• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Program Family Support Terhadap Resiliensi Keluarga yang Memiliki Anak Autistik di Pondok Peduli Autis Kaya Berkah Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Program Family Support Terhadap Resiliensi Keluarga yang Memiliki Anak Autistik di Pondok Peduli Autis Kaya Berkah Medan"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengaruh

2.1.1 Definisi Pengaruh

Arti kata ‗pengaruh‘ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua adalah

daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang atau benda) yang ikut membentuk watak

kepercayaan dan perbuatan seseorang (KBBI, 1997: 747). Pengaruh juga didefinisikan

sebagai daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang atau benda) yang ikut membentuk

watak kepercayaan dan perbuatan seseorang (Depdikbud, 2001:845).

WJS.Poerwadarminta berpendapat bahwa pengaruh adalah daya yang ada atau

timbul dari sesuatu, baik orang maupun benda dan sebagainya yang berkuasa atau yang

berkekuatan dan berpengaruh terhadap orang lain (Poerwadarminta, 1986: 731). Bila

ditinjau dari pengertian diatas, dapatlah disimpulkan bahwa pengaruh merupakan suatu

daya yang ada atau timbul dari suatu hal, atau dengan kata lain memiliki hasil atau

akibat.

Maka dalam penelitian ini, hal yang menjadi perhatian adalah pengaruh yang

ditimbulkan program family support terhadap resiliensi keluarga yang memiliki anak autistik, yang mana program family support ini diselenggarakan oleh beberapa lembaga

pelatihan dan pendidikan khusus yang berada di kota Medan.

(2)

2.2.1 Definisi keluarga

Dalam sebuah literatur yang disusun oleh Herien Puspitawati (2013) dengan

tajuk Konsep dan Teori Keluarga, dikumpulkanlah beberapa definisi keluarga menurut

beberapa ahli, yang menyebutkan bahwa keluarga merupakan suatu unit sosial-ekonomi

terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi, serta

merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai

jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan perkawinan, dan adopsi

(UU Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10; Khairuddin 1985; Landis 1989; Day et al.

1995; Gelles 1995; Ember dan Ember 1996; Vosler 1996).

Sedangkan menurut Mattessich dan Hill (Zeitlin, 1995), keluarga merupakan

suatu kelompok yang berhubungan kekerabatan, tempat tinggal, atau hubungan

emosional yang sangat dekat yang memperlihatkan empat hal (yaitu interdepensi intim,

memelihara batas-batas yang terseleksi, mampu untuk beradaptasi dengan perubahan

dan memelihara identitas sepanjang waktu, dan melakukan tugas-tugas keluarga).

Dalam sumber lain, disebutkan bahwa keluarga adalah dua orang atau lebih yang

disatukan oleh kebersamaan dan kedekatan emosional serta yang mengidentifikasi

dirinya sebagai bagian dari keluarga. Keluarga juga didefinisikan sebagai kelompok

individu yang tinggal bersama dengan atau tidak adanya hubungan darah pernikahan,

adopsi dan tidak hanya terbatas keanggotaan dalam suatu rumah tangga (Friedmen,

2010).

Berdasarkan pemaparan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keluarga

adalah kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang memiliki hubungan

(3)

kedekatan emosional, serta mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari kelompok

ini.

2.2.2 Fungsi Keluarga

Sebagai unit sosial-ekonomi terkecil dari sebuah institusi sosial (masyarakat),

maka keluarga memiliki beberapa fungsi yang perlu dijalankan di dalamnya. Menurut

Khairuddin (1997), pada dasarnya keluarga mempunyai fungsi-fungsi pokok yakni

fungsi yang sulit dirubah dan digantikan oleh orang lain. Sedangkan fungsi-fungsi lain

atau fungsi-fungsi sosial, relatif lebih mudah berubah atau mengalami

perubahan. Fungsi-fungsi pokok tersebut antara lain :

1. Fungsi biologik

Keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak, fungsi ini merupakan dasar

kelangsungan hidup masyarakat. Namun fungsi ini juga mengalami

perubahan karena keluarga sekarang cenderung memiliki jumlah anak yang

sedikit.

2. Fungsi afeksi

Dalam keluarga terjadi hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan

afeksi. Hubungan afeksi ini tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang

menjadi dasar perkawinan. Dari hubungan cinta kasih ini lahirlah hubungan

persaudaraan, persahabatan, kebiasaan, identifikasi, persamaan pandangan

mengenai nilai-nilai. Dasar cinta kasih dan hubungan afeksi ini merupakan

(4)

makin impersonal, sekuler, dan asing, pribadi sangat membutuhkan hubungan

afeksi seperti yang terdapat dalam keluarga, suasana afeksi itu tidak terdapat

dalam institusi sosial yang lain.

3. Fungsi sosialisasi

Fungsi sosialisasi menunjukkan peranan keluarga dalam kepribadian anak.

Melalui interaksi sosial dalam keluarga, anak mempelajari pola-pola tingkah

laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam

rangka perkembangan kepribadiannya.

Berdasarkan pendapat Gunarsa&Gunarsa (1995) dinyatakan bahwa fungsi

keluarga adalah sebagai berikut :

1. Mendapatkan keturunan dan membesarkan anak

2. Memberikan afeksi/kasih sayang, dukungan, dan keakraban

3. Mengembangkan kepribadian

4. Mengatur pembagian tugas, menanamkan kewajiban, hak dan tanggung

jawab

5. Mengajarkan dan meneruskan adat-istiadat, kebudayaan, agama, dan sistem

moral pada anak

Pada hakekatnya keluarga diharapkan mampu berfungsi untuk mewujudkan

proses pengembangan timbal balik rasa cinta dan kasih sayang antara anggota keluarga,

antar kerabat, serta antar generasi yang merupakan dasar keluarga yang harmonis.

(5)

Dalam kehidupan yang diwarnai oleh rasa kasih sayang maka semua pihak dituntut agar

memiliki tanggung jawab, pengorbanan, saling tolong-menolong, kejujuran, saling

mempercayai, saling membina, saling pengertian dan damai dalam rumah tangga

(Soetjiningsih, 1995).

Dari ulasan mengenai fungsi-fungsi keluarga di atas, tentu dapat disimpulkan

bahwa keberadaan keluarga berfungsi sebagai sumber pengajaran dan pembinaan, baik

itu pengajaran dan pembinaan mengenai nilai-nilai hidup, norma-norma dalam

masyarakat, hingga adat-istiadat. Selain itu keluarga juga berfungsi sebagai pemasok

kebutuhan akan afeksi/kasih sayang serta dukungan (materil/non-materil) bagi para

anggotanya.

2.2.3 Dukungan Keluarga (F amily Support)

Salah satu fungsi keluarga adalah memberi dukungan, baik yang bersifat materil

maupun non-materil. Dukungan keluarga atau dalam bahasa inggris dikenal dengan

istilah family support merupakan unsur terpenting dalam membantu individu menyelesaikan masalah. Apabila ada dukungan, rasa percaya diri akan bertambah dan

motivasi untuk menghadapi masalah yang terjadi akan meningkat (Tamher, 2009; dalam

Furiyah, 2010).

Menurut Friedman (1998, dalam Furiyah, 2010), family support adalah pemberian bantuan berupa suatu perilaku, materi, atau membina hubungan sosial yang

baik (akrab) sehingga individu merasa diperhatikan, bernilai, dan dicintai. Sedangkan

(6)

bantuan yang merupakan suatu kewajiban untuk membantu anggota keluarga yang

mengalami suatu masalah yang bersifat sukarela dan sosial. Sedangkan Gardner (2003,

dalam Thompson, 2006) mengartikan family support sebagai suatu pendekatan yang melibatkan dukungan dari anggota keluarga dan bertujuan untuk menghindari intervensi

lebih lanjut dari pihak luar.

Berdasarkan pengertian family support diatas, peneliti memilih pengertian family support yang akan dijadikan acuan yakni pendapat Neil Thompson dalam bukunya Family Support as Reflective Practice, yang mengartikan family support sebagai pemberian bantuan yang merupakan suatu kewajiban untuk membantu anggota keluarga

yang mengalami suatu masalah, yang bersifat sukarela dan sosial (Thompson, 2006).

Dimana family support pada konteks ini difokuskan pada dukungan yang diterima oleh

keluarga dari para anak autistik, yang diperolehnya baik dari eksternal maupun internal

keluarga.

2.2.4 Jenis-jenis F amily Support

Jenis-jenis family support yang akan diukur dalam penelitian ini yaitu berdasarkan pendapat Thompson (2006), yang membagi jenis-jenis family support menjadi empat macam, yaitu:

1. Dukungan Konkret (concrete support)

Bantuan yang terlihat secara real atau nyata yaitu berupa tingkah laku.

Bantuan ini dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja kepada anggota

(7)

materi yaitu uang untuk membantu memenuhi kehidupan anggota keluarga

sehari-hari. Selain itu dukungan konkret yang dapat diberikan berupa

dukungan non-materi yaitu menjaga, merawat ketika sakit, menemai dan

mengantar ketika akan keluar rumah, dan lain-lain. Contohnya yang paling

sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, apabila ibu sedang pergi ke luar,

maka kita sebagai kakak yang berada di rumah yang menggantikan ibu untuk

menjaga adik yang masih kecil (Cochran 1993; Dolan and Holt 2002; Jack

2001, dalam Thompson, 2006).

2. Dukungan Emosional (emotional support)

Dukungan yang berupa emosional untuk anggota keluarga yang

membutuhkannya. Dimana dukungan yang diberikan berupa empati atau

simpati pada anggota keluarga yang membutuhkannya yaitu dengan cara

selalu ada ketika mereka membutuhkannya. Jenis dukungan ini dapat

memberikan ketenangan dan kenyamanan, selain itu dukungan ini paling

mudah digunakan. Menurut Cutrana (1996, dalam Thompson, 2006)

dukungan ini juga merupakan salah satu alternatif yang baik, bermanfaat, dan

mempunyai pengaruh yang kuat.

3. Dukungan Informatif (advice support)

Dukungan ini berupa saran atau nasehat dan biasanya agak lebih rumit untuk

disampaikan kepada anggota keluarga yang membutuhkan. Jenis dukungan

ini dapat membuat seseorang akan merasa lebih nyaman dan merasa tenang

(Cotterell, 1996; dalam Thompson, 2006). Contohnya, jika ada salah satu

anggota keluarga yang terkena penyakit kanker, maka sebagai keluarganya

(8)

untuk tetap bertahan dan terus melakukan usaha yang terbaik. (Aymanns,

Sigrun and Klaur 1995; dalam Thompson, 2006)

4. Dukungan Penghargaan (esteem support)

Dukungan ini berupa pengakuan atas kemampuan atau keahlian yang dimiliki

oleh seseorang. Menurut Burleson (1990, dalam Thompson, 2006), bentuk

dukungan ini merupakan batu fondasi yang kuat dalam sebuah keluarga.

Dimana para anggota keluarga percaya akan kemampuan seseorang tersebut

serta memotivasinya untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan harga diri

dalam menghadapi masalahnya.

2.2.5 Sumber-sumber F amily Support

Radin dan Solovey (dalam Smet, 1994) mengungkapkan bahwa keluarga dan

perkawinan adalah sumber dukungan keluarga yang terpenting. Rook dan Dooly (dalam

Kuntjoro, 2002) berpendapat bahwa ada dua sumber dukungan keluarga, antara lain

sumber natural dan sumber artificial. Sumber dukungan natural diterima seseorang melalui interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang

ada di sekitarnya. Sementara yang dimaksud sumber dukungan a rtificial adalah dukungan yang dirancang dalam kebutuhan primer seseorang. Sumber dukungan yang

(9)

1. Keber adaan sumber dukungan sosial natural bersifat apa adanya tanpa di

buat-buat, sehingga lebih mudah diperoleh dan bersifat spontan.

2. Sumber dukungan sosial yang natural memiliki keseuaian dengan norma

yang berlaku tentang kapan sesuatu harus diberikan.

3. Sumber dukungan yang natural berakar dari dukungan yang berakar sama.

4. Sumber dukungan yang natural memiliki keragaman dalam penyampaian

dukungan keluarga, nilai dari pemberian barang-barang nyata hingga sekedar

menemui seseorang dengan menyampaikan salam.

5. Sumber dukungan keluarga yang natural terbebas dari beban dan label

psikologis.

2.2.6 Manfaat F amily Support

Hubungan interpersonal dengan orang lain tidak hanya memberikan efek positif

bahkan orang lain bisa menjadi sumber konflik, namun sebagai makhluk hidup kita

memerlukan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan seseorang atau

sekelompok orang. Adanya dukungan keluarga akan membantu penerimanya mampu

beradaptasi dan bertahan dalam menghadapi masalah.

Jhonson & Jhonson (1991) mengungkapkan bahwa manfaat dukungan keluarga

akan meningkatkan beberapa hal, antara lain:

1. Produktivitas melalui peningkatan motivasi, kualitas penalaran, kepuasan

(10)

2. Kesejahteraan psikolgi (Psychological Well-Being) dan kemampuan

penyesuaian diri melalui perasaan memiliki, kejelasan identitas diri

peningkatan harga diri; pencegahan neorutisme dan psikopatologi:

pengurangan distress dan penyediaan sumber yang di butuhkan.

3. Kesehatan fisik, individu yang mempunyai hubungan dekat dengan orang lain

jarang terkena penyakit di bandingkan individu yang terisolasi.

4. Managemennya stress yang produktif melalui perhatian, informasi dan umpan

balik yang diperlukan.

2.2.7 Kualitas F amily Support

Menurut Thompson (2006), kualitas dalam family support adalah suatu hubungan yang mempunyai makna penting bagi si penerima melalui dukungan yang ia

terima. Untuk itu Thompson (2006) membagi tiga macam kualitas dalam family support,

yaitu:

1. Kedekatan (closeness), tidak hanya dengan anggota keluarga tetapi juga dengan orang lain. Pada penelitian di Irlandia dan Amerika Serikat (Cutrona

dan Cole 2000; Riordan 2002; dalam Thompson, 2006) menunjukkan

bahwa, seseorang akan lebih responsif kepada seseorang yang ia rasa dekat

dengan dirinya. Hal ini terutama terjadi antara remaja dan orang tua.

2. Reciprocity, hubungan timbal balik antar anggota keluarga dalam membantu satu sama lain, dimana dengan adanya dukungan ini berarti tiap anggota

keluarga bersedia memberikan dukungan atau pertolongan. Adanya

(11)

3. Durability, lebih mengarah pada siapa individu ingin mendapatkan dukungan atau pertolongan dari anggota keluarganya. Biasanya individu

lebih terbuka mengenai masalahnya kepada anggota keluarganya yang sudah

ia kenal cukup lama, sering berkomunikasi satu sama lain, dan anggota

keluarganya tidak pernah mengganggu individu tersebut (Tracy & Biegel,

1994; dalam Thompson, 2006).

2.2.8 Pengukuran F amily Support

Pengukuran family support yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori Thompson (2006) dalam buku Family Support as Reflective Practice. Jenis-jenis family support yang diukur dalam penelitian ada empat jenis yaitu dukungan konkret (concrete support), dukungan emosional (emotional support), dukungan informatif (advice support), dan dukungan penghargaan (esteem support). Indikator-indikator yang digunakan berdasarkan keempat jenis family support ini yaitu:

1. Dukungan konkret (concrete support) mencakup membantu secara finansial, menemani dan membantu dalam melakukan suatu aktivitas.

2. Dukungan emosional (emotional support) mencakup empati, perhatian, dan simpati.

3. Dukungan informatif (advice support) mencakup nasehat, saran, dan kritik.

4. Dukungan penghargaan (esteem support) mencakup memberikan motivasi yang positif dan memberikan kepercayaan untuk menumbuhkan rasa percaya

(12)

Dalam melakukan pengukuran terhadap pelaksanaan Family Support, Cohen dan Syme, 1985 (dalam Sunardi, 2004) menyatakan ada beberapa faktor yang

mempengaruhi efektifitas dukungan keluarga adalah:

1. Pemberian dukungan keluarga; dukungan yang diberikan melalui sumber

yang sama akan lebih memiliki arti daripada yang berasal dari sumber yang

berbeda. Pemberian dukungan ini dipengaruhi oleh adanya norma, tugas, dan

keadilan

2. Kesesuaian situasi; dukungan yang diterima akan memiliki arti/bermanfaat

bila jenis dukungan itu sesuai atau tepat dengan situasi yang ada

3. Penerimaan dukungan; karakteristik atau ciri-ciri penerima dukungan

keluarga akan menemukan keefektifan dukungan. Karakteristik itu meliputi

kepribadian, kebiasaan dan peran sosial

4. Dukungan yang tepat dipengaruhi oleh kesesuaian antar jenis dukungan yang

diberikan dan masalah yang ada. Masalah konflik yang terjadi dalam

pernikahan dan pengangguran akan berbeda dalam hal pemberian dukungan

yang akan di berikan.

5. Dukungan keluarga dapat optimal pada satu situasi tetapi akan menjadi tidak

optimal dalam situasi lain. Misalnya saat seseorang kehilangan pekerjaan,

individu akan tertolong ketika mendapat dukungan sesuai dengan

masalahnya, tetapi bila telah bekerja, maka dukungan yang lainlah yang

(13)

6. Lamanya pemberian dukungan; lama atau singkatnya pemberian dukunngan

tergantung pada kapasitasnya. Kapasitas adalah kemampuan dari pemberian

dukungan untuk memberi dukungan yang di tawarkan selama satu periode.

2.3 Program

2.3.1 Definisi Program

Menurut Charles O. Jones (1996), pengertian program adalah cara yang disahkan

untuk mencapai tujuan, beberapa karakteristik tertentu yang dapat membantu seseorang

untuk mengidentifikasikan suatu aktivitas sebagai program atau tidak yaitu:

1. Program cenderung membutuhkan staff, misalnya untuk melaksanakan atau

sebagai pelaku program.

2. Program biasanya memiliki anggaran tersendiri, program kadang biasanya

juga diidentifikasikan melalui anggaran.

3. Program memiliki identitas sendiri, yang bila berjalan secara efektif dapat

diakui oleh publik.

Program terbaik di dunia adalah program yang didasarkan pada model teoritis

yang jelas, yakni sebelum menentukan masalah sosial yang ingin diatasi dan memulai

untuk melakukan intervensi, maka sebelumnya harus ada pemikiranm yang serius

terhadap bagaimana dan mengapa masalah itu terjadi dan apa yang menjadi solusi

(14)

2.3.2 Program F amily Support

Sadar akan pentingnya family support dalam menumbuhkan optimisme di dalam

diri para orang tua/keluarga yang memiliki anak autistik, Pondok Peduli Autis ‗Kaya Berkah‘ sebagai salah satu lembaga pendidikan berkebutuhan khusus di kota Medan,

memiliki sebuah program khusus yang diperuntukan bagi keluarga (khususnya orang

tua) dari anak-anak autistik yang menjadi siswa/klien dari lembaga ini. Program tersebut

berisi layanan-layanan yang sangat membantu orang tua dalam mendampingi tumbuh

kembang putra/putrinya yang berkebutuhan khusus. Mulai dari layanan edukasi untuk

para orang tua siswa/klien tentang cara melakukan terapi mandiri di rumah, konsultasi,

hingga memberikan subsidi bagi orang tua siswa/klien yang mengalami kendala

ekonomi. Program ini mungkin tidak memiliki nama khusus, namun substansinya adalah

family support, dimana lembaga memastikan setiap keluarga anak-anak autistik disana memiliki akses yang luas dalam memperoleh dukungan yang keluarga butuhkan.

Program family support ini juga berfungsi sebagai wadah informasi dan sosialisasi bagi sesama orang tua atau keluarga yang memiliki siswa/klien di PPA ‗Kaya Berkah‘ Medan.

Program ini biasanya diadakan sekurang-kurangnya satu kali dalam kurun waktu

beberapa bulan (2-3 bulan sekali), serta difasilitasi oleh pihak lembaga atau

dilaksanakan secara mandiri oleh para orang tua/keluarga siswa. Disadari atau tidak,

keberadaan program family support ini tentunya membawa pengaruh terhadap keluarga yang menjadi peserta dari program tersebut. Terlebih khusus, juga dapat mempengaruhi

persepsi orang tua dalam menyikapi keberadaan anak autistik di tengah-tengah keluarga

(15)

2.4 Resiliensi

2.4.1 Definisi Resiliensi

Istilah resiliensi atau ketahanan (Van Holk, 2008) digunakan untuk

menggambarkan suatu proses dimana orang tidak hanya mengelola upaya-upaya untuk

mengatasi kesulitan hidup, tapi juga untuk menciptakan dan memelihara kehidupan yang

bermakna dan dapat ikut menyumbang pada orang-orang disekitarnya. Ungkapan

―keberhasilan menghadapi rintangan‖ merupakan inti dari ketahanan. Ketahanan berarti

keberhasilan dalam kehidupan meskipun berada dalam kedaan yang mengalami resiko

tinggi. Ketahanan juga berarti kemampuan pulih kembali secara sukses dari trauma

(Fraser, 2004; Grene, 2002).

Pengertian ketahanan dari sudut perilaku adalah pola-pola perilaku positif dan

kemampuan berfungsi perorangan dan keluarga yang ditunjukkan dalam keadaan

menghadapi tekanan dan kesulitan (McCubbin, 1998). Sejalan dengan pengertian

tersebut ahli lainnya menyatakan, ketahanan sosial adalah suatu proses dinamis yang

mencakup sekelompok gejala yang menuntut penyesuaian diri yang berhasil terhadap

sejumlah ancaman yang signifikan dalam perkembangan kehidupan dan hasil-hasil

lainnya yang dicapai dalam perjalanan kehidupan (Fraser, Richmon, & Galinsky, 2004).

Ketahanan, dimulai dari ketiadaan patologi (penyakit) sampai ke kemampuan

mengatasi, menemukan makna dan berlanjut terus walaupun menghadapi kesulitan

(Green & Conrad, 2002). Ketahanan seringkali disamakan dengan kemampuan untuk

―meloncat kembali‖ atau ―keluar dari kemelut kehidupan‖. Schoon (2006) mengutip

definisi beberapa ahli dan menyimpulkan bahwa resiliensi merupakan proses dinamis

(16)

berperan penting bagi dirinya. Bernard (dalam Wijayani, 2009) mendefinisikan resiliensi

sebagai kemampuan untuk bangkit dengan sukses walaupun mengalami situasi penuh

resiko yang tergolong parah.

Selain itu, Joseph (dalam Isaacson, 2002) menjelaskan resiliensi sebagai

kemampuan individu untuk menyelesaikan diri dan beradaptasi terhadap perubahan,

tuntutan dan kekecewaan yang ada pada kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, Werner dan

Smith (dalam Isaacson, 2002) mendefinisikan resiliensi sebagai suatu kapasitas untuk

mengatasi stress internal yang berupa keterbatasan mereka dan juga stress eksternal

(seperti penyakit, kehilangan dan juga keretakan keluarga) dengan efektif. Rutter (dalam

Issacson, 2002) memandang resiliensi sebagai individu yang mampu mengatasi

kesulitan, bertahan dalam stress dan tetap dapat berkembang diatas suatu keterbatasan.

Ditambahkan oleh Gallagher dan Ramsey (dalam Isaacson, 2002) yang juga

berpendapat bahwa resiliensi adalah kapasitas untuk pulih secara spontan dari masalah

dan/atau mengkompensasi keterbatasan personal yang ada. Definisi ini kemudian

diperkuat oleh Zimmerman dan Arunkumar (dalam Isaacson, 2002) yang

mendeskripsikan resiliensi sebagai keterampilan untuk pulih dari masalah atau

faktor-faktor dan proses pada seseorang yang mempunyai kemungkinan untuk gagal tetapi

kemudian berakhir dengan hasil yang adaptif meskipun di tengah-tengah tantangan dan

keadaan yang tidak menguntungkan.

Dengan demikian, resiliensi merupakan suatu kapasitas maupun kemampuan

yang sangat dibutuhkan seseorang untuk merespon dengan tepat agar dapat mengatasi

(17)

tuntutan-tuntutan serta tetap dapat berkembang diatas keterbatasan yang terjadi dalam hidupnya.

Salah satunya dengan cara menyesuaikan dirinya terhadap masalah tersebut dan selalu

dapat bangkit kembali sehingga akhirnya mampu melampaui kemungkinan kegagalan

dan dapat membangun kehidupan masa kini dan masa depan dengan baik.

2.4.2 Resiliensi Keluarga

Konsep resiliensi tidak hanya mencakup kemampuan untuk bertahan tetapi juga

bangkit kembali dari krisis. Secara umum penelitian resiliensi berfokus kepada resiliensi

individu, dengan perhatian khusus kepada anak-anak yang berada dalam bahaya hingga

mengalami kemalangan (Apostelina, 2012).

Walgnild dan Young (1993) mengatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan

untuk mengatasi perubahan atau kemalangan. Berakar dari ulasan mengenai resiliensi

terhadap individu, muncullah istilah resiliensi keluarga (family resicilence) yang

menyatakan kemampuan keluarga untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan

atau tekanan yang berat.

Walsh (2003) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa beberapa

keluarga menjadi hancur oleh krisis, sementara keluarga lainnya menjadi kuat dan lebih

cerdas setelah krisis. Keluarga-keluarga tersebut dapat mencapai hasil yang positif dan

yang tidak diperkirakan sebelumnya ketika menghadapi kesulitan kehidupan. Hasil

penelitian lainnya yang dilakukan oleh Patterson (1983), menunjukkan bahwa

(18)

sangat mengganggu hubungan-hubungan sosial dan proses-proses sosial dalam keluarga

(Walsh, 1998).

Ketahanan keluarga mengacu pada proses-proses pemecahan masalah dan

penyesuaian diri keluarga sebagai satu satuan fungsional (Walsh, 1998). Pendapat ahli

lainnya menyatakan bahwa resiliensi keluarga (ketahanan sosial keluarga) mencakup

―kemampuan memperbaiki diri sendiri‖ dan ―memberikan tanggapan dengan menggunakan akal daya dan keuletan ketika menghadapi tantangan yang ekstrim‖.

Lebih lanjut, agar menjadi berketahanan, keluarga wajib bersedia menghadapi resiko

dan kemudian berhasil menanggapinya (Fraser, M, & Galinsky, 2004).

2.4.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Resiliensi Keluarga

Warner dan Smith (dalam Riana, 2008) menyatakan bahwa perkembangan

resiliensi pada manusia merupakan suatu proses perkembangan manusia yang sehat – suatu proses dinamis dimana terdapat pengaruh dari interaksi antara kepribadian seorang

individu dengan lingkungannya dalam hubungan timbal balik. Hasilnya ditentukan

berdasarkan keseimbangan antara faktor resiko, kejadian dalam hidup yang menekan,

dan faktor protektif. Selanjutnya, keseimbangan ini tidak hanya ditentukan oleh jumlah

faktor resiko dan faktor protektif yang hadir dalam kehidupan seseorang individu tetapi

juga dari frekuensi, durasi dan derajat keburukannya, sejalan dengan kemunculannya.

1. Faktor Resiko

Grothberg (1999) menyatakan bahwa faktor resiko dalam kehidupan dapat

(19)

dalam diri sendiri. Sementara menurut Schoon (2006) ada beberapa faktor

resiko yang dialami individu sehingga mereka diharapkan mampu bangkit

dari berbagai resiko tersebut dan memiliki resiliensi.

Christle (dalam Rahmawati, 2009) menyatakan bahwa faktor resiko dapat

berasal dari kondisi budaya, ekonomi atau medis yang menempatkan

individu dalam resiko kegagalan dan memulihkan diri dalam menghadapi

situasi sulit. Smokowski (dalam Rahmawati, 2009) juga menjelaskan bahwa

faktor resiko menggambarkan beberapa pengaruh yang dapat meningkatkan

kemungkinan munculnya suatu penyimpangan hingga keadaan yang lebih

serius lagi atau pemeliharaan dari suatu kondisi masalah. Berbagai faktor

yang dapat disandangkan pada individu antara lain sebagai berikut (Schoon,

2006):

a) Anggota dari kelompok beresiko tinggi, misalnya anak-anak dari

keluarga yang serba kekurangan dalam kebutuhan materialnya serta

hidup dalam kemelaratan.

b) Tumbuh di lingkungan yang penuh kekerasan.

c) Terlahir memiliki cacat fisik, mengalami trauma fisik atau penyakit.

d) Mengalami kondisi penuh tekanan dalam jangka waktu yang lama,

misalnya mengalami disfungsi dalam keluarga atau anak-anak dari

orang tua yang memiliki gangguan mental.

e) Menderita trauma, misalnya kekerasan fisik atau seksual, atau berada

(20)

Faktor resiko merupakan faktor atau beberapa pengaruh yang dapat

meningkatkan kemungkinan munculnya suatu penyimpangan hingga

keadaan yang lebih serius lagi atau pemeliharaan dari suatu kondisi masalah

sehingga diharapkan individu mampu bangkit dari berbagai resiko tersebut

dan memiliki resiliensi. Faktor resiko berasal dari berbagai sumber, yaitu

sumber eksternal, dalam keluarga dan dari dalam diri sendiri.

2. Faktor Protektif

Rutter (dalam Wijayani, 2009) menyatakan interaksi antara proses sosial dan

intrapsikis dapat memungkinkan seseorang untuk dapat menghadapi

kesulitan dan segala kumpulan tantangan kehidupan secara positif. Dyer dan

McGuinness (dalam Wijayani, 2009) menjelaskan resiliensi sebagai proses

dinamik yang sangat dipengaruhi oleh faktor protektif, dimana seseorang

dapat bangkit kembali dari kesulitan dan menjalani kehidupannya.

Rutter (dalam Wijayani, 2009) juga menyatakan faktor protektif merupakan

prediktor terkuat dalam mencapai resiliensi dan hal yang memainkan peran

kunci dalam proses yang melibatkan seseorang untuk berespon dalam situasi

sulit.

Faktor protektif adalah karakteristik pada individu atau kondisi dari

keluarga, sekolah, atau komunitas yang meningkatkan kemampuan individu

dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan dengan baik. Faktor protektif

ini merupakan instrumen dalam perkembangan yang sehat dimana faktor

inilah yang membentuk resiliensi dan kemampuan resiliensi (dalam Riana,

(21)

(1) caring relationship, high expectation – ekspektasi yang jelas, positif, serta (2) terfokus pada remaja itu sendiri, dan juga (3) kesempatan untuk

berpartisipasi dan berkontribusi.

Rutter (dalam Wijayani, 2009) menyebutkan bahwa faktor-faktor protektif

ini dapat mengubah, mengurangi, atau meningkatkan respon individu

terhadap pengaruh lingkungan yang memberi kecenderungan untuk

mengalami perkembangan maladaptif. Adapun faktor-faktor protektif dan

mekanisme dapat dibagi dalam beberapa kategori: (1) Sumber daya dan

karakteristik yang positif dari individu; (2) Keluarga yang stabil dan

memberikan dukungan yang ditandai dengan adanya pertalian diantara

anggota keluarga; (3) Jaringan sosial eksternal atau komunitas yang

mendukung dan memperkuat cara coping yang adaptif (Garmezy, 1993;

Werner, 1993; dalam Wijayani, 2008).

Bernard (dalam Wijayani, 2009) mengatakan bahwa kepribadian dan

karakteristik positif dari seseorang individu merupakan sebuah proses

transaksional antara seseorang dengan lingkungannya. Manurut Siebert

(dalam Wijayani, 2008) individu yang resilien adalah individu yang

fleksibel, mampu beradaptasi secara cepat dengan lingkungannya dan terus

bergerak maju dalam berbagai perubahan dan permasalahan hidup yang

terjadi. Mereka mampu melihat kesempatan yang baik dan mengambil nilai

positif dalam situasi yang dipandang negatif oleh orang lain. Mereka

memiliki harapan untuk bangkit dan mereka meyakini dengan teguh harapan

(22)

Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor

protektif memainkan peran penting dalam memodifikasi efek negatif

lingkungan yang merugikan hidup dan membantu menguatkan resiliensi.

Faktor protektif meliputi antara lain (1) karakteristik individu, (2)

lingkungan keluarga, dan (3) konteks yang lebih luas.

Dalam penelitian ini, objek yang akan diteliti hanyalah keluarga yang

teridentifikasi sebagai keluarga yang memiliki anak autistik. Dengan kata lain, memiliki

anak autistik dapat dimaksud sebagai faktor resiko yang dimiliki keluarga tersebut.

Sedangkan faktor protektif –yang mungkin—dimiliki oleh keluarga tersebut adalah adanya keterlibatan mereka dalam program Family Support yang di adakan oleh Pondok

Peduli Autis ‗Kaya Berkah‘ Medan.

2.4.4 Komponen Pelindung Resiliensi Keluarga

Resiliensi keluarga tidak bisa dilepaskan dari faktor resiko dan faktor pelindung

(Walsh, 1998). Faktor resiko adalah faktor yang mendorong munculnya hasil yang

negatif pada keluarga. Sedangkan faktor protektif/pelindung adalah faktor yang

mengurangi kemungkinan munculnya hasil negatif tersebut (Mackay, 2003). Untuk

mengurangi hasil negatif ini, maka Walsh (2006) mengemukakan tiga proses kunci dari

resiliensi keluarga yang berperan sebagai faktor pelindung. Ketiga proses kunci tersebut

adalah sistem keyakinan, pola organisasi, dan proses komunikasi.

(23)

Walsh (2006) menjelaskan bahwa sistem keyakinan keluarga merupakan inti

dari semua keberfungsian keluarga dan merupakan dorongan yang kuat bagi

terbentuknya resiliensi. Keluarga menghadapi krisis dan kesulitan dengan

memberi makna pada kesulitan tersebut dengan cara mengaitkan dengan

lingkungan sosial, nilai-nilai budaya dan spiritual, generasi yang sebelumnya,

dan dengan harapan serta keinginan di masa yang akan datang. Bagaimana

keluarga memandang masalah dan pilihan penyelesaiannya dapat membuat

keluarga mampu mengatasi masalah tersebut atau malah menjadi putus asa

dan tidak berfungsi dengan baik.

Belief atau keyakinan merupakan kacamata bagi seseorang dalam memandang dunianya yang memengaruhi apa yang dilihat atau diabaikan

serta apa yang dipersepsikan (Wright, Watson, dan Bell dalam Walsh, 2006).

Sistem keyakinan keluarga meliputi nilai, pendirian, sikap, bias, dan asumsi

yang bergabung dan membentuk dasar pemikiran yang memicu respon

emosional, mengarahkan keputusan, dan mengatur tingkah laku (Wright,

dkk. dalam Walsh, 2006). Keyakinan dibangun secara sosial, tersusun dalam

proses yang berkelanjutan melalui interaksi dengan orang-orang terdekat dan

dunia yang lebih luas (Gergen dan Hoffman dalam Walsh, 2006). Walsh

mengemukakan tiga area kunci dalam sistem keyakinan keluarga yaitu:

memberi makna pada kesulitan, pandangan yang positif, serta transenden dan

spiritualitas dengan penjelasan sebagai berikut.

a) Memberi makna pada kesulitan

Pandangan keluarga bahwa kesulitan yang sedang dialami adalah hal

(24)

hal yang sangat penting bagi resiliensi (Antonovsky dalam Walsh, 2006).

Keluarga yang melihat kesulitan sebagai tantangan bersama dan hal yang

wajar terjadi dalam kehidupan keluarga mampu mendorong keluarga

untuk bertahan dan bangkit dari kesulitan tersebut (Walsh, 2006). Selain

itu, Walsh juga menjelaskan resiliensi didorong dengan adanya sense of coherence yaitu pandangan bahwa kesulitan yang dialami dapat dijelaskan dan diprediksi, tersedianya sumber yang dibutuhkan untuk

mengatasi kesulitan, serta kesulitan yang dialami merupakan sesuatu yang

berharga.

b) Pandangan positif

Pandangan positif merupakan hal yang penting bagi resiliensi (Walsh,

2006). Keluarga yang berpandangan positif memiliki harapan akan masa

depan yang lebih baik, memandang sesuatu secara optimis, percaya diri

dalam menghadapi masalah, serta memaksimalkan kekuatan dan

potensi yang dimiliki. Selain itu, pandangan positif juga terlihat pada

inisiatif dan usaha yang gigih anggota keluarga dalam menghadapi

kesulitan, serta menguasai situasi yang dapat dikendalikan dan menerima

situasi yang tidak dapat dikendalikan.

c) Transenden dan spiritualitas

Transenden memberikan makna, tujuan, dan hubungan di luar diri

seseorang, keluarganya, dan masalah yang dihadapi (Walsh, 2006).

Transenden memberikan kejelasan mengenai kehidupan seseorang dan

memberi dukungan ketika mengalami stres. Nilai-nilai transenden dapat

(25)

lain sebagai sesuatu yang berharga dan penting. Di dalam keluarga,

nilai-nilai transenden dapat membuat mereka melihat kenyataan dari sudut

pandang yang lebih luas, dan selalu memunculkan harapan. Spiritualitas

merupakan penghayatan terhadap nilai-nilai yang tertanam yang membuat

seseorang dapat memaknai, merasakan kesatuan, dan keterhubungan

dengan orang lain. Spiritualitas dapat dialami seseorang baik di

lingkungan agama maupun di luar itu. Agama dan spiritualitas

menawarkan rasa nyaman dan hikmah dibalik kesulitan. Keyakinan

pribadi membuat seseorang tangguh dalam mengahadapi kesusahan

dan mampu mengatasi tantangan (Werner and Smith dalam Walsh,

2006).

2. Pola Organisasi

Untuk menghadapi krisis dan kesulitan secara efektif, keluarga harus

menggerakkan dan mengatur sumber daya mereka, menahan tekanan, dan

mengatur kembali sumber daya tersebut sesuai dengan kondisi yang berubah

(Walsh, 1998). Pola organisasi keluarga dipertahankan oleh norma-norma

eksternal dan internal dan dipengaruhi oleh budaya dan sistem keyakinan

keluarga. Terdapat tiga elemen dari pola organisasi yaitu fleksibilitas,

keterhubungan, dan sumber daya sosial dan ekonomi dengan penjelasan

sebagai berikut.

a) Fleksibilitas

Fleksibilitas mencakup kemampuan untuk beradaptasi terhadap

perubahan dengan bangkit kembali, mengatur ulang dan beradaptasi

(26)

tetap dilaksanakannya kegiatan dan kebiasaan yang rutin dilakukan

keluarga sehingga dapat menjaga kontinuitas dan mengembalikan

stabilitas keluarga yang dapat mendorong resiliensi. Pola kepemimpinan

yang otoritatif, kerja sama dalam pengasuhan serta adanya kesetaraan dan

saling menghargai juga merupakan salah satu bentuk fleksibilitas yang

dapat mendorong terbentuknya resiliensi.

b) Keterhubungan

Keterhubungan atau kohesi merupakan ikatan struktural dan emosional

pada anggota keluarga. Keluarga dengan ikatan yang kuat cenderung

merasa puas dan terhubung dengan apa yang ada didalam keluarga

tersebut (Olson dan Gorel dalam Walsh, 2006). Bentuk keterhubungan

dalam keluarga adalah saling mendukung, bekerja sama, komitmen, serta

tetap menghormati perbedaan, keinginan, dan batasan individu.

c) Sumber daya sosial dan ekonomi

Dalam mengahadapi situasi krisis, keluarga besar dan jaringan sosial

dapat menyediakan bantuan, dukungan emosional dan adanya rasa

keterikatan terhadap sebuah kelompok. Ketika keluarga mengalami

kesulitan dalam menghadapi masalah di dalam keluarga, maka

mereka cenderung akan meminta bantuan di luar seperti keluarga besar,

teman, tetangga dan komunitas mereka. Selain itu, untuk dapat

memperkuat keberfungsiannya, keluarga juga harus memperoleh

kestabilan ekonomi dengan tetap menjaga keseimbangan antara pekerjaan

dan kehidupan keluarga.

(27)

Komunikasi dapat memfasilitasi seluruh fungsi keluarga dan merupakan hal

yang penting bagi resiliensi (Walsh, 2006). Pada situasi krisis, komunikasi

merupakan hal yang esensial dalam membantu proses pemecahan masalah.

Komunikasi meliputi transmisi keyakinan, pertukaran informasi, ekspresi

emosi dan proses pemecahan masalah (Epstein, dkk. dalam Walsh, 2003).

Ada tiga aspek komunikasi yang baik yaitu kejelasan, ungkapan emosi, dan

penyelesaian masalah yang kolaboratif, seperti yang dijelaskan sebagai

berikut:

a) Kejelasan

Kejelasan dalam berkomunikasi mencakup informasi yang disampaikan

secara langsung, tepat, spesifik dan jujur, masing-masing anggota

memiliki informasi dan pemahaman yang sama mengenai situasi krisis

yang dihadapi, serta adanya keterbukaan komunikasi di dalam keluarga.

b) Ungkapan emosi

Keluarga yang berfungsi dengan baik dapat mengungkapkan emosi yang

dirasakannya dengan nyaman baik emosi positif seperti bahagia,

berterima kasih, cinta, dan harapan maupun emosi negatif seperti sedih,

takut, marah dan kecewa. Selain itu, anggota keluarga juga saling

memahami apa yang dirasakan oleh anggota keluarga lainnya. Anggota

keluarga juga bertanggung jawab terhadap apa yang ia rasakan dengan

tidak menyalahkan orang lain atas hal itu, serta interaksi yang diwarnai

dengan hal-hal yang menyenangkan seperti humor.

(28)

Pemecahan masalah secara efektif merupakan hal yang esensial bagi

keluarga untuk menghadapi situasi krisis dan kesulitan. Proses

pemecahan masalah yang efektif ini meliputi identifikasi masalah dan

penyebab terkait, brainstorming mengenai kemungkinan pemecahan masalah, saling berbagi dalam mengambil keputusan, berfokus pada

tujuan mencoba mengambil langkah-langkah konkret dan belajar dari

kesalahan.

2.4.5 Alat Ukur Resiliensi Keluarga

Konsep resiliensi keluarga yang dikemukakan oleh Walsh didasarkan pada

studi-studi kualitatif yang ia lakukan. Pada tahun 2002, ia mengembangkan instrumen

kuantitatif untuk mengukur resiliensi keluarga berdasarkan tiga proses kunci resiliensi

keluarga yang ia kemukakan. Tiga proses kunci tersebut masing-masing memiliki tiga

subkomponen yaitu: keyakinan keluarga (terdiri dari memberi makna pada situasi krisis,

pandangan positif, transenden dan spiritualitas), pola organisasi (terdiri dari fleksibilitas,

keterhubungan, sumber daya sosial ekonomi), dan proses komunikasi (terdiri dari

kejelasan, ungkapan emosi, penyelesaian masalah yang kolaboratif). Walsh menyusun

indikator dari masing-masing subkomponen tersebut dan merumuskannya dalam 32

item.

2.5 Autisme

2.5.1 Pengertian Autisme

(29)

bermain imajinatif, yang mulai muncul sejak anak berusia di bawah 3 tahun. Mereka

mempunyai keterbatasan pada level aktivitas dan interest. Hampir 75% dari anak autis

mengalami beberapa derajat Retardasi Mental. Autisme biasanya muncul sejak tiga

tahun pertama kehidupan seorang anak (Priyatna, 2010).

Autis merupakan salah satu kelompok dari gangguan pada anak yang ditandai

dengan munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi,

ketertarikan pada interaksi sosial, dan perilakunya. Autisme merupakan kelainan

perilaku yang penderitanya hanya tertarik pada aktivitas mentalnya sendiri. Autis dapat

terjadi di semua kalangan masyarakat (Veskarisyanti, 2008).

Dalam literature lain, disebutkan bahwa autis merupakan suatu keadaan dimana

seorang anak berbuat semaunya sendiri baik cara berpikir maupun berperilaku. Keadaan

ini mulai terjadi sejak usia masih muda, biasanya sekitar usia 2-3 tahun. Autisme bisa

mengenai siapa saja, baik yang sosio-ekonomi mapan maupun kurang, anak atau dewasa

dan semua etnis (Yatim, 2007).

2.5.2 Klasifikasi Autisme

Menurut Veskarisyanti (2008), ada beberapa klasifikasi autisme, diantaranya:

1. Aloof

Anak dengan autisme dari tipe ini senantiasa berusaha menarik diri dari

kontak sosial, dan cenderung untuk menyendiri di pojok.

2. Passive

Anak dengan autisme tipe ini tidak berusaha mengadakan kontak sosial

(30)

3. Active but odd

Sedangkan pada tipe ini, anak melakukan pendekatan namun hanya bersifat

repetitif dan aneh.

Sedangkan menurut Safaria (2005), menyebutkan 2 jenis perilaku autisme, yaitu:

1. Perilaku berlebihan (excessive):

a) Perilaku melukai diri sendiri (self-abuse), seperti memukul, menggigit,

dan mencakar diri sendiri.

b) Agresif, seperti perilaku menendang, memukul, menggigit, dan mencubit. c) Tantrum, seperti perilaku menjerit, menangis, dan melompat-lompat. 2. Perilaku berkekurangan (deficit), perilaku ini ditandai dengan gangguan

bicara, perilaku sosial kurang sesuai, deficit sencoris sehingga terkadang anak dianggap tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat misalnya

tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pribadi autistik memiliki

perilaku yang berlebihan (excessive) atau perilaku yang berkekurangan (deficit)

yang memungkinkan perilaku yang ditunjukkan tersebut dapat menggangu

orang-orang yang disekitarnya.

2.5.3 Penyebab Autisme

Menurut Huzaemah (2010), autis disebabkan multifactor, yaitu:

1. Kerusakan jaringan otak

(31)

autis dan cacat lahir yang disebabkan oleh Thalidomide menyimpulkan

bahwa kerusakan jaringan otak dapat terjadi paling awal 20 hari pada saat

pembentukan janin. Peneliti lainnya, Minshe, menemukan bahwa pada anak

yang terkena autis, bagian otak yang mengendalikan pusat memori dan

emosi menjadi lebih kecil daripada anak normal.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa gangguan perkembangan otak telah

terjadi pada semester ketiga saat kehamilan, atau pada saat kelahiran bayi.

Karin Nelson, ahli neorology Amerika mengadakan penyelidikan terhadap

protein otak dari contoh darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein

dari bayi yang normal mempunyai kadar protein tinggi, yang kemudian

ditemukan bahwa bayi dengan kadar protein tinggi ini berkembang menjadi

autis dan keterbelakangan mental (Huzaemah, 2010).

2. Terlalu banyak vaksin Hepatitis B

Ada pendapat yang mengatakan bahwa terlalu banyak vaksin Hepatitis B

bisa mengakibatkan anak mengidap autisme. Hal ini dikarenakan vaksin ini

mengandung zat pengawet Thimerosal.

3. Kombinasi makanan atau lingkungan yang salah

Autis disebabkan kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang

terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus

besar, yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk

autis. Beberapa teori yang didasarkan oleh beberapa penelitian ilmiah telah

dikemukakan untuk mencari penyebab dan proses terjadinya autis.

4. Perilaku autistik

(32)

ciri-ciri kurangnya kemampuan interaksi sosial dan emosional, sulit dalam

komunikasi timbal balik, minat terbatas, dan perilaku yang disertai gerakan

berulang tanpa tujuan (stereo-tipic).

2.5.4 Gangguan Anak Autistik

Menurut Yatim (2007), gangguan yang dialami anak autistik adalah :

1. Gangguan dalam berkomunikasi verbal maupun non verbal Gangguan dalam

berkomunikasi verbal maupun non verbal meliputi kemampuan berbahasa

dan keterlambatan, atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan

kata-kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan.

Berkomunikasi dengan bahasa tubuh, dan hanya dapat berkomunikasi dalam

waktu singkat. Kata-katanya tidak dapat dimengerti orang lain (bahasa

planet). Tidak mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. Meniru atau membeo (Ekolalia), menirukan kata, kalimat atau

lagu tanpa tahu artinya (Yatim, 2007).

2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial

Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau

menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga

sering diduga tuli. Merasa tidak senang atau menolak bila dipeluk. Bila

menginginkan sesuatu ia akan menarik tangan orang yang terdekat dan

berharap orang tersebut melakukan sesuatu untuknya. Ketika bermain, ia

selalu menjauh bila didekati.

(33)

Gangguan dalam bermain di antaranya ialah bermain sangat monoton dan

aneh, misalnya mengamati terus menerus dalam jangka waktu yang lama

sebuah botol minyak. Ada kelekatan dengan benda tertentu, seperti kertas,

gambar, kartu, atau guling, terus dipegang kemana saja ia pergi. Bila senang

satu mainan tidak mau mainan lainnya. Lebih menyukai benda-benda seperti

botol, gelang karet, baterai, atau benda lainnya. Tidak spontan, reflex, dan

tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan

temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura-pura.

Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar, atau

angin yang bergerak (Yatim, 2007).

4. Perilaku yang ritualistic

Perilaku yang ritualistic sering terjadi sulit mengubah rutinitas sehari-hari, misalnya bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila berpergian

harus melalui rute yang sama. Gangguan perilaku dapat dilihat dari gejala

sering dianggap sebagai anak yang senang kerapian, harus menempatkan

barang tertentu pada tempatnya (Yatim, 2007).

5. Hiperaktif

Anak dapat terlihat hiperaktif, misalnya mengulang suatu gerakan tertentu

(menggerakkan tangannya seperti burung terbang). Ia juga sering menyakiti

diri sendiri, seperti memukul kepala atau membenturkan kepala di dinding

(walaupun tidak semua anak autis seperti itu). Namun terkadang menjadi

pasif (pendiam), duduk diam, bengong dengan tatapan mata kosong. Marah

tanpa alasan yang masuk akal. Sangat menaruh perhatian pada suatu benda,

(34)

6. Gangguan perasaan dan emosi

Gangguan perasaan dan emosi dapat dilihat ketika ia tertawa-tawa sendiri,

menangis, atau marah tanpa sebab yang nyata. Sering mengamuk tak

terkendali, terutama bila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan.

7. Gangguan dalam persepsi sensoris

Gangguan dalam persepsi sensoris meliputi perasaan sensitive terhadap

cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah), dari mulai

ringan sampai berat, menggigit, menjilat atau mencium mainan atau benda

apa saja. Bila mendengar suara keras, ia akan menutup telinga. Menangis

setiap kali dicuci rambutnya. Merasa tidak nyaman bila diberi pakaian

tertentu. Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan

(Yatim, 2007).

2.5.5 Dampak Kehadiran Anak Autistik dalam Keluarga

Kehadiran anak autistik di tengah-tengah keluarga tentu bukanlah suatu perkara

yang mudah. Setiap anggota keluarga harus beradaptasi dengan banyak hal yang

mungkin tidak dialami oleh keluarga lainnya, terkhusus dalam pola interaksi sosial di

dalam keluarga. Selain itu, kehadiran anak autistik juga menuntut curahan daya dan

pemikiran yang banyak agar keluarga mampu berfungsi dengan sebaik-baiknya meski

memiliki anak pengidap autisme.

Dalam bukunya yang berjudul Autism with Severe Learning Difficulties, Jordan (2001) menyebutkan bahwa kehadiran anak autistik akan menimbulkan beberapa

(35)

1. Ketidak-ahlian orang tua (parents’ lack of experts); orangtua (khususnya

ibu) sulit memahami anak autistik dan tidak memahami apa yang seharusnya

mereka lakukan kepada anaknya. Sering kali mereka mencoba unutk

membantu anaknya tetapi cenderung selalu menemui kesulitan. Ini

menunjukkan bahwa orang tua sebenarnya membutuhkan dukungan dan

bimbingan dari ahli.

2. Harga diri orang tua (parents’ self esteem); rasa bersalah dan keputusasaan

yang dialami oleh orang tua karena ketidakmampuan mereka dalam

membuat kontak dengan anaknya yang mengidap autistik, akan menjadi

pembenaran atas rasa bersalah dan ketakutan mereka.

3. Kondisi kehidupan yang panjang (life-long condition); terhambatnya proses

perkembangan anak autistik mempengaruhi keyakinan orang tua terhadap

masa depan anaknya, secara timbal balik.

4. Akibat yang lebih komplek (multiple effects); gangguan perkembangan

komplek yang dimiliki oleh anak autistik tidak hanya mempengaruhi orang

tua, tetapi juga mempengaruhi bagaimana ibu harus berinteraksi dengan

anak autistik. Oleh karena itu, orang tua sudah selayaknya memperoleh

bimbingan dan bantuan bagaimana mereka seharusnya berinteraksi dan

berkomunikasi secara tepat dengan anak autistik.

5. Akibat emosi sosial (social emotional effects); kesulitan berinteraksi dengan

orang lain merupakan inti dari kondisi dan kegagalan anak-anak autistik

pada umumnya. Kegagalan yang dialami orang tua menegakkan

hubungan/rasa dalam berinteraksi dengan anak, akan membuat orang tua

(36)

6. Dukungan informasi dan sosial (explanation and social support); kesulitan

yang dialami orang tua dalam menangani anak autistik, menegaskan bahwa

mereka sangat membutuhkan dukungan informasi terkait diagnosis anaknya.

Dengan adanya informasi tersebut, orang tua berharap dapat mengambil

tindakan yang tepat dalam mendukung perkembangan anaknya.

2.5.6 Penanganan Autisme

Menurut Danuatmaja (2003), gangguan otak pada anak autistik umumnya tidak

dapat disembuhkan (not curable), tetapi dapat ditanggulangi (treatable) melalui terapi

dini yang terpadu dan intensif. Dengan begitu, gejala autisme dapat dikurangi bahkan

dihilangkan, sehingga anak mampu bergaul secara normal. Jika anak autis terlambat atau

bahkan tidak dilakukan intervensi dengan segera, maka gejala autis bisa menjadi

semakin parah, bahkan tidak tertanggulangi. Keberhasilan terapi tergantung beberapa

faktor berikut ini:

1. Makin muda umur anak pada saat terapi dimulai, tingkat keberhasilannya

akan semakin besar. Umur ideal untuk dilakukan terapi atau intervensi

adalah 2-5 tahun, pada saat sel otak mampu dirangsang untuk membentuk

cabang-cabang neuron baru.

2. Kemampuan bicara dan berbahasa: 20% penyandang autistik tidak mampu

bicara seumur hidup, sedangkan sisanya ada yang mampu bicara tetapi sulit

dan kaku. Namun, ada pula yang mampu bicara dengan lancar. Anak autistik

yang tidak mampu bicara (non verbal) bisa diajarkan keterampilan

(37)

gambar-gambar.

3. Terapi harus dilakukan dengan sangat intensif, yaitu antara 4-8 jam sehari.

Di samping itu, seluruh keluarga harus ikut terlibat dalam melakukan

komunikasi dengan anak.

2.6 Kerangka Pemikiran

Keberadaaan keluarga memiliki fungsi sebagai pemasok kebutuhan akan

afeksi/kasih sayang serta dukungan, baik materil maupun non-materil, bagi para

anggotanya. Menurut Tamher (2009; dalam Furiyah, 2010) dukungan keluarga (family

support) merupakan unsur terpenting dalam membantu individu menyelesaikan masalah. Apabila ada dukungan, rasa percaya diri akan bertambah dan motivasi untuk

menghadapi masalah yang terjadi akan meningkat.

Untuk itu, kehadiran program family support diharapkan mampu memaksimalkan keterlibatan keluarga dalam memenuhi kebutuhan individu akan afeksi

dan dukungan, sehingga dapat mengoptimalkan perkembangan individu selaku anggota

keluarga. Dalam penelitian ini, keberadaan program family support juga sekaligus menjadi wadah bersosialisasi dan penguatan antar sesama keluarga yang memiliki anak

autistik, agar para keluarga ini mampu menyongsong masa depan dengan lebih tegar dan

(38)

yaitu dukungan konkret (concrete support), dukungan emosional (emotional support), dukungan informatif (advice support), dan dukungan penghargaan (esteem support).

Pada implementasinya, bentuk dukungan konkret dalam program family support

ini yaitu berupa pemberian materi/alat bantu, subsidi biaya terapi, dll. Sedangkan

dukungan emosional yang diterima adalah berupa pemberian motivasi, pengadaaan

agenda rekreasi bersama, dll. Bentuk dukungan informatif yang diberikan yaitu berupa

bimbingan tentang teknis terapi mandiri dan info seminar/forum diskusi seputar autism.

Dan terakhir, dukungan penghargaan dalam program ini diwujudkan dalam peringatan

hari-hari penting yang dirayakan bersama-sama dengan keluarga penerima manfaat

program ini.

Resiliensi keluarga adalah kemampuan keluarga untuk melanjutkan hidup setelah

ditimpa kemalangan atau tekanan yang berat. Menurut Walsh (1998), hal ini mengacu

pada proses-proses pemecahan masalah dan penyesuaian diri keluarga sebagai satu

satuan fungsional. Melalui perspektif resiliensi, keluarga yang memiliki anak autistik

merupakan keluarga yang hidup dalam kondisi ―kemalangan‖ yang sangat panjang. Hal ini dikarenakan autisme merupakan sindroma yang sangat kompleks yang bisa saja

dialami seumur hidup. Dimana anak-anak autistik memiliki kelemahan dalam interaksi

sosial, pengelolaan emosional dan berbagai hal lain. Akibatnya tentu dapat merubah

fungsi keluarga hingga cara-cara yang ditempuh keluarga untuk keluar dari situasi

sulitnya.

Pada kondisi seperti inilah, keluarga perlu menyusun komponen-komponen yang

(39)

mampu melanjutkan hidup dalam keadaan yang resilien. Menurut Walsh (2012),

komponen penguat faktor pelindung tersebut antara lain adalah keyakinan keluarga

(terdiri dari memberi makna pada situasi krisis, pandangan positif, transenden dan

spiritualitas), pola organisasi (terdiri dari fleksibilitas, keterhubungan, sumber daya

sosial ekonomi), dan proses komunikasi (terdiri dari kejelasan, ungkapan emosi,

penyelesaian masalah yang kolaboratif).

Hal yang terpenting dalam mengukur tingkat pengaruh yaitu dengan melihat ada

tidaknya daya yang timbul dari sesuatu (orang atau benda) yang ikut membentuk watak

kepercayaan dan perbuatan seseorang. Maka pada konteks ini, peneliti ingin melihat

(40)

Bagan Alir Pemikiran

Program Family Support:

1.Bentuk dukungan konkret (materi, subsidi biaya terapi, dll)

2.Bentuk dukungan emosional (motivasi, rekreasi bersama, dll)

3.Bentuk dukungan informatif (bimbingan tentang teknis terapi mandiri, info seminar/forum diskusi seputar autisme, dll)

4.Bentuk dukungan penghargaan (peringatan hari-hari penting; hari autis sedunia, hari ulang tahun siswa/klien, dll)

Keluarga yang Memiliki Anak Autistik yang Menerima

Program Family Support

Resiliensi Keluarga yang diukur melalui:

1.

eyakinan keluarga (bagaimana keluarga memberi makna pada situasi

krisis, pandangan positif, transenden dan spiritualitas)

2.

ola organisasi (fleksibilitas, keterhubungan, sumber daya sosial

(41)

2.7 Hipotesis

Hipotesis adalah suatu pernyataan yang menegaskan hubungan antara dua

individu atau lebih dalam variabel dimana pernyataan tersebut merupakan jawaban

yang bersifat sementara atas masalah penelitian.Selain itu,hipotesis adalah arahan

sementara untuk menjelaskan fenomena yang diteliti (Siagian, 2011: 49).

Berdasarkan acuan kerangka pemikiran dalam penelitian ini, peneliti

merumuskan hipotesis sebagai berikut:

Ha: Adanya pengaruh program Family Support terhadap resiliensi keluarga yang memiliki anak autistik di Pondok Peduli Autis ‗Kaya Berkah‘ Medan.

H0: Tidak ada pengaruh program Family Support terhadap resiliensi keluarga yang memiliki anak autistik di Pondok Peduli Autis ‗Kaya Berkah‘ Medan.

2.8 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional

2.8.1 Defenisi Konsep

Konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan dengan

berbagai peristiwa, objek, kondisi, situasi dan hal lain yang sejenis.Konsep diciptakan

dengan mengelompokkan objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang mempunyai ciri-ciri

yang sama. Defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan sejumlah pengertian yang

(42)

serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian (Silalahi,

2009: 112).

Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan

objek penelitian, maka seseorang peneliti harus menegaskan dan membatasi

makna-makna konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna-makna konsep

dalam suatu penelitian disebut dengan defenisi konsep. Secara konsep defenisi disini

diartikan sebagai batasan arti. Defenisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari

suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011: 138).

Adapun batasan konsep dalam penelitian ini adalah:

1. Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang atau benda)

yang ikut membentuk watak kepercayaan dan perbuatan seseorang.

2. Family Support (Dukungan Keluarga) adalah bantuan atau dukungan yang diterima individu dari orang-orang tertentu dalam kehidupannya dan berada

dalam lingkungan sosial yang membuat si penerima merasa dicintai,

dihargai, diperhatikan dengan baik dalam bentuk materi maupun non-materi.

Dalam hal ini, family support merupakan konten dari sebuah program yang diselenggarakan oleh Pondok Peduli Autis ‗Kaya Berkah‘ Medan.

3. Resiliensi adalah keterampilan untuk pulih dari masalah atau faktor-faktor

dan proses pada seseorang yang mempunyai kemungkinan untuk gagal tetapi

kemudian berakhir dengan hasil yang adaptif meskipun di tengah-tengah

tantangan dan keadaan yang tidak menguntungkan.

4. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala

(43)

bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan

5. Autistik adalah individu yang menyandang autisme. Autisme itu sendiri

diartikan sebagai sindroma yang sangat kompleks, yang ditandai dengan

ciri-ciri kurangnya kemampuan interaksi sosial dan emosional, sulit dalam

komunikasi timbal balik, minat terbatas, dan perilaku disertai gerakan

berulang tanpa tujuan (stereo-tipic)

2.8.2 Defenisi Operasional

Defenisi operasional merupakan seperangkat petunjuk atau kriteria atau operasi

yang lengkap tentang apa yang harus diamati dan bagaimana mengamatinya dengan

memiliki rujukan-rujukan empiris. Bertujuan untuk memudahkan penelitian dalam

melaksanakan penelitian di lapangan. Maka perlu operasionalisasi dari konsep-konsep

yang menggambarkan tentang apa yang harus diamati (Silalahi, 2009: 120).

Perumusan defenisi operasional adalah langkah lanjutan dari perumusan

defenisi konsep. Defenisi operasional sering disebut sebagai proses operasionalisasi

konsep. Operasionalisasi konsep berarti menjadikan konsep yang semula bersifat statis

menjadi dinamis. Defenisi operasional merupakan petunjuk bagaimana suatu variabel

dapat diukur (Siagian, 2011: 141).

Dalam hal ini harus ditentukan lebih dahulu variabel-variabel yang ada dalam

penelitian ini yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah variabel

atau sekelompok atribut yang mempengaruhi atau memberikan akibat terhadap variabel

atau sekelompok atribut yang lain.Ada kalanya variabel bebas diebut variabel pengaruh

(44)

dipengaruhi variabel lain.Maka variabel terikat sering juga disebut variabel terpengaruh

sehingga diberikan simbol ―y‖. Adapun yang menjadi indikator dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Variabel Bebas (x) yaitu pengaruh program family support, yang diukur dengan indikator berupa realisasi program family support dalam berbagai macam bentuk dukungan, sebagai berikut:

1.Bentuk dukungan konkret (materi, subsidi biaya terapi, dll)

2.Bentuk dukungan emosional (motivasi, rekreasi bersama, dll)

3.Bentuk dukungan informatif (bimbingan tentang teknis terapi mandiri, info

seminar/forum diskusi seputar autism, dll)

4.Bentuk dukungan penghargaan (peringatan hari-hari penting; hari autis

sedunia, hari ulang tahun siswa/klien, dll)

Variabel terikat (y) yaitu resiliensi keluarga yang memiliki anak autistik yang

diukur dengan indikator berupa:

1. Keyakinan keluarga, yang ditunjukkan melalui hal-hal sebagai berikut:

a) bagaimana keluarga memberi makna pada situasi krisis

b) pandangan positif yang dimiliki keluarga

c) transenden keluarga

d) spiritualitas para anggota keluarga

2. Pola organisasi, yang ditunjukkan melalui:

a) Fleksibilitas keluarga,

b) Keterhubungan antar anggota keluarga

(45)

3. Proses komunikasi, yang diindikasikan oleh hal-hal berikut:

a) Kejelasan dalam berkomunikasi

b) Cara mengungkapkan emosi

Referensi

Dokumen terkait

Untuk kotak pada Category Axis diisi dengan variabel pada sumbu datar, caranya dengan mengklik mouse satu kali pada variabel tsb di kotak sebelah kiri, lalu klik tombol anak panah ►

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif. Dalam penelitian ini, penelitian hukum yuridis normatif dilakukan dengan meneliti asas-asas hukum, khususnya

Hasil Koefisien Determinasi atau R square (r2) adalah 0,206 yang menunjukan bahwa 20,6% kepuasan pengguna Café dan Resto Cabana Manado, dipengaruhi oleh kualitas

menggunakan metode pembelajaran ini siswa diberikan suatu permasalahan yang harus siswa pecahkan bersama-sama hal ini menuntut siswa untuk berfikir tingkat tinggi

Untuk melihat pengaruh kualitas pelayanan terhadap loyalitas pelanggan pada Soraya BedSheet Cabang Ahmad Yani Pekanbaru, maka digunakan analisis regresi linear

Penelitian ini sejalan dengan penelitian terkait yang dilakukan oleh Sangadji & Nurhayati (2014) menunjukkan bahwa proporsi kejadian hipertensi lebih tinggi pada responden

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap media pembelajaran yang dikembangkan dapat disimpulkan bahwa Media pembelajaran interaktif Adobe Flash Professional CS6

Tahap Analisis, pada tahap ini dari beberapa karya TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, dilakukan analisis untuk ditentukan karya-karya mana saja yang akan