• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI KERAGAAN PRODUKSI DAN NILAI EKONOMI SAPI POTONG BERANAK KEMBAR DI JAWA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI KERAGAAN PRODUKSI DAN NILAI EKONOMI SAPI POTONG BERANAK KEMBAR DI JAWA TIMUR"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI KERAGAAN

PRODUKSI DAN NILAI EKONOMI SAPI POTONG

BERANAK KEMBAR DI JAWA TIMUR

(Identification and Inventing Production and Economic Performance of Beef

Cattle Having Twin Offspring)

MOHAMMAD ALI YUSRAN dan M. MASHURI

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, Jl. Raya Karang Ploso Km 4 Kotak Pos 188 Malang 65101

ABSTRACT

The objective of this research was to obtain the basic data of production performance and economic value of beef cattle after giving birth to twin calves on the condition of beef cattle farming in East Java. This researc was conducted from July to December 2009. The sample was beef cows with twin calves, either as result of natural mating or artificial insemination. Exploration of the required data was done by survey methods in the districts that has beef cows with twin calves in the time span of years 2007 – 2009; and they are District: Pamekasan, Sampang, Situbondo, Probolinggo, Jember, Pasuruan, Malang, Lumajang, Nganjuk, Trenggalek, Pacitan, Lamongan, Sidoarjo, and Tuban. Observation was conducted directly or indirectly at 14 (fourteen) districts to the beef cattle that has twins as sample in this study that acounted to 120 heads. The results showed, that in the existing conditions of cattle farm in East Java, the average postpartum anestrus (APP), and calving period are not significantly different between cow giving birth to twin and single, respectively, ie 5.1 ± 2.1 months vs. 4.1 ± 1.2 months, and 16.0 ± 2.4 months vs. 14.8 ± 1.8 months. Of the 120 incidents of giving birth to twin, stillbirth only 5%, difficulty in giving birth (aided birth process) 13% (64% of them due to malposition), and only 4% got prolapsus and 5% got retensio post giving birth to twin, pre weaning mortality of twin was 8.1%. of the total number of twin births of calves approximately 57% sold at or near weaning. If the breeder managed to sell both twin calves farmer will get higher sales price around 25 – 35% compared to when farmer sell single-born calf at the same age. It is concluded that the productivity of cow post-birth to twin will not be lower than that of cow post-birth to a single, when they got adequate nutrition during the first 5 months after birth

Key Words: Beef Cattle, Twin Post Partum, Production, Economic Value.

ABSTRAK

Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dasar keragaan produksi dan nilai ekonomi sapi potong induk pascaberanak kembar pada kondisi usaha peternakan sapi potong spesifik lokasi Jawa Timur. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai Desember 2009. Sampel penelitian adalah sapi-sapi potong induk beranak kembar, baik hasil kawin alam maupun inseminasi buatan. Eksplorasi data yang dibutuhkan dilaksanakan dengan menggunakan metode survei di wilayah kabupaten yang telah diperoleh informasi adanya sapi potong induk beranak kembar dalam rentangan waktu tahun 2007 – 2009; dan wilayah kabupaten tersebut adalah Kabupaten Pamekasan, Sampang, Situbondo, Probolinggo, Jember, Pasuruan, Malang, Lumajang, Nganjuk, Trenggalek, Pacitan, Lamongan, Sidoarjo, dan Tuban. Di 14 (empat belas) wilayah kabupaten tersebut dilakukan observasi secara langung maupun tidak langsung terhadap sapi-sapi potong induk yang pernah beranak kembar sebagai materi sapi sample dalam penelitian ini yang jumlahnya mencapai 120 ekor. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa dalam kondisi usaha ternak sapi potong rakyat di Jawa Timur rata-rata lama periode lama anestrus postpartum (APP), dan jarak beranak sapi – sapi potong induk pascaberanak kembar tidak berbeda nyata dengan dengan ketika pasca beranak tunggal, secara berurutan, yakni 5,1 ± 2,1 bulan vs 4,1 ± 1,2 bulan, dan 16,0 ± 2,4 bulan vs 14,8 ± 1,8 bulan. Dari 120 kejadian kelahiran kembar terjadi still birth hanya 5%, kesulitan melahirkan (perlu bantuan proses kelahiran) 13% (64% karena malposition), dan hanya 4% mengalami prolapsus dan 5% mengalam retensio pascaberanak kembar, sedang prosentase mortalitas pra-sapih anak sapi kembar 8,1%. Dari total jumlah anak sapi kelahiran kembar sekitar 57% dijual pada saat belum atau menjelang disapih. Apabila peternak berhasil menjual 2 ekor anak sapi hasil kelahiran kembar akan memperoleh pendapatan hasil jual lebih tinggi sekitar

(2)

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

25 – 35% dibandingkan dengan apabila peternak menjual anak sapi kelahiran tunggal pada umur yang relatif sama. Kesimpulan hasil penelitian adalah dalam kondisi usaha ternak sapi potong rakyat di Jawa Timur, produktivitas sapi potong induk pasca beranak kembar tidak akan lebih rendah dibandingkan dengan pascaberanak tunggal, apabila memperoleh kecukupan nutrisi selama 5 bulan pertama pascaberanak.

Kata Kunci: Sapi Potong, Pasca Beranak Kembar, Produksi, Nilai Ekonomi

PENDAHULUAN

Dalam industri sapi potong dalam negeri, permasalahan krusial yang dihadapi pemerintah pada saat ini adalah masih tingginya porsi daging maupun sapi potong bakalan impor dalam memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, yakni mencapai 28% pada tahun 2006, dan apabila tanpa ada upaya yang lebih serius porsi impor akan mencapai 37% pada tahun 2010 bahkan pada tahun 2015 diprediksi dapat mencapai 50% (ANONIMUS, 2007). Kondisi tersebut tentunya merupakan kelemahan dalam masalah ketahanan pangan pada dimensi ketersediaan (availability) dalam level nasional. Ketergantungan terhadap suplai daging tersebut dikarenakan laju permintaan daging (sapi) lebih cepat daripada peningkatan produksi daging di dalam negeri. Meskipun dilaporkan, bahwa realisasi kelahiran inseminasi buatan di Jawa Timur dari tahun 2003 hingga 2007 terjadi peningkatan sekitar 18,9% (ANONIMUS, 2007).

Upaya yang telah dilakukan pemerintah secara reguler adalah melalui peningkatan populasi dan produktivitas sapi potong (berat badan per satuan ternak yang dipotong). Upaya reguler peningkatan populasi adalah melalui peningkatan laju reproduktivitas sapi induk dengan target jarak beranak populasi 12 – 13 bulan. Guna lebih mengakselerasi peningkatan populasi ini juga perlu dilakukan upaya terobosan alternatif melalui upaya peningkatan prosentase/frekuensi beranak kembar (twinning

rate) dalam populasi sapi potong, termasuk di

Jawa Timur. Hasil-hasil studi telah dapat mengestimasikan, bahwa efisiensi produksi sapi potong meningkatkan sekitar 24% apabila

twinning rate > 40% (GUERRA-MARTINEZ et

al., 1990 dikutip ECHTERNKAMP dan GREGORY, 2002).

Meskipun telah diestimasikan secara matematik, bahwa dengan meningkatnya

twinning rate dalam suatu populasi sapi potong

induk akan lebih meningkatkan efisiensi produksi populasi sapi potong yang

bersangkutan, akan tetapi sebenarnya terdapat beberapa potensi masalah yang lebih merugikan secara ekonomis dengan kejadian beranak kembar pada induk sapi potong, yakni: (1) Anak sapi yang dilahirkan kondisinya lemah dan kecil berkaitan lebih singkatnya umur kebuntingan dari waktu yang normal; (2) Meningkatnya kematian anak sapi (still birth); (3) Kegagalan tampilan reproduksi

post-partum (lebih lamanya periode anestrus pp dan calving. rendahnya conception rates) berkaitan

dengan meningkatnya dystocia, cystic ovaries, dan retained placenta; (4) Terjadi freemartin pada kelahiran kembar yang heterosexual; serta (5) Kebanyakan bangsa sapi potong kemampuan memproduksi susunya rendah, sehingga menekan laju pertumbuhan anak sapi kembar (BERDEN and FUQUAY, 1980, ECHTERNKAMP and GREGORY, 2002, KIRKPATRICK, 2002).

Pada tahap inisiasi program sapi potong beranak kembar sangat perlu adanya informasi data dasar berkaitan dengan kelahiran kembar dari kondisi riil pada kondisi usaha peternakan sapi potong rakyat di Jawa Timur, guna mendukung penyusunan strategi dan kegiatan penelitian sapi potong beranak kembar yang lebih intensif dan tepat guna. Tahapan berikutnya dari hasil penelitian tersebut adalah untuk menghasilkan teknologi inovatif dan tepat guna yang dapat meningkatkan twinning

rate dan menentukan arah yang tepat dalam

penyusunan kebijakan peningkatan populasi dan produktivitas sapi potong di Jawa Timur, melalui program sapi potong beranak kembar.

Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dasar keragaan produksi dan nilai ekonomi sapi potong induk pasca beranak kembar pada kondisi usaha peternakan sapi potong spesifik lokasi Jawa Timur guna mendukung kebijakan peningkatan produktivitas sapi potong melalui peningkatan prosentase beranak kembar (twinning rate).

(3)

MATERI DAN METODE

Kegiatan penelitian ini merupakan penelitian diskriptif performance reproduksi induk dan anak sapi yang dihasilkan serta nilai ekonomi dari kejadian sapi potong induk pascaberanak kembar di Propinsi Jawa Timur dalam rentangan waktu kejadian tahun 2007 – 2009.

Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juli sampai Desember 2009. Sampel penelitian adalah sapi-sapi potong induk beranak kembar, baik hasil kawin alam maupun inseminasi buatan.

Kegiatan penggalian data dilaksanakan dengan menggunakan metode survei di wilayah kabupaten yang telah diperoleh informasi adanya sapi potong induk beranak kembar dalam rentangan waktu tahun 2007 – 2009. Wilayah tersebut adalah Kabupaten: Pamekasan, Sampang, Situbondo, Probolinggo, Jember, Pasuruan, Malang, Lumajang, Nganjuk, Trenggalek, Pacitan, Lamongan, Sidoarjo, dan Tuban.

Di 14 (empat belas) wilayah kabupaten tersebut dilakukan observasi secara langung maupun tidak langsung terhadap 120 ekor sapi-sapi potong induk yang pernah beranak kembar sebagai materi sapi sampel.

Data parameter yang dikoleksi dengan melakukan observasi langsung maupun tidak langsung dari semua sampel penelitian ini adalah:

1. Bobot badan sapi (induk dan anak/ turunannya); estimasi dari ukuran lingkar dada

2. Skor Kondisi Tubuh (SKT) sapi (induk dan anaknya); skala 1 sampai dengan 10. 3. Historis tatalaksana pemeliharaan sebelum

terjadi kebuntingan kembar.

4. Status gizi ransum pakan harian sapi induk (sebelum dan pasca beranak) maupun anaknya.

5. Status kondisi saat melahirkan (proses beranak), termasuk teknik penanganan yang telah dilakukan dan biaya yang berkaitan dengan penanganan tersebut.

6. Tampilan aktivitas reproduksi pascaberanak (post-partum) kembar dan tunggal.

7. Vigoritas anak sapi kelahiran kembar dan tunggal dari sapi-sapi sampel.

8. Nilai ekonomi pemeliharaan ternak sapi induk setelah beranak kembar maupun tunggal beserta turunannya.

9. Preferensi peternak terhadap kelahiran kembar.

Data ditabulasikan dan dianalisis dengan menggunakan analisis diskriptif, dan uji perbandingan untuk masing-masing parameter kuantitatif dan kualitatif serta analisis ekonomi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Reproduktivitas pascaberanak kembar

Pada usaha ternak sapi potong induk (cow

and calf operation), parameter produksi secara

ekonomi yang paling utama adalah tampilan prestasi (performance) jarak beranak (calving

interval), dan setelah itu tampilan prestasi anak

sapi (pedet) saat mencapai penyapihan; yang meliputi kecepatan pertumbuhan (pertambahan bobot badan) anak sapi dan tingkat kematian/ mortalitas selama periode sebelum disapih (para-sapih).

Tampilan prestasi jarak beranak ditentukan oleh lama periode anestrus post partus, (APP) dan service per conception (S/C). Di antara kedua faktor tersebut, faktor lama periode APP yang sangat ditentukan oleh kondisi fisiologis dari sapi yang bersangkutan. Hasil pengamatan terhadap penampilan APP, S/C dan jarak beranak sapi potong induk pascaberanak kembar di Jawa Timur pada penelitian ini seperti diuraikan di Tabel 1.

Meskipun nilai rata-rata APP sapi-sapi pascaberanak kembar terlihat sedikit lebih lama (1 bulan) dibandingkan pascaberanak tunggal (Tabel 1), akan tetapi perbedaan nilai rata-rata ini tidak nyata. Lama periode APP sekitar 4 – 5 bulan ini, nampaknya merupakan tampilan prestasi APP yang umum dicapai oleh sapi-sapi potong induk dalam kondisi pemeliharaan di usaha ternak sapi potong rakyat di Jawa Timur, yakni sekitar 4 – 6 bulan (YUSRAN et al., 1998; ARYOGI at al., 2006), kecuali sapi-sapi potong induk yang memperoleh perlakuan surge feeding

postpartum selama 70 hari pertama pascaberanak melalui penerapan suplementasi

(4)

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

Tabel 1. Rata-rata tampilan prestasi (performance) reproduksi sapi potong induk pascaberanak kembar dan tunggal

Tampilan prestasi Parameter

Pascaberanak kembar Pascaberanak tunggal Anestrus postpartus (bulan) 5,1 ± 2,1a 4,1 ± 1,2a Service per conception (S/C) 1,4 ± 0,4a 2,0 ± 0,5a

Days open (bulan) 5,5 ± 2,4 t.d*

Jarak beranak (bulan) 16,0 ± 2,4a 14,8 ± 1,8a

* t.d.: tidak diperoleh data

a,b: Superskrip yang beda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (thit > 0,05)

daun leguminosa pohon (Gliricidea, Lamtoro atau Kaliandra) pada ransum basal yang berupa jerami padi atau rumput lapangan, yakni rata- rata lama periode APP nya dapat mencapai 90 hari atau 3 bulan (YUSRAN dan TELENI, 2000). Dengan demikian lama periode APP sapi-sapi potong induk pascaberanak kembar di Jawa Timur masih terdapat potensi untuk lebih dioptimalkan melalui perlakuan surge feeding

postpartum dengan suplementasi konsentrat

atau bahan pakan sumber PK dan/atau enersi

yang murah, misal menggunakan daun-daun leguminasa yang ada di sekitar sapi berada.

Lama periode APP sapi-sapi potong induk pasca beranak kembar yang tidak berbeda nyata dengan pascaberanak tunggal tersebut dapat dipastikan juga berkaitan dengan dengan rendahnya kejadian dystocia dan rentensio

placenta pada kelompok sapi potong induk

beranak kembar di Jawa Timur, seperti diperlihatkan pada hasil penelitian ini di Tabel 2.

Tabel 2. Kejadian fisiologis pada sapi induk berkaitan dengan beranak kembar

Uraian Jumlah n Prosentase jumlah kejadian dari total

jumlah kejadian beranak kembar (%)

Proses kelahiran 82

Normal 87

Perlu bantuan medis 13

Faktor penyebab perlu bantuan medis 11

Dystocia 36

Malposition (sungsang) 64

Foetus mati di uterus 0

Lain-lain 0

Anak lahir mati (Still birth) 82

Ya 5

Tidak 95

Status reproduksi pascaberanak 82

Normal 91

Prolapsus 4

Retensio placenta 5

(5)

Akan tetapi ECTERNKAMP dan GREGORY (2002) pernah melaporkan, bahwa prosentase kejadian rentensio placenta pada kelompok sapi induk beranak kembar mencapai 27,9%, sedang pada kelompok sapi induk beranak tunggal hanya 1,9%. Selanjutnya dilaporkan pula, bahwa rentensio placenta dapat menurunkan prosentase angka konsepsi (Conception rates) pada periode aktivitas reproduksi berikutnya hingga 7 – 8%, baik pada sapi-sapi beranak kembar maupun tunggal.

Dengan demikian layak diduga, bahwa di Jawa Timur kejadian beranak kembar tidak secara nyata sebagai faktor penyebab kurang optimalnya prestasi lama periode APP pada periode aktivitas reproduksi berikutnya/pasca beranak kembar. Kurang optimalnya prestasi lama periode APP tersebut, baik pada beranak kembar maupun tunggal, kemungkinan besar berkaitan erat dengan status gizi pakan yang diperoleh sapi induk selama menyusui/laktasi (post-partum) seperti telah dibuktikan dari beberapa hasil penelitian (MUKASA et al., 1997; WINUGROHO, 2002). Faktor kondisi pasokan nutrisi selama periode menyusui (5 bulan pertama pasca beranak) berperan nyata terhadap penyebab tidak optimalnya lama periode APP sapi-sapi potong induk pascaberanak kembar di Jawa Timur dapat didukung dari hasil pengamatan dalam penelitian ini tentang kondisi status gizi, yang diekspresikan dari prosentase jumlah pasokan/pemberian BK, PK dan TDN ransum terhadap kebutuhan, pada ransum sapi-sapi potong induk selama 5 bulan pertama pascaberanak, seperti tertera di Tabel 3.

Pada Tabel 3 ditunjukkan, bahwa secara keseluruhan di ketiga tipe agroekosistem wilayah sapi-sapi potong induk beranak kembar selama 5 bulan pertama pascaberanak hanya memperoleh pasokan BK, PK dan TDN secara berurutan: 88,2; 83,8 dan 85,5% dari tingkat kebutuhan bagi sapi-sapi potong induk menyusui beranak tunggal. Padahal menurut perhitungan KOONG et al. (1982) dan BUNGE,

et al. (1997) yang dikutip oleh KIRKPATRICK (2002), bahwa tingkat kebutuhan energi (ME/hari) bagi sapi potong induk beranak kembar dalam periode menyusui adalah lebih tinggi sekitar 11 – 13% dibandingkan beranak tunggal (menyusui 1 ekor anak sapi). Laporan hasil penelitian PAMUNGKAS et al. (2005) juga menginformasikan bahwa sapi-sapi induk PO, silangan Limousin × PO maupun Simmental × PO yang dipelihara dalam kondisi usaha ternak rakyat di wilayah Kabupaten Probolinggo juga memperoleh pasokan BK, PK dan TDN di bawah tingkat kebutuhannya selama periode menyusui.

Tinggi rendahnya tampilan prestasi S/C lebih kuat ditentukan oleh faktor teknik manajemen layanan IB daripada faktor tipe beranak (kembar/tunggal); sesuai dengan data rata-rata S/C yang tidak berbeda nyata antara kedua tipe beranak (Tabel 1).

Dikarenakan faktor tipe beranak kembar tidak menyebabkan terjadinya peningkatan lama periode APP maupun S/C secara nyata dibandingkan beranak tunggal, maka tampilan prestasi jarak beranak sapi-sapi potong induk pada periode pasca beranak kembar tidak berbeda nyata dengan pascaberanak tunggal Tabel 3. Rata-rata persentase tingkat pasokan BK, PK dan TDN (per ekor per hari) terhadap sapi potong

induk 5 bulan pertama pasca beranak kembar dari tingkat kebutuhannya*)

Prosentase pasokan nutrisi terhadap kebutuhan (%) Tipe agroekosistem wilayah lokasi

BK PK TDN

LKDR 85,3 ± 19,0 72,7 ± 28,0 79,9 ± 22,0

LKDT 79,9 ± 26,4 90,7 ± 34,7 78,5 ± 22,8

LSDR 100,3 ± 20,4 87,3 ± 24,2 99,0 ± 23,2

Keseluruhan 88,2 ± 23,2 83,8 ± 29,4 85,5 ± 23,7

*) Kebutuhan BK, PK dan TDN untuk sapi potong induk menyusui pascaberanak tunggal dengan estimasi bobot badan sekitar 300 – 350 kg, yaitu 8,1 kg BK/hari, 0,70 kg PK/hari, dan 4,50 kg TDN/hari (dasar rekomendasi Kearl, L.C. 1982. Nutrient requirements of ruminants in developing countries. Int. Feedstuffs Institute, Loga, Utah, USA yang dikutip oleh Patricio et al., 1994).

(6)

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

meskipun rata-rata jarak beranak pascaberanak kembar terlihat sedikit lebih panjang daripada pascaberanak tunggal, yakni 16,0 ± 2,4 bulan vs 14,8 ± 1,8 bulan (Tabel 1). Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa dari sisi aspek reproduktivitas sapi induk pascaberanak kembar potensi beranak kembar dapat dikembangkan manakala disertai dengan manajemen penanganan kejadian dystocia, gangguan reproduksi pasca beranak, terutama

prolapsus dan rentensio placenta, yang ketat

dan tepat, dan pasokan nutrisi yang cukup sekurang-kurangnya selama 90 hari pertama post-partum. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan KIRKPATRICK (2002), bahwa kelahiran kembar membawa konsekuensi adanya input manajemen yang lebih besar.

Mortalitas periode prasapih anak sapi kelahiran kembar

Pada Tabel 4 diuraikan hasil pengamatan pada penelitian ini tentang mortalitas anak kelahiran kembar periode sebelum disapih (prasapih) di Jawa Timur.

Mortalitas anak kelahiran kembar periode prasapih ternyata cukup tinggi pada usaha ternak sapi potong rakyat di Jawa Timur, yakni mencapai 8,1%, dan dari sejumlah itu 85% anak sapi mati sebelum mencapai umur 1 bulan (Tabel 4). Hasil penelitian ECTERNKAMP dan GREGORY (2002) telah menyimpulkan, bahwa

dystocia secara nyata menekan daya hidup

anak sapi perinatal, terutama pada kelahiran kembar. Pada hasil penelitian ini, dari total kejadian kesulitan dalam proses kelahiran pada sapi-sapi potong induk beranak kembar di Jawa

Timur yang disebabkan oleh dystocia cukup tinggi, yakni mencapai 36% (Tabel B). Ditambahkan pula bahwa seluruh peternak responden yang mengalami kematian anak sapinya hasil kelahiran kembar sebelum disapih (umur 4 – 5 bulan) menyatakan, bahwa penyebab utama kematiannya adalah anak sapi lemah kekurangan susu (nutrisi).

Oleh karena itu, sangat tepat apabila potensi sapi beranak kembar apabila akan dikembangkan di Jawa Timur harus disertai dengan modifikasi ransum sapi-sapi potong induk sekurang-kurangnya selama periode 90 hari pertama post-partum.

Nilai ekonomi anak sapi kelahiran kembar

Keberlajutan pengembangan potensi sapi beranak kembar juga sangat ditentukan oleh potensi nilai ekonomi anak-anak sapi yang dihasilkan, karena anak sapi merupakan output utama dalam usaha ternak sapi potong induk (cow and calf program). Nilai ekonomi anak sapi kelahiran kembar pada penelitian ini hanya didasarkan atas harga jual saja dan atas dasar ketersediaan datanya. Informasi harga-harga jual yang tertera di Tabel 5 adalah harga-harga anak sapi kelahiran kembar hasil persilangan Limousin × PO (LimPO), Simmental × PO (SimPO), dan juga hasil persilangan 3 (tiga) bangsa, yakni Limousin × Simmental × PO (LSP). Selain itu, harga jual yang terjadi hanya didasarkan atas tampilan eksterior tubuh sapi saat ditawarkan (tidak atas dasar harga per kg bobot badan).

Tabel 4. Mortalitas anak kelahiran kembar periode sebelum disapih (prasapih)

Uraian Jumlah anak (n) Prosentase (%)

Prosentase jumlah anak sapi kembar mati/

mortalitas prasapih 160 8,1

Prosentase jumlah anak sapi kembar mati/

mortalitas prasapih menurut umur 13

Kurang dari 1 bulan 85

Antara 1 – 2 bulan 0

Antara 2 – 3 bulan 8

Antara 3 – 4 bulan 0

(7)

Tabel 5. Kisaran hasil harga jual anak sapi kelahiran kembar per ekor menurut umur untuk bangsa sapi hasil persilangan (Limousin/Simmental × PO)

Kisaran umur Kisaran harga jual yang terjadi per ekor (Rp. × 000)

(bulan) Betina Jantan

1 – 2 t.d. t.d.

2 – 3 2.750 – 3.130 2.880 – 3.500 3 – 4 3.250 – 3.300 2.940 – 3.50. 4 – 5 3.000 – 4.000 3.500 – 4.620 5 – 6 2.850 – 4 750 3.000 – 5.000

Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa dari total jumlah anak sapi kelahiran kembar yang dijual peternaknya adalah sekitar 57% dijual pada saat belum atau menjelang disapih. Hal ini bermakna, bahwa manajemen teknik penyapihan dini yang tepat sangat diperlukan dalam program pengembangan sapi beranak kembar di Jawa Timur, seperti yang disarankan oleh KIRKPATRICK (2002).

Harga jual anak-anak sapi kelahiran kembar yang tertera di Tabel 5 adalah harga jual per ekor. Apabila peternak berhasil menjual 2 ekor anak sapi hasil kelahiran kembar akan memperoleh pendapatan dari hasil penjualan sebesar sekitar 2 kali lipatnya. Pendapatan hasil jual tersebut akan lebih tinggi sekitar 25 – 35% dibandingkan dengan apabila peternak menjual anak sapi kelahiran tunggal pada umur yang relatif sama.

Dengan demikian kelahiran kembar mempunyai potensi dapat meningkatkan pendapatan peternak sapi potong dari hasil penjualan anak sapi (output utama), apabila dapat diatasinya kematian prasapih dan kekurangan gizi sapi induknya pascaberanak kembar.

KESIMPULAN

1. Dalam kondisi usaha ternak sapi potong rakyat di Jawa Timur, reproduktivitas sapi potong induk pascaberanak kembar tidak akan lebih rendah dibandingkan dengan pascaberanak tunggal, apabila memperoleh kecukupan nutrisi selama 5 bulan pertama pascaberanak.

2. Tampilan karakter reproduksi utama sapi potong induk pascaberanak kembar dalam kondisi pemeliharaan di usaha ternak sapi potong rakyat di Jawa Timur adalah lama periode APP: 5,1 ± 2,1 bulan, S/C: 1,4 ± 0,4, dan jarak beranak: 16,0 ± 2,4 bulan. 3. Dalam kondisi usaha ternak sapi potong

rakyat di Jawa Timur, terjadinya kelahiran kembar dapat meningkatkan pendapatan peternak dari hasil jual (output utama) anak sapi kembar sekitar 25 – 35% dibandingkan dengan dari kelahiran tunggal, apabila dapat diatasinya kematian pra-sapih dan kekurangan gizi sapi induknya pascaberanak.

SARAN

Perlu segera diperoleh paket teknologi produksi yang tepat bagi sapi potong induk beranak kembar yang meliputi teknik pemeliharaan anak sapi selama periode kritis dari saat dilahirkan sampai penyapihan, teknik perbaikan reproduktivitas post-partum, dan formulasi ransum induk selama 5 bulan pertama pascaberanak kembar.

DAFTAR PUSTAKA

ANONIMUS. 2007. Pedoman Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS). Departemen Pertanian. Perbanyakan oleh Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur. ARYOGI, A. ROSYID dan MARIYONO. 2006.

Performans Sapi Silangan Peranakan Ongole pada kondisi pemeliharaan di kelompok peternak rakyat. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 5 – 6 September 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 151 – 161.

BEARDEN, H.J. and J.W. FUQUAY. 1980. Applied Animal Reproduction. Reston Publishing C. Inc. Virginia.

ECHTERNKAMP, S.E. and K.E. GREGORY. 2001.

Reproductive, growth, feedlot, and carcass trait of twin versus single births in cattle. J. Anim. Sci. 80(E. Suppl.2): E64 – E73. KIRKPATRICK,B.W. 2002. Management of twinning

cow herds. J. Anim. Sci. 80 (E. Suppl.2): E 14 – E 18.

(8)

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

MUKASA MUGERWA, E.,D.ANINDO,A.LAHLAOU -KASSI,N.N.UMUNNA and A.TOGEGNE. 1997. The effect of body condition and energy utilization on the lenght of post-partum anestrus in PRID-treated and untreated post partum Bos indicus (Zebu) cattle. Anim. Sci. 65: 13 – 24

PAMUNGKAS, D., L. AFFANDHY dan Y.N. ANGGRAENY. 2005. Status Pakan Induk Sapi Potong Lokal dan Persilangan Kondisi Pascaberanak dalam Usaha Peternakan Rakyat: Studi kasus di Kecamatan Kota Probolinggo Jawa Timur. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Bogor, 12 – 13 September 2005, Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 104 – 109

WINUGROHO, M. 2002. Strategi pemberian pakan tambahan untuk memperbaiki efisiensi reproduksi induk sapi. J. Litbang Pertanian 21 (1): 19 – 23.

YUSRAN,M.A. dan E.TELENI. 2000. Perbaikan lama periode anestrus pp sapi PO induk beranak musim kemarau di usahaternak rakyat melalui surge feeding leguminosa. Buletin Peternakan. Edisi Tambahan, Desember 2000. Fakultas Peternakan Universitas. Gajah Mada, Yogyakarta

YUSRAN, M.A.,T. PURWANTO, B. SUYANTO, M.P. SUGIYANE and B.SUDARMADI. 1998. Current status of post partum anestrus interval of Peranakan Ongole cows in dry land areas of East java in relation to feed supply. Bull. Anim. Sci. Suppl. Ed. pp: 44 – 50.

Gambar

Tabel 2. Kejadian fisiologis pada sapi induk berkaitan dengan beranak kembar
Tabel 3. Rata-rata persentase tingkat pasokan BK, PK dan TDN (per ekor per hari) terhadap sapi potong  induk 5 bulan pertama pasca beranak kembar dari tingkat kebutuhannya* )
Tabel 4. Mortalitas anak kelahiran kembar periode sebelum disapih (prasapih)
Tabel 5.  Kisaran hasil harga jual anak sapi  kelahiran kembar per ekor menurut umur  untuk bangsa sapi hasil persilangan  (Limousin/Simmental × PO)

Referensi

Dokumen terkait

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan mulai dilaporkan pada tahun 2005 dan setiap penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue dan tahunnya cenderung meningkat.. Pada

Puji syukur selalu penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

Dari pelaksanaan kegiatan PPL di SD Negeri Sendangadi 1 maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan PPL dapat memberikan pengalaman kepada mahasiswa dalam pengembangan

36 pada aspek penghematan bahan baku (kayu dan bahan serat berligno-selulosa lain), bahan proses (bahan kimia utama, bahan pembantu, bahan aditif, air proses,

Sementara itu, usaha mikro secara umum memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih relatif terbatas dan dalam perjalanannya sangat sedikit yang dapat berkembang

Klik tombol “View Proforma” untuk melihat perhitungan estimasi biaya dari daftar container yang telah dibuat.. Klik tombol “Create Job Order” untuk membuat

Penelitian ini membahas mengenai minat muzakki membayar zakat di Desa Karangagung yang dipengaruhi variabel keimanan, pemahaman zakat, sosialisasi, pendidikan, pendapatan,

Dalam kaitan dengan proses pembelajaran melukis gaya Batuan, metode ceramah diaplikasikan hampir pada setiap awal pertemuan ketika para pembina/instruktur