjad ‘L’, ‘e’, ‘t’, ‘b’, ‘a’ jika disusun secara tepat dapat menghasilkan kata table yang artinya ‘meja’ dalam bahasa Indonesia. Jadi, hakikat bahasa terletak pada

kesesuaian antara bunyi bahasa (fonem), dengan lambang yang ditunjukkan melalui huruf abjad. Kemudian, penyusunan huruf-huruf itu secara tepat yang

membentuk kata-kata atau istilah-istilah dasar bahasa yang mengandung kata

tertentu.

Hal senada dengan apa yang dikemukakan oleh Djunaidi (1987) bahwa

bahasa memenuhi kriteria ilmu atau pengetahuan ilmiah sebagai berikut:

1) Objektif, artinya tidak hanya berdasarkan pendapat peneliti

sendiri;

2) Empiris, artinya berdasarkan data yang dapat diamati oleh panca

indera;

3) Logis, artinya prosedur dan pengumpulan data melalui penalaran

ilmiah atau sintesis antara penalaran induktif dan deduktif; dan

4) Rasional, artinya pembahasan data berdasarkan rasio (pikiran)

atau masuk akal.

Penalaran induktif atau induksi ilmiah dikemukakan oleh Djunaidi (1987)

sebagai cara berfikir di mana ditarik kesimpulan yang bersifat umum

(generalization) dari berbagai kasus yang bersifat individual. Langkah-langkah yang ditempuh dalam induksi ilmiah sebagai berikut:

(22)

2) Memahami (dengan pemikiran) data yang diamati;

3) Merumuskan hipotesis atau jawaban sementara; dan

4) Menguji hipotesis yang dirumuskan.

TEORI

FAKTA

Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini 1) Mengamati data Empiris:

Bahasa Inggris

a. Car = Mobil (tunggal)

b.Cars = Lebih dari satu mobil (jamak) c. Table = Meja (tunggal)

d.Tables = Lebih dari satu meja (jamak) e. Teacher = Guru (tunggal)

f. Teachers = Lebih dari satu guru (jamak)

2) Memahami, data yang diamati yakni akhiran ‘S’ pada kata-kata ‘cars’, ‘tables’ dan ‘teachers’ dipergunakan untuk menyatukan jamak atau lebih dari satu.

Memahami data

yang diamati

Merumuskan

Hipotesis

Khasanah

pengetahuan ilmiah

Mengamati

Data Empiris

Ditolak

Menguji

Hipotesis

(23)

3) Merumuskan hipotesis: yakni akhiran ‘s’ pada kata benda (noun)

dipergunakan untuk menyatakan ‘jamak’.

4) Menguji hipotesis yang dirumuskan dengan data pendukung.

Hipotesis diterima, artinya didukung oleh fakta lainnya, misalnya:

bentuk jamak ‘chair’ adalah ‘chairs’, bentuk jamak ‘pen’ adalah ‘pens’ dan seterusnya. Untuk selanjutnya menjadi khasanah pengetahuan

yang pada gilirannya dapat dipergunakan untuk meneliti dan

memahami data lain. Selanjutnya, hipotesis ditolak, artinya tidak

didukung oleh fakta lainnya, misalnya bentuk jamak ‘foot’ adalah ‘feet’ bukan *foots*. Dengan melalui langkah yang sama dapatlah ditentukan hipotesis ke 2, yaitu perubahan vokal [u]-[i] dalam kata

benda ‘foot’ [fut], ‘feet’ [fit] digunakan untuk menyatakan ‘jamak’, data pendukung misalnya kata lainnya seperti:

Goose [gus]-geese[gis] dan seterusnya

Logika deduktif, yaitu penalaran kesimpulan dari hal yang

bersifat umum menjadi khusus yang bersifat individual, juga

dipergunakan dalam tahap lanjut dari analisis bahasa.

Di samping bahasa itu logis/ilmiah, ada juga bahasa konseptual,

emosional dan puitis. Bahasa bukan hanya ekspresi gagasan/pikiran,

melainkan juga ekspresi perasaan dan afeksi. Contoh yang sangat sederhana.

Kita dapat melihat perkembangan kemampuan bicara seorang anak kecil yang

mulanya ditandai dengan jeritan-jeritan yang bersifat emosional. Kemudian

perkembangan fisik yang diikuti oleh perkembangan pikiran akan menuntut

anak berupaya mengungkapkan pikiran/gagasan yang merupakan perwujudan

sosialisasi terhadap lingkungannya.

Uraian yang telah dikemukakan di atas menunjukkan timbulnya bahasa

dan pertanyaan berikutnya muncul apakah akibat-akibat yang ditimbulkan

dari bahasa tersebut bagi perkembangan kebudayaan manusia secara

(24)

pengalaman manusia yang dirasakan penting bagi perorangan atau bagi

masyarakat. Bahasa mencerminkan dunia apa adanya. Bahasa tidak hanya

mencerminkan pengalaman manusia serta kondisi lingkungan di mana

pengalaman itu berkembang tetapi juga mempunyai pengaruh atas

pengalaman-pengalaman tersebut (Titus, et.al., 1984).

6.

Hubungan Antara Bahasa Dengan Masyarakat

Seperti telah diuraikan di atas bahwa bahasa memiliki hubungan yang

sangat erat dengan masyarakat. Bahasa dapat mempengaruhi

pengalaman-pengalaman manusia. Seringkali orang memandang bahasa sebagai alat

komunikasi saja, padahal lebih dari itu. Dalam kehidupan sehari-hari kita,

disadari atau tidak, langsung atau tidak langsung, tindakan kita sering

dipengaruhi oleh bahasa. Misalnya bahasa iklan, mampu mempengaruhi

orang-orang untuk membeli barang-barang hasil produksi perusahaan tersebut.

Contoh lain yaitu bahasa agama, mampu mempengaruhi seseorang atau

sekelompok orang pemeluk agama itu untuk bertindak sesuai dengan

ajaran-ajaran agama tersebut sebagaimana yang diinginkan oleh mereka yang

menyususn bahasa tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka bahasa dapat

mempengaruhi pengalaman dan pemikiran manusia dengan cara yang

bermacam-macam, baik dengan cara halus, membujuk bahkan sampai dengan

cara mengajak, dengan cara itu dapat memproyeksi bagaimana bahasa

membentuk alamnya sendiri dalam dunia kita. Bahasa juga dapat mencetak

pikiran-pikiran para penuturnya karena terdapat interaksi antara

bentuk-bentuk bahasa yang digunakan oleh seseorang dengan peradaban manusia.

Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Harry Hoijer dalam Titus

(1984) seorang ahli bahasa mengemukakan bahwa bahasa bukan hanya

sebagai alat komunikasi saja, ia juga merupakan suatu cara untuk

mengarahkan persepsi para penuturnya dan menyediakan cara-cara yang

biasa untuk memperoleh pengalaman ke dalam ketegori-ketegori penting.

(25)

penutur bergantung pada berapa besar dalam melakukan kegiatan berbahasa

yang digunakannya. Semakin sering seseorang melakukan aktivitas berbahasa,

maka semakin besar pula peran bahasa dalam membentuk seperangkat cara

yang besar-besar mampu mengarahkan persepsi para penutur kepada tujuan

yang digunakan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan mengapa orang yang

tidak pernah melakukan aktivitas berbahasa, seperti anak terasing yang tidak

memiliki cara-cara yang lazim dan memiliki kemampuan untuk

mengungkapkan perasaannya sebagaimana yang dilakukan manusia normal.

7.

Sosiolinguistik dan Sosiologi Bahasa

Sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya

dengan pemakainnya di dalam masyarakat. Senada dengan apa yang dikatakan

oleh Holmes (1994) bahwa “sociolinguistics study the relationship between language and society”. Ini berarti bahwa sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta merupakan

bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Appel, R (1976)

mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pemakaian bahasa (langauge use) adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi konkret. Ketika seseorang berada di dalam masyarakat tidak lagi dipandang sebagai individu

yang terpisah dari yang lainnya. Ia merupakan anggota dari kelompok

masyarakat sosialnya. Oleh karena itu, bahasa dan pemakaian bahasanya tidak

diobservasi secara individual, tetapi dikaitkan dengan kegiatannya di dalam

masyarakat atau dengan kata lain, bahasa tidak saja dipandang sebagai

individual tetapi juga merupakan gejala sosial.

Bahasa dan pemakaian bahasa yang dipandang sebagai gejala sosial tidak

hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik (linguistic factors), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor nonlinguistik, antara lain adalah faktor-faktor

(26)

Di samping pemakaian bahasa dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial

seperti telah diuraikan di atas, pemakaian bahasa juga dipengaruhi oleh apa

yang disebut dengan faktor-faktor situasional, misalnya: siapa yang berbicara

dengan bahasa apa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa seperti

dikemukakan oleh Fishman (1976), “who speak what language to whom and when”.

Faktor-faktor sosial dan situasional yang ada di masyarakat dan juga

mempengaruhi pemakaian bahasa memunculkan keanekaragaman bahasa

atau dalam sosiolinguistik disebut dengan variasi bahasa. Variasi bahasa

tampak dalam pemakaiannya baik secara individu maupun secara kelompok.

Secara individu, peristiwa itu dapat kita amati pada pemakaian orang

perorang. Setiap orang berbeda cara pemakaian bahasanya. Perbedaan itu

dapat kita lihat dari segi pengucapannya, intonasinya, pillihan kata-katanya,

susunan kalimatnya, cara berbicaranya dan lain sebagainya. Pemakaian bahasa

perseorangan sering disebut oleh Abdul Chaer dan Leonie (2005) sebagai

idiolek. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasanya

atau idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa,

susunan kalimat dan sebagainya. Namun yang paling dominan adalah “warna”

suara itu, suara bicaranya tanpa melihat orangnya kita dapat mengenali orang

yang berbicara.

Dalam masyarakat yang para penuturnya heterogen terdapat

keanekaragaman pemakaian bahasa yang dapat dikenal antara lain dengan

memperhatikan adanya berbagai dialek. Dialek diartikan oleh Holmes

(1994:132) sebagai berikut: “Dialect is variety of a language used by a group of spekers whitin a particular speech community (there is mutual intelligible). Artinya bahwa dialek merupakan variasi dari sebuah bahasa digunakan oleh

sekelompok penutur di dalam masyarakat bahasa khusus (adanya saling

pengertian). Dialek menunjukkan adanya kekhususan pemakaian bahasa di

dalam daerah tertentu atau tingkat masyarakat tertentu, yang berbeda dengan

(27)

pemakaian bahasa yang disebabkan oleh perbedaan asal daerah penuturnya

disebut dialek geografis, sedangkan perbedaan pemakaian bahasa karena

perbedaan tingkat kemasyarakatan penuturnya disebut dialek sosial Holmes,

(1994) mengemukakan sebagai berikut: social dialect : a dialect is spoken by a speech community that is marely socially isolated (there is unmutual intelligible). Artinya bahwa dialek sosial atau sosialek adalah sebuah dialek yang diucapkan

oleh kelompok masyarakat bahasa yang secara sosial terisolasi (tidak ada

saling pengertian). Dalam pengertian seperti ini mungkin sekali dalam suatu

dialek geografis terdapat pula berbagai sosiolek, sebab masyarakat penutur

yang memakai dialek daerah itu terdiri dari tingkat kemasyarakatannya (social level).

Seperti apa yang telah diuraikan di atas menunjukkan terdapat

hubungan antara bahasa dan pemakaian bahasa dengan peristiwa-peristiwa

sosial. Kita mengetahui bahwa antara bahasa dan peristiwa kebahasaan

termasuk bidang kajian linguistik. Sedangkan masyarakat dan

peristiwa-peristiwa kemasyarakatannya termasuk bidang kajian sosiologi. Studi

interdisipliner yang mempelajari masalah-masalah kebahasaan dalam

hubungannya dengan masalah sosial dikenal dengan sebutan sosiolinguistik

(Fishman, 1976). Dalam hal ini Fishman lebih cenderung untuk menyebutkan

sebagai sosiologi bahasa (language sociology), dengan pertimbangan, karena studi ini pada hakikatnya mempelajari masalah-masalah sosial dalam

hubungannya dengan pemakaian bahasa, dengan memasukkan unsur

kebudayaan yang melatarbelakangi pemakaian bahasa. Appel (1976)

menyebut sosiolinguistik sebagai studi tentang bahasa dan pemakaian bahasa

dalam hubungannya dengan masyarakat dan kebudayaan sementara Hymes

(1975) lebih menitik beratkan pada segi kegunaannya. Hymes mengemukakan

bahwa sosiolinguistik dapat dipakai sebagai petunjuk tentang kemungkinan

pemakaian data dan analisis linguistik dalam disiplin-disiplin lain yang

berhubungan dengan kehidupan sosial dan sebaliknya, pemakaian data dan

(28)

oleh Fishman (1976) sebagai berikut: melihat sosiolinguistik dari sudut adanya

hubungan variasi bahasa, fungsi bahasa, dan pemakaian bahasa serta akibat

terjadinya interaksi antara ketiganya, dan memberikan batasan sosiolinguistik

sebagai studi tentang sifat-sifat khusus/karakteristik variasi bahasa, sifat-sifat

khusus fungsi bahasa, dan sifat-sifat khusus pemakaian bahasa dan hubungan

interaksi serta perubahan-perubahan antara ketiganya di dalam masyarakat

tuturnya.

8.

Bahasa Dalam Pendekatan Sosiolinguistik

Sosiolinguistik memandang bahasa dan pemakaian bahasa tidak hanya

sebagai sistem struktur tetapi juga sebagai sistem komunikasi. Dalam

pengertian seperti telah diuraikan di atas, maka bahasa tidak saja ditentukan

oleh faktor-faktor struktural tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor sosial,

faktor-faktor situasional dan faktor-faktor kultural. Faktor-faktor struktural

(structural factors) berhubungan dengan kaidah-kaidah tata bahasa (grammatical rules), dan juga termasuk aspek linguistik (linguistic aspects). Sedangkan faktor-faktor sosio situasio-kultural (cultural-situational factors) berhubungan dengan pemilihan variasi bahasa dalam konteks sosialnya dan

termasuk dalam aspek nonlinguistik. Agar supaya kita dapat menggunakan

bahasa dengan baik, benar dan tepat sebagai sarana komunikasi, maka kita

perlu memperhatikan baik aspek linguistik maupun aspek nonlinguistik. Sebab

bahasa yang baik (secara situasional) tidak selalu benar (secara grammatika)

dan belum tentu tepat (secara kultural). Untuk dapat berbicara dengan benar

secara grammatikal dan terampil memiliki variasi bahasa yang baik dan tepat

sesuai dengan konteks sosialnya, kita perlu memadukan antara ketiga aspek di

atas, yakni aspek grammatikal, situasional dan aspek kultural. Hal ini

(29)

III.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian mengenai pentingnya bahasa, hakikat bahasa,

bahasa dalam konteks sosial, variasi bahasa, penelitian ilmiah tentang bahasa,

hubungan antara bahasa dengan masyarakat, sosiolinguistik dan sosiologi

bahasa dan yang terakhir pendekatan sosiolinguistik terhadap bahasa seperti

telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa dalam

pandangan sosiolinguistik sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta

merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan, sehingga dalam hal ini

sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan

pemakaiannya di dalam masyarakat. Ketika seseorang berada di dalam

masyarakat tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah dari yang

lainnya, tetapi ia merupakan anggota kelompok sosialnya. Sehingga bahasa dan

pemakaian bahasanya tidak diamati secara individual tetapi merupakan gejala

sosial.

Bahasa dan pemakaian bahasa yang dipandang sebagai gejala sosial tidak

hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik (linguistic factors) tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor nonlinguistik antara lain faktor-faktor sosial

seperti: status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin

dan sebagainya, sehingga dengan adanya faktor-faktor tersebut di atas, maka

bahasa dan pemakaian bahasa dapat memunculkan keanekaragaman bahasa

yang digunakan oleh seseorang atau dalam sosiolinguistik sering disebut

dengan variasi bahasa.

Sosiolinguistik juga memandang bahasa tidak hanya sebagai sistem

struktur (structural system) tetapi juga sebagai sistem komunikasi (communication system). Dalam pengertian ini, bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor struktural (structure factors) tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor sosial, situasional dan kultural (budaya). Jika faktor-faktor

struktural berhubungan dengan kaidah tata bahasa dan termasuk aspek

linguistik, maka faktor-faktor sosial, situasional dan kultural (budaya)

(30)

termasuk ke dalam aspek non linguistik. Agar kita dapat menggunakan bahasa

dengan baik, benar dan tepat sebagai sarana komunikasi, maka kita perlu

memperhatikan baik aspek linguistik maupun aspek nonlinguistik. Sebab

bahasa yang baik (secara situasional), tidak selalu baik (secara grammatikal)

dan belum tentu tepat (secara kultural).

Demikian tulisan yang sangat sederhana mengenai pendekatan

Sosiolinguistik terhadap bahasa sebagaimana telah diuraikan di atas,

mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi para pembacanya.

REFERENSI

Abdul Chaer & Leonie Agustina. 2005. Sosiolinguistik. Jakarta: PT. Rineka Cipta Apel, R, dkk. 1976. Sociolinguisitcs. Antwerpen/Utrecht: Het Spectrum.

Chauchard, Paul. 1983. Bahasa dan Pikiran dialihbahasakan oleh A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius

Djunaidi, A. 1987. Pengembangan Materi Pengajaran Bahasa Inggris: Berdasarkan Pendekatan Linguistik Kontrastif. Jakarta: Depdikbud

Fishman, Joshua A. 1976. Advances In the Sociology of Language. Mouton: The Hague-Paris

Fromkin, Victoria, et. al. 1999. An Introduction to Language. Toronto: Harcout Holmes, Janet. 1994. An Introduction to Sociolinguistics. London: Longman

Group Uk Limited

Hymes, Dell. 1975. The Communication Competence dalam Pride, J.B dan Holmes, B (ed). Sociolinguistics. Middlessex: Pinguin Books

Kattsoff, Louis O. 1989. Pengantar Filsafat. dialihbahasakan oleh Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana

(31)

Sabarti Akhadiah. 1999. Pendidikan Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Makalah disampaikan dalam Rangka Bulan Bahasa dan Sastra. Jakarta:UNJ

Titus, Horold, H, dkk. 1984. Persoalan-persoalan Filsafat dialihbahasakan oleh Hm. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang

(32)

BAB II

PENGGUNAAN BAHASA

DALAM MASYARAKAT MULTILINGUAL

I.

PENDAHULUAN

Kabupaten dan kota Cirebon terletak di bagian Timur Jawa barat,

mendekati perbatasan Jawa Tengah atau lebih tepatnya di antara kabupaten

Kuningan, Indramayu, Majalengka dan kabupaten Brebes yang menyebabkan

masyarakatnya menggunakan keberagaman bahasa (multilingual community). Sebagian besar penduduk cirebon adalah suku asli Cirebon yang bahasa

pertamanya (first language) adalah bahasa Jawa Cirebon dan bahasa Sunda. Di kota Cirebon, khususnya di sepanjang pertokoan di kota Cirebon banyak

dihuni oleh suku Cina, suku Arab dan bahkan ada juga suku India. Mereka

sudah lama tinggal beranak cucu dan mencari kehidupan di sana.

Di Cirebon, terletak stasiun kereta api terbesar yang setiap saat

membawa masyarakat yang hendak bepergian menuju kota-kota besar, seperti

Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang dll. Di Cirebon juga, terdapat pelabuhan

kapal terbesar dan perguruan tinggi Negeri dan Swasta. Karena Cirebon,

letaknya di tengah-tengah dari daerah-daerah kabupaten yang lainnya, maka

banyak masyarakat yang sengaja datang ke Cirebon untuk menuntut ilmu,

mencari pekerjaan dan bahkan menjadikan Cirebon sebagai tempat

persinggahan terakhir bagi para pendatang. Dengan banyaknya suku yang

tinggal di Cirebon maka dapat dikatakan bahwa masyarakat Cirebon

menggunakan keberagaman bahasa (multilingual comunity).

Penduduk Cirebon dapat hidup berdampingan dengan rukun dan

harmonis dengan suku-suku yang lain. Hal ini menimbulkan adanya pergaulan,

interaksi dan komunikasi antar suku dalam frekuensi yang cukup tinggi dalam

(33)

Karena dalam situasi seperti ini bahasa masih diartikan sebagai berikut :

“Language is a vechile for the realization of interpersonal relations and for the

performance of social transactions betweem individuals. Language can be seen

as a tool for the creation amd maintenance of social relations (Richards and

Rodgers, 1986). Artinya bahasa merupakan alat untuk merealisasikan

hubungan-hubungan interpersonal dan untuk melaksanakan

transaksi-transaksi sosial di antara individu-individu. Bahasa juga dapat dipahami

sebagai alat untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan-hubungan

sosial.

Terjadinya interaksi dan komunikasi di antara masyarakat di Cirebon

dengan suku-suku yang lain menjadi suatu hal yang sangat menarik untuk

dicermati secara sosiolinguistik dengan kajian etnografi komunikasi. Etnografi

komunikasi adalah bagian dari sosiolinguistik yang memerikan suatu

masyarakat atau suku, etnografi tentang suatu bahasa memfokuskan pada

pemakaian bahasa (language use) dalam komunikasi menggunakan bahasa.

Sosiolinguistik lebih menekankan pada pemakaian bahasa bukan pada struktur

bahasa. Wardhaugh (1998) mengemukakan bahwa etnografi komunikasi

merupakan gambaran dan keseluruhan faktor yang terkait dengan

pemahaman bagaimana suatu kejadian komunikasi tertentu dapat mencapai

tujuannya. Pola-pola komunikasi dapat dilihat berdasarkan analisis komponen

tutur yang dipengaruhi oleh aspek-aspek linguistik, interaksi sosial dan

kebudayaan dalam pola komunikasi. Dalam kaitan ini Hymes (1974)

menyebutnya sebagai “Etnography of communication” untuk menganalisis

perilaku komunikasi manusia yang berhubungan erat dengan kebudayaan.

Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai hakikat masyarakat tutur

(speech community), pemilihan variasi/kode dalam masyarakat multilingual

(multilingual community), diglossia atau polyglossia, sikap terhadap H (high)

vs L (low) dalam situasi diglossia, alih kode (code switching) atau campur kode

(34)

II.

PEMBAHASAN

1.

Hakikat Masyarakat Tutur (

Speech Community

).

Masyarakat tutur (

speech community

) digunakan secara luas oleh para

ahli sosiolinguistik merujuk pada masyarakat berdasarkan bahasa (Hudson,

1996). Dalam istilah sosiolinguistik, masyarakat tutur disebut “

Speech

Community”

bagi Gumperz lebih suka menggunakan istilah “

Linguistic

Community”

(Gumperz, 1971). “

Linguistic Community”

oleh Gumperz

diartikan sebagai berikut, “....

a social group which may be either

monolingual or multilingual held together by frequency of social interaction

patterns and set off from the surrounding areas by weakness in the lines of

communication linguistic, communities may consist of small groups bound

together by face to face contract or may cover large regions, depending on

the level of abstraction we wish to achieve

(Wardhaugh. 1998).

Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Gumperz di atas diartikan

bahwa komunitas didefinisikan terpisah hubungannya dengan komunitas

lainnya. Secara internal, sebuah komunitas memiliki kepaduan sosial, secara

eksternal para anggotanya harus menganggap dirinya terlepas dari komunitas

lainnya berdasarkan cara-cara tertentu. Pengertian ini merupakan

pengembangan dari definisi “

speech community”

yang dikemukakan oleh

Bloomfield dalam Wardhaugh (1998). Ia mengemukakan bahwa “

speech

community is as a group of people who interact by means of speech. Speech

community is meant as all of people who use a given language or the same

dialect”.

Artinya bahwa “

speech community”

adalah sekelompok manusia

yang berinteraksi dengan menggunakan ujaran atau dialek yang sama.

Gumperz (1971) menawarkan pengertian lain mengenai

speech

community,

yakni... kelompok manusia yang ditandai dengan adanya

(35)

verbal yang dimiliki bersama dan bermula dari kelompok yang sama dengan

perbedaan-perbedaan penting dalam pemakaian bahasa.

Dalam kaitan ini Chaer dan Agustina (2005) mengemukakan bahwa

speech community

dapat diartikan sebagai suatu masyarakat yang

anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi/kode bahasa beserta

norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya. Istilah

speech community

bersifat relatif, dapat menyangkut masyarakat yang sangat luas, dan dapat

pula hanya menyangkut sekelompok kecil orang.

Berdasarkan berbagai pendapat mengenai pengertian

speech community

seperti telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat

tutur (

speech community

) pada hakikatnya dapat terbentuk karena adanya

kebersamaan dalam kode-kode linguistik (secara terperinci dalam

aspek-aspkenya, yaitu sistem bunyi, sintaksis dan semantik). Dalam hubungan ini

sebenarnya tidak ada hubungan pasti antara persamaan linguistik dengan

keanggotaan masyarakat bahasa. Dengan saling pengertian itu, ternyata

timbul dimensi sosial psikologis yang subyektif. Jadi masyarakat tutur

(

speech community

) akan dapat terbangun jika ada saling pengertian dan

kebersamaan di antara anggota-anggota masyarakatnya (Huriyah, 2013).

Untuk memahami konsep masyarakat tutur (

speech community

), kita

perlu memahami tiga macam masyarakat tutur yang biasa kita temukan.

Yakni : sebahasa dan saling pengertian, sebahasa tapi tidak saling mengerti

dan berbeda bahasa tapi saling mengerti. Yang sebahasa dan saling mengerti

terjadi karena mungkin tadinya “ sebahasa” dan kedua bahasa itu bisa

dianggap sebagai varian yang sudah mempunyai kemandirian. Sebahasa tapi

tidak saling mengerti berarti dapat dianggap sebagai satu masyarakat tutur

karena mereka mempunyai saling pengertian yang dalam. Sosiolinguistik

merupakan jaminan bagi terciptanya masyarakat tutur dan komunikasi.

(36)

namanya interaksi. Dua bahasa yang berbeda ini bisa kita anggap sebagai

dialek atau varian dari bahasa yang sama.

2.

Pemilihan Variasi/Kode Dalam Masyarakat Multilingual

(

Multilingual Community

).

Multilingualism oleh Wardhaugh (1998) diartikan sebagai kemampuan

seseorang untuk menguasai dan menggunakan lebih dari dua bahasa. Hal

senada dengan apa yang dikemukakan oleh Holmes (1994) bahwa. “in

multilingual communities people use more than one language. Its meaning

that people in this situation, they may speak more than one language, thus,

they have linguistic repertoire”. Artinya di dalam masyarakat multilingual,

orang menggunakan lebih dari satu bahasa. Maksudnya bahwa

orang-orang dalam situasi ini mereka mungkin berbicara lebih dari satu bahasa,

sehingga mereka memiliki linguistic repertoire. Repertoire oleh Holmes (1994)

diartikan sebagai berikut, “Repertoire is the set of language variaties used in

the speaking and writing practices of a speech community”. Artinya Repertoire

adalah serangkaian variasi bahasa digunakan di dalam praktek-praktek

berbicara dan menulis dari masyarakat tutur.

Kebanyakan orang-orang yang multilingual ditemukan pada orang-orang

seperti para pengunjung, imigran, wisatawan, anak-anak hasil kawin campur

lintas daerah atau negara, dan atau orang-orang tertentu yang tekun belajar

lebih dari dua bahasa. Namun demikian, di kebanyakan belahan dunia ini,

kemampuan berbicara dalam banyak bahasa tidak terlalu menonjol. Orang

yang multilingual tidak perlu secara tepat memiliki kemampuan yang sama

dalam bahasa-bahasa yang digunakan, dan apabila terdapat kesamaan dalam

penggunaan lebih dari dua bahasa, maka hal semacam itu menjadi suatu yang

luar biasa, seperti yang dikemukakan oleh Wardhaugh (1998), multilingualism

meliputi keseimbangan, menguasai semua bahasa bagaikan penutur asli di

(37)

Orang yang berada di dalam masyarakat multilingual biasanya memiliki

kemampuan untuk menguasai bahasa yang berbeda dan mengubah ubah

bahasa yang berbeda tersebut, dalam pembicaraan yang berbeda. Perbedaan

kompetensi di dalam variasi bahasa membuat jarak dari penguasaan item-item

leksikal, memformulasi ekspresi seperti pada saat memberi salam (greetings)

dan keterampilan-keterampilan conversation (percakapan) yang bersifat

mendasar atas semua cara menuju ke penguasaan sempurna terhadap

grammatika, kosakata dan gaya bahasa. Orang yang multilingual juga biasanya

dapat membentuk kompetensinya di dalam penggunaan kode secara luas, yang

menunjukkan bahwa mereka membutuhkannya dalam konteks bahasa yang

mereka gunakan, sebab konteks membatasi pilihan bahasa.

Di dalam masyarakat multilingual di mana orang menggunakan lebih

dari satu bahasa akan ditemukan faktor-faktor sosial seperti dikemukakan oleh

Fishman (1989) sebagai berikut: “who speak, what language, to whom, when,

and to what end,” semuanya merupakan faktor sosial. Pilihan bahasa setiap

orang merupakan bagian dari identitas sosial masyarakatnya.

Orang-orang yang multilingual yang masih eksis di Amazon bagian barat

laut, di perbatasan antara Columbia dan Brasil (Wardhaugh, 1998) adalah

orang Tukano. Orang Tukano merupakan masyarakat yang multilingual karena

setiap lelaki harus menikah di luar kelompok bahasa mereka, atau setiap lelaki

tidak boleh memiliki istri yang berbicara dalam bahasanya. Dengan demikian,

setiap lelaki memilih istri dan menikah dengan perempuan yang memiliki

bahasa yang berbeda. Selanjutnya pada saat menikah perempuan berpindah

mengikuti suami. Konsekuensinya adalah di beberapa desa berbagai bahasa

digunakan, bahasa para suami, variasi bahasa yang dibicarakan oleh para istri

yang berasal dari berbagai lingkungan, dan berkembang menjadi bahasa

campuran regional. Contoh lain di Indonesia misalnya, bahasa pertama penulis

adalah bahasa Jawa Cirebon, bahasa pertama suami penulis adalah bahasa

Sunda, penulis sekeluarga pernah tinggal di Lombok Nusa Tenggara Barat

(38)

Lombok yang bahasa pertamanya adalah bahasa Sasak, anak-anak lahir dan

dibesarkan serta diasuh oleh pembantu yang bahasa pertamanya berbeda

dengan bahasa Ayah dan bahasa Ibunya, yakni bahasa Sasak. Anak-anak yang

seperti ini dapat dikatakan anak-anak yang lahir dan dibesarkan dalam

lingkungan multilingual. Yakni ayah mereka berbicara satu bahasa, ibu mereka

berbicara bahasa yang lain dan pembantu yang setiap hari bergaul dan

mengasuh anak-anak tersebut pun tentu berbicara dalam bahasa yang lain.

Dengan demikian, maka multilingualisme merupakan sesuatu yang normal di

dalam komunitas tersebut.

Contoh yang lain mengenai multilingualism adalah Siane di Papua New

Guinea, (Wardhaugh, 1998), di mana di antara penduduk Siane adalah sesuatu

yang normal, bila orang mengetahui sejumlah bahasa. Mereka berlomba

belajar bahasa, sehingga siapa yang dapat menggunakan suatu bahasa,

sedangkan yang lainnya belum/tidak tahu, maka mereka ((bagi yang belum

tahu) akan berusaha mempelajari bahasa tersebut.

Seseorang yang multilingual, situasilah yang akan memproduksi

efek-efek lain atas suatu atau beberapa bahasa yang dipengaruhinya. Seperti

pemudaran atau kehilangan bahasa yang terjadi pada para imigran. Semuanya

terjadi karena situasi kontak (Contact situation) antar masyarakat.

Di dalam masyarakat multilingual di mana orang-orang menggunakan

lebih dari satu variasi/kode akan ditemukan dan harus diperhatikan hal-hal

yang berkaitan dengan apa yang disebut dengan faktor-faktor sosial. Dalam

kaitan ini Holmes (1994) menyebutnya dengan... “who you are talking to, the

social context of talk, the function and topic of the discussion”. Faktor-faktor

sosial ini sangat penting dalam memilih bahasa yang memiliki banyak jenis

dari masyarakat tutur yang berbeda. Hal ini sangat bermanfaat, khususnya

ketika menggambarkan pemilihan kode dalam masyarakat tutur yang luas,

untuk melihat interaksi-interaksi yang khusus yang melibatkan faktor-faktor

tersebut. Kita dapat membayangkan, misalnya: sebuah typical dari interaksi

(39)

secara jelas terdiri dari anggota-anggota keluarga, dan typical topik akan

terdiri dari kegiatan-kegiatan keluarga.

Di dalam memilih kode/variasi, terlebih dahulu kita harus menyiapkan

sejumlah contoh typical interaksi yang relevan di dalam menggambarkan

pola-pola dari pemilihan kode/variasi dalam masyarakat tutur. Sejumlah contoh

typical interaksi dikenal sebagai domain-domain dari penggunaan bahasa

(domains of language use).

Konsep domain yang dipopulerkan oleh Joshua Fishman (1989) berguna

untuk deskripsi dan penjelasan distribusi sarana komunikasi. Fishman

mendefinisikan domain sebagai berikut:“social contruct that abtracted of

communication topics, relation between communicator and location of

communication is suitable for society institution, and the scope of speech

community activity”. Artinya konstruk sosial yang diabstraksikan dari

topic-topik komunikasi, hubungan antar komunikator, dan lokasi komunikasi, sesuai

dengan institusi masyarakat dan ruang lingkup aktivitas masyarakat bahasa

itu. Berkaitan dengan domain-domain dari penggunaan bahasa maka

faktor-faktor yang menentukan domain tersebut mencakup bidang yang dibicarakan,

hubungan peran antar partisipasipan dan setting interaksi itu (Ibrahim, 1994).

Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Holmes (1994) bahwa “Domain

involves typical interactions between typical participants in typical settings”.

Artinya domain melibatkan typical interaksi antara typical participant di dalam

setting-setting atau latar tpycal. Contoh domain-domain dari penggunaan

bahasa berikut ini.

Domain

Addressee

Setting

topic

Variety/Code

Family

Parents

Home Planning/going

to the zoo

Education

Teacher

School Solving a math

(40)

Education

Teacher

Primary Telling a strory

School

Friendship

Friend Open How to play kites

Field

Family

Parents

Home Planning to have

dinner together

Tulislah variasi/kode/bahasa sesua

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, untuk membentuk dan menjadikan sebuah keluarga menjadi keluarga sakinah diperlukan upaya-upaya yang harus diusahakan oleh seseorang yang akan atau

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji, seberapa besar prestasi belajar siswa dan dampak karakter yang dimiliki siswa ketika menggunakan model pembelajaran

Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif bertujuan untuk menjelaskan bagaimana pengalaman para alumni ESQ ketika mengikuti training tersebut, untuk

Sedangkan upaya peningkatan dukungan sosial dapat dilakukan dengan: dukungan sosial dari keluarga, rekan kerja dan atasan, dukungan informasi, dukungan konkrit dan

Dalam kurikulum, tujuan khusus pembelajaran bahasa berfokus pada tujuan behavioral, tujuan keterampilan berbahasa, dan tujuan berdasarkan isi (Tarigan, 2009: 78-85).

Pola transliterasi Indonesia – Arab belum memiliki standarisasi alih aksara secara baku baik besifat nasional maupun Internasional, kondisi ini menimbulkan banyak varian

Maka dari itu memerlukan penelitian untuk mengetahui jual beli online pada mahasiswa Jurusan Muamalah Ekonomi Perbankan Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Hal ini yang

Pada sistem sosial masyarakat bugis, penulis mengemukakan dua hal penting yang sangat memegang peranan penting dalam sistem sosial orang Bugis yaitu status sosial dan