• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLITIK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONE"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DI INDONESIA

Oleh:

Ahmad Fikri Sabiq

(2)

1

Politik Pendidikan Agama Islam di Indonesia

A.Latar Belakang

Salah satu amanat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945

adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang kemudian dimaknai bahwa pendidikan sebagai bagian dari bidang yang harus diperhatikan oleh Negara. Pemaknaan ini merupakan kesadaran bahwa salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dengan memberikan pendidikan yang unggul dan bermutu. Oleh karenanya, negara atau dalam konteks implementasi ini yaitu pemerintah wajib memperhatikan proses pendidikan.

Selanjutnya, dalam sebuah tata negara, sistem politik menjadi arus utama berbagai kebijakan. Ketika sebuah sistem tata negara tidak bisa dilepaskan dari dunia politik, maka yang perlu diketahui lebih lanjut adalah terkait peran politik yang berkaitan dan memberikan pengaruh terhadap pendidikan. Perubahan kurikulum, anggaran pendidikan, serta berbagai kebijakan dalam hal pendidikan merupakan hasil dari proses politik.

Dunia pendidikan di Indonesia sudah pernah melewati berbagai kebijakan politik, mulai sejak era kolonial Belanda, orde lama, orde baru, serta pasca order baru yang kebijakan tersebut sangat berdampak pada perubahan sistem pendidikan dan kurikulum. Dan sebagai bagian dari cermin menatap masa depan pendidikan di Indonesia, maka mengetahui sejarah perjalanan kebijakan pendidikan menjadi suatu hal yang penting.

B.Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa rumusan masalah yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana kebijakan pemerintah kolonial terhadap pendidikan agama di Hindia-Belanda?

2. Bagaimana posisi negara dan agama di Indonesia?

(3)

2

C.Kebijakan Pemerintah Kolonial terhadap Pendidikan Agama di Hindia-Belanda

Lamanya waktu penjajahan Belanda di Indonesia tentunya memberikan pengaruh dalam tatanan negeri ini, diantaranya yaitu tatanan sosial, politik, dan

ekonomi. Salah satu pengaruh tatanan politik adalah terkait kebijakan dalam dunia pendidikan secara umum dan pendidikan agama. Oleh karenanya, salah satu potret penting dalam sejarah dunia pendidikan agama di Indonesia adalah kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Menurut Rian Hidayat Abi El-Bantany sebagaimana dikutip oleh Choirul Mahfud disebutkan bahwa pendidikan Islam sangat ditentukan oleh kebijakan penguasa. Politik pendidikan bukan hanya bagian dari politik kolonial tetapi juga bagian inti dari politik kolonial. Jenis pendidikan yang disediakan oleh pemerintah kolonial saat itu banyak ditentukan oleh tujuan-tujuan politik Belanda, terutama dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi.1 Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa sejak zaman kolonial, politisasi pendidikan sudah mulai dilakukan.

Mengutip dari Harun Nasution, oleh Choirul Mahfud disebutkan bahwa ada 6 ciri politik dan praktik pendidikan yang dilakukan oleh kolonialis Belanda, yaitu: Pertama adanya gradualisme yang luar biasa dalam penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Kedua, dualisme yang tajam antara pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi. Ketiga, kontrol sentra yang kuat.

Keempat, keterbatasan tujuan sekolah pribumi dan peranan sekolah untuk menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan.

Kelima, prinsip korkondansi2 yang menyebabkan sekolah di Indonesia sama dengan di negeri Belanda. Keenam, tidak adanya perencanaan pendidikan yang

1

Choirul Mahfud, Politik Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016, 140.

2

(4)

3

sistematis untuk pendidikan anak pribumi.3 Keenam ciri tersebut merupakan bukti bahwa pemerintah kolonial melakukan politisasi pendidikan untuk kekuasaan.

Assegaf menyebutkan bahwa secara formal, Belanda mengklaim bahwa pihaknya bersikap netral terhadap agama dalam arti tidak mencampuri dan tidak

memihak kepada salah satu agama. Tetapi, dalam kenyataannya, pemerintah Belanda mengambil sikap diskriminatif terhadap pendidikan agama Islam dan memberikan lebih banyak kelonggaran kepada kalangan misionaris Kristen. Sikap Belanda ini juga berlaku dalam dunia pendidikan saat itu, misalnya Van Den Bosch ketika menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta mengeluarkan kebijakan pendidikan yang mengatur bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlakukan seperti sekolah pemerintah.4 Dalam hal ini, Belanda melakukan pengawasan yang ketat terkait dengan pendidikan agama Islam. Belanda sadar betul perlawanan besar terhadapnya akan terjadi ketika umat Islam yang terdidik ini bangkit. Oleh karenanya, berbagai hal yang dilakukan di madrasah dan pesantren harus dilaporkan kepada pihak pemerintah Belanda.

Selanjutnya, kalau kebijakan pemerintah kolonial Belanda mengandung misi Kritenisasi, pada masa pendudukan Jepang terjadi peralihan drastis. Hal ini dikarenakan titik tumpe perhatian Jepang bukan pada agama Kristen, melainkan untuk kepentingan Nipponisasi5 dan kepentingan perangnya. Jepang sadar

mengenai figur kyai atau ulama‟ yang berperan penting dan memiliki posisi panutan di kalangan masyarakat. Oleh karenanya, Jepang mencoba mengambil

hati dari para kyai dan ulama‟ untuk memberikan pengaruh bagi masyarakat.

Kalau Belanda mebcoba mengambil hati dari para priyayi, berbeda dengan Jepang yang mengambil hati kelompok Islam dan kelompok sekuler nasionalis. 6

3

Choirul Mahfud, Politik Pendidikan .... 141

4

Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Kurnia Alam, 2005, 17.

5

Nipponisasi adalah upaya dari Jepang untuk mengindoktrinasi masyarakat dengan cara menghapuskan nilai-nilai Barat dan Arab dan menggantikannya dengan budaya Jepang.

(Lihat Aiko Kurasawa, 1993: 344 dan Nouruzzaman Shiddiqi, 1984: 107) Gerakan Nipponisasi ini dilakukan dengan dua cara, yaitu menebarkan slogan Tiga A, yakni: Nippon pemimpin Asia, Nippon pelindung Asia, dan Nippon cahaya Asia; dan dengan pelarangan penggunaan bahasa Eropa (Inggris, Amerika dan Belanda) dan bahasa Arab yang diganti dengan bahasa Indonesia dan bahasa Nippon. (Abd. Rahman Assegaf,

Politik Pendidikan ... , 19-21)

6

(5)

4 D.Posisi Negara dan Agama di Indonesia

Kajian mengenai hubungan antara negara dan agama seolah tidak ada habisnya. Ada yang berpendapat bahwa negara dan agama harus menyatu, ada juga yang berpendapat harus terpisah. Abdul Mannan menyebutkan bahwa

hubungan antara negara dan agama ini menjadi kunci dalam sejarah peradaban umat manusia. Dia menyebutkan bahwa hubungan antar keduanya ini telah melahirkan kemajuan besar dan mala petaka besar. Tidak ada bedanya ketika negara bertahta di atas agama seperti pada pra abad pertengahan, agama bertahta di atas negara seperti pada abad pertengahan, dan juga ketika negara terpisah dari agama seperti pada pasca abad pertengahan atau abad modern sekarang ini.7

Secara garis besar, kajian mengenai hubungan antara agama dan negara ini melahirkan 3 golongan. Pertama, blok kontra, yaitu yang terang-terangan menolak hubungan antara negara dan agama. Kelompok ini mengatakan bahwa negara dan agama tidak saling berkaitan. Kalangan blok ini sering disebut sebagai kelompok sekuler yang tidak mencampurkan masalah-masalah agama dan negara.

Kedua, blok pro, yaitu yang tegas menyebutkan bahwa negara dan agama memiliki hubungan saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Kelompok ini biasa disebut sebagai kelompok formalis yang menyatakan bahwa ajaran agama tidak bisa dilaksanakan secara sempurna jika tidak didukung dengan sistem dalam negara. Ketiga, blok tengah, yaitu kelompok yang mencari titik temu antara dua kubu di atas. Kelompok ini berpendapat bahwa agama menjadi acuan dan pegangan dalam menjalankan proses kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Kelompok ini sering disebut sebagai kelompok substansialis yang mencoba meredam perpecahan antara kelompok sekuler dan formalis.8

Munawir Sjadzali membuat tipologi pemikiran politik Islam menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang beranggapan bahwa Islam adalah ajaran yang menyangkut hubungan antara Tuhan dengan manusia sekaligus menyangkut segala aspek kehidupannya, termasuk dalam kehidupan bernegara. Tokohnya antara lain Rasyid Ridha, Sayyid Qutb, dan Abu A‟la Al-Maududi. Kedua,

7 A d. Ma a ,

Islam da Negara , Islamuna, Volume 1, Number 2 (Desember 2014), 186.

8

(6)

5

kelompok yang menyatakan bahwa Islam hanya berurusan dengan masalah agama dan tidak bersangkut paut dengan urusan politik. Tokoh kelompok kedua ini

antara lain „Ali „Abd Al-Raziq dan Taha Husain. Ketiga, dimotori oleh Muhammad Husayn Haykal yang meyakini bahwa Islam bukanlah sebuah sistem

yang serba lengkap dan mengatur semua masalah kehidupan, namun juga tidak serta merta memisahkan urusan agama dengan politik secara dikotomis-konfrontatif.9

Selanjutnya, agama berperan sebagai sumber etika moral mempunyai kedudukan yang sangat penting karena berkaitan erat dengan perilaku seseorang dalam interaksi sosial kehidupannya, yang mana agama dijadikan sebagai alat ukur atau pembenaran (justifikasi) dalam setiap langkah kehidupan, baik itu interaksi terhadap sesama maupun kepada sumber agama tersebut. Sedangkan negara merupakan sebuah bangunan yang mencakup seluruh aturan mengenai tata kemasyarakatan yang mempunyai kewenangan dalam memaksakan setiap aturan yang dibuatnya kepada masyarakat itu. Di sini bisa saja aturan yang dibuat oleh negara sejalan dengan apa yang menjadi sumber acuan masyarakatnya (agama) tetapi bisa juga apa yang ditetapkan negara itu berlawanan atau tidak sejalan dengan agama tergantung bagaimana sistem yang dianut oleh sebuah negara tersebut, yang kemudian menimbulkan benturan-benturan antara agama dan negara. Persinggungan antara agama dan negara menimbulkan suatu hubungan yang kadang-kadang saling menguntungkan dan bisa jadi saling mencurigai dan bahkan bisa juga saling menindas.10

Agama yang sering ditampilkan adalah agama atas nama kelompok, lembaga atau apa pun namanya dengan kecenderungan kaum elite agama tersebut

cenderung menjadi corong penguasa, maka jadilah agama pada akhirnya yang tidak memiliki kekuatan apa pun. Seharusnya, agama menarik garis pisah yang jelas dari politik agar tidak terkooptasi dan disubordinasi. Ketika dikooptasi politik negara, agama hanya akan menjadi alat legitimasi penguasa. Agama pun akan membisu ketika ketidakadilan dan ketidakbenaran merajalela. Namun, di sisi

9 Nor Hasa , Aga a da Kekuasaa Politik Negara ,

Karsa, Volume 22, Number 2 (Desember 2014), 268.

10A d. Ma a ,

(7)

6

lain agama sebagai sebuah institusi dalam masyarakat harus pula mengoreksi politik agar hakikat sejati politik tetap terpelihara.11

Paradigma yang diterapkan oleh Rasulullah Saw dalam hubungan antara agama dan negara adalah paradigma simbolik yang saling berhubungan dan

membutuhkan. Paradigma ini tidak ingin menjadikan agama secara formal menjadi dasar negara (nation-state) karena negara terbentuk atas dasar pluralitas. Rasulullah Saw juga tidak menerapkan paradigma sekuleristik yang memisahkan agama dan negara. Justru yang terpenting adalah bagaimana menjalankan sistem politik kenegaraan untuk kemasalahan umat.12

Agama dan negara sesungguhnya memiliki fungsi yang sama bagi kehidupan manusia. Jika negara tugas pokoknya adalah mengatur dan memenuhi kesejahteraan manusia pada dimensi kekiniannya, agama berfungsi bagi manusia untuk bahagia dalam kehidupan kekinian dan masa depan bahkan sampai hidup lagi. Semestinya antara keduanya sejalan seiring. Meminjam istilah dari Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Syah Azis Perangin Angin yang menyebutkan bahwa agama dan kekuasaan (negara) adalah saudara kembar. Lebih lanjut, Al-Ghazali menyebutkan bahwa agama ibarat sebuah pondasi (asas) dan kekuasaan atau negara sebagai penjaganya.13 Ibarat sebuah bangunan, jika tidak ada pondasi maka akan roboh, dan juga sesuatu yang tidak ada penjaganya maka akan lenyap dan hilang.

Lahirnya pancasila sebagai falsafah hidup bernegara di Indonesia menjadi titik tengah pertemuan antara pendapat dari kaum formalis dan kaum sekuler.

Pancasila yang lebih cenderung sama dengan pemikiran kaum substansialis ini merupakan suatu anugerah dalam falsafah bangsa kaitannya dengan latar belakang

keanekaragaman bangsa Indonesia ini.14

Sebagai implikasi dari hal ini, Ali Riyadi menyampaikan bahwa Indonesia pada zaman Orde Baru pernah mengalami pergeseran hubungan antara Islam dan pemerintah yang semula adalah hubungan antagonistik menjadi hubungan saling

11

Nor Hasa , Aga a da ..., 269-270

12

Gugun El-Guya ie, Khilafah vs De okrasi: Relasi a tara Aga a da Kekuasaa , i Gugun El-Guyanie (ed.), Kekuasaan dan Agama, Yogyakarta: Obsesi Pers, 2009, 11.

13

“yah Azis Pera gi A gi , Negara da ..., 46-47.

14“ayfa Auliya A hidsti, Pa asila, Kekuasaa , da Politisasi Aga a dala Negara Budaya

(8)

7

akomodatif. Dia menyebutkan beberapa alasan terjadinya pergeseran ini, yaitu

pertama,dari kacamata pemerintah, Islam merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan. Jila Islam diletakkan di pinggiran, maka akan menimbulkan masalah politik yang cukup rumit. Kedua, adanya perubahan persepsi dari para pemimpin umat Islam yang semula bersiap reaktif. Perubahan persepsi ini terjadi ketika pemimpin umat Islam ini sadar bahwa sikap reaktifnya tidak memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Ketiga, di kalangan pemerintah terdapat sejumlah figur yang phobi terhadap Islam, sekalipun memiliki latar belakang agama yang cukup baik.15

Pengelompokan tiga tipologi pandangan mengenai politik Islam dan tiga golongan yang mengkaji mengenai hubungan antara negara dan agama sebagaimana disebutkan di atas ini lahir dikarenakan dalam Islam (dan juga agama lain) tidak menyebutkan secara jelas dan konkrit mengenai konsep negara menurut agama. Negara Madinah yang dibuat oleh Rasulullah Saw di tengah-tengah pluralitas masyarakat Madinah juga memiliki tafsiran berbeda dalam tataran kajian, dimana kaum formalis dan substansialis memberikan konsep suatu negara dengan landasan negara Madinah ini. Satu tatanan yang penting saat ini menurut pemakalah adalah tidak lagi mengeluarkan tenaga penuh untuk memikirkan konsep negara, tapi lebih cenderung untuk mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memajukan kehidupan bangsa dari segala aspek kehidupan seperti pendidikan, ekonomi, kedaulatan politik, kesehatan, dan lain-lain.

E.Perkembangan Kebijakan Pendidikan Agama Pra-2003

Kurikulum pendidikan itu selalu dinamis, senantiasa dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam faktor-faktor yang mendasarinya. Abd. Rahman Assegaf memberikan contoh seperti perubahan kurikulum di Indonesia. Ketika dalam masa penjajahan, kurikulum di Indonesia diorientasikan untuk kepentingan kolonial. Kemudian setelah merdeka, kurikulum tersebut diubah dan diselaraskan dengan kebutuhan bangsa Indonesia yang merdeka.16 Begitupun setelah merdeka,

15

Ali Riyadi, Politik Pendidikan: Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006, 26.

16

(9)

8

kurikulum pendidikan di Indonesia selalu berubah mengikuti kebutuhan dan arah masa depan bangsa Indonesia ini. Perubahan kurikulum di Indonesia pasca kemerdekaan terjadi dalam beberapa waktu, yaitu Rencana Pelajaran 1947, Rencana Pendidikan 1964, kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984,

kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2007, dan terakhir kurikulum 2013 ini.

(10)

9

Sebelum dirumuskannya kurikulum 1964, kurikulum Pendidikan Agama Islam diselenggarakan oleh masyarakat secara bervariasi. Sedangkan di Sekolah Negeri, sesuai dengan UUPP No. 4 Tahun 1950, pelaksanaannya sangat longgar. Pada era ini, jam pelajaran relatif minim dan tidak menentukan

kenaikan kelas. 17 2. Tahun 1964

Pada tahun 1964 ini, digulirkan regulasi tentang Rencana Pendidikan 1964 (Rentjana Pendidikan 1964) dimana pendidikan agama/budi pekerti dimasukkan dalam bidang studi perkembangan moral dan diintegrasikan antara pelajaran sejarah, ilmu bumi, dan kewarganegaraan. Bagi Sekolah Dasar (SD), kurikulum PAI pada tahun ini disusun oleh Departemen Agama setelah disetujui oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, atas usul instansi agama yang bersangkutan. Porsi pendidikan agama/budi pekerti sebanyak 5,9 % dari total pelajaran umum yang berjumlah 36 jam pelajaran per minggu untuk tiap kelas. Dari porsi 5,9 % tersebut, pelajaran agama/budi pekerti dialokasikan sebanyak 2 jam pelajaran per minggunya, kecuali kelas 1 yang hanya 1 jam pelajaran. 18

Untuk jenjang SMP, pendidikan agama juga diselenggarakan oleh Departemen Agama dengan beberapa ketentuan, yaituguru agama ditempatkan dan diangkat oleh Departemen Agama, rencana pelajaran agama dibuat oleh Departemen Agama dan disampaikan kepada sekolah-sekolah yang bersangkutan, dan jam pelajaran agama termasuk dalam daftar jam pelajaran

pada tiap-tiap sekolah. Sedangkan pada jenjang SMA, pendidikan agama/budi pekerti mendapatkan alokasi 2 jam pelajaran. Dalam Rencana Pelajaran 1964,

pelajaran agama merupakan pelajaran alternatif, yaitu ketika siswa tidak mengikuti pelajaran agama, maka dia wajib ikut pelajaran budi pekerti. 19

C.E. Beeby menuturkan sebagaimana yang dikutip oleh Abd. Rahman Assegaf bahwa kurikulum 1964 ini sangat bercorak politis-ideologis yang didasarkan atas doktrin Demokrasi Terpimpin Soekarno. Hal ini nampak dari pengaruh ide Manipol USDEK yang sangat kuat dalam kurikulum ini. Selain

17

Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan ..., 137

18

Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan ..., 137-138.

19

(11)

10

itu, di jenjang SD, mata pelajaran yang disusun mengikuti konsep Sapta Usaha Tama dan Pancawardhana, sedangkan di jenjang SMP mengarahkan anak tentang Rasa/Karya yang bertujuan untuk membiasakan siswa memenuhi tuntutan sosialisme Indonesia. Selain itu, sistem penjurusan di SMA cenderung

memprioritaskan pembagian jurusan Sos-Bud dan Pas-Pal, serta kurang konsentrasi pada bidang agama.20

Assegaf juga menuturkan bahwa sejak tahun 1964 ini sudah terjadi dualisme dalam kebijakan pendidikan nasional. Dualisme kebijakan ini adalah kebijakan yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dengan Departemen Agama. Hal ini nampak dari tidak adanya aturan eksplisit mengenai pendidikan agama serta ketetapan yang mengaturnya dalam Rencana Pendidikan 1964. Pada waktu ini, pendidikan agama diatur tersendiri oleh Departemen Agama. 21

3. Tahun 1968

Pada tahun 1968 ini, terbentuklah kurikulum 1968 yang menjadikan pelajaran agama menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa dari jenjang SD sampai Perguruan Tinggi (PT). Pada tahun ini terjadi perubahan kurikulum yang sangat drastis, terutama disebabkan oleh dibubarkannya PKI pada tahun 1965. Dampak dari pembubaran ini adalah mata pelajaran yang mengandung ide Manipol diganti dengan pemurnian Pancasila. Hal ini, menurut Assegaf, mengakibatkan kelompok pelajaran yang menjabarkan ide Manipol dan Rasa/Karya diganti dengan tiga kelompok mata pelajaran, yaitu kelompok

pembinaan jiwa pancasila, pembinaan pengetahuan dasar, dan pembinaan kecakapan khusus. Selain itu, pada kurikulum ini sudah mulai disebutkan

rincian bahan, tujuan, didaktik/metodik serta petunjuk bagi guru yang mengajar agama.22

4. Tahun 1975

Pergantian pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru memberikan perubahan tatanan dalam dunia pendidikan. Salah satunya adalah diterbitkannya kurikulum 1975. Dalam kurikulum 1975 yang menjadi pijakan

20

Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan ..., 139.

21

Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan ..., 140.

22

(12)

11

bagi kurikulum pada masa-masa berikutnya ini menggunakan beberapa prinsip, yaitu prinsip fleksibilitas program, efisiensi dan efektifitas, berorientasi pada tujuan, kontinuitas, dan prinsip pendidikan seumur hidup.

Dalam kurikulum 1975 ini, ada beberapa kebijakan yang berkaitan

dengan pendidikan agama, yaituadanya upaya peningkatan mutu pendidikan di madrasah, pondok pesantren, IAIN, kurikulum PAI dari SD, SMP, SMA, serta peningkatan mutu berkaitan dengan tenaga kependidikan yang dilakukan oleh Departemen Agama. Pada tahun ini juga terbentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang peningkatan mutu pendidikan di madrasah terkait pendidikan agama yang dijabarkan ke dalam beberapa mata pelajaran, yaitu Al-Qur‟an Hadits, Fiqih, Aqidah Akhlaq, Bahasa Arab, dan Sejarah Kebudayaan Islam.23

SKB Tiga Menteri, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri ini memberikan angin segar terhadap pendidikan agam di Indonesia. Salah satu implikasinya adalah pendidikan madrasah mendapat pengakuan termasuk bagian dari sistem pendidikan nasional dan alumni madrasah setara dengan alumni sekolah umum dalam kaitannya dengan pekerjaan. Selain itu juga distandarkannya kurikulum madrasah dengan lembaga pendidikan umum dengan alokasi 70 % pelajaran umum dan 30 % pelajaran agama dan adanya kesetaraan ijazah madrasah dan sekolah umum. Implikasi lainnya dari SKB Tiga Menteri ini adalah siswa madrasah bisa pindah ke sekolah umum dan siswa lulusan madrasah bisa

melanjutkan ke sekolah umum pada jenjang atasnya.24 5. Tahun 1984

Pada tahun 1984, kurikulum 1975 disempurnakan menjadi kurikulum 1984. Pada kurikulum ini, mulai dikembangan keaktifan siswa melalui Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau mengutamakan kesertaan siswa dalam memperoleh hasil belajar (student-centered). Pada kurikulum ini, ada dua

23

Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan ..., 144-145.

24

Irham, Pesantren dan Perkembangan Politik Pendidikan Agama di Indonesia , Ta’lim,

(13)

12

pengelompokan bidang studi, yaitu program inti dan program pilihan. Pendidikan Agama Islam (PAI) masuk dalam kelompok program inti. 25

6. Tahun 1994

Pengembangan kurikulum 1984 ke 1994 ini meliputi beberapa aspek

fundamental, yaitu mulai diterapkannya mata pelajaran muatan lokal dan menerapkan konsep link and match (keterkaitan dan keterpaduan antara bidang pendidikan dengan bidang pembangunan seperti dunia kerja, dll). Selain itu, pada kurikulum ini juga ada peningkatan wajib belajar sembilan tahun sejak 2 Mei 1994 dari yang sebelumnya wajib belajar anak usia 7-12 tahun untuk masuk ke SD.26

Demikian penjelasan mengenai perubahan berbagai kurikulum pendidikan sebelum tahun 2003 serta berbagai kebijakannya yang selain sesuai dengan tuntutan zaman, kebijakan ini juga sarat akan makna politik dan kepentingan. Dalam perjalanannya, kurikulum di Indonesia ada kalanya mengalam perubahan, ada kalanya juga hanya mangalami penyempurnaan.

F. Perkembangan Kebijakan Pendidikan Agama Pasca 2003

Munculnya Undang-undang mengenai Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 memberikan perubahan tersendiri dalam sistem dan kurikulum pendidikan di Indonesia. Analisis kebijakan pendidikan Islam melihat berbagai sisi dari kebijakan. Sistem pendidikan nasional atau sirdiknas merupakan acuan dalam pembuatan analisis kebijakan dan menejemen pendidikan baik tingkat

nasional, regional, maupun lokal di level sekolah. Tujuannya untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang mampu berperan sebagai subjek dalam

pembangunan nasional. Melalui kebijakan pendidikan yang baik dan tepat sasaran diharapkan dapat lahir sumberdaya manusia yang berkualitas, berkarakter berkompetensi, dan berdaya saing tinggi baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.

25

Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan ..., 148.

26

(14)

13

Dalam sistem pendidikan di Indonesia, dikenal beberapa jenis pendidikan. Sesuai dengan UU no 20/2003 pada pasal 14, dinyatakan bahwa jenis pendidikan pendidikan tersebut antara lain pendidikan umum, pendidikan khusus, pendidikan kejuruan, pendidikan akademis, pendidikan profesi, pendidikan vokasi dan

pendidikan keagamaan. Secara garis besar, kewenangan pembinaan pendidikan umum merupakan wewenang Kemendikbud sedangkan kewenangan pembinaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan (yang berciri, bernuansa agama) merupakan kewenangan Kementrian Agama. Hal itu telah diatur dalam PP No 55 Tahun 2007. Penyelenggaraan pendidikan agama bagi semua warga negara di Indonesia dilindungi oleh negara dalam berbagai undang-undang. Terutama sejalan dengan UUD 1945, dan pancasila. Bahkan juga telah amanahkan oleh pasal 12 UU Sisdiknas, pasal 4 PP No55/2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, dan diperkuat lagi oleh Permen Agama No 16/2007 inti dari semua itu adalah pendidikan agama merupakan hak mendasar dari pendidikan Indonesia yang perludiperhatikan dan dijamin Negara.

Sebagaimana diketahui bahwa kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut:

1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan meningkatan anggaran pendidikan secara berarti

2. Meningkatkan kemampuan akademis dan profesional serta meningkatkan

jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.

(15)

14

4. Memberdayakan pendidikan sekolah maupunpendidikan luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana prasarana memadai

5. Melakukan pembaharuan dan pemanfaatan sistem pendidikan nasioanal berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen

6. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efesien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni

7. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sendidri mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh dan melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lingkungan sesuai dengan potensinya

8. Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknoligi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi guna meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.

Adapun detail rincian dari berbagai kebijakan pendidikan agama setelah tahun 2003 bisa dilihat dalam restra kebijakan pasca Orde Baru, yaitu sebagai berikut:

1. Rencana dan Strategi (Restra) Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia Pasca

Orde Baru.

(16)

15

tentang standar nasional pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dan lainnya.

Dalam konteks ini, membicarakan kebijakan pendidikan Islam di Indonesia dalam naungan kementrian agama sebagai pihak yang

bertanggungjawab, selalu tidak lepas dengan memahami kebijakan pendidikan nasional yang dikelola Kemendikbud. Selama kurun waktu 3 tahun terakhir, Kemendikbud telah menyususn rencana startegis kemendiknas 2010-2014. Rencana strategi kementrian pendidikan nasional tahun 2010-2014 yang disusun berdasarkan undang-undang No.17 tahun 2007 tentang rencana pembangunan jangka panjang nasional tahun 2005-2025,

Restra Kemendiknas 2014 mengacu pada visi RPJMN 2010-2014 yaitu Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan, arahan perisden untuk memperhatikan aspek change and continuity, de bottlenecking, dan enhancement progam pembangunan pendidikan serta rencana pembangunan pendidikan nasional jangka panjang 2005-2025 yang telah diajabarkan kedalam empat tema pembangunan pendidikan, yaitu peningkatan kapasitas dan modernisasi pelayanan (2010-2015), penguatan daya saing regional (2015-2020) dan penguatan daya saing internasional (2020-2025).

Sebagai informasi dari website pendidikan Islam Kemenag, dalam pencapaian tujuan progam pendidikan agama Islam ini dilakukan melalui sejumlah kegiatan stategis sebagai berikut: pertama, dukungan menejemen dan pelaksanaan tugas tegnis lainnya direktorat jendral pendidikan Islam. Kedua, peningkatan akses dan mutu Madrasah Ibtidaiyah.

Ketiga, peningkatan akses dan mutu Madrasah Tsanawiyah. Keempat,

peningkatan akses dan mutu madrasah aliyah. Kelima menyediakan subsidi pendidikan madrasah bermutu. Keenam, peningkatan mutu dan kesejahteraan pendidikan dan tenaga kependidikan madrsah. Ketujuh, adalah berkaitan dengan peningkatan mutu Perguruan Tinggi Agama Islam. Kedelapan,

(17)

16

Kesebelas, penyediaan subsidi pendidikan keagamaan Islam bermutu.

Keduabelas, peningkatan akses mutu pendidikan agama Islam pada sekolah.

Ketigabelas, peningkatan mutu dan kesejahteraan pendidikan dan pengawasan pendidikan agama Islam. Ini akan dicapai antara lain melalui peningkatan

kompetensi dan kualifikasi pendidikan tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan agama Islam, penyediaan beasiswa dan bantuan pendidikan lainnya bagi guru, peningkatan wawasan guru melalui progam pertukaran gru PAI.

2. Analisis Kebijakan Kurikulum Pendidikan Islam

Hal yang paling sensitif dalam konteks kebijakan pendidikan Islam di Indonesia pasca orde baru, diantaranya adalah perubahan kurikulum. Kurikulum pendidikan Islam tidak bisa dilepas kan dengan kurikulum pendidikan nasional, karena kependidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasional. Bila kurikulum pendidikan nasional berubah maka berubahlah kurikulum pendidikan Islam di Indonesia.

Di awal tahun 2013 perubahan kurikulum pun terjadi menurut beberapa pemerhati pendididkan yang menolak kurikulum 2013, pendidikan kita jadi tidak maju dan terus bermasalah diantaranyakarena perubahan kurikulum yang sering kali lebih didasari motif kekuasaan dari pada proses pencerdasan bangsa.

Mengingat posisi kurikulum dianggap penting penting untuk melakukan perubahan paradikma dalam pendidikan di suatu negara, khususnya di negeri

ini, maka seringkali kurikulum dijadikan objek politik pendidikan. Kurikulum pendidikan Islam sebagai bagian dari pendidikan nasional, secara langsung,

(18)

17

berlebihan pda anak didik. Bahan yang diajarkan tersa berat tetapi tidak jelas

apakah anak mendapatkan apa yang seharusnya diperoleh dari pendidikan27. Implementasi kebijakan kurikulum pendidikan Islam di Indonesia pasca orde baru selalu tidak semudah yang dibayangkan oleh pembuat kebijakan. Apalagi realitas pendidikan Islam di Indonesia tidak sama dengan apa yang terjadi dalam lembaga pendidikan non Islam atau umum. Dalam konteks inilah, proses adaptasi, modifikasi dan sosialisasi kurikulum pendidikan nasional selalu memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan kurikulum pendidkan Islam di Indonesia.

Dari ketentuan kebijakan kurikulum dalam UU Sikdiknas No 20 tahun 2003 dapat dipahami bahwa perubahan kurikulum memang tidak berarti bertentangan dengan kebijakan yang dibuat sebelumnya. Hanya saja upaya

perubahan kurikulum di Indonesia sering kali dipersoalkan karena lebih dianggap mencerminkan kepentingan elit penguasa ketimbang kepentingan masyarakat pendidikan secara keseluruhan.

Persepsi itu itu muncul setidaknya karena setiap ada proses perubahan kurikulum dianggap kurang ada perencanaan yang matang, tanpa evaluasi yang komprehensif, belum adanya kesinambungan, terlalu cepat dan bahkan disinyalir terlalu politis. Akhirnya kurang maksimal dalam implementasi. Hal yang lebih penting adalah bagaimana perubahan kurikulum perlu juga dinilai dari subtansi, signifikasi, implementasi, implikasi dan evaluasi komprehensif. 3. Analisis Kebijakan Anggaran Pendidikan Islam

Kebijakan anggaran pendidikan Islam di Indonesia pasca orde baru masih berada dalam pengelolaan kementrian agama. Secara kuantitas, jumlah anggaran yang diperoleh masih dalam kategori rendah ketimnbang anggaran nasional yang diterima oleh kementrian pendidikan dan kebudayaan. Oleh karena itu rendahnya anggaran pendidikan Islam di kemenag semacam itu tentu tentu bukan tanpa alasan dan argumentasi dari pemerintah dan pera pembuat kebijakan. Anggaran untuk pendidikan nasional pun juga diakui masih kurang oleh Kemendikbud dan para pemerhati pendidikan di Indonesia.

27

(19)

18

Masalah yang sering muncul terkait anggaran pendidikan Islam adalah bantuan operasional sekolah. Dana bos merupakan kebijakan bantuan institusi ditingkat sekolah di Indonesia pasca ordebaru. Tahun 2012 dana BOS mengalami perubahan mekanisme penyuluhan dana. Tahun 2011 penyaluran

BOS dilakukan melalui transfer kedaerah kabupaten atau kota, namun mulai tahun 2012 dana BOS disalurkan dengan mekanisme yang sama, tetapi melalui pemerintah provinsi. Namun masalahnya dari kebijakan ini seringkali pada waktu yang sering terlambat dan prosedur cara pengirimannya.

Secara umum, implementasi kebijakan anggaran pendidikan Islam cenderung diskriminatif, karena anggaran yang diterima masih saja berbeda dan belum sesuai dengan amanat konstitusi. Sebagaimana diketahui anggaran pendidikan Islam adalah bagian dari anggaran yang dikelola oleh kementerian agama. Setelah rezim politik orde baru digantikan dengan era reformasi, kebijakan anggaran pendidikan Islam terus mengalami perkembangan dan perubahan yang lebih baik. Namun, bukan berarti sudah tidak ada lagi masalh anggaran dalam pendidikan Islam di negeri ini.

Dalam konteks inilah, kompleksitas masalah anggaran pendidikan, pemerintah dan semua pihak perlu memikirkan lagi dalam mendesai ulang kebijakan anggaran pendidikan Islam. Selain itu juga soal bagaimana mengelola dana dan anggaran pendidikan Islam di Indonesia.

4. Analisis Kebijakan Kelembagaan Pendidikan Islam

Salah satu problem kebijakan kelembagaan pendidikan Islam di

Indonesia yang terus dipersoalkan hingga saat ini yaitu dikotomi pendidikan umum. Dikotomi sering kali diartikan secara harafiah sebagai usaha

pemisahan. Dalam peraktiknya, dikotomi pendidikan Islam mewujudkan pemisahan kebijakan pendidkkan Islam dengan pendidikan umum dan semacamnya. Dalam banyak hal, kebijakan pemisahan tersebut, cenderung merugikan daripada mengntungkan, dengan berbagai argumentasi yang dipakai dalam kaitannya dengan pembuatan sebuah kebijakan.

(20)

19

naungan kementrian pendidikan dan kebudayaan. Dalam konteks ini posisi madrasah kurang beruntung dan relatif lemah.

Dalam aspek luas, perlu juga dipahami bahwa ruang lingkup pendidikan Islam sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003

tentang sistem pendidikan nasional dan peraturan pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, pendidikan Islam dapat diklasifikasikan kedalam tiga jenis.

a. Pendidikan agama diselenggarakan dalam bentuk pendidikan agama Islam di satuan pendidikan pada semua jenjang dan jalur pendidikan

b. Pendidikan umum berciri pada Islam pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pada jalur formal dan non formal

(21)

20 G.Simpulan

1. Kebijakan pemerintah kolonial terhadap pendidikan agama sangat sarat akan kepentingan politik. Kolonial sadar bahwa pendidikan agama menanamkan sikap-sikap yang mengancam kekuasaan pemerintah kolonial. Oleh karenanya, berbagai

kebijakan dari kolonial ini dibuat agar pendidikan agama tidak berkembang. 2. Agama (khususnya Islam) tidak memberikan konsep negara secara detail. Oleh

karenanya, berbagai kajian mengenai hubungan antara negara dan agama masih berlangsung sampai abad modern. Berbagai kajian ini membentuk berbagai 3 golongan, yaitu golongan yang berpendapat bahwa negara dan agama adalah dua hal yang terpisah, golongan yang berpendapat sebaliknya yaitu negara dan agama adalah dua hal yang saling berkaitan erat, serta golongan ketika yang mencoba berada di titik tengah antar keduanya.

3. Kebijakan pemerintah terkait dengan pendidikan agama sebelum tahun 2003 ditandai dengan berubah dan berkembangnya kurikulum pendidikan nasional. Dari adanya pengaruh demokrasi terpimpinnya Soekarno dalam pendidikan, pengaruh dibubarkannya PKI terhadap dunia pendidikan, serta mulai adanya dualisme kebijakan pendidikan nasional, yaitu adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dengan Departemen Agama.

4. Kebijakan pemerintah terkait dengan pendidikan setelah tahun 2003 sangat dipengaruhi oleh Undang-undang yang mengatur Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas) tahun 2003. Berbagai kebijakan pendidikan Islam setelah tahun 2003

(22)

21 H.Daftar Pustaka

Angin, Syah Azis Perangin, “Negara dan Agama dalam Panggung Sejarah dan Ideologi”, in Gugun El-Guyanie (ed.), Kekuasaan dan Agama, Yogyakarta: Obsesi Pers, 2009: 39-49.

Assegaf, Abd. Rahman, Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Kurnia Alam, 2005.

Gugun El-Guyanie, “Khilafah vs Demokrasi: Relasi antara Agama dan

Kekuasaan”, in Gugun El-Guyanie (ed.), Kekuasaan dan Agama, Yogyakarta: Obsesi Pers, 2009: 3-12

Hasan, Nor, “Agama dan Kekuasaan Politik Negara”, Karsa 22 (2014): 261-271.

Irham, “Pesantren dan Perkembangan Politik Pendidikan Agama di Indonesia”, Ta’lim 13 (2015): 93-118

Mahfud, Choirul, Politik Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016.

Mannan, Abd, “Islam dan Negara”, Islamuna 1 (2014): 185-193.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan.

Riyadi, Ali, Politik Pendidikan: Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional,

Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006.

Sayfa Auliya Achidsti, “Pancasila, Kekuasaan, dan Politisasi Agama dalam

Negara Budaya Patron-Klien”, in Gugun El-Guyanie (ed.), Kekuasaan dan Agama, Yogyakarta: Obsesi Pers, 2009: 109-117.

Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Referensi

Dokumen terkait

Pada Tabel 1 diketahui bahwa konduktivitas termal karbon aktif yang dipadatkan lebih besar daripada karbon aktif yang berbentuk butiran, dengan demikian laju panas

Merk/ Type Ukuran/ CC Bahan Tahun Pem- belian Nomor Keterangan Jumlah. Barang Kondisi

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini yaitu warga masyarakata Desa Datengan lebih memahami tentang bunga telang

Produk hasil pengembangan ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu produk dapat menyesuaikan dengan layar android yang dimiliki dan media pembelajaran ini dapat digunakan

Penelitian ini memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam penulisan, maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahan yang akan diteliti. Berdasarkan

Untuk itu perlu dilakukan penelitian pengaruh pemberian ekstrak teh hijau (sebagai antioksidan) terhadap potensial membran sel telur ikan nila ( Oreochromis Niloticus ) yang

Pemberian edukasi gizi kepada pasien dan keluarga pasien mengenai diet yang diberikan (jenis diet, tujuan diet, syarat diet, makanan dianjurkan dan makanan tidak