• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN UKDW

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN UKDW"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Dapatkah manusia hidup bebas dari penderitaan? Bila penderitaan mencakup persoalan kemiskinan, kelaparan, bencana, sakit penyakit dan segala hal lain yang tidak mengenakkan baik secara fisik ataupun mentalitas, maka setiap manusia pastilah pernah dan sedang hidup dalam penderitaan.1 Tak heran bila permasalahan tentang penderitaan adalah topik yang selalu menarik dan sekaligus aktual untuk didiskusikan, begitu pula oleh teolog dari berbagai tempat.

Diskusi mengenai penderitaan selalu melibatkan dua variabel yang berperan sebagai objek namun juga subjek secara bersamaan, yakni manusia dan Tuhan (Allah). Kedua variabel tersebut menjadi topik utama skripsi ini, khususnya bagaimana hubungan manusia dan Allah dalam merespons peliknya penderitaan. Tak jarang diskusi mengenai penderitaan manusia dan Allah menghasilkan beberapa pertanyaan yang membutuhkan diskusi panjang.

Siapakah yang mendatangkan penderitaan, bila Allah yang mendatangkan penderitaan, mengapa Allah mendatangkannya? Bila bukan dari Allah lantas siapa sumber penderitaan? Kemanakah Allah ketika penderitaan terjadi bahkan menghancur leburkan kehidupan manusia dan memakan banyak korban? Pertanyaan-pertanyaan demikian selalu saja muncul dan mengisi diskusi-diskusi tentang manusia dan Allah dalam dilema penderitaan. Apalagi bila penderitaan menimpa mereka yang sepertinya tak bersalah dan berdosa, yang taat pada hal keimanan. Allah yang bagaimanakah yang menciptakan dunia sedemikian kejam, sehingga mendatangkan pula petaka bagi mereka yang hidupnya baik dan benar? Pertanyaan-pertanyaan tersebut telah memunculkan berbagai respons. Pada bagian selanjutnya respons terhadap realita penderitaan dikategorikan ke dalam dua kelompok besar, yakni teologi katafatik, dan teologi apofatik. Penulis pada skripsi ini akan mencoba melihat bagaimana yang apofatik justru digunakan untuk berteologi, melengkapi proses berteologi secara katafatik.

Walkinson dalam karyangya A Passion for Society menjadi salah satu contoh pemikiran yang memahami Allah di dalam realita penderitaan secara katafatik. Menurut Walkinson, orang seringkali melihat realita penderitaan sebagai takdir Ilahi. Namun, bila memang penderitaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia ialah takdir Ilahi, maka mengapa Allah memberikan

1 Iain Walkinson & Arthur Kleinman, A Passion for Society – How We Think about Human Suffering

(California: University of California Press, 2016), viii.

(2)

2

takdir tersebut? Jawabannya mungkin seperti yang diutarakan Richard Boxter sebagaimana dipahami Walkinson, karena dosa dan kesalahan manusia, atau sekedar sebagai ujian Allah bagi kehidupan manusia supaya manusia memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Allah.2 Lebih ekstrim lagi, penderitaan kemudian dipahami sebagai kemarahan Allah, hukuman Allah terhadap dosa-dosa manusia seperti yang dituliskan Walkinson, “God can choose to make the sun stand still, and when angered, he sends earthquakes, floods, hails of fire and brimstone, famine, and epidemic disease to destroy population. (Allah dapat memilih untuk mempertahankan matahari, namun ketika Ia marah, Ia akan mengirimkan gempa bumi, banjir, memanggil atau mendatangkan api dan sulfur, kelaparan dan wabah penyakit untuk menghancurkan seluruh populasi)”3

Walkinson yakin bahwa penderitaan manusia adalah hukuman Allah, takdir ilahi yang seringkali disangkutpautkan dengan dosa manusia, atau komunitasnya.4 Dengan demikian, Allah adalah figur yang tetap unggul,bahwa Ia adalah baik, penuh kuasa dan penuh cinta kasih, karena penderitaan hanya muncul sebagai kemarahan Allah terhadap kesalahan manusia. Jadi yang bersalah dan bertanggung jawab terhadap penderitaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah manusia itu sendiri yang telah berbuat dosa dan mendatangkan kemarahan Allah. Pandangan Walkinson ini sama dengan pandangan yang muncul pada sebagian besar masyarakat Indonesia, yakni memahami penderitaan sebagai hukuman Allah, misalnya saja masyarakat Nias, Halmahera, dan Alor. Masyarakat Nias memahami bencana gempa besar sebagai hukuman Allah terhadap dosa-dosa mereka.5 Sementara masyarakat Halmahera dalam krisis akan kerusuhan Ambon-Poso juga meyakini bahwa, “Allah menghukum umat-Nya di sana karena dosa mereka sudah terlalu banyak”.6 Atau masyarakat Alor yang juga memaknai gempa sebagai hukuman atau teguran Allah terhadap dosa mereka.7 Hal ini semakin diperparah dengan pandangan teolog-teolog (pendeta) yang justru semakin menegaskan penderitaan sebagai hukuman Allah terhadap

2 Walkinson & Arthur Kleinman, 29. 3 Walkinson & Arthur Kleinman, 30. 4 Walkinson & Arthur Kleinman, 31.

5 Eirene Gulo, “Senin Dini Hari: Pergumulan Iman Menghadapi Gempa di Nias”, dalam Teologi Bencana:

Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, ed. Zakaria J. Ngelow dkk., (Makassa: Yayasan OASE INTIM, 2006), 63.

6 Jerda Djawa, “Mencari Makna Penderitaan: Refleksi Penalaman dalam Konteks Kerusuhan di

Halmahera”, dalam Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, ed.

Zakaria J. Ngelow dkk., (Makassa: Yayasan OASE INTIM, 2006), 65&70.

7 Bernard T. Adeney-Risakotta, “Pengantar”, dalam Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks

Bencana Alam dan Bencana Sosial, ed. Zakaria J. Ngelow dkk., (Makassa: Yayasan OASE INTIM, 2006), 33.

(3)

3

dosa dan oleh karenanya manusia harus bertobat.8 Tentu saja teologi yang seperti ini tidak menghibur umat melainkan meletakkan umat di dalam keterpurukan yang semakin dalam.

Reaksi tersebut dapat digolongkan sebagai model berteologi katafatik. Berteologi secara katafatik adalah sebuah upaya yang dilakukan manusia untuk memahami Allah dalam konsep tertentu sesuai dengan apa yang mampu dipahami rasio manusia. Dengan kepentingan-kepentingan tertentu di dalamnya, sosok Ilahi atau natur Ilahi kemudian dipahami sebagai sesuatu yang selalu “baik” dan “mulia” karena rasio manusia ingin mengatakan bahwa Allah tidak mungkin buruk, jahat, atau mendatangkan kesusahan dalam kehidupan manusia, bahwa Allah kemudian menjadi sosok yang dekat dan begitu manusiawi merupakan implikasi dari Allah yang baik dan mulia. Konsep-konsep tersebut akan dipertahankan sekalipun pada realitanya konsep tersebut tidak sesuai dengan pengalaman empiris yang sedang dialami manusia (penderitaan). Teologi katafatik muncul sebagai keyakinan komunal, konsep dogmatis yang muncul dalam rumusan-rumusan tertentu dan terus dijaga serta dihidupi sekalipun bertoloh belakang dengan realita. Manusia cenderung memilih pembenaran-pembenaran lain yang tidak mengorbankan klaim dogmatis apabila dalam ziarah hidup klaim dogmatis ternyata berbenturan dengan realita sosial.

Bila teologi katafatik menawarkan pengenalan yang pasti akan Allah melalui konsep-konsep dogmatis, maka teologi apofatik menyeberang kepada ranah yang lebih mistik. Menurut teologi apofatik, Allah bagaimanapun juga adalah yang tak dapat dijangkau oleh rasio manusia. Contoh pemikiran apofatik muncul pada model teologi Klemens dari Aleksandria. Dalam berteologi, Klemens menggunakan bahasa alpha privative untuk mendefinisikan Allah, yakni bahasa atau kata yang menidakkanNya, Allah adalah yang tak terpahami, tak terdefinisi, tak terlukiskan, dan masih banyak lagi.9

Jadi, yang menjadi pembeda utamanya ialah bagaimana manusia berdialog dengan realita yang transenden dan kemudian menerjemahkan dialog tersebut melalui sikap dan tindakan. Denys Turner, salah seorang teolog apofatik yang mengikuti model pemikiran Thomas Aquinas memberikan kritiknya. Menurut Turner banyak teolog yang mengesampingkan begitu saja realita bahwa di dalam diri Allah terdapat aspek yang tak dapat dipahami atau dipikirkan manusia

8 Zakaria J. Ngelow dkk., Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana

Sosial, (Makassar: Yayasan OASE INTIN,2006), 13.

9Henny Fiska Hägg, Clement of Alexandria and the Beginnings of Christian Apophaticism (Ney York :

Oxford University Press, 2006), 156&161.

(4)

4

dengan begitu sederhananya, ada aspek kemustahilan yang tak boleh diingkari dalam memahami Allah.10 Secara sederhana, Turner berusaha menolak klaim-klaim dogmatis yang selama ini dihidupi dan dimunculkan, klaim dogmatis baginya hanya mengandalkan rasio dan menolak realita misteri ilahi. Klaim dogmatis yang ditoloh Turner adalah klaim-klaim katafatik, seperti klaim yang menyatakan bahwa penderitaan adalah hukuman Allah atas dosa manusia.

Sepaham dengan Turner, berbicara mengenai eksistensi Allah berarti berbicara tentang misteri, sebagai misteri maka akan selalu ada bagian hitam yang tak dapat diterangi dengan begitu jernih. Kalaupun misteri tersebut dapat dipahami oleh manusia, maka misteri itu sedang menampakkan dirinya kepada manusia atau manusia sedang mengalami momen langka sehingga mampu memahami misteri.

…to prove the existence of God is to prove the existence of mystery, that to show God to exist is to show how, in the end, the humand mind loses its grip on the meaning of ‘exist’;… that mystery of unknowable existence is somehow always present within the world simply in its character of being created. (membuktikan eksistensi Allah adalah dengan membuktikan eksistensi dari misteri, bahwa menunjukkan keberadaan Allah pada akhirnya adalah dengan menunjukkan bahwa pemikiran manusia telah kehilangan penguasaan atas makna “berada” itu sendiri;… bahwa misteri dari eksistensi yang tidak diketahui adakalanya selalu hadir di dalam dunia melalui karakteristik ciptaan.)11

Turner tidak sedang menolak upaya-upaya manusia memahami Allah. Baginya, manusia memang tidak dapat mengetahui Allah, namun manusia dapat mengetahui kebenaran Allah. Artinya, sekalipun rasio manusia tidak dapat memahami Allah, namun manusia melalui imannya seharusnya dapat merasakan kebenaran eksistensi Allah. Argument Turner ini seharusnyalah dijadikan landasan dalam mengkaji lebih dalam kekhasan berteologi secara apofatik.

Teologi apofatik yang tidak membatasi Allah terbuka untuk melengkapi bagian-bagian yang mencapai batasnya dalam teologi katafatik. Hal ini bukan berarti memaksakan segala sesuatu menghasilkan kesimpulan yang memuaskan hasrat dan kebutuhan manusia, melainkan mengakui dengan jujur eksistensi Allah justru melalui misteri yang ditawarkan Allah dalam dinamika kehidupan manusia, khususnya penderitaan sebagai sebuah realita yang pelik.

Sebagai pegangan dan landasan utama iman Kristen maka dalam membahas diskusi mengenai teologi apofatik dan teologi katafatik di tengah realita penderitaan, Alkitab akan digunakan sebagai sumber pemahaman yang utama. Apalagi diskusi tentang penderitaan juga

10 Denys Turner, Faith Reason and the Existence of God (Cambridge: Cambridge University Press,2004),

ix.

11 Turner , xiv.

(5)

5

muncul di dalam Alkitab khususnya kitab Ayub. Teologi apofatik yang ditawarkan sebagai model teologi yang melengkapi model teologi katafatik akan digali dengan lebih dalam melalui pembacaan terhadap teks Ayub. Kitab Ayub dipilih karena teks ini tidak dapat dipisahkan dari persoalan penderitaan. Bahkan Ayub yang hadir sebagai sosok seorang bijaksana dan saleh dihadapan Allah nyatanya tidak membebaskan Ayub dari penderitaan. Oleh karenanya skripsi ini juga akan mencoba menggali bagaimana Ayub berteologi menghadapi realita penderitaan. Transformasi teologis seperti apa yang muncul melalui sosok Ayub dan dapat dipelajari sebagai bagian dari proses berteologi secara katafatik maupun apofatik. Selain Ayub, skripsi ini juga akan melihat bagaimana teman-teman Ayub hadir dalam realita penderitaan yang sedang dihadapi sahabatnya. Selain karena teks Ayub sarat dengan cerita mengenai perjuangan di dalam penderitaan, teks Ayub juga dipilih karena keistimewaannya dalam menampilkan dialog yang lengkap. Teks Ayub hadir bukan hanya sebatas dialog antara Ayub mewakili manusia dan Allah namun juga antara Ayub dan teman-temannya yang mewakili manusia dan sesamanya.

1.2 Permasalahan

Dari uraian singkat di atas, maka didapati adanya masalah dalam berteologi pada konteks penderitaan. Oleh karenanya diperlukan suatu sikap dalam berteologi, khususnya bagaimana manusia kemudian bereaksi dan beriman kepada Allah di dalam dilema penderitaan. Cara manusia memahami Allah untuk menjaga imannya, atau memunculkan imannya juga tidak dapat dipatenkan dalam satu model saja. Penulis membaginya ke dalam dua model yakni yang katafatik dan apofatik. Dengan kesadaran akan kemajemukan tersebut, maka bagi penulis penting untuk mengetahui kekhasan dari masing-masing model berteologi. Walaupun demikian, skripsi ini bukan hanya dibuat untuk menjawab kekhasan dari masing-masing model, melainkan juga merupakan sebuah analisa terhadap masing-masing model dalam realita atau konteks penderitaan. Melalui analisa inilah penulis kemudian mengajukan model atau metode berteologi yang mampu menjadi jembatan teologi pembaca, dalam hal ini teologi apofatik akan dianalisa sebagai metode atau model berteologi pada konteks penderitaan yang melengkapi teologi katafatik. Analisa yang dilakukan tidak hanya dilakukan dengan melakukan perbandingan pemikiran saja. Analisa juga akan dilakukan melalui pembacaan terhadap teks Ayub, khususnya Ayub 39:34-38 (TB-LAI). Dengan demikian, secara sederhana permasalahan dalam skripsi ini dapat dirumuskan (dibatasi) ke dalam tiga pertanyaan, yakni :

(6)

6

1. Apakah perbedaan yang khas dari berteologi secara katafatik dan berteologi secara apofatik dalam menghadapi fenomena penderitaan?

2. Apakah yang menjadikan teologi apofatik sebagai sebuah metode berteologi yang penting dalam menghadapi realita penderitaan yang akan melengkapi proses berteologi secara katafatik?

3. Apakah sumbangan yang diberikan teks Ayub sebagai kekhasan dari cara atau model berteologi baik secara katafatik ataupun apofatik yang muncul pada dialog tokoh Ayub dalam menghadapi realita penderitaan?

1.3 Judul Skripsi

Penderitaan Ayub

Sebuah Sorotan Teologi Katafatik dan Apofatik

Penyaji menggunakan judul tersebut karena pada skripsi ini akan ditawarkan sebuah dialog terhadap realita penderitaan menggunakan model teologi apofatik guna melengkapi model berteologi secara katafatik, secara khusus belajar dari dialog dalam teks Ayub antara Allah, Ayub (manusia) dan teman Ayub (sesama).

1.4Tujuan

Melalui skripsi ini, diharapkan pembaca menyadari pentingnya berteologi secara apofatik untuk membuktikan kekhasan teologi apofatik yang memberikan ruang terhadap kemustahilan dan misteri dalam menjalani dan menapaki labirin kehidupan, serta sebagai upaya manusia untuk memahami Allah yang penuh misteri melalui pembacaan terhadap teks Ayub, secara khusus Ayub 39: 34-38. Dengan demikian, harapannya melalui skripsi ini, teologi apofatik boleh dijadikan sebagai metode berteologi sandingan untuk menjawab persoalan-persoalan yang

(7)

7

1.5 Metode Penelitian

Skripsi ini ditulis menggunakan model penelitian komparatif12 dengan membandingkan pemikiran atau model berteologi secara katafatik dan pemikiran atau model berteologi secara apofatik di dalam konteks penderitaan. Pada bagian ini, penulis akan menggunakan tiga tahap pencapaian sasaran dari empat tahap yang dikemukakan Bakker & Zubair dalam buku Metodologi Penelitian Filsafat, yakni deskripsi (menampakkan kesamaan dan perbedaan), evaluasi kritis (memperlihatkan kekuatan dan kelemahan melalui perbandingan) dan sintetis (memunculkan alternatif baru yang menyintensiskan kekuatan dari masing-masing pandangan).13 Dua tahap pertama (deskripsi dan evaluasi kritis) akan dimunculkan pada bab awal skripsi ini, dengan terlebih dahulu memaparkan masing-masing kesamaan namun juga perbedaan yang ada melalui studi dari berbagai sumber literatur yang berada dalam payung teologi katafatik dan teologi apofatik dilanjutkan dengan proses evaluasi untuk meneliti kekuatan dan kelemahan masing-masing model. Hasil dari penelitian tersebut akan digunakan untuk membaca teks Ayub dengan model penelitian see through14 yakni secara khusus menggunakan lensa teologi katafatik dan apofatik untuk membaca dan meneliti teks tanpa mengurangi muatan tafsir dari teks itu sendiri. Barulah pada bagian akhir dari skripsi ini, penulis mengupayakan sebuah dialog yang sintetis sebagai alternatif baru yang dapat digunakan sebagai metode pembaca berteologi dalam konteks penderitaan.

12 Model penelitian komparatif memperbandingkan dua atau lebih pandangan filsuf atau aliran tertentu

dengan menggaris bawahi entahkah itu kesamaan atau perbedaan dalam pemikiran yang dipilih. Anton Bakker&Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 83-88.

13 Bakker & Achmad Xharris Zubair, 85.

14 Metode see through lebih umum dikenal sebagai metode cross-cultural, walau demikian Listijabudi

menggunakan kata see through untuk mewakili metode tersebut. Pada dasarnya keduanya memiliki pendekatan yang tidak jauh berbeda, hanya media yang digunakan untuk membaca menjadi lebih luas. Pada metode cross-cultural

penekanannya adalah bagaimana pembaca dapat menemukan kekayaan teks secara lebih mendalam melalui membaca dengan lensa yang berbeda dengan yang biasanya mereka gunakan, pada umumnya lensa yang digunakan adalah konteks dan kultur dari pembaca lain. Sementara metode see through juga menggunakan atau melalui lensa yang berbeda hanya saja tidak terbatas hanya pada kultur dan konteks melainkan menjadi lebih luas, misalnya saja filsafat. Lih. Daniel K Listijabudi, The Mystical Quest as a Path to Peacebuilding: A Cross-textual Reading of the Stories of “Dewa Ruci” and “Jacob at the Jabbook” as a Contribution to Asian Multi-faith Hermeneutics, 20016 (disertasi),

https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://dare.ubvu.vu.nl/bitstream/handle/1871/54375/co mplete%2520dissertation.pdf%3Fsequence%3D6%26isAllowed%3Dy&ved=0ahUKEwiVvtzS8N_QAhXLi5QKHf bVB98QFggoMAU&usg=AFQjCNH6xKcA0vQbREz-uj_pDQ3cjQVm4w&sig2=iljJGdGyaJ17eFtUPvKg-Q, diunduh pada 06 Desember 2016, 19.

(8)

8

1.6 Sistematika Tulisan Bab I Pendahuluan

Pada bagian ini penulis akan mencoba mengutarakan latar belakang yang melandasi ketertarikannya sekaligus keprihatinannya terhadap topik Teologi apofatik. Berikut akan dijelaskan juga rumusan masalah yang menjadi kerangka penulisan skripsi pada bagian selanjutnya. Selain itu, tujuan penulisan serta metode penelitian yang akan digunakan juga dijelaskan pada bagian ini. Penulis menggunakan metode penelitian komparatif dengan membandingkan dua pemikiran yakni teologi katafatik dan teologi apofatik untuk membaca teks Ayub menggunakan metode penelitian see through .

Bab II Teologi Katafatik dan Teologi Apofatik

Pada bagian ini penulis akan mulai menggali secara mendalam model pemikiran teologi katafatik dan teologi apofatik secara luas. Penulis akan mulai masuk kepada kekuatan dan kelemahan dari masing-masing model melalui analisa berdasarkan pemaparan deskriptif dari kedua model berteologi.

Bab III Tafsir Ayub: Dialog Teologis Ayub Menghadapi Penderitaan

Pada bagian ini penulis akan menyajikan analisa terhadap teks Ayub yang dibagi dalam dua kerangka besar. Bagian pertama penulis akan menyajikan analisa historis terhadap teks, sementara pada bagian kedua penulis akan menyajikan tafsir terhadap teks. Sedikit banyak lensa apofatik dan katafatik juga akan muncul dan mengisi beberapa bagian dalam teks. Sekalipun tidak ditafsirkan seutuhnya, penulis akan menafsirkan teks dibagi dalam tiga bagian utama yakni prolog, dialog, dan epilog. Secara khusus Ayub 39:34-38 akan ditafsirkan dengan lebih mendetail dari bagian-bagian lain karena merupakan bagian yang menampilkan perubahan drastis dalam diri Ayub.

Bab IV Dialog Teologis: Teologi Katafatik dan Teologi Apofatik dalam Ayub

Pada bagian ini penulis akan menyajikan sebuah analisa kritis yakni dengan menyilangkan hasil dari analisa yang telah dilakukan pada bab kedua mengenai teologi apofatik dan teologi katafatik dengan pola yang muncul melalui tafsir Ayub pada bab tiga. Analisa ini bertujuan untuk mencari model teologi yang dipergunakan Ayub dalam menghadapi realita penderitaan, sekaligus jawaban akhir yang dapat dipergunakan sebagai contoh bagi pembaca dalam berteologi pada konteks penderitaan belajar dari tokoh Ayub.

(9)

9

Bab V Kesimpulan

Pada akhir dari rangkaian analisa dan dialog antara teks Ayub dan model berteologi, penulis akan mencoba menguraikan kembali dengan singkat dan sistematis gagasan yang coba dimunculkan dalam dialog khususnya pada bab empat. Penulis akan memaparkan model berteologi apofatik yang seperti apa yang dirasa tepat digunakan sebagai model sandingan untuk melengkapi proses berteologi secara katafatik.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis kebutuhan dalam rancang bangu media pembelajaran pada materi pengolahan dilakukan melalui observasi dan teknik wawancara. Proses perancangan media

Penelitian ini dilakukan untuk melihat dampak yang terjadi dari usaha pertambangan nikel terhadap sosial - ekonomi - ekologi masyarakat yang berada di Kecamatan

Perancangan media promosi Semen White Mortar TR30 membutuhkan strategi komunikasi yang tepat seperti materi, cara penyampaian, serta efektifitas kepada khalayak

Jenis grouting yang digunakan dalam penelitian berdasarkan tujuannya adalah sementasi pemadatan (compaction grouting) yaitu dilakukan dengan cara menginjeksi

Disadari bahwa keberadaan "undang- undang pidana khusus" dalam rangka politik kriminal merupakan kebutuhan yang tidak mungkin dapat dihindari, maka perlu diingat

Berdasarkan analisis lembar jawaban pada Tabel 5 terlihat bahwa pada pengetahuan ikatan kovalen koordinasi dan pengetahuan tentang meramalkan ikatan yang terbentuk

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah: 1) Telaah kompetensi mata pelajaran fisika SMK. 2) Menentukan sekolah yang akan dijadikan tempat penelitian. 3) Membuat surat

Skor keterlaksanaan pembelajaran IPA terpadu dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT ( Team Game Tournament ) dengan materi struktur dan fungsi