• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Pembelian Susu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Pembelian Susu"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Disertasi ini merupakan kajian yang holistik, dimulai dari perilaku keputusan pembelian susu oleh ibu yang dilanjutkan dengan proses pemilihan merek susu dan output perilaku pemilihan merek berupa pembentukan sikap loyalitas mereknya serta pertumbuhan dan perkembangan anak sebagai outcome dari konsumsi susu akibat perilaku pembelian susu ibunya. Ruang lingkup kajian ini mempunyai kebaruan karena menganalisa keterkaitan fenomena-fenomena dalam kehidupan keluarga dengan menggunakan pendekatan menggabungkan dua teori yaitu perilaku konsumen dan perkembangan anak.

Perilaku pengambilan keputusan keluarga dalam pengalokasian sumberdaya yang dimiliki pada hakekatnya dapat dijelaskan dengan kerangka analisis perilaku dengan pendekatan teori ekonomi maksimisasi utilitas (Bryant 1990). Model pengambilan keputusan keluarga dilakukan dengan pendekatan keputusan rasional untuk menaksir dan mengevaluasi manfaat atau fungsi atribut produk dan merek untuk memenuhi keputusan yang memuaskan (Solomon 2002). Pendekatan secara rasional dan logis menggambarkan proses keputusan pembelian dengan pendekatan pemecahan masalah. Selanjutnya keputusan pembelian produk (susu) akan dihadapkan pada pemilihan merek susu yang akan berlangsung terus menerus selama pembelian produk susu dilakukan. Pengalaman pemilihan merek yang telah dilakukan akan dijadikan sebagai informasi yang tersimpan dalam ingatan. Pada tahap ini informasi diproses untuk pembentukan sikap loyalitas merek. Hal ini akan membentuk sikap loyalitas merek yang dibelinya. Pendekatan kognitif memandang sikap loyalitas sebagai fungsi dari proses pskologis dalam pengambilan keputusan keputusan (Setiadi 2003). Komponen sikap loyalitas merek terdiri dari kepercayaan merek dan atributnya, afeksi dan niat pilih merek yang sama. Hubungan antara tiga komponen menggambarkan hierarki pengaruh keterlibatan dalam pemilihan merek. Pengalaman penggunaan merek yang telah dipilihnya akan menentukan tingkat kepuasan penggunaan merek yang akan memperkuat sikap dan meningkatkan kecenderungan niat pembelian kembali (Setiadi 2003). Niat merupakan prediktor terkuat dari perilaku (Ajzen 1991). Menurut Bennett dan Rundle-Thiele (2002) pengukuran sikap loyalitas terhadap merek dapat digunakan untuk menerangkan atau memprediksi perilaku pembelian merek yang sama.

(2)

Perilaku individu (dalam hal ini ibu) sebagai konsumen dalam melakukan pemilihan dan pembelian produk dapat memberikan pengaruh terhadap lingkungannya (dalam penelitian ini dikhususkan anak). Pembelian susu untuk anak yang dilakukan oleh ibu akan mempengaruhi kualitas konsumsi makanan anaknya karena adanya kontribusi zat gizi dari susu. Berdasarkan kerangka pembentukan status gizi anak yang dikembangkan oleh UNICEF diketahui bahwa konsumsi gizi anak dan pengasuhan orangtuanya mempengaruhi pertumbuhan dan perkem-bangan anak.

Keluarga sebagai konsumen merupakan fokus utama kajian disertasi ini. Sebagai konsumen, keluarga mengalokasikan sumberdaya (pendapatan) untuk berbagai keperluan keluarga (Bryant, 1990) dan harus mengalokasikannya antar anggota keluarga untuk mendapatkan kepuasan hidup. Keluarga merupakan institusi pertama dan utama yang akan menentukan kualitas anak di kemudian hari. Salah satu anggota keluarga yang perlu mendapat perhatian adalah anak. Peran keluarga sangat menentukan, karena pada awal kehidupannya seorang anak sangat tergantung pada keluarganya (Satoto, 1990). Kajian terhadap anak bukan hanya mengutamakan perkembangan fisik akan tetapi juga perkembangan psiososial. Hal ini untuk menjawab tantangan dalam membentuk kualitas anak yang lebih baik dan sekaligus kualitas SDM bangsa Indonesia yang lebih baik pula, mengingat usia anak adalah periode kritikal dalam membentuk kualitas SDM masa depan.

Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Pembelian Susu

Terdapat 77.4% contoh yang membeli susu dan sisanya yang tidak membeli susu. Keluarga yang membeli susu pada umumnya memiliki kondisi sosial ekonomi lebih baik daripada keluarga yang tidak membeli susu dilihat dari lama pendidikan ayah dan ibu serta pendapatan per kapita. Di samping itu karakteristik demografi kedua kelompok juga berbeda yaitu dalam hal besar keluarga dan umur anak. Jumlah anggota keluarga yang membeli susu lebih sedikit daripada yang tidak membeli susu. Besarnya keluarga menentukan besarnya pendapatan per kapita yang akan mebentuk daya beli. Selain itu, umur anak di keluarga yang membeli susu lebih muda daripada yang tidak membeli susu. Keadaan ini menunjukkan bahwa pemberian susu akan cenderung berkurang semakin bertambahnya umur anak.

(3)

Pada kelompok yang tidak membeli susu maupun yang membeli susu mempunyai tingkat pengetahuan gizi dan tumbuh kembang serta sikap pemberian susu yang hampir sama. Sebagian besar contoh telah mempunyai tingkat pengetahuan tentang gizi dan tumbuh kembang yang cukup tinggi dan sikap pemberia susu yang baik pula. Contoh yang telah mempunyai pengetahuan yang tersimpan dalam memori dan sikap yang positif tentang pemberian susu untuk anak diharapkan sudah dapat menyaring informasi dalam menentukan pengambilan keputusan pembelian susu. Demikian pula contoh telah mempunyai sikap pemberian susu yang positif dilihat dari norma subjektif yang dirasakan bila melakukan pemberian susu kepada anaknya, kesukaan tentang susu, faktor non motivasi yang mendorong perilaku pemberian susu agar anak tumbuh sehat dan cerdas serta niat pemberian susu setiap hari.

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok yang tidak membeli dan membeli susu dilihat dari jumlah sumber informasi dan jumlah informasi yang diperoleh serta sumber informasi yang dipercaya. Keluarga yang membeli susu memiliki akses berbagai sumber informasi dan jumlah informasi tentang susu dan mereknya lebih banyak daripada keluarga yang tidak membeli susu. Besarnya akses informasi ini sangat berkaitan dengan pendapatan per kapita. Hal ini menunjukkan orang yang berpendapatan lebih tinggi cenderung lebih dapat mengakses informasi dari berbagai sumber, sehingga memperoleh jumlah informasi yang lebih banyak pula. Perbedaan jumlah sumber informasi dan jumlah informasi mempengaruhi perbedaan sumber yang dipercaya tentang susu dan mereknya.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa variabel lama pendidikan ibu, pendapatan per kapita, umur anak dan jumlah sumber informasi tentang susu dan mereknya berpengaruh terhadap perilaku pembelian susu. Beberapa variabel yang berpengaruh terhadap perilaku pembelian ini sama dengan hasil penelitian Hatirli, Ozkan, dan Aktas (2004) dan Fuller, Beghin, dan Rozelle (2004). Menurut Hatirli et al. (2004) menyebutkan bahwa jumlah anak, besar keluarga, tingkat pendidikan, dan pendapatan merupakan karakteristik keluarga yang mempengaruhi perilaku pembelian susu segar. Demikian pula hasil penelitian Fuller et al. (2004) menemukan bahwa pendapatan per kapita dan tingkat pendidikan orangtua secara positif mempengaruhi konsumsi susu dan hasil olahannya.

(4)

Lama pendidikan ibu berpengaruh signifikan positif terhadap perilaku pembelian susu. Semakin tinggi pendidikan ibu semakin berpeluang untuk membeli susu untuk anak. Lama pendidikan ibu mencerminkan indikator sosial ekonomi lainnya yaitu pendapatan dan jumlah sumber informasi dan jumlah informasinya. Hal tersebut terlihat adanya korelasi yang sangat kuat antara lama pendidikan ibu dengan pendapatan per kapitanya. Selain itu lamanya pendidikan ibu berhubungan positif dengan jumlah sumber informasi tentang susu dan mereknya dan jumlah informasinya. Pendidikan yang diraih berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang. Beberapa jenis pekerjaan mensyaratkan pendidikan formal tertentu, yang pada akhirnya pekerjaan atau profesi yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi pendapatan yang diterimanya. Pendidikan dan pendapatan tersebut akan mempengaruhi proses keputusan dan pola konsumsi seseorang. Selain itu lama pendidikan atau tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi nilai yang dianut, cara berpikir dan persepsi terhadap suatu masalah, serta respon terhadap informasi. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi konsumen dalam perilaku pemilihan produk (Sumarwan 2003)

Berdasarkan ukuran status sosial ekonomi yang diukur dari pendapatan per kapita menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan meningkatnya pendapatan akan meningatkan peluang ibu (konsumen) membeli susu bagi anaknya. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, susu masih dianggap barang yang dianggap barang yang harganya mahal, sehingga kemampuan membeli susu akan ditentukan oleh tingkat pendapatan yang dimiliki. Hasil penelitian Bartosevicien, Gudonavicius, Šaparnis (2005) menemukan bahwa pada keluarga yang berpenghasilan rendah terjadinya peningkatan pendapatan berpengaruh pada peningkatan pengeluaran untuk susu.

Semakin meningkat umur anak semakin menurun kemungkinan perilaku ibu dalam pembelian susunya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambah umur anak, semakin berpeluang tidak membelikan susu untuk anaknya. Hal ini dimungkinkan karena semakin besar umur anak semakin beragam makanan yang dikonsumsi serta susu hanyalah makanan pelengkap yang tidak dikonsumsi setiap hari. Selain itu, semakin tua usia anak apabila mereka anak pertama atau anak tengah, terdapat kemungkinan anak tersebut mempunyai adik. Oleh karena itu, pada keluarga dengan pendapatan rendah, anak-anak yang

(5)

mempunyai adik akan cenderung tidak lagi mengkonsumsi susu karena susu tersebut dipindahkan alokasinya untuk adiknya.

Jumlah sumber informasi berpengaruh kuat terhadap peluang pembelian susu. Hal ini membuktikan bahwa aksesibilitas informasi konsumen terhadap informasi memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan pembelian. Jumlah sumber informasi lebih mempengaruhi keputusan pembelian daripada sumber informasi yang dipercaya tentang susu dan mereknya. Hal ini membuktikan bahwa perilaku keputusan pembelian susu merupakan proses pengambilan keputusan dengan keterlibatan yang tinggi yang melibatkan proses kognitif dari produk daripada sekedar mempercayai suatu informasi dari kelompok acuan atau pemasar. Semakin banyak sumber informasi semakin banyak jumlah informasi yang diperolehnya baik secara tidak sengaja maupun sengaja. Jumlah informasi yang diperoleh dari berbagai media tentang susu dan mereknya akan diproses dalam sistem kognitif yang akan mempengaruhi konsumen menerjemahkan informasi. Informasi yang diperoleh akan mengaktifkan pengetahuan relevan yang ada dalam ingatan yang selanjutnya akan mempengaruhi konsumen memahami arti yang terkandung dalam informasi yang diterima yang akan memudahkan keputusan pembelian susu.

Keputusan pembelian susu untuk anak usia 2-5 tahun lebih dipengaruhi oleh karakteristik sosial demografi daripada pengetahuan dan sikap pemberian susu. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan gizi dan tumbuh kembang serta sikap tentang manfaat susu untuk anak yang tinggi tidak selalu diikuti dengan perilaku pembelian susu karena terdapatnya faktor kendala pendapatan. Namun demikian, pengetahuan kognitif dan tanggapan afektif tentang manfaat susu untuk anak yang sudah terbentuk, bila diikuti dengan peningkatan pendapatan akan mendorong perilaku pembelian susu. Oleh karena itu susu dapat dianggap sebagai barang yang “mewah”.

Proses Pengambilan Keputusan Pemilihan Merek

Pendidikan ibu dan pendapatan per kapita berpengaruh sangat kecil terhadap perilaku pemilihan merek baik secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku pemilihan merek dipengaruhi oleh pencarian informasi. Di sisi lain, pencarian informasi dipengaruhi oleh pendidikan ibu dan jumlah sumber informasi. Dengan demikian jalur lintasan yang signifikan dari pendidikan ibu ke perilaku pemilihan merek adalah melalui pencarian informasi dan melalui jumlah

(6)

sumber informasi dan pencarian informasi. Hal ini membuktikan bahwa contoh telah melakukan pencarian informasi yang dilanjutkan dengan evaluasi aternatif, akan tetapi hasil evaluasi alternatif tidak digunakan sebagai pertimbangan keputusan pemilihan merek yang sama. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Erasmus, Boshoff dan Rousseau (2001) yang menyebutkan bahwa pilihan tidak selalu tergantung pada alternatif tetapi tergantung pada kondisi yang khusus, spesisifk produk dan situasi yang ada pada saat pembelian berlangsung.

Motivasi tidak berpengaruh terhadap pencarian informasi, sedangkan pencarian informasi berpengaruh terhadap evaluasi alternatif, akan tetapi evaluasi alternatif tidak digunakan sebagai pertimbangan keputusan pemilihan merek yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan tidak diawali dengan motivasi pembelian susu, karena pembelian susu sudah dilakukan secara rutin minimal dalam enam bulan terakhir sehingga sudah terbentuk kebutuhan pembelian susu sebagai kebiasaan. Contoh melakukan mencari informasi baik secara internal maupun eksternal serta mengintegrasikan informasi tersebut untuk mengevaluasi merek. Banyaknya usaha dalam pencarian informasi berpengaruh terhadap evaluasi merek. Selanjutnya, evaluasi atribut merek tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku pilih merek. Hal ini dikarenakan perilaku pilih merek tidak hanya sebagai hasil evaluasi pilih merek, akan tetapi dipengaruhi oleh faktor situasional yang tidak dapat diprediksi yang dapat mengubah tujuan perilaku pemilihan merek. Oleh karena itu perilaku pemilihan merek merupakan perilaku pengambilan keputusan dengan keterlibatan tinggi yang ditandai dengan kepentingan pembelian susu dari sudut manfaat dan resiko yang dirasakan sehingga menggerakkan pencarian informasi yang ekstensif dari berbagai sumber informasi dan evaluasi alternatif merek susu yang akan dibeli. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Erasmus, Boshoff dan Rousseau (2001) yang menyebutkan bahwa pilihan tidak selalu tergantung pada alternatif tetapi tergantung pada kondisi yang khusus, spesisifk produk dan situasi yang ada pada saat pembelian berlangsung.

Proses Pembentukan Sikap Loyalitas Merek

Seperti halnya dalam proses pengambilan keputusan merek, pendidikan ibu dan pendapatan per kapita berpengaruh sangat kecil terhadap dengan niat pembelian merek yang sama baik secara langsung maupun tidak langsung. Niat beli merek yang sama dipengaruhi oleh adalah kepuasan tehadap merek yang

(7)

dibelinya. Di sisi lain, kepuasan merek dipengaruhi oleh kepercayaan merek dan afeksi merek. Sementara itu, kepercayaan merek dipengaruhi oleh pendidikan ibu dan jumlah sumber informasi, sedangkan afeksi hanya dipengaruhi oleh pendidikan ibu. Dengan demikian jalur lintasan yang signifikan dari pendidikan ibu ke niat beli merek yang sama adalah melalui kepercayaan, kesukaan dan kepuasan atau melalui kepercayaan dan kepuasan tanpa melalui kesukaan terhadap merek. Selain itu pendidikan ibu dapat mempengaruhi kepercayaan melalui jumlah sumber informasi. Selanjutnya kepercayaan mempengaruhi niat membeli merek yang sama secara tidak langsung, melainkan melalui kepuasan.

Sikap loyalitas merek dalam penelitian ini terbentuk melalui hierarki pengaruh dengan keterlibatan tinggi yaitu pertama-tama konsumen membentuk kepercayaan merek, kemudian mengembangkan afeksi (kesukaan) terhadap merek. Kepercayaan merupakan faktor utama yang yang dapat mempengaruhi niat pembelian merek melalui kepuasan yang dibentuk melalui proses pembelajaran kognitif dan berhubungan dengan perspektif pengambilan keputusan. Sejalan dengan meningkatnya keterlibatan dalam pengambilan keputusan, konsumen cenderung terlibat dalam pencarian informasi yang ekstensif tentang alternatif merek, yang kemudian membentuk kepercayaan. Selanjutnya, contoh meluangkan waktu dan tenaga untuk mengintegrasikan informasi dalam melakukan evaluasi dan perbandingan merek serta untuk menyelesaikan masalah tersebut konsumen membentuk kesukaan tertentu terhadap salah satu alternatif yang dipertimbangkan. Namun dalam penelitian ini kesukaan terhadap merek yang terbentuk tidak mempengaruhi niat untuk pembelian merek yang sama secara langsung melainkan melalui kepuasan dari pengalaman masa lalu. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Bennett, McColl-Kennedy, dan Coote (2007) yang menyatakan bahwa kepuasan dari pengalaman masa lalu lebih menentukan niat pembelian merek yang sama daripada keterlibatan kategori merek. Kepercayaan dapat mempengaruhi niat pembelian merek yang sama melalui kepuasan yang telah dialaminya sebagai pengalaman masa lalu. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Erasmus, Boshoff dan Rousseau (2001) yang menyebutkan kesukaan berdasarkan pengalaman sebenarnya terlibat selama pengambilan keputusan. Skrip dalam struktur kognitif pada memori melalui pengalaman dapat digunakan oleh individu pada situasi secara otomatis.

(8)

Hal ini membuktikan bahwa kepuasan merupakan prediktor kuat yang menentukan niat beli merek yang sama di masa yang akan datang atau sikap loyalitas merek. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian McQuitty , Finn dan Wiley (2000) dan Reynolds dan Simintiras (2000) serta Bennett, McColl-Kennedy, dan Coote (2007) yang menyebutkan bahwa kepuasan merupakan penentu niat pembelian merek yang akan datang. Menurut Bennett et al. (2007) sikap loyalitas lebih dipengaruhi oleh kepuasan daripada tingkat kepentingan pembelian. Kepuasan mempunyai peran penting dalam menentukan hubungan antara persepsi resiko dan sikap loyalitas serta kepuasan juga sangat berhubungan dengan keterlibatan atribut produk (Bennett et al. 2007).

Pengaruh Konsumsi Susu dan Pengasuhan terhadap Tumbuh Kembang Anak

Rataan konsumsi susu per hari pada anak contoh, masing-masing adalah 88.28 gram pada kategori susu bubuk, 273.71 ml pada kategori susu segar; dan 123.38 ml pada kategori SKM. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada konsumsi energi non susu per hari di kedua kelompok. Kelompok yang mengkonsumsi susu, mengkonsumsi energi dan protein total lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mengkonsumsi susu walaupun tidak berbeda nyata. Rataan konsumsi susu per hari menyumbangkan 27.74% energi dan 28.71% protein. Penelitian ini juga menunjukkan hubungan yang negatif signifikan antara konsumsi protein susu dan non susu. Hal ini membuktikan bahwa semakin banyak mengkonsumsi susu semakin berkurang konsumsi makanan yang lain. Kenyataan ini juga perlu menjadi rambu-rambu bagi semua pihak yang berkepentingan, bahwa memberikan susu kepada anak lebih dipilih orangtua daripada memberikan makanan yang beragam; yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh klaim susu sebagai makanan dengan gizi yang lengkap.

Terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok yang tidak membeli dan membeli susu pada kedua kelompok umur anak pada skor lingkungan pembelajaran anak yang dilakukan orang tua (skor HOME). Pada kelompok umur anak 2.5-3 tahun, hanya aspek penyediaan mainan untuk anak yang berbeda nyata. Kelompok yang membeli susu mempunyai nilai rataan skor capaian lebih tinggi. Hal tersebut dapat dipahami karena kelompok yang membeli susu adalah keluarga yang rataan pendapatan per kapitanya lebih tinggi sehingga dimungkinkan mampu untuk menyediakan alat permaian bagi anak.

(9)

Sementara itu, pada kelompok umur anak 3-5 tahun, aspek yang berbeda nyata di kedua kelompok adalah stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, stimulasi akademik, dan variasi stimulasi kepada anak. Hal ini dimungkinkan karena pada keluarga yang memberikan susu kepada anaknya adalah keluarga dengan pendidikan orang tua dan rataan pendapatan per kapita yang lebih tinggi, yang memungkinkan kelima aspek stimulasi psiokososial tersebut dapat terpenuhi dengan lebih baik dalam keluarga contoh.

Terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok berdasarkan ketiga jenis indikator status gizi (BB/U, TB/U dan BB/TB). Hal ini mencerminkan bahwa terdapat perbedaan pertumbuhan fisik yang disebabkan oleh pola konsumsi mereka. Seperti digambarkan dalam model UNICEF, kondisi gizi anak ditentukan oleh asupan konsumsi, perilaku hidup sehat dan pengasuhan yang diterima oleh anak. Sebaliknya tidak terdapat perbedaan status kesehatan di kedua kelompok dan sebagian besar contoh mempunyai status kesehatan yang baik.

Apabila dibandingkan antar kelompok menunjukkan bahwa terdapat perbedaan skor perkembangan kognitif dan perkembangan psikososial pada gabungan kelompok umur. Secara umum skor rataan setiap aspek perkembangan pada kelompok yang tidak membeli susu lebih rendah daripada kelompok yang membeli susu, kecuali skor motorik halus pada kelompok umur 30-41 bulan, skor bahasa dan sosial emosi pada kelompok umur 42-53 bulan. Sebaliknya bila dibandingkan berdasarkan kelompok umur, pada kelompok umur 30-41 bulan dan 42-53 bulan tidak terdapat perbedaaan skor perkembangan kognitif dan psikososial diantara kelompok yang tidak membeli dan membeli susu, sedangkan pada kelompok umur 54-60 bulan menunjukkan adanya perbedaan perkembangan kongnitif dan skor perkembangan psikososial antara kelompok yang tidak membeli dan membeli susu. Di samping itu, Terdapat perbedaan perkembangan bahasa diantara kelompok yang tidak membeli susu dan membeli susu pada kelompok usia 30-41 bulan, sedangkan pada kelompok umur 42-53 bulan tidak ada satupun aspek perkembangan yang berbeda diantara kelompok yang tidak membeli dan membeli susu pada masing-masing pengukuran perkembangan. Sementara itu, pada kelompok umur 54-60 bulan terdapat berbedaan skor perkembangan kognitif, menolong diri sendiri dan sosial emosi antara kelompok yang tidak membeli susu dengan kelompok yang membeli susu. Hal ini membuktikan bahwa semakin tua umur anak semakin

(10)

terdapat perbedaan skor perkembangan psikososial diantara kelompok yang tidak membeli dan yang membeli susu.

Pengaruh Konsumsi Susu dan Pengasuhan Terhadap Status Gizi.

Penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada variabel status gizi berdasarkan ketiga jenis indikator status gizi diantara kedua kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi susu (protein susu) memberi pengaruh signifikan terhadap status gizi dengan tiga indikator BB/U, TB/U, dan BB/TB. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ntab et al. (2005) yang menemukan bahwa konsumsi susu hewan berhubungan secara signifikan dengan status gizi dengan indikator TB/U. Bila dibandingkan status gizi indikator BB/TB di kedua kelompok, pada kelompok yang membeli susu terdapat 8.3% contoh yang termasuk kategori gemuk, sedangkan pada kelompok yang tidak membeli susu hanya 1.5%. Kondisi status gizi lebih yang ditunjukkan pada kelompok yang membeli susu dikhawatirkan merupakan pengaruh dari konsumsi susu.

Pengasuhan psikososial berpengaruh positif terhadap status gizi dengan indikator TB/U, akan tetapi tidak mempengaruhi status gizi dengan indikator BB/U dan BB/TB. Hal ini menunjukkan bahwa pengasuhan berhubungan dengan kondisi gizi di masa lalu. Diduga pengasuhan psikososial memberikan pengaruh tidak langsung terhadap pertumbuhan anak melalui stimulasi psiososial dan konsumsi gizi. Hal ini selaras dengan model UNICEF bahwa status gizi ditentukan oleh pemberian makan, perilaku hidup sehat, dan pengasuhan yang diterima oleh anak yang dikenal sebagai penyebab tidak langsung (underlying determinants) yang menentukan kualitas pertumbuhan dan perkembangan anak. Kualitas pengasuhan mempengaruhi kualitas anak yang diukur dari status gizi dan kesehatan serta kematangan sosial (Hartoyo dan Hastuti 2004).

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa status gizi dengan indikator BB/U dan BB/TB dipengaruhi oleh pendapatan per kapita, akan tetapi tidak demikian dengan status gizi dengan indikator TB/U. Variabel pendapatan per kapita berpengaruh nyata dan positif terhadap status gizi dengan indikator BB/U dan BB/TB. Hal ini berarti semakin tinggi pendapatan per kapita semakin baik status gizinya. Pendapatan yang tinggi diduga dapat mengakses sarana kesehatan yang lebih baik. Adanya sumberdaya keuangan yang memadai maka dapat menyediakan makanan dengan jumlah dan kualitas yang baik. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Fernald et al. (2006) yang menyebutkan bahwa

(11)

pendapatan bukan sebagai prediktor z skor TB/U dan MDI anak umur 0-2 tahun pada keluarga miskin di Mexico.

Pendapatan berhubungan dengan indikator sosial ekonomi lainnya seperti pendidikan ibu. Hal ini terbukti adanya pengaruh lama pendidikan ibu dengan status gizi indikator BB/TB. Hal ini disebabkan karena ibu yang memiliki pendidikan yang tinggi memiliki pengetahun gizi relatif lebih baik dan dapat mengakses sarana kesehatan yang lebih baik pula, serta dapat menyediakan makanan dengan jumlah dan kualitas yang baik pula. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Ntab B et al. (2005) yang menemukan bahwa pendidikan ibu tidak berhubungan dengan status gizi dengan indikator TB/U.

Di samping faktor konsumsi susu dan pengasuhan psikososial, faktor umur anak juga berpengaruh secara signifikan negatif terhadap status gizi menurut TB/U (α<0.05). Semakin bertambah usia anak semakin rendah status gizi dengan indikator TB/U. Hal ini mencerminkan rendahnya status gizi saat ini dipengaruhi oleh pengasuhan makan di masa lalu yang kurang baik. Selain itu juga diduga anak yang berumur lebih tua memutuskan sendiri frekuensi dan intesitas makannya tanpa adanya pendampingan yang baik dari orang tua mengenai pola makan yang sehat, karena dianggap sudah besar. Padahal diharapkan semakin meningkatnya umur semakin resisten terhadap penyakit dan mempunyai kebiasaan konsumsi yang lebih baik.

Pengaruh Konsumsi Susu dan Pengasuhan Terhadap Status Kesehatan Konsumsi susu dan pengasuhan tidak berpengaruh signifikan terhadap status kesehatan. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa jenis kelamin berpengaruh terhadap status kesehatan, yang menggambarkan bahwa anak laki-laki lebih sehat dibandingkan anak perempuan. Bila dilihat tingkat konsumsi energi dan protein total berdasarkan jenis kelamin, tidak menunjukkan adanya perbedaan. Oleh karena tingkat kerentanan penyakit pada anak perempuan diduga berhubungan dengan lingkungan fisik tempat mereka tinggal dan perilaku hidup sehari-hari.

Pengaruh Konsumsi Susu dan Pengasuhan Terhadap Perkembangan Anak Konsumsi susu tidak memberikan dampak terhadap terhadap perkembangan kognitif maupun perkembangan psikososial. Sebaliknya pengasuhan berpengaruh sangat nyata terhadap perkembangan kognitif dan psikososial anak. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa ternyata kemampuan

(12)

kognitif anak tidak dipengaruhi oleh konsumsi susu, akan tetapi cenderung dipengaruhi oleh pengasuhan psikososial yang dilakukan oleh ibunya. Pengasuhan psikososial tidak hanya menstimulasi perkembangan kognitif saja akan tetapi juga menstimulasi kemampuan berbahasa, menolong diri sendiri, dan juga kemampuan sosial emosi anak. Temuan ini menegaskan peran penting pengasuhan dalam mengoptimalkan perkembangan psikososial anak. Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian Duncan (2005) yang menyebutkan bahwa peningkatan satu standar deviasi pada kualitas pengasuhan (HOME, cara pengasuhan dan alokasi waktu pengasuhan, karakteristik keluarga) pada anak umur 36-54 bulan berhubungan dengan peningkatan skor tes kemampuan kognitif (the Bayley Mental Developmental Index) antara 1.5 dan 1.1. poin.

Pengasuhan psikososial sangat berpengaruh signifikan terhadap perkembangan anak. Dengan menggunakan alat ukur perkembangan psikososial anak yang berbeda yaitu dari TIM TK (Depdiknas 2004) dan alat perkembangan kematangan sosial oleh Vineland ( Doll 1965) menunjukkan konsistensi pengaruh yang sangat signifikan. Hal ini membuktikan bahwa pengasuhan psikososial merupakan faktor yang dominan menentukan perkembangan anak.

Selain pengasuhan psikososial amat dominan menentukan perkembangan anak, pengasuhan psikososial juga berhubungan dengan pemberian konsumsi makanan yang baik yang baik. Hal ini ditunjukkan adanya hubungan yang erat antara skor pengasuhan psikososial dengan konsumsi energi total dan konsumsi protein total, meskipun dalam penelitian ini tidak tampak pengaruh yang signifikan protein non susu maupun protein susunya terhadap aspek perkembangan psikososial. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya data konsumsi yang kurang variatif diantara contoh, sehingga pengaruhnya kurang kuat.

Pendidikan ibu berpengaruh signifikan terhadap perkembangan kognitif. Semakin lama pendidikan ibu semakin tinggi skor perkembangan kognitifnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Leibowitz (1982) bahwa pendidikan ayah dan ibu mempengaruhi IQ anak secara langsung melalui kualitas dan kuantitas waktu yang diberikan kepada anak tetapi pendidikan ibu lebih penting menentukan IQ anak.

Umur berpengaruh terhadap perkembangan kognitif secara negatif dan berpengaruh terhadap perkembangan sosial emosi, motorik kasar dan motorik halus secara positif. Semakin betambahnya umur anak semakin menurun

(13)

perkembangan kogitifnya. Hal ini mencerminkan adanya pengaruh neurobiologis, kurangnya stimulasi orangtua yang dapat mengimbangi perkembangan kognitif yang seharusnya dicapai. Sebaliknya semakin bertambah umur anak semakin baik skor perkembangan sosial emosinya, motorik kasar, dan motorik halus. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya stimulasi psikososial yang mampu mendukung perkembangan sosial emosinya, motorik kasar, dan motorik halus yang seharusnya. Hal ini ditunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara pengasuhan psikososial dengan skor perkembangan sosial emosi, skor motorik kasar dan skor motorik halus.

Jenis kelamin juga berpengaruh terhadap perkembangan bahasa dan menolong diri sendiri serta perkembangan kematangan sosial. Anak perempuan lebih menentukan skor perkembangan bahasa, menolong diri sendiri dan kematangan sosial. Hasil ini mengindikasikan bahwa ibu yang mempunyai anak laki-laki harus lebih banyak mencurahkan waktu untuk menstimlasi perkembangan bahasa, menolong diri sendiri dan kematangan sosial agar supaya perkembangannya menyamai dengan anak perempuan.

Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel sosial demografi dengan aspek perkembangan kognitif. Hal ini membuktikan bahwa walaupun pendapatan per kapita rendah, tetapi bila ketrampilan stimulasi psikososial orangtua kepada anaknya memadai akan membentuk perkembangan anaknya yang baik pula.

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian retrospektif konsumsi susu minimal enam bulan yang lalu, sehingga pengaruhnya terhadap tumbuh kembang kemungkinan belum dapat terlihat. Selain itu tidak dibedakan lamanya waktu kebiasaan minum susu yang telah dilakukan, sehingga besar kecilnya pengaruh lamanya mengkonsumsi susu tersebut tidak dapat dilakukan.

Fokus penelitian ini adalah perilaku pembelian susu dan pemilihan merek susu serta tumbuh kembang anak. Tempat populasi yang dipilih hanya lokasi di sekitar pusat pertokoan dengan pertimbangan kemudahan untuk memperoleh berbagai jenis merek susu dan mempunyai jumlah balita yang cukup banyak. Selain itu pengumpulan data primer hanya dilakukan di empat kelurahan dari 68 kelurahan yang terdapat di Kota Bogor. Hal ini dilakukan karena terdapatnya

(14)

keterbatasan waktu, tenaga dan biaya yang dimiliki. Oleh karena itu cakupan wilayah penelitian mungkin tidak dapat merepresentasikan wilayah Kota Bogor.

Contoh dalam penelitian ini mewakili kelompok penduduk yang tidak membeli susu dan membeli susu. Teknik penarikan contoh dilakukan dengan cara proporsional random sampling berdasarkan wilayah miskin atau tidak miskin yang dipilih secara purposif karena tidak tersedianya data penduduk berdasarkan tingkat kemiskinan atau tingkat kesejahteraan (indikator BKKBN). Oleh karena itu kemungkinan data yang diperoleh tidak dapat mewakili kelompok penduduk berdasarkan tingkat kemiskinan atau kesejahteraan secara proporsional.

Penelitian ini menggabungkan bidang ilmu perilaku konsumen dan perkembangan anak yang memfokuskan hal perilaku pembelian susu, pemilihan merek dan tumbuh kembang anak. Luasnya permasalahan yang dikaji menyebabkan variabel yang diteliti terbatas untuk dapat diekplorasi dalam menjawab tujuan.

Pengukuran loyalitas hanya menggunakan jumlah merek yang diingatnya dalam enam bulan terakhir yang diwakili enam buah merek tanpa memperhatikan frekuensi pembelian per bulan. Bagi konsumen yang melakukan pembelian pembeliannya lebih dari satu kali per bulan kemungkinan kurang dapat mengingat merek-merek yang pernah dibelinya. Selain itu dalam me-recall konsumsi pangan tidak ditanyakan konsumsi suplemen yang mengandung mineral mikro yang diduga memberikan pengaruh terhadap kemampuan kognitif anak. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan kebiasaan mengkonsumsi suplemen masih rendah atau mengkonsumsi suplemen dengan jumlah dan frekuensi ang terbatas.

Dalam analisis statistik dengan menggunakan regresi linear berganda, terdapat beberapa data yang tidak memenuhi asumsi normalitas dan heteroskedastisitas, sehingga model regresi yang dihasilkan kurang baik.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, agar Komunitas Adat Terpencil (KAT) mandiri, mendapatkan keadilan serta berperan aktif dalam pembangunan maka diperlukan suatu program atau

1) Pemberian skor pada jawaban uraian sebaiknya dilakukan per nomor soal yang sama untuk semua jawaban peserta didik agar konsistensi penskor terjaga dan skor

Kelahirnya Pesantren As’adiyah mirip dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, terutama pada latar setting sosial keagamaan yang terjadi di Wajo

(1) Untuk mencapai tujuan termaktub dalam Pasal 5, Perusahaan mengadakan kerja-sama dan kesatuan tindakan dalam mengurus perusahaan-perusahaan Negara yang tercantum

Apa yang harus diiriin gitu?” sementara gua udah punya semua ini gitu, gua udah punya kehidupan kayak gini gitu misalnya jadi ya sebenernya sisi positif sama sisi negatifnya itu

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan serta untuk mencegah terlalu luasnya penelitian ini maka yang menjadi batasan masalah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan sari sirsak dengan ekstrak daun sambung nyawa memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap aktivitas antioksidan, kadar abu,

- Semua kegiatan dalam sasaran satu terlaksana dengan baik dan sesuai dengan perjanjian kinerja perubahan Dinas Perkebunan, Pertanian, Peternakan, Perikanan dan Perkebunan