• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Peritonitis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Peritonitis"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT PERITONITIS

Pembimbing : dr.Bambang Supriyo DTM&H Sp.B

Disusun oleh :

030.11.189

Mesa Sabila

030.11.007

Adri Permana Utama

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

CO-ASSISTANT ILMU BEDAH RSUD dr.SOESELO SLAWI

PERIODE 23 November 2015 – 31 Januari 2016

(2)

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah RSUD dr. Soeselo – Slawi periode 23 November 2015 – 31 Januari 2016

Disusun oleh:

030.11.189 Mesa Sabila

030.11.007 Adri Permana Utama

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Bambang S. DTM&H Sp.B selaku dokter pembimbing Bedah Umum RSUD dr. Soeselo – Slawi pada 21 Januari 2016

Slawi,21 Januari 2016 Mengetahui,

dr. Bambang S. DTM&H Sp.B

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul “Peritonitis”.

Referat ini disusun sebagai salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah RSUD Dr. Soeselo Slawi. Penulis berharap pembuatan laporan ini tidak hanya berfungsi sebagai apa yang telah disebutkan diatas. Namun, besar harapan penulis agar laporan ini juga dapat dimanfaatkan oleh semua pihak yang berhubungan dengan topik referat ini. Dalam usaha penyelesaian tugas laporan ini, penulis banyak memperoleh bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

(3)

1. dr. Bambang S. DTM&H Sp.B selaku pembimbing kami, yang telah membantu dalam menyusun referat ini,

2. Kepada seluruh staf pengajar di SMF Bedah RSUD Dr. Soeselo – Slawi. atas segala waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada kami,

3. Kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini.

Penulis sangat menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik mengenai isi, tata bahasa, maupun informasi ilmiah yang didapat dalam referat ini. Oleh karena itu kritik dan saran senantiasa diharapkan. Semoga referat ini bermanfaat bagi pembacanya. Slawi, Januari 2016 Penulis DAFTAR ISI Lembar Pengesahan... 2 Kata Pengantar .……….. 3 Daftar Isi ... 4 BAB. I Pendahuluan ... 5 BAB. II Anatomi ………...………….……….. 7 2.1. Anatomi……… 7 2.2. Peritoneum……… 9 2.3. Struktur Perut……… 10

BAB. III Pembahasan Peritonitis... 11

3.1 Definisi……….……… 11

3.2 Etiologi ………...……. 11

(4)

3.4.1 Gejala……….. 17 3.4.2 Tanda……….. 18 3.5 Pemeriksaan penunjang………. 20 3.6 Tatalaksana……….. 21 3.6.1 Preoperatif……….. 21 3.6.2 Operatif……….. 24 3.6.3 Postoperatif……… 25 3.7. Komplikasi………. 25 3.8. Prognosis……… 26 BAB.IV KESIMPULAN……… 27 Daftar Pustaka ... 28

BAB I

PENDAHULUAN

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.1.3

Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel – sel, dan pus, biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada peritoneum (1). Peritonitis merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.1.2

(5)

Peritoneum merupakan membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh. Peritoneum terdiri atas dua bagian utama, yaitu peritoneum parietal, dan peritoneum visceral, yang berfungsi menutupi sebagian besar dari organ – organ abdomen dan pelvis, membentuk perbatasan halus yang memungkinkan organ saling bergeseran tanpa ada penggesekan. Organ – organ digabungkan bersama dan menjaga kedudukan mereka tetap, dan mempertahankan hubungan perbandingan organ – organ terhadap dinding posterior abdomen. Sejumlah besar kelenjar limfe dan pembuluh darah yang termuat dalam peritoneum, membantu melindunginya terhadap infeksi (2). Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-kecilan); kontaminasi yang terus meneras, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.2

Apapun penyebabnya, peritonitis dapat terjadi secara tiba – tiba, awalnya hanya pada satu daerah saja tetapi kemudian berkembang ke daerah yang lebih luas, menyebar pada peritoneum viseral dan parietal. Dan jika tidak ditangani dengan baik dapat berakibat fatal (4)

(6)

BAB II

ANATOMI

2.1.Anatomi

Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Di bagian belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang, di sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri atas beberapa lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan subkutis; lemak subkutan dan fasia superfisial (fasia Scarpa); kemudian ketiga otot dinding perut, m.oblikus abdominis eksternus, m.oblikus abdominis internus, dan m.tranversus abdominis; dan akhirnya lapis preperitoneal, dan peritoneum. Otot di bagian depan terdiri atas sepasang otot rektus abdominis dengan fasianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.(3)

Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal diperoleh pendarahan dari cabang aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari kaudal, a.iliaka sirkumfleksa superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastrica inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan pendarahan. Persarafan dinding perut dilayani secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII dan n.lumbalis I.(3)

Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis mengkilap yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga abdominal.

(7)

Lapisan membran yang membatasi dinding abdomen dinamakan peritoneum parietale, sedangkan bagian yang meliputi organ dinamakan peritoneum viscerale.

Di sekitar dan sekeliling organ ada lapisan ganda peritoneum yang membatasi dan menyangga organ, menjaganya agar tetap berada di tempatnya, serta membawa pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Bagian-bagian peritoneum sekitar masing-masing organ diberi nama-nama khusus.

Mesenterium ialah bangunan peritoneal yang berlapis ganda, bentuknya seperti kipas, pangkalnya melekat pada dinding belakang perut dan ujungnya yang mengembang melekat pada usus halus. Di antara dua lapisan membran yang membentuk mesenterium terdapat pembuluh darah, saraf dan bangunan lainnya yang memasok usus. Bagian mesenterium di sekitar usus besar dinamakan mesokolon.

(8)

Lapisan ganda peritoneum yang berisi lemak, menggantung seperti celemek di sebelah atas depan usus bernama olentum majus. Bangunan ini memanjang dari tepi lambung sebelah bawah ke dalam bagian pelvik abdomen dan kemudian melipat kembali dan melekat pada colon tranversum. Ada juga membran yang lebih kecil bernama omentum minus yang terentang antara lambung dan liver.2

2.2. Peritonium

Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesotial di atas dasar fibroelastik. Terbagi menjadi visceral, menutupi usus dan mesenterium, dan bagian parietal yang melapisi dinding abdomen dan berhubungan dengan fascia muscular. Pasokan darah datang dari struktur di bawahnya. Persarafan lebih spesifik , hanya berespons terhadap traksi atau regangan. Peritoneum parietale mempunyai komponen somatik dan visceral dan memungkinkan lokalisasi stimulus yang berbahaya dan menimbulkan defans muscular dan nyeri lepas (3).

(9)

2.3. Struktur Perut

Struktur di perut diklasifikasikan sebagai intraperitoneal, retroperitoneal atauinfraperitoneal tergantung pada apakah mereka ditutupi dengan peritoneum visceral danapakah mereka dilengkapi dengan polip (mensentery, mesokolon). Struktur yang Intraperitoneal umumnya bergerak, sementara mereka yang retroperitoneal relatif tetap dilokasi mereka. Beberapa struktur, seperti ginjal, adalah "terutama retroperitoneal",sementara yang lain seperti mayoritas duodenum, adalah "sekunder retroperitoneal", yang berarti struktur yang dikembangkan intraperitoneal namun kehilangan mesenterium dan dengan demikian menjadi retroperitoneal.

Organ yang ada pada Intraperitoneum adalah meliputi, Hati, Limpa, ekor pancreas.Dan pada wanita, Uterus, saluran telur, ovarium Gonad pembuluh darah. Sedangkan organ yang ada pada Retroperitoneum adalah meliputi, Pankreas (kecuali ekor),Ginjal, kelenjar adrenal, ureter proksimal, kapal ginjal, Gonad pembuluh darah, Inferior vena cava, Aorta

(10)

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Definisi

Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau seluruh selaput peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga abdomen. Peritonitis merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut dan kronis, biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada abdomen, konstipasi, dan demam. Peradangan biasanya disebabkan oleh infeksi pada peritoneum. Seringkali disebabkan dari penyebaran infeksi yang berasal dari organ-organ di cavum abdomen. Penyebab tersering adalah perforasi dari organ-organ lambung, colon, kandung empedu dan apendiks.Infeksi dapat juga menyebar dari organ lain yang menjalar melalui darah.(3)

3.2. Etiologi

(11)

1. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering menyebabkan peritonitis adalah perforasi lambung, usus, kandung empedu atau usus buntu. Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak berlangsung terus menerus, tidak akan terjadi peritonitis, dan peritoneum cenderung mengalami penyembuhan bila diobati.

2. Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan seksual

3. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan infeksi chlamidia) 4. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di perut

(asites) dan mengalami infeksi

5. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan.

Cedera pada kandung empedu, ureter, kandung kemih atau usus selama pembedahan dapat memindahkan bakteri ke dalam perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama pembedahan untuk menyambungkan bagian usus.

6. Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan peritonitis. Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di dalam perut.

7. Iritasi tanpa infeksi.

Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau bubuk bedak pada sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan peritonitis tanpa infeksi. Sedangkan berdasarkan jurnal farmacia maret 2007 penyebab dari peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intraabdomen, namun biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat penyakit hati kronik. Akibat asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang-kadang terjadi pula penyebaran hematogen jika telah terjadi bakteremia. Sekitar 10-30% pasien dengan sirosis dan asites akan mengalami komplikasi seperti ini. Semakin rendah kadar

(12)

protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Hal tersebut terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antarmolekul komponen asites.

Sembilan puluh persen kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Patogen yang paling sering menyebabkan infeksi ialah bakteri gram negatif, yakni 40% Eschericia coli, 7% Klebsiella pneumoniae,spesies Pseudomonas, Proteus, dan gram negatif lainnya sebesar 20%. Sementara bakteri gram positif, yakni Streptococcus pneumoniae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golonganStaphylococcus sebesar 3%. Pada kurang dari 5% kasus juga ditemukan mikroorganisme anaerob dan dari semua kasus, 10% mengandung infeksi campur beberapa mikroorganisme.

Sedangkan peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi, disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius tergantung penyebab asalnya. Berbeda dengan SBP, peritonitis sekunder lebih banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Pada pasien dengan supresi asam lambung dalam waktu panjang, dapat pula terjadi infeksi gram negatif. Kontaminasi kolon, terutama dari bagian distal, dapat melepaskan ratusan bakteri dan jamur. Umumnya peritonitis akan mengandung polimikroba, mengandung gabungan bakteri aerob dan anaerob yang didominasi organisme gram negatif.

Sebanyak 15% pasien sirosis dengan asites yang sudah mengalami SBP akan mengalami peritonitis sekunder. Tanda dan gejala pasien ini tidak cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan dua jenis peritonitis. Anamnesis yang lengkap, penilaian cairan peritoneal, dan pemeriksaan diagnostik tambahan diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan tata laksana yang tepat untuk pasien seperti ini.

Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, sering bukan berasal

(13)

dari kelainan organ. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya timbul abses atau flegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier timbul lebih sering ada pasien dengan kondisi komorbid sebelumnya dan pada pasien yang imunokompromais. Meskipun jarang ditemui bentuk infeksi peritoneal tanpa komplikasi, insiden terjadi peritonitis tersier yang membutuhkan IVU akibat infeksi abdomen berat tergolong tinggi di USA, yakni 50-74%. Lebih dari 95% pasien peritonitis didahului dengan asite, dan lebih dari stengah pasien mengalami gejala klinis yang sangat mirip asites. Kebanyakan pasien memiliki riwayat sirosis, dan biasanya tidak diduga akan mengalami peritonitis tersier. Selain peritonitis tersier, peritonitis TB juga merupakan bentuk yang sering terjadi, sebagai salah satu komplikasi penyakit TB.

Selain tiga bentuk di atas, terdapat pula bentuk peritonitis lain, yakni peritonitis steril atau kimiawi. Peritonitis ini dapat terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ-organ dalam (mis. Penyakit Crohn) tanpa adanya inokulasi bakteri di rongga abdomen. Tanda dan gejala klinis serta metode diagnostik dan pendekatan ke pasien peritonitis steril tidak berbeda dengan peritonitis infektif lainnya (7).

Penyebab peritonitis

Area sumber Penyebab

Esofagus Keganasan

Trauma Iatrogenik

Sindrom Boerhaave

Lambung Perforasi ulkus peptikum

Keganasan (mis. Adenokarsinoma, limfoma, tumor stroma gastrointestinal)

Trauma Iatrogenik

(14)

Trauma (tumpul dan penetrasi) Iatrogenik

Traktus bilier Kolesistitis

Perforasi batu dari kandung empedu Keganasan

Kista duktus koledokus Trauma

Iatrogenik

Pankreas Pankreatitis (mis. Alkohol, obat-obatan, batu empedu)

Trauma Iatrogenik

Kolon asendens Iskemia kolon

Hernia inkarserata Obstruksi loop Penyakit Crohn Keganasan Divertikulum Meckel Trauma

Kolon desendens dan apendiks

Iskemia kolon Divertikulitis Keganasan

Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn Apendisitis

Volvulus kolon Trauma

Iatrogenik

Salping uterus dan ovarium Pelvic inflammatory disease Keganasan

(15)

3.3. Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah(abses) diantara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrinosa, yang kelak dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan timbulnya peritonitis generalisata, aktivitas peristaltic berkurang sampai timbul ileus paralitik ; usus kemudian menjadi meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, menyebabkan terjadiya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguuria, dan mungkin syok. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya motilitas usus dan menyebabkan terjadinya obstruksi usus.[2] Jika bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar akan menimbulkan peritonitis generalisata sehingga aktivitas peristaltic berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus, menyebabkan terjadinya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguria dan syok. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat menimbulkan terjadinya obstruksi usus.

Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi dari organ abdomen ke dalam rongga abdomen biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma, atau perforasi tumor. Terjadi proliferasi bacterial. Terjadi edema jaringan, dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritoneal menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris seluler, dan darah. Respon segera dari saluran usus adalah hipomotilitas, diikuti oleh ileus paralitik, disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus

(16)

rongga abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya penyakit, perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan

tubuh untuk melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita secara umum.11

Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria,

disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok.12

3.4.1 Gejala - Nyeri abdomen

Nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu ada pada peritonitis. Nyeri biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan

perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen.2Seiring dengan

berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri

menandakan penyebaran dari peritonitis.13

- Anoreksia, mual, muntah dan demam

Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40 OC.13

- Facies Hipocrates

(17)

ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga

menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat.11

Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat

menyebabkan nyeri pada abdomen.13

Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan perawatan yang

lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang.11

- Syok

Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor. Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal.

Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata.11

Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram negative diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau

gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang terlihat pada manusia.11

3.4.2. Tanda - Tanda Vital

Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus untuk mencegah

(18)

Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik.11

- Auskultasi

Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hamper tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya suara

borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut,

penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami strangulasi.11

- Perkusi

Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa. Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis.11

(19)

menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan ditemukan

pekak hepar yang menghilang.13

- Palpasi

Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya

terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal.1

Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot

menjadi sangat berat seperti papan.13

3.5. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau

(20)

Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah

leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata.13

Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan ginjal dapat dilakukan.12

Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas dalam cavum

peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen.11

Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus halus.11

(21)

Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit,

kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.12

3.6.1 Penanganan Preoperatif

Resusitasi Cairan

Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan

perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial.3

Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi

PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus

diberikan untuk mengganti cairan yang hilang.12

Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal.13

Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi.12

Antibiotik

Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan

bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium,

Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang

menginfeksi peritoneum.13

Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan

(22)

Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi

lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi.3

Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada

chloramphenicol pada stadium awal infeksi.11

Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan

aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.13

Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif,

metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob.12

Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan

demam, dengan hitung sel darah putih yang normal.12

Oksigen dan Ventilator

Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga

ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau

(23)

(3) adanya nafas yang cepat dan dangkal.13

Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik

Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen,

mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan

pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate)

dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis.13

3.6.2. Penanganan Operatif

Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat irigasi

untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen.13

• Kontrol Sepsis

Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan

(24)

Peritoneal Lavage

Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada

cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage.

Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan

depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit

menghancurkan bakteri.12

Peritoneal Drainage

Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.12

3.6.3. Pengananan Postoperatif

Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis.

(25)

Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder.12

3.7. Komplikasi

Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel yaitu

organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun.12

3.8. Prognosis

Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan

(26)

BAB IV

KESIMPULAN

4.1. Kesimpulan

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ

perut (peritonieum). Penyebab paling sering dari peritonitis primer

adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis.

Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, serta perforasi kolon. Tanda-tanda peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil, bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat, dinding perut akan teras tegang karena iritasi peritoneum.

(27)

kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik. Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan sistemik. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien.

4.2 Saran

Setiap peritonitis harus ditangani secermat mungkin bila tidak ingin penyakit berjalan terus. Source control harus dilaksanakan sebaik mungkin. Pemeriksaan kultur dan resistensi harus diulang terutama pada mereka yang menunjukkan perjalanan penyakit yang panjang dan berat. Awasi terjadinya perubahan organisme penyebab infeksi dan gunakan obat yang sesuai resistensi dan tidak lagi menggantungkan pada antibiotik spektrum luas.

Daftar Pustaka

1. Peritonitis,http://www.medikastore.com/med/peritonitis_pyk.php?dktg=7& UID200705.

2. Buku-ajar ilmu bedah/editor, R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. -Ed.2.- Jakarta: EGC, 2004.

3. Sjamsuhidajat R, Lambung dan Duodenum-bab 31, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2,EGC, Jakarta: 2004,

4. Carol Matson Porth, Structure and Function of the Gastrointestinal Tract, Essential of Pathophisiology, Lippincott Williams & Wilkins, Wiskonsin: 2004, 5. Acute Peritonitis, http://www..ecureme.com/lib/inet.asp?

keyword=acute+peritonitis&category=gi.

6. Genuit T & Napolitano, Peritonitis,

(28)

7. Price Wilson, Peritonitis, patofisiologi saluran cerna, PATOFISIOLOGI (Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit), Jilid 1, ed: 8. Alih Bahasa: Peter Anugrah, EGC, Jakarta: 1995,

8. Iwan Ekayuda (editor), Kelainan Saluran cerna Bagian Distal, Radiologi Diagnostik, ed: 2. Divisi Radiologi Diagnostik, Departemen Radiologi FK – UI, Jakarta: 2005

9. J.A.Lee, Division Of Surgery, San Francisco, Peritonitis – secondary, http://www.medlineplus/ency/encyclopedia-Ah-Ap/peritonitis-secondary-00312.htm

10. Haskin – Teplick, disease of the digestive system, Roentgenologic Diagnosis, W.B. Saunders Company, United States of America

11. Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition.

Appelton-Century Corp, Hal 784-795

12. Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &

Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.

13. Schwartz et al. 1989. Priciple of Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill,

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan konsumsi BK total pada kedua bangsa tersebut sebagian besar disebabkan oleh perbedaan dalam konsumsi BK konsentrat, dimana konsumsi konsentrat dari sapi POL yang

Pengaturan arus lalu lintas pada persimpangan pada dasarnya dimaksudkan untuk bagaimana pergerakan kendaraan pada masing-masing kelompok pergerakan

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan : Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menganalisis atribut kualitas pelayanan yang dianggap paling penting oleh konsumen

Hal ini berarti tekanan darah sistol setelah minum ekstrak etanol seledri lebih rendah daripada tekanan darah sistol sebelum minum ekstrak etanol seledri dengan perbedaan yang

Meningkatnya impor beras, terutama beras organik dari Indonesia ke Italia dan negara- negara Eropa lain yang memiliki konsumsi besar terhadap bahan makanan organik

Pemeriksaan penunjang seperti CT Scan  sinus paranasal juga sangat dibutuh sebelum dilakukan tindakan operasi, karena dengan pemeriksaan ini kita bisa mengetahui dari