• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat - Parkinson Disease

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat - Parkinson Disease"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT

REFERAT

PARKINSON DISEASE

PARKINSON DISEASE

Pembimbing : Pembimbing :

dr. Tumpal Anthony Siagian, Sp.S. dr. Tumpal Anthony Siagian, Sp.S.

Disusun Oleh : Disusun Oleh :

Radia Putri Kurniawati Radia Putri Kurniawati

1361050049 1361050049

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

PERIODE 11 JUNI

PERIODE 11 JUNI

 – 

 – 

 23 JULI 2018 23 JULI 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA JAKARTA

2018 2018

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

HALAMAN

HALAMAN SAMPUL SAMPUL ii

DAFTAR

DAFTAR ISI ISI iiii

DAFTAR

DAFTAR GAMBAR GAMBAR iiiiii

DAFTAR

DAFTAR TABEL TABEL iviv

1.

1. PENDAHULUAN PENDAHULUAN 11

1.1

1.1 Latar Latar Belakang Belakang 11

2.

2. TINJAUAN TINJAUAN PUSTAKA PUSTAKA 22

2.1

2.1 Parkinson Disease Parkinson Disease 22

2.1.1 2.1.1 Definisi Definisi 22 2.1.2 2.1.2 Epidemiologi Epidemiologi 22 2.1.3 2.1.3 Etiologi Etiologi 33 2.1.4 2.1.4 Patofisiologi Patofisiologi 44 2.1.5

2.1.5 Manifestasi Klinis Manifestasi Klinis 66

2.1.6 2.1.6 Diagnosis Diagnosis 88 2.1.7 2.1.7 Tatalaksana Tatalaksana 1010 2.1.7.1 2.1.7.1 Dopaminergik Dopaminergik 1212 2.1.7.2 2.1.7.2 Antikolinergik Antikolinergik 1515 2.1.7.3

2.1.7.3 Inhibitor Inhibitor COMT COMT 1515

2.1.7.4

2.1.7.4 Inhibitor Inhibitor Monoamine Monoamine Oxidase Oxidase B B 1616 2.1.7.5

2.1.7.5 Amantadine Amantadine 1616

2.1.7.6

2.1.7.6 Terapi Terapi Gejala Gejala Non Non Motorik Motorik 1717 2.1.7.7

2.1.7.7 Neuroprotektif  Neuroprotektif 2020

2.1.7.8

2.1.7.8 Terapi Terapi Non Non Farmakologi Farmakologi 2121 2.1.7.9

2.1.7.9 Terapi Terapi Bedah Bedah 2121

2.1.8

2.1.8 Prognosis Prognosis 2323

3.

3. KESIMPULAN KESIMPULAN 2424

DAFTAR

(3)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gen yang berperan dalam PD 3

Gambar 2.2 Neuropatologi pada PD 4

Gambar 2.3 Manifestasi klinis PD 7

Gambar 2.4  Parkinson Disease Rating Scales 9

Gambar 2.5 Skema tatalaksana PD idiopatik yang baru terdiagnosis 11

Gambar 2.6 Sintesis Katekolamin 13

(4)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Potensi manfaat dan bahaya agonis dopamin, levodopa dan

(5)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

 Parkinson disease pertama kali dideskripsikan oleh James Parkinson pada tahun 1817. Ia mendefinisikan gangguan ini sebagai penyakit neurodegeneratif spesifik ditandai dengan bradikinesia, resting tremor,  rigiditas cogwheel , dan gangguan refleks postural.  Parkinson disease  adalah salah satu gangguan neurologis yang paling umum di seluruh dunia dan mempengaruhi setidaknya 1.500.000 orang di Amerika Serikat. Insidennya biasanya memuncak pada dekade keenam. Biasanya status klinis pasien berkembang dari batasan yang relatif sederhana saat diagnosis hingga kecacatan yang terus meningkat selama 10 hingga 20 tahun.1

Gambaran neuropatologis primer adalah hilangnya neuron dopaminergik  berpigmen terutama di substantia nigra dan keberadaan Lewy bodies  eosinofilik, inklusi sitoplasma yang ditemukan dalam neuron berpigmen. Proyeksi utama neuron ini adalah ke striatum, misalnya putamen dan caudatus. Dopamin dilepaskan terutama dari sel-sel striatal ini. Dari sini neurotransmisi dopamin secara berurutan diarahkan melalui globus pallidus, nukleus subthalamic, ke talamus, dan kemudian ke korteks motorik primer.1

Tatalaksana PD didasarkan pada mengatasi gejalanya. Manajemen pada setiap pasien membutuhkan pertimbangan yang cermat terhadap tanda dan gejala  pada pasien, tahap penyakit, tingkat kecacatan fungsional, dan tingkat aktivitas dan produktivitas sehari-hari. Selain aspek tersebut, pemilihan terapi juga mempertimbangkan efek samping yang sering timbul akibat pengobatan tersebut.1

(6)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Parki nson Disease

2.1.1 Definisi

 Parkinson Disease  (PD) adalah bentuk paling umum dari kelompok gangguan neurodegeneratif progresif yang dicirikan oleh gambaran klinis  parkinsonisme, termasuk bradikinesia (kurangnya dan kelambatan gerakan), resting tremor,  rigiditas otot,  shuffling gait , dan postur tubuh yang tertekuk. Meskipun didefinisikan secara klinis sebagai gangguan gerakan, sekarang secara luas disebutkan bahwa PD dapat disertai oleh berbagai gejala non-motorik, termasuk gangguan otonom, sensorik, tidur, kognitif, dan psikiatri. Hampir semua  bentuk parkinsonisme hasil dari pengurangan transmisi dopaminergik dalam

ganglia basal.2

2.1.2 Epidemiologi

PD menimpa kurang lebih sebanyak 1 juta orang di Amerika Serikat (sekitar 1% berusia lebih dari 55 tahun). Puncak usia onsetnya adalah pada awal 60-an (kisaran 35-85 tahun), dan perjalanan penyakit berkisar antara 10 dan 25 tahun. PD terjadi pada sekitar 75% dari semua kasus parkinsonisme; sisanya merupakan kasus dari gangguan neurodegeneratif lainnya seperti penyakit serebrovaskular, dan obat-obatan.2  Prevalensi PD berdasarkan usia dan lokasi geografis, individu berusia 70 hingga 79 tahun di Asia memiliki prevalensi PD yang secara signifikan lebih rendah (646 per 100.000) dibandingkan dengan individu dengan usia yang sama di Eropa, Amerika Utara, dan Australia.3 Meskipun sebagian besar pasien dengan PD tampaknya tidak memiliki determinan genetik yang kuat, bukti epidemiologi menunjukkan interaksi kompleks antara kerentanan genetik dan faktor lingkungan. Faktor risiko termasuk riwayat keluarga yang positif, jenis kelamin laki-laki, cedera kepala, paparan pestisida, konsumsi air sumur, dan kehidupan pedesaan. Faktor yang terkait dengan  penurunan insidensi PD termasuk minum kopi, merokok, penggunaan obat

(7)

2.1.3 Etiologi

Meskipun telah dilakukan penelitian intensif, etiologi PD yang tepat masih sulit dipahami. Salah satu konseptualisasi adalah bahwa toksin lingkungan yang tidak diketahui bertindak pada individu yang rentan secara genetik terhadap PD. Hubungan utama antara PD dan toksin lingkungan adalah zat kimia MPTP (1-metil-4-fenil-1,2,3,6-tetrahidropiridin). Zat kimia ini awalnya digunakan oleh  pengguna narkoba dengan harapan meniru di laboratorium zat seperti narkotika sintetis. Ketika dicerna oleh manusia, model narkotika ini secara kebetulan mengarah ke entitas klinis yang langsung menyerupai PD. MPTP mengganggu fungsi mitokondria sel saraf, peneliti berikutnya menduga bahwa bahan kimia ini merusak DNA mitokondria yang menjadi salah satu mekanisme patofisiologis utama yang mendasari PD.1

Sebanyak 15% pasien parkinson memiliki riwayat keluarga dengan PD; sebagian kecil dari individu-individu ini memiliki setidaknya tiga generasi yang terpengaruh. Saat ini ada beberapa gen penyebab yang diidentifikasi dapat menyebabkan onset dini dari PD seperti: alpha-synuclein, Parkin, UCHL1,  PINK1, DJ-1, dll. Meskipun gen PD yang teridentifikasi bersifat patogenik hanya  pada sebagian kecil individu, namun efek biokimianya berperan penting dalam  patologi molekuler penyakit ini.1

(8)

2.1.4 Patofisiologi

Temuan yang paling konstan dan relevan pada PD adalah hilangnya sel  berpigmen di substansia nigra dan inti berpigmen lainnya (lokus seruleus, inti motor dorsal vagus). Substantia nigra tampak pucat saat inspeksi langsung; secara mikroskopis, inti berpigmen menunjukkan penipisan sel dan penggantian gliosis, dan beberapa sel yang tersisa telah mengurangi jumlah melanin, temuan ini adalah diagnosis definitif bahwa pasien pasti menderita PD. Namun, banyak sel yang tersisa dari inti berpigmen mengandung inklusi sitoplasma eosinofilik, dikelilingi oleh halo samar, yang disebut Lewy bodies. Hal ini terlihat pada hampir semua kasus PD idiopatik dan kadang-kadang muncul di substansia nigra pada individu usia lanjut non-parkinson. Pasien yang memiliki  Lewy bodies  mungkin akan  berkembang menjadi PD jika mereka hidup beberapa tahun lagi. Banyak bentuk

PD yang bersifat herediter juga tidak memiliki Lewy bodies.4

(9)

Situs patologis yang bertanggung jawab dalam gangguan parkinsonian  berada dalam kelompok struktur gray matter otak yang dikenal sebagai sistem

ekstrapiramidal atau ganglia basalis yang meliputi striatum (nukleus caudatus dan  putamen), globus pallidus interna dan eksterna, nukleus subthalamic, substansia

nigra pars retikulat dan pars compacta, dan nukleus ventral thalamus.1

Degenerasi substansia nigra pars compacta adalah ciri patologis dari PD.  Neuron dalam substansia nigra mensintesis neurotransmitter dopamin. Sel-sel ini mengandung pigmen gelap yang disebut neuromelanin. Gejala parkinson  berkembang ketika sekitar 60% sel-sel ini mati. Bersamaan dengan itu,  pemeriksaan langsung substansia nigra pada PD menunjukkan adanya pucat abnormal bila dibandingkan dengan sel-sel yang mengandung hiperpigmentasi melanin normal.1

Proyeksi dopaminergik langsung dari substansia nigra mempengaruhi  proses motorik dalam basal ganglia dengan memfasilitasi pelaksanaan gerakan dan secara bersamaan membantu menekan aktivitas motorik yang tidak diinginkan. Ketika kematian sel neuron dopaminrgik intra-substansia nigra terjadi di dalam substansia nigra, jumlah terminal saraf dopamin spesifik di striatum menurun. Temuan ini dikaitkan dengan temuan klinis klasik PD yaitu rigiditas dan akinesia. Selain itu, fungsi ganglia basal tampaknya melampaui konsep kontrol motorik sederhana. Siklus cortico-striato-pallido-thalamo-kortikal terdiri dari  beberapa loop yang terpisah, masing-masing memiliki fungsi agonistik motorik yang berbeda. Dalam setiap loop mempunyai jalur paralel yang memiliki efek antagonis pada arus keluar siklus ini. Hilangnya dopamin memprovokasi sedikit  jalur langsung dan lebih banyak memprovokasi jalur tidak langsung. Disinhibisi dari inti output utama dan peningkatan penghambatan sistem talamokortikal menghasilkanclassic pill rolling tremor.1

Penurunan neuron dopaminergik di PD mempengaruhi jalur langsung dengan mengurangi aktivitas pada globus pallidum internum dan substansia nigra  pars reticularis yang mengarah ke peningkatan keluaran penghambatan globus  pallidum internum dan substansia nigra pars reticularis. Dalam jalur tidak langsung, defisiensi dopamin pada PD menyebabkan neuron striatopallidal  bersinaps di globus pallidum eksternum, mengurangi aktivitas di neuron

(10)

 pallidosubthalamic inhibisi. Kehilangan dopamin akan meningkatkan aktivitas striatal melalui proyeksi ke neuron GABAergic yang meningkatkan aksi pada globus pallidum eksternum. Selanjutnya, kehilangan dopamin menyebabkan disinhibisi nukleus subthalmic melalui jalur tidak langsung.1

2.1.5 Manifestasi Klinis

Empat gejala utama dari PD adalah bradikinesia, tremor, rigiditas dan gangguan gait. Kriteria utama untuk diagnosis PD mengharuskan pemeriksaan neurologis pasien menunjukkan setidaknya dua dari empat gejala tersebut.1,4

Bradikinesia adalah gejala PD yang paling melumpuhkan, yaitu penurunan kemampuan untuk memulai gerakan (akinesia adalah manifestasi ekstrim). Hal ini dapat mempengaruhi beberapa fungsi, terutama fungsi motorik halus seperti mengancingkan baju atau tulisan tangan, hingga menjadi mikrografi. Beberapa  pasien dapat menunjukkan gejala wajah seperti topeng nonemosional, kosong, dan tanpa ekspresi, yang kemudian terkait dengan penurunan frekuensi berkedip, tidak  bisa bicara, dan perlambatan menelan. Biasanya, gaya berjalan seperti menyeret

dengan ayunan lengan yang menurun, postur membungkuk, dan gerakan memutar. Tanda Myerson atau tanda ketuk glabella, diperiksa dengan meminta  pasien melihat ke depan sementara pemeriksa mengetuk dengan ujung jari telunjuk secara lembut di antara ujung medial dari alis mata. Pada pasien normal,  pasien akan berkedip pada beberapa ketukan pertama dan kemudian berhenti. Sebaliknya, pada pasien PD akan berkedip terus-menerus selama pemeriksaan dan demikian dianggap tes positif.1,4

Rigiditas adalah resistensi terhadap gerakan pasif di seluruh rentang gerak yang terjadi pada otot-otot fleksor dan ekstensor. Hal ini berbeda dengan spastisitas, dimana ada resistensi pada awal gerakan pasif dan kemudian pelepasan tiba-tiba. Tanda klasik cogwheel (stop-and-go effect)  berasal dari tremor yang disertai dengan perubahan tonus otot. Pada awalnya, pasien sering khawatir tentang kekakuan, "kelemahan," atau kelelahan, dan pasien hanya akan menyadari adanya keterbatasan dalam kegiatan sehari-hari atau dalam aktivitas fisik.1,4

Tremor terjadi pada 75% pasien. Biasanya, tremor menonjol saat istirahat (resting tremor), memiliki frekuensi 3-7 Hz. Tremor juga dapat dilihat ketika

(11)

 pasien berjalan; tidak hanya lengan ayun yang menghilang tetapi tremor kecil yang berputar dapat menjadi semakin kuat ketika tangan menjauh dari tubuh.1,4

Gangguan gait, ketidakstabilan postural, atau keduanya biasanya hadir  pada tahap lanjut dari PD ditandai dengan perubahan pusat gravitasi yang ditandai dengan jatuh ke depan (propulsi) atau mundur (retropulsi) dan  festinating 

(menyeret, mendorong perlahan) gait petit pas (langkah kecil).1,4

Gambar 2.3 Manifestasi klinis PD1

Gejala lain yang kurang umum, yaitu, dermatitis seboroik dan hyposmia

(fungsi penciuman yang menurun), pasien mungkin mengalami kesulitan dalam memulai tidur dan mempertahankan tidur. Sekitar 30% pasien PD juga mengalami gerakan kaki secara berkala saat tidur.1,4

Disfungsi otonom terlihat umum pada PD, dimanifestasikan sebagai hipotensi ortostatik, gangguan motilitas gastrointestinal, disfungsi kandung kemih, gangguan termoregulasi, dan disfungsi seksual. Disfagia biasanya muncul pada tahap akhir PD, hal ini berhubungan dengan perkembangan gangguan motilitas orofaringeal dan esofagus.1,4

(12)

mungkin mendahului diagnosis gangguan gerakan; ansietas juga terjadi pada hingga 40% pasien. Pada tahap akhir PD, halusinasi (visual, kemungkinan besar tidak mengancam), psikosis, dan mimpi buruk sering ditemukan. Disfungsi kognitif biasanya merupakan manifestasi selanjutnya.1,4

2.1.6 Diagnosis

Kunci diagnostik utama adalah adanya dua dari empat tanda kardinal:  bradikinesia, tremor, rigiditas, dan gangguan gait. Seringkali, pasien mungkin  pertama kali menyadari keletihan yang tidak spesifik dalam aktivitas sehari-hari yang sebelumnya dilakukan dengan baik yang terutama mempengaruhi fungsi motorik. Pemeriksaan ulang klinis dalam interval beberapa bulan sering diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis PD. Tanda-tanda proses degeneratif lain kadang-kadang menjadi jelas, menghalangi kecurigaan diagnostik sebelumnya.1

PD merupakan diagnosis klinis. Tidak ada biomarker laboratorium yang ada untuk kondisi ini, dan temuan pada pencitraan seperti magnetic resonance imaging   (MRI) dan computed tomography  (CT)  scan  tidak menunjukkan  patologis yang spesifik. Positron emission tomography  (PET) dan single-photon emission CT  (SPECT) mungkin menunjukkan temuan yang konsisten dengan PD, dan pemeriksaan fungsi penciuman dapat memberikan bukti mengarah ke PD, tetapi pemeriksaan ini tidak secara rutin diperlukan.5

Penggunaan CT dan MRI terkadang membantu membedakan PD idiopatik dari bentuk parkinsonisme lain. Hal ini sangat relevan ketika temuan klinis murni unilateral. Studi pencitraan mungkin menunjukkan penyakit otak aterosklerotik atau hidrosefalus tekanan normal dan jarang menunjukkan lesi struktural. MRI kadang-kadang menunjukkan tanda-tanda khas untuk atrofi multipel-sistem (atrofi  putaminal, hot cross bun sign, lekuk putaminal hiperintens, dan perubahan sinyal

infratentorial).1

Temuan patologis klasik pada PD termasuk degenerasi neuron yang mengandung neuromelanin, terutama pada substansia nigra dan lokus seruleus.  Neuron yang bertahan hidup sering mengandung inklusi sitoplasma eosinofilik yang disebut Lewy bodies. Kelainan biokimia utama adalah hilangnya dopamin

(13)

striatal, yang dihasilkan dari degenerasi sel-sel yang memproduksi dopamin di substansia nigra, serta hiperaktivitas neuron kolinergik di nukleus kaudatus.5

 Alpha-synuclein  adalah komponen struktural utama dari  Lewy bodies.  Lewy bodies tampak konsentris, eosinofilik, inklusi sitoplasma dengan lingkaran

cahaya perifer dan padat. Kehadiran Lewy bodies  dalam neuron berpigmen dari substansia nigra adalah karakteristik, tetapi tidak patognomonik PD. Lewy bodies  juga dapat ditemukan di korteks, nukleus basalis, lokus seruleus, kolom

intermediolateral dari sumsum tulang belakang, dan area lainnya.5

Salah satu alat diagnostik paling spesifik yang tersedia saat ini adalah respons klinis positif terhadap uji terapi obat parkinson. Hal ini sangat relevan dengan levodopa, terutama pada pasien dengan gejala unilateral, termasuk  bradikinesia, rigiditas, dan gait petit pas.1

Setelah diagnosis PD dikonfirmasi, perlu dilakukan pengukuran keparahan  penyakit secara kuantitatif dengan menggunakan Hoehn and Yahr Scale atau

Unified Parkinson Disease Rating Scale (UPDRS). Hal ini memungkinkan dokter yang merawat untuk menetapkan baseline  klinis sebelum terapi dan berfungsi sebagai referensi untuk perbandingan di masa mendatang.1

(14)

2.1.7 Tatalaksana

Tatalaksana PD terbatas pada mengatasi gejala; tidak ada terapi neuroprotektif yang tersedia untuk mencegah evolusi berkelanjutan dari gangguan neurodegeneratif ini. Manajemen pada setiap pasien membutuhkan pertimbangan yang cermat terhadap tanda dan gejala pada pasien, tahap penyakit, tingkat kecacatan fungsional, dan tingkat aktivitas dan produktivitas sehari-hari. Tatalaksana dapat dibagi menjadi (1) nonfarmakologik, (2) farmakologis, dan (3)  bedah. Mayoritas pasien dengan PD idiopatik memiliki respons terapeutik yang signifikan terhadap levodopa. Apabila tidak terdapat respon klinis sama sekali terhadap dosis 25/100 mg carbidopa / levodopa dengan pemberian 6 – 10 kali sehari menunjukkan bahwa terjadi misdiagnosis dan harus segera mencari  penyebab lain parkinsonisme.1

Terapi farmakologis untuk PD terdiri dari lima jenis regimen, yaitu1: 1. Dopaminergik

a. Levodopa

 b. Agonis dopamine 2. Antikolinergik

3. Inhibitor MAO (monoamine oxidase inhibitor) 4. Inhibitor COMT (Catechol-O-methyltransferase) 5. Amantadin

Tidak ada pendekatan sederhana dalam tatalaksana PD; pedoman tergantung pada gangguan fungsional dan respons pasien terhadap terapi.1

Tatalaksana PD dapat dibagi menjadi terapi tahap awal dan tahap lanjut (dengan fluktuasi motorik dan diskinesia). Untuk pasien yang memerlukan inisiasi terapi simtomatik, ada tiga pilihan utama: levodopa, agonis dopaminergik, atau inhibitor MAO-B. Levodopa (LD) memberikan manfaat motorik superior tetapi  berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi untuk menyebabkan diskinesia dan komplikasi motorik. Dopaminergic agonists (DA) menghasilkan komplikasi motorik yang lebih sedikit (wearing off , dyskinesia, fluktuasi motorik on-off) dibandingkan dengan tatalaksana menggunakan levodopa setelah dilakukan follow upterhadap pemberian obat selama 2,5 tahun. Namun, terapi DA primer dikaitkan dengan efek samping lainnya, termasuk halusinasi, somnolen, dan edema, yang

(15)

lebih sering terjadi dibandingkan terapi dengan menggunakan levodopa. Pilihan LD atau DA, ketika memulai terapi, tergantung pada dampak relatif dari  peningkatan disabilitas motorik (lebih baik pada levodopa) dibandingkan dengan  berkurangnya komplikasi motorik (lebih baik pada agonis dopamin) untuk setiap  pasien dengan PD.1,6

Gambar 2.5 Skema tatalaksana PD idiopatik yang baru terdiagnosis2

Prinsip penting untuk pengobatan dini PD adalah bahwa pengenalan dan  penggunaan obat harus disesuaikan dengan kebutuhan individu pasien. Usia 70 tahun digunakan sebagai patokan dalam hal mengembangkan strategi untuk memulai pengobatan, meskipun selalu ada penekanan pada karakteristik masing-masing individu pasien. Sebagai aturan umum, untuk pasien yang lebih muda dari usia 70 tahun dan tidak memiliki disfungsi kognitif, pilihan obat awal yang disarankan antara inhibitor MAO-B atau agonis dopamin. Carbidopa / levodopa dimulai pada pasien Parkinson berusia 70 tahun atau lebih yang memiliki disabilitas motorik yang signifikan, seperti bradikinesia, rigiditas, tremor, atau masalah gait. Lansia yang menderita PD juga dapat dipertimbangkan untuk diberikan inhibitor MAO-B atau DA jika fungsi kognitifnya masih baik dan tidak memiliki komorbiditas yang signifikan.1

(16)

Seiring berkembangnya PD, pemberian obat yang efektif untuk mengontrol gejala menjadi lebih menantang, dan obat lainnya mungkin perlu ditambahkan. Untuk tahap selanjutnya dari penyakit ini, pedoman American Academy of Neurology menyarankan memulai Entacapone, inhibitor COMT, dan rasagiline (inhibitor MAO) sebagai pilihan pertama untuk mengurangi waktu “off” (level A). DA (pramipexole, ropinirole) dan tolcapone dipertimbangkan untuk mengurangi waktu “off” sebagai pilihan kedua (level B). Tolcapone (hepatotoksisitas) dan pergolide (fibrosis katup) harus digunakan dengan hati-hati dan memerlukan pemantauan. Apomorphine, cabergoline, dan selegiline dapat dianggap mengurangi waktu “off” sebagai pilihan ketiga (level C). Amantadin dianggap mengurangi diskinesia (level C). DBS STN dapat dianggap meningkatkan fluktuasi motorik dan mengurangi waktu istirahat, diskinesia dan  penggunaan obat (level C).1

2.1.7.1 Dopaminergik Levodopa

Levodopa (LD) dengan carbidopa adalah regimen yang paling umum digunakan, obat antiparkinson yang paling poten dan sama-sama bermanfaat untuk semua gejala. Levodopa adalah prekursor alami langsung dopamin dan diubah menjadi dopamin oleh enzim dekarboksilase asam amino aromatik (AAAD). Awalnya, levodopa dikaitkan dengan tingkat efek samping yang tinggi, terutama mual dan muntah, karena kemampuannya untuk merangsang reseptor dopamin sistem saraf perifer. Penambahan inhibitor carbidopa dekarboksilase menurunkan insiden efek samping perifer, memungkinkan lebih banyak levodopa untuk melewati sawar darah otak, dan akibatnya memungkinkan pengurangan total dosis levodopa. Carbidopa-levodopa tersedia dalam bentuk immediate-release  sebagai tablet (Sinemet) atau pil sublingual (Parcopa) dan formulasi controlled-release(Sinemet CR).1

Efek samping dini, termasuk mual dan hipotensi ortostatik, lebih mudah dikelola daripada komplikasi motorik lanjut. Efek samping lanjut, termasuk gerakan tak terkendali, fluktuasi motorik, vivid dreams dan mimpi buruk, kebingungan, serta psikosis, yaitu halusinasi dan delusi, mania, atau paranoia.

(17)

Pada populasi geriatri, terutama mereka yang mulai menunjukkan keterbatasan kognitif awal, efek samping levodopa ini lebih mungkin terjadi. Pengobatan efek samping ini juga menghadirkan tantangan yang signifikan karena kadang-kadang obat antipsikotik yang umum digunakan dapat memperburuk parkinsonisme.1

Dengan meningkatnya durasi penggunaan, ada respons yang lebih lambat atau tertunda terhadap efek terapi levodopa. LD juga tampaknya memiliki durasi kerja yang lebih pendek, “wearing off ” dosis. Gejala PD klasik pasien yang

menghilang dengan sangat baik di awal pengobatan menjadi timbul kembali. Spasme otot yang menyakitkan terjadi pada beberapa pasien.1

Gambar 2.6 Sintesis Katekolamin1

Efek samping terapeutik LD jangka panjang adalah munculnya berbagai diskinesia dan fluktuasi motorik yang terjadi pada sejumlah kecil individu PD. Gerakan-gerakan yang tidak disadari ini sering bersifat choreiformis; mereka dapat menyebabkan disabilitas, mempengaruhi berbagai bagian tubuh; kadang-kadang postur yang agak aneh ini juga dapat menyebabkan gangguan secara emosional. Perawatan komplikasi ini paling sulit. Amantadine dan DA dapat digunakan sebagai terapi tambahan.1

(18)

Gambar 2.7 Perbandingan antara levodopa dan agonis dopamin2

Agonis Dopamin

DA secara langsung merangsang reseptor dopaminergik. DA terutama diindikasikan untuk monoterapi pada pasien yang lebih muda, yang lebih rentan terhadap fluktuasi klinis terkait levodopa dan yang membutuhkan pengobatan  jangka panjang. Terdapat setidaknya dua kelas umum agonis dopamin, yaitu D1

(berikatan dengan adenylate cyclase) dan D2. Antiparkinson dari golongan agonis

(19)

DA digunakan terutama di awal penyakit karena dapat mengurangi kebutuhan levodopa. Meskipun tidak seefektif levodopa, DA sering memberikan  berkurangnya gejala ringan secara cukup memuaskan. Dalam keadaan ketika gejala berat mengganggu aktivitas sosial atau pekerjaan pasien, dapat diberikan  pengobatan simtomatik dini dengan carbidopa-levodopa, yang kemudian dikombinasikan dengan DA. Preparat yang biasa digunakan meliputi pramipexole, ropinirole, bromokriptin, dan pergolide. Namun, Pergolide ditarik dari pasar karena potensi kerusakan katup jantung. Gangguan kontrol impuls atau disfungsional perilaku adalah masalah yang semakin dikenal akibat agonis dopaminergik yang terjadi jauh lebih jarang pada pemberian levodopa. Gangguan ini termasuk hiperseksualitas, kompulsif, aktivitas yang tidak berarti dan berulang, keadaan hipomanik, dan penggunaan adiktif levodopa.1

2.1.7.2 Antikolinergik

Agen antikolinergik adalah kelas obat tertua yang digunakan untuk PD. Antikolinergik bertindak sebagai blocker reseptor muskarinik dengan menembus SSP sebagai antagonis transmisi asetilkolin oleh interneuron striatal. Antikolinergik merupakan regimen paling efektif untuk mengatasi tremor, tetapi karena efek sampingnya, obat-obatan ini harus digunakan dengan perhatian yang signifikan pada orang tua. Biasanya digunakan sebagai monoterapi atau tambahan untuk terapi dopaminergik, agen antikolinergik yang paling sering digunakan termasuk benztropin, procyclidine, dan trihexyphenidyl. Efek samping, yang dihasilkan dari blokade kolinergik perifer dan sentral, termasuk mulut kering, glaukoma sudut sempit, konstipasi, retensi urin, gangguan memori, dan kebingungan dengan halusinasi.1

2.1.7.3 Inhibitor COMT

Penghambatan enzim catechol-O-methyltransferase (COMT) menghalangi metabolisme dopamin. Inhibitor COMT memperpanjang manfaat levodopa dengan memperpanjang masa hidup dopamin yang dikonversi. Ada dua inhibitor COMT utama. Entacapone umumnya digunakan secara ajuvan untuk levodopa. Tolcapone dapat menyebabkan hepatotoksisitas yang parah, membutuhkan

(20)

 pemantauan laboratorium secara teratur, dan dengan demikian lebih jarang digunakan.1

2.1.7.4 Inhibitor Monoamine Oxidase B

Selegiline adalah inhibitor selektif dari monoamine oxidase B. Mekanisme kerja utamanya adalah blokade metabolisme dopamin sentral. Ini tersedia sebagai  pil yang ditelan (Eldepryl dan generik) dan sebagai tablet disintegrasi secara oral (Zelapar ODT). Penggunaan inhibitor MAO-B dapat meningkatkan respon terhadap levodopa, terutama pada pasien dengan fluktuasi terkait dosis ringan. Selegiline telah dipelajari sebagai agen neuroprotektif karena dapat memblokir  pembentukan radikal bebas dari metabolisme oksidatif dopamin. Sebuah studi multisenter besar yang membandingkan dengan plasebo, double-blind, dan terkontrol (DATATOP) menemukan bahwa Selegiline menunda perkembangan tanda parkinson pada pasien yang sebelumnya tidak diobati hingga 9 bulan.  Namun, telah dibuktikan bahwa tidak ada manfaat jangka panjang dan persisten

dalam memperlambat perkembangan PD.1

Rasagiline adalah inhibitor MAO-B yang lebih baru juga tersedia sebagai Azilect. Rasagiline telah menerima persetujuan FDA mengenai pengobatan terhadap tanda dan gejala penyakit Parkinson, sebagai monoterapi awal dan sebagai terapi tambahan untuk levodopa. Sebagai monoterapi, Rasagiline dapat mengurangi disabilitas akibat parkinson. Sebagai terapi tambahan, Rasagiline

dapat mengurangi waktu “off” dan meningkatkan waktu bebas diskinesia. Efek

samping termasuk insomnia, halusinasi, dan hipotensi ortostatik.1

2.1.7.5 Amantadine

Amantadine adalah agen antiviral yang secara kebetulan ditemukan memiliki efek antiparkinson. Mekanisme kerjanya, termasuk memblokir reseptor  N-methyl-D-aspartate, masih menjadi kontroversial. Amantadine memiliki efek menguntungkan ringan pada tremor, bradikinesia, dan kekakuan. Amantadine merupakan satu-satunya regimen antiparkinson yang dapat menurunkan tingkat keparahan dyskinesia yang diinduksi levodopa. Efek samping yang umum termasuk livedo reticularis dan edema ekstremitas bawah.1

(21)

2.1.7.6 Terapi Gejala Non-Motorik

Pasien yang sering terbangun di malam hari akibat akinesia nokturnal atau tremor dapat diobati dengan dosis tambahan carbidopa / levodopa pada malam hari. Dosis bedtime dari agonis dopamine membantu gejala restless leg   dan urgensi berkemih. Pengobatan gejala kandung kemih akan meningkatkan kualitas tidur pada banyak pasien lansia dengan PD.2

Depresi berespon terhadap antidepresan (baik TCA atau SSRI). Kombinasi SSRI dan selegiline memiliki risiko yang sangat rendah untuk terjadinya sindrom hiperserotonergik (delirium dengan mioklonus dan hiperpireksia). Terapi Electroconvulsive (ECT) sangat efektif dalam kasus-kasus refrakter obat atau  pada pasien yang tidak toleran terhadap antidepresan oral. Terdapat beberapa laporan yang menunjukkan bahwa ECT juga memiliki manfaat jangka pendek untuk gejala motorik parkinson.2

Pada pasien dengan gejala psikotik atau kebingungan, antikolinergik dan amantadin harus dieliminasi terlebih dahulu. Setelah ini, inhibitor MAO-B dan agonis dopamin harus dikurangi atau dihentikan sesuai kebutuhan untuk mengontrol gejala. Hal ini harus diikuti dengan pengurangan bertahap sesuai kebutuhan pada dosis Sinemet CR pada malam hari dan kemudian dosis siang hari, dan akhirnya carbidopa / levodopa.2

Apabila pasien membaik setelah hanya diberikan sedikit terapi antiparkinson, dampak keseluruhan pada gejala motorik parkinson dapat diabaikan. Jika dalam proses gejala parkinson memburuk, sebagian besar spesialis memulai pengobatan dengan antipsikotik atipikal yang memiliki insiden efek samping ekstrapiramidal yang rendah daripada melanjutkan ke terapi dopaminomimetik yang lebih rendah. Clozapine (12,5-100 mg / hari) adalah agen terbaik yang direkomendasikan untuk pengobatan gejala psikotik di PD. Quetiapine (12,5-100 mg) dapat digunakan karena tidak memiliki risiko agranulositosis yang terkait dengan clozapine. Keduanya diberikan pada malam hari untuk memperbaiki kualitas tidur dan meminimalkan sedasi siang hari dan orthostasis. Penggunaan kombinasi tersebut dan semua antipsikotik pada PD dibatasi akibat kejadian sedasi, hipotensi ortostatik, pusing, dan kebingungan. Antipsikotik atipikal lainnya seperti risperidone, olanzapine, dan, baru-baru ini,

(22)

aripiprazole tidak ditoleransi dengan baik oleh kebanyakan pasien dengan PD karena insiden yang lebih tinggi dari parkinsonism yang dipicu obat (DIP) dan akathisia.2

Inhibitor acetylcholinesterase dapat memperbaiki gejala demensia pada PD, menyediakan stabilisasi yang sama dari penurunan kognitif yang tercatat pada Demensia Alzheimer (AD). Rivastigmine disetujui oleh FDA untuk pengobatan demensia pada PD, dan donepezil juga tampaknya efektif. Keduanya tampaknya ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar pasien dengan PD dan mungkin dapat  bermanfaat untuk pengobatan gejala psikotik seperti halusinasi dan delusi.

Mengingat kompleksitas polifarmasi, manajemen gejala non-motorik paling baik dilakukan dalam pengaturan interdisipliner, dikoordinasikan oleh ahli saraf yang  berspesialisasi dalam PD bersama dengan psikiater dan dokter pelayanan primer

yang melayani pasien.2

Berikut merupakan tabel ringkasan manfaat dan efek samping dari agonis dopamin, levodopa, MAO-B inhibitor, COMT inihibitor, dan amantadine  berdasarkan pedoman oleh  National Institute for Health and Care Excellence

(23)

19 Tabel 2.1 Potensi manfaat dan bahaya agonis dopamin, levodopa dan MAO-B inhibitor 7

Levodopa Dopamin Antagonis MAO-B inhibitor COMT inhibitor Amantadine Gejala

motorik

Perbaikan yang sangat baik pada gejala motorik Perbaikan pada gejala motorik Perbaikan pada gejala motorik Perbaikan pada gejala motorik

Tidak ada bukti  perbaikan gejala motorik Aktivitas sehari-hari Perbaikan terhadap aktivitas sehari-hari yang cukup signifikan Perbaikan terhadap aktivitas sehari-hari Perbaikan terhadap aktivitas sehari-hari Perbaikan terhadap aktivitas sehari-hari

Tidak ada bukti  perbaikan terhadap aktivitas sehari-hari Komplikasi motorik Banyak komplikasi motorik Komplikasi motorik minimal Komplikasi motorik minimal Komplikasi motorik minimal

Tidak ada studi

Efek samping

Efek samping lainnya minimal

Risiko intermediate untuk terjadi efek samping lainnya

Efek samping lainya minimal

Efek samping lainnya cukup besar

Tidak ada studi

Halusinasi Minimal Berisiko tinggi mengalami halusinasi

(24)

2.1.7.7 Neuroprotektif

Memperlambat progresivitas PD melalui agen neuroprotektif atau terapi restoratif adalah fokus utama penelitian. Studi epidemiologis menunjukkan bahwa  penggunaan kronis agen anti-inflamasi nonsteroid atau penggunaan penggantian estrogen pada wanita pascamenopause dapat menunda atau mencegah timbulnya PD melalui mekanisme yang belum jelas. Demikian pula, dalam populasi besar,  penggunaan nikotin dan kafein jangka panjang dikaitkan dengan rendahnya risiko PD. Dari sudut pandang farmakologis, strategi saat ini melibatkan perubahan kaskade peristiwa biokimia yang menyebabkan kematian sel dopaminergik.2

Percobaan klinis yang pertama pada pasien PD adalah studi DATATOP multisenter besar di mana monoterapi selegiline dapat menunda perlunya terapi levodopa selama 9-12 bulan pada pasien yang baru didiagnosis. Sebagian besar  bukti menunjukkan bahwa penundaan ini disebabkan selegilin. Vitamin E antioksidan tidak berpengaruh. Tindak lanjut jangka panjang dari kohort DATATOP mengungkapkan bahwa pasien yang tetap mengonsumsi selegiline selama 7 tahun mengalami penurunan motorik yang lebih lambat dibandingkan dengan mereka yang berubah menjadi plasebo setelah 5 tahun.2

Coenzyme Q10, antioksidan dan kofaktor kompleks I rantai oksidatif mitokondria, telah terbukti memiliki efek neuroprotektif terhadap beberapa agen  beracun secara in vitro dan pada model hewan PD. Dalam uji coba fase 2 terkontrol yang besar, dosis 1200 mg/hari tampaknya menunda perkembangan kecacatan pada pasien PD yang tidak diobati. Coenzyme Q10  ditoleransi dengan  baik dan tanpa toksisitas. Percobaan fase 3 akan memeriksa efek disease-modifying dari senyawa ini pada pasien yang tidak diobati hingga yang menerima dosis 2400 mg/hari. Agen neuroprotektif potensial lainnya yang sedang diselidiki adalah creatine monohydrate dan acetyllevo-carnitine. Percobaan fase 2 creatine  pada awal PD menunjukkan hasil yang menjanjikan, dan percobaan fase 3

sekarang sedang berjalan.2

Agonis dopamin juga sedang diselidiki sebagai agen untuk memperlambat  perkembangan penyakit di PD, berdasarkan sifat antioksidan yang dimiliki, agonis dopamin diteliti dapat mengurangi turnover dopamine, melawan radikal bebas, dan mengganggu sinyal sel proapoptotic pada in vitro. Agen menjanjikan lainnya

(25)

termasuk inhibitor sintetase oksida nitrat dan agen antiapoptotic seperti inhibitor kinase Jun N-terminal dan desmethylselegiline. Yang terakhir, metabolit selegiline, telah ditunjukkan secara eksperimental memiliki efek neuroprotektif  pada neuron dopamin, melalui modulasi mekanisme antiapoptotic seluler, termasuk Bcl-2, gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase (GAPDH); aktivasi kompleks proteasome-ubiquitin; dan pencegahan aktivasi caspase 3. Uji klinis untuk menguji efek baru dari agonis dopamin sekarang sedang berlangsung.2

Berdasarkan pedoman dari NICE (2017) mengenai tatalaksana PD, agen neuroprotektif tidak direkomendasikan diberikan pada pasien PD, dengan  pernyataan, sebagai berikut:7

 Tidak diperbolehkan menggunakan vitamin E sebagai ter api neuroprotektif

 pada pasien PD.

 Tidak diperbolehkan menggunakan koenzim Q10  sebagai terapi

neuroprotektif pada pasien PD, kecuali dalam konteks uji klinis.

 Tidak diperbolehkan menggunakan agonis dopamin sebagai terapi

neuroprotektif pada pasien dengan PD, kecuali dalam konteks uji klinis

 Tidak diperbolehkan menggunakan inhibitor MAO-B sebagai terapi

neuroprotektif pada pasien dengan PD, kecuali dalam konteks uji klinis.

2.1.7.8 Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi pada pasien PD dengan gejala motorik dan non-motorik yang direkomendasikan oleh pedoman NICE (2017), meliputi: menggunakan jasa perawat yang ahli menangani pasien dengan PD, fisioterapi, terapi okupasional, terapi berbicara, terapi nutrisi (rekomendasi kecukupan asupan  protein dan rekomendasi pemberian Vitamin D untuk mencegah komplikasi fraktur akibat jatuh), Deep Brain Stimulating (DBS) (injeksi / infus apomorphine), serta manajemen paliatif.7

2.1.7.9 Terapi Bedah

Selama dekade terakhir telah terjadi peningkatan dalam perawatan bedah terhadap PD dan gangguan pergerakan lainnya. Meskipun kedua pallidotomy dan thalamotomy telah dilakukan secara luas pada tahun 1950, pengenalan levodopa

(26)

 pada tahun 1960 menyebabkan operasi ditinggalkan. Peningkatan dalam  penggunaan operasi telah dimotivasi oleh fakta bahwa setelah 5 tahun atau lebih  pengobatan, banyak pasien mengalami fluktuasi motorik yang diinduksi obat yang signifikan dan diskinesia. Kemajuan dalam memahami organisasi fungsional ganglia basalis dan patofisiologi parkinsonisme penting untuk menargetkan struktur tertentu dalam prosedur bedah.2

Indikasi paling umum untuk operasi pada PD adalah tremor intractable dan fluktuasi motorik yang diinduksi oleh obat atau diskinesia. Kandidat terbaik adalah pasien dengan parkinsonisme levodopa-responsif yang jelas yang bebas dari demensia signifikan atau komorbid psikiatri. Secara umum, prosedur operatif  bermanfaat hanya sedikit atau tidak sama sekali pada pasien dengan  parkinsonisme atipikal atau demensia. Saat ini, inti subthalamic merupakan target yang sering dituju, tetapi uji klinis terkontrol yang membandingkan target pallidal dan subthalamic hampir selesai.2

 Deep brain stimulation (DBS) paling sering dilakukan secara bilateral dan simultan, tetapi DBS unilateral dapat sangat efektif untuk kasus asimetris. DBS di daerah ini mengurangi tanda-tanda motorik parkinson, terutama selama periode "off", dan mengurangi diskinesia, distonia, dan fluktuasi motorik yang diakibatkan oleh pemberian obat. Kedua prosedur telah terbukti sangat meningkatkan kualitas hidup pasien, dan keduanya lebih efektif daripada manajemen medis pada populasi target pasien dengan PD lanjut.2

Tanda dan gejala yang tidak berespon terhadap levodopa, seperti ketidakstabilan postural, jatuh, hypophonia, mikrografia, meneteskan air liur, dan disfungsi otonom, tidak mungkin mendapat manfaat dari operasi. Sebagai aturan  praktis, manfaat dari operasi tidak akan melebihi hasil terbaik dari obat

antiparkinson tetapi memberikan bantuan dari fluktuasi motorik, diskinesia, dan dystonia. Secara umum, keputusan untuk pembedahan harus dibuat oleh ahli saraf gangguan gerakan yang merupakan bagian dari tim, termasuk ahli bedah saraf, neuropsikolog, dan programmer.2

Mekanisme aksi DBS masih kontroversial. Karena secara klinis tampak  bahwa ablasi dan stimulasi dari target yang diberikan memiliki efek yang sama, diasumsikan bahwa rangsangan menyebabkan blokade fungsional. Sangat

(27)

mungkin, bagaimanapun, bahwa banyak faktor yang terlibat. Dasar untuk  perbaikan tampaknya adalah penggantian aktivitas saraf yang abnormal dengan  pola yang lebih dapat ditolerir. Apapun mekanismenya, jelas bahwa pendekatan ini dapat memberikan hasil yang mengesankan dan bertahan lama pada pasien yang tepat.2

2.1.8 Prognosis

Sebelum levodopa diperkenalkan, PD menyebabkan cacat berat atau kematian pada 25% pasien dalam onset 5 tahun, 65% dalam 10 tahun, dan 89% dalam 15 tahun. Angka kematian dari PD adalah 3 kali lipat dari populasi umum yang sesuai dengan usia, jenis kelamin, dan asal ras pasien PD. Dengan diperkenalkannya levodopa, tingkat kematian menurun sekitar 50%, dan angka kehidupan usia pasien PD bertambah drastis. Hal ini dianggap karena efek simptomatis dari levodopa, karena tidak ada bukti jelas yang menunjukkan bahwa levodopa memiliki sifat progresif dari penyakit ini.5

Menurut  American Academy of Neurology  bahwa tanda klinis berikut dapat membantu memprediksi tingkat perkembangan PD:5

 Usia yang lebih tua saat onset dan rigiditas / hipokinesia awal dapat digunakan untuk memprediksi: (1) tingkat perburukan motorik yang lebih cepat pada pasien dengan PD yang baru didiagnosis dan (2) perkembangan awal penurunan kognitif dan demensia; namun, pada yang awalnya muncul dengan gejala tremor dapat diprediksi perjalanan penyakit yang lebih tidak berbahaya dan manfaat terapeutik dengan levadopa yang lebih lama

 Tingkat perburukan motorik yang lebih cepat juga dapat diprediksi jika  pasien adalah laki-laki, memiliki komorbiditas terkait, dan memiliki

ketidakstabilan postural / kesulitan jalan

 Usia yang lebih tua saat onset, demensia, dan penurunan respon terhadap terapi dopaminergik dapat memprediksi penempatan panti jompo lebih awal dan penurunan tingkat kelangsungan hidup

(28)

BAB 3 KESIMPULAN

 Parkinson Disease  (PD) adalah bentuk paling umum dari kelompok gangguan neurodegeneratif progresif yang dicirikan oleh gambaran klinis  parkinsonisme, termasuk bradikinesia (kurangnya dan kelambatan gerakan), resting tremor,  rigiditas otot,  shuffling gait , dan postur tubuh yang tertekuk. Meskipun didefinisikan secara klinis sebagai gangguan gerakan, sekarang secara luas disebutkan bahwa PD dapat disertai oleh berbagai gejala non-motorik, termasuk gangguan otonom, sensorik, tidur, kognitif, dan psikiatri.

Etiologi PD yang tepat masih sulit dipahami, meskipun telah dilakukan  penelitian yang intensif. Salah satu konseptualisasi adalah bahwa toksin lingkungan yang tidak diketahui bertindak pada individu yang rentan secara genetik terhadap PD dan ada beberapa gen penyebab yang diidentifikasi dapat menyebabkan onset dini dari PD seperti: alpha-synuclein, Parkin, UCHL1,  PINK1, DJ-1,dll..

Patofisiologi utama dari PD adalah hilangnya sel berpigmen di substansia nigra dan inti berpigmen lainnya (lokus seruleus, inti motor dorsal vagus) dan  banyak sel yang tersisa dari inti berpigmen mengandung inklusi sitoplasma

eosinofilik, dikelilingi oleh halo samar, yang disebut Lewy bodies.

Diagnosis PD merupakan diagnosis klinis. Tidak ada biomarker laboratorium yang ada untuk kondisi ini, dan temuan pada pencitraan seperti magnetic resonance imaging   (MRI) dan computed tomography  (CT) scan  tidak menunjukkan patologis yang spesifik

Tatalaksana PD terbatas pada mengatasi gejala; tidak ada terapi neuroprotektif yang tersedia untuk mencegah evolusi berkelanjutan dari gangguan neurodegeneratif ini. Terapi farmakologis untuk PD terdiri dari lima jenis regimen, yaitu: dopaminergik (Levodopa, Agonis dopamine), antikolinergik, inhibitor MAO (monoamine oxidase inhibitor), inhibitor COMT (Catechol-O-methyltransferase) dan amantadin.

(29)

DAFTAR PUSTAKA

1.  Netter F, Jones H, Srinivasan J, Allam G, Baker R. Netter's neurology. 2nd ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2012. p. 287-298

2. Hauser S, Josephson S. Harrison's Neurology in Clinical Medicine. 2nd ed.  New York: McGraw-Hill Publishing; 2010. p. 320-336

3. Pringsheim T, Jette N, Frolkis A, Steeves T. The prevalence of Parkinson's disease: A systematic review and meta-analysis. Movement Disorders. 2014;29(13):1583-1590.

4. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and Victor’s Principles of  Neurology. 10th ed. US: McGraw-Hill Education; 2014.

5. Hauser R. Parkinson Disease: Practice Essentials, Background, Anatomy [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2018 [cited 23 June 2018]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1831191-overview

6. Connolly B, Lang A. Pharmacological Treatment of Parkinson Disease. JAMA. 2014;311(16):1670.

7.  National Institute for Health and Care Excellence. Parkinson’s disease in adults | Guidance and guidelines | NICE [Internet]. Nice.org.uk. 2007 [cited 24 June 2018]. Available from: https://www.nice.org.uk/guidance/ng71

Gambar

Gambar 2.1 Gen yang berperan dalam PD 4
Gambar 2.2 Neuropatologi pada PD 1
Gambar 2.3 Manifestasi klinis PD 1
Gambar 2.4 Parkinson Disease Rating Scales 1
+4

Referensi

Dokumen terkait

patofisiologi antara lain: 1) Penurunan aliran darah serebral akut, seperti pada sinkop vasovagal, gangguan jantung, penyumbatan pembuluh darah paru dan obstruksi

Akan tetapi, setelah dilakukan preprocessing data menggunakan uji Mann-Whitney yang bertujuan untuk mendapatkan fitur yang independen tiap kelasnya, diperoleh

Fitur traktor Cat yang terkenal seperti kemudi diferensial dan sprocket yang ditinggikan telah digunakan dengan kabin yang baru dan fitur kontrol alat berat opsional

Apabila Pertandingan terhenti sebelum berakhirnya durasi normal Pertandingan karena alasan force majeure atau alasan lain termasuk tetapi tidak terbatas pada

b) Pencegahan HIV/AIDS, kegiatannya dengan melakukan pencegahan penularan ibu ke anak, memberikan layanan kesehatan kepada para remaja, pemeriksaan dan pengobatan

ketentuan ini, yaitu mengenai aktivasi implementasi rencana aksi (recovery plan), persiapan penanganan (early entry) permasalahan solvabilitas bank oleh Lembaga

Seluruh berita tersebut memuat pemberitaan mengenai kasus-kasus Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia, baik yang terjadi di Malaysia sendiri maupun di negara lain, tetapi

Bahan yang digunakan adalah 65 ekor ikan Guppy (Poecilia reticulata), yang merupakan sebagai objek yang akan diamati, berukuran kecil dengan panjang ± 5 cm; air