• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUKTI AUDIT VS ALAT BUKTI HUKUM Suplemen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BUKTI AUDIT VS ALAT BUKTI HUKUM Suplemen"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BUKTI AUDIT VS ALAT BUKTI HUKUM

Suplemen materi diklat & kuliah mengenai audit

Oleh: Marmah Hadi, Widyaiswara STAN-BPPK Kementerian Keuangan

Tahun 2012

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... 1

I. PENDAHULUAN ... 3

A. Latar Belakang ... 3

B. Tujuan Pembelajaran ... 3

II. HAKIKAT ALAT BUKTI MENURUT HUKUM ... 3

A. Dasar Hukum... 3

B. Pengertian Alat Bukti ... 4

1. Pengertian alat bukti menurut UU No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana ... 4

2. Pengertian alat bukti menurut UU No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik ... 5

3. Pengertian alat bukti menurut UU No 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ... 5

4. Pengertian alat bukti menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang ... 5

5. Pengertian alat bukti menurut UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 6

6. Pengertian alat bukti menurut UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ... 6

7. Pengertian alat bukti menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigasian ... 6

8. Pengertian alat bukti menurut UU No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 6

9. Pengertian Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi ... 7

C. Alat Bukti Yang Sah Berdasarkan KUHAP ... 7

1. Keterangan saksi : ... 8

2. Keterangan Ahli ... 10

3. Surat ... 10

4. Petunjuk ... 10

5. Keterangan Terdakwa ... 11

D. Alat bukti berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik... 11

E. Keyakinan Hakim ... 12

III. BUKTI AUDIT ... 13

A. Pengertian Bukti Audit ... 13

B. Persyaratan Bukti audit ... 13

C. Cara memperoleh bukti audit ... 14

1. Prosedur untuk mendapatkan bukti ... 14

2. Jenis kegiatan untuk memperoleh bukti audit ... 14

a) Inspeksi ... 15

b) Observasi ... 15

(3)

d) Perhitungan Ulang ... 15

e) Pelaksanaan Kembali (reperformance) ... 15

f) Prosedur Analitis ... 15

g) Permintaan Keterangan ... 16

3. Sensus vs sampling ... 16

IV. BAGAIMANA AUDITOR MENYIKAPI ALAT BUKTI HUKUM ... 16

1. Auditor harus melaporkan adanya tindak pidana jika ia mengetahuinya ... 16

2. Bukti audit tidak sama dengan alat bukti menurut hukum pidana. ... 16

3. Konsekuensi legal atas laporan auditor ... 17

4. Manajemen risiko bagi auditor ... 17

V. BUKTI AUDIT VS ALAT BUKTI HUKUM ... 17

VI. DAFTAR PUSTAKA ... 19

A. Buku ... 19

B. Standar & Exposure Draft ... 19

(4)

I.

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Dalam melaksanakan tugas audit, setiap auditor harus mengumpulkan bukti yang cukup dan kompeten untuk mendukung opini auditor, kesimpulan hasil audit dan/atau temuan audit. Bukti audit tersebut diperoleh melalui berbagai tehnik dan prosedur, sedemikian rupa sehingga auditor memperoleh kepuasan atas kualitas pengujian yang dilakukannya. Yang dimaksud dengan bukti yang cukup adalah yang jumlahnya, intensitasnya dan derajat keterwakilannya mencukupi untuk dijadikan dasar pengambilan kesimpulan. Sementara itu, yang dimaksud dengan bukti yang kompeten adalah bukti yang sah, valid serta relevan dengan sasaran pembuktian terkait.

Dalam audit lapoaran keuangan, audit kinerja atau bahkan audit operasional yang tidak dimaksudkan untuk menyelidiki ada tidaknya suatu kecurangan, kadang-kadang auditor menemukan adanya tindak kecurangan yang dilakukan oleh pegawai atau manajemen entitas yang diperiksa. Adanya kecurangan tersebut akan mengharuskan auditor mengungkapkan temuannya kepada pihak yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Permasalahannya adalah bahwa kriteria bukti audit menurut standar audit tidak sama dengan menurut standar hukum pidana. Dengan demikian apabila auditor tidak memperhatikan aspek pembuktian menurut hukum pidana, maka terdapat peluang bahwa bukti audit yang diajukan oleh auditor tidak segera dapat dianggap sebagai bukti yang ata g u tuk tujua pe yidika /pe yelidika /pe u tuta erdasarka huku a ara pidana.

Berdasarkan uraian di atas, maka setiap auditor harus memahami aspek pembuktian, setidak-tidaknya dari dua disiplin imu, yaitu dari disiplin auditing (akuntansi) dan disiplin hukum pidana.

B.

Tujuan Pembelajaran

Tujuan pembelajaran materi ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada peserta diklat mengenai pembuktian berdasarkan standar audit dan pembuktian berdasarkan hukum acara pidana. Dengan demikian, peserta diklat dapat menjelaskan perbedaan dan persamaan diantara keduanya.

II.

HAKIKAT ALAT BUKTI MENURUT HUKUM

A.

Dasar Hukum

Dasar hukum utama yang perlu mendapatkan perhatian auditor terkait dengan pembuktian dalam ranah pidana umum adalah UU no 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun demikian, terdapat peraturan lain yang perlu juga diperhatikan seperti peraturan berikut:

1. UU no 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(5)

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik 5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang

6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

7. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

9. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 10. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang 11. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigasian

Undang-undang di atas perlu dipelajari oleh auditor agar auditor dapat mengenali karaktristik berbagai bentuk tindak pidana secara baik. Apabila dalam penugasan audit ternyata auditor menemukan adanya tindak pidana termaksud, maka auditor harus mempertimbangkan berbagai hal antara lain:

1. melaporkan adanya tindak pidana tersebut kepada pihak yang berwajib;

2. melakukan antisipasi terhadap kemungkinan digunakannya bukti audit sebagai alat bukti hukum oleh pihak yang berwajib;

3. menilai dampak tindak pidana tersebut terhadap kewajaran laporan keuangan, khususnya untuk pos kontijensi;

4. menilai dampak tindak pidana tersebut terhadap ancaman keberlangsungan usaha dari entitas yang diaudit.

B.

Pengertian Alat Bukti

Pengertian bukti audit antar undang-undang yang satu dapat berbeda dengan undang undang yang lain. Berikut ini sejumlah undang-undang yang menjelaskan pengertian alat bukti dalam ranah hukum pidana:

 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik  Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi  Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

1. Pengertian alat bukti menurut UU No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

(6)

Dalam Pasal 184 disebutkan: (1) Alat bukti yang sah ialah :

a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

2. Pengertian alat bukti menurut UU No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

Dalam Pasal 1 Angka 1 UU No 11 tahun 2008 disebutkan:

Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Dalam Pasal 1 Angka 5 disebutkan:

Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

3. Pengertian alat bukti menurut UU No 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Dalam UU no 46 tahun 2009, alat bukti tidak didefinisikan secara khusus. Adapun yang diatur adalah bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum acara pidana. Sementara itu, alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Pengertian alat bukti menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang

Dalam Pasal 31 dinyatakan bahwa alat bukti dalam perkara tindak pidana terhadap Rupiah meliputi:

a. alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; dan b. alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang ini, yaitu:

(7)

c. data yang tersimpan dalam jaringan internet atau penyedia saluran komunikasi lainnya.

5. Pengertian alat bukti menurut UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Dalam Pasal 73 dinyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana Pencucian Uang ialah:

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; dan/atau

b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan Dokumen.

6. Pengertian alat bukti menurut UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Dalam Pasal 86 disebutkan bahwa Alat bukti berupa:

a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b. data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

1) tulisan, suara, dan/atau gambar;

2) peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau

3) huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. 7. Pengertian alat bukti menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang

Keimigasian

Dalam Pasal 108 dinyatakan bahwa alat bukti pemeriksaan tindak pidana Keimigrasian berupa:

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana;

b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, dan diterima atau disimpan secara elektronik atau yang serupa dengan itu; dan

c. keterangan tertulis dari Pejabat Imigrasi yang berwenang.

8. Pengertian alat bukti menurut UU No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Dalam Pasal 29 disebutkan bahwa alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa:

a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

(8)

atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada:

1) tulisan, suara, atau gambar;

2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau

3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Dalam Penjelasan Pasal 29 disebutkan bahwa ya g di aksud de ga data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau ya g tereka se ara elektro ik dala kete tua ini misalnya: data yang tersimpan di komputer, telepon, atau peralatan elektronik lainnya, atau catatan lainnya seperti:

a. catatan rekening bank, catatan usaha, catatan keuangan, catatan kredit atau utang, atau catatan transaksi yang terkait dengan seseorang atau korporasi yang diduga terlibat di dalam perkara tindak pidana perdagangan orang;

b. atatan pergerakan, perjalanan, atau komunikasi oleh seseorang atau organisasi yang diduga terlibat di dalam tindak pidana menurut Undang-Undang ini; atau

c. dokumen, pernyataan tersumpah atau bukti-bukti lainnya yang didapat dari Negara asing, yang mana Indonesia memiliki kerja sama dengan pihak-pihak berwenang negara tersebut sesuai dengan ketentuan dalam undang undang yang berkaitan dengan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana.

9. Pengertian Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Dalam Pasal 24 disebutkan:

Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang- Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada:

a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan

b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.

C.

Alat Bukti Yang Sah Berdasarkan KUHAP

Sebagaimana telah diungkapkan di muka, dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah

a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat;

d. petunjuk; dan e. keterangan terdakwa.

(9)

1. Keterangan saksi :

Dalam pasal 185 ayat (1) KUHAP dinyatakan: Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Jadi ketera ga saksi ya g di erika kepada auditor tidak serta merta menjadi alat bukti kesaksian sekalipun dituangkan dalam berita acara. Kesaksian tersebut haruslah dinyatakan dalam sidang pengadilan.

Dalam pasal 185 ayat (2) KUHAP dinyatakan: Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Terkait de ga ayat ini, filosofi yang dianut dalam perundang-undangan di Indonesia adalah Unus testis Nulus testis, artinya satu saksi bukanlah saksi. Jadi, keterangan seorang saksi saja tak cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah. Agar bukti kesaksian dapat menjadi alat bukti, maka perlu ada minimal dua orang saksi yang memberikan keterangan yang persis sama dan bersesuaian.

Dalam pasal 185 ayat KUHAP di yataka : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Arti dari ayat ini adalah bahwa keterangan seorang saksi saja tak cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah, namun jika disertai dengan alat bukti lain yang bersesuaian maka keterangan seorang saksi saja tersebut dianggap cukup.

Dalam pasal 185 ayat (4) KUHAP dinyatakan: Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain

sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

Dalam pasal 185 ayat (5) KUHAP dinyatakan: Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

Dalam pasal 185 ayat (6) KUHAP dinyatakan:

Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan

a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain

b .persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain

c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu

d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Dalam pasal 185 ayat (7) KUHAP dinyatakan: Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Suatu keterangan saksi dianggap sah sebagai alat bukti jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:

(10)

1) Namanya sudah ada didalam surat pelimpahan perkara (Pasal 160 ayat (1) huruf (c) KUHAP);

2) Diminta oleh terdakwa, penasehat hukum, atau penuntut umum (Pasal 160 ayat (1) huruf (c) KUHAP);

3) Dihadapkan oleh hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum (Pasal 165 ayat (4) KUHAP);

4) Harus dipanggil secara resmi melalui surat yang sudah diterima 3 hari sebelum siding pengadilan (Pasal 146 ayat (2) KUHAP).

5) Keterangan diberikan di persidangan di bawah sumpah;

b. Syarat Materiil Saksi:

1) Keterangan berdasarkan hal yang dilihat sendiri, didengar sendiri, dialami sendiri, serta menyebut alasan pengetahuan;

2) Keterangan diberikan oleh dua orang / lebih saksi, atau didukung oleh keterangan saksi lain / alat bukti lain.

3) Tidak ada hubungan keluarga dengan terdakwa, baik sedarah, atau semenda garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ke tiga (Pasal 168 huruf (a) KUHAP);

4) Tidak ada hubungan saudara dengan terdakwa, baik dari pihak ayah maupun ibu sampai derajat ke tiga (Pasal 168 huruf (b) KUHAP);

5) Tidak mempunyai hubungan suami isteri dengan terdakwa, meskipun sudah bercerai (Pasal 168 huruf (c) KUHAP);

6) Dewasa, berumur lebih dari 15 tahun (Pasal 171 huruf (a) KUHAP); 7) Tidak sakit ingatan atau sakit jiwa (Pasal 171 huruf (b) KUHAP);

Sementara itu, ada hal lain yang menarik, yaitu bahwa keterangan dua orang atau lebih saksi sama persis dan bersesuaian, maka dihitung sebagai satu alat bukti. Jadi sekalipun auditor berhasil memperoleh saksi sebanyak 100 (seratus) orang, namun isi kesaksiannya sama persis dan bersesuaian, maka keseluruhan bukti kesaksian tersebut hanya dianggap sebagai satu alat bukti dalam persidangan nantinya. 1

Keterangan yang diberikan oleh seorang saksi tidak dianggap sebagai alat bukti yang sah jika:

a. merupakan pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, b. keterangan saksi yang hanya mendengar dari orang lain (disebut testimonium de

auditu)

c. keterangan diberikan tanpa sumpah atau di luar persidangan

d. terdapat hubungan keluarga dengan terdakwa, kecuali yang bersangkutan dan pihak penuntut umum menghendakinya.

1

(11)

2. Keterangan Ahli

Dalam Hukum Pembuktian di Indonesia, dikenal 2 (dua) macam ahli : a. Ahli Forensik/Visum Et Repertum dapat merupakan alat bukti surat b. Ahli lainnya

Keterangan ahli ini harus memenuhi persyaratan: a. Diberikan di depan penyidik/PU

b. Diberikan di Persidangan

c. Ahli mempunyai keahlian khusus untuk menjelaskan tentang pelaku dan diberikan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

Kekuatan pembuktian ini tidak mengikat, dan tidak menentukan. Dalam pasal 180 ayat (2) KUHAP dinyatakan bahwa dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap hasil keterangan ahli, maka hakim memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang.

3. Surat

Sebagai alat bukti, surat harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Surat dalam bentuk resmi dibuat oleh pejabat umum

b. Dibentuk menurut ketentuan UU oleh pejabat tertentu di lingkup tugasnya c. Surat keterangan ahli

d. Surat lain yang ada hubungannya dengan isi alat bukti lain e. Kekuatan pembuktian bersifat bebas

Dalam Pasal 187 KUHAP diatur bahwa surat dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, mencakup:

a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu

b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan

c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat

pembuktian yang lain. 4. Petunjuk

Dalam pasal 188 ayat (1) KUHAP diatur bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang memiliki persesuaian baik satu sama lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, sehingga menunjukkan secara nyata bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Selanjutnya, dalam pasal 188 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari:

(12)

b. Surat

c. Keterangan terdakwa

Keterangan seorang saksi saja dapat dijadikan petunjuk oleh hakim, jika berhubungan dengan alat bukti lainya. Demikian juga halnya dengan keterangan terdakwa yang diberikan di luar persidangan merupakan petunjuk bagi hakim atas kesalahan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya dan sikap arif bijaksana. Oleh karena itu terdapat unsur subyektif mengenai kekuatan alat bukti petunjuk.

5. Keterangan Terdakwa

Alat bukti berupa keterangan terdakwa diatur dalam KUHAP pada Pasal 189 adalah : … apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Dalam ayat (4) dinyatakan bahwa keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

D.

Alat bukti berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

Dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Selanjutnya dalam ayat (3) disebutkan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UndangUndang ini.

Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tidak berlaku untuk:

a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang menurut UndangUndang harus dibuat dalam

bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Dalam Pasal 38 ayat 2 undang No. 25 tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan bahwa alat bukti adalah :

(13)

b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu.

c. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme mengatur bahwa alat bukti dalam tindak pidana terorisme meliputi :

a

alat bukti sebagaimana dimaksud dalam KUHAP (surat termasuk di dalamnya)

b

alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

c

data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tapi tidak terbatas pada:  Tulisan,suara, atau gambar, rancangan foto atau sejenisnya.

 Huruf, tanda, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh perang yang mampu membaca atau memahaminya.

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi diatur bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk Tindak Pidana Korupsi juga dapat diperoleh dari :

a

Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik.

b

Dokumen yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau;

c

Didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna.

E.

Keyakinan Hakim

Dalam sistem hukum di indonesia, hakim terikat pada alat-alat bukti yang disyaratkan dalam undang-undang, namun hakim juga memiliki keleluasaan melakukan pertimbangan dan memutuskan berdasarkan keyakinannya. Sekalipun jumlah alat bukti sudah mencukupi, namun hakim tidak mendapatkan keyakinan tentang kesalahan terdakwa, maka hakim dapat memberi keputusan bebas kepada terdakwa.

(14)

III.

BUKTI AUDIT

A.

Pengertian Bukti Audit

Dalam melaksanakan audit keuangan atas laporan keuangan, auditor harus mengumpulkan bukti audit untuk menentukan apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar sesuai dengan standar akuntansi yang berterima umum. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan bukti audit adalah semua informasi yang digunakan dan dihimpun oleh auditor untuk dijadikan dasar yang layak untuk menyatakan pendapatnya. Informasi tersebut berasal dari catatan akuntansi yang mendasari pelaporan keuangan dan dari sumber lainnya.

Dalam Exposure Draft Standar Perikatan Audit (SPA) 500 yang diterbitkan oleh Dewan Standar Profesi Institut Akuntan Publik Indonesia (selanjutnya disebut ED SPA-500), dinyatakan bahwa bukti audit adalah informasi yang digunakan oleh auditor dalam menarik kesimpulan sebagai basis opini auditor. Bukti audit mencakup baik informasi yang terkandung dalam catatan akuntansi yang melandasi laporan keuangan, maupun informasi lainnya. Sementara itu catatan akuntansi didefinisikan sebagai catatan entri akuntansi awal dan catatan pendukungnya. Pengertian bukti audit menurut exposure draft tersebut serupa dengan pegertian bukti audit dalam ISA-500 –Audit Evidence.

Dalam ISA-500, bukti audit dirumuskan sebagai berikut:

Audit evidence – Information used by the auditor in arriving at the conclusions on

hi h the auditor’s opi io is ased. Audit evidence includes both information contained in the accounting records underlying the financial statements and other information.

International “tandard on Auditing I“A 500, Audit Evidence

B.

Persyaratan Bukti audit

Whittington & Pany (2006) menyatakan bahwa dalam melaksanakan penugasannya, auditor harus mengumpulkan bukti yang cukup dan kompeten. Bukti yang kompeten adalah yang relevan dan valid. Secara umum bukti dianggap valid jika (a) diperoleh dari sumber independen di luar organisasi; (b) dihasilkan dari sistem informasi yang memmiliki pengendalian intern yang kuat; atau (c) diperoleh secara langsung oleh auditor, dan bukannya dari sumber sekunder. Dalam hal ini auditor harus menggunakan pertimbangan profesionalnya untuk menilai kecukupan jumlah bukti yang akan dijadikan dasar untuk memberikan opini audit sedemikian rupa sehingga dapat meminimalkan risiko audit (inherent risk, control riskdan detection risk) . 2

Sementara itu, dalam ED SPA-500 dinyatakan bahwa auditor harus mendapatkan bukti yang cukup dan tepat. Dalam hal ini, kuantitas bukti audit yang diperlukan tergantung pada penilaian auditor atas risiko salah saji yang material (makin berisiko, maka makin banyak

2

Whittington, O. Ray and Pany, Kurt. Principles of Auditing and Other Assurance Services, 15/e, 2006 McGraw-Hill Higher Education

(15)

bukti yang diperlukan) dan kualitas bukti audit (makin rendah kualitasnya, maka semakin banyak bukti yang harus diperoleh).

Ketepatan merupakan ukuran kualitas bukti audit yang mencakup relevansi dan keandalan bukti audit yang mendukung auditor untuk merumuskan opininya. Relevansi menyangkut kesesuaian antara bukti audit dengan tujuan pembuktiannya. Sebagai contoh, pemeriksaan fisik atas uang yang ada dalam brankas kasir hanya merupakan bukti mengenai adanya (eksistensi) serta mengenai nilai (value) dari kas dan tidak dapat dijadikan alat untuk membuktikan kepemilikan (ownership) atas kas tersebut. Sementara itu, keandalan dipengaruhi oleh sumber dan sifat bukti audit. Sumber bukti dari pihak ekternal yang independen dipandang lebih kuat dari pada bukti yang berasal atau dibuat oleh pihak internal entitas yang diperiksa. Demikian pula, bukti yang bersifat hasil obeservasi dan inspeksi, dalam banyak hal dapat lebih kuat dibandingkan bukti yang diperoleh dari hasil analisis auditor.

C.

Cara memperoleh bukti audit

1. Prosedur untuk mendapatkan bukti

Berdasarkan ED SPA-500 bukti audit diperoleh melalui sejumlah prosedur sebagai berikut:  Prosedur penilaian risiko

 Prosedur pengujian pengendalian

 Prosedur pengujian substantif, termasuk pengujian rinci dan pengujian analitis substantif.

Prosedur Penilaian risiko bertujuan untuk mendapatkan bukti mengenai profil risiko audit. Profil ini akan menentukan langkah-langkah pembuktian berikutnya. Prosedur pengujian pengendalian akan menghasilkan kesimpulan mengenai kuat lemahnya sistem pengendalian intern yang akan mendasari pertimbangan auditor untuk menilai kehandalan catatan akuntansi serta peluang terjadinya salah saji yang signifikan atas pos-pos laporan keuangan. Pengujian pengendalian intern juga akan menentukan luas dan dalamnya pengujian substantif.

Pengujian substantif akan menghasilkan bukti yang dijadikan dasar untuk menyimpulkan kewajaran nilai akun-akun dalam laporan keuangan.

2. Jenis kegiatan untuk memperoleh bukti audit

Dalam melaksanakan penilaian risiko, pengujian pengendalian intern serta pengujian substantif, auditor dapat menerapkan sejumlah prosedur pengujian sebagai berikut:

 Inspeksi;  Observasi;  Konfirmasi;

(16)

a) Inspeksi

Inspeksi mencakup pemeriksaan atas catatan dan dokumen serta pemeriksaan atas aset. Inspeksi atas bukti adanya otorisasi atas suatu dokumen merupakan bagian dari prosedur pengujian pengendalian intern. Pemeriksaan atas jurnal untuk memastikan bahwa jurnal tersebut telah diposting ke akun buku besar secara tepat dengan nilai yang benar adalah contoh inspeksi atas dokumen untuk tujuan pengujian substantif. Pemeriksaan fisik atas aktiva tetap yang dibeli pada tahun berjalan untuk memastikan bahwa pembelian tersebut bukan pembelian fiktif adalah juga merupakan contoh inspeksi.

b) Observasi

Observasi mencakup kegiatan melihat langsung suatu proses atau prosedur yang sedang berjalan. Sebagai contoh, auditor mengamati proses pembayaran retribusi parkir pada gardu parkir untuk mengetahui apakah petugas gardu parkir selalu menyerahkan struk kepada pengguna jasa parkir.

c) Konfirmasi dengan Pihak Eksternal

Konfirmasi ini diperoleh sebagai respon dari pihak eksternal terhadap pertanyaan auditor. Respons tersebut dapat berupa dokumen tertulis ataupun dokumen elektronik.

d) Perhitungan Ulang

Perhitungan ulang adalah kegiatan melakukan komputasi ulang berdasarkan formula tertentu untuk menguji akurasi suatu perhitungan tertentu. Sebagai contoh, auditor melakukan penghitunga ulang atas saldo buku besar dengan jalan menjumlahkan saldo awal dengan seluruh mutasi pada periode yang diperiksa.

e) Pelaksanaan Kembali (reperformance)

Pelaksanaan kembali adalah aktivitas yang dilakukan oleh auditor secara independen berupa mengulang kembali suatu proses atau prosedur tertentu yang telah pernah dijalankan oleh auditee dalam menjalankan fungsi pengendalian. Dalam ISA-500 dise utka : Reperfor a ce i ol es the auditor’s i depe de t e ecutio of procedures or co trols that ere origi all perfor ed as part of the e tit ’s i ter al co trol.

Salah satu contoh dari aktivitas ini adalah bahwa pada saat auditor ingin memastikan bahwa setiap permintaan pembayaran telah diuji kebenaran jumlahnya serta kelengkapan bukti pendukungnya oleh petugas verifikator. Dalam hal ini, auditor akan mengambil sampel sejumlah dokumen pembayaran yang telah direalisir pembayarannya dan melakukan pengujian kebenaran jumlah serta kelengkapan dokumen pendukung atas setiap bukti pembayaran seperti layaknya pihak auditee (petugas verifikator) seharusnya melakukan pengujian tersebut.

f) Prosedur Analitis

(17)

penjualan berdasarkan formula tertentu dalam rangka menguji kewajaran nilai penjualan yang dilaporkan dalam laporan laba rugi.

g) Permintaan Keterangan

Permintaan keterangan dapat dilakukan secara tertuis maupun lisan. Demikian juga, respon yang diperoleh auditor dapat berupan keterangan yang tertulis ataupun lisan. 3. Sensus vs sampling

Dalam melaksanakan audit laporan keuangan, seorang auditor diperkenankan memilih metode pengumpulan buktinya, apakah secara sensus atau secara sampling. Jika auditor memutuskan untuk melakukan sampling, iapun diperkenankan memilih antara statistical sampling atau non statistical sampling. Hal yang mendasari metode tersebut adalah pertimbangan profesional dari auditor setelah memperhatikan dengan seksama risiko audit, termasuk kekuatan dan kelemahan pengendalian intern yang terkait, serta pertimbangan biaya-manfaat.

IV.

BAGAIMANA AUDITOR MENYIKAPI ALAT BUKTI HUKUM

1. Auditor harus melaporkan adanya tindak pidana jika ia mengetahuinya

Dalam Pasal 108 KUHAP disebutkan:

(1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.

(2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.

(3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik.

(4) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu.

(5) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik.

Jadi, jika auditor dalam pelaksanaan tugas audit menemukan adanya permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik, maka wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik. Undang-undang ini tidak membatasi kewajiban tersebut berdasarkan ruang lingkup audit. Apa pun jenis auditnya, jika menemukan tindak pidana sesuai pasal 108 KUHAP, maka setiap orang (termasuk auditor) harus melaporkannya. 2. Bukti audit tidak sama dengan alat bukti menurut hukum pidana.

(18)

laporannya menyatakan bahwa terdapat pelanggaran atas hukum pidana, belum tentu temuan auditor (beserta kertas kerja dan bukti audit yang mendasarinya) tersebut dapat diterima oleh pengadilan sebagai alat bukti yang sah. Agar upaya auditor untuk mengungkapkan tindak pidana tidak menjadi sia-sia, maka auditor perlu memahami syarat sahnya suatu bukti untuk dijadikan alat bukti hukum.

3. Konsekuensi legal atas laporan auditor

Jika dalam laporannya auditor menyatakan bahwa terdapat pelanggaran atas hukum pidana, padahal setelah diajukan ke pengadilan ternyata temuan auditor (beserta kertas kerja dan bukti audit yang mendasarinya) tersebut tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti yang sah dan pihak auditee dibebaskan dari segala tuntutan, maka pihak auditee yang merasa dirugikan secara moril dan materil dapat menuntut ganti rugi kepada auditor. Dalam hal ini auditor dapat dituduh mencemarkan nama baik, melakukan tindakan yang tidak menyenangkan, membuat laporan palsu, dan/atau melakukan kelalaian yang menimbulkan kerugian bagi auditee. Nah, jika hal ini terjadi, maka kertas kerja auditor serta bukti audit yang dimiliki oleh auditor menjadi bumper utama untuk melindungi diri. Dalam hal ini, auditor harus memiliki bukti yang cukup dan kompeten berdasarkan standar profesinya yang mendasari opini dan laporannya.

4. Manajemen risiko bagi auditor

Untuk menghindarkan diri dari tuntutan pihak auditee, maka apabila auditor menemukan unsur tindak pidana dalam entitas yang diauditnya, hendaklah auditor tidak menggunakan kata-kata yang secara tegas menyatakan bahwa telah terjadi tindak pidana. Kalimat yang sebaiknya digunakan oleh auditor hendaklah sekedar mengungkapkan adanya petunjuk (indikasi) pelanggaran hukum pidana.

V.

BUKTI AUDIT VS ALAT BUKTI HUKUM

Perbandingan antara bukti audit dan alat bukti dalam hukum pidana dapat diikhtisarkan sebagai berikut:

a. Minimal ada dua alat bukti yang sah;

b. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Bentuk

a

Catatan akuntansi yang

(19)

Cara memperoleh

a

Inspeksi;

b

Observasi;

c

Konfirmasi;

d

Perhitungan ulang;

e

Pelaksanaan kembali;

f

Prosedur analitis;

g

Permintaan keterangan.

a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

Judgment Auditor wajib menggunakan

pertimbangan

profesionalnya untuk: a. Menentukan kecukupan

jumlah bukti; b. Menentukan

memadainya kualitas bukti (relevansi dan kompetensi bukti) c. Menentukan metode

pengumpulan bukti (sensu atau sampling)

Hakim wajib menggunakan kearifannya untuk menilai kecukupan dan keabsahan alat bukti.

Landasan Standar audit Undang-undang di bidang

(20)

VI.

DAFTAR PUSTAKA

A.

Buku

Andi Hamzah, 1984. Perbandingan KUHAP-HIR dan Komentar, Jakarta: Ghalia Indonesia. Djoko Prakoso, 1988. Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Di Dalam Proses Pidana,

Yogyakarta: Liberty.

Ignatinus Prabowo, Penggunaan Anjing Pelacak dalam Proses Penyidikan dan Kekuatan Pembuktian Terhadap Alat Bukti yang Ditemukan oleh Anjing Pelacak dalam Perspektif Hukum Acara Pidana, Skripsi:Universitas Sebelas Maret.

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Intermasa, 2005, Cet. XXXII

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ke 8, Yogyakarta: Liberty 2006, Cet. I

Whittington, O. Ray and Pany, Kurt. Principles of Auditing and Other Assurance Services, 15/e, 2006 McGraw-Hill Higher Education

B.

Standar &

Exposure Draft

Dewan Standar Profesi Institut Akuntan Publik Indonesia, Exposure Draft Standar Perikatan Audit (SPA) 500, tahun 2012.

I ter atio al “ta dard o Auditi g I“A 500, Audit E ide e

C.

Peraturan:

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigasian

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dan Pasal 9

Harun Nasution sebagai salah seorang pembaharu Islam di Indonesia memandang berbagai tatanan kehidupan masyarakat dalam dunia modern harus diatur sendiri oleh umat Islam

Bobot kering akar diperoleh setelah dilakukan pengeringan tajuk terlebih dahulu pada oven yang bersuhu 60 ºC selama

Lantai Batu juga menggunakan akad wakalah. Akad wakalah ini digunakan jika pihak KJKS-BMT Ampek Jurai Lantai Batu Batusangkar mewakilkan pembelian barang kepada

Lompat ke konten Jumat, Maret 17, 2017 About Me Contact me Privacy Policy Disclaimer TOS Sitemap Safara Jogja Safara Jogja Sharing And News Menu About Me Contact me

BAHTIAR. Sistem pertanian berkelanjutan sangat penting untuk direalisasikan agar tidak terjadi penurunan tingkat produksi hasil pertanian pada masa mendatang.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2012- 2019 mengamanatkan perlu adanya penataan kembali kurikulum yang diterapkan saat ini berdasarkan hasil

Berdasarkan latar belakang di atas, pokok permasalahan yang akan dikaji adalah pertama mengenai pemahaman para nazhir terhadap harta wakaf di empat masjid Agung