• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA SENSE OF HUMOR DAN TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DENGAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA KARYAWAN DEWASA MADYA DI PT TELKOM DISTEL JOGJAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA SENSE OF HUMOR DAN TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DENGAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA KARYAWAN DEWASA MADYA DI PT TELKOM DISTEL JOGJAKARTA"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

HUBUNGAN ANTARA SENSE OF HUMOR DAN TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DENGAN SUBJECTIVE WELL-BEING

PADA KARYAWAN DEWASA MADYA DI

PT TELKOM DISTEL JOGJAKARTA

Dalam Rangka Penyusunan Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh

Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata 1 Psikologi.

Disusun oleh:

Asma Zahratun Nabila G 0106037

Pembimbing: 1. Tri Rejeki Andayani, S.Psi., M.Si.

2. Aditya Nanda Priyatama, S.Psi, M.Si.

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

commit to user ii

HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,

dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam

naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak

sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia untuk dicabut derajat

kesarjanaan saya.

Surakarta, 10 Mei 2011

(3)

commit to user iii

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan judul : Hubungan Antara Sense of Humor dan Tipe Kepribadian Ekstrovert dengan Subjective Well-beingpada Karyawan Dewasa Madya di PT Telkom Distel Jogjakarta

Nama Peneliti : Asma Zahratun Nabila

NIM : G0106037

Tahun : 2011

Telah disetujui untuk dipresentasikan dihadapan Dewan Penguji Skripsi Prodi

Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret pada:

Hari :

Tanggal :

Pembimbing I Pembimbing II

Tri Rejeki Andayani, S.Psi., M.Si. Aditya Nanda Priyatama, S.Psi., M.Si.

NIP.197401091998022001 NIP.197810222005011002

Koordinator Skripsi

Rin Widya Agustin, M.Psi.

(4)

commit to user iv

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi dengan judul

Hubungan antara Sense of Humor dan Tipe Kepribadian Ekstrovert dengan

Subjective Well-beingpada Karyawan Dewasa Madya di PT Telkom Distel

Jogjakarta

Telah diuji dan disahkan oleh Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Hari : Tanggal :

1. Pembimbing Utama

Tri Rejeki Andayani, S.Psi., M.Si . ( )

NIP.197401091998022001

2. Pembimbing Pendamping

Aditya Nanda Priyatama, S.Psi, M.Si. ( ) NIP. 197810222005011002

3. Penguji I

Drs. Hardjono, M.Si. ( )

NIP. 195901191989031002

4. Penguji II

Nugraha Arif Karyanta, S.Psi. ( )

NIP. 197603232005011002

Surakarta, __________________

Koordinator Skripsi

Rin Widya Agustin, M.Psi.

NIP 197608172005012002 Ketua Program Studi Psikologi

Drs.Hardjono, M.Si.

(5)

commit to user v

MOTTO

“Happiness only real when shared” (Chistopher McCandless)

“Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain” (H.R. Muslim)

“Bila saya tidak memilikisense of humor, saya yakin saya sudah bunuh diri sejak dulu”

(6)

commit to user vi

PERSEMBAHAN

Karya ini didedikasikan kepada:

Orangtuaku yang selalu berdoa demi keselamatan dunia dan akhiratku.

Kakak-kakak, adik, dan keluarga besar yang selalu setia mendukung.

Guru-guru dan setiap pembimbing yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat.

Saudara, sahabat yang memberikan warna dalam kehidupanku.

(7)

commit to user vii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahim

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT dengan segala

rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan karya ini. Satu

hal yang penulis sadari, bahwa terselesaikannya penulisan skripsi ini, tentunya tidak

terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Drs. Hardjono, M.Si. selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ibu Rin Widya Agustin,M.Psi., selaku Koordinator Skripsi Program Studi

Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ibu Tri Rejeki Andayani, S.Psi., M.Si., dan Bapak Aditya Nanda Priyatama,

S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing, atas bimbingan, waktu dan masukan

yang berarti bagi penulis dalam menjalankan penelitian ini.

4. Bapak Drs. Hardjono, M.Si. dan Bapak Nugraha Arif Karyanta, S.Psi., selaku

penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang berarti bagi penulis.

5. Seluruh staf pengajar Program Studi Psikologi yang telah memberikan ilmu

(8)

commit to user viii

6. Seluruh staf tata usaha dan staf perpustakaan Program Studi Psikologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret yang telah membantu kelancaran studi

penulis.

7. Bapak Sugeng Suwoto selaku Manajer HR PT Telkom Jogjakarta atas ijin dan

bantuannya dalam pengambilan data penelitian.

8. Karyawan PT Telkom Jogjakarta atas bantuannya dalam pengambilan data.

9. Mama, Papa, dan Bapak, atas semua cinta, pengorbanan, dan doa.

10. Bani Ridwan, Bani Aryadi, dan Bani Hisyam, atas doa dan semangatnya.

11. Mas Riva, Mas Zamzam, dan Elvin yang selalu memberikan motivasi dan

keceriaan di setiap saat.

12. Arin dan Fani yang selalu mendukung dan memberi bantuan.

13. Mbak Pril, Mbak Ajeng, Mbak Mimi, Mbak Atika, Astu, dan teman-teman semua

di kost Himawari atas kebersamaannya.

14. Sahabat-sahabatku Camelia, Sheila, Krisna, Lia, Arfi, Aza, Nikki, Uyak, Rindang,

Retno, Teh Nina, Rasty, Aris, Piti, Echak, Lea, Chu, Wildan, Indri, dan

kawan-kawan Psikologi 2006, atas kasih sayangnya.

Akhir kata penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi siapapun

yang membacanya.

Wasssalamu’alaikum Wr. Wb.

Surakarta, Mei 2011

(9)

commit to user ix

ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA SENSE OF HUMOR DAN TIPE KEPRIBADIAN

EKSTROVERT DENGAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA KARYAWAN DEWASA MADYA DI

PT TELKOM DISTEL JOGJAKARTA Asma Zahratun Nabila

Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Periode dewasa madya adalah suatu jenjang kehidupan dimana individu dapat meraih hasil dari kerja keras pada masa sebelumnya, sehingga akan didapatkan subjective well-being. Subjective well-being adalah sebuah penilaian mengenai kebahagiaan yang dirasakan oleh individu mengenai hidupnya. Tingginya sense of humor dan tingkat tipe kepribadian ekstrovert akan membantu individu dalam meraih subjective well-being-nya. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui :1) Hubungan positif antara sense of humor dan tipe kepribadian ekstrovert dengan subjective well-being pada dewasa madya; 2) Hubungan positif antara sense of humor dengan subjective well-being pada dewasa madya; 3) Hubungan positif antara tipe kepribadian ekstrovert dengan subjective well-beingpada dewasa madya.

Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan PT Telkom Distel Jogjakarta yang berusia 40-60 tahun, berjumlah 97, berjenis kelamin laki-laki dan perempuaan. Penelitian ini merupakan penelitian populasi. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Subjective Well-being dengan koefisien korelasi Pearson sebesar 0,307-0,709 dan Reliabilitas Alpha 0,795; Skala Sense of Humor dengan koefisien korelasi Pearson 0,307-0,778 dan Reliabilitas Alpha 0,907; Skala Tipe Kepribadian Ekstrovert dengan koefisien korelasi Pearson 0,312-0,634 dan Reliabilitas Alpha 0,790. Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis pertama adalah analisisis regresi ganda, selanjutnya untuk menguji hipotesis kedua dan ketiga menggunakan analisis korelasi parsial.

Berdasarkan hasil analisis regresi ganda diperoleh nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,532; p=0,000 (p<0,05) dan F hitung 18,506>F tabel 3,09 artinya ada hubungan positif yang signifikan antara sense of humor dan tipe kepribadian ekstrovert dengan subjective well-being pada dewasa madya. Secara parsial menunjukkan ada hubungan positif yang signifikan antara sense of humor dengan subjective well-beingpada dewasa madya dengan (r) sebesar 0,214; p=0,036 (p<0,05) dan ada hubungan positif yang signifikan antara tipe kepribadian ekstrovert dengan subjective well-being pada karyawan dewasa madya PT Telkom Distel Jogjakarta yang ditunjukkan dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,378; p=0,000 (p<0,05).

(10)

commit to user x

ABSTRACT

CORRELATION BETWEEN SENSE OF HUMOR AND EXTROVERT PERSONALITY TYPE WITH SUBJECTIVE WELL-BEING OF

MIDDLE AGED EMPLOYEES IN PT TELKOM DISTEL OF JOGJAKARTA

Asma Zahratun Nabila

Psychology Study Programme of Medical Faculty Sebelas Maret University

Surakarta

The midlife period of human being is a lifespan, in which individuals are able to get the result of their hard work, so subjective well-being can be accomplished. Subjective well-being is an evaluation of how good an individual feels about his/her life. The level of sense of humor and the extrovert personality type will help the middle aged adults to achieve it. The purposes of this research are to determine:1) Possitive correlation between sense of humor and extrovert personality type with subjective well-being in middle age adults; 2) Possitive correlation between sense of humor with subjective well-being in middle age adults; 3) Possitive correlation between extrovert personality type with subjective well-being in middle age adults.

The population of this research were employees of PT Telkom Divison of Telecommunication Jogjakarta. They were 97 middle aged adults betweeen 40-60 years old, consisting of female and male. The data were collected using Subjective Well-being Scale (The Pearson's Correlation Coefficient is 0,307-0,709 and the Alpha Reliability Coefficient is 0,795), Sense of Humor Scale (The Pearson's Correlation Coefficient is 0,307-0,778 and the Alpha Reliability is 0,907), and Extrovert Personality Scale (The Pearson's Correlation Coefficient is 0,312-0,634 and the Alpha Reliability 0,790). Multiple Regression Analyze was conducted to analyze the first hypothesis and Partial Correlation Analyze was performed to analyze the second and the third hypothesis.

The multiple regression analyze showed that correlation coefficient (R) 0,532; p=0,000 (p<0,005) and F Count 18,506>F Table 3,09 meant that there was a significant positive correlation between sense of humor and extrovert personality type with subjective well-being in middle aged employees of PT Telkom Divison of Telecommunication Jogjakarta. The partial result showed that the coefficient correlation (r) 0,214; p=0,036 (p<0,05) had meaning that, there was a significant positive correlation between sense of humor with subjective well-being in middle age adults and there was a significant positive correlation between extrovert personality type with subjective well-being in middle age adults. It was showed by the coefficient correlation which was (r) 0,378; p=0,000 (p<0,05).

(11)

commit to user xi

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul... i

Halaman Pernyataan... ii

Halaman Persetujuan... iii

Halaman Pengesahan... iv

Halaman Motto... v

Halaman Persembahan... vi

Kata Pengantar... vii

Abstrak... ix

Daftar Isi... xi

Daftar Tabel... xv

Daftar Gambar... xvii

Daftar Lampiran... xviii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah... 12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-being... 15

(12)

commit to user xii

2. Komponen subjective well-being... 16

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being... 29

B. Sense of Humor... 37

1. Pengertian sense of humor... 37

2. Aspek dari sense of humor... 39

3. Gaya dari sense of humor... 45

C. Tipe Kepribadian Ekstrovert... 48

1. Pengertian tipe kepribadian ekstrovert... 48

2. Aspek-aspek dari tipe kepribadian ekstrover... 50

3. Tipe-tipe fungsi psikologi tipe kepribadian ekstrovert... 59

D. Hubungan antara Sense of Humor dan Tipe Kepribadian Ekstrovert dengan Subjective Well-beingpada Dewasa Madya... 65

1. Hubungan antara Sense of Humor dan Tipe Kepribadian Ekstrovert dengan Subjective Well-beingpada Dewasa Madya.... 65

2. Hubungan antara Sense of Humor dengan SubjectiveWell-beingpada Dewasa Madya... 69

3. Hubungan antara Tipe Kepribadian Ekstrovert dengan SubjectiveWell-beingpada Dewasa Madya... 71

(13)

commit to user xiii

F. Hipotesis... 73

BAB III. METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian... 74

B. Definisi Operasional Variabel... 74

1. Subjective well-being... 74

2. Sense of humor... 75

3. Tipe kepribadian ekstrovert... 76

C. Populasi, Sampel, Teknik Pengambilan Sampel... 76

D. Metode Pengumpulan Data... 78

1. Skala Subjective Well-being... 78

2. Skala Sense of Humor... 83

3. Skala Tipe Kepribadian Ekstrovert... 86

E. Validitas dan Reliabilitas... 91

1. Validitas instrumen penelitian... 91

2. Reliabilitas instrumen penelitian... 92

F. Uji Hipotesis... 93

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Penelitian... 94

1. Orientasi Kancah Penelitian... 94

2. Persiapan Penelitian... 96

(14)

commit to user xiv

4. Uji Validitas dan Reliabilitas... 104

5. Penyusunan Alat Ukur untuk Penelitian... 111

B. Pelaksanaan Penelitian... 114

C. Analisis Data Penelitian... 115

1. Uji Asumsi Dasar... 115

2. Uji Asumsi Klasik... 118

3. Uji Hipotesis... 120

4. Analisis Deskriptif... 124

5. Sumbangan Efektif dan Sumbangan Relatif... 127

D. Pembahasan ... 127

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 134

B. Saran... 135

DAFTAR PUSTAKA... 137

(15)

commit to user xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Blue Print Skala Subjective Well-beingSebelum Uji Coba... 82

Tabel 2: Blue Print Skala Sense of HumorSebelum Uji Coba... 85

Tabel 3: Blue Print Skala Tipe Kepribadian Ekstrovert Sebelum Uji Coba.. 89

Tabel 4: Distribusi Aitem Skala Subjective Well-beingSebelum Uji Coba.... 99

Tabel 5: Distribusi Aitem Skala Sense of HumorSebelum Uji Coba... 101

Tabel 6: Distribusi Aitem Skala Tipe Kepribadian Ekstrovert

Sebelum Uji Coba... 103

Tabel 7: Distribusi Aitem Skala Subjective Well-being

yang Valid dan Gugur... 106

Tabel 8: Distribusi Aitem Skala Sense of Humor yang Valid dan Gugur... 108

Tabel 9: Distribusi Aitem Skala Tipe Kepribadian Ekstrovert

yang Valid dan Gugur... 110

Tabel 10: Distribusi Aitem Skala Subjective Well-being untuk Penelitian... 111

Tabel 11: Distribusi Aitem Skala Sense of Humoruntuk Penelitian... 112

Tabel 12: Distribusi Aitem Skala Tipe Kepribadian Ekstrovert

untuk Penelitian... 113

Tabel 13: Uji Normalitas... 116

(16)

commit to user xvi Tabel 15: Uji Linearitas Tipe Kepribadian Ekstrovert

terhadap Subjective Well-being... 118

Tabel 16: Uji Autokorelasi... 118

Tabel 17: Uji Multikolinearitas... 119

Tabel 18: Hasil Analisis Regresi Berganda... 121

Tabel 19: Uji F-Test... 122

Tabel 20: Uji Korelasi Parsial antara Sense of Humor dengan Subjective Well-being... 122

Tabel 21: Uji Korelasi Parsial antara Tipe Kepribadian Ekstrovert denganSubjective Well-being... 123

Tabel 22: Statistik Deskriptif... 124

Tabel 23: Kriteria Kategori Subjective Well-being... 125

Tabel 24: Kriteria KategoriSense of Humor... 126

(17)

commit to user xvii

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1: Kerangka Berpikir Hubungan antara Sense of Humor dan

Tipe Kepribadian Ekstrovert denganSubjective Well-being

pada Dewasa Madya... 73

(18)

commit to user xviii

DAFTAR LAMPIRAN

A. Sebaran Nilai Uji Coba Alat Ukur... 143

B. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian... 153

1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Subjective Well-being... 154

2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Sense of Humor... 156

3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Tipe Ekstrovert... 158

C. Alat Ukur Penelitian... 160

D. Sebaran Nilai Data Penelitian... 172

E. Analisis Data Penelitian... 188

1. Data Penelitian yang akan dianalisis... 189

2. Hasil Uji Normalitas dan Uji Linearitas... 192

3. Hasil Uji Asumsi Klasik... 193

4. Hasil Uji Hipotesis... 194

5. Hasil Analisis Deskriptif... 196

6. Hsil Kategorisasi Variabel Penelitian... 196

7. Sumbangan Efektif dan Sumbangan Relatif... 199

F. Surat Ijin dan Surat Tanda Bukti Penelitian... 206

1. Surat Permohonan Ijin Penelitian dari Program Studi Psikologi FK UNS... 207

(19)

commit to user 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan dan perkembangan merupakan hal mutlak yang terjadi pada

setiap individu seiring dengan perjalanan waktu hidupnya. Havighurst (dalam Sobur,

2003) menyatakan bahwa perjalanan hidup seseorang ditandai oleh adanya

tugas-tugas yang harus dipenuhi. Tugas-tugas-tugas ini dalam batas-batas tertentu bersifat khas

untuk masa-masa hidup seseorang, atau bisa disebut sebagai tugas perkembangan.

Tugas-tugas perkembangan (development task) adalah tugas-tugas yang harus

dilakukan oleh seseorang dalam masa-masa hidup tertentu, sesuai dengan

norma-norma masyarakat serta norma-norma-norma-norma kebudayaan. Sesuai dengan tugas

perkembangannya, Havighurst (dalam Monks, 1999) juga membagi rentang

perkembangan individu menjadi enam periode, yaitu: 1. bayi dan anak kecil, 2. anak

sekolah, 3. pubertas, 4. dewasa muda, 5. tengah baya, 6. dewasa lanjut. Masa tengah

baya atau dewasa madya, tidak seperti masa sebelumnya, merupakan keadaan yang

cukup rumit dalam rentang waktu kehidupan manusia.

Hurlock (2002) menyatakan bahwa periode dewasa madya, atau usia tengah

baya, dialami individu pada rentang usia 40 sampai 60 tahun. Individu memiliki

berbagai macam alasan untuk merasa takut dalam memasuki usia madya, beberapa

diantaranya adalah banyaknya stereotip yang tidak menyenangkan mengenai usia

(20)

commit to user

transisi pada dewasa madya merupakan masa dimana individu meninggalkan ciri-ciri

jasmani dan perilaku masa dewasanya, dan memasuki suatu periode kehidupan yang

akan diikuti oleh ciri-ciri jasmani dan perilaku yang baru, oleh karena itu cepat atau

lambat harus dilakukan suatu penyesuaian kembali terhadap perubahan-perubahan

yang dialami (Hurlock, 2002).

Masa dewasa madya memang merupakan masa yang berbahaya dan penuh

dengan ketakutan, meskipun demikian beberapa pihak menyebutkan bahwa masa

dewasa madya adalah masa puncak kehidupan karir individu. Nolan Ryan, pemain

baseball Amerika Serikat, pada usia 44 tahun melempar dalam pertandingan tanpa

pukulan (non-hit game) ketujuh dalam karir profesional yang selama ini digeluti, dan

masa tersebut merupakan puncak karirnya (Santrock, 2002). Selain bagi kaum pria,

masa puncak karir juga dialami oleh kaum wanita pada saat usia dewasa madya ini.

Pada usia dewasa madya ini wanita mempunyai lebih sedikit tanggung jawab di

rumah karena anak-anak telah besar dan dapat mencurahkan waktu pada karier atau

kegiatan sosial. Ratna Sarumpaet (Sulisto, 2010), 60 tahun, merupakan seorang

aktivis dan pemerhati hak asasi manusia, terutama kaum perempuan. Pada tahun

1998, Ratna memperoleh penghargaan Female Human Rights Special Awarddari The

Asia Foundation for Human Rights di Tokyo, Jepang atas suara-suaranya dalam

memperjuangkan hak-hak wanita. Ratna pernah menggeluti dunia seni teater sebelum

akhirnya ia aktif dan terjun secara penuh sebagai aktivis sosial.

Masa dewasa madya adalah masa dimana individu meraih puncak karir dalam

(21)

commit to user

buah hasil dari kerja keras pada masa sebelumnya, sehingga akan didapatkan

kepuasan atas apa yang telah diraihnya. Istilah kepuasan hidup didefinisikan oleh

Veenhoven (dalam Dockery, 2000) sebagai taraf penilaian kualitas hidup individu

mengenai keseluruhan atas apa yang didapatkan. Veenhoven secara lebih lanjut

mengidentifikasi beberapa faktor yang berhubungan dengan kepuasan hidup individu,

beberapa diantaranya adalah mempunyai kehidupan penikahan yang sehat dan

mempunyai kehidupan karir yang mantap. Pencapaian optimal dan ideal dari kedua

hal tersebut akan menimbulkan kebahagiaan dan kepuasan dalam hidupnya.

Sebaliknya apabila individu merasa apa yang dilakukan kurang optimal sehingga

hasil yang dicapai jauh dari titik ideal yang diharapkan, maka kemungkinan besar

kebahagiaan akan sukar dicapai dan itu berujung pada ketidakpuasan.

Pada umumnya masa dewasa madya adalah masa dimana seseorang

mendapatkan kepuasan dalam hal karir dan pernikahannya, namun pada

kenyataannya tidak semua individu pada usia madya merasakan kepuasan dalam

kehidupan pernikahan dan karir yang telah dirintis sejak awal. Kompas.com pada Mei

2009 mengungkap kasus bahwa 25 persen pria di kota besar pernah berselingkuh.

Fenomena ini sering ditemukan pada pasangan yang telah menikah selama 10 tahun

ke atas. Pada tengah baya, rasa bosan dan menurunnya nafsu seksual merupakan

alasan kuat yang menyebabkan terjadinya perselingkuhan, selain alasan lain, seperti

masalah keuangan, komunikasi yang kurang efektif, dan lain-lain.

Ketidakpuasan dalam karir juga dialami oleh sebagian individu pada masa

(22)

commit to user

ini sejalan dengan semakin meningkatnya usia, individu mulai merasa tertekan

dengan pekerjaan yang digeluti, sebagai akibat dari menurunnya prestasi dan

meningkatnya kecenderungan rasa cepat capai yang beriringan dengan menurunnya

kekuatan fisik. Santrock (2002) menuliskan bahwa 10 persen orang Amerika Serikat

mengubah pekerjaan yang selama ini ditekuni pada masa dewasa madya. Memang

dari 10 persen tersebut ada beberapa yang diberhentikan, tetapi sisa besar lainnya

adalah individu-individu yang memiliki motivasi pribadi untuk berubah haluan dalam

karir yang umumnya telah dilalui dengan panjang dan telah mendapatkan kemapanan.

Levinson (dalam Santrock, 2002) menggambarkan pengalaman perubahan

karir di periode tengah baya merupakan suatu titik yang sangat melibatkan

penyesuaian diri individu dalam menghadapi transisi pada masa dewasa madya.

Apabila individu merasa terlambat atau jika tujuannya saat ini dipahami sebagai suatu

hal yang tidak realistik, hal ini mungkin menghasilkan kesedihan atas

harapan-harapan yang tak terpenuhi.

Setiap individu, secara subjektif, memaknai kepuasan dan kebahagiaan yang

dialami dengan berbeda-beda. Keadaan tertentu yang dimaknai bagus dan

memberikan kepuasan pada seseorang, belum tentu dimaknai serupa dan memberikan

cukup kepuasan bagi orang lain. Konsep kepuasan hidup yang lebih luas dijelaskan

oleh Christopher (1999) sebagai suatu keadaan dimana seseorang menilai puas akan

hidupnya dan memiliki lebih banyak afek postif daripada afek negatif, keadaan itu

disebut subjective well-being. Subjective well-being adalah keadaan yang

(23)

commit to user

Pemrakarsa psikologi positif, Seligman (2005), melihat bahwa dengan

pemikiran yang positif, seseorang akan terprovokasi untuk selalu optimis akan

adanya jalan keluar, walaupun individu tersebut dalam keadaan penuh tekanan.

Arbiyah (2008) mengkaji bahwa psikologi positif merupakan cara bagaimana

manusia memaknai segala hal yang terjadi dalam dirinya, dimana pemaknaan ini

bersifat sangat subjektif. Pemaknaan hidup yang positif merupakan hal yang sangat

penting agar manusia, dengan berbagai latar belakangnya, dengan berbagai

subjektivitas yang dimilikinya, bisa meraih kebahagiaan atau disebut dengan istilah

subjective well-being.

Diener (2002) mendefinisikan istilah subjective well-being sebagai evaluasi

kognitif dan afektif seseorang mengenai hidupnya. Evaluasi kognitif yang dimaksud

merupakan penilaian mengenai kepuasan hidup individu, sedangkan evaluasi afektif

yang ditekankan adalah mengenai afek positif individu dalam menghadapi berbagai

kejadian yang dialami. Diener (1999) mengemukakan empat komponen utama dalam

subjective well being, yaitu afek positif, ketidak hadirannya afek negatif, kepuasan

hidup secara global, dan kepuasan ranah kehidupan.

Penyelidikan mengenai hubungan antara subjective well-beingdengan jenjang

usia pernah dilakukan oleh Mroczek dan Kolarz (dalam Ehrlich dan Isaacowitz,

2002) dengan menyebarkan Skala Midlife Development Inventory kepada 2.727

subjek yang berusia 25 sampai 74 tahun. Penelitian ini menyimpulkan bahwa usia

dewasa madya dan usia lanjut cenderung mempunyai afek positif yang lebih tinggi

(24)

commit to user

Eddington dan Shuman (2005), pemerhati dalam studi subjective well-being,

mengungkapkan bahwa ada hal yang dapat mempengaruhi level afek positif, sehingga

sangat mungkin juga berpengaruh pada level subjective well-being individu, yaitu

pengetahuan diri. Pengetahuan terhadap diri sendiri, menolong individu untuk

menerima segala kelebihan dan kekurangannya, sehingga harapan individu untuk

meraih kepuasan hidup dan subjective well-beingsangat mungkin tercapai. Kesadaran

akan humor terdapat banyak unsur yang dapat membantu individu memperoleh

pengetahuan diri. Kartono (2005) menjelaskan mengenai pentingnya seseorang untuk

memiliki kesadaran akan humor. Kesadaran akan humor merupakan kemampuan

untuk mengerti sifat-sifat yang bertentangan dan menerima keterbatasan dari diri

sendiri dan manusia lain, disertai oleh perasaan-perasaan lembut.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, humor adalah keadaan (cerita

dan sebagainya) yang menggelikan hati, kejenakaan, lelucon. Hasanat dan Subandi

(1998) menyatakan untuk dapat mengamati, merasakan, atau mengungkapkan humor,

seseorang memerlukan kepekaan terhadap humor (sense of humor). Definisi

mengenai sense of humor dikemukakan oleh Martin (dalam Ruch, 1998) sebagai

kemampuan individu untuk tidak terlalu serius dalam menangkap suatu hal dan

kemampuan untuk menertawakan kelemahan dan kekurangan diri sendiri, akan tetapi

para humoris (Kartono, 2005), individu yang mampu menangkap dan mengeluarkan

humor, tetap memiliki perasaan yang mendalam terhadap nilai-nilai etis.

Sheehy (dalam Hasanat dan Subandi, 1998) dalam penelitiannya, menemukan

(25)

commit to user

digunakan untuk mengatasi krisis dalam hidup, sebagai perlindungan terhadap

perubahan dan ketidaktentuan. Hubungan antara sense of humor dan kecemasan

sebagai krisis dalam kehidupan individu dikaji oleh O’Connel (dalam Hasanat dan

Subandi, 1998) dengan menyatakan bahwa melalui humor seseorang dapat

menjauhkan diri dari situasi yang mengancam dan memandang masalah dari sudut

kelucuannya untuk mengurangi kecemasan dan rasa tidak berdaya.

Selain itu, McGee dan Shevlin (2009) yang melakukan penyelidikan

mengenai keinginan dalam bersosialisasi (social desirability), menemukan bahwa

sense of humor termasuk dalam karakteristik kepribadian yang dinilai paling

menguntungkan dalam kehidupan interpersonal individu. Kemampuan ini memupuk

empati individu untuk lebih memahami lingkungannya dan menyadarkan kebutuhan

untuk bersosialisasi dengan individu lainnya, sehingga kebahagiaan mengenai

pemaknaan hidupnya dapat pula tercapai.

Hayes dan Joseph (dalam Librán, 2006) menyebutkan bahwa orang-orang

tertentu cenderung lebih bahagia dibanding yang lain karena kepribadian yang

dibawanya. Individu yang mempunyai karakter kepribadian yang optimis dan

mempunyai kompetensi sosial yang baik cenderung lebih bahagia daripada individu

yang berkarakter pesimistis dan menarik diri dari lingkungannya, sehingga dapat

dibenarkan ungkapan yang menyebutkan bahwa kepribadian seseorang

mempengaruhi pemaknaannya akan hidup.

Istilah kepribadian dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan personality.

(26)

commit to user

personare yang artinya menembus. Sekarang ini istilah personality oleh para ahli

dipakai untuk menunjukkan suatu atribut tentang individu, atau untuk

menggambarkan apa, mengapa, dan bagaimana tingkah laku manusia (Kuntjojo,

2009). Kepribadian individu (dalam Sobur, 2003) merupakan ciri-ciri watak

seseorang yang cenderung stabil, konsisten, dan konsekuen dalam tingkah lakunya,

sehingga tampak bahwa individu tersebut memiliki identitas khusus yang berbeda

dengan individu lainnya.

Struktur dalam kepribadian adalah aspek-aspek kepribadian yang bersifat

relatif stabil dan menetap, serta merupakan unsur-unsur pembentuk sosok kepribadian

(Kuntjojo, 2009). Individu yang mempunyai kepribadian mudah menyesuaikan diri,

luwes, dan suka berteman cenderung lebih bebas dari kecemasan dan lebih bahagia,

sehingga dapat dikatakan bahwa individu tersebut juga memiliki subjective

well-being yang cenderung tinggi. Ciri-ciri sosok kepribadian tersebut serupa dengan

ciri-ciri sikap/ arah jiwa ekstrovert yang diusung oleh Jung.

Jung (dalam Sobur, 2003), seorang ahli penyakit jiwa dari Swiss, menyatakan

bahwa di dalam struktur kepribadian individu terdapat arah jiwa yang menentukan

kepribadiannya. Lebih lanjut, Jung menjelaskan bahwa perhatian manusia tertuju

pada dua arah, yakni keluar dirinya yang disebut ekstrovert, dan kedalam dirinya

yang disebut introvert. Tipologi kepribadian Jung ini diungkapkan pula oleh

Suryabrata (2005) dengan mengatakan bahwa penyesuaian individu dengan

kepribadian ekstrovert terhadap dunia luar berlangsung dengan baik dan mempunyai

(27)

commit to user

sedangkan penyesuaian individu dengan kepribadian introvert terhadap dunia luar

kurang berlangsung dengan baik, individu dengan kepribadian introvert mempunyai

ciri-ciri jiwanya tertutup, sukar bergaul, dan sukar berhubungan dengan orang lain.

Adanya hubungan antara arah jiwa dengan kepuasan hidup, diyakini oleh

Costa dan McCrae (dalam Librán, 2006) dengan menyatakan bahwa kepuasan

individu akan hidup berkaitan dengan tingginya tingkat tipe ekstrovert yang

dimilikinya. Tingginya tingkat ekstraversi yang dimiliki seseorang menyebabkan

individu lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya dan menyadarkan

bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa berdampingan dengan manusia lainnya.

Interaksi sosial yang baik membawa individu untuk berpikir positif mengenai

lingkungan sekitarnya dan memiliki kepuasan atau kebahagiaan mengenai kehidupan

pribadinya.

Hall dan Lindzey (1993) menyatakan bahwa tipologi ekstroversi introversi ini

dipandang sebagai kontinum tunggal, jadi satu sikap akan lebih dominan dari satu

sikap yang lain. Lebih lanjut, Hall dan Lindzey menjelaskan dengan pernyataan:

Kedua sikap yang berlawanan ini ada dalam kepribadian tetapi biasanya salah satu diantaranya dominan dan sadar, apabila ego lebih bersifat ekstravert dalam relasinya dengan dunia, maka ketidaksadaran pribadinya akan bersifat introvert.

Penjelasan mengenai teori kontinum dua arah jiwa tersebut dapat digaris bawahi

bahwa setiap orang pasti mempunyai dua sikap kepribadian tersebut dalam dirinya,

tinggal mana dari arah jiwa itu yang lebih termanifestasikan dalam perilakunya. Hall

(28)

commit to user

lebih dominan daripada kepribadian introvertnya, cenderung lebih positif memaknai

diri sendiri dan orang lain di sekitarnya, sehingga evaluasi kognitif dan afektif

seseorang mengenai hidup pun dapat berlangsung dengan baik dan dapat mencapai

kepuasan dan kebahagiaan.

Penelitian mengenai hubungan antara tipe kepribadian ekstrovert dengan

subjective well-being pernah dilakukan oleh Libran (2006). Hasil penelitian tersebut

menemukan bahwa tipe kepribadian ekstrovert hanya mampu memprediksi

keberadaan subjective well-being sebesar 7,3%. Walaupun demikian, Libran (2006)

mencatat ada keterbatasan studi penelitian yang telah dilakukannya, yaitu mengenai

tidak adanya kontrol mengenai variabel sosiodemografik. Penulis berharap dengan

menggunakan teori Diener (1999) yang telah diperbaharui, yaitu dengan

menambahkan komponen kepuasan dalam ranah kehidupan, dapat menghasilkan data

yang lebih akurat lagi.

Berdasarkan penjelasan tersebut, subjective well-being merupakan kepuasan

hidup dan keadaan bahagia yang dialami oleh individu, khususnya bagi individu

dewasa madya, yaitu melalui pemaknaannya yang positif terhadap kehidupannya,

meskipun berada di tengah problematika dalam perubahan-perubahan yang terjadi

pada masa madya ini, sehingga peneliti tertarik untuk meneliti subjective well-being,

khususnya di PT Telkom Divisi Telekomunikasi Jogjakarta, yang terletak di

Kotabaru. PT Telkom merupakan perusahaan milik negara yang menangani jaringan

telekomunikasi terluas di nusantara. Berdasarkan informasi hasil wawancara dan

(29)

commit to user

bahwa mayoritas karyawan PT Telkom Jogjakarta, khususnya di Kotabaru sebagai

Distel-nya terdapat sebanyak 87% karyawannya, berada pada jenjang usia dewasa

madya.

Visi PT Telkom secara umum adalah ingin menyentuh para customer dari

hati ke hati, maka dari itu PT Telkom menetapkan lima nilai yang menuntun perilaku

pegawai-pegawainya dalam menyediakan produk dan jasa bagi customer, yaitu heart,

assured, progressive, empowering, dan expertise, atau sering disingkat dengan

sebutan HAPEE. Melalui interaksi dengan produk dan layanan pegawainya, PT

Telkom mengharapkan para customer puas dan memandang PT Telkom sebagai

perusahaan yang melayani dengan sepenuh hati (heart), membuat customer merasa

yakin (assured), meningkatkan pembaharuan (progressive) dalam menyediakan

produk dan jasa, merajakan (empowering) customer serta akan membuktikan bahwa

PT Telkom memiliki keahlian (expertise) yang tinggi. Adapula tujuh nilai etis dasar

minimal yang harus dimiliki oleh setiap karyawan PT Telkom, yaitu kejujuran,

transparansi, komitmen, kerjasama, disiplin, bertanggung jawab, dan peduli.

Keseluruhan nilai tersebut diharapkan merupakan nilai-nilai yang terdapat di dalam

hati (level emosional) dan pikiran para karyawan yang tidak terlihat, tapi dapat

dirasakan (dalam Work in Progress of PT Telkom, 2009).

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, adanya emosi-emosi yang positif

dapat meningkatkan pemaknaan individu mengenai hidupnya menjadi makin positif

pula, sehingga subjective well-being dapat tercapai. Ada pula suatu karakter yang

(30)

commit to user

karakter itu adalah sense of humor. Sense of humor yang dimiliki pada masa dewasa

madya dapat membantu individu untuk lebih menerima permasalahan-permasalahan

yang terjadi dalam hidupnya dan dapat mengembangkan pemaknaan yang positif,

baik mengenai dirinya maupun orang lain, sehingga keadaan subjective well-being

pun sangat mungkin untuk tercapai. Selebihnya, manusia selain berperan sebagai

makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial yang butuh untuk

bersosialisasi dengan lingkungannya. Kepribadian ekstrovert merupakan tipe

kepribadian yang dapat membantu individu dalam bersosialisasi dengan lingkungan

sekitarnya. Kepribadian ekstrovert yang ada dalam diri individu dapat membantunya

untuk mudah beradaptasi, mudah bergaul, dan luwes dalam berhubungan dengan

orang lain. Sosialisasi yang baik ini mempermudah individu untuk dapat menerima

kelebihan maupun keterbatasan orang lain dan dirinya sendiri, sehingga kepuasan

hidup dan keadaan subjective well-being pun akan tercapai. Oleh karena itu, penulis

tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Hubungan antara Sense of Humor

dan Kepribadian Ekstrovert dengan Subjective Well-Being pada Karyawan Dewasa

Madya di PT Telkom Distel Jogjakarta”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Adakah hubungan positif antara sense of humor dan kepribadian ekstrovert

(31)

commit to user

2. Adakah hubungan positif antara sense of humor dengan subjective well-being

pada dewasa madya?

3. Adakah hubungan positif antara kepribadian ekstrovert dengan subjective

well-beingpada dewasa madya?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui:

a. Hubungan positif antara sense of humor dan tipe kepribadian ekstrovert

dengan subjective well-being pada dewasa madya

b. Hubungan positif antara sense of humor dengan subjective well-being

pada dewasa madya

c. Hubungan positif antara tipe kepribadian ekstrovert dengan subjective

well-beingpada dewasa madya

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi

wahana perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan

terutama yang berhubungan dengan subjective well being pada individu usia

(32)

commit to user b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan individu,

khususnya pada usia dewasa madya, mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi subjective well-being dan menambah kesadaran tentang

pentingnya sense of humor dan meningkatkan sikap yang diusung oleh

(33)

commit to user 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Subjective Well-being

1. Pengertian subjective well-being

Subjective well-being adalah istilah yang sangat berkaitan dengan istilah

happiness (kebahagiaan). Menurut Veenhoven (dalam Eid dan Larsen, 2008),

subjective well-being adalah istilah yang paling cocok untuk menggambarkan

kebahagiaan manusia secara utuh (overall happiness). Diener dan Suh (2000)

mendefinisikan subjective well-being adalah suatu keadaan yang didapatkan dari

menggabungkan antara aspek afektif dan kognitif. Aspek afektif yang diharapkan

untuk meraih subjective well-being adalah perasaan bahagia akan hidupnya,

sedangkan aspek kognitif yang diharapkan adalah individu mempunyai pemikiran

bahwa berbagai aspek kehidupannya, seperti keluarga, karir, dan komunitasnya

adalah hal-hal yang memberikannya kepuasan hidup (Diener dan Suh, 2000).

Diener (2009d) menambahkan, lebih tinggi frekuensi munculnya afek

positif daripada afek negatif dapat memberikan perasaan nyaman dan riang

(joyful), sehingga pemaknaan individu akan hidupnya pun akan makin positif,

demikian pula individu yang dapat mencapai tujuannya dan merasa puas akan

semua pencapaiannya, maka pemaknaan mengenai hidupnya akan baik pula. Dua

pemenuhan keadaan ini merupakan syarat bagi individu untuk dapat mencapai

(34)

commit to user

yang menyatakan bahwa subjective well-being adalah variabel yang dihasilkan

melalui kombinasi dua hal, yaitu peran afeksi dan peran kognisinya, dengan kata

lain di satu pihak cenderung pada afek positif, afek negatif, dan

keseimbangannya, di pihak lain cenderung pada kepuasan hidup yang

dimaknainya.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa subjective

well-being adalah kebahagiaan utuh yang dialami individu, dimana individu dapat

memiliki perasaan yang positif mengenai hidupnya, sebagai hasil dari evaluasi

afektif, dan memiliki kepuasan hidup atas apa yang ia capai, baik dalam hal karir,

keluarga, dan komunitasnya, sebagai hasil evaluasi kognitifnya.

2. Komponen subjective well-being

Menurut Diener, dkk. (1999), banyak peneliti yang telah memperlakukan

subjective well-being sebagai wujud satu kesatuan (monolitis), namun akhirnya

terlihat jelas bahwa subjective well-being adalah gabungan antara pola-pola unik

yang dapat dipisahkan, atau bisa disebut memiliki beberapa komponen yang

spesifik. Pada tahun 1984, Diener (dalam Eid dan Larsen, 2008) mengangkat

studi mengenai subjective well-being. Studi tersebut menyebutkan ada tiga

komponen yang menyertai subjective well-being individu, yaitu kepuasan hidup,

afek positif, dan afek negatif. Beberapa tahun kemudian, Diener, dkk. (1999)

menambahkan satu komponen lagi, yaitu kepuasan dalam ranah kehidupan/

(35)

commit to user

empat komponen besar yang menopang studi mengenai subjective well-being,

yaitu afek yang menyenangkan (afek positif), afek yang kurang menyenangkan

(afek negatif), penilaian secara global mengenai kepuasan hidup (sering disebut

dengan kepuasan hidup saja), dan kepuasan dalam ranah kehidupan.

Penjelasannya, sebagai berikut:

a. Afek positif

Individu yang berhasil mencapai keadaan subjective well-being

umumnya ditandai dengan tingginya perasaan positif/ bahagia. Subjective

well-being adalah keadaan dimana evaluasi afektif individu menghasilkan

bahwa afek positifnya memiliki jumlah yang lebih besar (mayoritas) daripada

afek negatifnya. Keadaan ini tidak hanya menunjukkan bahwa kecil/

rendahnya faktor afek negatif, tetapi lebih menekankan pada kesehatan mental

individu yang adekuat (Diener, 2009d).

Menurut Diener, dkk. (1999) afek positif individu yang mempengaruhi

level subjective well-being adalah hal-hal yang mencakup keriangan (joy),

rasa suka cita (elation), kepuasan (contentment), harga diri (pride),

mempunyai rasa kasih sayang (affection), kebahagiaan (happiness), dan

kegembiraan yang sangat (ecstasy).Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1) Keriangan (joy)

a) Didapat dari perwujudan dorongan untuk bermain-main/ mencari

(36)

commit to user

b) Dorongan ini tidak hanya muncul ketika bersosialisasi dengan orang

lain atau dalam perilaku fisiknya saja, tapi juga muncul dalam perilaku

yang intelektual dan artistik.

2) Rasa suka cita (elation)

Elation adalah suatu kondisi dimana individu berada dalam

keadaan yang bersuka cita dan memiliki kondisi yang penuh dengan

semangat untuk melakukan apapun.

3) Kepuasan (contentment)

Kepuasan ini didapat dari perwujudan dorongan untuk mampu

menikmati hal-hal yang terjadi/ apa yang dimiliki dalam kehidupannya

saat ini dan mengintegrasikan hal-hal tersebut kedalam sebuah pandangan

yang baru mengenai dirinya sendiri dan dunianya.

4) Harga diri(pride)

Harga diri disini merujuk pada pencapaian personal, yaitu

terwujud dalam dorongan untuk berbagi cerita mengenai pencapaiannya

dengan orang lain dan bahkan dalam dorongan untuk membayangkan/

mengkhayalkan mengenai perolehan yang lebih baik di masa depan kelak.

5) Mempunyai rasa kasih sayang(affection)

a) Dikonsepkan sebagai campuran dari emosi positif lainnya, seperti

kenikmatan, ketertarikan, dan kepuasan.

b) Dialami dalam konteks adanya persaan yang tenteram dalam

(37)

commit to user 6) Kebahagiaan (happiness)

a) Kebahagiaan diprediksikan melalui kestabilan emosi yang

menyenangkan dan sering merasakan bahwa dirinya adalah individu

yang memiliki nilai di dunia ini (self-worth).

b) Kebahagiaan dapat ditunjukkan melalui pembawaan individu yang

selalu optimis.

7) Kegembiraan yang sangat (ecstasy)

a) Ecstasy adalah sensasi kegembiraan yang sangat dan terkadang

membuat individu kehilangan kendali atas dirinya.

b) Efek dari perasaan ini adalah diri menjadi makin termotivasi dan bisa

menjadi candu bagi diri sendiri untuk terus merasakan perasaan

gembira ini.

b. Afek negatif

Diener (2009d) menyatakan bahwa meskipun afek positif dan negatif

terlihat saling mempengaruhi, namun kedua tipe afek ini mempunyai

hubungan yang independen antara satu dengan yang lain. Selain itu, menurut

Diener, dkk; (dalam Strack, dkk., 1991) intensitas afek positif atau negatif

tidak terlalu mempengaruhi level tinggi rendahnya subjective well-being,

sebaliknya frekuensi afek positif atau negatif sangat mempengaruhi level

tinggi rendahnya subjective well-being, yaitu tingginya level subjective

well-being disebabkan oleh tingginya frekuensi afek positif dan rendahnya

(38)

commit to user

Menurut Diener, dkk. (1999), beberapa afek negatif individu yang

mempengaruhi level subjective well-being, yaitu rasa bersalah dan malu (guilt

and shame), kesedihan (sadness), kecemasan dan kekhawatiran (anxiety and

worry), kemarahan (anger), tekanan (stress), depresi (depression), dan

kedengkian (envy).Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1) Rasa bersalah dan malu (guilt and shame)

a) Rasa bersalah adalah sebuah pengalaman afeksi yang terjadi ketika

seseorang menyadari/ mempercayai (entah akurat atau tidak) telah

melanggar sebuah standar moral dan merasa harus bertanggung jawab

untuk itu.

b) Rasa malu adalah suatu kondisi yang dialami oleh individu yang

berusaha untuk menutupi suatu hal dan dapat memberikan pengaruh,

seperti muka memerah, kebingungan, dan menundukkan muka.

2) Kesedihan (sadness)

a) Kesedihan adalah emosi yang dikarakteristikkan melalui perasaan

keadaan yang lemah, kehilangan, dan ketidakberdayaan.

b) Kesedihan dapat dipandang sebagai sebuah kejadian menurunnya

suasana hati secara sementara.

3) Kecemasan dan kekhawatiran (anxiety and worry)

a) Kecemasan dibedakan dengan ketakutan karena sering terarah pada

hal-hal yang tidak berobjek, sedangkan rasa takut selalu mengarah

(39)

commit to user

b) Pemikiran dan gambaran mengenai sebuah ancaman yang menyerang,

sehingga membuat individu berusaha untuk menghindarnya.

4) Kemarahan(anger)

Reaksi emosi yang sangat kuat yang menyertai beragam situasi

seperti merasa terbatasi secara fisik, kepemilikannya dihilangkan, atau

diancam. Hal ini juga dapat diidentifikasikan melalui sekumpulan reaksi

fisik seperti raut muka tertentu dan posisi tubuh tertentu yang merupakan

ekspresi tindakan sistem saraf otonom, khususnya sistem saraf simpatik.

5) Tekanan (stress)

Kondisi tegangan psikologis yang dihasilkan oleh jenis-jenis daya

atau tekanan, yaitu tekanan baik fisik, psikologis, maupun sosial.

6) Depresi(depression)

Suasana hati yang dicirikan perasaan tidak nyaman, sebuah

perasaan murung, sebuah penurunan dalam aktivitas maupun reaktivitas,

pesimisme, dan kesedihan.

7) Kedengkian (envy)

a) Rasa iri yang didasarkan kepada kontemplasi penuh dendam terhadap

keberuntungan orang lain.

b) Biasanya dibedakan dari rasa cemburu (jealousy) yang melibatkan

(40)

commit to user c. Kepuasan hidup

Kepuasan hidup, menurut Eid dan Larsen (2008), merupakan hal yang

dinilai secara holistik, memuat keseluruhan dari kehidupan individu atau total

penilaian kehidupan pada periode hidupnya. Hal ini mencerminkan bahwa

tidak hanya total kuantitas hal-hal yang membahagiakan di kehidupan

individu pada waktu tertentu saja, tetapi juga mengenai kualitas

penyalurannya, apakah hal itu dapat membawa kebahagiaan individu di waktu

selanjutnya dan lebih permanen atau tidak (Eid dan Larsen, 2008). Menurut

Diener, dkk. (1999) beberapa kepuasan hidup individu yang mempengaruhi

level subjective well-being, yaitu hasrat untuk mengubah hidup (desire to

change life), kepuasan pada kehidupan saat ini (satisfaction with current life),

kepuasan pada kehidupan masa lalu (satisfaction with past), kepuasan pada

kehidupan masa depan nanti (satisfaction with future), dan pendapat

orang-orang terdekat mengenai hidupnya (significant others' views of one's life),

penjelasannya adalah:

1) Hasrat untuk mengubah hidup (desire to change life)

Diener, dkk. (1999) menyatakan bahwa perbedaan individual

dalam pencapaian dan motivasi yang dipunyai individu turut menentukan

level subjective well-being.Hal ini menekankan perbedaan seberapa besar

derajat komitmen individu dalam meraihnya. Setiap individu memiliki

keinginan untuk mempunyai kehidupan yang lebih baik, sehingga ini

(41)

commit to user

2) Kepuasan pada kehidupan saat ini (satisfaction with current life)

Hal ini menjealaskan mengenai kepuasan yang individu rasakan

saat ini. Pada kehidupannya saat ini, individu merasa bersyukur dan puas

atas apa yang telah didapatkan dan apa yang telah diperoleh dirasa sesuai

apa yang telah diusahakan dalam mencapainya.

3) Kepuasan pada kehidupan masa lalu(satisfaction with past)

Menurut Rocke dan Lachman (2008), dalam beberapa situasi,

masa lalu yang negatif dapat mengembangkan tujuan individu menjadi

lebih mantap untuk masa depannya. Mengingat masa lalu dapat

mempengaruhi individu dalam menempatkan tujuannya yang sekarang

dan mengejarnya. Jadi, walaupun pengalaman yang pernah dialami

merupakan pengalaman yang dirasa tidak begitu menyenangkan, individu

tak akan merasa menyesal karena itu merupakan pembelajaran untuk masa

yang selanjutnya.

4) Kepuasan pada kehidupan masa depan nanti(satisfaction with future)

Ketika melihat kedepan, individu akan berharap mendapatkan apa

yang diinginkan dan diwujudkan melalui usahanya saat ini. Sama seperti

ketika melihat masa lalu, harapan pada masa depan juga memiliki

keterkaitan dengan perilaku individu dalam usaha untuk mencapainya,

(42)

commit to user

5) Pendapat orang-orang terdekat mengenai hidupnya (Significant others'

views of one's life)

Selain evaluasi untuk dirinya sendiri, lingkungan sekitar juga

mempunyai anggapan yang sama mengenai kepuasan hidup individu,

yaitu juga berpendapat bahwa individu telah hidup selayaknya dan patut

mendapatkan itu semua karena usaha yang telah dilakukan.

d. Kepuasan dalam ranah kehidupan

Pavot (dalam Eid dan Larsen, 2008), menyatakan bahwa apabila

kepuasan hidup secara kognitif menilai berdasarkan evaluasi kehidupan secara

menyeluruh, kepuasan dalam ranah kehidupan berfokus pada penilaian

mengenai beberapa aspek spesifik di kehidupan individu saja. Menurut

Diener, dkk. (1999) beberapa ranah kehidupan yang mempengaruhi level

subjective well-being, yaitu pekerjaan (work), keluarga (family), waktu luang

(leisure), kesehatan (health), keuangan (finances), self, one's group.

1) Pekerjaan

Menurut Diener (2009d), individu yang tidak memiliki pekerjaan

termasuk dalam kelompok yang kurang bahagia. Furnham (dalam Strack,

dkk., 1991) menyatakan bahwa selain hanya memiliki memiliki pekerjaan,

individu juga perlu memiliki pekerjaan yang bagus untuk meraih

subjective well-being. Kemantapan/ bagusnya pekerjaan yang dimiliki

individu biasanya dapat dilihat dari baiknya gaji, tujuan, pengembangan

(43)

commit to user 2) Keluarga

Komponen ini merujuk pada kehidupan individu dalam pernikahan

dan berkeluarga. Menurut Diener (2009c), komponen berkeluarga adalah

prediktor kuat yang mempengaruhi subjective well-being. Glenn (dalam

Diener, 2009c) menyebutkan bahwa wanita yang menikah memang

memiliki simtom stres yang lebih besar daripada yang tidak/ belum

menikah, akan tetapi hasil ini juga diiringi dengan besarnya kepuasan

hidup yang didapat.

3) Waktu luang (leisure)

Furnham (dalam Strack, dkk., 1991) menyatakan bahwa pekerjaan

memang adalah sumber penting bagi individu untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya, akan tetapi hal ini menjadi sumber masalah ketika individu

hanya terpaku dalam pekerjaan yang tak berakhir tanpa ada waktu untuk

menikmati hasil usahanya. Menurut Kahneman, dkk. (2003), kepuasan

hidup juga didapatkan melalui waktu santai yang tidak dihadiri oleh

kemunculan pekerjaan (nonwork satisfaction).

4) Kesehatan

Diener, dkk. (1999) menyatakan bahwa pandangan subjektif yang

positif bahwa dirinya sehat dapat memprediksi kepuasan hidup, walaupun

kenyataanya individu tersebut tidak begitu sehat secara objektif. Individu

yang menderita penyakit dapat saja memiliki subjective well-being yang

(44)

commit to user

objektif. Hal ini berkaitan dengan pencapain tujuan, maksudnya adalah

ada beberapa hal yang membuat individu yang tidak sehat tidak dapat

meraih beberapa tujuan hidupnya dan inilah yang mempegaruhi mengapa

levelsubjective well-beingnya tidak setinggi individu yang normal/ sehat.

5) Keuangan (finance)

Keuangan merupakan komponen subjective well-being yang

berkaitan dengan pendapatan dan kekayaan, dan hal ini masih

diperdebatkan apakah kekayaan merupakan hal yang penting dalam

kebahagiaan. Menurut Diener, dkk. (1999), dalam beberapa hal individu

dengan keuangan yang baik dapat meraih kebahagiaan, namun hal ini

tidak dapat menjadi pegangan prediktor utama dalam subjective

well-being.

6) Self

Self merupakan komponen yang berfokus pada studi mengenai

pemahaman karakter individu yang seperti apa yang dapat membuat

individu tersebut bahagia dan puas akan hidupnya (Diener, 2009b).

Mengenai hal ini, menurut Diener (2009b), ada dua karakter yang

ditekankan dalam komponen self itu sendiri, yaitu:

a) Harga diri (self-esteem)

Menurut Greenberg (Diener 2009b), individu yang memiliki

level harga diri yang tinggi mampu untuk menemukan makna yang

(45)

commit to user

kecemasan yang akan muncul, dan lebih sulit untuk terpengaruh oleh

suasana hati yang negatif daripada individu yang memiliki pandangan

negatif mengenai dirinya.

b) Identitas diri (self identity)

Memiliki identitas internal yang koheren dipandang sebagai

salah satu komposisi integral dalam teori kesehatan mental. Lecky

(dalam Diener, 2009b) menyatakan bahwa individu mencari

pemahaman mengenai siapa individu itu sebenarnya melalui integrasi

berbagai persepsi akan dirinya ke dalam sebuah struktur pengetahuan

yang terorganisasi. Hal ini ditekankan dalam pernyataan bahwa

individu termotivasi secara kuat untuk berperilaku dalam cara yang

konsisten dengan pandangan diri (self view) yang dimiliki, sehingga di

posisi ini self menurunkan arti, tujuan, dan petunjuk dalam

berperilaku, yang terutama didapat dari sumber internal dalam dirinya.

7) One’s group

Dalam suatu budaya yang mengedepankan tujuan bersama,

kepentingan masyarakat ditempatkan sebanding dengan kepentingan

individu, sehingga tujuan dari sutau kelompok juga merupakan tujuan

pribadinya (Diener, 2009c). Komponen ini menekankan pada konsep

colectivsm yang berfokus pada saling ketergantungan dan saling

membutuhkan tiap manusia dan memprioritaskan kepentingan bersama

(46)

commit to user

Pavot dan Diener (1993) menyatakan bahwa dalam mengevaluasi

kepuasan hidup, penelitian tidak diharuskan untuk mengungkap seluruh ranah

kehidupan, karena tiap individu memiliki standar pemaknaan kepuasan yang

berbeda-beda mengenai pencapaian yang telah diraihnya, sehingga yang lebih

penting adalah mengevaluasi kepuasan hidup individu secara global, yaitu

penilaian kepuasan akan kehidupannya pada masa lalu, saat ini, pemaknaan

positif terhadap kepuasan yang akan didapatkan di masa depan kelak, dan

hasrat untuk selalu ingin mengembangkan diri menjadi lebih baik lagi.

Melalui empat komponen yang diutarakan oleh Diener, dkk. (1999)

tersebut, dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen subjective well-being

meliputi afek yang menyenangkan (afek positif), afek yang kurang

menyenangkan (afek negatif), penilaian secara global mengenai kepuasan hidup

(sering disebut dengan kepuasan hidup saja), dan kepuasan dalam ranah

kehidupan.

Afek negatif merupakan komponen yang kontra dengan

komponen-komponen subjective well-being yang lain. Diener, dkk. (1999) menyatakan

bahwa keadaan subjective well-being merupakan keadaan bahagia yang dialami

individu sepanjang masa kehidupannya, sehingga tidak mungkin bila tidak

memperhatikan afek negatif yang pernah muncul di kehidupannya. Oleh karena

keunikan ini peneliti dalam studi subjective well-being harus memperhatikan

dalam penskorannya. Penskoran kedua komponen afek dijelaskan Pavot (dalam

(47)

commit to user

yang dirasakan individu didapat dari jumlah total skor afek positif dikurangi afek

negatif. Libran (2006) lalu mengembangkan teori yang dikemukakan oleh Pavot

tersebut dan menghasilkan rumusan, yaitu nilai subjective well-being didapatkan

melalui besar kepuasan hidup dan kepuasan dalam ranah kehidupan individu yang

dijumlahkan dengan selisih skor antara afek positif dan afek negatifnya.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being

Menurut Diener (2009d), subjective well-being seseorang dipengaruhi

oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal, yang meliputi sebagai

berikut:

a. Faktor internal

Faktor ini berfokus pada kondisi internal individu yang dapat

mempengaruhi level subjective well-being. Faktor-faktor internal ini

mencakup:

1) Gen

Kondisi internal yang mempengaruhi subjective well-being ini tak

bisa dilepaskan oleh faktor genetis/ gen individu. Gen (gene) adalah unit

dasar dari hereditas yang terletak dalam kromosom, yaitu suatu struktur

yang bentuknya seperti tongkat dan terletak di tengah-tengah (nukleus)

dalam setiap sel tubuh. Kromosom tersebut berisikan molekul-molekul

DNA, sehingga setiap gen-gen mengandung sekumpulan kecil DNA. Gen

(48)

commit to user

individu lainnya baik dalam persamaan maupun perbedaan satu sama lain

(dalam Wade dan Travis, 2007).

Menurut Lucas (dalam Eid dan Larsen, 2008), seorang pemerhati

studi mengenai hal-hal yang mempengaruhi subjective well-being, gen

adalah faktor yang cukup menentukan stabilitas subjective well-being

individu. Dalam usaha untuk membuka tabir peran faktor genetis dalam

mempengaruhi subjective well-being individu, kebanyakan peneliti

melakukan pendekatan dengan cara membandingkan sifat-sifat yang

dimiliki oleh kembar identik (monozigot) dengan kembar fraternal

(dizigot).

Suatu penelitian menghasilkan suatu penemuan bahwa level afek,

baik negatif ataupun positif, kembar satu indung telur (monozigotik) yang

hidup terpisah lebih mirip satu sama lain daripada kembar dizigotik yang

dibesarkan secara bersama. Peran faktor gen ini dipertegas dengan

pernyataan bahwa seseorang yang puas terhadap dirinya sendiri dan

memiliki afek positif yang lebih dominan daripada afek negatif,

kemungkinan besar dilahirkan dari orangtua yang demikian pula, hal itu

juga sangat bisa terjadi pada saudara-saudara kandungnya. Studi

behavioral-genetic ini menyimpulkan bahwa peran gen dalam stabilnya

level afek positif, afek negatif, dan komponen-komponen lain dalam

kebahagian utuh (overall happiness) yang dimiliki individu memiliki nilai

(49)

commit to user

Memang hasil yang diperoleh tidak dapat dipastikan apakah ini

merupakan murni dampak dari gen yang diwariskan atau lebih pada efek

lingkungan dalam keluarga, namun Lucas (dalam Eid dan Larsen 2008)

menambahkan, walaupun dipengaruhi oleh lingkungan, gen mengarahkan

individu untuk memilih lingkungan dan perilaku yang tepat baginya,

sehingga lingkungan dan perilaku itu turut mengarahkan individu dalam

mencapai subjective well-being- nya, jadi walaupun tidak langsung, tetap

saja tak bisa dipungkiri gen mempengaruhi subjective well-being

seseorang.

2) Psikofisiologis

Studi tentang behavioral-genetic menunjukkan bahwa setidaknya

beberapa fragmen dari perbedaan tiap individu dalam subjective

well-being dapat dijelaskan melalui perbedaan genetis yang dimiliki, dan tentu

saja ekspresi gen dalam beraktivitas dapat terpancar melalui beberapa

proses fisiologis. Akan tetapi, sampai saat ini mekanisme pasti dampak

genetis yang ditimbulkan kepada aktivitas fisiologis manusia belum juga

dapat diketahui. Melalui tinjauan tersebut, studi behavioral-genetic, yang

digunakan semata-mata, tidak dapat untuk menegaskan bagaimana gen

dan fisiologi mempengaruhi subjective well-being. Untuk itu perlu

penelusuran yang lebih spesifik mengenai sistem psikofisiologis yang

(50)

commit to user

Studi psikofisiologi yang sering dibahas dalam kaitannya dengan

kebahagian adalah mengenai aktivasi/ proses kerja dua hemisfer/ bagian

asimetris pada prefrontal korteks (PFC). Wade dan Travis (2007)

menjelaskan bahwa PFC terletak pada bagian paling depan lobus frontal.

PFC sendiri memiliki peran dalam emosi dan pembentukan kepribadian

individu. Davidson (2004), peneliti dalam studi bio-behavior, menyelidiki

apakah lebih besarnya aktivitas PFC hemisfer kiri daripada kanan

berhubungan dengan emosi yang berorientasi pada pendekatan (

approach-oriented emotions), seperti kebahagiaan dan kegembiraan, atau apakah

lebih besarnya aktivitas hemisfer kanan daripada kiri berhubungan dengan

emosi yang berorientasi pada penjauhan diri (withdrawal-oriented

emotions), seperti ketakutan dan rasa muak.

Davidson (2004) melakukan penelitian mengenai hubungan

aktivitas otak dengan afek positif atau negatif melalui pengamatan

aktivitas otak subjek selama ditayangkannya sejumlah gambar yang

dirancang untuk menginduksi perasaan bahagia atau jijik. Penelitian ini

menghasilkan penemuan bahwa tayangan gambar yang menggembirakan

berhubungan dengan lebih besarnya aktivitas PFC bagian kiri daripada

bagian kanan, sedangkan tayangan gambar yang menjijikkan berhubungan

dengan lebih besarnya aktivitas PFC bagian kanan daripada bagian kiri,

sehingga penelitian psikofisiologi ini menunjukkan korelasinya bahwa

(51)

commit to user

tersebut telah berhasil menunjukkan bahwa perbedaan individual dalam

asimetris hemisfer PFC mempunyai korelasi dengan kebahagiaan, yaitu

individu dengan aktivitas PFC kiri yang relatif lebih tinggi dilaporkan

memiliki afek positif yang lebih tinggi dan afek negatif yang lebih rendah

daripada individu dengan aktivitas PFC kanan yang relatif lebih tinggi.

3) Kepribadian

Subjective well-being adalah suatu studi yang berhubungan dengan

evaluasi subjektif individu mengenai kualitas hidupnya, sehingga dapat

dikatakan bahwa subjective well-being yang dirasakan tergantung pada

masing-masing individu. Beberapa dugaan tercetus bahwa studi subjective

well-being ini dapat berubah dan memiliki kesensitifan pada kondisi

eksternal, seperti keberhasilan atau bahkan perceraian, namun hasil

penelitian menunjukkan bahwa kemunculan subjective well-being tetap

stabil sepanjang waktu dan itu cukup kuat hubungannya dengan

karakteristik (trait) kepribadian yang dibawa (Diener, dkk., 1999).

Telah banyak penelitian yang mengungkap mengenai korelasi

antara subjective well-being dengan karakteristik kepribadian yang

spesifik, seperti makin tinggi sikap kesetujuan (agreebleness) maka akan

tinggi pula afek positifnya dan sebaliknya. Begitu pula dengan

karakteristik lain yang berkorelasi cukup tinggi dengan tinggi rendahnya

level subjective well-being, yaitu optimisme, kepercayaan, dan locus of

(52)

commit to user

korelasi antara karakteristik kepribadian dengan subjective well-being,

tetap muncul ketidakpastian mengenai apakah tiap karakter ini

menyumbangkan variasi yang unik dalam memprediksi subjective

well-being, sehingga penggunaan faktor tunggal untuk memprediksi subjective

well-beingtidak mungkin untuk ditegakkan.

b. Faktor eksternal

Stabilitas dari subjective well-being, sebagai subjektivitas individu itu

sendiri, sangat ditentukan oleh peran faktor internal, walaupun begitu tetap

saja faktor eksternal dapat berpengaruh terhadap level subjective well-being.

Diener (2009d) menegaskan bahwa level subjective well-being dipengaruhi

pula oleh faktor-faktor diluar individu, atau sering disebut sebagai

demographic factor. Hal ini mencakup:

1) Penghasilan

Banyak peneliti telah mengakui bahwa orang yang bahagia mampu

mengumpulkan uang diatas rata-rata daripada orang yang kurang

berbahagia (Diener, 2009d). Beberapa penelitian juga menunjukkan,

seperti penelitian yang dilakukan oleh Larson (dalam Diener, 2009d),

bahwa ada hubungan yang positif antara penghasilan dan subjective

well-beingdi beberapa negara.

2) Jenis kelamin

Cukup diyakini bahwa ada perbedaan

Gambar

Tabel 16: Uji Autokorelasi....................................................................
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Teman-teman seperjuangan stambuk 2001 Teknik Manajemen Pabrik yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan dan yang telah memberikan dukungan dan semangat juga

Justeru, dapat disimpulkan bahawa hasil kajian ini menunjukkan bahawa usahawan wanita di Kelantan mampu menjana pendapatan keluarga dan berupaya keluar daripada

Pusat Pelayanan Lanjut usia di Jember merupakan sebuah tempat yang mewadahai kegiatan pelayanan bagi lansia untuk memenuhi dan memuaskan semua kebutuhan lansia yang tidak

“ Disini guru PAI kami Metode yang digunakan dalam menanamkan nilai akhlak yang pertama keteladanan mengenai sopan santun kepada orangtua/Guru, kenapa kok begitu karena

Metode pengukuran arah kiblat dengan alat bantu Google Earth di tanah kosong, yaitu: (1) Pengukuran arah kiblat dengan menghubungkan show ruler dari Kakbah

Pewawancara : Kalau dari iklan yang kedua yaitu mens biore, apakah al ghazali sudah sesuai dengan taglinenya yaitu be cool face it like a man.. Responden : Sudah karena dari

Informasi keuangan konsolidasian di atas disusun berdasarkan laporan keuangan konsolidasian PT Bank Central Asia Tbk dan Entitas Anak pada tanggal dan untuk tahun yang berakhir

dan Mansukh dijadikan sebagai argument adanya nasakh dalam Al Qur’an, menurut mereka ditujukan kepada kaum Yahudi yang mengingkari Al Qur’an atau merujuk pada wahyu yang