• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being

Menurut Diener (2009d), subjective well-being seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal, yang meliputi sebagai berikut:

a. Faktor internal

Faktor ini berfokus pada kondisi internal individu yang dapat mempengaruhi level subjective well-being. Faktor-faktor internal ini mencakup:

1) Gen

Kondisi internal yang mempengaruhi subjective well-being ini tak bisa dilepaskan oleh faktor genetis/ gen individu. Gen (gene) adalah unit dasar dari hereditas yang terletak dalam kromosom, yaitu suatu struktur yang bentuknya seperti tongkat dan terletak di tengah-tengah (nukleus) dalam setiap sel tubuh. Kromosom tersebut berisikan molekul-molekul DNA, sehingga setiap gen-gen mengandung sekumpulan kecil DNA. Gen dan komponen-komponennya inilah yang mempengaruhi individu dengan

commit to user

individu lainnya baik dalam persamaan maupun perbedaan satu sama lain (dalam Wade dan Travis, 2007).

Menurut Lucas (dalam Eid dan Larsen, 2008), seorang pemerhati studi mengenai hal-hal yang mempengaruhi subjective well-being, gen adalah faktor yang cukup menentukan stabilitas subjective well-being individu. Dalam usaha untuk membuka tabir peran faktor genetis dalam mempengaruhi subjective well-being individu, kebanyakan peneliti melakukan pendekatan dengan cara membandingkan sifat-sifat yang dimiliki oleh kembar identik (monozigot) dengan kembar fraternal (dizigot).

Suatu penelitian menghasilkan suatu penemuan bahwa level afek, baik negatif ataupun positif, kembar satu indung telur (monozigotik) yang hidup terpisah lebih mirip satu sama lain daripada kembar dizigotik yang dibesarkan secara bersama. Peran faktor gen ini dipertegas dengan pernyataan bahwa seseorang yang puas terhadap dirinya sendiri dan memiliki afek positif yang lebih dominan daripada afek negatif, kemungkinan besar dilahirkan dari orangtua yang demikian pula, hal itu juga sangat bisa terjadi pada saudara-saudara kandungnya. Studi behavioral-genetic ini menyimpulkan bahwa peran gen dalam stabilnya level afek positif, afek negatif, dan komponen-komponen lain dalam kebahagian utuh (overall happiness) yang dimiliki individu memiliki nilai heritabilitas antara 40-50%.

commit to user

Memang hasil yang diperoleh tidak dapat dipastikan apakah ini merupakan murni dampak dari gen yang diwariskan atau lebih pada efek lingkungan dalam keluarga, namun Lucas (dalam Eid dan Larsen 2008) menambahkan, walaupun dipengaruhi oleh lingkungan, gen mengarahkan individu untuk memilih lingkungan dan perilaku yang tepat baginya, sehingga lingkungan dan perilaku itu turut mengarahkan individu dalam mencapai subjective well-being- nya, jadi walaupun tidak langsung, tetap saja tak bisa dipungkiri gen mempengaruhi subjective well-being seseorang.

2) Psikofisiologis

Studi tentang behavioral-genetic menunjukkan bahwa setidaknya beberapa fragmen dari perbedaan tiap individu dalam subjective well- being dapat dijelaskan melalui perbedaan genetis yang dimiliki, dan tentu saja ekspresi gen dalam beraktivitas dapat terpancar melalui beberapa proses fisiologis. Akan tetapi, sampai saat ini mekanisme pasti dampak genetis yang ditimbulkan kepada aktivitas fisiologis manusia belum juga dapat diketahui. Melalui tinjauan tersebut, studi behavioral-genetic, yang digunakan semata-mata, tidak dapat untuk menegaskan bagaimana gen dan fisiologi mempengaruhi subjective well-being. Untuk itu perlu penelusuran yang lebih spesifik mengenai sistem psikofisiologis yang memiliki keterlibatan dalam pengalaman afeksi individu.

commit to user

Studi psikofisiologi yang sering dibahas dalam kaitannya dengan kebahagian adalah mengenai aktivasi/ proses kerja dua hemisfer/ bagian asimetris pada prefrontal korteks (PFC). Wade dan Travis (2007) menjelaskan bahwa PFC terletak pada bagian paling depan lobus frontal. PFC sendiri memiliki peran dalam emosi dan pembentukan kepribadian individu. Davidson (2004), peneliti dalam studi bio-behavior, menyelidiki apakah lebih besarnya aktivitas PFC hemisfer kiri daripada kanan berhubungan dengan emosi yang berorientasi pada pendekatan (approach- oriented emotions), seperti kebahagiaan dan kegembiraan, atau apakah lebih besarnya aktivitas hemisfer kanan daripada kiri berhubungan dengan emosi yang berorientasi pada penjauhan diri (withdrawal-oriented emotions), seperti ketakutan dan rasa muak.

Davidson (2004) melakukan penelitian mengenai hubungan aktivitas otak dengan afek positif atau negatif melalui pengamatan aktivitas otak subjek selama ditayangkannya sejumlah gambar yang dirancang untuk menginduksi perasaan bahagia atau jijik. Penelitian ini menghasilkan penemuan bahwa tayangan gambar yang menggembirakan berhubungan dengan lebih besarnya aktivitas PFC bagian kiri daripada bagian kanan, sedangkan tayangan gambar yang menjijikkan berhubungan dengan lebih besarnya aktivitas PFC bagian kanan daripada bagian kiri, sehingga penelitian psikofisiologi ini menunjukkan korelasinya bahwa emosi positif berlawanan dengan emosi negatif. Penelitian Davidson

commit to user

tersebut telah berhasil menunjukkan bahwa perbedaan individual dalam asimetris hemisfer PFC mempunyai korelasi dengan kebahagiaan, yaitu individu dengan aktivitas PFC kiri yang relatif lebih tinggi dilaporkan memiliki afek positif yang lebih tinggi dan afek negatif yang lebih rendah daripada individu dengan aktivitas PFC kanan yang relatif lebih tinggi. 3) Kepribadian

Subjective well-being adalah suatu studi yang berhubungan dengan evaluasi subjektif individu mengenai kualitas hidupnya, sehingga dapat dikatakan bahwa subjective well-being yang dirasakan tergantung pada masing-masing individu. Beberapa dugaan tercetus bahwa studi subjective well-being ini dapat berubah dan memiliki kesensitifan pada kondisi eksternal, seperti keberhasilan atau bahkan perceraian, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa kemunculan subjective well-being tetap stabil sepanjang waktu dan itu cukup kuat hubungannya dengan karakteristik (trait) kepribadian yang dibawa (Diener, dkk., 1999).

Telah banyak penelitian yang mengungkap mengenai korelasi antara subjective well-being dengan karakteristik kepribadian yang spesifik, seperti makin tinggi sikap kesetujuan (agreebleness) maka akan tinggi pula afek positifnya dan sebaliknya. Begitu pula dengan karakteristik lain yang berkorelasi cukup tinggi dengan tinggi rendahnya level subjective well-being, yaitu optimisme, kepercayaan, dan locus of control. Namun, meskipun telah banyak penelitian yang mengupas

commit to user

korelasi antara karakteristik kepribadian dengan subjective well-being, tetap muncul ketidakpastian mengenai apakah tiap karakter ini menyumbangkan variasi yang unik dalam memprediksi subjective well- being, sehingga penggunaan faktor tunggal untuk memprediksi subjective well-beingtidak mungkin untuk ditegakkan.

b. Faktor eksternal

Stabilitas dari subjective well-being, sebagai subjektivitas individu itu sendiri, sangat ditentukan oleh peran faktor internal, walaupun begitu tetap saja faktor eksternal dapat berpengaruh terhadap level subjective well-being. Diener (2009d) menegaskan bahwa level subjective well-being dipengaruhi pula oleh faktor-faktor diluar individu, atau sering disebut sebagai demographic factor. Hal ini mencakup:

1) Penghasilan

Banyak peneliti telah mengakui bahwa orang yang bahagia mampu mengumpulkan uang diatas rata-rata daripada orang yang kurang berbahagia (Diener, 2009d). Beberapa penelitian juga menunjukkan, seperti penelitian yang dilakukan oleh Larson (dalam Diener, 2009d), bahwa ada hubungan yang positif antara penghasilan dan subjective well- beingdi beberapa negara.

2) Jenis kelamin

Cukup diyakini bahwa ada perbedaan level subjective well-being antara pria dan wanita, yaitu dengan pernyataan bahwa kaum wanita

commit to user

melaporkan afek negatif yang lebih tinggi daripada kaum pria, tetapi juga dilaporkan bahwa kaum wanita mengalami hal-hal yang menyenangkan lebih banyak daripada kaun pria, sehingga perbedaan level subjective well- beingyang disimpulkan masih terlalu kecil (Diener, 2009d).

3) Pendidikan

Campbell (dalam Diener, 2009d) mengungkapkan bahwa pendidikan mempengaruhi subjective well-being, akan tetapi masih terdapat bantahan yang menyatakan bahwa hubungan antara pendidikan dan level subjective well-being tidak terlalu kuat, tingkat pendidikan seseorang lebih berpengaruh terhadap variabel lain seperti variabel penghasilan. Namun demikian faktor pendidikan masih merupakan faktor yang diyakini memiliki pengaruh terhadap subjective well-beingindividu. 4) Status pernikahan

Glenn (dalam Diener, 2009d) menyebutkan bahwa walaupun wanita yang menikah dilaporkan memiliki simtom stress yang lebih tinggi daripada wanita yang belum/tidak menikah, wanita yang menikah cenderung memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi daripada kategori wanita yang tidak/belum menikah. Glenn dan Weaver (dalam Diener, 2009d), bahkan menyatakan bahwa pernikahan adalah prediktor subjective well-being yang paling kuat daripada faktor lain, seperti pendidikan, penghasilan, dan pekerjaan.

commit to user 5) Umur

Beberapa penelitian yang lalu, menunjukkan bahwa anak muda lebih bahagia daripada orang yang lebih tua, akan tetapi Braun (dalam Diener, 2009d) menemukan bahwa memang benar responden yang berusia muda menunjukkan afek positif dan negatif yang lebih kuat, akan tetapi orang yang lebih tua menunjukkan level kebahagiaan secara keseluruhan yang jauh lebih tinggi.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut Diener (2009d) subjective well-being pada individu dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor yang pertama, yaitu internal, adalah faktor yang menekankan bahwa subjective well-being yang dimiliki individu dipengaruhi oleh faktor-faktor dari dalam diri individu itu sendiri, yaitu genetis (keturunan), psikofisiologis (dominasi individu dalam menggunakan belahan otaknya, yang kiri atau kanan), dan kepribadian (yang menentukan individu dalam bersikap dan cenderung stabil). Faktor yang ke dua adalah faktor eksternal yang menekankan bahwa subjective well-being yang diperoleh individu berasal dari hal-hal di luar dirinya, yaitu faktor penghasilan, jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan, dan umur.

Dilihat melalui faktor internal yang menekankan fenomena dalam diri individu sendiri, kepribadian merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi individu dalam pencapaian subjective well-beingnya. Karakter kepribadian yang terbuka terhadap lingkungannya dan mudah beradaptasi secara positif merupakan

commit to user

sikap yang memiliki pengaruh yang baik bagi subjective well-being. Karakter tersebut merupakan sikap-sikap yang biasanya dibawa oleh individu dengan kepribadian yang cenderung ekstrovert. Individu yang memiliki tingkat ekstrovert yang tinggi dapat mudah menerima dirinya sendiri sebagai bagian dari dunia sekitarnya, sehingga dapat dengan mudah meningkatkan emosi positif yang juga dapat berasal dari hubungan yang baik dengan lingkungannya.

Masih dalam lingkup faktor internal, faktor gen dipercaya juga mempengaruhi karakter yang dibawa individu , salah satunya adalah kemampuan individu dalam menangkap kelucuan-kelucuan disekitarnya. Individu dalam merespons dan mengeluarkan humor dianggap diperoleh dari dasar gen. Hal ini dijelaskan dengan pernyataan bahwa perilaku humor individu dengan orangtua dan saudara sekandungnya cenderung saling mirip, meskipun tak bisa dipungkiri hal ini juga dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dimana individu tersebut bersosialisasi setiap harinya. Kemampuan atau karakter individu dalam menangkap dan mengeluarkan stimulus humor sering disebut dengan sense of humor.

Dokumen terkait