• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kadar Hemoglobin Dengan Kadar Kreatinin Darah Pada Pasien Dengan Obstruksi Batu Ureter Bilateral

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Kadar Hemoglobin Dengan Kadar Kreatinin Darah Pada Pasien Dengan Obstruksi Batu Ureter Bilateral"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Kadar Hemoglobin Dengan Kadar Kreatinin Darah Pada Pasien

Dengan Obstruksi Batu Ureter Bilateral

Fahmi Radityamurti*, Arry Rodjani**

*Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2009

**Staf Pengajar Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta – Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Abstrak: Salah satu fungsi ginjal adalah sebagai tempat produksi erythropoietin yang berfungsi

memicu produksi sel darah merah. Pada penderita obstruksi batu ureter bilateral kronik dapat terjadi kerusakan ginjal umumnya berakibat anemia. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya hubungan antara kadar hemoglobin dengan kadar kreatinin darah. Kadar kreatinin darah dalam penelitian ini digunakan sebagai indeks pengukuran fungsi ginjal. Penelitian dilakukan di Departe-men Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dengan Departe-mengambil data 101 rekam medis pasien pada tahun 2009-2011 dengan batu ureter bilateral dan diambil data hemoglobin (cut-off 12 gr/dL) dan kreatinin serum (cut-off 1,5 mg/dL). Hubungan antara keduanya dihitung dengan uji chi-square dan didapatkan 70,6% pasien dengan hemoglobin rendah pada pasien dengan kadar kreatinin tinggi dan 42,0% pasien dengan hemoglobin rendah pada pasien dengan kadar kreatinin normal (p=0,004). Terdapat risiko penurunan kadar hemoglobin (OR = 3,314) pada pasien dengan kadar kreatinin yang tinggi. Disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara kadar hemoglobin dengan ka-dar kreatinin ka-darah dan pasien dengan kaka-dar kreatinin tinggi cenderung berisiko anemia.

Kata kunci: anemia, batu ureter, erythropoietin, hemoglobin, kreatinin

Abstract: One of renal function is as a place that serves erythropoietin production triggers the

pro-duction of red blood cells. In patients with bilateral ureteral stone obstruction chronic kidney dam-age can occur generally result in anemia. This study aimed to prove the existence of a relationship between hemoglobin levels with blood creatinine levels. Blood creatinine levels in this study was used as an index of kidney function measurement. The study was conducted in the Department of Urology Hospital Cipto Mangunkusumo by retrieving 101 medical records data of patients in the years 2009-2011 with bilateral ureteral stones and data retrieving hemoglobin data (cut-off 12 g / dL) and serum creatinine (cut-off 1.5 mg / dL). Relationship between the two was calculated by chi-square test. It was found that 70.6% of patients with low hemoglobin had high creatinine levels and 42.0% of patients with low hemoglobin had normal creatinine levels (p = 0.004). These result im-plied that there was a risk of a decrease in hemoglobin levels (OR = 3.314) in patients with high creatinine levels. In conclusion, there was a significant relationship between level of hemoglobin and creatinine levels in blood. Patients with high creatinine levels tend to be at risk of anemia. Keywords: anemia, creatinin, erythropoietin, hemoglobin, ureteral stone

(2)

Pendahuluan

Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang berperan cukup penting dalam mengatur he-modinamik tubuh. Salah satu fungsi ginjal adalah sebagai tempat produksi hormon erythropoietin (EPO). EPO sendiri berfungsi sebagai hormon pemicu erythropoiesis atau pembentukan sel darah merah yang baru.1 Ketika ginjal mengalami kerusakan yang kronis atau yang disebut dengan gagal ginjal kronik atau chronic kidney disease (CKD), maka produksi EPO akan menurun dan anemia merupakan salah satu komplikasi yang umum ditemukan pada pasien dengan CKD.2 Anemia sendiri pada penderita CKD dihubungan dengan penurunan kualitas hidup, peningkatan risiko pen-yakit kardiovaskular, lama rawat inap, penurunan fungsi kognitif, dan kematian.3

Salah satu penyebab dari CKD adalah adanya batu dalam saluran kemih (kalkulus uriner). Keberadaan batu di saluran kemih ini secara umum disebut dengan istilah urolitiasis.4 Ras Asia dan Afrika memiliki kecenderungan lebih tinggi mengalami batu ginjal dengan prevalensinya laki-laki lebih banyak menderita batu dalam saluran kemih dengan perbandingan pasien pria : wanita sebesar 3 : 1.5 Berdasarkan data rumah sakit di Indonesia, angka kejadian (insidens) batu ginjal di Indonesia pada tahun 2002 sebanyak 37.636 kasus baru dengan jumlah kunjungan sebanyak 58.959 orang. Jumlah pasien yang dirawat yaitu sebanyak 19.018 orang dengan jumlah kematian sebanyak 378 orang.6 Komplikasi batu ureter yang utama adalah terjadinya hidronefrosis, dimana terjadi distensi dan dilatasi pelvis dan kaliks renal akibat adanya obstruksi, sehingga berujung dengan atrofi sel gin-jal.7 Bila hidronefrosis ini berkembang, maka dapat terwujud suatu keadaan yang paling ditakutkan yaitu gagal ginjal ronik atau CKD (chronic kidney disease).

Beberapa hal masih menjadi pertanyaan bagi peneliti adalah apakah ada hubungan yang pas-ti antara kadar hemoglobin darah dengan kadar kreapas-tinin darah. Kadar kreapas-tinin di sini sebagai in-deks dalam pengukuran fungsi ginjal. Beberapa penelitian mengenai anemia dengan fungsi ginjal telah dilakukan. Salah satunya yaitu review yang dilakukan oleh Nurko et al yang menyebutkan bahwa prevalensi anemia meningkat seriring dengan penurunan fungsi ginjal. Anemia sendiri juga menjadi prediktor bagi prognosis penderita CKD. Di pihak lain, American Journal of Kidney

Dis-eases merilis guideline mengenai anemia pada penderita CKD. Disebutkan bahwa anemia

merupa-kan gangguan yang dapat mengurangi kualitas hidup pasien penderita CKD, dan merupamerupa-kan gangguan yang paling responsif terhadap pengobatan.8 Namun, perlu diperhatikan bahwa anemia pada laki-laki dengan perempuan berbeda oleh karena cut-off kadar hemoglobinnya berbeda. Di sisi lain, penggunaan kreatinin serum sebagai indeks pengukuran fungsi ginjal telah digunakan secara luas di dunia kedokteran.9,10,11 Pengukuran kadar kreatinin serum digunakan karena menjadi salah satu komponen dalam mengukur laju filtrasi glomerulus atau glomerulus filtration rate (GFR) dan sangat praktis digunakan dalam mengases pasien.1,10

(3)

Berdasarkan hal-hal di atas, peneliti berkeinginan untuk meneliti lebih lanjut mengenai anemia pada penderita urethrolithiasis. Penelitian ini membahas hubungan kadar hemoglobin dengan kadar kreatinin darah pada penderita batu ureter bilateral, dan merupakan bagian dari judul besar “Evaluasi Pasien Batu Ureter di Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Ta-hun 2009-2011”. Di Indonesia, belum ada penelitian lebih lanjut dengan data yang terkini di Indo-nesia, terutama di RSCM. Diharapkan dengan melakukan riset ini dapat diketahui hubungan antara kadar hemoglobin darah dengan kadar kreatinin darah pada penderita obstruksi ureter bilateral se-hingga bisa dinilai kadar hemoglobin sebagai prediktor fungsi ginjal.

Tinjauan Pustaka

A. Eritropoiesis

Sel darah merah, atau eritrosit memiliki fungsi utama sebagai alat transportasi hemoglobin yang membawa oksigen ke seluruh tubuh. Selain itu, eritrosit juga berperan dalam membawa CO2 dalam bentuk HCO3- untuk dikeluarkan dari tubuh sebagai produk sisa. Eritropoiesis adalah proses pembuatan eritrosit atau sel darah merah yang baru.16 Pada janin dan bayi, proses ini berlangsung di limfa dan sumsum tulang, akan tetapi pada orang dewasa terbatas hanya pada sumsum tulang.17,18

Proses ini terjadi setiap hari dengan sekitar 1012 atau 10 eritrosit/jam yang diproduksi. Sel darah

merah diproduksi dari sekumpulan sel progenitor multipoten yang berasal dari hepar fetal. Sel awal yang berperan di sini pertama kali ialah erythroid burst-forming unit (BFU-E) yang akan membelah setelah terstimulasi menjadi erythoid colony-forming unit (CFU-E). Setelah itu terjadi proses diferensiasi lebih jauh menjadi proeritoblas, retikulosit, dan RBC matang. Proses dari awal hingga sel darah merah matang membutuhkan waktu sekitar 2 minggu.1,17

(4)

B. Erythropoietin

Stimulus langsung untuk pembentukan eritrosit disediakan oleh hormon Erythropoietin (EPO) yang merupakan faktor utama dalam perkembangan BFU-E dan CFU-E. EPO hanya diproduksi dari 2 organ, yaitu ginjal (90%) dan hati (10%). Di ginjal, sel-sel fibroblas interstisial yang berada di sekitar tubulus dan juga sel tubuler proksimal memproduksi EPO bila tekanan oksigen menurun. Penilitian yang dilakukan Manugalavadla dan Kapur et al pada tahun 2005 menunjukkan bahwa mencit dengan defisiensi EPO mengalami penurunan yang bermakna dalam produksi RBC. Faktor lain turut serta dalam erythropoiesis ini yaitu IL-3, GM-CSF, aktivin, IGF-I, dan faktor sel punca dengan cara menghambat apoptosis.1,19

C. Mekanisme Regulasi Erythropoiesis

Produksi EPO yang akan memicu erythropoiesis ditentukan oleh tekanan oksigen yang bersirkulasi. Pada kondisi hipoksia, subunit alfa dari protein regulator hypoxia-induced factor-1 (HIF-1) terpapar. Pengikatan antara HIF-1 alfa dan HIF-1 beta bersama dengan hepatic nuclear

factor (HNF-4) dan p300, akan mengaktifkan transkripsi EPO sehingga ginjal akan mempercepat

pelepasan eritropoetin.1,19

Keadaan penurunan kadar O2 yang dapat memicu pembentukan EPO diantaranya17,18,20 • Kurangnya jumlah sel darah merah atau destruksi eritrosit yang berlebihan

• Kurang kadar hemoglobin di dalam sel darah merah (seperti yang terjadi pada defisiensi besi)

• Kurangnya ketersediaan O2 seperti pada daerah dataran tinggi dan pada penderita pneumonia.

Peningkatan aktivitas eritropoesis ini menambah jumlah sel darah merah dalam darah dengan cara meningkatkan sintesis proeritroblast dan mempercepat proses maturasinya, sehingga terjadi peningkatan kapasitas darah yang dapat mengangkut O2 dan memulihkan penyaluran O2 di jaringan ke tingkat normal. Akan tetapi, proses ini tidak berlangsung secara immediate, melainkan butuh waktu sampai 5 hari sampai sel darah merah yang baru akan terbentuk dan bersirkulasi di peredarah darah.19 Bila keadaan oksigen normal kembali, maka HIF-1 akan terubikuinasi dan terdegradasi oleh proteasom sehingga produksi EPO akan menurun.1,21

Bila ginjal mengalami inflamasi kronik, maka EPO akan menurun. Terjadinya apoptosis sel progenitor erythroid bila terdapat antigen terkait tumor RCAS1 yang juga diproduksi makrofag selama terjadi proses inflamasi. EPO juga menurun pada hampir semua keadaan gagal ginjal kronik

(5)

akibat penurunan jumlah sel penghasil EPO dalam ginjal. Akibatnya, anemia sangat sering ditemukan pada pasien penderita gagal ginjal.1

D. Obstruksi Ureter Bilateral (OUB)1,31

Perubahan hemodinamik pada OUB atau pada satu ginjal yang fungsional berbeda dengan OUU, dimana pada OUB terjadi peningkatan aliran darah ginjal yang tidak sebesar OUU, yang berlangsung paling lama 90 menit dan segera diikuti oleh penurunan yang cepat. Peningkatan awal dari aliran darah ginjal disebabkan oleh peningkatan NO dan platelet-activating factor. Sedangkan penurunan aliran darah ginjal disebabkan oleh peningkatan aktivitas saraf simpatis dan peningkatan ET-1, Angiotensin II, serta TXA2.1

Tekanan ureter lebih tinggi pada OUB dibanding OUU, dimana pada kedua model ini tekanan tubuler meningkat pada 4-5 jam pertama. Setelah itu, pada OUB, tekanan tubuler tetap meningkat sampai dengan paling lama 24 jam. Sebaliknya pada OUU, tekanan tubuler menurun dan mencapai tekanan yang sama dengan tekanan sebelum obstruksi dalam 24 jam. Hal ini disebabkan oleh karena pada OUB, terjadi vasodilatasi arteriol afferen dan vasokonstriksi arteriol efferen yang berlangsung lama. Pada OUU, vasodilatasi afferen berlangsung singkat diikuti oleh vasokonstriksi yang berlangsung lama, sedangkan vasokonstriksi arteriol afferen berlangsung singkat.

Gambar 2 Perbedaan Fase Obstruksi Ureter pada Obstruksi Ureter Unilateral dengan Obstruksi Ureter Unilateral

(6)

Perbedaan patofisiologi keduanya diduga akibat akumulasi substansi vasoaktif pada OUB yang dapat menyebabkan vasodilatasi preglomerular dan vasokonstriksi postglomerular. Hal tersebut tidak terjadi pada OUU oleh karena bahan-bahan vasoaktif akan diekskresi oleh ginjal kontralateral. Atrial natriuretic peptide (ANP) merupakan bahan vasoaktif yang bekerja pada proses ini. ANP menyebabkan dilatasi arteriol afferen dan vasokonstriksi efferen, dengan demikian akan meningkatkan PGC. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya fase poliuri setelah obstruksi

dibebaskan selama fungsi ginjal masih baik, dimana keadaan ini tidak ditemukan pada OUU.

Komplikasi berikutnya dari OSK akibat batu saluran kemih yang umumnya muncul adalah hidronefrosis. Hidronefrosis adalah suatu keadaan pada ginjal yang mengalami pembesaran. Hal ini terjadi akibat adanya obstruksi pada uretropelvic junction (UPJ), kongenital, dan refluks vesicouretral.32 Hidronefrosis dapat timbul akibat adanya peningkatan tekanan pada saluran kemih yang disebabkan secara anatomi atau proses fungsional yang terganggu. Peningkatan tekanan ini akan berkaitan dengan laju filtrasi glomerulus (GFR), fungsi tubuler dan aliran darah ke ginjal. Hal ini akan berujung pada penurunan fungsi ginjal untuk melakukan pengenceran urin. Urin yang diproduksi di ginjal dan akan melewati ureter dan kantung kemih secara normal.32,33,34

Pada keadaan obstruksi pada UPJ, suatu daerah pertemuan antara pangkal proksimal ureter dengan ginjal, urin yang dikeluarkan akan kembali ke dalam ginjal dan akan memperbesar ruangan di ginjal. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kerusakan pada ginjal.33 Apabila hal ini terjadi

dalam jangka waktu yang panjang atau kronik akan timbul kerusakan yang permanen dan menimbulkan atrofi pada ginjal secara irreversibel.33

Selain jangka waktu obstruksi, ukuran dan lokasi dari batu juga mempengaruhi derajat hidronefrosis. Ukuran batu yang lebih besar dapat menutup seluruh lumen ureter akan berpengaruh terhadap derajat hidronefrosis. Lokasi obstruksi juga berpengaruh terhadap derajat hidronefrosis, lokasi obstruksi pada bagian proksimal rongga pelvis membutuhkan ukuran batu lebih kecil daripada bagian distal untuk mencapai derajat hidronefrosis yang hampir dikatakan sama.32,33

Metode

Desain penelitian terpilih adalah studi cross-sectional untuk mengetahui hubungan antara kadar hemoglobin darah dengan kadar kreatinin darah pada penderita urolithiasis. Populasi tar-getnya yaitu pasien dengan urolitihiasis yang berobat ke RSCM.

Penelitian dilakukan di Departemen Urologi RSCM sejak 10 Agustus 2012 hingga 29 April 2013. Populasi target dari penelitian ini adalah pasien batu ureter bilateral di Indonesia dan untuk populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien batu ureter bilateral di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo periode tahun 2009-2011. Sampel berjumlah 101 rekam medis yang telah

(7)

memenuhi kriteria inklusinya yaitu rekam medis pasien dengan urolithiasis di Departemen Urologi pada tahun 2009 hingga 2011, berjenis kelamin laki-laki untuk mencegah perbedaan nilai normal berbagai variabel serta mengalami urolitihiasis pada kedua saluran ureter (bilateral). Rekam medis dieksklusi bila data dalam rekam medis tidak lengkap. Selanjutnya ditentukan kedua jenis variabelnya yaitu kadar hemoglobin darah sebagai variabel terikat dan kadar kreatinin darah sebagai variabel bebas.

Data diambil dengan cara rekam medis pasien dengan urolithiasis diambil oleh peneliti dan kemudian diseleksi kembali dengan melihat kriteria inklusi dan eksklusi yang ditentukan sebelumnya. Rekam medis yang telah dipilih sesuai kriteria selanjutnya dipilih kembali dengan metode consecutive sampling hingga didapatkan jumlah sampel minimal yang telah ditetapkan. Da-ta-data yang dibutuhkan dari rekam medis yang telah diseleksi diambil dan dikumpulkan ke dalam tabel kemudian dianalisis sesuai dengan korelasi yang ingin diketahui. Data-data yang diambil dari rekam medis yaitu kadar hemoglobin darah dan kadar kreatinin darah.

Data akhir yang diperoleh berupa tabel berisi semua data-data yang diperlukan seperti yang tercantum diatas. Data tersebut kemudian akan diubah ke dalam skala kategorik yang telah ditetapkan dalam definisi operasional riset ini. Data tersebut lalu diolah dengan menggunakan PASW Statistics version 18 dimana data akan diuji dengan menggunakan uji Chi-square sebagai uji pembuktian hipotesis. Dalam analisis data, apabila dengan uji Chi-square didapatkan p < 0,05 artinya variabel bebas memiliki hubungan bermakna dengan variabel terikat. Bila p > 0,05 artinya variabel bebas tersebut tidak mempunyai hubungan bermakna dengan variabel terikat.

Hasil

Langkah awal dalam menganalisis data yaitu dengan mengambil dan mengelompokkan 2

variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikatnya untuk kemudian dianalisis hubungannya. Variabel bebasnya yaitu kadar hemoglobin darah pada pasien dengan batu ureter bilateral dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kadar Hb rendah atau anemi dengan syarat Hb < 12 gr/dL dan Hb normal dengan syarat Hb ≥ 12 gr/dL. Variabel terikatnya yaitu kadar kreatinin darah dibagi kembali menjadi 2 kelompok yaitu kadar kreatinin normal dengan range 0,5-1,5 mg/dL dan kadar kreatinin tinggi dengan >1,5 mg/dL.

Dari rekam medis pasien dengan batu ureter di Departemen Uroologi RSCM periode 2009-2011, dikumpukan sebanyak 101 rekam medis pasien yang termasuk dalam kriteria inklusi dan tidak tercakup dalan kriteria eksklusi yang telah ditentukan sebelumnya. Kriteria inklusinya yaitu pasien laki-laki dengan batu ureter bilateral, sedangkan kriteria eksklusi untuk penelitian ini adalah data pada rekam medis tidak lengkap.. Berikut disajikan tabel dengan karakteristik pasien batu ureter bilateral.

(8)

Tabel 4.1 Karakteristik Pasien dengan Batu Ureter Bilateral (n=101)

Jenis Data Range Rerata

Usia (tahun) 32-81 51.25

Kadar hemoglobin darah (g/dL) 4.2-17.8 11.34 ± 2.64

Kadar kreatinin darah (mg/dL) 0.5-46 3.40 ± 5.63

Kemudian data-data yang dibutuhkan sebagai variabel penelitian dikelompokkan seperti yang telah diterangkan sebelumnya dan dianalisis dengan hasil sebagai berikut:

Tabel 4.2 Perbandingan Kadar Hemoglobin dan Kadar Kreatinin Darah pada Penderita Batu Ureter Bilateral Kadar Hb P OR (95% CI 1,455-7,552) Rendah Normal n % n % Kadar kreatinin 0,004 3,314 Tinggi 36 70,6 15 29,4 chi-square test Normal 21 42,0 29 58,0

Berdasarkan status kreatinin, ditemukan sebanyak 70,6% pasien dengan Hb rendah pada pasien dengan status kreatinin tinggi. Sedangkan hanya ditemukan 42,0% pasien dengan Hb rendah pada pasien dengan status kreatinin normal. Pada penelitian ini, dengan metode chi-square

36,  35%  

15,  15%   21,  21%  

29,  29%  

Gambar 4.1 Jumlah dan Presentase Pasien dalam Hubungan Kadar Kreatinin dengan Kadar Hb

Cr  ,nggi,  Hb  rendah   Cr  ,nggi,  Hb  normal   Cr  normal,  Hb  rendah   Cr  normal,  Hb  normal  

(9)

didapatkan nilai p = 0,004 yang artinya terdapat hubungan bermakna secara statistik (p < 0,05) antara kadar kreatinin darah yang tinggi dengan kadar Hb yang rendah. Ditemukan juga odd ratio risiko pada pasien dengan status kreatinin tinggi lebih dari 3 kali lebih tinggi untuk memiliki Hb rendah dibandingkan dengan pasien yang status kreatininnya normal.

Pembahasan

Penelitian ini menggunakan data pasien dengan obstruksi ureter bilateral oleh karena adanya batu ureter. Mekanisme yang terjadi ketika terjadi obstruksi ureter bilateral adalah adanya peningkatan aliran darah ginjal yang tidak sebesar OUU, yang berlangsung paling lama 90 menit dan segera diikuti oleh penurunan yang cepat. Peningkatan awal dari aliran darah ginjal disebabkan oleh peningkatan NO dan platelet-activating factor. Sedangkan penurunan aliran darah ginjal disebabkan oleh peningkatan aktivitas saraf simpatis dan peningkatan ET-1, Angiotensin II, serta TXA2.1

Tekanan ureter akan meningkat pada OUB serta tekanan tubuler meningkat pada 4-5 jam pertama. Setelah itu tekanan tubuler tetap meningkat sampai dengan paling lama 24 jam. Hal ini terjadi sebab vasodilatasi arteriol afferen dan vasokonstriksi arteriol efferen yang berlangsung lama. Vasodilatasi terjadi akibat akumulasi substansi vasoaktif yang dapat menyebabkan vasodilatasi preglomerular dan vasokonstriksi postglomerular. Hal tersebut tidak terjadi pada OUU oleh karena bahan-bahan vasoaktif akan diekskresi oleh ginjal kontralateral. Atrial natriuretic peptide (ANP) merupakan bahan vasoaktif yang bekerja pada proses ini. ANP menyebabkan dilatasi arteriol afferen dan vasokonstriksi efferen, dengan demikian akan meningkatkan PGC. Hal ini dapat

dibuktikan dengan adanya fase poliuri setelah obstruksi dibebaskan selama fungsi ginjal masih baik, dimana keadaan ini tidak ditemukan pada OUU.

Komplikasi berikutnya dari OSK akibat batu saluran kemih yang umumnya muncul adalah hidronefrosis. Hidronefrosis adalah suatu keadaan pada ginjal yang mengalami pembesaran. Hal ini terjadi akibat adanya obstruksi pada uretropelvic junction (UPJ), kongenital, dan refluks vesicouretral.32 Hidronefrosis dapat timbul akibat adanya peningkatan tekanan pada saluran kemih yang disebabkan secara anatomi atau proses fungsional yang terganggu. Peningkatan tekanan ini akan berkaitan dengan laju filtrasi glomerulus (GFR), fungsi tubuler dan aliran darah ke ginjal. Hal ini akan berujung pada penurunan fungsi ginjal.32,33,34 Apabila hal ini terjadi dalam jangka waktu yang panjang atau kronik akan timbul kerusakan yang permanen dan menimbulkan atrofi pada ginjal secara irreversibel.33

Dari hasil penelitian, didapatkan hasil sebagai berikut. Berdasarkan status kreatinin, ditemukan sebanyak 70,6% pasien dengan Hb rendah pada pasien dengan status kreatinin tinggi,

(10)

sedangkan 29,4% sisanya mempunyai Hb normal. Presentasi 70,6% dengan Hb rendah menunjukkan bahwa pada keadaan tersebut diperkirakan kerusakan ginjal telah berlangsung lama sehingga sudah terjadi penurunan kadar Hb, sedangkan 29,4% sisanya yang mempunyai kadar Hb normal diperkirakan kerusakan ginjalnya masih belum signifikan dan ada kemungkinan kerusakan ginjal masih reversibel. Ditemukan juga odd ratio risiko pada pasien dengan status kreatinin tinggi lebih dari 3 kali lebih tinggi untuk memiliki Hb rendah dibandingkan dengan pasien yang status kreatininnya normal. Artinya seseorang dengan kadar kreatinin yang tinggi memiliki risiko 3 kali lipat untuk mengalami anemia daripada orang dengan kadar kreatinin normal.

Fungsi ginjal berkaitan dengan kadar kreatinin dalam darah. Kadar kreatinin serum digunakan secara klinis sebagai parameter fungsi ginjal. Serum kreatinin sendiri dipengaruhi oleh produksi kreatinin dan klirens endogen kreatinin. Serum kreatinin sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor lain seperti umur, jenis kelamin, dan berat badan. Produksi serum kreatinin sebanding dengan berat badan dan berbanding terbalik dengan umur. Produksi serum juga ditemukan lebih tinggi pada pria. Klirens endogen kreatinin berbanding terbalik dengan umur dan ditemukan lebih tinggi pada pria. Serum kreatinin direkomendasikan sebagai evaluasi klinis yang mudah pada keadaan ginjal yang normal atau fungsi ginjal yang berkurang. Ketika keadaan klinis berubah secara cepat, direkomendasikan untuk mengumpulkan kreatinin urin untuk penentuan klirens kreatinin.10

Oleh The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (K/DOQI), anemia pada pasien gagal ginjal kronik didefinisikan bila kadar hemoglobin < 11,0 gr/dL pada wanita premenopause dan prepubertas dan <12.0 gr/dL pada laki-laki dewasa dan wanita postmenopause.3

Anemia pada penderita chronic kidney disease (CKD) atau gagal ginjal kronik sangat sering dijumpai. Nurko et al melakukan review mengenai hubungan anemia pada subjek dengan gagal ginjal kronis. Anemia akan meningkat jumlahnya seiring dengan turunnya fungsi ginjal. Pasien dengan gagal ginjal stadium 3 memiliki prevalensi anemia sebesar 5,2%, dan meningkat menjadi 44,1% pada stadium 4, serta hampir universal pada stadium 5 ketika National Health and Nutrition

Examination Survey (NHANES) melakukan penelitian ketiganya.35

Hal serupa ditemukan pada studi kohort prospektif pada 853 laki-laki dengan CKD stadium 3-5 yang dilakukan oleh Kovesdy et al pada tahun 2006 yang menyatakan bahwa anemia adalah komplikasi umum yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik. Penurunan kadar Hb dalam waktu tertentu berkaitan dengan meningkatknya risiko untuk menuju end-stage renal disease (ESRD). Pada pasien dengan Hb < 11 gr/dL, risiko ESRD meningkat menjadi 2,57 kali lipat dari pasien dengan Hb >13 gr/dL.2

(11)

Penyebab utama dari anemia pada kasus gagal ginjal kronik ialah berkurangnya kadar erythropoietin (EPO). Sel-sel peritubular yang termodifikasi khusus yang memproduksi EPO sebagian atau seluruhnya rusak seiring dengan laju kerusakan ginjal sehingga kadar EPO ditemukan relatif rendah. EPO sendiri diproduksi bila gen tersebut ditranskripsi sebagai akibat dari terikatnya molekul yang bernama hypoxia-inducible factor 1 alpha pada hypoxia-responsive element. EPO dihasilkan bila dalam keadaan oksigen yang relatif rendah sehingga keseimbangan konsumsi dan suplai oksigen menentukan laju produksi EPO. Donnely memperkirakan bahwa penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) akan membuat reaksi fungsional pada gagal ginjal kronik. Jika GFR rendah, maka reabsorbsi natrium menjadi rendah. Reabsorbsi natrium membutuhkan banyak oksigen. Disimpulkan bahwa ada faktor lokal yang mempengaruhi penurunan EPO oleh karena kelebihan oksigen ini. Pasien laki-laki dengan kadar Hb < 12.0 gr/dL harus diperiksa lebih lanjut untuk mengetahui lebih dalam anemianya.35

Hal-hal di atas diperkuat dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Gotloib et al pada tahun 2006. Pada 47 pasien dengan Hb <12,0 gr/dL tanpa penyebab langsung anemia diukur eritrosit dan parameter zat besi dalam darah. Kemudian 250 mg Ferrik glukonat diberikan secara intravena (IV) dan tanpa diberikan EPO. Dinyatakan bahwa defisiensi besi umum terjadi pada pasien dengan gagal ginjal kronik tanpa dialisis dan pemberian zat besi secara intravena akan meningkatkan kadar Hb serum.36

Kesimpulan

Pada pasien laki-laki dengan batu ureter bilateral di RSCM periode 2009-2011, diketahui rerata usia pasien, kadar Hb darah, dan kadar kreatinin darah berturut-turut dengan nilai 51.25 tahun, 11.34 ± 2.64 g/dL, dan 3.40 ± 5.63 mg/dL.

Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar hemoglobin dengan kadar kreatinin darah pada pasien (p=<0,05). Terdapat risiko pasien dengan kadar kreatinin yang tinggi untuk mengalami anemia (OR = 3,318).

Saran

Untuk penelitian berikutnya, disarankan bahwa diperlukan penelitian lanjutan mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal yang lain dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi hemoglobin. Selain itu diperlukan juga penelitian lebih lanjut dengan krite-ria inklusi dan eksklusi yang lebih ketat seperti usia dan lama adanya batu ureter.

(12)

Referensi

1. Wein AJ, et al. Campbell-Walsh Urology [ebook],10th ed. Philadelphia: Elseviers Saunders:2012.p.52,1026,1029-30

2. Kovesdy CP, Trivedi BK, Kalantar-Zadeh K, Anderson JE. Association of anemia with outcomes in men with moderate and severe chronic kidney disease. Kidney Int. 2006 Feb;69(3):560-4.

3. KDOQINational Kidney Foundation: KDOQI Clinical Practice Guidelines and Clinical Practice Recommendations for Anemia in Chronic Kidney Disease. Am J Kidney Dis 47 [Suppl 3]: S11– S145, 2006

4. Sja’bani M. Pencegahan Kekambuhan Batu Ginjal Kalsium Idiopatik dalam Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah ke III Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta; 2001.hal 46-64.

5. Reilly, R.F. The Patient with Renal Stones. Manual of Nephrology. 5 th ed. Philadelphia, 2000; pp : 81-90

6. Statistik Rumah Sakit di Indonesia. Seri 3, Morbiditas dan Mortalitas. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Departemen Kesehatan RI. 2002

7. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. 2008; 328 – 330

8. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, et al: Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Media Aesculapius. 2000;334-335.

9. Tanaka A, Suemaru A, Araki H. A New Approach for Evaluating Renal Function and Its Practical Application. J Pharmacol Sci 105, 1 – 5 (2007)

10. Bjornsson TD. Use of serum creatinine concentrations to determine renal function. Clin Pharmacokinet. 1979 May-Jun;4(3):200-22.

11. Levey AS, Perrone RD, Madias NE. Serum creatinine and renal function. Annu Rev Med. 1988;39:465-90.

12. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 4th ed. US: Saunders; 2006.

13. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. US: FA Davis Company; 2007.

14. Van de Graaf KM. Human anatomy. 6th ed. US: The McGraw-Hill Companies; 2001. 15. Sherwood L. Human phsyiology. 7th ed. 2010. US : Brooks/Cole.

16. Novak PD. Buku saku kedokteran dorland. Ed.25. 1996. Jakarta : EGC. Hal.399

17. Hoffbrand AV, Moss PAH, Pettit JE. Essential Haematology. 5th Ed. USA: Blackwell Publishing: 2006. p. 12-4.

(13)

18. Guyton AC, et al. Guyton and hall textbook of medical phsyiology. 12th Ed. Philadelphia : Saunders. [e-book]

19. Lotan Y, Pearle MS. Economics of Stone Management. EAU Update Series 2005; 3(1):51-60 20. Mustafa G. Erythropoesis. Diakses dari daactarbhatti.weebly.com pada tanggal 15 Mei 2012

pukul 19.00

21. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins Basic Pathology. 8th Edition. Philadelphia:Saunders; 2007.p.571-572

22. Yayasan Spiritia. Tes Fungsi Ginjal. Diakses di http://spiritia.or.id/li/pdf/ LI136.pdf pada tanggal 1 Juni 2013

23. Sja’bani M. Pencegahan Kekambuhan Batu Ginjal Kalsium Idiopatik dalam Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah ke III Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta; 2001.hal 46-64.

24. Chohan S, Becker MA. Emerging urate-lowering therapies. Current Opinion in Rheumatology 2009; 21(2):143-9

25. Reilly, R.F. The Patient with Renal Stones. Manual of Nephrology. 5 th ed. Philadelphia, 2000; pp : 81-90.

26. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, et al: Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Media Aesculapius. 2000;334-335.

27. O’Reilly P.H. Urinary tract obstruction. Medicine 2007;35:420-422.

28. Wen JG, Frokiaer J, Jorgensen TM, et al. Obstructive nephropathy : an update of the experimental research. Urol. Res. 1999;27:29-39

29. Klahr S. Obstructive nephropathy. Kidney Int .1998;54:286-300.

30. Nguyen H.T, Kogan B.A. Upper Urinary tract obstruction: experimental and clinical aspects. Brit. J Urol.1998;81:13-21.

31. Schlueter W, Batlle DC. Chronic obstructive nephropathy. Sem. Nephrol. 1988;8:17-28.

32. Lusaya DG. Hydronephrosis and hydroureter. Diunduh dari :

http://emedicine.medscape.com/article/436259-overview#a0104 dan diakses pada tanggal 12 Juni 2012 pukul 16.15 WIB.

33. Seitz C, tanovic E, Kikiac Z, Fajkovic H. Impact of stone size, location, composition, impaction, and hydronephrosis on the efficacy of holmium: YAG-laser ureterolithotripsy. 2007. European association of urology. European urology 52 (2007) 1751-1759.

34. Grasso M. Ureteropelvic junction obstruction. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com/article/450785-overview#a0102 dan diakses pada 12 Juni 2012 pada pukul 18.18 WIB.

(14)

35. Nurko S. Anemia in chronic kidney disease: Causes, diagnosis, treatment. Cleveland Clinic Journal Of Medicine.2006;73(3):289-97

36. Gotloib L, Silverberg D, Fudin R, Shostak A. Iron deficiency is a common cause of anemia in chronic kidney disease and can often be corrected with intravenous iron. J Nephrol. 2006 Mar-Apr;19(2):161-7.

   

Gambar

Gambar 1 Produksi Eritropoietin oleh Ginjal sebagai Respon Pasokan Oksigen
Gambar 2 Perbedaan Fase Obstruksi Ureter pada Obstruksi Ureter Unilateral dengan Obstruksi  Ureter Unilateral
Tabel 4.2 Perbandingan Kadar Hemoglobin dan Kadar Kreatinin Darah pada Penderita Batu Ureter  Bilateral  Kadar Hb  P  OR (95% CI  1,455-7,552) Rendah Normal  n  %  n  %  Kadar  kreatinin  0,004  3,314     Tinggi  36  70,6  15  29,4  chi-square  test     No

Referensi

Dokumen terkait

Abstract: The purpose of this research is to explain the effect either directly or indirectly directly from the brand love mediation variables on the relationship of brand

Penelitian dilaksanakan pada Sekolah Dasar Kota Padang, dengan sampel Sekolah Dasar Negeri Percobaan Kota Padang (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional), Sekolah

Kuat tekan optimum beton ber silica fume sebesar 51,35 MPa pada umur 56 hari. diperoleh pada kadar silica fume 9% sebagai

Benda uji di lapangan yang digunakan adalah silinder 15cm x 30cm, seiring modernnya zaman dimensi benda uji dapat diperkecil dengan menggunakan cetakan silinder diameter

Strategi pembelajaran POE (Predict Observe Explain) merupakan salahsatu strategi pembelajaran yang baik untuk digunakan pada pembelajaran IPA terutama materi gaya. Pada saat

Hamzah B. Setelah kedua data terkumpul kemudian dilakukan uji dengan menggunakan teknik uji regresi. Dari teknik uji regresi akan diperoleh data yang membuktikan secara empiris

For example, 50% or less of the textbooks cover the topics of current state mapping, future state mapping, standardized work and the four rules of TPS—all topics that headed the list

Mengesahkan Agreement Establishing the International Islamic Trade Finance Corporation (Persetujuan Pendirian Korporasi Pembiayaan Perdagangan Islam Internasional), yang