commit to user
HUBUNGAN ANTARA SENSE OF HUMOR DAN TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DENGAN SUBJECTIVE WELL-BEING
PADA KARYAWAN DEWASA MADYA DI
PT TELKOM DISTEL JOGJAKARTA
Dalam Rangka Penyusunan Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata 1 Psikologi.
Disusun oleh:
Asma Zahratun Nabila G 0106037
Pembimbing: 1. Tri Rejeki Andayani, S.Psi., M.Si.
2. Aditya Nanda Priyatama, S.Psi, M.Si.
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
commit to user ii
HALAMAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak
sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia untuk dicabut derajat
kesarjanaan saya.
Surakarta, 10 Mei 2011
commit to user iii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul : Hubungan Antara Sense of Humor dan Tipe Kepribadian Ekstrovert dengan Subjective Well-beingpada Karyawan Dewasa Madya di PT Telkom Distel Jogjakarta
Nama Peneliti : Asma Zahratun Nabila
NIM : G0106037
Tahun : 2011
Telah disetujui untuk dipresentasikan dihadapan Dewan Penguji Skripsi Prodi
Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret pada:
Hari :
Tanggal :
Pembimbing I Pembimbing II
Tri Rejeki Andayani, S.Psi., M.Si. Aditya Nanda Priyatama, S.Psi., M.Si.
NIP.197401091998022001 NIP.197810222005011002
Koordinator Skripsi
Rin Widya Agustin, M.Psi.
commit to user iv
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi dengan judul
Hubungan antara Sense of Humor dan Tipe Kepribadian Ekstrovert dengan
Subjective Well-beingpada Karyawan Dewasa Madya di PT Telkom Distel
Jogjakarta
Telah diuji dan disahkan oleh Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Hari : Tanggal :
1. Pembimbing Utama
Tri Rejeki Andayani, S.Psi., M.Si . ( )
NIP.197401091998022001
2. Pembimbing Pendamping
Aditya Nanda Priyatama, S.Psi, M.Si. ( ) NIP. 197810222005011002
3. Penguji I
Drs. Hardjono, M.Si. ( )
NIP. 195901191989031002
4. Penguji II
Nugraha Arif Karyanta, S.Psi. ( )
NIP. 197603232005011002
Surakarta, __________________
Koordinator Skripsi
Rin Widya Agustin, M.Psi.
NIP 197608172005012002 Ketua Program Studi Psikologi
Drs.Hardjono, M.Si.
commit to user v
MOTTO
“Happiness only real when shared” (Chistopher McCandless)
“Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain” (H.R. Muslim)
“Bila saya tidak memilikisense of humor, saya yakin saya sudah bunuh diri sejak dulu”
commit to user vi
PERSEMBAHAN
Karya ini didedikasikan kepada:
Orangtuaku yang selalu berdoa demi keselamatan dunia dan akhiratku.
Kakak-kakak, adik, dan keluarga besar yang selalu setia mendukung.
Guru-guru dan setiap pembimbing yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat.
Saudara, sahabat yang memberikan warna dalam kehidupanku.
commit to user vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT dengan segala
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan karya ini. Satu
hal yang penulis sadari, bahwa terselesaikannya penulisan skripsi ini, tentunya tidak
terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Drs. Hardjono, M.Si. selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Ibu Rin Widya Agustin,M.Psi., selaku Koordinator Skripsi Program Studi
Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Ibu Tri Rejeki Andayani, S.Psi., M.Si., dan Bapak Aditya Nanda Priyatama,
S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing, atas bimbingan, waktu dan masukan
yang berarti bagi penulis dalam menjalankan penelitian ini.
4. Bapak Drs. Hardjono, M.Si. dan Bapak Nugraha Arif Karyanta, S.Psi., selaku
penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang berarti bagi penulis.
5. Seluruh staf pengajar Program Studi Psikologi yang telah memberikan ilmu
commit to user viii
6. Seluruh staf tata usaha dan staf perpustakaan Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret yang telah membantu kelancaran studi
penulis.
7. Bapak Sugeng Suwoto selaku Manajer HR PT Telkom Jogjakarta atas ijin dan
bantuannya dalam pengambilan data penelitian.
8. Karyawan PT Telkom Jogjakarta atas bantuannya dalam pengambilan data.
9. Mama, Papa, dan Bapak, atas semua cinta, pengorbanan, dan doa.
10. Bani Ridwan, Bani Aryadi, dan Bani Hisyam, atas doa dan semangatnya.
11. Mas Riva, Mas Zamzam, dan Elvin yang selalu memberikan motivasi dan
keceriaan di setiap saat.
12. Arin dan Fani yang selalu mendukung dan memberi bantuan.
13. Mbak Pril, Mbak Ajeng, Mbak Mimi, Mbak Atika, Astu, dan teman-teman semua
di kost Himawari atas kebersamaannya.
14. Sahabat-sahabatku Camelia, Sheila, Krisna, Lia, Arfi, Aza, Nikki, Uyak, Rindang,
Retno, Teh Nina, Rasty, Aris, Piti, Echak, Lea, Chu, Wildan, Indri, dan
kawan-kawan Psikologi 2006, atas kasih sayangnya.
Akhir kata penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi siapapun
yang membacanya.
Wasssalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, Mei 2011
commit to user ix
ABSTRAK
HUBUNGAN ANTARA SENSE OF HUMOR DAN TIPE KEPRIBADIAN
EKSTROVERT DENGAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA KARYAWAN DEWASA MADYA DI
PT TELKOM DISTEL JOGJAKARTA Asma Zahratun Nabila
Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Periode dewasa madya adalah suatu jenjang kehidupan dimana individu dapat meraih hasil dari kerja keras pada masa sebelumnya, sehingga akan didapatkan subjective well-being. Subjective well-being adalah sebuah penilaian mengenai kebahagiaan yang dirasakan oleh individu mengenai hidupnya. Tingginya sense of humor dan tingkat tipe kepribadian ekstrovert akan membantu individu dalam meraih subjective well-being-nya. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui :1) Hubungan positif antara sense of humor dan tipe kepribadian ekstrovert dengan subjective well-being pada dewasa madya; 2) Hubungan positif antara sense of humor dengan subjective well-being pada dewasa madya; 3) Hubungan positif antara tipe kepribadian ekstrovert dengan subjective well-beingpada dewasa madya.
Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan PT Telkom Distel Jogjakarta yang berusia 40-60 tahun, berjumlah 97, berjenis kelamin laki-laki dan perempuaan. Penelitian ini merupakan penelitian populasi. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Subjective Well-being dengan koefisien korelasi Pearson sebesar 0,307-0,709 dan Reliabilitas Alpha 0,795; Skala Sense of Humor dengan koefisien korelasi Pearson 0,307-0,778 dan Reliabilitas Alpha 0,907; Skala Tipe Kepribadian Ekstrovert dengan koefisien korelasi Pearson 0,312-0,634 dan Reliabilitas Alpha 0,790. Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis pertama adalah analisisis regresi ganda, selanjutnya untuk menguji hipotesis kedua dan ketiga menggunakan analisis korelasi parsial.
Berdasarkan hasil analisis regresi ganda diperoleh nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,532; p=0,000 (p<0,05) dan F hitung 18,506>F tabel 3,09 artinya ada hubungan positif yang signifikan antara sense of humor dan tipe kepribadian ekstrovert dengan subjective well-being pada dewasa madya. Secara parsial menunjukkan ada hubungan positif yang signifikan antara sense of humor dengan subjective well-beingpada dewasa madya dengan (r) sebesar 0,214; p=0,036 (p<0,05) dan ada hubungan positif yang signifikan antara tipe kepribadian ekstrovert dengan subjective well-being pada karyawan dewasa madya PT Telkom Distel Jogjakarta yang ditunjukkan dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,378; p=0,000 (p<0,05).
commit to user x
ABSTRACT
CORRELATION BETWEEN SENSE OF HUMOR AND EXTROVERT PERSONALITY TYPE WITH SUBJECTIVE WELL-BEING OF
MIDDLE AGED EMPLOYEES IN PT TELKOM DISTEL OF JOGJAKARTA
Asma Zahratun Nabila
Psychology Study Programme of Medical Faculty Sebelas Maret University
Surakarta
The midlife period of human being is a lifespan, in which individuals are able to get the result of their hard work, so subjective well-being can be accomplished. Subjective well-being is an evaluation of how good an individual feels about his/her life. The level of sense of humor and the extrovert personality type will help the middle aged adults to achieve it. The purposes of this research are to determine:1) Possitive correlation between sense of humor and extrovert personality type with subjective well-being in middle age adults; 2) Possitive correlation between sense of humor with subjective well-being in middle age adults; 3) Possitive correlation between extrovert personality type with subjective well-being in middle age adults.
The population of this research were employees of PT Telkom Divison of Telecommunication Jogjakarta. They were 97 middle aged adults betweeen 40-60 years old, consisting of female and male. The data were collected using Subjective Well-being Scale (The Pearson's Correlation Coefficient is 0,307-0,709 and the Alpha Reliability Coefficient is 0,795), Sense of Humor Scale (The Pearson's Correlation Coefficient is 0,307-0,778 and the Alpha Reliability is 0,907), and Extrovert Personality Scale (The Pearson's Correlation Coefficient is 0,312-0,634 and the Alpha Reliability 0,790). Multiple Regression Analyze was conducted to analyze the first hypothesis and Partial Correlation Analyze was performed to analyze the second and the third hypothesis.
The multiple regression analyze showed that correlation coefficient (R) 0,532; p=0,000 (p<0,005) and F Count 18,506>F Table 3,09 meant that there was a significant positive correlation between sense of humor and extrovert personality type with subjective well-being in middle aged employees of PT Telkom Divison of Telecommunication Jogjakarta. The partial result showed that the coefficient correlation (r) 0,214; p=0,036 (p<0,05) had meaning that, there was a significant positive correlation between sense of humor with subjective well-being in middle age adults and there was a significant positive correlation between extrovert personality type with subjective well-being in middle age adults. It was showed by the coefficient correlation which was (r) 0,378; p=0,000 (p<0,05).
commit to user xi
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul... i
Halaman Pernyataan... ii
Halaman Persetujuan... iii
Halaman Pengesahan... iv
Halaman Motto... v
Halaman Persembahan... vi
Kata Pengantar... vii
Abstrak... ix
Daftar Isi... xi
Daftar Tabel... xv
Daftar Gambar... xvii
Daftar Lampiran... xviii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Perumusan Masalah... 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-being... 15
commit to user xii
2. Komponen subjective well-being... 16
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being... 29
B. Sense of Humor... 37
1. Pengertian sense of humor... 37
2. Aspek dari sense of humor... 39
3. Gaya dari sense of humor... 45
C. Tipe Kepribadian Ekstrovert... 48
1. Pengertian tipe kepribadian ekstrovert... 48
2. Aspek-aspek dari tipe kepribadian ekstrover... 50
3. Tipe-tipe fungsi psikologi tipe kepribadian ekstrovert... 59
D. Hubungan antara Sense of Humor dan Tipe Kepribadian Ekstrovert dengan Subjective Well-beingpada Dewasa Madya... 65
1. Hubungan antara Sense of Humor dan Tipe Kepribadian Ekstrovert dengan Subjective Well-beingpada Dewasa Madya.... 65
2. Hubungan antara Sense of Humor dengan SubjectiveWell-beingpada Dewasa Madya... 69
3. Hubungan antara Tipe Kepribadian Ekstrovert dengan SubjectiveWell-beingpada Dewasa Madya... 71
commit to user xiii
F. Hipotesis... 73
BAB III. METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian... 74
B. Definisi Operasional Variabel... 74
1. Subjective well-being... 74
2. Sense of humor... 75
3. Tipe kepribadian ekstrovert... 76
C. Populasi, Sampel, Teknik Pengambilan Sampel... 76
D. Metode Pengumpulan Data... 78
1. Skala Subjective Well-being... 78
2. Skala Sense of Humor... 83
3. Skala Tipe Kepribadian Ekstrovert... 86
E. Validitas dan Reliabilitas... 91
1. Validitas instrumen penelitian... 91
2. Reliabilitas instrumen penelitian... 92
F. Uji Hipotesis... 93
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Penelitian... 94
1. Orientasi Kancah Penelitian... 94
2. Persiapan Penelitian... 96
commit to user xiv
4. Uji Validitas dan Reliabilitas... 104
5. Penyusunan Alat Ukur untuk Penelitian... 111
B. Pelaksanaan Penelitian... 114
C. Analisis Data Penelitian... 115
1. Uji Asumsi Dasar... 115
2. Uji Asumsi Klasik... 118
3. Uji Hipotesis... 120
4. Analisis Deskriptif... 124
5. Sumbangan Efektif dan Sumbangan Relatif... 127
D. Pembahasan ... 127
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 134
B. Saran... 135
DAFTAR PUSTAKA... 137
commit to user xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Blue Print Skala Subjective Well-beingSebelum Uji Coba... 82
Tabel 2: Blue Print Skala Sense of HumorSebelum Uji Coba... 85
Tabel 3: Blue Print Skala Tipe Kepribadian Ekstrovert Sebelum Uji Coba.. 89
Tabel 4: Distribusi Aitem Skala Subjective Well-beingSebelum Uji Coba.... 99
Tabel 5: Distribusi Aitem Skala Sense of HumorSebelum Uji Coba... 101
Tabel 6: Distribusi Aitem Skala Tipe Kepribadian Ekstrovert
Sebelum Uji Coba... 103
Tabel 7: Distribusi Aitem Skala Subjective Well-being
yang Valid dan Gugur... 106
Tabel 8: Distribusi Aitem Skala Sense of Humor yang Valid dan Gugur... 108
Tabel 9: Distribusi Aitem Skala Tipe Kepribadian Ekstrovert
yang Valid dan Gugur... 110
Tabel 10: Distribusi Aitem Skala Subjective Well-being untuk Penelitian... 111
Tabel 11: Distribusi Aitem Skala Sense of Humoruntuk Penelitian... 112
Tabel 12: Distribusi Aitem Skala Tipe Kepribadian Ekstrovert
untuk Penelitian... 113
Tabel 13: Uji Normalitas... 116
commit to user xvi Tabel 15: Uji Linearitas Tipe Kepribadian Ekstrovert
terhadap Subjective Well-being... 118
Tabel 16: Uji Autokorelasi... 118
Tabel 17: Uji Multikolinearitas... 119
Tabel 18: Hasil Analisis Regresi Berganda... 121
Tabel 19: Uji F-Test... 122
Tabel 20: Uji Korelasi Parsial antara Sense of Humor dengan Subjective Well-being... 122
Tabel 21: Uji Korelasi Parsial antara Tipe Kepribadian Ekstrovert denganSubjective Well-being... 123
Tabel 22: Statistik Deskriptif... 124
Tabel 23: Kriteria Kategori Subjective Well-being... 125
Tabel 24: Kriteria KategoriSense of Humor... 126
commit to user xvii
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1: Kerangka Berpikir Hubungan antara Sense of Humor dan
Tipe Kepribadian Ekstrovert denganSubjective Well-being
pada Dewasa Madya... 73
commit to user xviii
DAFTAR LAMPIRAN
A. Sebaran Nilai Uji Coba Alat Ukur... 143
B. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian... 153
1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Subjective Well-being... 154
2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Sense of Humor... 156
3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Tipe Ekstrovert... 158
C. Alat Ukur Penelitian... 160
D. Sebaran Nilai Data Penelitian... 172
E. Analisis Data Penelitian... 188
1. Data Penelitian yang akan dianalisis... 189
2. Hasil Uji Normalitas dan Uji Linearitas... 192
3. Hasil Uji Asumsi Klasik... 193
4. Hasil Uji Hipotesis... 194
5. Hasil Analisis Deskriptif... 196
6. Hsil Kategorisasi Variabel Penelitian... 196
7. Sumbangan Efektif dan Sumbangan Relatif... 199
F. Surat Ijin dan Surat Tanda Bukti Penelitian... 206
1. Surat Permohonan Ijin Penelitian dari Program Studi Psikologi FK UNS... 207
commit to user 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan hal mutlak yang terjadi pada
setiap individu seiring dengan perjalanan waktu hidupnya. Havighurst (dalam Sobur,
2003) menyatakan bahwa perjalanan hidup seseorang ditandai oleh adanya
tugas-tugas yang harus dipenuhi. Tugas-tugas-tugas ini dalam batas-batas tertentu bersifat khas
untuk masa-masa hidup seseorang, atau bisa disebut sebagai tugas perkembangan.
Tugas-tugas perkembangan (development task) adalah tugas-tugas yang harus
dilakukan oleh seseorang dalam masa-masa hidup tertentu, sesuai dengan
norma-norma masyarakat serta norma-norma-norma-norma kebudayaan. Sesuai dengan tugas
perkembangannya, Havighurst (dalam Monks, 1999) juga membagi rentang
perkembangan individu menjadi enam periode, yaitu: 1. bayi dan anak kecil, 2. anak
sekolah, 3. pubertas, 4. dewasa muda, 5. tengah baya, 6. dewasa lanjut. Masa tengah
baya atau dewasa madya, tidak seperti masa sebelumnya, merupakan keadaan yang
cukup rumit dalam rentang waktu kehidupan manusia.
Hurlock (2002) menyatakan bahwa periode dewasa madya, atau usia tengah
baya, dialami individu pada rentang usia 40 sampai 60 tahun. Individu memiliki
berbagai macam alasan untuk merasa takut dalam memasuki usia madya, beberapa
diantaranya adalah banyaknya stereotip yang tidak menyenangkan mengenai usia
commit to user
transisi pada dewasa madya merupakan masa dimana individu meninggalkan ciri-ciri
jasmani dan perilaku masa dewasanya, dan memasuki suatu periode kehidupan yang
akan diikuti oleh ciri-ciri jasmani dan perilaku yang baru, oleh karena itu cepat atau
lambat harus dilakukan suatu penyesuaian kembali terhadap perubahan-perubahan
yang dialami (Hurlock, 2002).
Masa dewasa madya memang merupakan masa yang berbahaya dan penuh
dengan ketakutan, meskipun demikian beberapa pihak menyebutkan bahwa masa
dewasa madya adalah masa puncak kehidupan karir individu. Nolan Ryan, pemain
baseball Amerika Serikat, pada usia 44 tahun melempar dalam pertandingan tanpa
pukulan (non-hit game) ketujuh dalam karir profesional yang selama ini digeluti, dan
masa tersebut merupakan puncak karirnya (Santrock, 2002). Selain bagi kaum pria,
masa puncak karir juga dialami oleh kaum wanita pada saat usia dewasa madya ini.
Pada usia dewasa madya ini wanita mempunyai lebih sedikit tanggung jawab di
rumah karena anak-anak telah besar dan dapat mencurahkan waktu pada karier atau
kegiatan sosial. Ratna Sarumpaet (Sulisto, 2010), 60 tahun, merupakan seorang
aktivis dan pemerhati hak asasi manusia, terutama kaum perempuan. Pada tahun
1998, Ratna memperoleh penghargaan Female Human Rights Special Awarddari The
Asia Foundation for Human Rights di Tokyo, Jepang atas suara-suaranya dalam
memperjuangkan hak-hak wanita. Ratna pernah menggeluti dunia seni teater sebelum
akhirnya ia aktif dan terjun secara penuh sebagai aktivis sosial.
Masa dewasa madya adalah masa dimana individu meraih puncak karir dalam
commit to user
buah hasil dari kerja keras pada masa sebelumnya, sehingga akan didapatkan
kepuasan atas apa yang telah diraihnya. Istilah kepuasan hidup didefinisikan oleh
Veenhoven (dalam Dockery, 2000) sebagai taraf penilaian kualitas hidup individu
mengenai keseluruhan atas apa yang didapatkan. Veenhoven secara lebih lanjut
mengidentifikasi beberapa faktor yang berhubungan dengan kepuasan hidup individu,
beberapa diantaranya adalah mempunyai kehidupan penikahan yang sehat dan
mempunyai kehidupan karir yang mantap. Pencapaian optimal dan ideal dari kedua
hal tersebut akan menimbulkan kebahagiaan dan kepuasan dalam hidupnya.
Sebaliknya apabila individu merasa apa yang dilakukan kurang optimal sehingga
hasil yang dicapai jauh dari titik ideal yang diharapkan, maka kemungkinan besar
kebahagiaan akan sukar dicapai dan itu berujung pada ketidakpuasan.
Pada umumnya masa dewasa madya adalah masa dimana seseorang
mendapatkan kepuasan dalam hal karir dan pernikahannya, namun pada
kenyataannya tidak semua individu pada usia madya merasakan kepuasan dalam
kehidupan pernikahan dan karir yang telah dirintis sejak awal. Kompas.com pada Mei
2009 mengungkap kasus bahwa 25 persen pria di kota besar pernah berselingkuh.
Fenomena ini sering ditemukan pada pasangan yang telah menikah selama 10 tahun
ke atas. Pada tengah baya, rasa bosan dan menurunnya nafsu seksual merupakan
alasan kuat yang menyebabkan terjadinya perselingkuhan, selain alasan lain, seperti
masalah keuangan, komunikasi yang kurang efektif, dan lain-lain.
Ketidakpuasan dalam karir juga dialami oleh sebagian individu pada masa
commit to user
ini sejalan dengan semakin meningkatnya usia, individu mulai merasa tertekan
dengan pekerjaan yang digeluti, sebagai akibat dari menurunnya prestasi dan
meningkatnya kecenderungan rasa cepat capai yang beriringan dengan menurunnya
kekuatan fisik. Santrock (2002) menuliskan bahwa 10 persen orang Amerika Serikat
mengubah pekerjaan yang selama ini ditekuni pada masa dewasa madya. Memang
dari 10 persen tersebut ada beberapa yang diberhentikan, tetapi sisa besar lainnya
adalah individu-individu yang memiliki motivasi pribadi untuk berubah haluan dalam
karir yang umumnya telah dilalui dengan panjang dan telah mendapatkan kemapanan.
Levinson (dalam Santrock, 2002) menggambarkan pengalaman perubahan
karir di periode tengah baya merupakan suatu titik yang sangat melibatkan
penyesuaian diri individu dalam menghadapi transisi pada masa dewasa madya.
Apabila individu merasa terlambat atau jika tujuannya saat ini dipahami sebagai suatu
hal yang tidak realistik, hal ini mungkin menghasilkan kesedihan atas
harapan-harapan yang tak terpenuhi.
Setiap individu, secara subjektif, memaknai kepuasan dan kebahagiaan yang
dialami dengan berbeda-beda. Keadaan tertentu yang dimaknai bagus dan
memberikan kepuasan pada seseorang, belum tentu dimaknai serupa dan memberikan
cukup kepuasan bagi orang lain. Konsep kepuasan hidup yang lebih luas dijelaskan
oleh Christopher (1999) sebagai suatu keadaan dimana seseorang menilai puas akan
hidupnya dan memiliki lebih banyak afek postif daripada afek negatif, keadaan itu
disebut subjective well-being. Subjective well-being adalah keadaan yang
commit to user
Pemrakarsa psikologi positif, Seligman (2005), melihat bahwa dengan
pemikiran yang positif, seseorang akan terprovokasi untuk selalu optimis akan
adanya jalan keluar, walaupun individu tersebut dalam keadaan penuh tekanan.
Arbiyah (2008) mengkaji bahwa psikologi positif merupakan cara bagaimana
manusia memaknai segala hal yang terjadi dalam dirinya, dimana pemaknaan ini
bersifat sangat subjektif. Pemaknaan hidup yang positif merupakan hal yang sangat
penting agar manusia, dengan berbagai latar belakangnya, dengan berbagai
subjektivitas yang dimilikinya, bisa meraih kebahagiaan atau disebut dengan istilah
subjective well-being.
Diener (2002) mendefinisikan istilah subjective well-being sebagai evaluasi
kognitif dan afektif seseorang mengenai hidupnya. Evaluasi kognitif yang dimaksud
merupakan penilaian mengenai kepuasan hidup individu, sedangkan evaluasi afektif
yang ditekankan adalah mengenai afek positif individu dalam menghadapi berbagai
kejadian yang dialami. Diener (1999) mengemukakan empat komponen utama dalam
subjective well being, yaitu afek positif, ketidak hadirannya afek negatif, kepuasan
hidup secara global, dan kepuasan ranah kehidupan.
Penyelidikan mengenai hubungan antara subjective well-beingdengan jenjang
usia pernah dilakukan oleh Mroczek dan Kolarz (dalam Ehrlich dan Isaacowitz,
2002) dengan menyebarkan Skala Midlife Development Inventory kepada 2.727
subjek yang berusia 25 sampai 74 tahun. Penelitian ini menyimpulkan bahwa usia
dewasa madya dan usia lanjut cenderung mempunyai afek positif yang lebih tinggi
commit to user
Eddington dan Shuman (2005), pemerhati dalam studi subjective well-being,
mengungkapkan bahwa ada hal yang dapat mempengaruhi level afek positif, sehingga
sangat mungkin juga berpengaruh pada level subjective well-being individu, yaitu
pengetahuan diri. Pengetahuan terhadap diri sendiri, menolong individu untuk
menerima segala kelebihan dan kekurangannya, sehingga harapan individu untuk
meraih kepuasan hidup dan subjective well-beingsangat mungkin tercapai. Kesadaran
akan humor terdapat banyak unsur yang dapat membantu individu memperoleh
pengetahuan diri. Kartono (2005) menjelaskan mengenai pentingnya seseorang untuk
memiliki kesadaran akan humor. Kesadaran akan humor merupakan kemampuan
untuk mengerti sifat-sifat yang bertentangan dan menerima keterbatasan dari diri
sendiri dan manusia lain, disertai oleh perasaan-perasaan lembut.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, humor adalah keadaan (cerita
dan sebagainya) yang menggelikan hati, kejenakaan, lelucon. Hasanat dan Subandi
(1998) menyatakan untuk dapat mengamati, merasakan, atau mengungkapkan humor,
seseorang memerlukan kepekaan terhadap humor (sense of humor). Definisi
mengenai sense of humor dikemukakan oleh Martin (dalam Ruch, 1998) sebagai
kemampuan individu untuk tidak terlalu serius dalam menangkap suatu hal dan
kemampuan untuk menertawakan kelemahan dan kekurangan diri sendiri, akan tetapi
para humoris (Kartono, 2005), individu yang mampu menangkap dan mengeluarkan
humor, tetap memiliki perasaan yang mendalam terhadap nilai-nilai etis.
Sheehy (dalam Hasanat dan Subandi, 1998) dalam penelitiannya, menemukan
commit to user
digunakan untuk mengatasi krisis dalam hidup, sebagai perlindungan terhadap
perubahan dan ketidaktentuan. Hubungan antara sense of humor dan kecemasan
sebagai krisis dalam kehidupan individu dikaji oleh O’Connel (dalam Hasanat dan
Subandi, 1998) dengan menyatakan bahwa melalui humor seseorang dapat
menjauhkan diri dari situasi yang mengancam dan memandang masalah dari sudut
kelucuannya untuk mengurangi kecemasan dan rasa tidak berdaya.
Selain itu, McGee dan Shevlin (2009) yang melakukan penyelidikan
mengenai keinginan dalam bersosialisasi (social desirability), menemukan bahwa
sense of humor termasuk dalam karakteristik kepribadian yang dinilai paling
menguntungkan dalam kehidupan interpersonal individu. Kemampuan ini memupuk
empati individu untuk lebih memahami lingkungannya dan menyadarkan kebutuhan
untuk bersosialisasi dengan individu lainnya, sehingga kebahagiaan mengenai
pemaknaan hidupnya dapat pula tercapai.
Hayes dan Joseph (dalam Librán, 2006) menyebutkan bahwa orang-orang
tertentu cenderung lebih bahagia dibanding yang lain karena kepribadian yang
dibawanya. Individu yang mempunyai karakter kepribadian yang optimis dan
mempunyai kompetensi sosial yang baik cenderung lebih bahagia daripada individu
yang berkarakter pesimistis dan menarik diri dari lingkungannya, sehingga dapat
dibenarkan ungkapan yang menyebutkan bahwa kepribadian seseorang
mempengaruhi pemaknaannya akan hidup.
Istilah kepribadian dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan personality.
commit to user
personare yang artinya menembus. Sekarang ini istilah personality oleh para ahli
dipakai untuk menunjukkan suatu atribut tentang individu, atau untuk
menggambarkan apa, mengapa, dan bagaimana tingkah laku manusia (Kuntjojo,
2009). Kepribadian individu (dalam Sobur, 2003) merupakan ciri-ciri watak
seseorang yang cenderung stabil, konsisten, dan konsekuen dalam tingkah lakunya,
sehingga tampak bahwa individu tersebut memiliki identitas khusus yang berbeda
dengan individu lainnya.
Struktur dalam kepribadian adalah aspek-aspek kepribadian yang bersifat
relatif stabil dan menetap, serta merupakan unsur-unsur pembentuk sosok kepribadian
(Kuntjojo, 2009). Individu yang mempunyai kepribadian mudah menyesuaikan diri,
luwes, dan suka berteman cenderung lebih bebas dari kecemasan dan lebih bahagia,
sehingga dapat dikatakan bahwa individu tersebut juga memiliki subjective
well-being yang cenderung tinggi. Ciri-ciri sosok kepribadian tersebut serupa dengan
ciri-ciri sikap/ arah jiwa ekstrovert yang diusung oleh Jung.
Jung (dalam Sobur, 2003), seorang ahli penyakit jiwa dari Swiss, menyatakan
bahwa di dalam struktur kepribadian individu terdapat arah jiwa yang menentukan
kepribadiannya. Lebih lanjut, Jung menjelaskan bahwa perhatian manusia tertuju
pada dua arah, yakni keluar dirinya yang disebut ekstrovert, dan kedalam dirinya
yang disebut introvert. Tipologi kepribadian Jung ini diungkapkan pula oleh
Suryabrata (2005) dengan mengatakan bahwa penyesuaian individu dengan
kepribadian ekstrovert terhadap dunia luar berlangsung dengan baik dan mempunyai
commit to user
sedangkan penyesuaian individu dengan kepribadian introvert terhadap dunia luar
kurang berlangsung dengan baik, individu dengan kepribadian introvert mempunyai
ciri-ciri jiwanya tertutup, sukar bergaul, dan sukar berhubungan dengan orang lain.
Adanya hubungan antara arah jiwa dengan kepuasan hidup, diyakini oleh
Costa dan McCrae (dalam Librán, 2006) dengan menyatakan bahwa kepuasan
individu akan hidup berkaitan dengan tingginya tingkat tipe ekstrovert yang
dimilikinya. Tingginya tingkat ekstraversi yang dimiliki seseorang menyebabkan
individu lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya dan menyadarkan
bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa berdampingan dengan manusia lainnya.
Interaksi sosial yang baik membawa individu untuk berpikir positif mengenai
lingkungan sekitarnya dan memiliki kepuasan atau kebahagiaan mengenai kehidupan
pribadinya.
Hall dan Lindzey (1993) menyatakan bahwa tipologi ekstroversi introversi ini
dipandang sebagai kontinum tunggal, jadi satu sikap akan lebih dominan dari satu
sikap yang lain. Lebih lanjut, Hall dan Lindzey menjelaskan dengan pernyataan:
“Kedua sikap yang berlawanan ini ada dalam kepribadian tetapi biasanya salah satu diantaranya dominan dan sadar, apabila ego lebih bersifat ekstravert dalam relasinya dengan dunia, maka ketidaksadaran pribadinya akan bersifat introvert. ”
Penjelasan mengenai teori kontinum dua arah jiwa tersebut dapat digaris bawahi
bahwa setiap orang pasti mempunyai dua sikap kepribadian tersebut dalam dirinya,
tinggal mana dari arah jiwa itu yang lebih termanifestasikan dalam perilakunya. Hall
commit to user
lebih dominan daripada kepribadian introvertnya, cenderung lebih positif memaknai
diri sendiri dan orang lain di sekitarnya, sehingga evaluasi kognitif dan afektif
seseorang mengenai hidup pun dapat berlangsung dengan baik dan dapat mencapai
kepuasan dan kebahagiaan.
Penelitian mengenai hubungan antara tipe kepribadian ekstrovert dengan
subjective well-being pernah dilakukan oleh Libran (2006). Hasil penelitian tersebut
menemukan bahwa tipe kepribadian ekstrovert hanya mampu memprediksi
keberadaan subjective well-being sebesar 7,3%. Walaupun demikian, Libran (2006)
mencatat ada keterbatasan studi penelitian yang telah dilakukannya, yaitu mengenai
tidak adanya kontrol mengenai variabel sosiodemografik. Penulis berharap dengan
menggunakan teori Diener (1999) yang telah diperbaharui, yaitu dengan
menambahkan komponen kepuasan dalam ranah kehidupan, dapat menghasilkan data
yang lebih akurat lagi.
Berdasarkan penjelasan tersebut, subjective well-being merupakan kepuasan
hidup dan keadaan bahagia yang dialami oleh individu, khususnya bagi individu
dewasa madya, yaitu melalui pemaknaannya yang positif terhadap kehidupannya,
meskipun berada di tengah problematika dalam perubahan-perubahan yang terjadi
pada masa madya ini, sehingga peneliti tertarik untuk meneliti subjective well-being,
khususnya di PT Telkom Divisi Telekomunikasi Jogjakarta, yang terletak di
Kotabaru. PT Telkom merupakan perusahaan milik negara yang menangani jaringan
telekomunikasi terluas di nusantara. Berdasarkan informasi hasil wawancara dan
commit to user
bahwa mayoritas karyawan PT Telkom Jogjakarta, khususnya di Kotabaru sebagai
Distel-nya terdapat sebanyak 87% karyawannya, berada pada jenjang usia dewasa
madya.
Visi PT Telkom secara umum adalah ingin menyentuh para customer dari
hati ke hati, maka dari itu PT Telkom menetapkan lima nilai yang menuntun perilaku
pegawai-pegawainya dalam menyediakan produk dan jasa bagi customer, yaitu heart,
assured, progressive, empowering, dan expertise, atau sering disingkat dengan
sebutan HAPEE. Melalui interaksi dengan produk dan layanan pegawainya, PT
Telkom mengharapkan para customer puas dan memandang PT Telkom sebagai
perusahaan yang melayani dengan sepenuh hati (heart), membuat customer merasa
yakin (assured), meningkatkan pembaharuan (progressive) dalam menyediakan
produk dan jasa, merajakan (empowering) customer serta akan membuktikan bahwa
PT Telkom memiliki keahlian (expertise) yang tinggi. Adapula tujuh nilai etis dasar
minimal yang harus dimiliki oleh setiap karyawan PT Telkom, yaitu kejujuran,
transparansi, komitmen, kerjasama, disiplin, bertanggung jawab, dan peduli.
Keseluruhan nilai tersebut diharapkan merupakan nilai-nilai yang terdapat di dalam
hati (level emosional) dan pikiran para karyawan yang tidak terlihat, tapi dapat
dirasakan (dalam Work in Progress of PT Telkom, 2009).
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, adanya emosi-emosi yang positif
dapat meningkatkan pemaknaan individu mengenai hidupnya menjadi makin positif
pula, sehingga subjective well-being dapat tercapai. Ada pula suatu karakter yang
commit to user
karakter itu adalah sense of humor. Sense of humor yang dimiliki pada masa dewasa
madya dapat membantu individu untuk lebih menerima permasalahan-permasalahan
yang terjadi dalam hidupnya dan dapat mengembangkan pemaknaan yang positif,
baik mengenai dirinya maupun orang lain, sehingga keadaan subjective well-being
pun sangat mungkin untuk tercapai. Selebihnya, manusia selain berperan sebagai
makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial yang butuh untuk
bersosialisasi dengan lingkungannya. Kepribadian ekstrovert merupakan tipe
kepribadian yang dapat membantu individu dalam bersosialisasi dengan lingkungan
sekitarnya. Kepribadian ekstrovert yang ada dalam diri individu dapat membantunya
untuk mudah beradaptasi, mudah bergaul, dan luwes dalam berhubungan dengan
orang lain. Sosialisasi yang baik ini mempermudah individu untuk dapat menerima
kelebihan maupun keterbatasan orang lain dan dirinya sendiri, sehingga kepuasan
hidup dan keadaan subjective well-being pun akan tercapai. Oleh karena itu, penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Hubungan antara Sense of Humor
dan Kepribadian Ekstrovert dengan Subjective Well-Being pada Karyawan Dewasa
Madya di PT Telkom Distel Jogjakarta”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Adakah hubungan positif antara sense of humor dan kepribadian ekstrovert
commit to user
2. Adakah hubungan positif antara sense of humor dengan subjective well-being
pada dewasa madya?
3. Adakah hubungan positif antara kepribadian ekstrovert dengan subjective
well-beingpada dewasa madya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui:
a. Hubungan positif antara sense of humor dan tipe kepribadian ekstrovert
dengan subjective well-being pada dewasa madya
b. Hubungan positif antara sense of humor dengan subjective well-being
pada dewasa madya
c. Hubungan positif antara tipe kepribadian ekstrovert dengan subjective
well-beingpada dewasa madya
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi
wahana perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan
terutama yang berhubungan dengan subjective well being pada individu usia
commit to user b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan individu,
khususnya pada usia dewasa madya, mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi subjective well-being dan menambah kesadaran tentang
pentingnya sense of humor dan meningkatkan sikap yang diusung oleh
commit to user 15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Subjective Well-being
1. Pengertian subjective well-being
Subjective well-being adalah istilah yang sangat berkaitan dengan istilah
happiness (kebahagiaan). Menurut Veenhoven (dalam Eid dan Larsen, 2008),
subjective well-being adalah istilah yang paling cocok untuk menggambarkan
kebahagiaan manusia secara utuh (overall happiness). Diener dan Suh (2000)
mendefinisikan subjective well-being adalah suatu keadaan yang didapatkan dari
menggabungkan antara aspek afektif dan kognitif. Aspek afektif yang diharapkan
untuk meraih subjective well-being adalah perasaan bahagia akan hidupnya,
sedangkan aspek kognitif yang diharapkan adalah individu mempunyai pemikiran
bahwa berbagai aspek kehidupannya, seperti keluarga, karir, dan komunitasnya
adalah hal-hal yang memberikannya kepuasan hidup (Diener dan Suh, 2000).
Diener (2009d) menambahkan, lebih tinggi frekuensi munculnya afek
positif daripada afek negatif dapat memberikan perasaan nyaman dan riang
(joyful), sehingga pemaknaan individu akan hidupnya pun akan makin positif,
demikian pula individu yang dapat mencapai tujuannya dan merasa puas akan
semua pencapaiannya, maka pemaknaan mengenai hidupnya akan baik pula. Dua
pemenuhan keadaan ini merupakan syarat bagi individu untuk dapat mencapai
commit to user
yang menyatakan bahwa subjective well-being adalah variabel yang dihasilkan
melalui kombinasi dua hal, yaitu peran afeksi dan peran kognisinya, dengan kata
lain di satu pihak cenderung pada afek positif, afek negatif, dan
keseimbangannya, di pihak lain cenderung pada kepuasan hidup yang
dimaknainya.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa subjective
well-being adalah kebahagiaan utuh yang dialami individu, dimana individu dapat
memiliki perasaan yang positif mengenai hidupnya, sebagai hasil dari evaluasi
afektif, dan memiliki kepuasan hidup atas apa yang ia capai, baik dalam hal karir,
keluarga, dan komunitasnya, sebagai hasil evaluasi kognitifnya.
2. Komponen subjective well-being
Menurut Diener, dkk. (1999), banyak peneliti yang telah memperlakukan
subjective well-being sebagai wujud satu kesatuan (monolitis), namun akhirnya
terlihat jelas bahwa subjective well-being adalah gabungan antara pola-pola unik
yang dapat dipisahkan, atau bisa disebut memiliki beberapa komponen yang
spesifik. Pada tahun 1984, Diener (dalam Eid dan Larsen, 2008) mengangkat
studi mengenai subjective well-being. Studi tersebut menyebutkan ada tiga
komponen yang menyertai subjective well-being individu, yaitu kepuasan hidup,
afek positif, dan afek negatif. Beberapa tahun kemudian, Diener, dkk. (1999)
menambahkan satu komponen lagi, yaitu kepuasan dalam ranah kehidupan/
commit to user
empat komponen besar yang menopang studi mengenai subjective well-being,
yaitu afek yang menyenangkan (afek positif), afek yang kurang menyenangkan
(afek negatif), penilaian secara global mengenai kepuasan hidup (sering disebut
dengan kepuasan hidup saja), dan kepuasan dalam ranah kehidupan.
Penjelasannya, sebagai berikut:
a. Afek positif
Individu yang berhasil mencapai keadaan subjective well-being
umumnya ditandai dengan tingginya perasaan positif/ bahagia. Subjective
well-being adalah keadaan dimana evaluasi afektif individu menghasilkan
bahwa afek positifnya memiliki jumlah yang lebih besar (mayoritas) daripada
afek negatifnya. Keadaan ini tidak hanya menunjukkan bahwa kecil/
rendahnya faktor afek negatif, tetapi lebih menekankan pada kesehatan mental
individu yang adekuat (Diener, 2009d).
Menurut Diener, dkk. (1999) afek positif individu yang mempengaruhi
level subjective well-being adalah hal-hal yang mencakup keriangan (joy),
rasa suka cita (elation), kepuasan (contentment), harga diri (pride),
mempunyai rasa kasih sayang (affection), kebahagiaan (happiness), dan
kegembiraan yang sangat (ecstasy).Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1) Keriangan (joy)
a) Didapat dari perwujudan dorongan untuk bermain-main/ mencari
commit to user
b) Dorongan ini tidak hanya muncul ketika bersosialisasi dengan orang
lain atau dalam perilaku fisiknya saja, tapi juga muncul dalam perilaku
yang intelektual dan artistik.
2) Rasa suka cita (elation)
Elation adalah suatu kondisi dimana individu berada dalam
keadaan yang bersuka cita dan memiliki kondisi yang penuh dengan
semangat untuk melakukan apapun.
3) Kepuasan (contentment)
Kepuasan ini didapat dari perwujudan dorongan untuk mampu
menikmati hal-hal yang terjadi/ apa yang dimiliki dalam kehidupannya
saat ini dan mengintegrasikan hal-hal tersebut kedalam sebuah pandangan
yang baru mengenai dirinya sendiri dan dunianya.
4) Harga diri(pride)
Harga diri disini merujuk pada pencapaian personal, yaitu
terwujud dalam dorongan untuk berbagi cerita mengenai pencapaiannya
dengan orang lain dan bahkan dalam dorongan untuk membayangkan/
mengkhayalkan mengenai perolehan yang lebih baik di masa depan kelak.
5) Mempunyai rasa kasih sayang(affection)
a) Dikonsepkan sebagai campuran dari emosi positif lainnya, seperti
kenikmatan, ketertarikan, dan kepuasan.
b) Dialami dalam konteks adanya persaan yang tenteram dalam
commit to user 6) Kebahagiaan (happiness)
a) Kebahagiaan diprediksikan melalui kestabilan emosi yang
menyenangkan dan sering merasakan bahwa dirinya adalah individu
yang memiliki nilai di dunia ini (self-worth).
b) Kebahagiaan dapat ditunjukkan melalui pembawaan individu yang
selalu optimis.
7) Kegembiraan yang sangat (ecstasy)
a) Ecstasy adalah sensasi kegembiraan yang sangat dan terkadang
membuat individu kehilangan kendali atas dirinya.
b) Efek dari perasaan ini adalah diri menjadi makin termotivasi dan bisa
menjadi candu bagi diri sendiri untuk terus merasakan perasaan
gembira ini.
b. Afek negatif
Diener (2009d) menyatakan bahwa meskipun afek positif dan negatif
terlihat saling mempengaruhi, namun kedua tipe afek ini mempunyai
hubungan yang independen antara satu dengan yang lain. Selain itu, menurut
Diener, dkk; (dalam Strack, dkk., 1991) intensitas afek positif atau negatif
tidak terlalu mempengaruhi level tinggi rendahnya subjective well-being,
sebaliknya frekuensi afek positif atau negatif sangat mempengaruhi level
tinggi rendahnya subjective well-being, yaitu tingginya level subjective
well-being disebabkan oleh tingginya frekuensi afek positif dan rendahnya
commit to user
Menurut Diener, dkk. (1999), beberapa afek negatif individu yang
mempengaruhi level subjective well-being, yaitu rasa bersalah dan malu (guilt
and shame), kesedihan (sadness), kecemasan dan kekhawatiran (anxiety and
worry), kemarahan (anger), tekanan (stress), depresi (depression), dan
kedengkian (envy).Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1) Rasa bersalah dan malu (guilt and shame)
a) Rasa bersalah adalah sebuah pengalaman afeksi yang terjadi ketika
seseorang menyadari/ mempercayai (entah akurat atau tidak) telah
melanggar sebuah standar moral dan merasa harus bertanggung jawab
untuk itu.
b) Rasa malu adalah suatu kondisi yang dialami oleh individu yang
berusaha untuk menutupi suatu hal dan dapat memberikan pengaruh,
seperti muka memerah, kebingungan, dan menundukkan muka.
2) Kesedihan (sadness)
a) Kesedihan adalah emosi yang dikarakteristikkan melalui perasaan
keadaan yang lemah, kehilangan, dan ketidakberdayaan.
b) Kesedihan dapat dipandang sebagai sebuah kejadian menurunnya
suasana hati secara sementara.
3) Kecemasan dan kekhawatiran (anxiety and worry)
a) Kecemasan dibedakan dengan ketakutan karena sering terarah pada
hal-hal yang tidak berobjek, sedangkan rasa takut selalu mengarah
commit to user
b) Pemikiran dan gambaran mengenai sebuah ancaman yang menyerang,
sehingga membuat individu berusaha untuk menghindarnya.
4) Kemarahan(anger)
Reaksi emosi yang sangat kuat yang menyertai beragam situasi
seperti merasa terbatasi secara fisik, kepemilikannya dihilangkan, atau
diancam. Hal ini juga dapat diidentifikasikan melalui sekumpulan reaksi
fisik seperti raut muka tertentu dan posisi tubuh tertentu yang merupakan
ekspresi tindakan sistem saraf otonom, khususnya sistem saraf simpatik.
5) Tekanan (stress)
Kondisi tegangan psikologis yang dihasilkan oleh jenis-jenis daya
atau tekanan, yaitu tekanan baik fisik, psikologis, maupun sosial.
6) Depresi(depression)
Suasana hati yang dicirikan perasaan tidak nyaman, sebuah
perasaan murung, sebuah penurunan dalam aktivitas maupun reaktivitas,
pesimisme, dan kesedihan.
7) Kedengkian (envy)
a) Rasa iri yang didasarkan kepada kontemplasi penuh dendam terhadap
keberuntungan orang lain.
b) Biasanya dibedakan dari rasa cemburu (jealousy) yang melibatkan
commit to user c. Kepuasan hidup
Kepuasan hidup, menurut Eid dan Larsen (2008), merupakan hal yang
dinilai secara holistik, memuat keseluruhan dari kehidupan individu atau total
penilaian kehidupan pada periode hidupnya. Hal ini mencerminkan bahwa
tidak hanya total kuantitas hal-hal yang membahagiakan di kehidupan
individu pada waktu tertentu saja, tetapi juga mengenai kualitas
penyalurannya, apakah hal itu dapat membawa kebahagiaan individu di waktu
selanjutnya dan lebih permanen atau tidak (Eid dan Larsen, 2008). Menurut
Diener, dkk. (1999) beberapa kepuasan hidup individu yang mempengaruhi
level subjective well-being, yaitu hasrat untuk mengubah hidup (desire to
change life), kepuasan pada kehidupan saat ini (satisfaction with current life),
kepuasan pada kehidupan masa lalu (satisfaction with past), kepuasan pada
kehidupan masa depan nanti (satisfaction with future), dan pendapat
orang-orang terdekat mengenai hidupnya (significant others' views of one's life),
penjelasannya adalah:
1) Hasrat untuk mengubah hidup (desire to change life)
Diener, dkk. (1999) menyatakan bahwa perbedaan individual
dalam pencapaian dan motivasi yang dipunyai individu turut menentukan
level subjective well-being.Hal ini menekankan perbedaan seberapa besar
derajat komitmen individu dalam meraihnya. Setiap individu memiliki
keinginan untuk mempunyai kehidupan yang lebih baik, sehingga ini
commit to user
2) Kepuasan pada kehidupan saat ini (satisfaction with current life)
Hal ini menjealaskan mengenai kepuasan yang individu rasakan
saat ini. Pada kehidupannya saat ini, individu merasa bersyukur dan puas
atas apa yang telah didapatkan dan apa yang telah diperoleh dirasa sesuai
apa yang telah diusahakan dalam mencapainya.
3) Kepuasan pada kehidupan masa lalu(satisfaction with past)
Menurut Rocke dan Lachman (2008), dalam beberapa situasi,
masa lalu yang negatif dapat mengembangkan tujuan individu menjadi
lebih mantap untuk masa depannya. Mengingat masa lalu dapat
mempengaruhi individu dalam menempatkan tujuannya yang sekarang
dan mengejarnya. Jadi, walaupun pengalaman yang pernah dialami
merupakan pengalaman yang dirasa tidak begitu menyenangkan, individu
tak akan merasa menyesal karena itu merupakan pembelajaran untuk masa
yang selanjutnya.
4) Kepuasan pada kehidupan masa depan nanti(satisfaction with future)
Ketika melihat kedepan, individu akan berharap mendapatkan apa
yang diinginkan dan diwujudkan melalui usahanya saat ini. Sama seperti
ketika melihat masa lalu, harapan pada masa depan juga memiliki
keterkaitan dengan perilaku individu dalam usaha untuk mencapainya,
commit to user
5) Pendapat orang-orang terdekat mengenai hidupnya (Significant others'
views of one's life)
Selain evaluasi untuk dirinya sendiri, lingkungan sekitar juga
mempunyai anggapan yang sama mengenai kepuasan hidup individu,
yaitu juga berpendapat bahwa individu telah hidup selayaknya dan patut
mendapatkan itu semua karena usaha yang telah dilakukan.
d. Kepuasan dalam ranah kehidupan
Pavot (dalam Eid dan Larsen, 2008), menyatakan bahwa apabila
kepuasan hidup secara kognitif menilai berdasarkan evaluasi kehidupan secara
menyeluruh, kepuasan dalam ranah kehidupan berfokus pada penilaian
mengenai beberapa aspek spesifik di kehidupan individu saja. Menurut
Diener, dkk. (1999) beberapa ranah kehidupan yang mempengaruhi level
subjective well-being, yaitu pekerjaan (work), keluarga (family), waktu luang
(leisure), kesehatan (health), keuangan (finances), self, one's group.
1) Pekerjaan
Menurut Diener (2009d), individu yang tidak memiliki pekerjaan
termasuk dalam kelompok yang kurang bahagia. Furnham (dalam Strack,
dkk., 1991) menyatakan bahwa selain hanya memiliki memiliki pekerjaan,
individu juga perlu memiliki pekerjaan yang bagus untuk meraih
subjective well-being. Kemantapan/ bagusnya pekerjaan yang dimiliki
individu biasanya dapat dilihat dari baiknya gaji, tujuan, pengembangan
commit to user 2) Keluarga
Komponen ini merujuk pada kehidupan individu dalam pernikahan
dan berkeluarga. Menurut Diener (2009c), komponen berkeluarga adalah
prediktor kuat yang mempengaruhi subjective well-being. Glenn (dalam
Diener, 2009c) menyebutkan bahwa wanita yang menikah memang
memiliki simtom stres yang lebih besar daripada yang tidak/ belum
menikah, akan tetapi hasil ini juga diiringi dengan besarnya kepuasan
hidup yang didapat.
3) Waktu luang (leisure)
Furnham (dalam Strack, dkk., 1991) menyatakan bahwa pekerjaan
memang adalah sumber penting bagi individu untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, akan tetapi hal ini menjadi sumber masalah ketika individu
hanya terpaku dalam pekerjaan yang tak berakhir tanpa ada waktu untuk
menikmati hasil usahanya. Menurut Kahneman, dkk. (2003), kepuasan
hidup juga didapatkan melalui waktu santai yang tidak dihadiri oleh
kemunculan pekerjaan (nonwork satisfaction).
4) Kesehatan
Diener, dkk. (1999) menyatakan bahwa pandangan subjektif yang
positif bahwa dirinya sehat dapat memprediksi kepuasan hidup, walaupun
kenyataanya individu tersebut tidak begitu sehat secara objektif. Individu
yang menderita penyakit dapat saja memiliki subjective well-being yang
commit to user
objektif. Hal ini berkaitan dengan pencapain tujuan, maksudnya adalah
ada beberapa hal yang membuat individu yang tidak sehat tidak dapat
meraih beberapa tujuan hidupnya dan inilah yang mempegaruhi mengapa
levelsubjective well-beingnya tidak setinggi individu yang normal/ sehat.
5) Keuangan (finance)
Keuangan merupakan komponen subjective well-being yang
berkaitan dengan pendapatan dan kekayaan, dan hal ini masih
diperdebatkan apakah kekayaan merupakan hal yang penting dalam
kebahagiaan. Menurut Diener, dkk. (1999), dalam beberapa hal individu
dengan keuangan yang baik dapat meraih kebahagiaan, namun hal ini
tidak dapat menjadi pegangan prediktor utama dalam subjective
well-being.
6) Self
Self merupakan komponen yang berfokus pada studi mengenai
pemahaman karakter individu yang seperti apa yang dapat membuat
individu tersebut bahagia dan puas akan hidupnya (Diener, 2009b).
Mengenai hal ini, menurut Diener (2009b), ada dua karakter yang
ditekankan dalam komponen self itu sendiri, yaitu:
a) Harga diri (self-esteem)
Menurut Greenberg (Diener 2009b), individu yang memiliki
level harga diri yang tinggi mampu untuk menemukan makna yang
commit to user
kecemasan yang akan muncul, dan lebih sulit untuk terpengaruh oleh
suasana hati yang negatif daripada individu yang memiliki pandangan
negatif mengenai dirinya.
b) Identitas diri (self identity)
Memiliki identitas internal yang koheren dipandang sebagai
salah satu komposisi integral dalam teori kesehatan mental. Lecky
(dalam Diener, 2009b) menyatakan bahwa individu mencari
pemahaman mengenai siapa individu itu sebenarnya melalui integrasi
berbagai persepsi akan dirinya ke dalam sebuah struktur pengetahuan
yang terorganisasi. Hal ini ditekankan dalam pernyataan bahwa
individu termotivasi secara kuat untuk berperilaku dalam cara yang
konsisten dengan pandangan diri (self view) yang dimiliki, sehingga di
posisi ini self menurunkan arti, tujuan, dan petunjuk dalam
berperilaku, yang terutama didapat dari sumber internal dalam dirinya.
7) One’s group
Dalam suatu budaya yang mengedepankan tujuan bersama,
kepentingan masyarakat ditempatkan sebanding dengan kepentingan
individu, sehingga tujuan dari sutau kelompok juga merupakan tujuan
pribadinya (Diener, 2009c). Komponen ini menekankan pada konsep
colectivsm yang berfokus pada saling ketergantungan dan saling
membutuhkan tiap manusia dan memprioritaskan kepentingan bersama
commit to user
Pavot dan Diener (1993) menyatakan bahwa dalam mengevaluasi
kepuasan hidup, penelitian tidak diharuskan untuk mengungkap seluruh ranah
kehidupan, karena tiap individu memiliki standar pemaknaan kepuasan yang
berbeda-beda mengenai pencapaian yang telah diraihnya, sehingga yang lebih
penting adalah mengevaluasi kepuasan hidup individu secara global, yaitu
penilaian kepuasan akan kehidupannya pada masa lalu, saat ini, pemaknaan
positif terhadap kepuasan yang akan didapatkan di masa depan kelak, dan
hasrat untuk selalu ingin mengembangkan diri menjadi lebih baik lagi.
Melalui empat komponen yang diutarakan oleh Diener, dkk. (1999)
tersebut, dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen subjective well-being
meliputi afek yang menyenangkan (afek positif), afek yang kurang
menyenangkan (afek negatif), penilaian secara global mengenai kepuasan hidup
(sering disebut dengan kepuasan hidup saja), dan kepuasan dalam ranah
kehidupan.
Afek negatif merupakan komponen yang kontra dengan
komponen-komponen subjective well-being yang lain. Diener, dkk. (1999) menyatakan
bahwa keadaan subjective well-being merupakan keadaan bahagia yang dialami
individu sepanjang masa kehidupannya, sehingga tidak mungkin bila tidak
memperhatikan afek negatif yang pernah muncul di kehidupannya. Oleh karena
keunikan ini peneliti dalam studi subjective well-being harus memperhatikan
dalam penskorannya. Penskoran kedua komponen afek dijelaskan Pavot (dalam
commit to user
yang dirasakan individu didapat dari jumlah total skor afek positif dikurangi afek
negatif. Libran (2006) lalu mengembangkan teori yang dikemukakan oleh Pavot
tersebut dan menghasilkan rumusan, yaitu nilai subjective well-being didapatkan
melalui besar kepuasan hidup dan kepuasan dalam ranah kehidupan individu yang
dijumlahkan dengan selisih skor antara afek positif dan afek negatifnya.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being
Menurut Diener (2009d), subjective well-being seseorang dipengaruhi
oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal, yang meliputi sebagai
berikut:
a. Faktor internal
Faktor ini berfokus pada kondisi internal individu yang dapat
mempengaruhi level subjective well-being. Faktor-faktor internal ini
mencakup:
1) Gen
Kondisi internal yang mempengaruhi subjective well-being ini tak
bisa dilepaskan oleh faktor genetis/ gen individu. Gen (gene) adalah unit
dasar dari hereditas yang terletak dalam kromosom, yaitu suatu struktur
yang bentuknya seperti tongkat dan terletak di tengah-tengah (nukleus)
dalam setiap sel tubuh. Kromosom tersebut berisikan molekul-molekul
DNA, sehingga setiap gen-gen mengandung sekumpulan kecil DNA. Gen
commit to user
individu lainnya baik dalam persamaan maupun perbedaan satu sama lain
(dalam Wade dan Travis, 2007).
Menurut Lucas (dalam Eid dan Larsen, 2008), seorang pemerhati
studi mengenai hal-hal yang mempengaruhi subjective well-being, gen
adalah faktor yang cukup menentukan stabilitas subjective well-being
individu. Dalam usaha untuk membuka tabir peran faktor genetis dalam
mempengaruhi subjective well-being individu, kebanyakan peneliti
melakukan pendekatan dengan cara membandingkan sifat-sifat yang
dimiliki oleh kembar identik (monozigot) dengan kembar fraternal
(dizigot).
Suatu penelitian menghasilkan suatu penemuan bahwa level afek,
baik negatif ataupun positif, kembar satu indung telur (monozigotik) yang
hidup terpisah lebih mirip satu sama lain daripada kembar dizigotik yang
dibesarkan secara bersama. Peran faktor gen ini dipertegas dengan
pernyataan bahwa seseorang yang puas terhadap dirinya sendiri dan
memiliki afek positif yang lebih dominan daripada afek negatif,
kemungkinan besar dilahirkan dari orangtua yang demikian pula, hal itu
juga sangat bisa terjadi pada saudara-saudara kandungnya. Studi
behavioral-genetic ini menyimpulkan bahwa peran gen dalam stabilnya
level afek positif, afek negatif, dan komponen-komponen lain dalam
kebahagian utuh (overall happiness) yang dimiliki individu memiliki nilai
commit to user
Memang hasil yang diperoleh tidak dapat dipastikan apakah ini
merupakan murni dampak dari gen yang diwariskan atau lebih pada efek
lingkungan dalam keluarga, namun Lucas (dalam Eid dan Larsen 2008)
menambahkan, walaupun dipengaruhi oleh lingkungan, gen mengarahkan
individu untuk memilih lingkungan dan perilaku yang tepat baginya,
sehingga lingkungan dan perilaku itu turut mengarahkan individu dalam
mencapai subjective well-being- nya, jadi walaupun tidak langsung, tetap
saja tak bisa dipungkiri gen mempengaruhi subjective well-being
seseorang.
2) Psikofisiologis
Studi tentang behavioral-genetic menunjukkan bahwa setidaknya
beberapa fragmen dari perbedaan tiap individu dalam subjective
well-being dapat dijelaskan melalui perbedaan genetis yang dimiliki, dan tentu
saja ekspresi gen dalam beraktivitas dapat terpancar melalui beberapa
proses fisiologis. Akan tetapi, sampai saat ini mekanisme pasti dampak
genetis yang ditimbulkan kepada aktivitas fisiologis manusia belum juga
dapat diketahui. Melalui tinjauan tersebut, studi behavioral-genetic, yang
digunakan semata-mata, tidak dapat untuk menegaskan bagaimana gen
dan fisiologi mempengaruhi subjective well-being. Untuk itu perlu
penelusuran yang lebih spesifik mengenai sistem psikofisiologis yang
commit to user
Studi psikofisiologi yang sering dibahas dalam kaitannya dengan
kebahagian adalah mengenai aktivasi/ proses kerja dua hemisfer/ bagian
asimetris pada prefrontal korteks (PFC). Wade dan Travis (2007)
menjelaskan bahwa PFC terletak pada bagian paling depan lobus frontal.
PFC sendiri memiliki peran dalam emosi dan pembentukan kepribadian
individu. Davidson (2004), peneliti dalam studi bio-behavior, menyelidiki
apakah lebih besarnya aktivitas PFC hemisfer kiri daripada kanan
berhubungan dengan emosi yang berorientasi pada pendekatan (
approach-oriented emotions), seperti kebahagiaan dan kegembiraan, atau apakah
lebih besarnya aktivitas hemisfer kanan daripada kiri berhubungan dengan
emosi yang berorientasi pada penjauhan diri (withdrawal-oriented
emotions), seperti ketakutan dan rasa muak.
Davidson (2004) melakukan penelitian mengenai hubungan
aktivitas otak dengan afek positif atau negatif melalui pengamatan
aktivitas otak subjek selama ditayangkannya sejumlah gambar yang
dirancang untuk menginduksi perasaan bahagia atau jijik. Penelitian ini
menghasilkan penemuan bahwa tayangan gambar yang menggembirakan
berhubungan dengan lebih besarnya aktivitas PFC bagian kiri daripada
bagian kanan, sedangkan tayangan gambar yang menjijikkan berhubungan
dengan lebih besarnya aktivitas PFC bagian kanan daripada bagian kiri,
sehingga penelitian psikofisiologi ini menunjukkan korelasinya bahwa
commit to user
tersebut telah berhasil menunjukkan bahwa perbedaan individual dalam
asimetris hemisfer PFC mempunyai korelasi dengan kebahagiaan, yaitu
individu dengan aktivitas PFC kiri yang relatif lebih tinggi dilaporkan
memiliki afek positif yang lebih tinggi dan afek negatif yang lebih rendah
daripada individu dengan aktivitas PFC kanan yang relatif lebih tinggi.
3) Kepribadian
Subjective well-being adalah suatu studi yang berhubungan dengan
evaluasi subjektif individu mengenai kualitas hidupnya, sehingga dapat
dikatakan bahwa subjective well-being yang dirasakan tergantung pada
masing-masing individu. Beberapa dugaan tercetus bahwa studi subjective
well-being ini dapat berubah dan memiliki kesensitifan pada kondisi
eksternal, seperti keberhasilan atau bahkan perceraian, namun hasil
penelitian menunjukkan bahwa kemunculan subjective well-being tetap
stabil sepanjang waktu dan itu cukup kuat hubungannya dengan
karakteristik (trait) kepribadian yang dibawa (Diener, dkk., 1999).
Telah banyak penelitian yang mengungkap mengenai korelasi
antara subjective well-being dengan karakteristik kepribadian yang
spesifik, seperti makin tinggi sikap kesetujuan (agreebleness) maka akan
tinggi pula afek positifnya dan sebaliknya. Begitu pula dengan
karakteristik lain yang berkorelasi cukup tinggi dengan tinggi rendahnya
level subjective well-being, yaitu optimisme, kepercayaan, dan locus of
commit to user
korelasi antara karakteristik kepribadian dengan subjective well-being,
tetap muncul ketidakpastian mengenai apakah tiap karakter ini
menyumbangkan variasi yang unik dalam memprediksi subjective
well-being, sehingga penggunaan faktor tunggal untuk memprediksi subjective
well-beingtidak mungkin untuk ditegakkan.
b. Faktor eksternal
Stabilitas dari subjective well-being, sebagai subjektivitas individu itu
sendiri, sangat ditentukan oleh peran faktor internal, walaupun begitu tetap
saja faktor eksternal dapat berpengaruh terhadap level subjective well-being.
Diener (2009d) menegaskan bahwa level subjective well-being dipengaruhi
pula oleh faktor-faktor diluar individu, atau sering disebut sebagai
demographic factor. Hal ini mencakup:
1) Penghasilan
Banyak peneliti telah mengakui bahwa orang yang bahagia mampu
mengumpulkan uang diatas rata-rata daripada orang yang kurang
berbahagia (Diener, 2009d). Beberapa penelitian juga menunjukkan,
seperti penelitian yang dilakukan oleh Larson (dalam Diener, 2009d),
bahwa ada hubungan yang positif antara penghasilan dan subjective
well-beingdi beberapa negara.
2) Jenis kelamin
Cukup diyakini bahwa ada perbedaan