• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA. masalah penelitian seperti teori mengenai proyek, supply chain dan risiko. Kajian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1 BAB II KAJIAN PUSTAKA. masalah penelitian seperti teori mengenai proyek, supply chain dan risiko. Kajian"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

7

Pada bab ini akan dilakukakan kajian kepustakaan yang relevan dengan masalah penelitian seperti teori mengenai proyek, supply chain dan risiko. Kajian pustaka berfungsi untuk membangun konsep dan teori yang akan menjadi dasar studi. Konsep dan teori yang dikaji berdasarkan teori dari literatur yang tersedia, buku dan jurnal-jurnal penelitian terdahulu.

1.1 Perbandingan Proyek Konstruksi dan Industri Manufaktur

Supply chain dimulai dari industri manufaktur dan kemudian diadopsi dalam proyek konstruksi. Adanya perbedaan definisi proyek konstruksi dan industri manufaktur akan membawa perbedaan dalam sistem supply chain yang terjadi. Oleh karena itu diperlukan pengertian mengenai perbedaan antara proyek konstruksi dan industri manufaktur.

Proyek adalah kegiatan dengan tujuan tertentu yang dibatasi oleh waktu dan sumber daya yang terbatas. Konstruksi merupakan kegiatan membangun suatu bangunan. Sehingga proyek konstruksi adalah suatu kegiatan untuk mencapai suatu hasil dalam bentuk bangunan atau infrastruktur (Norken et al., 2012). Proyek gedung adalah salah satu bentuk proyek konstruksi. Menurut UU No 28, 2002 pasal 1 ayat 1 tentang bangunan gedung menyebutkan definisi bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian/seluruhnya berada di atas/di dalam tanah/air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatan, baik untuk

(2)

hunian/tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan social, budaya, maupun kegiatan khusus.

Dari gambaran diatas maka dapat dilihat bahwa salah satu karakteristik proyek konstruksi adalah tidak berulang, dengan proses yang tidak sama di setiap proyek. Hal ini diakibatkan oleh kondisi yang mempengaruhi proses suatu proyek konstruksi berbeda satu dengan yang lain. Proses konstruksi dari awal hingga akhir proyek sangat kompleks sehingga membutuhkan banyak tenaga yang memiliki berbagai keterampilan, komitmen dan koordinasi dari berbagai unsur yang berbeda dengan kegiatan-kegiatan yang saling terkait (Norken et al., 2012).

Menurut Siti (1999) dalam Yustiarini (2007) proyek konstruksi adalah suatu usaha di sektor ekonomi yang bertransformasi berupa perencanaan, desain, keuangan, procurement, pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan dari berbagai sumber daya yang menghasilkan fasilitas dan prasarana ekonomi dan sosial. Proyek konstruksi bersifat sementara dalam mengerjakan suatu pekerjaan untuk menghasilkan produk atau service yang unik.. Menurut Wahana (2001) dalam Yustiarini (2007) proyek konstruksi adalah rangkaian kegiatan dalam mengolah sumber daya proyek berupa material, peralatan, tenaga kerja menjadi suatu hasil kegiatan konstruksi. Sehingga proyek konstruksi merupakan gabungan dari berbagai sumberdaya dan serangkaian kegiatan yang dihimpun dalam suatu wadah organisasi sementara untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam Rahmadi (2008) disebutkan bahwa karakteristik proyek konstruksi diantaranya sebagai berikut :

(3)

2. Jangka waktu kegiatan terbatas.

3. Rangkaian kegiatan yang terjadi tidak berulang sehingga menghasilkan produk yang unik.

4. Memiliki tujuan yang spesifik, produk akhir atau hasil kerja akhir.

Sedangkan industri manufakturmemiliki karakteristik tingkat pengulangan yang tinggi dan proses produksi yang relatif panjang. Sehingga jika dibandingkan, industri manufaktur dan proyek konstruksi memiliki perbedaan dalam hal kompleksitas, ukuran, jadwal, maupun biaya yang dibutuhkan seperti yang terangkum dalam Table 2.1 berikut ini.

Table 1.1 Perbedaan Kegiatan Proyek Konstruksi dan Kegiatan Operasional

No Kegiatan Proyek Konstruksi Kegiatan Operasional Manufaktur

1 Bercorak dinamis, tidak rutin Berulang-ulang, rutin

2 Siklus relative pendek Berlangsung dalam jangka panjang 3 Intensitas kegiatan di dalam siklus

proyek konstruksi berubah-ubah

Intensitas kegiatan relative sama 4 Kegiatan harus diselesaikan

berdasarkan anggaran dan jadwal yang telah ditentukan

Batasan anggaran dan jadwal tidak setajam seperti proyek konstruksi 5 Terdiri dari berbagai macam

kegiatan yang memerlukan berbagai macam disiplin ilmu

Macam kegiatan tidak terlalu banyak

6 Keperluan sumber daya berubah baik macam maupun volumenya

Macam dan volume keperluan sumber daya tidak terlalu banyak Sumber : Rahmadi (2008)

(4)

1.2 Poject Life Cycle

Siklus hidup proyek konstruksi merupakan suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana sebuah proyek direncanakan, dikontrol, dan diawasi sejak proyek disepakati untuk dikerjakan hingga tujuan akhir proyek tercapai. Siklus hidup proyek (project life cycle) terdiri dari 4 tahap (Westland, 2007) seperti pada Gambar 2.1. Supply chain dalam proyek kontruksi terjadi dalam setiap siklus hidup proyek.

Sumber : (Westland, 2007) 1. Project Initiation

Dalam tahap ini supply chain pada proyek konstruksi dimulai dari adanya kebutuhan owner yang diteruskan kepada pihak lain seperti konsultan, kontraktor dan pihak lain yang terkait yang saling bekerjasama untuk dapat menterjemahkan keinginan owner dalam proyek konstruksi. Tahap pertama dalam inisiai proyek adalah mengembangkan suatu kasus dalam bisnis

(5)

(develop a business case), permasalahan yang ingin diselesaikan akan diidentifikasi dan mendifiniskan beberapa pilihan solusi untuk menyelesaikan permasalahan. Tahap kedua adalah melakukan studi kelayakan (undertake a feasibility study) yang dilakukan untuk menilai setiap kemungkinan yang terjadi, apakah biaya yang dikeluarkan wajar, apakah ada solusi dalam permasalahan, risiko apa yang bisa diterima atau dihindari, isu yang sedang berkembang. Tahap ketiga adalah menetapkan kerangka acuan (Establish the terms of reference) untuk menentukan visi, tujuan, lingkup pekerjaan dalam proyek baru. Tahap ke empat adalah membuat tim proyek (appoint the project team). Setelah itu berikutnya adalah membuat kantor proyek (set up project office) dan terakhir adalah tahap peninjauan ulang (perform a phase review) untuk memastikan bahwa proyek ini sesuai dengan tujuan yang di tetapkan. 2. Project Planning

Ketika ruang lingkup proyek telah ditetapkan dan tim proyek terbentuk, maka berikutnya masuk pada tahap perencanaan proyek (project planning). Beberapa kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah membuat project plan, resource plan, financial plan, quality plan, risk plan, an acceptance plan, communication plan, procurement plan, contract the supplier dan diakhir melakukan peninjauan kembali (perform a phase review). Tahap perencanaan proyek sangat penting didalam supply chain secara khusus bagi main kontraktor yang merupakan pelaku utama dalam supply chain proyek konstruksi karena akan berhubungan dengan banyak pihak yang akan menjadi

(6)

bagian dalam pelaksanaan proyek nantinya. Perencanaan yang baik akan menolong kontraktor untuk dapat menghasilkan kinerja yang baik.

3. Project execution

Setelah tahap perencanaan dilakukan berikutnya memasuki tahap eksekusi atau pelaksanaan proyek. Tahap pelaksanaan dan kontrol biasanya dijalankan bersamaan, tahap ini merupakan tahap dilaksanakannya proyek, mulai dari pembelanjaan sampai konstruksi yang merupakan output dari tahap perencanaan. Output dari tahap ini diantaranya melakukan manajemen waktu , manajemen biaya, manajemen kualitas, manajemen perubahan, manajemen risiko, manajemen penanggulangan masalah yang ada, manajemen pengadaan, manajemen penerimaan dan manajemen komunikasi. Kontraktor akan berhubungan secara langsung dengan pelaku supply chain di bawahnya seperti subkontraktor, supplier dan labour. Sehingga diperlukan kontrol yang baik dalam tahap ini agar diperoleh hasil proyek yang maksimal.

4. Project Closure

Tahap closing atau penyelesaian proyek merupakan tahap akhir dari sebuah proyek, tahap ini terdiri dari serah terima dan masa perawatan. Serah terima umumnya dibagi dua tahap, tahap pertama setelah pekerjaan konstruksi selesai dan siap digunakan maka kontaktor akan menyerahkan proyek tersebut kepada owner atau konsumen akhir. Begitu juga dengan pelaku di bawah kontraktor akan melakukan serah terima pekerjaan kepada kontraktor ketika pekerjaan yag menjadi bagiannya diselesaikan. Output dari tahap ini adalah final

(7)

dokumen yang berisikan semua dokumen kontrol dalam tahap konstruksi, gambar final (as built drawing), manual operasi dan berita acara serah terima.

1.3 Supply Chain (Rantai Pasok)

Supply chain manajement (SCM) berawal dari kegiatan logistik militer yang sangat berperan dalam menentukan kemenangan perang (Siahaya, 2013). Teknik logistik kemudian dipakai dalam kegiatan pengiriman barang dan terjadi kerjasama antara perusahaan pengiriman barang dengan gudang. Perusahaan mulai mencari cara untuk menurunkan biaya produksi. Perusahaan multinasional memindahkan pabrik ke Negara lain yang mempunyai biaya produksi lebih murah. Pada saat muncul teknologi informasi ilmu logistik berkembang lebih pesat dan lebih efisien melalui komunikasi dan kolaborasi sehingga dapat menekan biaya produksi, meningkatkan kualitas dan mengurangi kesalahan manusia. Ilmu logistik berkembang menjadi satu mata rantai pasok dengan pendekatan melalui sistem integral, meliputi komponen pemasok, proses pengadaan, proses produksi, penyimpanan, transportasi dan distribusi serta retailer yang dioptimalkan secara kemitraan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan (Siahaya, 2013).

Konsep supply chain merupakan konsep yang relatif baru dalam melihat persoalan logistik perusahaan. Dalam konsep lama/tradisional melihat logistik lebih sebagai masalah internal perusahaan sendiri dalam mengelola material dan pemecahannya. Sedangkan dalam konsep baru, masalah logistik dilihat sebagai masalah yang lebih luas yang terbentang sejak dari bahan dasar sampai barang

(8)

jadi yang dipakai konsumen akhir, yang merupakan mata rantai penyediaan barang (Rahmadi, 2008).

Konsep supply chain dimulai dalam industri manufaktur. Perkembangan supply chain berasal dari pengembangan dalam sistem produksi Toyota oleh Mr.Taiichi Ohno pada tahun 1970-an, yang bertujuan untuk menghilangkan pemborosan dalam produksi (waste) yang tersembunyi dalam perusahaan (Womack & Jones, 1996). Kemudian berkembanglah konsep lean production, yang mampu mengubah paradigma produksi automotive hingga mencapai efisiensi yang tinggi. Sejalan dengan itu tuntutan pada efisiensi memaksa suatu perusahaan untuk membentuk struktur organisasi yang datar, dengan mengeluarkan fungsi-fungsi pendukungnya dan mendorong perusahaan untuk lebih fokus pada apa yang menjadi bisnis intinya dengan memberikan aktifitas pendukungnya pada pihak lain. Perkembangan ini mengakibatkan produk atau jasa yang dihasilkan oleh suatu bisnis saat ini, bukan lagi merupakan output dari satu organisasi secara individu, namun merupakan output dari suatu rangkaian organisasi yang disebut sebagai supply chain (Maylor, 2003) dalam (Susilawati, 2005).

Supply chain adalah suatu jaringan kerjasama dalam menyediakan material atau bahan baku yang melibatkan beberapa pihak. Material tersebut meliputi bahan mentah maupun bahan setengah jadi. Secara umum pihak-pihak yang terlibat dalam suatu supply chain adalah supplier, pusat produksi, pusat distribusi, gudang, pusat penjualan dan lain-lain. Adapun pertimbangan utama

(9)

Gambar 1.2 Gambaran Umum Supply Chain Dalam Proses Produksi dalam menentukan kinerja supply chain adalah total biaya dan waktu yang minimum sesuai kualitas yang disyaratkan.

Menurut Pujawan (2007) Supply chain dapat didefinisikan sebagai suatu jaringan yang terdiri atas beberapa perusahaan (meliputi Supplier, manufacturer, distributor dan retailer) yang bekerja sama yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam memenuhi permintaan pelanggan, dimana perusahaan tersebut melakukan fungsi pengadaan material menjadi produk setengah jadi dan produk jadi, serta distribusi produk jadi tersebut hingga ke End- Costumer. Sedangkan Christopher (1992) menyebutkan supply chain adalah keterlibatan jaringan organisasi mulai dari hubungan hulu (upstream) hingga ke hilir (downstream), dalam proses dan kegiatan yang berbeda untuk menghasilkan layanan dan jasa yang bernilai hingga sampai kepada konsumen terakhir. Dalam supply chain , produk yang berupa barang dan jasa, dialirkan dari pemasok paling awal hingga konsumen paling akhir dan juga terjadi aliran informasi dan aliran kas, mulai dari konsumen paling akhir hingga ke pemasok paling awal.

(10)

1.4 Construction Supply Chain (CSC)

Penerapan konsep supply chain pada dunia konstruksi relatif baru. Hal ini disebabkan karena tingginya fragmentasi dalam industri konstruksi dimana masing-masing pihak memfokuskan dirinya melakukan pekerjaan yang menjadi kemampuan utamanya dan menyerahkan kegiatan lainnya kepada pihak lain (sub-kontraktor atau spesialis). Oleh karena itu dengan adanya banyak item pekerjaan dalam proyek konstruksi telah membentuk satu jaringan supply chain yang kompleks.

Menurut Ribeiro & Lopes (2001) supply chain dalam proyek konstruksi didefinisikan sebagai suatu proses dari sekumpulan aktifitas perubahan material alam sampai menjadi produk akhir (jalan atau bangunan) dan jasa (seperti perencanaan atau biaya) untuk digunakan oleh konsumen akhir dengan mengabaikan batas-batas organisasi. Sedangkan menurut Capo (2004) dalam Susanti (2007), supply chain konstruksi adalah hubungan pelaku-pelaku yang terlibat pada pelaksanaan konstruksi yang membentuk suatu pola hubungan dengan menempatkan satu pihak sebagai salah satu mata rantai dalam suatu rangkaian rantai proses produksi yang menghasilkan produk konstruksi.

Dari beberapa definisi yang telah disebutkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa supply chain merupakan keterlibatan jaringan organisasi dari organisasi hulu sampai hilir yang melakukan kegiatan untuk menghasilkan barang dan jasa (output) produk konstruksi yang bernilai sampai pada pelanggan terakhir. Supply chain dalam proyek konstruksi memiliki bentuk yang kompleks, dimana supply chain konstruksi terbentuk dari banyak pelaku atau

(11)

organisasi yang saling memiliki ketergantungan dalam pengadaan barang dan jasa untuk pelaksanaan konstruksi. Pada pelaksanaan pekerjaan konstruksi, aliran barang dan jasa terpusat kepada kontraktor, karena kontraktor bertindak sebagai pelaku utama pelaksana pekerjaan konstruksi sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan oleh owner.

Jaringan supply chain dalam proyek konstruksi dalam lingkup yang luas dimulai dari tahap awal hingga tahap pelaksanaan memiliki tiga jaringan yang berbeda, yaitu (Susilawati, 2005):

1. Jaringan klien (owner), sebagai pemilik proyek yang merupakan penggagas utama produk konstruksi.

2. Jaringan konsultan, yang memeberikan output jasa perencanaan dari produk konstruksi yang direncanakan.

3. Jaringan yang berperan dalam proses produksi konstruksi yang terdiri dari kontraktor, subkontraktor, supplier material dan komponen.

Dari pengembangan yang dilakukan oleh O’Brien et al. (2002) terlihat adanya kompleksitas supply chain terhadap pihak-pihak yang menyusun supply chain konstruksi. Konsep supply chain pengadaan barang dan jasa pada kegiatan konstruksi dapat dilihat pada Gambar 2.3. Dari gambar tersebut dapat dilihat adanya keterlibatan beberapa pihak dalam proses konstruksi yang terjadi di dalam proyek (site), juga keterlibatan pihak-pihak yang menunjukan proses produksi yang terjadi diluar proyek (site) seperti supplier, subcontractor, designers, dan owner yang bekerjasama membentuk supply chain untuk mendukung kelancaran dari kegiatan di dalam lokasi proyek tersebut.

(12)

Sumber : O’Brien et al. (2002)

1.4.1 Karakteristik Construction Supply Chain

Menurut Susilawati beberapa karakteristik CSC adalah :

1. Karakteristik produknya unik – produk konstruksi bangunan pada umumnya dibuat berdasarkan permintaan tertentu (custom made product). Dengan demikian tidak ada satu pun produk konstruksi yang sama, meskipun hal ini tergantung pada tingkatan mana melihatnya.

2. Dilakukan oleh organisasi yang bersifat sementara (temporary organization). Suatu rangkaian supply chain yang terbentuk yang menghasilkan produk konstruksi, akan berakhir ketika selesai masa produksi.

3. Produknya terikat pada tempat tertentu, sehingga proses produksinya berlangsung di site konstruksi (in site production). Hal ini juga memberikan kontribusi terhadap keunikan produk konstruksi, karena pada proyek yang sama, baik kondisi fisik (kondisi tanah, pengaruh cuaca) maupun non fisik (regulasi yang berlaku, kondisi lalulintas) yang mempengaruhinya tidak akan pernah sama.

(13)

MAIN CONTRACTOR Specialist Contractors Main Supplier Designs Consultant Client Other Contractors

Upstream Activity Preperation Of Construction Product Downstream Activity Delivery Of Construction Product V

A L U E C H A IN

Gambar 1.4 Supply Chain Upstream dan Downstream

4. In site production dan off site production. Terjadinya produksi di dalam site konstruksi (in site production), telah membagi dua batasan proses yang terjadi dalam produksi konstruksi.

5. Diproduksi dalam lingkungan alam yang tidak terkendali, sehingga terdapat ketidakpastian yang tinggi dalam konstruksi.

Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa konsep supply chain di proyek konstruksi sangatlah komplek, maka sistem jaringan yang terjadi di dalamnya juga sangat komplek.

1.4.2 Pelaku-Pelaku Construction Supply Chain Manajement

Dalam industri konstruksi secara umum komponen dari supply chain dapat dilihat dalam gambar berikut:

Sumber : Cheung (2011)

Dari Gambar 2.4 dapat dilihat bahwa jaringan supply chain selayaknya jaring laba-laba (cobweb), dimana main contractor yang menjadi pusatnya mempunyai hubungan ke client, designer, main suppliers dan contracting

(14)

specialists. Ini adalah gambaran hubungan kerja yang dilakukan oleh kontraktor kepada perusahan-perusahan lain dalam satu lingkup proyek konstruksi (Cheung, 2011).

Dalam penelitiannya, Susilawati (2005) menjelaskan pelaku-pelaku supply chain konstruksi sebagai berikut :

1. Owner (Pelaku Hilir/Downstream)

Dalam proses produksi konstruksi bila produk yang dibuat berdasarkan permintaan owner, maka peran owner sangat tinggi. Jaringan supply chain proyek konstruksi dimulai dari adanya suatu keinginan atau kebutuhan owner yang memprakarsai dibuatnya produk konstruksi bangunan dan berakhir pada owner ketika produk tersebut selesai diproduksi. Oleh karena itu peran owner dalam proses produksi konstruksi sangat besar. Owner memiliki peranan dalam tiap tahapan, sejak tahap study kelayakan, perencanaan, pengadaan, pelaksanaan, operasi, dan pemeliharaan. Bahkan dalam proses produksi owner bisa saja menunjuk langsung pihak yang ingin dilibatkan untuk pelaksanaan nominated subcontractor/ nominated supplier. Untuk lebih jelasnya peran owner bisa dilihat dalam gambar berikut:

(15)

Gambar 1.5 Konfiguransi Umum Supply Chain Bangunan Residential Sumber : Vrijhoef & Koskela (2000)

2. Kontraktor (Pelaku Utama)

Kontraktor adalah perusahaan konstruksi yang memberikan layanan pekerjaan pelaksanaan konstruksi berdasarkan perencanaan teknis dan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam kontrak konstruksi. Saat ini telah berkembang berbagai organisasi yang berperan sebagai kontraktor, mulai dari perusahaan individu hingga perusahaan besar dengan jumlah pekerja yang banyak. Ruang lingkup pekerjaan kontraktor dalam suatu proyek sangat beragam, mulai dari lingkup pekerjaan yang sangat sempit, hingga lingkup keseluruhan pekerjaan dalam suatu proyek.

3. Subkontraktor, supplier dan mandor (pelaku di hulu/upstream) a. Subkontraktor dan Spesialis

Subkontraktor adalah perusahaan konstruksi yang berkontrak dengan kontraktor utama untuk melakukan satau atau beberapa bagian pekerjaan kontraktor utama. Dalam hal ini terminologi subkontraktor digunakan dalam

(16)

konteks tradisional dimana hanya ada satu kontraktor yang memiliki hubungan kontrak dengan owner yaitu kontraktor utama dan menempatkan kontraktor lainnya yang tidak memiliki hubungan langsung dengan owner sebagai subordinan dari kontraktor utama tersebut. Hirarki dalam hubungan kontrak ini menimbulkan istilah kontraktor utama, subkontraktor, bahkan sub-subkontraktor.

Menurut Villacreses (1994) dalam Susilawati (2005) penggolongan subkontraktor berdasarkan jenis aktivitas terdiri dari:

Subkontraktor pada aktivitas dasar, subkontraktor pada pekerjaan yang membutuhkan teknik khusus, serta subkontraktor pada pekerjaan khusus dan yang berkaitan dengan material khusus.

Sedangkan Pereira (2001) dalam Susilawati (2005) menggolongan subkontraktor berdasarkan sumber daya yang diberikan, yaitu:

 Subkontraktor yang memberikan jasa pelaksanaan saja (labor-only subcontractor);

 Subkontraktor yang memberikan sumber daya berupa pekerja dan material;

 Subkontraktor yang memberikan sumber daya berupa pekerja, material, dan perencanaan (design);

 Subkontraktor yang memberikan sumber daya berupa pekerja, material, dan perencanaan (design), dan jasa pemeliharaan.

Sedangkan specialist trade contractor adalah suatu perusahaan yang memberikan design, manufacture, purchase, assembly, installation, testing, dan commission dari item-item yang diperlukan dalam suatu proyek

(17)

konstruksi bangunan (Susilawati, 2005). Specialist trade contractor dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kontraktor spesialis (specialist contractor) yang memberikan jasa perencanaan (design service) bagi item yang diproduksi serta dipasang pada konstruksi bangunan dan trade contractor yang melaksanakan pekerjaan dengan skill tertentu dalam konstruksi bangunan tanpa melakukan perencanaan.

Spesialis selain memiliki kelebihan didalam jenis pekerjaan yang ditanganinya mereka mempunyai kemampuan teknologi, financial, serta pengetahuan (knowledge) tertentu yang spesifik, yang didukung oleh skill pekerjanya. Hal inilah yang menyebabkan spesialis memiliki posisi tawar yang tinggi. Adanya komponen desain dan teknologi inilah yang membedakan antara subkontraktor dengan spesialis (Susilawati, 2005).

b. Subkontraktor tenaga kerja (labor only subcontractor)

Dalam industri konstruksi suatu kelompok pekerja dengan skill yang rendah dimana mandor yang bertindak sebagai pemimpin diantara mereka yang menghubungkan antara pekerja (labor) dengan kontraktor. Mandor bertindak sebagai pemasok tenaga kerja (labor only subcontractor) dengan berbagai keahlian yang spesifik (seperti: tukang gali, tukang batu, dan tukang kayu) dan tingkatan keahlian yang berbeda-beda (misalnya: pekerja terampil, pekerja setengah terampil, dan tukang).

c. Supplier dan Manufaktur Konstruksi

Dalam suatu proyek konstruksi bangunan, terdapat berbagai jenis material yang digunakan yang terdiri atas material alam seperti pasir, kerikil, batu alam,

(18)

dan material hasil produksi manufaktur seperti besi beton, keramik, panel beton precast. Oleh karena itu terdapat dua jenis pelaku yang terlibat dalam aliran material-material yang dibutuhkan dalam proyek konstruksi bangunan (Susilawati, 2005):

 Manufaktur konstruksi, memproduksi material-material konstruksi dengan mengolah (off site production) material-material alam hingga menghasilkan komponen bangunan tertentu yang kemudian didistribusikan ke proyek langsung maupun supplier.

Supplier mendistribusikan material yang diperoleh kepada pengguna. Dari jenis material yang didistribusikan maka supplier ini dapat dibedakan menjadi supplier material alam dan supplier komponen bangunan yang diperoleh dari manufaktur konstruksi.

Kemajuan jaman dimana material alam terlebih dahulu mengalami proses di dalam suatu manufaktur sebelum memasuki site konstruksi, menunjukan adanya hubungan antar proyek konstruksi dan industri manufaktur yang memproduksi komponen bangunan seperti contoh besi beton, baja, beton precast yang diproduksi terlebih dahulu baru kemudian di distribusikan ke proyek. Lingkup supplier adalah menjual material atau peralatan kepada kontraktor tetapi mereka tidak melakukan pekerjaan seperti subkontraktor. Tapi saat ini ada juga supplier yang memberikan produk dengan sistem fabrikasi sehingga siap dipasang di lokasi proyek, contohnya kusen pintu yang di pabrikasi dari balok kayu terlebih dahulu.

(19)

1.4.3 Hubungan dalam ConstructionSupply Chain

Dalam suatu supply chain terdapat pihak yang berperan sebagai penyedia produk (supplier) dan pelanggan (customer). Pihak penerima produk yang dihasilkan oleh supply chain tersebut disebut customer. Dari persepektif kontraktor pelaku yang berperan dalam proses produksi di lokasi proyek, terlepas dengan siapa pelaku tersebut memiliki hubungan kontrak, dapat dikategorikan sebagai supplier. Sehingga hubungan antara kontraktor dengan pelaku supply chain lain dibagi dua yaitu hubungan ke hilir yang menunjukkan hubungan kontraktor dengan owner sebagai pelanggan (customer) dan hubungan ke hulu yang menunjukkan hubungan kontraktor dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi seperti supplier dan subkontraktor (Susilawati, 2005).

Hubungan antara owner, perencana, kontraktor, subkontraktor dan pekerja dalam jaringan supply chain diikat dalam kontrak kerja konstruksi. Kontrak inilah yang mengatur hubungan secara hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelengaraan konstruksi. Kaitannya dengan supply chain, metode kontrak konstruksi menentukan seberapa besar lingkup pekerjaan kontraktor yang nantinya akan mempengaruhi besar-kecilnya jaringan supply chain yang dibentuk oleh kontraktor. Pemilihan metode kontrak konstruksi ini juga bisa disesuaikan dengan kebutuhan pemilik proyek atau owner.

Terdapat beberapa jenis metode kontrak konstruksi yang dapat menajadi alternative sesuai kebutuhan proyek (Oe, 2012), diantaranya:

(20)

adalah metode di mana kontrak dibuat antara pemilik proyek dan kontraktor umum (general contractor). Pemilik proyek biasanya diwakili oleh konsultan yang berperan dalam penyusunan dokumen kontrak.

 Metode kontrak terpisah (separate contract method)

adalah metode di mana pemilik proyek memberikan pekerjaan secara terpisah kepada pihak-pihak yang diyakini memiliki kemampuan khusus yang berbeda, misalnya pekerjaan beton prategang diberikan kepada pihak yang mengkhususkan diri pada bidang tersebut. Pada prinsipnya kontrak ini sama dengan metode kontrak umum. Perbedaannya adalah tidak ada keterlibatan kontraktor umum, sehingga pemilik proyek harus melakukan manajemen proyek sendiri. Metode ini dapat diterapkan apabila pemilik proyek memiliki kemampuan manajemen proyek yang memadai. Keuntungan metode ini adalah pemilik tidak perlu mengalokasikan biaya profit bagi kontraktor umum seperti pada metode kontrak umum, sehingga biaya proyek dapat ditekan  Swakelola (forfe account method)

Pada metode ini, pemilik proyek tidak melakukan kontrak bagi proyek yang akan dilaksanakan, karena pemilik mendanai sendiri, merancang sendiri, melaksanakan sendiri, dan mengawasi sendiri proyeknya. Jelas bahwa ketiga bagian proyek konstruksi berada dalam satu pihak, sehingga pemilik proyek harus mempunyai kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh konsultan dan kontraktor.

(21)

Pada metode kontrak ini, pemilik proyek perlu membuat kontrak tunggal untuk pekerjaan perancangan dan pelaksanaan proyek dengan satu perusahaan yang memiliki kemampuan perancangan dan pelaksanaan pembangunan. Pada dasarnya metode ini sama dengan metode kontrak umum, hanya saja profesi konsultan dan kontraktor dirangkap oleh satu perusahaan yang memang mempunyai kemampuan untuk itu

 Metode manajemen konstruksi professional (professional construction manajemen method).

Pada metode ini, pemilik proyek meminta perusahaan manajemen konstruksi profesional (MK) untuk memberikan layanan profesional dalam bentuk layanan manajemen konstruksi. Umumnya MK dikontrak pada saat muncul ide/gagasan dari pemilik proyek sebelum design dibuat. Fungsi utama dari MK adalah menangkap ide tersebut, kemudian melakukan pengelolaan tahap demi tahap sampai ide tersebut terwujud. MK kemudian memilih perusahaan perancang untuk melakukan perencanaan dan perancangan. Setelah rancangannya selesai, MK melakukan evaluasi untuk mengoptimalkan biaya dan waktu pelaksanaan proyek.

Dalam jaringan supply chain proyek yang menerapkan metode kontrak umum kontraktor merupakan pelaku tunggal dalam melakukan pengadaan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proyek konstruksi. Sedangkan pada proyek dengan metode kontrak terpisah ataupun kontrak MK professional kontraktor merupakan bagian dari sekian banyak pihak yang melakukan pengadaan pihak-pihak lain

(22)

yang terlibat dalam proyek konstruksi sesuai dengan lingkup pekerjaan yang diberikan oleh owner (Susilawati, 2005).

1.4.4 Model SupplyChain pada Proyek Konstruksi Bangunan Gedung

Berdasarkan penelitian Susilawati (2005) yang dilakukan di Bandung dan Jakarta telah teridentifikasi empat bentuk model supply chain yang biasa ditemui pada proyek konstruksi gedung. Model tersebut terdiri dari dua model umum yang secara garis besar dibentuk berdasarkan metoda kontrak yang digunakan, dimana dari masing-masing model umum tersebut memiliki satu model khusus sebagai perluasan dari ada-tidaknya keterlibatan pemilik dalam pengadaan material.

Model umum, model supply chain kontraktor

Model umum dapat diidentifikasi sebagai model yang sering terjadi dalam supply chain kontraktor dengan tiga model hubungan umum yang biasa terjadi. Owner memberi tugas kepada kontraktor utama (main contractor), dimana kontraktor memiliki hubungan langsung dengan penyedia material, penyedia alat dan pekerja. Kontraktor juga berhubungan dengan subkontraktor untuk beberapa pekerjaan dasar dan kepada spesialis untuk pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus. Dalam hal ini subkontraktor dan spesialis berhubungan langsung dengan penyedia material, alat dan pekerjanya sendiri (Gambar 2.6)

(23)

Gambar 1.6 Model–1 Model umum supply chain konstruksi bangunan gedung Sumber : Susilawat i (2005)

Model khusus, model supply chainowner

Dari model umum terdapat model khusus yang terjadi dengan metode kontrak terpisah dan metode kontrak MK professional. MK adalah suatu lembaga yang ditunjuk oleh owner yang menyediakan jasa pelayanan manajemen dalam suatu proyek. Dalam model khusus ini peran owner sangat besar karena harus berhubungan langsung dengan penyedia jasa selain kontaktor utama. Oleh karena itu dalam hal ini MK bisa bertindak sebagai wakil owner untuk berhubungan langsung kepada pihak lain dalam proyek. Dalam model khusus ini terjadi karena adanya peran owner yang membentuk model tersebut dalam dua kasus:

OWNER ORGANISASI KONTRAKTOR X,Y,Z SUPPLIER (MATERIAL) Organisasi Tingkat 1 SUBKONTRAKTOR SPECIALIST LABOUR ALAT ALAT

EQUIPMENT LABOUR MATERIAL ALAT LABOUR

Organisasi Tingkat 2 Organisasi Tingkat 3 Organisasi Tingkat 4

Hubungan Kontrak (Memasok Kepada Siapa) Hubungan Koordinasi dalam pemasangan TINGKATAN ORGANISASI

(24)

Gambar 1.7 Model–2 Model khusus supply chain konstruksi bangunan gedung kasus 1

Kasus 1, terjadinya hubungan langsung antara owner dengan para pihak penyedia jasa lainnya selain kontraktor, sehingga terbentuk model hubungan yang setara dari tiga pihak, yaitu kontraktor, subkontraktor dan spesialis dalam satu tingkatan organisasi (Gambar 2.7).

Sumber : Susilawat i (2005)

Kasus 2, terjadinya hubungan langsung owner dengan para pihak penyedia material, yang terjadi dalam model khusus 1 (model hubungan langsung owner dengan penyedia jasa) pada Gambar 2.8 dan juga dalam model umumnya pada Gambar 2.9. Model khusus ini menunjukan adanya peran owner yang cukup besar di setiap tingkatan, hal ini dilakukan untuk menekan biaya konstruksi.

OWNER ORGANISASI KONTRAKTOR X,Y,Z MATERIAL UTAMA Organisasi Tingkat 1 SUBKONTRAKTOR SPECIALIST LABOUR

ALAT SUPPLIER ALAT

(MATERIAL) LABOUR MATERIAL ALAT LABOUR

Organisasi Tingkat 2

Organisasi Tingkat 3

Hubungan Kontrak (Memasok Kepada Siapa) Hubungan Koordinasi dalam pemasangan TINGKATAN ORGANISASI

(25)

Gambar 1.8 Model–3 Model khusus supply chain konstruksi bangunan gedung, kasus 2 Sumber : Susilawat i (2005) Sumber : Susilawat i (2005) OWNER ORGANISASI KONTRAKTOR X,Y,Z MATERIAL UTAMA Organisasi Tingkat 1 SUBKONTRAKTO R SPECIALIST LABOUR ALAT ALAT

EQUIPMENT LABOUR MATERIAL ALAT LABOUR

Organisasi Tingkat 2 Organisasi Tingkat 3 Organisasi Tingkat 4

Hubungan Koordinasi dalam pemasangan TINGKATAN ORGANISASI MATERIAL UTAMA OWNER ORGANISASI KONTRAKTOR X,Y,Z LABOUR Organisasi Tingkat 1 SUBKONTRAKTOR SPECIALIST MATERIA L

ALAT SUPPLIER ALAT

(MATERIAL) LABOUR LABOUR ALAT

MATERIA L Organisasi Tingkat 2 Organisasi Tingkat 3

Hubungan Kontrak (Memasok Kepada Siapa) Hubungan Koordinasi dalam pemasangan TINGKATAN ORGANISASI

(26)

Dalam model hubungan langsung owner dengan spesialis dan subkontraktornya, juga terdapat peran owner dalam pengadaan komponen materialnya, sehingga terdapat hubungan langsung owner sebagai organisasi tingkat 1 dengan supplier sebagai organisasi tingkat ke 3. Pemecahan komponen material dari komponen jasa yang dilakukan oleh owner, merupakan strategi owner dalam usaha untuk menekan biaya. Hal ini memperlihatkan suatu perbedaan model pengadaan, yang pada mulanya dilakukan secara hirarkis menjadi pengadaan langsung yang dilakukan oleh owner.

Model ke empat dari penelitian Susilawati ini juga mengarah pada model yang dikemukakan Xue et al (2007) pada Gambar 2.10, dimana terdapat peran owner dalam pengadaan supplier material pada proyek konstruksi hal ini dikenal dengan istilah Supply By Owner (SBO). Model inilah yang cenderung terjadi pada proyek bangunan gedung saat ini terutama pada proyek-proyek swasta. Keterlibatan owner dalam menyediakan material selain untuk mengurangi biaya proyek tetapi juga karena adanya praktek “broker” di lapangan, dimana “broker” yang merupakan wakil owner bisa mendapatkan keuntungan sendiri dari pengadaan material tersebut. Model inilah yang akan dijadikan acuan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi risiko dalam supply chain secara khusus risiko yang mempengaruhi keuntungan kontraktor.

(27)

Sumber: Xue et al. (2007)

Menurut Xue et al. (2007) CSC adalah multi-organization process, yang didalamnya terdapat client/owner, designer, contractor, supplier, consultant, dan sebagainya. CSC juga merupakan multi-stage process yang didalamnya terdapat conceptual (membuat konsep), design, construction, maintenance, replacement, dan decommission (menonaktifkan/demolish). Dari pengertian tersebut CSC terdiri dari seluruh proses bisnis konstruksi dari adanya permintaan atau kebutuhan client, pembuatan konsep (conceptual), perencanaan desain dan proyek konstruksi hingga maintenance, replacement yang akhirnya menonaktifkan bangunan dan organisasi yang melibatkan client/owner, designer, contractor, subcontactor, supplier, consultant dan sebagainya. CSC adalah jaringan multi-organization yang saling berhubungan dimana didalamnya terjadi aliran informasi, aliran material dan aliran dana diantara client/owner, designer, contractor, subcontactor, supplier.

(28)

1.5 Risiko Pada Construction Supply Chain

Dari model supply chain pada Gambar 2.10 dapat dilihat bahwa manajemen supply chain mengatur seluruh pihak yang terlibat dalam mensuplai sumber daya dari hulu hingga hilir kegiatan konstruksi, dimana didalam prosesnya bisa terjadi hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan di salah satu aspek supply chain (flow of material, flow of information dan flow of funds) yang menyebabkan keseluruhan kinerja supply chain tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik sehingga menyebabkan peningkatan biaya proyek dan berpengaruh mengurangi keuntungan kontraktor yang menjadi pelaku utama dalam jaringan supply chain.

1.5.1 Pengertian risiko

Risiko bisa didefinisikan dengan berbagai sudut pandang. Menurut Alijoyo (2006) dalam Pujawan (2007) definisi risiko dapat dilihat dari sudut pandang hasil atau output dan sudut pandang proses. Dari sudut pandang hasil risiko adalah sebuah hasil atau keluaran-keluaran yang tidak dapat diprediksikan dengan pasti, yang tidak disukai karena akan menjadi kontra-produktif. Sedangkan dari sudut pandang proses , risiko adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pencapaian tujuan, sehingga terjadinya konsekuensi yang tidak diinginkan. Sedangkan menurut Oxfort Dictionary risiko didefinisikan sebagai kemungkinan mengalami bahaya atau penderitaan membahayakan. Menurut Labombang (2011) risiko adalah variasi dalam hal-hal yang mungkin terjadi secara alami atau kemungkinan terjadinya peristiwa diluar yang diharapkan yang

(29)

merupakan ancaman terhadap keuntungan properti dan keuntungan finansial akibat bahaya yang terjadi.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa risiko dihubungkan dengan suatu keadaan yang timbul karena ketidakpastian dengan peluang kejadian tertentu yang jika terjadi akan menimbulkan akibat buruk (kerugian) yang tak diinginkan atau tidak terduga. Lebih jauh lagi risiko pada proyek adalah suatu keadaan yang timbul karena adanya ketidakpastian dengan peluang kejadian tertentu yang jika terjadi akan menimbulkan konsekuensi fisik maupun finansial yang merugikan bagi tercapainya tujuan proyek dalam hal ini adalah biaya,waktu dan mutu proyek.

Menurut Musa (2012) risiko supply chain adalah kemungkinan kejadian yang muncul secara tiba-tiba yang memberikan konsekuensi buruk bagi sistem supply chain. Risiko pada jaringan Supply chain terjadi pada hubungan antara pelaku-pelaku supply chain. Risiko tersebut akan memberikan dampak terhadap hasil produksi konstruksi. Semakin tinggi tingkat integrasi vertikal yang terjadi pada rantai pasok, semakin panjang jumlah rantai yang terjadi, sehingga semakin berdampak pada aliran informasi, aliran material dan aliran dana.

Permasalahan yang ada dalam hubungan pelaku pada supply chain adalah masalah komunikasi. Hal ini secara signifikan mempengaruhi kinerja proses supply chain, karena informasi yang tidak terdistribusi dengan baik menyebabkan para anggota supply chain ragu atau salah dalam mengambil keputusan (Rahmadi, 2008).

(30)

1.5.2 Analisis Risiko dan Manajemen Risiko

Analisis risiko merupakan satu proses dari identifikasi dan penilaian. Sedangkan manajemen risiko adalah respon dan tindakan yang dilakukan untuk memitigasi serta mengontrol risiko yang telah dianalisis (Norken et al., 2012). Tujuan dari analisis dan manajemen risiko adalah membantu menghindarin kegagalan dan memberikan gambaran tentang apa yang terjadi bila proyek yang dijalankan tidak sesuai dengan rencana. Analisis risiko dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif, dimana sumber risiko harus diidentifikasi dan akibat harus dinilai dan analisis.

Manajemen risiko merupakan suatu proses dalam mengidentifikasi risiko, menganilis risiko dan pengambilan langkah-langkah untuk mengurangi risiko sehingga risiko tersebut berada pada tingkat yang dapat diterima. Manajemen risiko adalah seperangkat kebijakan, prosedur yang lengkap, yang mempunyai organisasi untuk mengelola, memonitor dan mengendalikan eksposur organisasi terhadap risiko (Norken et al., 2012). Menurut Tang (2006) dalam Musa (2012) Supply Chain Risk Management (SCRM) adalah manajemen risiko supply chain melalui koordinasi dan kerjasama antara pelaku atau rekan kerja jaringan supply chain untuk menjamin keuntungan dan kelancaran pekerjaan.

Beberapa manfaat yang ditawarkan dalam manajemen risiko, diantaranya (Godfrey, 1996):

1. Pengendalian ketidakpastian yang lebih baik akibat dari tingginya ketidakpastian, sehingga dapat memahami kegiatan mana yang paling berisiko dan asumsi apa yang paling berpengaruh.

(31)

2. Meningkatkan kepercayaan, kepercayaan akan meningkat dengan memahami ketidakpastian dengan lebih baik dan luasnya pengaruh ketidakpastian serta potensi konsekuensinya.

3. Menjelaskan dengan lebih baik, dengan manajemen risiko akan dapat menjelaskan tujuan dengan lebih baik dan menjaring berbagai kendala dan akibatnya.

4. Peningkatan dan terinformasinya pengambilan keputusan dimana keputusan dapat diambil berdasarkan: tujuan, kondisi yang realistik sesuai dengan situasi dengan memeprtimbangkan berbagai kemungkinan yang terjadi, memonitor risiko yang terjadi dan efektifitas dari pengendalian risiko.

5. Mengkonsentrasikan sumber daya pada hal-hal tertentu, bila mempunyai sumber daya terbatas dapat dikonsentrasikan pada hal-hal yang mempunyai risiko tinggi untuk mencapai hasil maksimum.

6. Motivasi dan komunikasi tim, dengan mempertimbangkan risiko, memberikan evaluasi dari berbagai perspektif serta meningkatkan motivasi dari berbagai stakeholder.

7. Perencanaan risiko pada tingkat biaya minimum, dapat membantu mengurangi cost of risk.

8. Estimasi yang realistis. Estimasi biaya menjadi lebih realistis karena mempertimbangkan ketidakpastian.

(32)

9. Pertanggungjawaban yang lebih baik, bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan/kerusakan/kerugian lain maka dengan manajemen risiko akan dapat dipertanggung jawabkan

10.Memproteksi balance sheet, apabila melakukan dan membuat proyek lebih dari satu pada saat yang sama, maka risk manajemen dari setiap proyek akan dapat membandingkannya dan meyakinkan neraca tidak dibebani oleh high or low risk.

Untuk melakukan pengambilan keputusan terhadap risiko-risiko, Flanagan dan Norman (1993) mengemukakan kerangka dasar langkah-langkah seperti pada gambar berikut.

Sumber : Flanagan & Norman (1993) Penjelasan gambar diatas sebagai berikut:

1. Identifikasi risiko, yaitu melakukan identifikasi terhadap sumber-sumber dan jenis risiko.

Identifkasi Risiko Klsifikasi Risiko Analsis Risiko Tanggapan Terhadap Risiko Menyikapi Risiko

(33)

2. Klasifikasi risiko, mempertimbangkan jenis-jenis risiko dan efeknya terhadap perseorangan maupun organisasi.

3. Analisis risiko, mengevaluasi konsekuensi keterkaitan dengan jenis risiko atau kombinasi risiko dengan menggunakan teknik analisis. Menilai dampak daripada risiko dengan menggunakan berbagai teknik pengukuran risiko.

4. Menyikapi risiko, yaitu berbagai keputusan mengenai risiko akan terkait dengan sikap perseorangan atau organisasi yang membuat kebijakan. 5. Tanggapan terhadap risiko, yaitu mempertimbangkan bagaimana risiko

harus dikelola dengan mentransfernya kepada kelompok lain atau membiarkannya.

1.5.3 Analisis Risiko Kualitatif

Analisis dan manajemen risiko kualitatif mempunyai tujuan identifikasi risiko dan penilaian awal risiko, dimana sasarannya adalah menyusun sumber risiko utama dan menggambarkan tingkat konsekuensi yang sering terjadi, termasuk didalamnya akibat paling potensial terjadi pada estimasi biaya dan waktu (Thompson & Perry, 1991). Analisis kualitatif akan dapat menentukan yang mana merupakan major risk dengan mengalikan frekuensi/likelihood dengan konsekuensi dari risiko yang telah teridentifikasi, apabila frekuensi tinggi dan konsekuensi tinggi akan menghasilkan tingkat/derajat risiko tinggi (major risk) dan sebaliknya jika frekuensi dan konsekuensi rendah akan menghasilkan risiko rendah (minor risk). Baru kemudian dilakukan mitigasi terhadap risiko tersebut (Norken et al., 2012).

(34)

1.5.4 Penilaian dan Penerimaan Risiko Penilaian (assessment) Risiko

Penilaian risiko pada dasarnya adalah melakukan perhitungan atau penilaian terhadap dampak risiko yang telah teridentifikasi, besar kecilnya dampak dari risiko akan dapat diakategorikan, yang mana merupakan risiko dengan tingkat yang utama (major risk) , yang mempunyai dampak besar dan luas dan membutuhkan pengelolaan, atau tidak (minor risk), yang tidak memerlukan penanganan khusus karena tingkat risiko ada dalam batas-batas yang dapat diterima (Norken et al., 2012). Besarnya dampak risiko merupakan perkalian dari frekuensi (likelihood) dengan konsekuensi (concequence) dari risiko yang telah teridentifikasi (Godfrey, 1996).

Nilai Risiko (x) = Frekuensi (f) x Konsekuensi (k)

Frekuensi atau kecenderungan (likelihood) adalah peluang terjadinya kerugian yang merugikan. Sedangkan Konsekuensi (consequence) merupakan besaran kerugian yang diakibatkan oleh terjadinya suatu kejadian yang merugikan. Godfrey (1996) memberikan pedoman terhadap skala penilaian frekuensi risiko dan konsekuensi risiko secara umum seperti pada Tabel 2.2 dan Tabel 2.3. Selain itu Cooper (2005) juga menjelaskan lebih detail mengenai skala penilaian terhadap frekuensi risiko dan konsekuensi risiko pada proyek konstruksi pada Tabel 2.4 dan Tabel 2.5.

(35)

Table 1.2 Skala Penilaian Risiko Frekuensi (Likelihood)

FREKUENSI (LIKELIHOOD)

Diskripsi Keterangan Skala

Frequent Selalu terjadi 5

Probable Sering terjadi 4

Occasional Kadang-kadang terjadi 3

Remote Hampir tidak pernah terjadi (jarang)

2 Improbable Tidak pernah terjadi (sangat

jarang)

1 Sumber: Godfrey (1996)

Table 1.3 Skala Penilaian Risiko Konsekuensi (Consequence)

KONSEKUENSI (CONSEQUENCE)

Diskripsi Keterangan Skala

Castatrophic Dampak sangat besar, seperti kematian, kehilangan sistem, kebangkrutan dll

5 Critical Dampak besar, seperti kerusakan yang cukup besar,

ancaman yang membuat cidera/penyakit, kerusakan substansial,

4

Serious Dampak Sedang, mempengaruhi waktu dan planning, membutuhkan kontingen.

3 Marginal Dampak kecil, dengan kerusakan kecil yang bisa

diperbaiki dengan perawatan rutin. Permasalahan kecil yang bisa diselesaikan hanya dengan surat

permintaan maaf.

2

Negligible Dampak sangat kecil, sehingga bisa dianggap tanpa konsekuensi

1 Sumber: Godfrey (1996)

(36)

Table 1.4 Skala Frekuensi Kejadian Risiko Pada Proyek

Skala Penilaian Keterangan Probablity Frekuensi

1 Rare Sangat Jarang Terjadi di Perusahaan ini Kemungkinan <2% Kemungkinan terjadi >40 tahun, 2 Unlikely Kejadian serupa terjadi pada perusahaan sejenis Kemungkinan 2%-10% Kemungkinan terjadi 10-40 tahun 3 Possible Terjadi kadang-kadang dalam kontraktor yang bersangkutan Kemungkinan 10%-50% Kemungkinan terjadi paling tidak satu kali dalam 1-10

tahun 4 Likely Terjadi beberapa kali pertahun dalam kontraktor yang bersangkutan Kemungkinan 50%-80% Tinggi, Kemungkinan terjadi satu kali

setahun 5 Almost

certain

Terjadi beberapa kali pertahun dalam satu lokasi,

operasi dan aktivitas Kemungkinan >80% Sangat tinggi, kemungkinan muncul paling tidak

beberapa kali pertaahun Sumber: Cooper et al.( 2005)

(37)

Table 1.5 Skala Konsekuensi Risiko

Skala Penilaian Performance Cost

1 Sangat kecil

Dampaknya dapat diabaikan terhadap kinerja,

dapat diantisipasi

Tidak melebihi perkiraan biaya yang telah dianggarkan. Terjadi sedikit

pengeluaran tambahan

2 Kecil

Menyebabkan penurunan kinerja yang kecil tapi masih bisa ditoleransi. Perubahan spesifikasi

cenderung disetujui

Peningkatan estimasi biaya < 5% tetapi masih bisa dikelola oleh kontingen saat

ini

3 Sedang

Efek buruk dari penurunan kinerja sudah mulai terasa dan sudah mencapai pada batas penerimaan. Sponsor

mulai ragu tetapi ingin menyetujui perubahan spesifikasi jika sudah tidak

ada pilihan lain.

Peningkatan estimasi biaya 5–20% dan mungkin dapat dikelola oleh kontingen saat

ini

4 Besar

Keburukan kinerja sudah memiliki dampak yang besar di dalam tujuan dan

akan memberikan nama buruk jika tidak diperbaiki.

Sponsor tidak ingin menyetujui perubahan

spesifikasi

Peningkatan estimasi biaya 20–50% dan tidak dapat dikelola oleh kontingen saat

ini

5 Sangat Besar

Keburukan kinerja sudah pada sistem perusahaan dan

fasilitas yang ada tidak dapat digunakan. Perubahan

desain yang signifikan diperlukan. Sponsor pasti tidak akan pertimbangkan

perubahan spesifikasi

Peningkatan estimasi biaya > 50%. Biaya utama sudah

melebihi. Diperlukan budget tambahan

(38)

Penerimaan Risiko

Tingkat penerimaan risiko dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Norken et al., 2012) :

1. Unacceptable, Yaitu risiko yang tidak dapat diterima atau toleransi, sehingga harus dihindari atau dihilangkan bahkan bila mungkin di transfer kepada pihak lain.

2. Undesirable, Yaitu risiko yang tidak diharapakan dan harus dihindari sehingga memerlukan penanganan/ mitigasi risiko sampai pada tingkat yang bisa diterima.

3. Acceptable, Yaitu risiko yang dapat diterima karena tidak mempunyai dampak yang besar dan masih dalam batas yang dapat diterima.

4. Negligible, Yaitu risiko yang bisa diabaikan karena dampaknya sangat kecil.

Unacceptable dan undesirable merupakan golongan major risk yahg harus dimitigasi sedangkan acceptable dan negligible merupakan golongan minor risk.

Godfrey (1996) memberikan pedoman terhadap frekuensi, konsekuensi, besar risiko dan tingkat penerimaan risiko seperti Tabel 2.6 berikut:

(39)

Table 1.6 Penilaian dan Tingkat Penerimaan Risiko ASSESSMENT OF RISK ACCEPTABILITY Catastropic (5) Critical (4) Serious (3) Marginal (2) Negligible (1) Frequent (5) Unacceptable (25) Unacceptable (20) Unacceptable (15) Undesirable (10) Acceptable (5) Probable (4) Unacceptable (20) Unacceptable (16) Undesirable (12) Undesirable (8) Acceptable (4) Occasional (3) Unacceptable (15) Undesirable (12) Undesirable (9) Acceptable (6) Acceptable (3) Remote (2) Undesirable (10) Undesirable (8) Acceptable (6) Acceptable (4) Negligible (2) Improbable (1) Acceptable (5) Acceptable (4) Acceptable (3) Negligible (2) Negligible (1)

Key Description Guidance

Unacceptable Tidak dapat diterima, harus dihilangkan atau ditransfer

Undesirable Tidak diharapkan, harus dihindari

Acceptable Dapat diterima

Negligible Dapat diabaikan

Sumber: Godfrey (1996)

1.5.5 Identifikasi Risiko

Identifikasi risiko merupakan tahap awal dalam manajemen risiko yang bertujuan untuk dapat menguraikan dan merinci jenis risiko yang mungkin terjadi dari aktifitas atau kegiatan yang akan kita lakukan. Tahap identifikasi risiko merupakan tahap yang paling sulit dari manajemen risiko, karena adanya ketidakmampuan untuk mengindetifikasi semua risiko yang ada mengingat

Concequense

(40)

adanya ketidakpastian dari apa yang akan dihadapi. Menurut Thompson dan Perry (1991) ada beberapa cara untuk mengatasi kesulitan dalam mengidentifikasi risiko, diantaranya : menyusun daftar (chek list), wawancara dengan personil kunci yang terlibat, brain storming dan use of record (pengalaman sebelumnya).

Dalam penelitian terdahulu terdapat beberapa identifikasi risiko dalam supply chain konstruksi diantaranya menurut Vrijhoef et al (2001) yang terlihat pada gambar berikut:

(41)

Gambar 1.12 Gambaran Umum Permasalahan Dalam Supply Chain Construction Sumber : Vrijhoef et al. (2001)

Sedangkan menurut Benton dan McHenry (2010) beberapa permasalahan dalam supply chain konstruksi melibatkan seluruh pelaku dalam supply chain yaitu pemilik proyek, konsultan, kontraktor, sub-kontraktor, dan supplier. Potensi risiko terletak pada hubungan timbal balik antara pelaku supply chain tersebut. Beberapa sumber risiko tersebut diantaranya:

owner

- Keinginan Clien yang berubah -ubah

-Prosedur yang panjang dalam mendiskusikan perubahan

-Dokumen yang salah -Desain berubah-ubah - Waktu yang panjang dalam mendapatkan ijin perubahan

-Data yang tidak sesuai -Gambar kerja tidak bisa diaplikasikan

-Data yang tidak akurat -Susah mendapatkan informasi yang dibutuhkan

-Penawaran harga yang tinggi -Perubahan-perubahan lain

- Data tidak akurat

-Tidak mendapatkan informasi yang diperlukan

-perencanaan yang tidak realistis

Permasalahan kualiats hasil pekerjaan akhir Masalah kualitas yang tidak

selesai

Waktu penyelesaian yang terlambat

-Pengiriman tidak sesuai dengan plan

-Pengiriman yang salah dan cacat -Lamanya penyimpanan -Pengemasan material yang buruk

-Pengiriman jumblah besar - Hasil pekerjaan

subkontraktor tidak sesuai desain , rencana dan kontrak

(42)

 Masalah keuangan internal perusahaan  Permasalahan dalam modal usaha  Keterlambatan pembayaran oleh owner

 Hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan rencana dan spesifikasi  Pengetahuan teknis yang kurang memadai

 Tidak cukupnya informasi teknologi

 Kurangnya komunikasi antara pelaku supply chain  Produksi yang tidak efektif

 Masalah kualitas pekerjaan  Masalah pengiriman material  Masalah dalam kualitas material

Menurut gambaran model yang disampaikan Xue et al (2007) di dalam hubungan para pelaku supply chain terjadi tiga aspek aliran, yaitu aliran material, aliran informasi dan aliran dana. Identifikasi risiko dalam model supply chain dalam penelitian ini akan ditinjau dari ketiga aspek tersebut.Dalam penelitiannya Musa (2012) juga menguraikan mengenai ketiga aliran yang menghubungkan sistem supply chain seperti pada gambar berikut:

(43)

Gambar 1.13 Risk Issues In Supply Chain Sumber: Musa (2012)

a) Material Flow Risk (Risiko aliran material)

Risiko aliran material terkait dengan pergerakan barang atau produk secara fisik di dalam dan diantara elemen supply chain. Aliran material ini untuk memastikan jenis barang yang tepat dalam kualitas dan kuantitas yang tepat. Risiko di dalam aliran material ini adalah segala risiko yang mempengaruhi hasil dari material yang akan dialirkan dari pemasok ke konsumen. Dalam penelitiannya Musa (2012) membagi aliran material ini kedalam tiga kategori yaitu Source, Make dan Deliver.

(44)

Source

Source terkait dengan bagaimana memperoleh sumber bahan baku atau supplier dan subkontraktor. Didalam SCOR (Supply Chain Operation Reference) source di dalam aliran material didefinisikan sebagai proses pengadaan barang maupun jasa untuk memenuhi permintaan. Proses yang dicakup termasuk penjadwalan pengiriman dari supplier, menerima, mengecek, mengevaluasi kinerja supplier dan sebagainya. Musa (2012) menjelaskan risiko dalam kategori source sebagai berikut:

Single sourcing risk, yaitu risiko yang terkait dengan minimnya sumber supplier atau subkontraktor sehingga mempengaruhi finansial, performance, hasil kerja, sosial, psikologi, keterlambatan dan sebagainya.

flexible sourcing risk, kecenderungan saat ini kontraktor/konsumen lebih memilih supplier/subkon yang mampu memberikan keuntungan maksimum tanpa memperhatikan sisi fleksibilitas supplier/subkon tersebut ketika terjadi permasalahan, yang ketika permasalahan itu terjadi justru akan mengurangi keuntungan kontraktor. Kontraktor lebih memilih supplier/subkon dengan harga yang lebih mruah dibandingkan supplier atau subkon yang harganya sedikit lebih mahal namun bisa .

Supplier selection/outsourcing, agar bisa fokus pada core-competency menggunakan subkontraktor sudah menjadi tren dalam dunia bisnis. Akan tetapi permasalahannya adalah tidak mudah mendapatkan rekanan yang tepat. Banyak parameter yang harus diperhatikan dalam memilih rekan kerja atau

(45)

supplier, seperti skill, teknologi, kemampuan transportasi, keuangan, bahkan hingga kemampuan dari supplier-nya supplier.

Supply product monitoring/quality, ketidakmampuan kontraktor dalam mengontrol pekerjaan atau material dari subkontraktor atau supplier akan menjadi suatu risiko yang harus diwaspadai. Terlebih lagi dalam jumlah partai atau dalam jaringan yang sangat besar. Kegagalan dalam mengontrol dapat membahayakan kualiatas hasil pekerjaan, sehingga supplier tidak dapat memberikan hasil pekerjaan yang sesuai dengan standar permintaan.

Supply capacity, hal ini berkaitan kapasitas produksi supplier yang terbatas. Sehingga informasi dari awal mengenai kemampuan jumblah produksi supplier harus sudah jelas.

Make

Di dalam SCOR Make didefinisikan sebagai proses untuk mentransformasi bahan baku/ komponen menjadi produk yang diinginkan pelanggan. Proses yang terlibat di sini antara lain adalah penjadwalan produksi, melakukan kegiatan produksi dan melakukan pengetesan kualitas, mengelolan barang setengah jadi (work-in- process), memelihara fasilitas produksi dan lain-lain. Musa (2012) menjelaskan risiko dalam kategori make sebagai berikut:

Product and process design risk, yaitu risiko didalam ketidakmampuan untuk mengadopsi perubahan-perubahan yang terjadi dalam produksi dan proses, sehingga memaksa perusahaan melibatkan para pemasok dari awal.

(46)

Production capacity risk, di industri manufaktur mengidentifikasi kemampuan atau kapasitas sumber daya menjadi hal yang sangat penting, seperti kemampuan teknologi dan skill.

Operational disruption, di dalamnya segala kemungkinan buruk saat pelaksanaan seperti terjadi kecelakaan kerja, bencana alam, politik yang tidak stabil ( BBM naik, pajak, fluktuasi mata uang).

Deliver

Di dalam SCOR deliver dikaitkan dengan proses untuk memenuhi permintaan terhadap barang maupun jasa. Proses yang terlibat diantaranya adalah menangani pesanan dari pelanggan, memilih perusahaan jasa pengiriman, menangani kegiatan pergudangan produk jadi dan mengirim tagihan ke pelanggan. Musa (2012) menguraikan risiko dalam proses ini sebagai berikut seperti permintaan yang tidak konsisten (demand volatility), tidak sanggupnya memenuhi harapan klien (unmet demand), persediaan barang yang berlebihan (excess inventory). Sehingga hal ini menyebabkan supply dan permintaan menjadi tidak sesuai (missmatch).

b) Funds Flow Risk (Risiko aliran dana)

Funds flow risk dikenal juga dengan istilah cash flow, yang berkaitan dengan menerima dan mengeluarkan dana. Musa (2012) menguraikan permasalahan utama dalam aliaran keuangan ini diantaranya mengenai risiko di dalam ketidakmampuan untuk melakukan pembayaran. Hal ini dipengaruhi oleh ketidakpastiaan dalam nilai tukar uang sehingga mempengaruhi cash flow

(47)

keuangan, risiko perubahan harga dan biaya produksi, kemampuan finansial pelaku supply chain dan kemampuan dalam mengelola keuangan.

c) Information Flow Risk (Risiko aliran informasi)

Menurut Musa (2012) nilai jumblah aktivitas di dalam supply chain di didasari oleh aliran informasi seperti informasi permintaan, status persediaan, pemenuhan order. Selain itu contoh lain dari aliran ini adalah informasi perubahan desain dan jumblah atau kapasitas produksi. Aliran ini juga merupakan penghubung yang mengikat antara aliran material dan aliran dana. Contohnya saat sebagian pekerjaan diselesaikan atau dikirim, maka penerima atau pengawas akan menginformasikan jumlah barang atau pekerjaan yang sudah diterima yang nantinya akan berpengaruh terhadap jumblah tagihan yang akan dikeluarkan. Oleh karena itu diperlukan kemampuan, ketepan dan efisiensi dalam melakukan pertukaran informasi. Beberapa kemungkinan risiko yang ada dalam aliran ini adalah:

Information accuracy, kemampuan, ketepatan dan efisiensi dalam mengakses informasi adalah hal yang penting diperhatikan dalam aliran informasi. Oleh karena itu seringnya berbagi informasi dan keterbukaan dalam memberikan informasi yang berhubungan dengan proyek sangat diperlukan agar diperoleh informasi yang tepat.

Information system security and disruption, yaitu sistem keamanan informasi perusahaan dan back up terhadap data yang penting.

(48)

Intellectual property, risiko dalam hal ini adalah ketidakmampuan perusahaan untuk memberikan informasi yang jelas.

Information outsourcing, risiko dalam hal ini adalah rendahnya teknologi perusahaan dalam melakukan pertukaran informasi.

Berikut adalah identifikasi risiko supply chain pada proyek konstruksi gedung yang menyebabkan penurunan keuntungan kontraktor berdasarkan ketiga aliran diatas:

(49)

Table 1.7 Identifikasi Risiko Aliran Dalam Supply Chain No Variabel Risiko (X) Sumber Vrijhoef , 2001 Sutowijoyo, 2011 Praboyo, 1999 Nugraheni, 2012 Sudarsono 2014 Tambahan Aliran Informasi (Flow of Informations)

1 Ketidakjelasan atau kesalahan mendapatkan informasi lingkup pekerjaan dari owner

dan designer

2 Kurangnya informasi dalam gambar

3 Kurang lengkapnya informasi spesifikasi material

4 Ketidakjelasan mengenai informasi pekerjaan tambah dari owner

5 Terjadinya kesalahan dalam pertukaran informasi mengenai spesifikasi bahan atau

pekerjaan antara kontraktor dengan subkontraktor/supplier

6 Kesalahan informasi harga dari subkontraktor atau supplier dengan yang ada di

kontrak √

7 Manipulasi informasi oleh subkontraktor atau supplier

8 Minimnya sumber daya alat dan manusia yang dimiliki perusahaan dalam melakukan

pertukaran informasi √

9 Keinginan owner yang suka berubah sehingga informasi mengenai proyek menjadi

tidak pasti √

Aliran Material (Flow of Materials)

1 Susahnya mendapatkan approval material,ijin kerja dan gambar kerja dari Owner

2 Lambatnya owner dalam mensuplai material

3 Owner mengirim material yang tidak sesuai dengan rencana awal √

4 Owner menuntut kualitas hasil pekerjaan diatas kontrak

(50)

No Variabel Risiko (X) Sumber Vrijhoef , 2001 Sutowijoyo, 2011 Praboyo, 1999 Nugraheni, 2012 Sudarsono 2014 Tambahan

6 Adanya penundaan pekerjaan dari owner

7 Hasil pekerjaan subkontraktor yang tidak memenuhi standar

8 Kualitas material dari supplier kontraktor yang tidak memenuhi standar

9 Subkontraktor terlambat dalam menyelesaikan pekerjaan

10 Kualitas dan kuantitas tenaga kerja yang rendah

11 Mobilisasi sumberdaya (bahan, alat, tenaga kerja) yang lambat dari supplier atau

subkontraktor √

12 Susahnya mendapatkan jenis bahan baku yang diinginkan owner

13 Lokasi proyek yang sulit sehingga susah dalam mensuplai material atau membawa

peralatan berat

14 Menurunnya produktivitas tenaga kerja

15 Manajemen tenaga kerja yang buruk oleh subkontraktor

16 Moral dan motivasi tenaga kerja yang buruk

17 Kurangnya pengawasan kontraktor terhadap subkontraktor

18 Kurangnya tenaga yang handal dalam pengawasan atau kontrol

19 Terjadinya kecelakaan kerja

Aliran Dana (Flow of Funds)

1 Owner lambat dalam melakukan pembayaran

2 Owner tidak mau membayar progres pekerjaan

3 Buruknya manajemen keuangan owner hingga kehabisan modal

(51)

No Variabel Risiko (X) Sumber Vrijhoef , 2001 Sutowijoyo, 2011 Praboyo, 1999 Nugraheni, 2012 Sudarsono 2014 Tambahan

5 Manajemen keuangan subkontraktor yang buruk sehingga subkontaktor mengalami

kebangkrutan

6 Kesalahan kebijakan dalam sistem pembayaran

Gambar

Table 1.1 Perbedaan Kegiatan Proyek Konstruksi dan Kegiatan Operasional
Gambar 1.1 Project Life Cycle
Gambar 1.2 Gambaran Umum Supply Chain Dalam Proses Produksi  dalam  menentukan  kinerja  supply  chain  adalah  total  biaya  dan  waktu  yang minimum  sesuai  kualitas  yang  disyaratkan
Gambar 1.3 Gambaran Konseptual CSC
+7

Referensi

Dokumen terkait

Apabila dibandingkan dengan jumlah produksi ikan budidaya menggunakan karamba pada saat ini yaitu sebesar 2,4 ton ikan per tahun x 452 unit karamba = 1.084,80

Rata-rata konsumsi bahan kering, bahan organik, protein kasar, ammonia cairan rumen, N urea plasma darah, dan pertambahan berat badan kambing kacang jantan dapat

Sedangkan analisis dimensi saluran drainase adalah perencanaan penampang saluran sekunder Bremi, saluran sekunder Meduri dan saluran primer Meduri, sehingga didapatkan dimensi

Analisa seismic adalah analisa dinamis, dinama massa struktur dan beban, kekakuan, damping dari stuktur dan jenis tanah pendukung struktur jacket diperhitungkan dalam

Tanggung jawab PR dalam melayani organisasi dan publik mencakup berbagai hal antara lain: membuat program PR secara terencana dan berkelanjutan di dalam organsasi;

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterlaksanaan pembelajaran inkuiri, peningkatan kemampuan argumentasi ilmiah siswa setelah melakukan model pembelajaran

Dalam cakupan pengertian sistem pendidikan termuat adanya berbagai komponen (unsur), berbagai kegiatan (menunjuk fungsi dari setiap komponen), adanya saling hubungan

Sedangkan berdasarkan perubahan jarak meander terhadap muara, lebih banyak meander yang mengalami pengurangan jarak terhadap muara (sebanyak 26 meander). Selama kurun