• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESOPANSANTUNAN BERBAHASA DAN SOLIDARITAS1

I. PENDAHULUAN

Pendekatan linguistik memandang setiap manusia yang dilahirkan di muka bumi ini dalam keadaan tidak bebas. Ia mewarisi suatu bahasa yang memerlukan ujaran-ujaran yang memuat amanat dan kebutuhan para penuturnya yang selalu menjaga hubungan sosial dan kultur para penuturnya sehingga ujaran tersebut memiliki kesopansantunan. Namun ujaran-ujaran yang santun biasanya mengandung hal-hal yang komplek dan rumit. Kesopansantunan secara sederhana hanya sebagai persoalan mengatakan please dan thank you pada tempat yang benar. Dalam kenyataannya, hal ini melibatkan banyak hal, tidak hanya melibatkan pemahaman tentang bahasa, tetapi juga melibatkan nilai-nilai sosial dan kultural masyarakat.

Ketika kita berinteraksi atau berbicara dengan orang lain, kita harus secara tetap membuat pilihan-pilihan atas banyak hal yang berbeda, apa yang ingin kita katakan, bagaimana kita mengatakannya, dan tipe-tipe kata, kalimat, dan bunyi spesifik yang mempersatukan apa (the what) dan mengapa (the how). Bagaimana kita mengatakan sesuatu sekurang-kurangnya sama penting dengan apa yang kita katakan, sesungguhnya inti (the content) dan bentuk (the form) tidak dapat dipisahkan, karena merupakan dua sisi dari objek yang sama. Satu cara untuk melihat hubungan ini adalah menguji aspek spesifik dari komunikasi : misalnya pilihan kata ganti (promina) antara bentuk-bentuk saya (I) dan kami (we) dalam bahasa-bahasa yang menghendaki suatu pilihan; penggunaan istilah nama dan adress, dan pekerjaan/jabatan penilai kesopansantunan. Di dalam setiap kasus, kita akan melihat bahwa pilihan bahasa yang tepat seorang pembicara mengindikasikan hubungan sosial

1

bahwa pembicara merasa eksis antara him atau her dan pendengar atau para pendengar. Selain itu, dalam banyak kasus adalah tidak mungkin menghindari membuat pilihan atas sekumpulan pesan yang aktual.

Dalam melakukan percakapan atau interaksi dengan orang lain yang memiliki kebudayaan yang berbeda, Masyarakat biasanya menggunakan bahasanya dalam praktik-praktik kebudayaannya dalam kegiatan sehari-hari mereka, meski harus memperhatikan kesopansantunan berbahasa dan identitas dengan melihat siapa yang berbicara dan konteks di mana percakapan atau interaksi itu berlangsung (terjadi). Ketika mereka bersama-sama ikut serta dalam praktik kebudayaan, maka mereka berbicara atau berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya dalam budaya yang sama. Hampir selalu praktik-praktik kebudayaan membutuhkan bahasa, yakni bahasa partisipasi, aksi dan interaksi antara dan antar anggota kebudayaan yang menuntut percakapan dan menyimak. Sebaliknya dalam budaya tulis, memerlukan bacaan dan tulisan. Untuk berpartisipasi dengan wajar dalam praktik kebudayaan tersebut, setiap orang harus mampu mengatakan kata-kata yang tepat dengan cara yang tepat pada waktu yang tepat pula.

Senada dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka ketika kita melihat kepada realitas yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di Indonesia yang multikultural, kita menemukan banyak penyimpangan yang dilakukan oleh banyak orang yang berkaitan dengan bahasa yang mereka gunakan untuk mengungkapkan pikiran dan keinginan mereka. Penyimpangan-penyimpangan tersebut semakin mencuat ke permukaan semenjak berakhirnya rezim orde baru dan dimulainya era reformasi yang ditandai dengan berbagai aksi demonstrasi yang anarkis yang membawa bangsa ini ke dalam suatu situasi sulit yang berupa krisis multi dimensi. Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan adalah terjadinya krisis kepercayaan dan saling curiga yang berbuntut pada saling hujat di kalangan masyarakat.

Dalam menyampaikan aspirasi, baik itu yang berupa keinginan ataupun tuntutan, banyak masyarakat yang tidak lagi memperhatikan kesopansantunan

dalam berbahasa dan solidaritas serta bahkan dengan sengaja mengabaikannya, baik itu yang berupa bahasa verbal maupun nonverbal. Bahasa yang digunakan oleh para demonstran ketika melakukan demonstrasi sengaja dibuat jauh dari kesopansantunan. Hal ini terjadi hampir pada semua lapisan masyarakat tanpa kecuali, baik itu masyarakat yang berpendidikan maupun tidak, anak-anak maupun orang dewasa, aparat negara maupun rakyat biasa, masyarakat sipil maupun militer, majikan maupun bawahan dan seterusnya. Dan yang sangat memprihatinkan lagi, ketidak sopansantunan berbahasa itu dijadikan alat ampuh untuk mewujudkan tuntutan dan keinginan. Karena bahasa diartikan sebagai alat berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi untuk menyampaikan pikiran dan gagasan ataupun perasaan, seperti dikemukakan oleh Suriasumantri (1998) bahwa bahasa Pada hakikatnya merupakan suatu sistem lambang bunyi bahasa yang arbitrer dan berfungsi sebagai alat untuk menyatakan pikiran, perasaan dan sikap seseorang kepada yang lain dalam suatu masyarakat bahasa. Dengan kata lain bahasa mempunyai fungsi simbolik, emotif dan afektif.

Sebenarnya dalam mendiskusikan bahasa kita tidak terlepas dari membicarakan “ragam bahasa”. Martin Joos dalam Abdul Chaer & Leonie Agustina (2004) mengemukakan bahwa variasi bahasa terdiri dari lima macam gaya (style), gaya atau ragam baku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif), gaya atau ragam santai (casual), gaya atau ragam akrab (intimate). Namun dalam tulisan ini tidak akan membahas mengenai ragam bahasa tetapi tulisan ini akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan kesopansantunan dalam berbahasa dan solidaritas.

II. PEMBAHASAN

1. Hakikat Kesopansantunan

Lebih dari tiga puluh tahun yang silam, banyak orang meminati untuk membahas materi atau topik yang berkaitan dengan kesopansantunan dalam berbahasa dan kemudian topik tersebut dimasukkan ke dalam pembicaraan

pragmatik. Kesopansantunan ini muncul sebagai upaya menjawab pertanyaan besar “Mengapa Prinsip Kerja Sama “ Grice (1975) di dalam komunikasi yang nyata atau yang sebenarnya sering dilanggar orang. Hal itu karena dalam kenyataannya di dalam berkomunikasi kebutuhan penutur bukanlah hanya untuk menyampaikan informasi saja, tetapi lebih dari itu. Seandainya di dalam berkomunikasi tujuan kita adalah menyampaikan informasi semata-mata, strategi komunikasi yang baik adalah menjamin “kejelasan pragmatik” (pragmatic clarity) yang paling tinggi. Ini kita lakukan dengan cara mematuhi maksim-maksim kerja sama Grice itu sepenuhnya. Ujaran-ujuaran yang ingin kita sampaikan kemudian disusun sedemikian rupa sehingga ujaran-ujaran itu benar-benar informatif, betul, relevan, singkat, tertib (dalam ucapan), pemilihan kata, tata bahasa, penyampaian ujaran tidak samar-samar dan tidak memiliki makna ganda (ambigu).

Sebaliknya dalam menyampaikan ujaran para penutur harus dapat menyusun ujaran-ujarannya yang akan memuat amanat dan kebutuhan para penutur yang selalu menjaga hubungan sosial dan kultur (budaya) para penuturnya sehingga ujaran itu memiliki kesopansantunan, namun ujaran yang santun biasanya mengandung hal-hal yang komplek dan rumit. Hal ini seperti dikemukakan oleh Holmes (1994) bahwa untuk menjadi santun merupakan suatu pekerjaan/urusan yang rumit dalam bahasa manapun. Oleh karena itu, hal ini perlu untuk dikaji lebih teliti karena ia tidak hanya melibatkan pemahaman tentang bahasa, tetapi juga melibatkan nilai-nilai sosial dan kultural masyarakat. Kita sering kali tidak mengapresiasi bagaimana rumitnya, karena kita cenderung memikirkan tentang kesopansantunan secara sederhana hanya sebagai suatu persoalan mengenai mengatakan please dan thank you pada tempat yang benar. Dalam kenyataannya, hal itu melibatkan banyak hal lebih dari rutinitas kesopansantunan yang dangkal di mana para orang tua secara eksplisit mengajarkan anak-anak mereka.

Berkaitan dengan istilah kesopansantunan Jenny Thomas dalam Lavinson (1983) mengemukakan bahwa kesopansantunan sering

dicampuradukkan dengan istilah penghormatan. Penghormatan mengacu pada penghargaan yang diberikan kepada seseorang yang memiliki status sosial lebih tinggi, usia yang lebih tua dan seterusnya. Penghormatan lebih banyak mempertimbangkan masalah sosiolinguistik. Kesopansantunan dipahami sebagai fenomena pragmatik yang ditafsirkan sebagai strategi yang digunakan oleh para penutur untuk mencapai bermacam tujuan untuk mempertahankan hubungan yang harmonis. Dalam kaitan ini Fraser (1974) mengemukakan bahwa ada tiga pandangan mengenai teori kesopansantunan dalam berbahasa, yaitu: pertama, pandangan prinsip maksim; kedua, pandangan pada nosi muka; dan ketiga, pandangan kontrak percakapan.

2. Prinsip-Prinsip Maxim Dalam Kesopansantunan

Leech (1983) mengemukakan dalam buku, Principles of Pragmatics,

mengenai hakikat kesopansantunan dalam berbahasa berdasarkan Prinsip Kesopansantunan (Politeness Principles). Dalam buku tersebut terdapat enam maksim yang menjelaskan agar ujaran yang kita sampaikan menjadi lebih santun, yaitu : (1) Maksim Timbang Rasa (The Tact Maxim), (2) Maksim Kemurahan Hati (The Generosity Maxim), (3) Maksim Pujian (The Approbahon Maxim), (4) Maksim Kerendahan Hati (The Modesty Maxim), (5) Maksim Kesepakatan (The Agreement Maxim), dan (6) Maksim Simpati (The Sympaty Maxim). Selanjutnya Leech juga mendasarkan kesopansantunan pada nosi-nosi biaya dan keuntungan, celaan dan pujian, kesetujuan, simpati/antipati.

Maksim Timbang Rasa (The Tact Maxim))

Maksim timbang rasa (the tact maxim) sering disebut juga sebagai maksim kearifan. Ketentuannya adalah “para panutur harus dapat meminimalkan ungkapan kepercayaan kepada orang lain”, dan “memaksimalkan ungkapan kepercayaan yang mengimplementasikan keuntungan kepada orang lain”.

Ada tiga aspek yang berkaitan dengan maksim ini. Pertama, maksim timbang rasa berkaitan dengan strategi meminimalisasi biaya (cost) kepada

orang lain bergantung pada budaya (kultur) tertentu, dan tidak bersifat universal. Kedua, pelunakan dengan menawarkan pilihan (opsi) berkaitan dengan kaidah opsi. Ketiga, maksim ini berkaitan dengan skala biaya keuntungan. Jika sesuatu dirasakan menguntungkan penutur, X dapat diungkapkan secara santun tanpa menggunakan ketidaklangsungan. Namun, jika X tampak membebani penutur, ketidak langsungan diperlukan.

Maksim Kemurahan Hati/Maksim Kedermawanan (The Generosity Maxim)