506
INTOLERANSI LAKTOSA
Madya Ardi Wicaksono 1
1 Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto E-mail: madyaardiwicaksono@yahoo.com
ABSTRACT
Lactose intolerance is a condition caused by lactase deficiency in the brush border of the intestine, causing inability in digesting lactose into glucose and galactose. It is a mild metabolic disease with low morbidity, but often used interchangeably with cow’s milk allergy, resulting confusion in public understanding. Lactase deficiency keeps lactose not hydrolyzed, resulting increased osmotic pressure and fluid secretion of intestine lumen. In the colon, the result of fermentation from the undigested lactose is hydrogen gas. The symptoms of lactose intolerance are abdominal bloating, distension, pain, flatulence, and diarrhea. Symptoms are alleviated by complete elimination or reduced consumption of lactose-containing foods. Meanwhile, dairy products which contain large amount of lactose also become the main source of calcium as well. Elimination of dairy products from daily diet may results low calcium level, osteopenia, until osteoporosis. People with lactose intolerance need calcium supplementation to maintain the calcium level in the body if lactose is restricted
Key Words: lactose intolerance, lactase, calcium.
PENDAHULUAN
Kesehatan Alergi susu sapi dan intoleransi susu sapi seringkali ditafsirkan sama, sehingga sering digunakan secara terbalik, yang membingungkan masyarakat
umum dan praktisi klinis.1 Seringkali
kesalahan diagnosa intoleransi laktosa terjadi karena gejalanya yang tumpang tindih dengan penyakit lainnya, yaitu diare dan kembung. Walaupun kelainan ini biasanya tidak berbahaya, tetapi dapat
menyebabkan gejala yang cukup
mengganggu, sehingga penderitanya
berulang kali mengunjungi dokter.2
Intoleransi laktosa adalah bentuk intoleransi karbohidrat yang paling sering, dan terjadi
pada semua golongan umur.3
METABOLISME LAKTOSA
Laktosa, atau gula susu, terdiri dari glukosa dan galaktosa. Susu, sebagai produk hewani, memiliki kadar laktosa yang tinggi. Kadar laktosa susu manusia (ASI / Air Susu Ibu) sebesar 50-70 gram per
liter. Laktase, sebuah enzim terikat
membran pada usus halus, mengkatalisis hidrolisis laktosa menjadi glukosa dan
galaktosa.5 Enzim pada brush border
enterosit mengandung laktase yang
memecah laktosa menjadi glukosa dan
galaktosa.6 Monosakarida yang dihasilkan
melewati sel mukosa dan masuk ke dalam aliran darah melalui pembuluh kapiler villi, yang membawanya melalui vena porta ke hepar. Enzim laktase hanya dihasilkan oleh sel-sel di ujung villus, dan paling banyak
507 terdapat di jejunum. Karena itu, penyakit
gastrointestinal yang menyebabkan
perlukaan pada sel-sel intestinal seringkali berhubungan dengan defisiensi laktase dan intoleransi laktosa.4,7 Intoleransi laktosa
adalah ketidakmampuan tubuh untuk
mencerna laktosa, yang merupakan gula dominan dalam susu, dalam jumlah yang signifikan. Tidak semua orang yang menderita defiensi laktase memiliki gejala, namun mereka yang memiliki gejala baru dapat disebut sebagai penderita intoleransi laktosa.8,9
Gambar 1. Kerja Enzim Laktase
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi intoleransi laktosa secara global adalah sebagai berikut: lebih dari 50% di Amerika Selatan, Afrika dan Asia, bahkan hampir 100% pada beberapa negara Asia. Di Amerika Serikat, prevalensinya sebesar 15% pada orang kulit putih, 53% pada keturunan Meksiko-Amerika dan 80%
pada orang kulit hitam. Di Eropa
prevalensinya beragam, mulai dari 2% di negara-negara Skandinavia hingga kurang lebih 70% di Sicilia (Italia). Sementara itu prevalensi di Australia sebesar 6% dan di
Selandia Baru sebesar 9%.4 Tidak
didapatkan perbedaan jenis kelamin pada intoleransi laktosa.10 Umumnya, aktivitas laktase akan berkurang sesuai usia, yang dimulai pada umur 2 tahun. Tanda dan
gejala biasanya tidak tampak hingga usia 6-7 tahun, bahkan hingga dewasa, tergantung dari jumlah intik laktosa dan kecepatan penurunan aktivitas laktase. Defisiensi laktase sekunder yang terjadi karena perlukaan mukosa usus dapat timbul pada usia berapapun.10
PATOMEKANISME
Defisiensi laktase kongenital sangat jarang terjadi karena laktosa adalah gula utama di dalam ASI, dan bayi memiliki laktase dalam jumlah yang cukup untuk
mencerna laktosa.1 Intoleransi laktosa
kongenital diturunkan pada kromosom autosomal resesif.11 Pada kasus ini, ujung villi mukosa intestinal tidak memproduksi laktase samasekali. Konsumsi laktosa, bahkan dalam jumlah yang kecil sekalipun, tidak dapat ditoleransi oleh usus dan bahkan berbahaya bagi bayi karena menyebabkan diare yang berkelanjutan menjadi dehidrasi. Intoleransi laktosa tipe ini biasanya tampak
pada minggu pertama kehidupan bayi.2
Intoleransi laktosa primer adalah jenis intoleransi karbohidrat yang paling banyak didapati dan dapat terjadi pada semua kelompok usia. Intoleransi laktosa primer terjadi karena rendahnya kadar laktase, biasanya mulai terjadi setelah masa kanak-kanak. Umumnya, aktivitas laktase
menurun dengan inisiasi makanan
pendamping ASI. Gejala klinis menjadi nyata saat remaja. Defisiensi laktase ini terjadi akibat mekanisme yang melibatkan perubahan sesuai perkembangan gen yang mengatur laktase.1,2,10,11
508 Defisiensi laktase sekunder adalah
kondisi defisiensi laktase akbat infeksi (baik viral, bakterial, maupun parasitik), penyakit yang lain, atau terapi, yang menyebabkan destruksi epitel mukosa usus diamana laktase biasanya aktif. Penyebab tersebut antara lain gastroenteritis akut, Giardiasis,
Ascariasis, penyakit Crohn, celiac sprue,
tropical sprue, enteritis akibat radiasi,
diabetik gastropati, HIV enteropati,
kwashiorkor, kemoterapi, dan gastrinoma. Kondisi seperti ini memerlukan manipulasi diet atau mengistirahatkan usus pada
beberapa kasus tertentu.11
Defisiensi laktase intestinal
mencegah hidrolisis laktosa yang dicerna. Tekanan osmotik laktosa yang tidak diserap menyebabkan sekresi cairan dan elektrolit
sampai keseimbangan osmotik tercapai.
Dilatasi usus yang disebabkan oleh
perbedaan osmotik merangsang percepatan
transit intestinal, yang meningkatkan
maldigesti laktosa. Di dalam usus besar, laktosa bebas difermentasikan oleh koloni bakteri untuk menghasilkan asam lemak
rantai pendek dan gas hidrogen.11
Konsumsi laktosa dalam jumlah yang lebih besar dari 12 gram, yang dikonsumsi
seluruhnya secara langsung sebagai
makanan atau minuman tunggal (jumlah tersebut biasanya didapatkan dalam 240 ml susu), menyebabkan jumlah laktosa lebih banyak yang masuk ke usus besar daripada yang dapat dicerna oleh proses metabolisme normal, sehingga menghasilkan gejala yang lebih jelas.3
Walaupun alergi susu sapi dan intoleransi laktosa berbeda, namun istilah
tersebut seringkali digunakan secara
terbalik. Alergi susu sapi adalah reaksi
imunologis terhadap protein susu sapi yang melibatkan saluran cerna, kulit, saluran
nafas, atau beberapa sistem, seperti
509 dalam susu sapi berarti rekasi non-alergik
dan non-imunologis, seperti kelainan
pencernaan, absorpsi atau metabolisme dari komponen tertentu susu sapi, dalam hal ini laktosa. Hal ini umumnya adalah kondisi yang ringan dengan gejala yang terbatas pada saluran cerna. Tabel 1 diatas merangkum perbedaan antara kedua kondisi tersebut.1
TANDA DAN GEJALA
Gejala intoleransi laktosa cenderung terjadi antara 30 menit hingga 2 jam setelah mengkonsumsi makanan atau minuman yang mengandung laktosa. Gejala yang timbul antara lain kembung, kram, flatus, nyeri perut, mual, dan diare. Laktosa yang tidak tercerna akan menumpuk di kolon, kemudian oleh koloni bakteri di kolon akan difermentasikan, dan menghasilkan gas hidrogen. Laktosa yang tidak diabsorpsi akan menyebabkan efek osmotik intralumen
yang menimbulkan diare.1,2,9,12
Gejala yang timbul pada umumnya ringan, tidak spesifik, dan berbeda antar individu. Gejala yang persisten dan lebih parah dapat mengindikasikan penyakit yang lain. Perubahan faktor fisiologis dan psikologis juga dapat memberikan gejala yang serupa. Tingkat keparahan gejala bervariasi, tergantung dari jumlah laktosa yang dikonsumsi, kondisi saat laktosa
dikonsumsi, kemampuan mentoleransi
laktosa, usia, dan etnis atau ras.1,9
Perkembangan gejala intoleransi laktosa berhubungan dengan jumlah laktosa yang
dikonsumsi dalam diet, kecepatan
pengosongan lambung, waktu transit di usus halus, serta kompensasi kolon dengan produksi asam lemak rantai pendek dari laktosa yang tidak diabsorpsi.11
DIAGNOSIS
Diagnosis intoleransi laktosa dibuat dengan mempertimbangkan riwayat makan, tanda dan gejala, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Pada riwayat
makan didapati bahwa penderita
sebelumnya mengkonsumsi laktosa yang ada dalam makanan atau minumannya, dan kemudian timbul gejala yang timbul antara 30 menit hingga 2 jam kemudian. Karakteristik feses yang timbul adalah encer dan disertai flatus, yang timbul beberapa jam setelah konsumsi laktosa. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri perut yang makin parah bila perut ditekan. Selain itu juga terdapat peningkatan suara peristaltik usus pada auskultasi.10,11
Uji hidrogen nafas dapat digunakan untuk pemeriksaan intoleransi laktosa.
Malabsorpsi laktosa menimbulkan
fermentasi laktosa oleh bakteri kolon. Proses biokimiawi ini menghasilkan gas hidrogen yang diserap ke dalam darah dan diekskresikan oleh paru-paru. Pada kondisi normal, bakteri yang melakukan fermentasi hanya terdapat di kolon. Ketika terjadi pertumbuhan bakteri yang berlebihan di usus halus, terjadi fermentasi laktosa yang tidak terhidrolisis di usus halus dan
510 konsentrasi gas hidrogen yang dikeluarkan
melalui nafas (>20 ppm). Pada keadaan seperti ini, konsentrasi gas hidrogen pada nafas kembali meningkat selama fermentasi laktosa di kolon. Normalnya, jumlah gas hidrogen yang didapatkan dalam nafas sangat sedikit, atau bahkan tidak ada samasekali. Pada uji ini, penderita diminta
untuk meminum minuman yang
mengandung laktosa sebesar 0,5-1 g/kgBB hingga 12-25 gram laktosa, dan kemudian nafasnya dianalisis pada interval tertentu. Rokok, obat-obatan dan makanan tertentu
dapat mempengaruhi hasil uji dan
disarankan untuk dihindari sebelum
melakukan uji ini.1,8,9,10,11
Uji toleransi laktosa dilakukan dengan mengukur kadar glukosa setelah pemberian laktosa oral. Uji ini dapat dilakukan anak-anak yang sudah besar atau orang dewasa. Sebelum uji dilakukan, penderita diminta untuk puasa terlebih dahulu, dan diukur kadar glukosa darahnya. Kemudian penderita diminta untuk minum cairan yang mengandung 50 gram laktosa. Sampel darah diambil 2 jam kemudian untuk mengukur kadar glukosa darah, yang kemudian dapat menunjukkan seberapa baik tubuh mampu mencerna laktosa dan mengabsorpsi glukosanya. Ketika laktosa mencapai saluran cerna, laktase akan memecah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Kemudian hepar akan mengubah galaktosa menjadi glukosa. Jika proses ini berlangsung normal, glukosa akan masuk ke dalam aliran darah dan meningkatkan kadar
glukosa darah puasa. Jika laktosa tidak dapat dicerna secara baik, kadar glukosa darah tidak meningkat secara signifikan. Pada intoleransi laktosa, dosis oral kurang dari 50 gram laktosa akan menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah kurang dari 25 μg/100 ml. Uji toleransi laktosa dan uji hidrogen nafas tidak dilakukan pada bayi yang berusia kurang dari 6 bulan. Pemberian laktosa dalam jumlah yang besar berbahaya bagi bayi pada usia tersebut, karena bayi lebih mudah mengalami dehidrasi akibat diare yang disebabkan oleh intoleransi laktosa.1,8,9
Jika diperlukan, dilakukan juga uji keasaman feses, dengan mengukur kadar asam feses. Uji ini tidak menimbulkan resiko pada bayi. Laktosa yang tidak tercerna yang difermentasikan oleh koloni bakteri menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai pendek lainnya, sehingga feses menjadi asam (pH<6). Bisa juga didapatkan glukosa dalam feses sebagai akibat laktosa yang tidak diabsorpsi. Laktosa yang ada dalam feses juga dapat diketahui dengan melakukan uji reduksi gula. Pada feses
ditambahkan larutan Fehling. Adanya
laktosa akan merubah warna larutan dari biru menjadi merah.1,8,9
Uji definitif pada intoleransi laktosa adalah biopsi mukosa usus halus. Metode ini jarang digunakan karena bersifat invasif. Keuntungannya adalah dapat diketahui secara pasti adanya defisiensi enzim laktase pada mukosa intestinal. Prosedur ini dilakukan melalui endoskop, kemudian
511 dilakukan biopsi pada mukosa intestinal.
Pada mukosa yang telah diambil dilakukan uji aktivitas enzim laktase. Pada penderita
intoleransi laktosa akan didapatkan
penurunan aktivitas enzim laktase.1,10,11
PENATALAKSANAAN
Manajemen kasus intoleransi laktosa cukup mudah, dan memerlukan perubahan pola makan. Gejala intoleransi laktosa dapat dihilangkan dengan mengurangi konsumsi makanan yang mengandung laktosa. Bayi yang lahir dengan intoleransi laktosa sebaiknya tidak diberi makanan yang mengandung laktosa. Anak-anak dan orang dewasa yang menderita intoleransi laktosa tidak perlu menghindari makanan yang
mengandung laktosa sepenuhnya,
tergantung dari kemampuan tiap individu
untuk mentoleransi laktosa. Banyak
penderita juga mampu mentoleransi laktosa dengan mengkonsumsi produk susu dalam porsi kecil.3,8,9
Produk susu yang dapat ditoleransi lebih baik oleh penderita intoleransi laktosa adalah produk susu dengan bentuk padat atau semi padat, seperti keju dan yogurt atau produk susu yang telah dikultur dengan bakteri. Bentuk produk susu seperti ini mudah ditoleransi karena pengosongan lambung lebih lambat pada makanan jenis ini daripada susu cair, dan kadar laktosanya lebih rendah. Yogurt dengan bakteri
penghasil asam laktat (Lactobacillus dan
Streptococcus spp.) memiliki keuntungan bagi penderita intoleransi laktosa karena
adanya β-galaktosidase bakterial pada yogurt yang mampu memecah laktosa. Fermentasi produk susu menyebabkan
pemecahan laktosa menjadi bentuk
monosakarida. Karena enzim mikrobial ini sensitif terhadap pembekuan, maka yogurt beku akan lebih sulit ditoleransi.1,3
Intoleransi laktosa adalah kelainan yang berhubungan dengan dosis laktosa yang dicerna. Derajat toleransi laktosa berbeda pada tiap individu, dan diagnosis intoleransi laktosa tidak berarti penderita harus menghindari semua makanan dan
minuman yang mengandung laktosa.
Konsumsi 50 gram laktosa pada suatu uji klinis menyebabkan timbulnya gejala pada 80%-100% pada penderita intoleransi laktosa, dan sepertiga penderita mengalami gejala setelah mengkonsumsi 200-250 ml susu. Namun pada umumnya, gejala intoleransi laktosa tidak timbul hingga parah pada konsumsi hingga lebih dari 4-12 gram laktosa (100-240 ml susu). Konsumsi rendah laktosa dibawah 7 gram tidak menunjukkan adanya gejala pada intoleransi laktosa, dan konsumsi lebih dari 12 gram laktosa (setara dengan 240 ml susu) biasanya menyebabkan kembung, nyeri perut, serta diare. Tabel 2 menunjukkan kadar laktosa dalam susu dan berbagai produknya.1,4
Tabel 2 Kadar Laktosa Dalam Susu dan
512 Intoleransi laktosa sekunder yang
diakibatkan oleh suatu penyakit lain yang mendasarinya adalah suatu kondisi yang bersifat sementara. Dengan melakukan
terapi pada penyakit primer yang
mendasarinya, maka gejalanya akan
berkurang. Penderita akan disarankan untuk membatasi konsumsi susu dan produk susu
hingga kelainan utamanya dapat diatasi.2,11
Susu dan produk susu yang banyak mengandung laktosa juga kaya akan
kalsium. Oleh karena itu, penderita
intoleransi laktosa yang membatasi
konsumsi susu dan produknya juga rawan defisiensi kalsium. Karena kalsium sangat penting bagi pertumbuhan tulang,
anak-anak dapat mengalami gangguan
pertumbuhan dan mineralisasi tulang
sebagai akibat dari defisiensi kalsium jika tidak mendapat asupan kalsium dalam jumlah yang cukup. Oleh karena itu suplementasi kalsium diperlukan pada
penderita intoleransi laktosa yang
membatasi konsumsi susu dan produknya, terutama anak-anak. Sedangkan orang dewasa yang membatasi konsumsi susu dan produknya rentan menderita osteoporosis karena defisiensi kalsium. Restriksi intik kalsium yang berlebihan, yang tidak
disadari akibat restriksi susu dan
produknya, menyebabkan beberapa masalah serius seperti berkurangnya massa tulang,
kecenderungan untuk mengalami
osteopenia, dan meningkatnya resiko
osteoporosis serta patah tulang. Sumber kalsium, fosfor dan magnesium selain susu
adalah susu soya, yogurt soya, tahu, ikan laut dan produk laut lainnya, biji-bijian, kacang-kacangan sayuran dengan warna hijau tua, jeruk, dan beberapa buah lainnya. Kadar kalsium pada beberapa bahan pangan ditampilkan pada tabel 3.1,2,8,10
Tabel 3. Kadar Kalsium Pada Beberapa Bahan Pangan
KESIMPULAN
Penderita intoleransi laktosa masih dapat mengkonsumsi susu dan produk turunannya, namun harus memperhatikan batas toleransi laktosa yang dimilikinya. Pembatasan konsumsi susu dan produk
turunannya sebaiknya diiringi dengan
suplementasi kalsium atau peningkatan sumber kalsium dari bahan pangan selain
susu. Dengan demikian, penderita
intoleransi laktosa tetap dapat mencukupi kebutuhan kalsiumnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Stear GIJ, Horsburgh K, Steinman HA. Lactose Intolerance – A Review. Current Allergy & Clinical Immunology. 2005;18(3):114-119.
513
2. Rusynyk RA and Still CD. Lactose
Intolerance. The Journal of American Osteopathic Association. 2001;101(4):S10-S12.
3. Beyer PL. Medical Nutrition Therapy for Lower Gastrointestinal Tract Disorders. Di dalam: Mahan K, Escott-Stump S, editor. Krause’s Food, Nutrition, & Diet Therapy. Ed ke-11. Philadelphia: Saunders; 2004. hlm 718-721.
4. Vesa TH, Marteau P, Korpela R. Lactose Intolerance. Journal of The American College of Nutrition. 2000;19(2):165S-175S.
5. Brody T. Nutritional Biochemistry. Ed ke-2. California: Academic Press; 1999. hlm 103-115.
6. Beyer PL. Digestion, Absorption,
Transport, and Excretion of Nutrients. Di dalam: Mahan K, Escott-Stump S, editor. Krause’s Food, Nutrition, & Diet Therapy. Ed ke-11. Philadelphia: Saunders; 2004. hlm 15-16.
7. Ettinger S. Macronutrients: Carbohydrates, Proteins, and Lipids. Di dalam: Mahan K, Escott-Stump S, editor. Krause’s Food, Nutrition, & Diet Therapy. Ed ke-11. Philadelphia: Saunders; 2004. hlm 42-43.
8. American Gastroenterological Association. Lactose Intolerance. http://www.gastro.org/wmspage.cfm?parm 1=854 ; 2006.
9. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease. Lactose Intolerance. http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pu bs/ lactoseintolerance/ ; 2006. Diakses pada 23 Desember 2008.
10. Guandalini S, Frye RE, Rivera DM,
Borowitz S. Lactose Intolerance.
http://emedicine.medscape.com/article/930 971-overview ; 2006.
11. Roy PK, Barakat J, Nwakakwa V,
Shojamanesh H, Khurana V. Lactose Intolerance.
http://emedicine.medscape.com/article/187 249-overview ; 2006.
12. Binder HJ. Disorders of Absorption. Di dalam: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Ed ke-15. New York: McGraw-Hill; 2001. hlm 1666-1670.