ANALISIS KADAR LOGAM KOBALT(Co) DAN NIKEL (Ni)
DALAM ABU TERBANG HASIL PEMBAKARAN
BATUBARA DARI DUA LOKASI DENGAN
METODE SPEKTROFOTOMETRI
SERAPAN ATOM
SKRIPSI
RICCA JASMINE
070802037
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS KADAR LOGAM KOBALT(Co) DAN NIKEL (Ni) DALAM ABU TERBANG HASIL PEMBAKARAN BATUBARA DARI DUA LOKASI
DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
RICCA JASMINE 070802037
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERSETUJUAN
Judul : ANALISIS LOGAM KOBALT (Co) DAN NIKEL
(Ni) DALAM ABU TERBANG HASIL
PEMBAKARAN BATUBARA DARI DUA LOKASI DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM
Kategori : SKRIPSI
Nama : RICCA JASMINE
Nomor Induk Mahasiswa : 070802037
Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA
Departemen : KIMIA
Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Prof. Dr. Harry Agusnar,M.Sc,M.Phill Prof.Dr.Harlem Marpaung NIP. 1953081719830311002 NIP. 194804141974031001
Diketahui/Disetujui oleh
Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,
PERNYATAAN
ANALISIS LOGAM KOBALT(Co) DAN NIKEL(Ni) DALAM ABU TERBANG HASIL PEMBAKARAN BATUBARA DARI DUA LOKASI DENGAN
METODE SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing- masing disebutkan sumbernya.
Medan, Juli 2011
PENGHARGAAN
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat kasih
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Analisis Kadar Logam Kobalt (Co) dan Nikel (Ni) Dalam Abu Terbang Hasil
Pembakaran Batubara Dari Dua Lokasi dengan Metode Spektrofotometri Serapan
Atom”.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis mendapatkan banyak bimbingan,
bantuan dan dorongan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak
langsung sehingga kesulitan yang penulis hadapi dapat teratasi. Dengan kerendahan
hati penulis menyampaikan ucapan Terima Kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof.Dr. Harlem Marpaung selaku Pembimbing 1 dan selaku Kepala
Laboratorium bidang Kimia Analitik FMIPA USU dan Bapak Prof.Dr.Harry
Agusnar,M.Sc,M.Phill selaku Pembimbing 2 yang telah meluangkan waktunya
untuk memberikan bimbingan dan saran kepada penulis selama melakukan
penelitian dan penyusunan skripsi ini.
2. Ketua dan Sekretaris Departemen Kimia FMIPA USU, Ibu Dr. Rumondang
Bulan Nst,M.Sc dan Bapak Drs.Albert Pasaribu,M.Sc, dan Bapak Drs.Firman
Sebayang, MS selaku dosen wali yang telah membimbing penulis selama
mengikuti perkuliahan di FMIPA USU Medan.
3. Kepada seluruh asisten Laboratorium Kimia Analitik serta kak Tiwi selaku
analis Laboratorium Kimia Analitik dan rekan- rekan kuliah stambuk 2007
yang tiodak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan banyak
dukungan dan perhatian kepada penulis.
4. Terima Kasih yang teristimewa, untuk Ayah tersayang Drs.Sumandi Widjaja,
SE,SH dan Ibu tersayang Mayumi Suhardi untuk doa dan kasihnya, serta
saudara- saudara tercinta dan seluruh keluarga.
Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat dalam rangka member pembelajaran
pada penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Semoga Tuhan Yang
ABSTRAK
Abu terbang dan abu dasar yang dihasilkan dari penggunaan batubara sebagai sumber energi alternatif di berbagai industri mengandung logam-logam berat yang berbahaya bagi lingkungan. Untuk menggunakan abu batubara sebagai bahan dasar pembuatan material lain, konsentrasi dari logam- logam berat dalam abu terbang harus diketahui terlebih dahulu. Dalam penelitian ini telah dianalisis konsentrasi logam kobalt dan nikel dari dua lokasi dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom ( SSA ). Abu terbang didestruksi dengan menggunakan campuran dari HF dan HNO3 pekat. Hasil
THE ANALYSIS OF COBALT ( Co ) AND NICKEL ( Ni ) IN FLY ASH FROM TWO LOCATION BY USING ATOMIC ABSORPTION
SPECTROPHOTOMETRIC ( AAS ) METHOD
ABSTRACT
DAFTAR ISI
1.1.Latar belakang 1
1.2.Permasalahan 3
1.3.Pembatasan Permasalahan 4
1.4.Tujuan Penelitian 4
1.5.Manfaat Penelitian 4
1.6.Lokasi Penelitian 4
1.7.Metodologi Penelitian 4
Bab 2. Tinjauan Pustaka
2.1.Batubara 6
2.1.1. Proses pembentukan batubara 7
2.1.2. Jenis-jenis batubara 8
2.1.3. Dampak penggunaan batubara terhadap lingkungan 9
2.2.Abu terbang 10
2.2.1. Jenis- jenis abu terbang 11
2.2.2. Komposisi kimia dan karakteristik abu terbang 11
serta analisisnya 14
2.4. Toksinitas logam kobalt dan nikel
2.4.1. Nikel (Ni) 17
2.4.2. Kobalt (Co) 17
2.5. Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) 18
2.5.1. Instrumentasi 18
2.5.2. Gangguan 18
2.5.2.1. Gangguan spektral 19
2.5.2.2. Gangguan kimia 19
Bab 3. Metodologi Penelitian
3.1. Alat dan bahan
3.1.1. Alat 20
3.1.2. Bahan 21
3.2. Prosedur penelitian
3.2.1. Sampling 22
3.2.2. Pembuatan larutan standar kobalt 100mg/L 22
3.2.2.1. Pembuatan larutan standar kobalt 10 mg/L 23
3.2.2.2. Pembuatan larutan standar kobalt 1 mg/L 23
3.2.2.3. Pembuatan Larutan Seri Standar Kobalt 0,1;0,3;0,5;0,7
dan 0,9 mg/L 23
3.2.2.4. Pembuatan kurva standar 23
3.2.3. Pembuatan larutan standar nikel 100mg/L 23
3.2.2.1. Pembuatan larutan standar nikel 10 mg/L 24
3.2.2.2. Pembuatan larutan standar nikel 1 mg/L 24
3.2.2.3. Pembuatan Larutan Seri Standar nikel 0,1;0,3;0,5;0,7
dan 0,9 mg/L 24
3.2.2.4. Pembuatan kurva standar 24
3.2.4. Destruksi abu terbang 24
3.3. Bagan penelitan 25
3.3.1. Preparasi sampel 26
3.3.2. Pembuatan larutan seri standar dan kurva kalibrasi kobalt (Co) 27
Bab 4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Hasil penelitian 29
4.2. Pengolahan data
4.2.1. Penurunan persamaan garis regresi dengan metode Least Square
untuk logam nikel 32
4.2.2. Koefisien korelasi ( Nikel ) 33
4.2.3. Penentuan konsentrasi ( Nikel ) 34
4.2.4. Penurunan persamaan garis regresi dengan metode Least Square
untuk logam kobalt 35
4.2.5. Koefisien korelasi ( Kobalt ) 37
4.2.6. Penentuan konsentrasi ( Kobalt ) 37
4.2.7. Penentuan kadar logam kobalt(Co) yang terkandung dalam
abu terbang dalam mg/kg 38
4.2.8. Penentuan kadar logam Nikel (Ni) yang terkandung dalam
abu terbang dalam mg/kg 39
4.3. Pembahasan 39
Bab 5. Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan 42
5.2. Saran 42
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Komposisi elemen dari berbagai tipe batubara 7
Tabel 2.2. Komposisi kimia dari abu terbang batubara 11
Tabel 4.3. Kondisi alat SSA Merek Shimadzu tipe AA-6300 pada pengukuran
Konsentrasi ion Nikel 30
Tabel 4.4. Kondisi alat SSA Merek Shimadzu tipe AA-6300 pada pengukuran
Konsentrasi ion kobalt 30
Tabel 4.5. Data absorbansi larutan seri standar nikel 30
Tabel 4.6. Data absorbansi larutan seri standar kobalt 31
Tabel 4.7. Data hasil pengukuran absorbansi kobalt dan nikel pada sampel 32
Tabel 4.8. Penurunan persamaan garis regresi dengan metode Least Square
untuk Nikel 32
Tabel 4.9. Penurunan persamaan garis regresi dengan metode Least Square
untuk Kobalt 35
Tabel 4.10. Kadar logam kobalt dan nikel dalam abu terbang di beberapa Negara 38
Tabel 4.11. Batas kadar logam kobalt dan nikel dalam tanah, air dan tubuh
manusia 42
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Skema bagan alat Spektrofotometer Serapan Atom 18
Gambar 4.2. Kurva kalibrasi larutan seri standar nikel 31
Gambar 4.3. Kurva kalibrasi larutan seri standar kobalt 32
Gambar 4.4. Konsentrasi logam nikel dalam sampel 36
ABSTRAK
Abu terbang dan abu dasar yang dihasilkan dari penggunaan batubara sebagai sumber energi alternatif di berbagai industri mengandung logam-logam berat yang berbahaya bagi lingkungan. Untuk menggunakan abu batubara sebagai bahan dasar pembuatan material lain, konsentrasi dari logam- logam berat dalam abu terbang harus diketahui terlebih dahulu. Dalam penelitian ini telah dianalisis konsentrasi logam kobalt dan nikel dari dua lokasi dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom ( SSA ). Abu terbang didestruksi dengan menggunakan campuran dari HF dan HNO3 pekat. Hasil
THE ANALYSIS OF COBALT ( Co ) AND NICKEL ( Ni ) IN FLY ASH FROM TWO LOCATION BY USING ATOMIC ABSORPTION
SPECTROPHOTOMETRIC ( AAS ) METHOD
ABSTRACT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Badan lingkungan hidup (BLH) Sumatera Utara berupaya mencari solusi untuk
mengatasi limbah abu yang dihasilkan dari 40 perusahaan di Kawasan Industri
Medan ( KIM) (Harian Analisa,23 Agustus 2010). Penggunaan batubara untuk tiap
industri sekitar 200 ton per hari, dan bila diakumulasikan di kawasan KIM industri
yang menggunakan batubara bisa mencapai 8000 ton per hari, atau sekitar 240 ribu
ton per bulan. Apabila limbah dalam jumlah yang besar ini tidak diantisipasi dan
hanya ditumpuk di areal perusahaan masing-masing, abu yang dihasilkan akan
menumpuk dan memakan banyak tempat sehingga harus dipikirkan pemanfaatannya
(misalnya sebagai bahan pembuatan batako) . Abu batubara yang dihasilkan akan
menjadi penyebab limbah Bahan Berbahaya dan Beracun ( B-3) yang dapat merusak
kesehatan manusia. PP No 85 tahun 1999 menyatakan bahwa abu terbang dan abu
dasar yang dihasilkan dari hasil pembakaran batubara termasuk dalam jenis limbah
B-3 yang pemanfaatannya harus mendapat izin pemanfaatan dari Kementerian
Lingkungan Hidup ( Analisa , 23 Agustus 2010).
Abu terbang hasil pembakaran batubara umumnya disimpan sementara pada
pembangkit listrik tenaga batubara, dan akhirnya dibuang di landfill( tempat
pembuangan ). Penumpukan abu terbang batubara ini menimbulkan masalah bagi
kesehatan dan lingkungan. Oleh karena itu dilakukan berbagai penelitian untuk
meningkatkan nilai ekonomisnya, sehingga dapat mengurangi dampak buruknya
Abu terbang batubara mengandung logam berat Al, Ca, Fe, K, Mg, Mn, Na, P,
Si, As, Ba, Cr, Hg, Mo, Ni, Co, Pb, Se, V, Zn, dan Cu ( Shapiro, 1975 ; Brown, W. )
Untuk menggunakan abu terbang sebagai bahan dasar pembuatan material lain
konsentrasi logam- logam berat harus diketahui terlebih dahulu. Dalam penelitian ini
ditentukan kadar logam kobalt dan nikel yang merupakan logam yang terkandung
dalam abu terbang dan termasuk dalam kategori Bahan Beracun dan Berbahaya.
Logam berat yang terkandung dalam abu terbang batubara diantaranya adalah
logam nikel dan kobalt. Menurut US Department of Health and Human Services, batas
kadar logam nikel dalam tanah, air, dan tubuh manusia adalah 4-80ppm; 0,3-1,0 ppm
dan 0,02 mg/kg/hari; dan 1-20 ppm; 0,5-10 ppm dan 0,7-2,0 mg/kg/hari, dan untuk
logam kobalt adalah 1-20 ppm; 0,5-10ppm; dan 0,7-2,0 mg/kg/hari (US Department of
Health and Human Services,2005).
Kobalt dikenal sebagai perangsang pembentukan sel darah merah yang baik.
Ion kobalt +2 dalam kobalt klorida diketahui dapat meningkatkan produksi sel darah
merah. Kobalt dalam bentuk Vitamin B12 juga mendukung proses metabolisme dan
pembentukan sel darah merah. Tetapi apabila kandungan kobalt yang diserap dalam
tubuh berlebih maka akan menyebabkan serangan jantung, asma, gangguan
pernafasan dan kanker paru-paru. Kelebihan kobalt dalam tanah juga akan
menyebabkan terbentuknya co-carbonat yang stabil dan hidroksida yang tidak bisa
diabsorpsi oleh hewan dan tumbuhan (Perez-Espinosa,2004).
Nikel diketahui memiliki peranan penting dalam biologis mikroorganisme dan
tumbuhan. Hal ini dibuktikan bahwa dalam urease(enzim yang berperan dalam
hidrolisis urea) mengandung nikel. Tetapi apabila kandungan nikel yang diserap
dalam tubuh berlebih akan menyebabkan gangguan pernafasan,asma,sakit
perut,kidney (kadar protein berlebih dalam urin), kanker, dan gangguan kehamilan.
Gangguan dari efek logam nikel yang paling sering adalah alergi. Kira-kira 10-20%
dari populasi menunjukkan reaksi alergi terhadap nikel. Dari beberapa orang yang
mengalami alergi menunjukkan adanya gangguan pada kulit di sekitar kulit yang
bronchitis kronik gangguan fungsi paru-paru dan kanker hati ( US Department of
Health and Human Services,2005)
Dalam penelitian ini abu terbang batubara dikumpulkan dengan menggunakan
Electrostatic Precipitator (ESP). Sampel diambil secara purposif. Analisis logam
kobalt dan nikel dalam abu terbang dilakukan dengan melebur terbang pada suhu
600oC, dan kemudian didestruksi dengan menggunakan campuran asam HF dan HNO3 sebanyak masing- masing 2mL dan 5mL. Hasil yang diperoleh kemudian
dipanaskan pada suhu 80oC dan diaduk selama 20 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh kemudian diencerkan pada labu takar 50mL, dan kadar logam
kobalt dan nikel ditentukan dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom ( SSA)
(Sushil,2005).
1.2. Permasalahan
Sesuai dengan pernyataan Badan Lingkungan Hidup yang telah diuraikan diatas,
bahwa logam berat yang terkandung dalam abu terbang yang dihasilkan dari
pembakaran batubara, mengandung limbah B-3 dan dapat membahayakan kesehatan
manusia. Karena besarnya jumlah abu terbang yang dihasilkan oleh industri maka
abu terbang ini harus dimanfaatkan dan kadar logam-logam berat yang terkandung
dalam abu terbang perlu dianalisa. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dihitung
kadar logam berat kobalt dan nikel dalam abu terbang batubara dari dua lokasi
1.3. Pembatasan Permasalahan
1. Penelitian ini dibatasi pada penentuan kadar logam kobalt dan Nikel dari
sampel abu terbang
2. Sampel abu terbang yang digunakan berasal dari dua lokasi yang berbeda
3. Penentuan kadar logam kobalt dan Nikel dengan menggunakan alat
Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) dengan λspesifik 232nm untuk logam
Nikel, dan 240,7nm untuk logam kobalt.
1.4. Tujuan Penelitian
Untuk menentukan perbedaan kadar logam kobalt dan nikel yang terkandung pada
abu terbang hasil pembakaran batu bara dari dua lokasi.
1.5. Manfaat Penelitian
Adapun penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi kadar logam berat
kobalt dan nikel yang terkandung dalam abu terbang hasil pembakaran batubara.
1.6. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik, Universitas Sumatera Utara,
fakultas MIPA, Medan.
1.7. Metodologi Penelitian
Abu terbang batubara dikumpulkan dengan Electrostatic Precipitator (ESP).
Pengambilan sampel dilakukan secara purposif dari dua lokasi, lalu abu terbang
diayak terlebih dahulu dengan ayakan 100 Mesh dan kemudian peleburan dimulai
Hasil leburan abu terbang tersebut didestruksi dengan pelarut HF dan HNO3
dan kemudian dipanaskan sambil diaduk pada suhu 80oC selama 20 menit. Hasil destruksi tersebut kemudian disaring, dan filtrat yang diperoleh kemudian
diencerkan dengan akuades pada labu takar 50mL. Hasil yang diperoleh kemudian
dianalisa dengan instrumen Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) pada
λ
spesifik 232nm untuk nikel, dan 240,7 nm untuk kobalt. Kandungan kadar logam diukur dengan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Batubara
Batubara merupakan suatu jenis mineral yang tersusun atas karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen, sulfur, dan senyawa- senyawa mineral ( Kent.A.J,1993). Batubara digunakan
sebagai sumber energi alternatif untuk menghasilkan listrik. Pada pembakaran
batubara, terutama pada batubara yang mengandung kadar sulfur yang tinggi,
menghasilkan polutan udara, seperti sulfur dioksida, yang dapat menyebabkan
terjadinya hujan asam. Karbon dioksida yang terbentuk pada saat pembakaran
berdampak negatif pada lingkungan (Achmad.R,2004).
Sampai pada abad ke 20, para ahli kimia hanya mengetahui sedikit tentang
komposisi dan struktur molekul dari beragam jenis batubara, dan hingga 1920, mereka
masih meyakini bahwa komposisi batubara terutama didominasi oleh karbon yang
dicampur dengan hidrogen, dan dengan beberapa impurities(zat pengotor). Dua
metode analisis dan pemisahan batubara yang mereka gunakan, diantaranya adalah
destilasi destruktif dan ekstraksi pelarut menunjukkan bahwa batubara hanya
mengandung karbon, dan konsentrasi hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sulfur yang
lebih sedikit. Adanya kandungan senyawa anorganik seperti aluminium dan silikon
oksida akan menghasilkan abu pada hasil pembakaran batubara. Proses destilasi akan
menghasilkan tar, air, dan gas. Hidrogen merupakan komponen utama dari gas yang
dihasilkan, walaupun amonia, gas karbon monoksida dan dioksida, benzen dan
beberapa uap gas hidrokarbon juga terbentuk.
2.1.1. Proses pembentukan batubara
Batubara terbentuk dari tanaman yang telah tertimbun di dalam tanah dan terjaga pada
tekanan yang tinggi dan pemanasan dalam jangka waktu yang lama. Tanaman
mengandung kandungan selulosa yang tinggi. Setelah tanaman dan pepohonan
tersebut tertimbun dalam jangka waktu tertentu di dalam tanah akan terjadi perubahan
kimia yang merendahkan kadar oksigen dan hidrogen dari molekul selulosa tersebut
(Zumdahl,1997).
Para pakar geologis meyakini bahwa proses pengendapan batubara di dalam
tanah terbentuk sekitar 250-300 juta tahun yang lalu, ketika sebagian besar bumi
masih dilapisi oleh hutan dan pepohonan yang lebat. Pohon dan tanaman tersebut akan
mengalami proses regenerasi dimana bagian dari tanaman yang berguguran akan
tertimbun dalam lapisan tanah, dan proses ini akan mengakibatkan penurunan kadar
oksigen dan hidrogen secara bertahap pada molekul selulosa tersebut
Selama degradasi dari tanaman yang telah mati, dekomposisi dari protein, pati,
dan selulosa lebih cepat daripada dari bahan kayu. Pada berbagai tingkat, dan dengan
berbagai kondisi iklim yang berbeda, konstituen dari tanaman akan terdekomposisi
dalam kondisi aerob membentuk karbon dioksida, air, dan ammonia. Proses ini
disebut “humifikasi” dan akan membentuk gambut. Gambut ini kemudian tertutup
oleh lapisan sedimen, tanpa adanya udara, dan karenanya tahap kedua dari proses
pembentukan batubara terjadi dalam kondisi anaerob. Pada tahap kedua, proses
gabungan antara temperatur, tekanan, dan waktu akan mengubah lapisan gambut
menjadi brown coal ( lignit), dan kemudian sub-bituminus, dan kemudian membentuk
antrasit. Jenis-jenis batubara ini umumnya disebut dengan batubara hitam ( black coals).
Dalam kondisi yang paling basah ( lembab) akan dihasilkan batubara dengan
mutu yang paling rendah, batubara coklat ( lignit). Pada temperatur dan tekanan yang
lebih tinggi dan dengan waktu yang cukup, akan membentuk batubara subbituminus,
2.1.2. Jenis-jenis batubara
Batubara dapat digolongkan menjadi 4 jenis tergantung dari umur dan lokasi
pengambilan batubara, yakni lignit, subbituminous, bituminous, dan antrasit, dimana
masing- masing jenis batubara tersebut secara berurutan memiliki perbandingan C : O
dan C : H yang lebih tinggi. Antrasit merupakan batubara yang paling bernilai tinggi,
dan lignit, yang paling bernilai rendah.
1. Lignit ; disebut juga brown-coal, merupakan tingkatan batubara yang paling
rendah, dan umumnya digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit
listrik.
2. Subbituminous ; umum digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga uap.
Subbituminous juga merupakan sumber bahan baku yang penting dalam
pembuatan hidrokarbon aromatis dalam industri kimia sintetis.
3. Bituminous ; mineral padat, berwarna hitam dan kadang coklat tua, sering
digunakan dalam pembangkit listrik tenaga uap.
4. Antrasit ; merupakan jenis batubara yang memiliki kandungan paling tinggi
dengan struktur yang lebih keras serta permukaan yang lebih kilau dan sering
digunakan keperluan rumah tangga dan industri.
Tabel 2.1. Komposisi elemen dari berbagai tipe batubara
Komposisi Elemen dari Beberapa tipe Batubara
2.1.3. Dampak penggunaan batubara terhadap lingkungan
Batubara merupakan bahan bakar utama untuk menghasilkan tenaga listrik,
karena biayanya yang relatif murah dan mudah didapatkan karena produknya yang
berlimpah. Di lain pihak, pembakaran batubara dapat menyebabkan emisi logam
seperti As, Hg, Cd, dan Pb. Besar kecilnya kandungan logam juga berbeda- beda dan
bergantung pada asal produksinya. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa batubara
lignit ( asal kayu ) dan batubara subbituminus ( asal batuan ) kurang mengandung
logam- logam tersebut daripada batubara bituminous ( mineral asli ).
Selama proses pembakaran, bagian batubara yang mudah menguap akan
berbentuk gas di dalam boiler dan mengumpul dalam partikel aerosol. Suhu
pembakaran dalam boiler merupakan salah satu parameter yang penting dalam
memengaruhi jumlah logam yang terbebaskan. Makin tinggi suhu dalam boiler, makin
banyak logam yang terbebaskan. Sistem filter juga dipergunakan dalam mengurangi
emisi logam ke udara, yaitu dengan menggunakan electrostatic precipitator ( ESP )
dan scrubber basah yang dipasang pada buangan asap pembangkitlistrik tenaga
batubara ( Darmono, 2001).
Sulfur oksida ( SOx) dan nitrogen oksida ( NOx) hasil pembakaran batubara
dan bahan bakar fosil lainnya yang terdapat di udara akan bereaksi dengan molekul –
molekul uap di atmosfir membentuk asam sulfat ( H2SO4) dan asam nitrat ( HNO3)
yang selanjutnya akan turun ke permukaan bumi bersama – sama dengan air hujan,
yang dikenal dengan hujan asam. Hujan asam dapat mengakibatkan rusaknya
bangunan dan berkaratnya benda- benda yang terbuat dari logam, selain itu hujan
asam juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan terutama pengasaman (
acidification ) danau dan sungai, pH dibawah 4.5 tidak memungkinkan bagi ikan
untuk hidup. Asam di air akan menghambat produksi enzim dari larva ikan untuk
keluar dari telurnya. Asam juga mengikat logam beracun seperti aluminium di danau.
Aluminium akan menyebabkan produksi lender yang berlebihan pada insang sehingga
Pembakaran batubara akan menghasilkan abu terbang ( fly ash ) dan abu dasar
( bottom ash ). Jumlah abu terbang yang dihasilkan lebih banyak ( 80% dari total sisa
abu pembakaran batubara), butiran abu terbang jauh lebih kecil ( 200 Mesh) dan lebih
berpotensi menimbulkan pencemaran udara, sedangkan abu dasar masih mempunyai
nilai kalori sehingga masih dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan bakar (
Munir.M,2008).
2.2. Abu terbang
Abu terbang merupakan salah satu residu (limbah batubara) yang dihasilkan dalam
pembakaran batu bara. Abu terbang terdiri dari partikel halus yang terbang, dan
jumlahnya meningkat dengan bertambahnya gas buangan. Abu tidak terbang disebut
dengan abu dasar. Dalam industri, abu terbang biasanya mengacu pada abu yang
dihasilkan selama proses pembakaran batu bara. Abu terbang umumnya dihasilkan
dari cerobong hasil pembakaran batubara pada pabrik pembangkit listrik. Abu terbang
bersama- sama dengan abu dasar akan dihasilkan dalam tungku pembakaran batubara,
yang dikenal sebagai abu hasil pembakaran batubara. Komponen abu terbang sangat
bervariasi, dengan komponen utama silikon dioksida ( SiO2 ) ( baik amorf maupun
kristal), dan kalsium oksida ( CaO ).
Abu terbang hasil pembakaran batubara mumnya dilepaskan ke atmosfir tanpa
adanya pengendalian, sehingga dapat menimbulkan pencemaran udara. Oleh karena
itu diperlukan adanya perhatian terhadap lingkungan dan pengendalian pencemaran
terhadap abu terbang sebelum dilepaskan ke alam. Di Amerika, abu terbang umumnya
disimpan sementara pada pembangkit listrik tenaga batubara, dan akhirnya dibuang di
landfill( tempat pembuangan ). Penumpukan abu terbang batubara ini menimbulkan
masalah bagi lingkungan. Oleh karena itu dilakukan berbagai penelitian untuk
meningkatkan nilai ekonomisnya, sehingga dapat mengurangi dampak buruknya bagi
2.2.1.Jenis- jenis abu terbang
Menurut American Society for Testing and Materials ( ASTM ) C618, pembagian abu
terbang dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu abu terbang kelas C dan abu terbang
kelas F. Abu terbang kelas F didapatkan dari pembakaran batubara antrasit dan
bituminous, sedangkan abu terbang kelas C didapatkan dari pembakaran batubara
lignit dan subbituminus ( ASTM C618).
Pembakaran dari batubara antrasit dan bituminous yang lebih kuat dan lebih
tua akan menghasilkan abu terbang kelas F. Abu terbang jenis ini mengandung kurang
dari 10% kapur ( CaO ). Abu terbang kelas F membutuhkan agen penyemenan (
cementing agent ), seperti misalnya semen Portland, kapur, dan dengan adanya air
untuk bereaksi dan menghasilkan senyawa semen.
Pembakaran dari batubara lignit dan subbituminus yang lebih muda akan
menghasilkan abu terbang kelas C, yang memiliki sifat penyemenan sendiri (
self-cementing ), yang dengan penambahan air, abu terbang kelas C akan mengeras dan
semakin kuat. Abu terbang kelas C mengandung lebih dari 20%
CaO(http://en.wikipedia.org/wiki/Fly_ash).
2.2.2. Komposisi kimia dan karakteristik abu terbang
Ukuran dan bentuk karakteristik dari partikel abu terbang sangat bergantung pada
tempat asal dan kesamaan dari batubara, derajat penghancuran sebelum dibakar,
pembakaran yang merata dan sistem padat, berlubang atau bola. Pembakaran batubara
dapat menghasilkan abu terbang dengan berbagai macam warna, hal ini sangat
bergantung pada suhu di dalam tungku pada saat pembakaran. Proses pembakaran ini
memiliki peranan paling penting terhadap mutu abu terbang yang dihasilkan. Abu
terbang akan berwarna kehitam-hitaman apabila suhu pada saat pembakaran kurang
2.2.3. Dampak abu terbang terhadap lingkungan
Sisa hasil pembakaran batubara menghasilkan abu terbang dan abu dasar. Persentase
abu yang dihasilkan adalah abu terbang (80-90%) dan abu dasar (10-20%). Butiran
abu terbang jauh lebih kecil daripada abu dasar, sehingga lebih berpotensi
menimbulkan pencemaran udara, sedangkan abu dasar masih mempunyai nilai kalori,
sehingga masih dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan bakar.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1999 dan Peraturan
Pemerintah nomor 85 tahun 1999, abu batubara diklasifikasikan sebagai limbah B-3
sehingga penanganannya harus memenuhi kaidah-kaidah tersebut. Penanganan yang
direkomendasikan Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1999 dan Peraturan
Pemerintah nomor 85 tahun 1999 adalah solidifikasi dimana dengan proses tersebut
limbah B-3 dalam abu batubara dapat menjadi stabil dan dapat dimanfaatkan sebagai
produk yang aman bagi kesehatan dan lingkungan.
Pemanfaatan limbah B-3 adalah kegiatan penggunaan kembali (reuse), daur
ulang (recycle), dan perolehan kembali ( recovery) yang bertujuan untuk mengubah
limbah B-3 menjadi produk yang dapat digunakan dan harus aman terhadap
lingkungan.
• Reuse adalah penggunaan kembali limbah B-3 dengan tujuan yang sama tanpa
melalui proses tambahan secara fisika, kimia, biologi, ataupun secara termal.
• Recycle adalah proses mendaur ulang komponen-komponen yang bermanfaat,
melalui proses tambahan secara fisika, kimia, biologi, atau secara termal untuk
menghasilkan produk yang sama ataupun produk yang berbeda
• Recovery adalah perolehan kembali komponen- komponen yang bermanfaat
secara fisika, kimia, biologi, ataupun secara termal
Limbah bahan berbahaya dan Beracun (B-3) adalah setiap limbah yang
mengandung bahan berbahaya dan beracun karena sifat, konsentrasi, dan jumlahnya
baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan merusakkan
lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup
tersebut secara langsung ke media lingkungan tanpa pengelolaan terlebih dahulu, dan
juga tidak boleh melakukan pengenceran untuk maksud menurunkan konsentrasi
racun dan zat berbahaya B-3, karena pada hakekatnya pengenceran tidak mengurangi
beban pencemaran yang ada, dan tetap sama dengan sebelum dilakukan pengenceran.
Pengenceran tidak akan menghilangkan sifat berbahaya dan beracunnya limbah B-3
tersebut.
Proses pengolahan limbah B-3 dapat sengan cara fisika dan kimia, insenerasi,
dan solidifikasi/ stabilisasi. Proses pengolahan secara fisika dan kimia dimaksudkan
untuk mengurangi sifat racun dalam limbah B-3 menjadi tidak berbahaya lagi. Proses
pengolahan secara insenerasi dimaksudkan untuk menghancurkan limbah B-3 dengan
cara pemanasan pada suhu yang tinggi untuk dijadikan senyawa yang mempunyai
sifat tidak mengandung B-3 lagi. Proses solidifikasi/ stabilisasi pada prinsipnya adalah
mengubah sifat fisika dan kimia limbah dengan cara menambahkan bahan mengikat (
cement) untuk membentuk senyawa dengan struktur yang kompak, agar pergerakan
limbah B-3 terbatasi, daya larut diperkecil sehingga daya racunnya berkurang sebelum
limbah B-3 tersebut dimanfaatkan kembali. ( Munir, 2008)
2.3. Elemen mayor,minor, dan elemen renik dalam abu terbang serta analisisnya
Unsur mayor dalam batubara adalah Al, Si, K, Na, Ca, Mg, Fe, P dan
Ti.(Haraldsson,2004). Oksida mayor yang terdapat pada abu terbang adalah SiO2,
Al2O3, CaO, dan Fe2O (Bingol.D,2004). Elemen renik yang terkandung dalam abu
terbang adalah As, Ba, Cr, Hg, Mo, Ni, Pb, Se, V dan Cu( Brown W) dan elemen
minor yang terdapat dalam abu terbang adalah Cd, Co, Mn, Sb, dan
Zn(Haraldsson,2004).
Analisis unsur makro membutuhkan analisis residu abu pada temperatur tinggi,
sama seperti penentuan unsur utama dalam batu- batuan silikat. Berdasarkan
penelitian yang telah ada, penentuan kadar elemen dalam abu batubara dapat
dilakukan dengan cara membakar sampel, dan kemudian ditambahkan litium
Na, K, P, dan S. Penggunaan metode pembakaran campuran telah dibahas
sebelumnya, penggunaan litium metaborat untuk abu terbang dengan kadar silika yang
tinggi, dan pencampuran dengan litium tetraborat apabila abu terbang mengandung
oksida besi yang tinggi.
Metode spektrofotometri serapan atom adalah metode yang paling umum
digunakan dalam analisa abu terbang, tetapi hanya dapat menentukan satu elemen
dalam setiap penentuan. Penentuan multi-elemen menggunakan Inductively coupled
plasma- atomic emission spectrometry ( ICP-AES) telah dibahas, sehingga untuk
analisis semua elemen- elemen yang terkandung dalam abu terbang batubara
dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dibanding metode SSA (Lindahl, 1998).
Penentuan elemen renik dalam abu terbang hanya dapat ditentukan apabila
elemen renik yang terkandung tidak mengalami penguapan selama proses pengabuan.
Pembakaran untuk penentuan elemen ini dapat dilakukan pada suhu 500oC, untuk penentuan kadar Be, Cu, Cr, Mn, Ni, V, Pb, dan Zn dengan spektrofotometri serapan
atom. Walaupun dengan metode SSA nyala dapat diperoleh hasil yang memuaskan
untuk penentuan kadar elemen- elemen yang telah disebutkan diatas, tetapi banyak
abu batubara yang mengandung kadar Pb dan V dengan jumlah yang lebih rendah
sehingga kuantisasinya menjadi susah dan tidak akurat. Metode alternatif lain untuk
penentuan elemen renik dalam abu terbang digunakan ICP-OES, dengan tingkat
ketelitian yang tinggi, dan waktu yang diperlukan untuk analisa dengan ICP-AES
lebih singkat, sehingga dapat menghemat waktu analisa ( Lindahl,1998).
Apabila komponen anorganik yang terkandung dalam batubara tidak menguap
selama proses pengabuan, maka penentuan kadar elemen dalam abu terbang dengan
cara diatas dapat dilakukan. Tetapi untuk beberapa elemen seperti Na, Sn dan Cd akan
menguap selama proses pengabuan. Oleh karena itu, digunakan metode wet ashing (
pengabuan basah ), dengan menggunakan campuran dari asam perklorat ( HClO4) dan
asam pekat lainnya untuk melarutkan, wet ashing akan mengurangi menguapnya
komponen renik, mayor, dan minor, tetapi pada umumnya laboratorium untuk analisis
batubara menghindari penggunaan perklorat, karena asam perklorat merupakan bahan
oksigen dalam analisis batubara akan mengeliminasi hilangnya kuantisasi elemen
akibat adanya penguapan dari preparasi sampel ( Lindahl,1998).
Penentuan Alumina dan Silika dapat ditentukan dengan metode
Spektrofotometri Serapan Atom, dan digunakan pelarut HF3-H3BO3 untuk mencegah
adanya gangguan dari komponen mayor lainnya. Campuran dari HF3-H3BO3 juga
meningkatkan sinyal absorpsi silika yang relatif pada sistem udara. Metode ini
menunjukkan ketelitian dan keakuratannya untuk senyawa batu-batuan ( Brecque,
1979).
Penentuan elemen mayor dan minor, dapat dilakukan dengan cara destruksi
basah dalam kondisi tertutup dengan variasi pelarut dari HNO3, H2O2, HF, HCl, dan
HClO4 yang dipanaskan dengan microwave, dengan atau tanpa netralisasi dengan
H3BO3. Destruksi dengan HNO3/ H2O2/ HF diikuti dengan netralisasi dengan H3BO3
untuk penentuan elemen mayor, dan destruksi dengan HNO3/ H2O2/ HF untuk
penentuan elemen minor ( Haraldsson, 2004).
Metode penetuan kadar Cr, Pb, Zn, Co, Ni, dan Mn dapat diketahui dengan
menggunakan metode Spektrofotometri Serapan Atom. Sampel abu terbang kering (
0.3 g) dicampurkan dengan 5mL HNO3 dan 2ml HF, yang kemudian dilebur pada
suhu 180oC. Hasil leburan kemudian disaring, dan filtrat yang diperoleh diencerkan dalam labu takar 50mL, yang kemudian dianalisis dengan SSA untuk mengetahui
kandungan kadar logam dalam abu terbang (Sushil,S. 2005)
Analisa elemen yang terkandung pada abu terbang umumnya dipersiapkan
dengan menggunakan metode destruksi dengan asam kuat. Untuk sampel anorganik,
batu-batuan, hasil tambang, tanah, dan mineral umumnya menggunakan asam kuat
dan campuran beberapa asam yang paling sesuai dengan jenis logam yang ingin
dianalisa. Campuran sampel dengan asam nitrat, perklorat, dan HF didihkan hingga
kering dan terbentuk butiran- butiran putih, didinginkan, dan kemudian diencerkan.
Untuk kelarutan yang lebih tinggi, campuran asam kuat dan agen pengoksidasi /HF
SSA dapat digunakan untuk penentuan logam Cd, Co, Cr, Cu, Mn, Ni, Pb, V,
dan Zn secara kuantitatif. Destruksi dengan menggunakan asam nitrat dan akuaregia
dan pemanasan dalam microwave menghasilkan kelarutan yang kurang sempurna dari
sampel. Tingkat kelarutan yang tinggi dan lebih baik dihasilkan ketika sejumlah kecil
HF ditambahkan pada sampel. (Marco,A.2007)
2.4. Toksinitas logam Kobalt dan Nikel
2.4.1. Nikel ( Ni )
Nikel adalah logam berwarna putih perak dengan berat atom 58.71 g/mol dan berat
jenis 8.5. Nikel sebagai bahan paduan logam banyak digunakan di berbagai industri
logam, berbagai macam baja, serta electroplating( pelapisan permukaan).
Pencemaran Ni di udara berasal dari pembakaran batubara, pembakaran BBM,
industri pemurnian logam Ni, serta limbah dari incinerator. Pembuangan limbah yang
mengandung Ni mengakibatkan pencemaran Ni pada tanah, air, dan tanaman. Total Ni
dalam tanah bisa mencapai 5-500 ppm, sedangkan kadar Ni pada air tanah mencapai
0.005-0.05 ppm dan kadar Ni pada tumbuhan tidak lebih dari 1 ppm.
Logam nikel dan senyawa nikel merupakan bahan karsinogenik. Ni-subsulfida
dapat mengakibatkan kanker paru-paru, kanker rongga hidung, dan kanker pita suara,
bahkan dapat mengakibatkan kematian. Nikel merupakan bahan karsinogenik,
terutama bagi pekerja di industri pemurnian nikel. The Environmental Protection
Agency ( EPA ) menetapkan debu nikel murni dan nikel subsulfida sebagai bahan
karsinogen.
2.4.2. Kobalt ( Co )
Kobalt merupakan logam berwarna abu- abu perak dan memiliki berat molekul 58.93
g/mol. Kobalt dan senyawanya terdapat di dalam melalui sumber alam dan aktivitas
Sumber alami Co di lingkungan adalah tanah, debu, air laut, lava gunung berapi, dan
kebakaran hutan. Co bisa berasal dari limbah pembakaran minyak, pembakaran
batubara, sisa pembakaran kenderaan bermotor, pesawat, serta limbah dari indusri
logam keras.
Pada manusia, kadar Co normal dalam urin adalah sebesar 98 µg/L, sedangkan
kadar Co normal dalam darah 0,18 µg/L. Logam Co bisa mengakibatkan iritasi serta
dermatitis bagi pekerja di lingkungan industri logam keras, industri karet, industri
kaca, dan industri plastik. Debu Co bisa menyebabkan penyakit mirip asma dengan
gejala batuk, nafas pendek, sulit bernafas, penurunan fungsi paru-paru yang bahkan
bisa mengakibatkan kematian. Co dapat mengakibatkan gangguan jantung akibat
paparan kronis yang biasanya dialami oleh para pekerja dalam industri yang
menggunakan bahan baku Co. Para pekerja yang menghirup udara dengan kadar Co
0,038 mg/m3 (100.000 kali lipat lebih besar daripada batas kadar aman Co di udara) dapat menyebabkan gangguan fungsi paru-paru.
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan uji menetapkan bahwa Co bersifat
karsinogenik. The International Agency Reasearch on Cancer ( IARC) menetapkan
bahwa Co bersifat karsinogenik (Widowati.W,2008).
2.5. Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)
Jika suatu larutan yang mengandung suatu garam logam ( atau senyawa logam )
diaspirasikan ke dalam suatu nyala maka akan terbentuk uap yang mengandung atom-
atom bebas logam yang berada pada keadaan dasar. Beberapa atom logam dalam gas
ini dapat dieksitasi ke tingkatan energi yang lebih tinggi dengan menyerap radiasi
yang karakteristik dari logam tersebut. Atom-atom dalam keadaan dasar ini mampu
menyerap energi cahaya yang panjang gelombang resonansinya spesifik untuknya,
yang pada umumnya adalah panjang gelombang radiasi yang akan dipancarkan atom-
atom itu bila tereksitasi dari keadaan dasar. Jadi jika cahaya dengan panjang
gelombang resonansi itu dilewatkan nyala yang mengandung atom- atom
berbanding lurus dengan banyaknya atom keadaan dasar yang berada dalam nyala.
Inilah asas yang mendasari Spektroskopi Serapan Atom (SSA) ( Vogel, 1994).
2.5.1. Instrumentasi
Gambar 2.1. menunjukkan dalam bentuk bagan komponen- komponen dari sebuah
spektrofotometer absorpsi atom dasar.
Gambar 2.1. Skema bagan alat Spektrofotometer Serapan Atom
Untuk spektroskopi nyala suatu persyaratan penting adalah bahwa nyala yang
dipakai hendaknya menghasilkan temperatur lebih dari 2000 K ( Vogel, 1984).
Dengan sistem pengabut-pembakar, tabung kapiler akan menarik sampel dari dalam
suatu wadah dan memecahkannya menjadi tetes-tetes halus ( aerosol ). Temperatur
yang dapat dicapai bergantung pada gas yang digunakan; nilai kira-kira antara lain
adalah gas batubara-udara 1800oC, gas alam-udara 1700oC, asetilena-udara 2200oC, asetilena-dinitrogen oksida, 3000oC ( Underwood, 2002).
Dalam SSA, fungsi monokromator adalah untuk memisahkan radiasi
resonansi dari semua garis yang tak diserap yang dipancarkan oleh sumber radiasi.
2.5.2. Gangguan
Absorpsi atom jelas sekali bebasnya dari gangguan. Perangkat tingkat- tingkat energi
elektronik untuk sebuah atom adalah spesifik untuk unsur itu. Ini berarti tidak ada dua
unsur yang memperagakan garis-garis resonansi yang sama panjang gelombangnya
2.5.2.1. Gangguan spektral
Gangguan spektral terjadi karena tumpang tindih antara frekuensi-frekuensi garis
resonansi yang terpilih dengan garis-garis yang dipancarkan oleh unsur lain. Hal ini
timbul karena dalam prakteknya suatu garis yang terpilih memang mempunyai lebar
pita yang terhingga.
Dengan metode emisi nyala, gangguan spektral lebih mungkin terjadi apabila
emisi garis unsur yang akan ditetapkan itu dan emisi garis yang disebabkan zat-zat
pengganggu berdekatan panjang gelombangnya. Hal ini menyebabkan kurangnya
kepekaan dan jeleknya ketelitian analisis.
2.5.2.2. Gangguan kimia
1. Adanya pembentukan senyawa stabil ; menyebabkan tidak sempurnanya
disosiasi zat yang akan dianalisis di dalam nyala, yang tak dapat berdisosiasi
menjadi atom-atom penyusunnya.
2. Pengionan atom gas berkeadaan dasar dalam nyala; akan mengurangi
intensitas emisi garis spektral atom dalam spektroskopi emisi nyala.
Temperatur tinggi asetilena-udara atau asetilena-dinitrogen oksida dapat
mengakibatkan pengionan dari unsur-unsur seperti logam alkali dan kalsium,
strontium, maupun barium ( Vogel,1984).
3. Efek- efek matriks; disosiasi menjadi atom-atom pada suatu temperatur
tertentu bergantung sekali pada komposisi keseluruhan dari sampel.Misalnya
suatu larutan kalsium klorida dikabutkan dan dilarutkan partikel-partikel halus
CaCl2 padat akan berdisosiasi menghasilkan atom Ca dengan lebih mudah
daripada Ca3(PO4)2 ( Underwood,2002).
4. Absorpsi molekular; misalnya dalam suatu nyala asetilena-udara natrium
klorida berkonsentrasi tinggi akan menyerap radiasi berpanjang gelombang
sekitar 231,9 nm yang merupakan panjang gelombang garis resonansi zink,
sehingga NaCl akan menyebabkan gangguan dalam penetapan zink dalam
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1.Alat dan bahan
3.1.1. Alat
Nama Alat Spesifikasi Merek
Spektrofotometer Serapan
Atom
AA-6300 Shimadzu
Alat-alat gelas - Pyrex
Neraca analitis Presisi 0.0001 g Mettler Toredo
Hotplate stirrer - Fisons
Oven 600oC Fisher
Termometer 360oC Fisher
Kertas saring No.42 Whatman
Botol akuades - -
Plastik dan karet - -
Cawan krusibel - -
3.2.2. Bahan
Nama Bahan Spesifikasi Merek
HF - E.Merck
HNO3 p.a.65% E.Merck
Akuades - -
Abu terbang - -
Larutan Induk logam
Kobalt (Co)
p.a. 1000mg/L E.Merck
Larutan Induk logam
Nikel (Ni)
p.a. 1000mg/L E.Merck
3.2. Prosedur penelitian
3.2.1. Sampling
Abu terbang dari dua lokasi dikumpulkan dengan menggunakan Electrostatic
Precipitator (ESP). Jarak antara cerobong dengan tumpukan abu terbang adalah 14 m.
Sampel diambil secara purposif lalu diayak dengan ayakan 100Mesh. Selanjutnya
hasil ayakan tersebut dilebur dalam oven pada suhu 600oC selama 1 jam( Lindahl,1998).
3.2.2. Pembuatan Larutan Standar Kobalt 100mg/L
Sebanyak 10mL larutan induk kobalt 1000mg/L dimasukkan ke dalam labu takar
3.2.2.1. Pembuatan Larutan Standar Kobalt 10mg/L
Sebanyak 10mL larutan standar kobalt 100mg/L dimasukkan ke dalam labu takar
100mL lalu diencerkan dengan akuades sampai garis tanda dan dihomogenkan
3.2.2.2. Pembuatan Larutan Standar Kobalt 1mg/L
Sebanyak 10mL larutan standar kobalt 10mg/L dimasukkan ke dalam labu takar
100mL lalu diencerkan dengan akuades sampai garis tanda dan dihomogenkan
3.2.2.3. Pembuatan Larutan Seri Standar Kobalt 0,1;0,3;0,5;0,7;dan 0,9 mg/L
Sebanyak 5;15;25;35;dan 45 mL larutan standar kobalt 1mg/L dimasukkan ke dalam 4
buah labu takar 50mL kemudian diencekan dengan akuades sampai garis tanda dan
dihomogenkan.
3.2.2.4. Pembuatan Kurva Standar
Larutan seri standar kobalt 0,1;0,3;0,5;0,7;dan 0,9 mg/L diukur absorbansinya dengan
menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom pada λspesifik 240,7nm dan perlakuan
diulangi sebanyak 3 kali.
3.2.3. Pembuatan Larutan Standar Nikel 100mg/L
Sebanyak 10mL larutan induk Nikel 1000mg/L dimasukkan ke dalam labu takar
3.2.3.1. Pembuatan Larutan Standar Nikel 10mg/L
Sebanyak 10mL larutan standar nikel 100mg/L dimasukkan ke dalam labu takar
100mL lalu diencerkan dengan akuades sampai garis tanda dan dihomogenkan
3.2.3.2. Pembuatan Larutan Standar Nikel 1mg/L
Sebanyak 10mL larutan standar Nikel10mg/L dimasukkan ke dalam labu takar 100mL
lalu diencerkan dengan akuades sampai garis tanda dan dihomogenkan
3.2.3.3. Pembuatan Larutan Seri Standar Nikel 0,1;0,3;0,5;0,7;dan 0,9 mg/L
Sebanyak 5;15;25;35;dan 45 mL larutan standar Nikel1mg/L dimasukkan ke dalam 4
buah labu takar 50mL kemudian diencekan dengan akuades sampai garis tanda dan
dihomogenkan.
3.2.3.4. Pembuatan Kurva Standar
Larutan seri standar Nikel 0,1;0,3;0,5;0,7;dan 0,9 mg/L diukur absorbansinya dengan
menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom pada λspesifik 232nm dan perlakuan
diulangi sebanyak 3 kali.
3.2.4. Destruksi abu terbang
Abu terbang yang telah dilebur kemudian ditimbang sebanyak 0.3 g, dan didestruksi
dengan campuran pelarut HF dan HNO3 masing- masing sebanyak 2mL dan 5mL
sambil dipanaskan dan diaduk pada suhu 80oCselama 20 menit. Hasil destruksi dari abu terbang kemudian disaring, filtrat yang diperoleh diencerkan dalam labu takar
50mL, dan dianalisis kadar logamnya dengan menggunakan instrumen
3.3. Bagan penelitian
Sampling
Analisis dengan SSA Pelarutan sampel
Pembuatan larutan standar untuk kurva kalibrasi
3.3.1. Preparasi sampel
Diayak dengan ayakan
100 Mesh
Dilebur dalam oven pada
suhu 600oC selama 1 jam dan didiamkan hingga
suhu kamar
Didestruksi dengan
campuran pelarut HF dan
HNO3masing-masing
sebanyak 2 mL dan 5mL
Dipanaskan sambil diaduk
pada suhu 80oC selama 20 menit
Disaring
Diencerkan dalam labu takar 50mL
Diukur kadar logamnya dengan menggunakan instrumen SSA pada
λspesifik 232nm untuk logam Nikel, dan 240,7nm untuk logam kobalt
Sampel abu terbang
Hasil
filtrat residu
3.3.2. Pembuatan Larutan seri standar dan kurva kalibrasi Kobalt (Co)
Dipipet sebanyak 10mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan
Dipipet sebanyak 10mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan
Dipipet sebanyak 10mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan
Dipipet sebanyak 5;15;25;35;dan 45mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL
Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan
Diukur absorbansinya dengan Spektrofotometer Serapan Atom pada
λ
spesifik 240,7 nmLarutan standar kobalt 1000mg/L
Larutan standar kobalt 100mg/L
Larutan standar kobalt 1mg/L
Larutan standar seri kobalt 0,1;0,3;0,5;0,7; dan 0,9 mg/L
Hasil
3.3.3. Pembuatan Larutan seri standar dan kurva kalibrasi Nikel(Ni)
Dipipet sebanyak 10mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan
Dipipet sebanyak 10mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan
Dipipet sebanyak 10mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan
Dipipet sebanyak 5;15;25;35;dan 45mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL
Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan
Diukur absorbansinya dengan Spektrofotometer Serapan Atom pada
λ
spesifik 232 nmLarutan standar Nikel 100mg/L
Larutan standar Nikel 1mg/L
Larutan standar seri Nikel 0,1;0,3;0,5;0,7; dan 0,9 mg/L
Hasil
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Analisis logam dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom ( SSA ) dilakukan
dengan kondisi seperti pada tabel 4.3 dan tabel 4.4 dibawah ini.
Tabel 4.3 Kondisi alat SSA Merek Shimadzu tipe AA-6300 pada pengukuran Konsentrasi ion Nikel
Kecepatan aliran gas pembakar (L/min)
Kecepatan aliran udara (L/min)
Lebar celah (nm)
Tabel 4.4. Kondisi alat SSA Merek Shimadzu tipe AA-6300 pada pengukuran konsentrasi ion Kobalt ( Co )
No Parameter Ion Kobalt
Kecepatan aliran gas pembakar (L/min)
Kecepatan aliran udara (L/min)
Pembuatan kurva larutan standar dilakukan dengan mengukur absorbansi dari seri
larutan standar dengan variasi konsentrasi 0,0;0,1;0,3;0,5;0,7; dan 0,9 ppm yang
hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.5 dan Gambar 4.2 untuk logam nikel dan pada
Tabel 4.6 dan Gambar 4.3 untuk logam kobalt.
Tabel 4.5.Data Absorbansi larutan seri standar Nikel
Gambar 4.2. Kurva kalibrasi larutan seri standar Nikel
y = 0.097x - 0.003
Konsentrasi Larutan Seri Standar
Logam Ni (ppm)
Konsentrasi Larutan Seri Standar Logam Ni (ppm)
Linear (Konsentrasi Larutan Seri Standar Logam Ni (ppm))
Konsentrasi (ppm) Absorbansi Rata-rata
Tabel 4.6. Data absorbansi larutan seri standar kobalt
Gambar 4.3. Kurva kalibrasi larutan seri standar kobalt
Dengan kondisi peralatan Spektrofotometer Serapan Atom ( SSA) seperti pada Tabel
4.3 untuk logam nikel dan Tabel 4.4 untuk logam kobalt diukur absorbansi sampel
dari lokasi I dan lokasi II dan hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.7 dibawah.
y = 0.039x - 0.000
Konsentrasi Larutan Seri Standar
Logam Co(mg/L)
Konsentrasi Larutan Seri Standar Logam Co (ppm)
Linear (Konsentrasi Larutan Seri Standar Logam Co (ppm))
Konsentrasi (ppm) Absorbansi Rata-rata
Tabel 4.7. Data hasil pengukuran absorbansi kobalt dan nikel pada sampel
4.2 Pengolahan Data
Berdasarkan kurva kalibrasi yang diperoleh dari Gambar 4.2 untuk logam nikel dan
Gambar 4.3 untuk logam kobalt maka dapat dihitung persamaan regresi dan koefisien
korelasi untuk masing- masing logam.
4.2.1 Penurunan Persamaan Garis Regresi dengan Metode Least Square untuk Logam Nikel
Hasil pengukuran absorbansi larutan seri standar Nikel pada tabel 4.4 diplotkan
terhadap konsentrasi sehingga dihasilkan kurva kalibrasi berupa garis linear.
Persamaan garis regresi kurva kalibrasi dapat diturunkan dengan metode Least Square
dengan data pada tabel 4.8.
Logam Lokasi I Lokasi II
A1 A2 A3 Ā A1 A2 A3 Ā
Co 0,0076 0,0063 0,0080 0,0073 0,0077 0,0068 0,0078 0,0074
Tabel 4.8. Penurunan persamaan garis regresi dengan metode Least Square untuk logam nikel
No Xi Yi (Xi – X) (Yi – Y) (Xi – X)2 (Yi – Y)2 (Xi-X)(Yi-Y) 1 0,0000 0,0019 -0,4166 -0,036 0,1735 1,296 x 10-3 0,015
2 0,1000 0,0063 -0,3166 -0,0316 0,1002 9,9856x10-4 0,0100 3 0,3000 0,0221 -0,1166 -0,0158 0,0136 2,4964x10-4 1,8420x10-3 4 0,5000 0,0428 0,0834 4,9000x10-3 6,950x10-3 2,4010x10-5 4,0866x10-4 5 0,7000 0,0686 0,2834 0,0307 0,0803 9,4249x10-4 8,7000x10-3 6 0,9000 0,0861 0,4834 0,0482 0,2337 2,3232x10-3 0,0233
Σ 2,5 0,2278 4x10-4 4x10-4 0,6082 5,8309x10-3 0,0592
Persamaan garis regresi untuk kurva kalibrasi dapat diturunkan dari persamaan garis :
dimana :
a = slope b = intersept
Selanjutnya harga slope dapat ditentukan dengan menggunakan metode least square
sebagai berikut :
Dengan mensubstitusikan harga-harga yang terdapat pada tabel 4.7. pada persamaan
diatas maka diperoleh harga :
Maka diperoleh persamaan garis :
-3
4.2.2 Koefisien Korelasi ( Nikel )
Koefisien korelasi dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut :
Maka koefisien korelasi untuk nikel adalah :
4.2.3. Penentuan konsentrasi ( Nikel)
Konsentrasi dari logam Nikel ( Ni ) dalam sampel dihitung dari kurva kalibrasi
dengan cara memplotkan absorbansi rata-rata logam nikel dalam sampel terhadap
Gambar 4.4. Konsentrasi logam Nikel dalam sampel
Jadi berdasarkan metode kurva kalibrasi ini diperoleh kadar logam nikel dalam abu
terbang lokasi I sebesar 0,7011 ppm dan pada lokasi II sebesar 0,5594 ppm.
4.2.4 Penurunan Persamaan Garis Regresi dengan Metode Least Square untuk
Logam Kobalt
Hasil pengukuran absorbansi larutan seri standar logam Kobalt pada tabel 4.6
diplotkan terhadap konsentrasi sehingga diperoleh kurva kalibrasi berupa garis linear.
Persamaan garis regresi untuk kurva kalibrasi ini dapat diturunkan dengan metode
Least Square dengan hasil pada tabel 4.9.
(0.7011,0.0659)
Konsentrasi logam Nikel dalam sampel
(ppm)
konsentrasi logam Ni dalam abu terbang 1
Tabel 4.9. Penurunan persamaan garis regresi dengan metode Least Square untuk logam kobalt
No Xi Yi (Xi - X) (Yi – Y) (Xi – X)2 (Yi – Y)2 (Xi-X)(Yi-Y) 1 0,0000 0,0012 -0,4166 -0,0150 0,1735 2,2500x10-4 6,25x10-3 2 0,1000 0,0028 -0,3166 -0,0134 0,1002 1,7956x10-4 4,2424x10-3 3 0,3000 0,0117 -0,1166 -4,5x10-3 0,0136 2,025x10-5 5,247x10-4 4 0,5000 0,0199 0,0834 3,7x10-3 6,95x10-3 1,369x10-5 3,0858x10-4 5 0,7000 0,0275 0,2834 0,0113 0,0803 1,2769x10-4 3,2024x10-3 6 0,9000 0,0343 0,4834 0,0181 0,2337 3,2761x10-4 8,75x10-3
Σ 2,5 0,0974 4x10-4 0,0002 0,6082 8,9380x10-4 0,0233
Persamaan garis regresi untuk kurva kalibrasi dapat diturunkan dari persamaan garis :
Selanjutnya harga slope dapat ditentukan dengan menggunakan metode Least Square
sebagai berikut :
Dengan mensubstitusikan harga-harga yang tercantum pada tabel 4.13 pada
Maka diperoleh persamaan garis :
4.2.5 Koefisien Korelasi (Kobalt)
Koefisien korelasi dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut :
Maka koefisien korelasi untuk Kalsium adalah :
4.2.6. Penentuan konsentrasi (Kobalt)
Konsentrasi dari logam Kobalt ( Co ) dalam sampel dihitung dari kurva kalibrasi
dengan cara memplotkan absorbansi rata-rata logam kobalt dalam sampel terhadap
Gambar 4.5. Konsentrasi logam Kobalt dalam sampel
Jadi berdasarkan metode kurva kalibrasi ini diperoleh kadar logam kobalt dalam abu
terbang dari lokasi I sebesar 0,197 ppm dan dari lokasi II sebesar 0,1995 ppm.
4.2.7. Penentuan kadar logam kobalt (Co) yang terkandung dalam abu terbang dalam mg/kg
Pengukuran kadar logam kobalt (Co) dalam abu terbang dari lokasi I dan lokasi II :
Kadar logam Co dari lokasi 1 = x 106 mg/kg
Konsentrasi logam Kobalt dalam sampel
(ppm)
Konsentrasi Logam Kobalt pada Abu Terbang 1
4.2.8. Penentuan kadar logam Nikel (Ni) yang terkandung dalam abu terbang dalam
mg/kg
Pengukuran kadar logam Nikel (Ni) dalam abu terbang dari lokasi I dan lokasi II :
Kadar logam Ni dari lokasi 1 = x 106 mg/kg
= x 106 mg/kg
= 116,85 mg/kg
Kadar logam Ni dari lokasi 2 = x 106 mg/kg
= x 106 mg/kg
= 93,2333 mg/kg
4.3. Pembahasan
Telah dilakukan analisis logam kobalt dan nikel dalam abu terbang dari dua lokasi.
Pada kedua lokasi ini, batubara digunakan untuk memanaskan boiler dalam
menghasilkan listrik. Abu terbang batubara dikumpulkan dengan Electrostatic
Precipitator (ESP). Jarak antara cerobong dengan tumpukan abu terbang adalah 14 m.
Abu terbang yang diperoleh dari cerobong ditampung dalam suatu tempat sehingga
menjadi gundukan yang akan terbang apabila tertiup angin. Karena abu terbang ini
berukuran kecil maka ia dapat memberikan dampak buruk terhadap kesehatan karena
dapat terhirup dan masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan atau kulit
(Widowati.W,2008)
Sampel diambil dari gundukan abu terbang secara purposif, lalu dipisahkan
dengan ayakan 100 Mesh dan dilebur pada suhu 600oC untuk membebaskan logam dan oksidanya(Vogel,1985). Suhu yang digunakan 600oC adalah menurut penelitian terdahulu ( Lindahl,1998). Hasil leburan kemudian didestruksi dengan campuran HF
dengan pengadukan dan pemanasan pada suhu 80oC selama 20 menit ( Sushil.S,2005). Pelarut HF digunakan untuk melarutkan silika, sehingga logam- logam renik lainnya
akan bebas, yang kemudian akan dilarutkan dengan pelarut HNO3 (Bingol.D,2004).
Setelah proses pelarutan, hasil yang diperoleh kemudian disaring dengan
kertas saring whatman no.42 dan diencerkan dalam labu takar 50mL. Konsentrasi
kobalt dan nikel diperoleh dengan mengaspirasikan larutan sampel ke instrument
Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) dengan λspesifik 232 nm untuk logam nikel dan
240,7nm untuk logam kobalt. Kadar kobalt dan nikel dalam abu terbang dari lokasi I
adalah 0,197 ppm (33,8333mg/kg) dan0,7011 ppm (116,85 mg/kg); dan untuk lokasi
II diperoleh kadar kobalt dan nikel sebesar 0,1995 ppm (33,25 mg/kg) dan 0,5594
ppm (93,2333 mg/kg). Hasil ini diperoleh dari kurva kalibrasi yang dibuat dari seri
larutan standar 0,0;0,1;0,3;0,5;0,7 dan 0,9 ppm yang memberikan suatu garis yang
linier dengan persamaan garis y = 0.0973x ± 0.0026 dan koefisien korelasi 0.9949
untuk logam nikel dan persamaan garis y = 0.0383x ± 0.0003 dan koefisien korelasi
0.9995 untuk logam kobalt.
Kadar logam kobalt dan nikel dalam abu terbang dari beberapa Negara dapat
dilihat pada tabel 4.10. dibawah.
Tabel 4.10.Kadar logam kobalt dan nikel dalam abu terbang di beberapa Negara
Unsur Spanyol Greece UK China India Orrisa,India
Co 29,2 ND ND ND 23,6 16,88
Ni 87,9 ND ND ND 150 56,50
*ND = NOT DETECTED (dalam mg/kg) ( Sushil.S,2005)
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kadar logam kobalt dan nikel pada
beberapa Negara tidak terdeteksi. Dalam penelitian ini diperoleh kadar kobalt dan
nikel dalam abu terbang dari lokasi I adalah 0,197 ppm (33,8333mg/kg) dan0,7011
ppm (116,85 mg/kg); dan untuk lokasi II diperoleh kadar kobalt dan nikel sebesar
0,1995 ppm (33,25 mg/kg) dan 0,5594 ppm (93,2333 mg/kg). Batas standar untuk
logam kobalt dan nikel dalam tanah, air dan tubuh manusia menurut US Department
Tabel 4.11. Batas kadar logam kobalt dan nikel dalam tanah, air dan tubuh manusia
Unsur Tanah (ppm) Air (ppm) Tubuh
manusia(mg/kg/hari)
Ni 4-80 0,3-10 0,02
Co 1-20 0,5-10 0,7-2,0
(US Department of Health and Human Services,2005)
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar kobalt dan nikel yang
terkandung dalam abu terbang masih jauh lebih rendah daripada batas aman untuk air,
tanah, dan manusia. Penanggulangan abu terbang yang dilakukan pada kedua lokasi
masih belum dilakukan, abu ini hanya ditumpukkan dan kemudian dibawa ke suatu
tempat untuk diproses lebih lanjut.
Oleh karena kadar logam kobalt dan nikel dalam abu batubara ini jauh lebih
rendah daripada batas aman (threshold limit) bagi kesehatan maka bilamana abu
batubara ini digunakan untuk bahan bangunan akan tidak memberi dampak terhadap
lingkungan apabila ditinjau dari kadar kobalt dan nikelnya. Tetapi perlu terus dipantau
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Kadar logam Nikel dalam sampel abu terbang dari lokasi I adalah 0,7011
ppm(116,85 mg/kg) dan dari lokasi II adalah 0,5594 ppm(93,2333 mg/kg).
2. Kadar logam Kobalt dalam sampel abu terbang dari lokasi I adalah 0,197 ppm
(33,8333 mg/kg) dan dari lokasi II adalah0,1995 ppm (33,23 mg/kg).
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar kobalt dan nikel yang terkandung
dalam abu terbang masih jauh lebih rendah daripada batas aman untuk air, tanah, dan
manusia yang dapat dilihat pada tabel 4.11. Oleh karena kadar logam kobalt dan nikel
dalam abu batubara ini jauh lebih rendah daripada batas aman (threshold limit) bagi
kesehatan maka bilamana abu batubara ini digunakan untuk bahan bangunan akan
tidak memberi dampak terhadap lingkungan apabila ditinjau dari kadar kobalt dan
nikelnya. Tetapi perlu terus dipantau dampak pemakaiannya terhadap lingkungan.
5.2. Saran
Perlu dilakukan analisa lebih lanjut terhadap residu yang terbentuk pada proses
destruksi abu terbang untuk mengetahui apakah residu tersebut masih mengandung
DAFTAR PUSTAKA
Achmad,R.2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Bingol,D.2004. Determination of trace elements in fly ash samples by FAAS after
applying different digestion procedure. Talanta: Elsevier.
Brecque,J.1979. Decomposition and Determination of Aluminium and Silicon in
Venezuelan laterities by Atomic Absorption Spectroscopy. USA: Elsevier.
Brown,W. Methods for Sampling and Inorganic Analysis of Coal. U.S. Geological Survey Buletin 1823.
Davidson,D.T.1961. Soil Stabilization with Lime Fly Ash. Ames, Lowa: lowa state University of Science and Technology.
Haraldsson,C.2004.Solid Biofuels- Determination of Major and Minor Elements. Reports On deliverable III.2 D4 of the EU funded BioNorm project ( ENK6-CT-2001-00556), in preparation.
Harian Analisa. 23 Agustus 2010.
Kent,A.J.1993. Riegel’s Handbook of Industrial Chemistry. 9th edition. USA: Springer.
Khopkar,S.M.2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-press.
Lindahl,C.1998.The Applicability of Standard Test Methods to the Analysis of Coal
Samples for Coal Research. Cass Avenue : Argonne.
Marco,A.2007.Trends in Sample Preparation. New York:Nova Science Publisher,Inc.
Mitra,S.2003.Sample Preparation Technical in Analytical Chemistry. New York: John Willey and Sons.
Munir,M. 2008. Pemanfaatan Abu Batubara ( Fly Ash) untuk Hollow Block yang
Bermutu dan Aman bagi Lingkungan. Tesis. Semarang: Universitas
Diponegoro.
SNI 6989.18:2009.Uji Nikel secara Spektrofotometri Serapan Atom. Badan Nasional Indonesia.
SNI 6989.68:2009.Uji Kobalt secara Spektrofotometri Serapan Atom. Badan Nasional Indonesia.
Sushil,S.2005. Analysis of Fly Ash Heavy Metal Content and Disposal in Three
Thermal Power Plants in India. India:Teri School of Advanced Studies.
Tripathi,S.M. 2003. Trace Elements and Their Mobility in Coal Ash/Fly Ash from
Indian Power Plants in View of its Disposal and Bulk Use in Agriculture.
India: Poland Institute for scientific and Industrial Research.
Underwood.2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi Keenam.
US Department of Health and Human Services,2005. Toxicological Profile for Nickel. Public Health Services, Agency for Toxic Substance and Disease Registry
Vogel.1989. Textbook of Quantitative Chemical Analysis. Fifth edition. London:English Languange Book Society/ Longman.
Vogel.1984. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
Widowati,W.2008. Efek Toksik Logam. Yogyakarta: Andi.