• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kadar Logam Kobalt (Co) dan Nikel (Ni) Dalam Abu Terbang Hasil Pembakaran Batubara Dari Dua Lokasi dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Kadar Logam Kobalt (Co) dan Nikel (Ni) Dalam Abu Terbang Hasil Pembakaran Batubara Dari Dua Lokasi dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KADAR LOGAM KOBALT(Co) DAN NIKEL (Ni)

DALAM ABU TERBANG HASIL PEMBAKARAN

BATUBARA DARI DUA LOKASI DENGAN

METODE SPEKTROFOTOMETRI

SERAPAN ATOM

SKRIPSI

RICCA JASMINE

070802037

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS KADAR LOGAM KOBALT(Co) DAN NIKEL (Ni) DALAM ABU TERBANG HASIL PEMBAKARAN BATUBARA DARI DUA LOKASI

DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

RICCA JASMINE 070802037

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PERSETUJUAN

Judul : ANALISIS LOGAM KOBALT (Co) DAN NIKEL

(Ni) DALAM ABU TERBANG HASIL

PEMBAKARAN BATUBARA DARI DUA LOKASI DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

Kategori : SKRIPSI

Nama : RICCA JASMINE

Nomor Induk Mahasiswa : 070802037

Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Prof. Dr. Harry Agusnar,M.Sc,M.Phill Prof.Dr.Harlem Marpaung NIP. 1953081719830311002 NIP. 194804141974031001

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

(4)

PERNYATAAN

ANALISIS LOGAM KOBALT(Co) DAN NIKEL(Ni) DALAM ABU TERBANG HASIL PEMBAKARAN BATUBARA DARI DUA LOKASI DENGAN

METODE SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing- masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2011

(5)

PENGHARGAAN

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat kasih

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Analisis Kadar Logam Kobalt (Co) dan Nikel (Ni) Dalam Abu Terbang Hasil

Pembakaran Batubara Dari Dua Lokasi dengan Metode Spektrofotometri Serapan

Atom”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis mendapatkan banyak bimbingan,

bantuan dan dorongan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak

langsung sehingga kesulitan yang penulis hadapi dapat teratasi. Dengan kerendahan

hati penulis menyampaikan ucapan Terima Kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof.Dr. Harlem Marpaung selaku Pembimbing 1 dan selaku Kepala

Laboratorium bidang Kimia Analitik FMIPA USU dan Bapak Prof.Dr.Harry

Agusnar,M.Sc,M.Phill selaku Pembimbing 2 yang telah meluangkan waktunya

untuk memberikan bimbingan dan saran kepada penulis selama melakukan

penelitian dan penyusunan skripsi ini.

2. Ketua dan Sekretaris Departemen Kimia FMIPA USU, Ibu Dr. Rumondang

Bulan Nst,M.Sc dan Bapak Drs.Albert Pasaribu,M.Sc, dan Bapak Drs.Firman

Sebayang, MS selaku dosen wali yang telah membimbing penulis selama

mengikuti perkuliahan di FMIPA USU Medan.

3. Kepada seluruh asisten Laboratorium Kimia Analitik serta kak Tiwi selaku

analis Laboratorium Kimia Analitik dan rekan- rekan kuliah stambuk 2007

yang tiodak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan banyak

dukungan dan perhatian kepada penulis.

4. Terima Kasih yang teristimewa, untuk Ayah tersayang Drs.Sumandi Widjaja,

SE,SH dan Ibu tersayang Mayumi Suhardi untuk doa dan kasihnya, serta

saudara- saudara tercinta dan seluruh keluarga.

Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat dalam rangka member pembelajaran

pada penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Semoga Tuhan Yang

(6)

ABSTRAK

Abu terbang dan abu dasar yang dihasilkan dari penggunaan batubara sebagai sumber energi alternatif di berbagai industri mengandung logam-logam berat yang berbahaya bagi lingkungan. Untuk menggunakan abu batubara sebagai bahan dasar pembuatan material lain, konsentrasi dari logam- logam berat dalam abu terbang harus diketahui terlebih dahulu. Dalam penelitian ini telah dianalisis konsentrasi logam kobalt dan nikel dari dua lokasi dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom ( SSA ). Abu terbang didestruksi dengan menggunakan campuran dari HF dan HNO3 pekat. Hasil

(7)

THE ANALYSIS OF COBALT ( Co ) AND NICKEL ( Ni ) IN FLY ASH FROM TWO LOCATION BY USING ATOMIC ABSORPTION

SPECTROPHOTOMETRIC ( AAS ) METHOD

ABSTRACT

(8)

DAFTAR ISI

1.1.Latar belakang 1

1.2.Permasalahan 3

1.3.Pembatasan Permasalahan 4

1.4.Tujuan Penelitian 4

1.5.Manfaat Penelitian 4

1.6.Lokasi Penelitian 4

1.7.Metodologi Penelitian 4

Bab 2. Tinjauan Pustaka

2.1.Batubara 6

2.1.1. Proses pembentukan batubara 7

2.1.2. Jenis-jenis batubara 8

2.1.3. Dampak penggunaan batubara terhadap lingkungan 9

2.2.Abu terbang 10

2.2.1. Jenis- jenis abu terbang 11

2.2.2. Komposisi kimia dan karakteristik abu terbang 11

(9)

serta analisisnya 14

2.4. Toksinitas logam kobalt dan nikel

2.4.1. Nikel (Ni) 17

2.4.2. Kobalt (Co) 17

2.5. Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) 18

2.5.1. Instrumentasi 18

2.5.2. Gangguan 18

2.5.2.1. Gangguan spektral 19

2.5.2.2. Gangguan kimia 19

Bab 3. Metodologi Penelitian

3.1. Alat dan bahan

3.1.1. Alat 20

3.1.2. Bahan 21

3.2. Prosedur penelitian

3.2.1. Sampling 22

3.2.2. Pembuatan larutan standar kobalt 100mg/L 22

3.2.2.1. Pembuatan larutan standar kobalt 10 mg/L 23

3.2.2.2. Pembuatan larutan standar kobalt 1 mg/L 23

3.2.2.3. Pembuatan Larutan Seri Standar Kobalt 0,1;0,3;0,5;0,7

dan 0,9 mg/L 23

3.2.2.4. Pembuatan kurva standar 23

3.2.3. Pembuatan larutan standar nikel 100mg/L 23

3.2.2.1. Pembuatan larutan standar nikel 10 mg/L 24

3.2.2.2. Pembuatan larutan standar nikel 1 mg/L 24

3.2.2.3. Pembuatan Larutan Seri Standar nikel 0,1;0,3;0,5;0,7

dan 0,9 mg/L 24

3.2.2.4. Pembuatan kurva standar 24

3.2.4. Destruksi abu terbang 24

3.3. Bagan penelitan 25

3.3.1. Preparasi sampel 26

3.3.2. Pembuatan larutan seri standar dan kurva kalibrasi kobalt (Co) 27

(10)

Bab 4. Hasil dan Pembahasan

4.1. Hasil penelitian 29

4.2. Pengolahan data

4.2.1. Penurunan persamaan garis regresi dengan metode Least Square

untuk logam nikel 32

4.2.2. Koefisien korelasi ( Nikel ) 33

4.2.3. Penentuan konsentrasi ( Nikel ) 34

4.2.4. Penurunan persamaan garis regresi dengan metode Least Square

untuk logam kobalt 35

4.2.5. Koefisien korelasi ( Kobalt ) 37

4.2.6. Penentuan konsentrasi ( Kobalt ) 37

4.2.7. Penentuan kadar logam kobalt(Co) yang terkandung dalam

abu terbang dalam mg/kg 38

4.2.8. Penentuan kadar logam Nikel (Ni) yang terkandung dalam

abu terbang dalam mg/kg 39

4.3. Pembahasan 39

Bab 5. Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan 42

5.2. Saran 42

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Komposisi elemen dari berbagai tipe batubara 7

Tabel 2.2. Komposisi kimia dari abu terbang batubara 11

Tabel 4.3. Kondisi alat SSA Merek Shimadzu tipe AA-6300 pada pengukuran

Konsentrasi ion Nikel 30

Tabel 4.4. Kondisi alat SSA Merek Shimadzu tipe AA-6300 pada pengukuran

Konsentrasi ion kobalt 30

Tabel 4.5. Data absorbansi larutan seri standar nikel 30

Tabel 4.6. Data absorbansi larutan seri standar kobalt 31

Tabel 4.7. Data hasil pengukuran absorbansi kobalt dan nikel pada sampel 32

Tabel 4.8. Penurunan persamaan garis regresi dengan metode Least Square

untuk Nikel 32

Tabel 4.9. Penurunan persamaan garis regresi dengan metode Least Square

untuk Kobalt 35

Tabel 4.10. Kadar logam kobalt dan nikel dalam abu terbang di beberapa Negara 38

Tabel 4.11. Batas kadar logam kobalt dan nikel dalam tanah, air dan tubuh

manusia 42

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Skema bagan alat Spektrofotometer Serapan Atom 18

Gambar 4.2. Kurva kalibrasi larutan seri standar nikel 31

Gambar 4.3. Kurva kalibrasi larutan seri standar kobalt 32

Gambar 4.4. Konsentrasi logam nikel dalam sampel 36

(13)

ABSTRAK

Abu terbang dan abu dasar yang dihasilkan dari penggunaan batubara sebagai sumber energi alternatif di berbagai industri mengandung logam-logam berat yang berbahaya bagi lingkungan. Untuk menggunakan abu batubara sebagai bahan dasar pembuatan material lain, konsentrasi dari logam- logam berat dalam abu terbang harus diketahui terlebih dahulu. Dalam penelitian ini telah dianalisis konsentrasi logam kobalt dan nikel dari dua lokasi dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom ( SSA ). Abu terbang didestruksi dengan menggunakan campuran dari HF dan HNO3 pekat. Hasil

(14)

THE ANALYSIS OF COBALT ( Co ) AND NICKEL ( Ni ) IN FLY ASH FROM TWO LOCATION BY USING ATOMIC ABSORPTION

SPECTROPHOTOMETRIC ( AAS ) METHOD

ABSTRACT

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Badan lingkungan hidup (BLH) Sumatera Utara berupaya mencari solusi untuk

mengatasi limbah abu yang dihasilkan dari 40 perusahaan di Kawasan Industri

Medan ( KIM) (Harian Analisa,23 Agustus 2010). Penggunaan batubara untuk tiap

industri sekitar 200 ton per hari, dan bila diakumulasikan di kawasan KIM industri

yang menggunakan batubara bisa mencapai 8000 ton per hari, atau sekitar 240 ribu

ton per bulan. Apabila limbah dalam jumlah yang besar ini tidak diantisipasi dan

hanya ditumpuk di areal perusahaan masing-masing, abu yang dihasilkan akan

menumpuk dan memakan banyak tempat sehingga harus dipikirkan pemanfaatannya

(misalnya sebagai bahan pembuatan batako) . Abu batubara yang dihasilkan akan

menjadi penyebab limbah Bahan Berbahaya dan Beracun ( B-3) yang dapat merusak

kesehatan manusia. PP No 85 tahun 1999 menyatakan bahwa abu terbang dan abu

dasar yang dihasilkan dari hasil pembakaran batubara termasuk dalam jenis limbah

B-3 yang pemanfaatannya harus mendapat izin pemanfaatan dari Kementerian

Lingkungan Hidup ( Analisa , 23 Agustus 2010).

Abu terbang hasil pembakaran batubara umumnya disimpan sementara pada

pembangkit listrik tenaga batubara, dan akhirnya dibuang di landfill( tempat

pembuangan ). Penumpukan abu terbang batubara ini menimbulkan masalah bagi

kesehatan dan lingkungan. Oleh karena itu dilakukan berbagai penelitian untuk

meningkatkan nilai ekonomisnya, sehingga dapat mengurangi dampak buruknya

(16)

Abu terbang batubara mengandung logam berat Al, Ca, Fe, K, Mg, Mn, Na, P,

Si, As, Ba, Cr, Hg, Mo, Ni, Co, Pb, Se, V, Zn, dan Cu ( Shapiro, 1975 ; Brown, W. )

Untuk menggunakan abu terbang sebagai bahan dasar pembuatan material lain

konsentrasi logam- logam berat harus diketahui terlebih dahulu. Dalam penelitian ini

ditentukan kadar logam kobalt dan nikel yang merupakan logam yang terkandung

dalam abu terbang dan termasuk dalam kategori Bahan Beracun dan Berbahaya.

Logam berat yang terkandung dalam abu terbang batubara diantaranya adalah

logam nikel dan kobalt. Menurut US Department of Health and Human Services, batas

kadar logam nikel dalam tanah, air, dan tubuh manusia adalah 4-80ppm; 0,3-1,0 ppm

dan 0,02 mg/kg/hari; dan 1-20 ppm; 0,5-10 ppm dan 0,7-2,0 mg/kg/hari, dan untuk

logam kobalt adalah 1-20 ppm; 0,5-10ppm; dan 0,7-2,0 mg/kg/hari (US Department of

Health and Human Services,2005).

Kobalt dikenal sebagai perangsang pembentukan sel darah merah yang baik.

Ion kobalt +2 dalam kobalt klorida diketahui dapat meningkatkan produksi sel darah

merah. Kobalt dalam bentuk Vitamin B12 juga mendukung proses metabolisme dan

pembentukan sel darah merah. Tetapi apabila kandungan kobalt yang diserap dalam

tubuh berlebih maka akan menyebabkan serangan jantung, asma, gangguan

pernafasan dan kanker paru-paru. Kelebihan kobalt dalam tanah juga akan

menyebabkan terbentuknya co-carbonat yang stabil dan hidroksida yang tidak bisa

diabsorpsi oleh hewan dan tumbuhan (Perez-Espinosa,2004).

Nikel diketahui memiliki peranan penting dalam biologis mikroorganisme dan

tumbuhan. Hal ini dibuktikan bahwa dalam urease(enzim yang berperan dalam

hidrolisis urea) mengandung nikel. Tetapi apabila kandungan nikel yang diserap

dalam tubuh berlebih akan menyebabkan gangguan pernafasan,asma,sakit

perut,kidney (kadar protein berlebih dalam urin), kanker, dan gangguan kehamilan.

Gangguan dari efek logam nikel yang paling sering adalah alergi. Kira-kira 10-20%

dari populasi menunjukkan reaksi alergi terhadap nikel. Dari beberapa orang yang

mengalami alergi menunjukkan adanya gangguan pada kulit di sekitar kulit yang

(17)

bronchitis kronik gangguan fungsi paru-paru dan kanker hati ( US Department of

Health and Human Services,2005)

Dalam penelitian ini abu terbang batubara dikumpulkan dengan menggunakan

Electrostatic Precipitator (ESP). Sampel diambil secara purposif. Analisis logam

kobalt dan nikel dalam abu terbang dilakukan dengan melebur terbang pada suhu

600oC, dan kemudian didestruksi dengan menggunakan campuran asam HF dan HNO3 sebanyak masing- masing 2mL dan 5mL. Hasil yang diperoleh kemudian

dipanaskan pada suhu 80oC dan diaduk selama 20 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh kemudian diencerkan pada labu takar 50mL, dan kadar logam

kobalt dan nikel ditentukan dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom ( SSA)

(Sushil,2005).

1.2. Permasalahan

Sesuai dengan pernyataan Badan Lingkungan Hidup yang telah diuraikan diatas,

bahwa logam berat yang terkandung dalam abu terbang yang dihasilkan dari

pembakaran batubara, mengandung limbah B-3 dan dapat membahayakan kesehatan

manusia. Karena besarnya jumlah abu terbang yang dihasilkan oleh industri maka

abu terbang ini harus dimanfaatkan dan kadar logam-logam berat yang terkandung

dalam abu terbang perlu dianalisa. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dihitung

kadar logam berat kobalt dan nikel dalam abu terbang batubara dari dua lokasi

(18)

1.3. Pembatasan Permasalahan

1. Penelitian ini dibatasi pada penentuan kadar logam kobalt dan Nikel dari

sampel abu terbang

2. Sampel abu terbang yang digunakan berasal dari dua lokasi yang berbeda

3. Penentuan kadar logam kobalt dan Nikel dengan menggunakan alat

Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) dengan λspesifik 232nm untuk logam

Nikel, dan 240,7nm untuk logam kobalt.

1.4. Tujuan Penelitian

Untuk menentukan perbedaan kadar logam kobalt dan nikel yang terkandung pada

abu terbang hasil pembakaran batu bara dari dua lokasi.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi kadar logam berat

kobalt dan nikel yang terkandung dalam abu terbang hasil pembakaran batubara.

1.6. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik, Universitas Sumatera Utara,

fakultas MIPA, Medan.

1.7. Metodologi Penelitian

Abu terbang batubara dikumpulkan dengan Electrostatic Precipitator (ESP).

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif dari dua lokasi, lalu abu terbang

diayak terlebih dahulu dengan ayakan 100 Mesh dan kemudian peleburan dimulai

(19)

Hasil leburan abu terbang tersebut didestruksi dengan pelarut HF dan HNO3

dan kemudian dipanaskan sambil diaduk pada suhu 80oC selama 20 menit. Hasil destruksi tersebut kemudian disaring, dan filtrat yang diperoleh kemudian

diencerkan dengan akuades pada labu takar 50mL. Hasil yang diperoleh kemudian

dianalisa dengan instrumen Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) pada

λ

spesifik 232

nm untuk nikel, dan 240,7 nm untuk kobalt. Kandungan kadar logam diukur dengan

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Batubara

Batubara merupakan suatu jenis mineral yang tersusun atas karbon, hidrogen, oksigen,

nitrogen, sulfur, dan senyawa- senyawa mineral ( Kent.A.J,1993). Batubara digunakan

sebagai sumber energi alternatif untuk menghasilkan listrik. Pada pembakaran

batubara, terutama pada batubara yang mengandung kadar sulfur yang tinggi,

menghasilkan polutan udara, seperti sulfur dioksida, yang dapat menyebabkan

terjadinya hujan asam. Karbon dioksida yang terbentuk pada saat pembakaran

berdampak negatif pada lingkungan (Achmad.R,2004).

Sampai pada abad ke 20, para ahli kimia hanya mengetahui sedikit tentang

komposisi dan struktur molekul dari beragam jenis batubara, dan hingga 1920, mereka

masih meyakini bahwa komposisi batubara terutama didominasi oleh karbon yang

dicampur dengan hidrogen, dan dengan beberapa impurities(zat pengotor). Dua

metode analisis dan pemisahan batubara yang mereka gunakan, diantaranya adalah

destilasi destruktif dan ekstraksi pelarut menunjukkan bahwa batubara hanya

mengandung karbon, dan konsentrasi hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sulfur yang

lebih sedikit. Adanya kandungan senyawa anorganik seperti aluminium dan silikon

oksida akan menghasilkan abu pada hasil pembakaran batubara. Proses destilasi akan

menghasilkan tar, air, dan gas. Hidrogen merupakan komponen utama dari gas yang

dihasilkan, walaupun amonia, gas karbon monoksida dan dioksida, benzen dan

beberapa uap gas hidrokarbon juga terbentuk.

(21)

2.1.1. Proses pembentukan batubara

Batubara terbentuk dari tanaman yang telah tertimbun di dalam tanah dan terjaga pada

tekanan yang tinggi dan pemanasan dalam jangka waktu yang lama. Tanaman

mengandung kandungan selulosa yang tinggi. Setelah tanaman dan pepohonan

tersebut tertimbun dalam jangka waktu tertentu di dalam tanah akan terjadi perubahan

kimia yang merendahkan kadar oksigen dan hidrogen dari molekul selulosa tersebut

(Zumdahl,1997).

Para pakar geologis meyakini bahwa proses pengendapan batubara di dalam

tanah terbentuk sekitar 250-300 juta tahun yang lalu, ketika sebagian besar bumi

masih dilapisi oleh hutan dan pepohonan yang lebat. Pohon dan tanaman tersebut akan

mengalami proses regenerasi dimana bagian dari tanaman yang berguguran akan

tertimbun dalam lapisan tanah, dan proses ini akan mengakibatkan penurunan kadar

oksigen dan hidrogen secara bertahap pada molekul selulosa tersebut

Selama degradasi dari tanaman yang telah mati, dekomposisi dari protein, pati,

dan selulosa lebih cepat daripada dari bahan kayu. Pada berbagai tingkat, dan dengan

berbagai kondisi iklim yang berbeda, konstituen dari tanaman akan terdekomposisi

dalam kondisi aerob membentuk karbon dioksida, air, dan ammonia. Proses ini

disebut “humifikasi” dan akan membentuk gambut. Gambut ini kemudian tertutup

oleh lapisan sedimen, tanpa adanya udara, dan karenanya tahap kedua dari proses

pembentukan batubara terjadi dalam kondisi anaerob. Pada tahap kedua, proses

gabungan antara temperatur, tekanan, dan waktu akan mengubah lapisan gambut

menjadi brown coal ( lignit), dan kemudian sub-bituminus, dan kemudian membentuk

antrasit. Jenis-jenis batubara ini umumnya disebut dengan batubara hitam ( black coals).

Dalam kondisi yang paling basah ( lembab) akan dihasilkan batubara dengan

mutu yang paling rendah, batubara coklat ( lignit). Pada temperatur dan tekanan yang

lebih tinggi dan dengan waktu yang cukup, akan membentuk batubara subbituminus,

(22)

2.1.2. Jenis-jenis batubara

Batubara dapat digolongkan menjadi 4 jenis tergantung dari umur dan lokasi

pengambilan batubara, yakni lignit, subbituminous, bituminous, dan antrasit, dimana

masing- masing jenis batubara tersebut secara berurutan memiliki perbandingan C : O

dan C : H yang lebih tinggi. Antrasit merupakan batubara yang paling bernilai tinggi,

dan lignit, yang paling bernilai rendah.

1. Lignit ; disebut juga brown-coal, merupakan tingkatan batubara yang paling

rendah, dan umumnya digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit

listrik.

2. Subbituminous ; umum digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga uap.

Subbituminous juga merupakan sumber bahan baku yang penting dalam

pembuatan hidrokarbon aromatis dalam industri kimia sintetis.

3. Bituminous ; mineral padat, berwarna hitam dan kadang coklat tua, sering

digunakan dalam pembangkit listrik tenaga uap.

4. Antrasit ; merupakan jenis batubara yang memiliki kandungan paling tinggi

dengan struktur yang lebih keras serta permukaan yang lebih kilau dan sering

digunakan keperluan rumah tangga dan industri.

Tabel 2.1. Komposisi elemen dari berbagai tipe batubara

Komposisi Elemen dari Beberapa tipe Batubara

(23)

2.1.3. Dampak penggunaan batubara terhadap lingkungan

Batubara merupakan bahan bakar utama untuk menghasilkan tenaga listrik,

karena biayanya yang relatif murah dan mudah didapatkan karena produknya yang

berlimpah. Di lain pihak, pembakaran batubara dapat menyebabkan emisi logam

seperti As, Hg, Cd, dan Pb. Besar kecilnya kandungan logam juga berbeda- beda dan

bergantung pada asal produksinya. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa batubara

lignit ( asal kayu ) dan batubara subbituminus ( asal batuan ) kurang mengandung

logam- logam tersebut daripada batubara bituminous ( mineral asli ).

Selama proses pembakaran, bagian batubara yang mudah menguap akan

berbentuk gas di dalam boiler dan mengumpul dalam partikel aerosol. Suhu

pembakaran dalam boiler merupakan salah satu parameter yang penting dalam

memengaruhi jumlah logam yang terbebaskan. Makin tinggi suhu dalam boiler, makin

banyak logam yang terbebaskan. Sistem filter juga dipergunakan dalam mengurangi

emisi logam ke udara, yaitu dengan menggunakan electrostatic precipitator ( ESP )

dan scrubber basah yang dipasang pada buangan asap pembangkitlistrik tenaga

batubara ( Darmono, 2001).

Sulfur oksida ( SOx) dan nitrogen oksida ( NOx) hasil pembakaran batubara

dan bahan bakar fosil lainnya yang terdapat di udara akan bereaksi dengan molekul –

molekul uap di atmosfir membentuk asam sulfat ( H2SO4) dan asam nitrat ( HNO3)

yang selanjutnya akan turun ke permukaan bumi bersama – sama dengan air hujan,

yang dikenal dengan hujan asam. Hujan asam dapat mengakibatkan rusaknya

bangunan dan berkaratnya benda- benda yang terbuat dari logam, selain itu hujan

asam juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan terutama pengasaman (

acidification ) danau dan sungai, pH dibawah 4.5 tidak memungkinkan bagi ikan

untuk hidup. Asam di air akan menghambat produksi enzim dari larva ikan untuk

keluar dari telurnya. Asam juga mengikat logam beracun seperti aluminium di danau.

Aluminium akan menyebabkan produksi lender yang berlebihan pada insang sehingga

(24)

Pembakaran batubara akan menghasilkan abu terbang ( fly ash ) dan abu dasar

( bottom ash ). Jumlah abu terbang yang dihasilkan lebih banyak ( 80% dari total sisa

abu pembakaran batubara), butiran abu terbang jauh lebih kecil ( 200 Mesh) dan lebih

berpotensi menimbulkan pencemaran udara, sedangkan abu dasar masih mempunyai

nilai kalori sehingga masih dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan bakar (

Munir.M,2008).

2.2. Abu terbang

Abu terbang merupakan salah satu residu (limbah batubara) yang dihasilkan dalam

pembakaran batu bara. Abu terbang terdiri dari partikel halus yang terbang, dan

jumlahnya meningkat dengan bertambahnya gas buangan. Abu tidak terbang disebut

dengan abu dasar. Dalam industri, abu terbang biasanya mengacu pada abu yang

dihasilkan selama proses pembakaran batu bara. Abu terbang umumnya dihasilkan

dari cerobong hasil pembakaran batubara pada pabrik pembangkit listrik. Abu terbang

bersama- sama dengan abu dasar akan dihasilkan dalam tungku pembakaran batubara,

yang dikenal sebagai abu hasil pembakaran batubara. Komponen abu terbang sangat

bervariasi, dengan komponen utama silikon dioksida ( SiO2 ) ( baik amorf maupun

kristal), dan kalsium oksida ( CaO ).

Abu terbang hasil pembakaran batubara mumnya dilepaskan ke atmosfir tanpa

adanya pengendalian, sehingga dapat menimbulkan pencemaran udara. Oleh karena

itu diperlukan adanya perhatian terhadap lingkungan dan pengendalian pencemaran

terhadap abu terbang sebelum dilepaskan ke alam. Di Amerika, abu terbang umumnya

disimpan sementara pada pembangkit listrik tenaga batubara, dan akhirnya dibuang di

landfill( tempat pembuangan ). Penumpukan abu terbang batubara ini menimbulkan

masalah bagi lingkungan. Oleh karena itu dilakukan berbagai penelitian untuk

meningkatkan nilai ekonomisnya, sehingga dapat mengurangi dampak buruknya bagi

(25)

2.2.1.Jenis- jenis abu terbang

Menurut American Society for Testing and Materials ( ASTM ) C618, pembagian abu

terbang dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu abu terbang kelas C dan abu terbang

kelas F. Abu terbang kelas F didapatkan dari pembakaran batubara antrasit dan

bituminous, sedangkan abu terbang kelas C didapatkan dari pembakaran batubara

lignit dan subbituminus ( ASTM C618).

Pembakaran dari batubara antrasit dan bituminous yang lebih kuat dan lebih

tua akan menghasilkan abu terbang kelas F. Abu terbang jenis ini mengandung kurang

dari 10% kapur ( CaO ). Abu terbang kelas F membutuhkan agen penyemenan (

cementing agent ), seperti misalnya semen Portland, kapur, dan dengan adanya air

untuk bereaksi dan menghasilkan senyawa semen.

Pembakaran dari batubara lignit dan subbituminus yang lebih muda akan

menghasilkan abu terbang kelas C, yang memiliki sifat penyemenan sendiri (

self-cementing ), yang dengan penambahan air, abu terbang kelas C akan mengeras dan

semakin kuat. Abu terbang kelas C mengandung lebih dari 20%

CaO(http://en.wikipedia.org/wiki/Fly_ash).

2.2.2. Komposisi kimia dan karakteristik abu terbang

Ukuran dan bentuk karakteristik dari partikel abu terbang sangat bergantung pada

tempat asal dan kesamaan dari batubara, derajat penghancuran sebelum dibakar,

pembakaran yang merata dan sistem padat, berlubang atau bola. Pembakaran batubara

dapat menghasilkan abu terbang dengan berbagai macam warna, hal ini sangat

bergantung pada suhu di dalam tungku pada saat pembakaran. Proses pembakaran ini

memiliki peranan paling penting terhadap mutu abu terbang yang dihasilkan. Abu

terbang akan berwarna kehitam-hitaman apabila suhu pada saat pembakaran kurang

(26)
(27)

2.2.3. Dampak abu terbang terhadap lingkungan

Sisa hasil pembakaran batubara menghasilkan abu terbang dan abu dasar. Persentase

abu yang dihasilkan adalah abu terbang (80-90%) dan abu dasar (10-20%). Butiran

abu terbang jauh lebih kecil daripada abu dasar, sehingga lebih berpotensi

menimbulkan pencemaran udara, sedangkan abu dasar masih mempunyai nilai kalori,

sehingga masih dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan bakar.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1999 dan Peraturan

Pemerintah nomor 85 tahun 1999, abu batubara diklasifikasikan sebagai limbah B-3

sehingga penanganannya harus memenuhi kaidah-kaidah tersebut. Penanganan yang

direkomendasikan Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1999 dan Peraturan

Pemerintah nomor 85 tahun 1999 adalah solidifikasi dimana dengan proses tersebut

limbah B-3 dalam abu batubara dapat menjadi stabil dan dapat dimanfaatkan sebagai

produk yang aman bagi kesehatan dan lingkungan.

Pemanfaatan limbah B-3 adalah kegiatan penggunaan kembali (reuse), daur

ulang (recycle), dan perolehan kembali ( recovery) yang bertujuan untuk mengubah

limbah B-3 menjadi produk yang dapat digunakan dan harus aman terhadap

lingkungan.

Reuse adalah penggunaan kembali limbah B-3 dengan tujuan yang sama tanpa

melalui proses tambahan secara fisika, kimia, biologi, ataupun secara termal.

Recycle adalah proses mendaur ulang komponen-komponen yang bermanfaat,

melalui proses tambahan secara fisika, kimia, biologi, atau secara termal untuk

menghasilkan produk yang sama ataupun produk yang berbeda

Recovery adalah perolehan kembali komponen- komponen yang bermanfaat

secara fisika, kimia, biologi, ataupun secara termal

Limbah bahan berbahaya dan Beracun (B-3) adalah setiap limbah yang

mengandung bahan berbahaya dan beracun karena sifat, konsentrasi, dan jumlahnya

baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan merusakkan

lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup

(28)

tersebut secara langsung ke media lingkungan tanpa pengelolaan terlebih dahulu, dan

juga tidak boleh melakukan pengenceran untuk maksud menurunkan konsentrasi

racun dan zat berbahaya B-3, karena pada hakekatnya pengenceran tidak mengurangi

beban pencemaran yang ada, dan tetap sama dengan sebelum dilakukan pengenceran.

Pengenceran tidak akan menghilangkan sifat berbahaya dan beracunnya limbah B-3

tersebut.

Proses pengolahan limbah B-3 dapat sengan cara fisika dan kimia, insenerasi,

dan solidifikasi/ stabilisasi. Proses pengolahan secara fisika dan kimia dimaksudkan

untuk mengurangi sifat racun dalam limbah B-3 menjadi tidak berbahaya lagi. Proses

pengolahan secara insenerasi dimaksudkan untuk menghancurkan limbah B-3 dengan

cara pemanasan pada suhu yang tinggi untuk dijadikan senyawa yang mempunyai

sifat tidak mengandung B-3 lagi. Proses solidifikasi/ stabilisasi pada prinsipnya adalah

mengubah sifat fisika dan kimia limbah dengan cara menambahkan bahan mengikat (

cement) untuk membentuk senyawa dengan struktur yang kompak, agar pergerakan

limbah B-3 terbatasi, daya larut diperkecil sehingga daya racunnya berkurang sebelum

limbah B-3 tersebut dimanfaatkan kembali. ( Munir, 2008)

2.3. Elemen mayor,minor, dan elemen renik dalam abu terbang serta analisisnya

Unsur mayor dalam batubara adalah Al, Si, K, Na, Ca, Mg, Fe, P dan

Ti.(Haraldsson,2004). Oksida mayor yang terdapat pada abu terbang adalah SiO2,

Al2O3, CaO, dan Fe2O (Bingol.D,2004). Elemen renik yang terkandung dalam abu

terbang adalah As, Ba, Cr, Hg, Mo, Ni, Pb, Se, V dan Cu( Brown W) dan elemen

minor yang terdapat dalam abu terbang adalah Cd, Co, Mn, Sb, dan

Zn(Haraldsson,2004).

Analisis unsur makro membutuhkan analisis residu abu pada temperatur tinggi,

sama seperti penentuan unsur utama dalam batu- batuan silikat. Berdasarkan

penelitian yang telah ada, penentuan kadar elemen dalam abu batubara dapat

dilakukan dengan cara membakar sampel, dan kemudian ditambahkan litium

(29)

Na, K, P, dan S. Penggunaan metode pembakaran campuran telah dibahas

sebelumnya, penggunaan litium metaborat untuk abu terbang dengan kadar silika yang

tinggi, dan pencampuran dengan litium tetraborat apabila abu terbang mengandung

oksida besi yang tinggi.

Metode spektrofotometri serapan atom adalah metode yang paling umum

digunakan dalam analisa abu terbang, tetapi hanya dapat menentukan satu elemen

dalam setiap penentuan. Penentuan multi-elemen menggunakan Inductively coupled

plasma- atomic emission spectrometry ( ICP-AES) telah dibahas, sehingga untuk

analisis semua elemen- elemen yang terkandung dalam abu terbang batubara

dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dibanding metode SSA (Lindahl, 1998).

Penentuan elemen renik dalam abu terbang hanya dapat ditentukan apabila

elemen renik yang terkandung tidak mengalami penguapan selama proses pengabuan.

Pembakaran untuk penentuan elemen ini dapat dilakukan pada suhu 500oC, untuk penentuan kadar Be, Cu, Cr, Mn, Ni, V, Pb, dan Zn dengan spektrofotometri serapan

atom. Walaupun dengan metode SSA nyala dapat diperoleh hasil yang memuaskan

untuk penentuan kadar elemen- elemen yang telah disebutkan diatas, tetapi banyak

abu batubara yang mengandung kadar Pb dan V dengan jumlah yang lebih rendah

sehingga kuantisasinya menjadi susah dan tidak akurat. Metode alternatif lain untuk

penentuan elemen renik dalam abu terbang digunakan ICP-OES, dengan tingkat

ketelitian yang tinggi, dan waktu yang diperlukan untuk analisa dengan ICP-AES

lebih singkat, sehingga dapat menghemat waktu analisa ( Lindahl,1998).

Apabila komponen anorganik yang terkandung dalam batubara tidak menguap

selama proses pengabuan, maka penentuan kadar elemen dalam abu terbang dengan

cara diatas dapat dilakukan. Tetapi untuk beberapa elemen seperti Na, Sn dan Cd akan

menguap selama proses pengabuan. Oleh karena itu, digunakan metode wet ashing (

pengabuan basah ), dengan menggunakan campuran dari asam perklorat ( HClO4) dan

asam pekat lainnya untuk melarutkan, wet ashing akan mengurangi menguapnya

komponen renik, mayor, dan minor, tetapi pada umumnya laboratorium untuk analisis

batubara menghindari penggunaan perklorat, karena asam perklorat merupakan bahan

(30)

oksigen dalam analisis batubara akan mengeliminasi hilangnya kuantisasi elemen

akibat adanya penguapan dari preparasi sampel ( Lindahl,1998).

Penentuan Alumina dan Silika dapat ditentukan dengan metode

Spektrofotometri Serapan Atom, dan digunakan pelarut HF3-H3BO3 untuk mencegah

adanya gangguan dari komponen mayor lainnya. Campuran dari HF3-H3BO3 juga

meningkatkan sinyal absorpsi silika yang relatif pada sistem udara. Metode ini

menunjukkan ketelitian dan keakuratannya untuk senyawa batu-batuan ( Brecque,

1979).

Penentuan elemen mayor dan minor, dapat dilakukan dengan cara destruksi

basah dalam kondisi tertutup dengan variasi pelarut dari HNO3, H2O2, HF, HCl, dan

HClO4 yang dipanaskan dengan microwave, dengan atau tanpa netralisasi dengan

H3BO3. Destruksi dengan HNO3/ H2O2/ HF diikuti dengan netralisasi dengan H3BO3

untuk penentuan elemen mayor, dan destruksi dengan HNO3/ H2O2/ HF untuk

penentuan elemen minor ( Haraldsson, 2004).

Metode penetuan kadar Cr, Pb, Zn, Co, Ni, dan Mn dapat diketahui dengan

menggunakan metode Spektrofotometri Serapan Atom. Sampel abu terbang kering (

0.3 g) dicampurkan dengan 5mL HNO3 dan 2ml HF, yang kemudian dilebur pada

suhu 180oC. Hasil leburan kemudian disaring, dan filtrat yang diperoleh diencerkan dalam labu takar 50mL, yang kemudian dianalisis dengan SSA untuk mengetahui

kandungan kadar logam dalam abu terbang (Sushil,S. 2005)

Analisa elemen yang terkandung pada abu terbang umumnya dipersiapkan

dengan menggunakan metode destruksi dengan asam kuat. Untuk sampel anorganik,

batu-batuan, hasil tambang, tanah, dan mineral umumnya menggunakan asam kuat

dan campuran beberapa asam yang paling sesuai dengan jenis logam yang ingin

dianalisa. Campuran sampel dengan asam nitrat, perklorat, dan HF didihkan hingga

kering dan terbentuk butiran- butiran putih, didinginkan, dan kemudian diencerkan.

Untuk kelarutan yang lebih tinggi, campuran asam kuat dan agen pengoksidasi /HF

(31)

SSA dapat digunakan untuk penentuan logam Cd, Co, Cr, Cu, Mn, Ni, Pb, V,

dan Zn secara kuantitatif. Destruksi dengan menggunakan asam nitrat dan akuaregia

dan pemanasan dalam microwave menghasilkan kelarutan yang kurang sempurna dari

sampel. Tingkat kelarutan yang tinggi dan lebih baik dihasilkan ketika sejumlah kecil

HF ditambahkan pada sampel. (Marco,A.2007)

2.4. Toksinitas logam Kobalt dan Nikel

2.4.1. Nikel ( Ni )

Nikel adalah logam berwarna putih perak dengan berat atom 58.71 g/mol dan berat

jenis 8.5. Nikel sebagai bahan paduan logam banyak digunakan di berbagai industri

logam, berbagai macam baja, serta electroplating( pelapisan permukaan).

Pencemaran Ni di udara berasal dari pembakaran batubara, pembakaran BBM,

industri pemurnian logam Ni, serta limbah dari incinerator. Pembuangan limbah yang

mengandung Ni mengakibatkan pencemaran Ni pada tanah, air, dan tanaman. Total Ni

dalam tanah bisa mencapai 5-500 ppm, sedangkan kadar Ni pada air tanah mencapai

0.005-0.05 ppm dan kadar Ni pada tumbuhan tidak lebih dari 1 ppm.

Logam nikel dan senyawa nikel merupakan bahan karsinogenik. Ni-subsulfida

dapat mengakibatkan kanker paru-paru, kanker rongga hidung, dan kanker pita suara,

bahkan dapat mengakibatkan kematian. Nikel merupakan bahan karsinogenik,

terutama bagi pekerja di industri pemurnian nikel. The Environmental Protection

Agency ( EPA ) menetapkan debu nikel murni dan nikel subsulfida sebagai bahan

karsinogen.

2.4.2. Kobalt ( Co )

Kobalt merupakan logam berwarna abu- abu perak dan memiliki berat molekul 58.93

g/mol. Kobalt dan senyawanya terdapat di dalam melalui sumber alam dan aktivitas

(32)

Sumber alami Co di lingkungan adalah tanah, debu, air laut, lava gunung berapi, dan

kebakaran hutan. Co bisa berasal dari limbah pembakaran minyak, pembakaran

batubara, sisa pembakaran kenderaan bermotor, pesawat, serta limbah dari indusri

logam keras.

Pada manusia, kadar Co normal dalam urin adalah sebesar 98 µg/L, sedangkan

kadar Co normal dalam darah 0,18 µg/L. Logam Co bisa mengakibatkan iritasi serta

dermatitis bagi pekerja di lingkungan industri logam keras, industri karet, industri

kaca, dan industri plastik. Debu Co bisa menyebabkan penyakit mirip asma dengan

gejala batuk, nafas pendek, sulit bernafas, penurunan fungsi paru-paru yang bahkan

bisa mengakibatkan kematian. Co dapat mengakibatkan gangguan jantung akibat

paparan kronis yang biasanya dialami oleh para pekerja dalam industri yang

menggunakan bahan baku Co. Para pekerja yang menghirup udara dengan kadar Co

0,038 mg/m3 (100.000 kali lipat lebih besar daripada batas kadar aman Co di udara) dapat menyebabkan gangguan fungsi paru-paru.

Berdasarkan hasil penelitian pada hewan uji menetapkan bahwa Co bersifat

karsinogenik. The International Agency Reasearch on Cancer ( IARC) menetapkan

bahwa Co bersifat karsinogenik (Widowati.W,2008).

2.5. Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

Jika suatu larutan yang mengandung suatu garam logam ( atau senyawa logam )

diaspirasikan ke dalam suatu nyala maka akan terbentuk uap yang mengandung atom-

atom bebas logam yang berada pada keadaan dasar. Beberapa atom logam dalam gas

ini dapat dieksitasi ke tingkatan energi yang lebih tinggi dengan menyerap radiasi

yang karakteristik dari logam tersebut. Atom-atom dalam keadaan dasar ini mampu

menyerap energi cahaya yang panjang gelombang resonansinya spesifik untuknya,

yang pada umumnya adalah panjang gelombang radiasi yang akan dipancarkan atom-

atom itu bila tereksitasi dari keadaan dasar. Jadi jika cahaya dengan panjang

gelombang resonansi itu dilewatkan nyala yang mengandung atom- atom

(33)

berbanding lurus dengan banyaknya atom keadaan dasar yang berada dalam nyala.

Inilah asas yang mendasari Spektroskopi Serapan Atom (SSA) ( Vogel, 1994).

2.5.1. Instrumentasi

Gambar 2.1. menunjukkan dalam bentuk bagan komponen- komponen dari sebuah

spektrofotometer absorpsi atom dasar.

Gambar 2.1. Skema bagan alat Spektrofotometer Serapan Atom

Untuk spektroskopi nyala suatu persyaratan penting adalah bahwa nyala yang

dipakai hendaknya menghasilkan temperatur lebih dari 2000 K ( Vogel, 1984).

Dengan sistem pengabut-pembakar, tabung kapiler akan menarik sampel dari dalam

suatu wadah dan memecahkannya menjadi tetes-tetes halus ( aerosol ). Temperatur

yang dapat dicapai bergantung pada gas yang digunakan; nilai kira-kira antara lain

adalah gas batubara-udara 1800oC, gas alam-udara 1700oC, asetilena-udara 2200oC, asetilena-dinitrogen oksida, 3000oC ( Underwood, 2002).

Dalam SSA, fungsi monokromator adalah untuk memisahkan radiasi

resonansi dari semua garis yang tak diserap yang dipancarkan oleh sumber radiasi.

2.5.2. Gangguan

Absorpsi atom jelas sekali bebasnya dari gangguan. Perangkat tingkat- tingkat energi

elektronik untuk sebuah atom adalah spesifik untuk unsur itu. Ini berarti tidak ada dua

unsur yang memperagakan garis-garis resonansi yang sama panjang gelombangnya

(34)

2.5.2.1. Gangguan spektral

Gangguan spektral terjadi karena tumpang tindih antara frekuensi-frekuensi garis

resonansi yang terpilih dengan garis-garis yang dipancarkan oleh unsur lain. Hal ini

timbul karena dalam prakteknya suatu garis yang terpilih memang mempunyai lebar

pita yang terhingga.

Dengan metode emisi nyala, gangguan spektral lebih mungkin terjadi apabila

emisi garis unsur yang akan ditetapkan itu dan emisi garis yang disebabkan zat-zat

pengganggu berdekatan panjang gelombangnya. Hal ini menyebabkan kurangnya

kepekaan dan jeleknya ketelitian analisis.

2.5.2.2. Gangguan kimia

1. Adanya pembentukan senyawa stabil ; menyebabkan tidak sempurnanya

disosiasi zat yang akan dianalisis di dalam nyala, yang tak dapat berdisosiasi

menjadi atom-atom penyusunnya.

2. Pengionan atom gas berkeadaan dasar dalam nyala; akan mengurangi

intensitas emisi garis spektral atom dalam spektroskopi emisi nyala.

Temperatur tinggi asetilena-udara atau asetilena-dinitrogen oksida dapat

mengakibatkan pengionan dari unsur-unsur seperti logam alkali dan kalsium,

strontium, maupun barium ( Vogel,1984).

3. Efek- efek matriks; disosiasi menjadi atom-atom pada suatu temperatur

tertentu bergantung sekali pada komposisi keseluruhan dari sampel.Misalnya

suatu larutan kalsium klorida dikabutkan dan dilarutkan partikel-partikel halus

CaCl2 padat akan berdisosiasi menghasilkan atom Ca dengan lebih mudah

daripada Ca3(PO4)2 ( Underwood,2002).

4. Absorpsi molekular; misalnya dalam suatu nyala asetilena-udara natrium

klorida berkonsentrasi tinggi akan menyerap radiasi berpanjang gelombang

sekitar 231,9 nm yang merupakan panjang gelombang garis resonansi zink,

sehingga NaCl akan menyebabkan gangguan dalam penetapan zink dalam

(35)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1.Alat dan bahan

3.1.1. Alat

Nama Alat Spesifikasi Merek

Spektrofotometer Serapan

Atom

AA-6300 Shimadzu

Alat-alat gelas - Pyrex

Neraca analitis Presisi 0.0001 g Mettler Toredo

Hotplate stirrer - Fisons

Oven 600oC Fisher

Termometer 360oC Fisher

Kertas saring No.42 Whatman

Botol akuades - -

Plastik dan karet - -

Cawan krusibel - -

(36)

3.2.2. Bahan

Nama Bahan Spesifikasi Merek

HF - E.Merck

HNO3 p.a.65% E.Merck

Akuades - -

Abu terbang - -

Larutan Induk logam

Kobalt (Co)

p.a. 1000mg/L E.Merck

Larutan Induk logam

Nikel (Ni)

p.a. 1000mg/L E.Merck

3.2. Prosedur penelitian

3.2.1. Sampling

Abu terbang dari dua lokasi dikumpulkan dengan menggunakan Electrostatic

Precipitator (ESP). Jarak antara cerobong dengan tumpukan abu terbang adalah 14 m.

Sampel diambil secara purposif lalu diayak dengan ayakan 100Mesh. Selanjutnya

hasil ayakan tersebut dilebur dalam oven pada suhu 600oC selama 1 jam( Lindahl,1998).

3.2.2. Pembuatan Larutan Standar Kobalt 100mg/L

Sebanyak 10mL larutan induk kobalt 1000mg/L dimasukkan ke dalam labu takar

(37)

3.2.2.1. Pembuatan Larutan Standar Kobalt 10mg/L

Sebanyak 10mL larutan standar kobalt 100mg/L dimasukkan ke dalam labu takar

100mL lalu diencerkan dengan akuades sampai garis tanda dan dihomogenkan

3.2.2.2. Pembuatan Larutan Standar Kobalt 1mg/L

Sebanyak 10mL larutan standar kobalt 10mg/L dimasukkan ke dalam labu takar

100mL lalu diencerkan dengan akuades sampai garis tanda dan dihomogenkan

3.2.2.3. Pembuatan Larutan Seri Standar Kobalt 0,1;0,3;0,5;0,7;dan 0,9 mg/L

Sebanyak 5;15;25;35;dan 45 mL larutan standar kobalt 1mg/L dimasukkan ke dalam 4

buah labu takar 50mL kemudian diencekan dengan akuades sampai garis tanda dan

dihomogenkan.

3.2.2.4. Pembuatan Kurva Standar

Larutan seri standar kobalt 0,1;0,3;0,5;0,7;dan 0,9 mg/L diukur absorbansinya dengan

menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom pada λspesifik 240,7nm dan perlakuan

diulangi sebanyak 3 kali.

3.2.3. Pembuatan Larutan Standar Nikel 100mg/L

Sebanyak 10mL larutan induk Nikel 1000mg/L dimasukkan ke dalam labu takar

(38)

3.2.3.1. Pembuatan Larutan Standar Nikel 10mg/L

Sebanyak 10mL larutan standar nikel 100mg/L dimasukkan ke dalam labu takar

100mL lalu diencerkan dengan akuades sampai garis tanda dan dihomogenkan

3.2.3.2. Pembuatan Larutan Standar Nikel 1mg/L

Sebanyak 10mL larutan standar Nikel10mg/L dimasukkan ke dalam labu takar 100mL

lalu diencerkan dengan akuades sampai garis tanda dan dihomogenkan

3.2.3.3. Pembuatan Larutan Seri Standar Nikel 0,1;0,3;0,5;0,7;dan 0,9 mg/L

Sebanyak 5;15;25;35;dan 45 mL larutan standar Nikel1mg/L dimasukkan ke dalam 4

buah labu takar 50mL kemudian diencekan dengan akuades sampai garis tanda dan

dihomogenkan.

3.2.3.4. Pembuatan Kurva Standar

Larutan seri standar Nikel 0,1;0,3;0,5;0,7;dan 0,9 mg/L diukur absorbansinya dengan

menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom pada λspesifik 232nm dan perlakuan

diulangi sebanyak 3 kali.

3.2.4. Destruksi abu terbang

Abu terbang yang telah dilebur kemudian ditimbang sebanyak 0.3 g, dan didestruksi

dengan campuran pelarut HF dan HNO3 masing- masing sebanyak 2mL dan 5mL

sambil dipanaskan dan diaduk pada suhu 80oCselama 20 menit. Hasil destruksi dari abu terbang kemudian disaring, filtrat yang diperoleh diencerkan dalam labu takar

50mL, dan dianalisis kadar logamnya dengan menggunakan instrumen

(39)

3.3. Bagan penelitian

Sampling

Analisis dengan SSA Pelarutan sampel

Pembuatan larutan standar untuk kurva kalibrasi

(40)

3.3.1. Preparasi sampel

Diayak dengan ayakan

100 Mesh

Dilebur dalam oven pada

suhu 600oC selama 1 jam dan didiamkan hingga

suhu kamar

Didestruksi dengan

campuran pelarut HF dan

HNO3masing-masing

sebanyak 2 mL dan 5mL

Dipanaskan sambil diaduk

pada suhu 80oC selama 20 menit

Disaring

Diencerkan dalam labu takar 50mL

Diukur kadar logamnya dengan menggunakan instrumen SSA pada

λspesifik 232nm untuk logam Nikel, dan 240,7nm untuk logam kobalt

Sampel abu terbang

Hasil

filtrat residu

(41)

3.3.2. Pembuatan Larutan seri standar dan kurva kalibrasi Kobalt (Co)

Dipipet sebanyak 10mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan

Dipipet sebanyak 10mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan

Dipipet sebanyak 10mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan

Dipipet sebanyak 5;15;25;35;dan 45mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL

Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan

Diukur absorbansinya dengan Spektrofotometer Serapan Atom pada

λ

spesifik 240,7 nm

Larutan standar kobalt 1000mg/L

Larutan standar kobalt 100mg/L

Larutan standar kobalt 1mg/L

Larutan standar seri kobalt 0,1;0,3;0,5;0,7; dan 0,9 mg/L

Hasil

(42)

3.3.3. Pembuatan Larutan seri standar dan kurva kalibrasi Nikel(Ni)

Dipipet sebanyak 10mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan

Dipipet sebanyak 10mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan

Dipipet sebanyak 10mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan

Dipipet sebanyak 5;15;25;35;dan 45mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL

Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan

Diukur absorbansinya dengan Spektrofotometer Serapan Atom pada

λ

spesifik 232 nm

Larutan standar Nikel 100mg/L

Larutan standar Nikel 1mg/L

Larutan standar seri Nikel 0,1;0,3;0,5;0,7; dan 0,9 mg/L

Hasil

(43)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Analisis logam dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom ( SSA ) dilakukan

dengan kondisi seperti pada tabel 4.3 dan tabel 4.4 dibawah ini.

Tabel 4.3 Kondisi alat SSA Merek Shimadzu tipe AA-6300 pada pengukuran Konsentrasi ion Nikel

Kecepatan aliran gas pembakar (L/min)

Kecepatan aliran udara (L/min)

Lebar celah (nm)

Tabel 4.4. Kondisi alat SSA Merek Shimadzu tipe AA-6300 pada pengukuran konsentrasi ion Kobalt ( Co )

No Parameter Ion Kobalt

Kecepatan aliran gas pembakar (L/min)

Kecepatan aliran udara (L/min)

(44)

Pembuatan kurva larutan standar dilakukan dengan mengukur absorbansi dari seri

larutan standar dengan variasi konsentrasi 0,0;0,1;0,3;0,5;0,7; dan 0,9 ppm yang

hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.5 dan Gambar 4.2 untuk logam nikel dan pada

Tabel 4.6 dan Gambar 4.3 untuk logam kobalt.

Tabel 4.5.Data Absorbansi larutan seri standar Nikel

Gambar 4.2. Kurva kalibrasi larutan seri standar Nikel

y = 0.097x - 0.003

Konsentrasi Larutan Seri Standar

Logam Ni (ppm)

Konsentrasi Larutan Seri Standar Logam Ni (ppm)

Linear (Konsentrasi Larutan Seri Standar Logam Ni (ppm))

Konsentrasi (ppm) Absorbansi Rata-rata

(45)

Tabel 4.6. Data absorbansi larutan seri standar kobalt

Gambar 4.3. Kurva kalibrasi larutan seri standar kobalt

Dengan kondisi peralatan Spektrofotometer Serapan Atom ( SSA) seperti pada Tabel

4.3 untuk logam nikel dan Tabel 4.4 untuk logam kobalt diukur absorbansi sampel

dari lokasi I dan lokasi II dan hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.7 dibawah.

y = 0.039x - 0.000

Konsentrasi Larutan Seri Standar

Logam Co(mg/L)

Konsentrasi Larutan Seri Standar Logam Co (ppm)

Linear (Konsentrasi Larutan Seri Standar Logam Co (ppm))

Konsentrasi (ppm) Absorbansi Rata-rata

(46)

Tabel 4.7. Data hasil pengukuran absorbansi kobalt dan nikel pada sampel

4.2 Pengolahan Data

Berdasarkan kurva kalibrasi yang diperoleh dari Gambar 4.2 untuk logam nikel dan

Gambar 4.3 untuk logam kobalt maka dapat dihitung persamaan regresi dan koefisien

korelasi untuk masing- masing logam.

4.2.1 Penurunan Persamaan Garis Regresi dengan Metode Least Square untuk Logam Nikel

Hasil pengukuran absorbansi larutan seri standar Nikel pada tabel 4.4 diplotkan

terhadap konsentrasi sehingga dihasilkan kurva kalibrasi berupa garis linear.

Persamaan garis regresi kurva kalibrasi dapat diturunkan dengan metode Least Square

dengan data pada tabel 4.8.

Logam Lokasi I Lokasi II

A1 A2 A3 Ā A1 A2 A3 Ā

Co 0,0076 0,0063 0,0080 0,0073 0,0077 0,0068 0,0078 0,0074

(47)

Tabel 4.8. Penurunan persamaan garis regresi dengan metode Least Square untuk logam nikel

No Xi Yi (Xi – X) (Yi – Y) (Xi – X)2 (Yi – Y)2 (Xi-X)(Yi-Y) 1 0,0000 0,0019 -0,4166 -0,036 0,1735 1,296 x 10-3 0,015

2 0,1000 0,0063 -0,3166 -0,0316 0,1002 9,9856x10-4 0,0100 3 0,3000 0,0221 -0,1166 -0,0158 0,0136 2,4964x10-4 1,8420x10-3 4 0,5000 0,0428 0,0834 4,9000x10-3 6,950x10-3 2,4010x10-5 4,0866x10-4 5 0,7000 0,0686 0,2834 0,0307 0,0803 9,4249x10-4 8,7000x10-3 6 0,9000 0,0861 0,4834 0,0482 0,2337 2,3232x10-3 0,0233

Σ 2,5 0,2278 4x10-4 4x10-4 0,6082 5,8309x10-3 0,0592

Persamaan garis regresi untuk kurva kalibrasi dapat diturunkan dari persamaan garis :

dimana :

a = slope b = intersept

Selanjutnya harga slope dapat ditentukan dengan menggunakan metode least square

sebagai berikut :

Dengan mensubstitusikan harga-harga yang terdapat pada tabel 4.7. pada persamaan

diatas maka diperoleh harga :

(48)

Maka diperoleh persamaan garis :

-3

4.2.2 Koefisien Korelasi ( Nikel )

Koefisien korelasi dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut :

Maka koefisien korelasi untuk nikel adalah :

4.2.3. Penentuan konsentrasi ( Nikel)

Konsentrasi dari logam Nikel ( Ni ) dalam sampel dihitung dari kurva kalibrasi

dengan cara memplotkan absorbansi rata-rata logam nikel dalam sampel terhadap

(49)

Gambar 4.4. Konsentrasi logam Nikel dalam sampel

Jadi berdasarkan metode kurva kalibrasi ini diperoleh kadar logam nikel dalam abu

terbang lokasi I sebesar 0,7011 ppm dan pada lokasi II sebesar 0,5594 ppm.

4.2.4 Penurunan Persamaan Garis Regresi dengan Metode Least Square untuk

Logam Kobalt

Hasil pengukuran absorbansi larutan seri standar logam Kobalt pada tabel 4.6

diplotkan terhadap konsentrasi sehingga diperoleh kurva kalibrasi berupa garis linear.

Persamaan garis regresi untuk kurva kalibrasi ini dapat diturunkan dengan metode

Least Square dengan hasil pada tabel 4.9.

(0.7011,0.0659)

Konsentrasi logam Nikel dalam sampel

(ppm)

konsentrasi logam Ni dalam abu terbang 1

(50)

Tabel 4.9. Penurunan persamaan garis regresi dengan metode Least Square untuk logam kobalt

No Xi Yi (Xi - X) (Yi – Y) (Xi – X)2 (Yi – Y)2 (Xi-X)(Yi-Y) 1 0,0000 0,0012 -0,4166 -0,0150 0,1735 2,2500x10-4 6,25x10-3 2 0,1000 0,0028 -0,3166 -0,0134 0,1002 1,7956x10-4 4,2424x10-3 3 0,3000 0,0117 -0,1166 -4,5x10-3 0,0136 2,025x10-5 5,247x10-4 4 0,5000 0,0199 0,0834 3,7x10-3 6,95x10-3 1,369x10-5 3,0858x10-4 5 0,7000 0,0275 0,2834 0,0113 0,0803 1,2769x10-4 3,2024x10-3 6 0,9000 0,0343 0,4834 0,0181 0,2337 3,2761x10-4 8,75x10-3

Σ 2,5 0,0974 4x10-4 0,0002 0,6082 8,9380x10-4 0,0233

Persamaan garis regresi untuk kurva kalibrasi dapat diturunkan dari persamaan garis :

Selanjutnya harga slope dapat ditentukan dengan menggunakan metode Least Square

sebagai berikut :

Dengan mensubstitusikan harga-harga yang tercantum pada tabel 4.13 pada

(51)

Maka diperoleh persamaan garis :

4.2.5 Koefisien Korelasi (Kobalt)

Koefisien korelasi dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut :

Maka koefisien korelasi untuk Kalsium adalah :

4.2.6. Penentuan konsentrasi (Kobalt)

Konsentrasi dari logam Kobalt ( Co ) dalam sampel dihitung dari kurva kalibrasi

dengan cara memplotkan absorbansi rata-rata logam kobalt dalam sampel terhadap

(52)

Gambar 4.5. Konsentrasi logam Kobalt dalam sampel

Jadi berdasarkan metode kurva kalibrasi ini diperoleh kadar logam kobalt dalam abu

terbang dari lokasi I sebesar 0,197 ppm dan dari lokasi II sebesar 0,1995 ppm.

4.2.7. Penentuan kadar logam kobalt (Co) yang terkandung dalam abu terbang dalam mg/kg

Pengukuran kadar logam kobalt (Co) dalam abu terbang dari lokasi I dan lokasi II :

Kadar logam Co dari lokasi 1 = x 106 mg/kg

Konsentrasi logam Kobalt dalam sampel

(ppm)

Konsentrasi Logam Kobalt pada Abu Terbang 1

(53)

4.2.8. Penentuan kadar logam Nikel (Ni) yang terkandung dalam abu terbang dalam

mg/kg

Pengukuran kadar logam Nikel (Ni) dalam abu terbang dari lokasi I dan lokasi II :

Kadar logam Ni dari lokasi 1 = x 106 mg/kg

= x 106 mg/kg

= 116,85 mg/kg

Kadar logam Ni dari lokasi 2 = x 106 mg/kg

= x 106 mg/kg

= 93,2333 mg/kg

4.3. Pembahasan

Telah dilakukan analisis logam kobalt dan nikel dalam abu terbang dari dua lokasi.

Pada kedua lokasi ini, batubara digunakan untuk memanaskan boiler dalam

menghasilkan listrik. Abu terbang batubara dikumpulkan dengan Electrostatic

Precipitator (ESP). Jarak antara cerobong dengan tumpukan abu terbang adalah 14 m.

Abu terbang yang diperoleh dari cerobong ditampung dalam suatu tempat sehingga

menjadi gundukan yang akan terbang apabila tertiup angin. Karena abu terbang ini

berukuran kecil maka ia dapat memberikan dampak buruk terhadap kesehatan karena

dapat terhirup dan masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan atau kulit

(Widowati.W,2008)

Sampel diambil dari gundukan abu terbang secara purposif, lalu dipisahkan

dengan ayakan 100 Mesh dan dilebur pada suhu 600oC untuk membebaskan logam dan oksidanya(Vogel,1985). Suhu yang digunakan 600oC adalah menurut penelitian terdahulu ( Lindahl,1998). Hasil leburan kemudian didestruksi dengan campuran HF

(54)

dengan pengadukan dan pemanasan pada suhu 80oC selama 20 menit ( Sushil.S,2005). Pelarut HF digunakan untuk melarutkan silika, sehingga logam- logam renik lainnya

akan bebas, yang kemudian akan dilarutkan dengan pelarut HNO3 (Bingol.D,2004).

Setelah proses pelarutan, hasil yang diperoleh kemudian disaring dengan

kertas saring whatman no.42 dan diencerkan dalam labu takar 50mL. Konsentrasi

kobalt dan nikel diperoleh dengan mengaspirasikan larutan sampel ke instrument

Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) dengan λspesifik 232 nm untuk logam nikel dan

240,7nm untuk logam kobalt. Kadar kobalt dan nikel dalam abu terbang dari lokasi I

adalah 0,197 ppm (33,8333mg/kg) dan0,7011 ppm (116,85 mg/kg); dan untuk lokasi

II diperoleh kadar kobalt dan nikel sebesar 0,1995 ppm (33,25 mg/kg) dan 0,5594

ppm (93,2333 mg/kg). Hasil ini diperoleh dari kurva kalibrasi yang dibuat dari seri

larutan standar 0,0;0,1;0,3;0,5;0,7 dan 0,9 ppm yang memberikan suatu garis yang

linier dengan persamaan garis y = 0.0973x ± 0.0026 dan koefisien korelasi 0.9949

untuk logam nikel dan persamaan garis y = 0.0383x ± 0.0003 dan koefisien korelasi

0.9995 untuk logam kobalt.

Kadar logam kobalt dan nikel dalam abu terbang dari beberapa Negara dapat

dilihat pada tabel 4.10. dibawah.

Tabel 4.10.Kadar logam kobalt dan nikel dalam abu terbang di beberapa Negara

Unsur Spanyol Greece UK China India Orrisa,India

Co 29,2 ND ND ND 23,6 16,88

Ni 87,9 ND ND ND 150 56,50

*ND = NOT DETECTED (dalam mg/kg) ( Sushil.S,2005)

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kadar logam kobalt dan nikel pada

beberapa Negara tidak terdeteksi. Dalam penelitian ini diperoleh kadar kobalt dan

nikel dalam abu terbang dari lokasi I adalah 0,197 ppm (33,8333mg/kg) dan0,7011

ppm (116,85 mg/kg); dan untuk lokasi II diperoleh kadar kobalt dan nikel sebesar

0,1995 ppm (33,25 mg/kg) dan 0,5594 ppm (93,2333 mg/kg). Batas standar untuk

logam kobalt dan nikel dalam tanah, air dan tubuh manusia menurut US Department

(55)

Tabel 4.11. Batas kadar logam kobalt dan nikel dalam tanah, air dan tubuh manusia

Unsur Tanah (ppm) Air (ppm) Tubuh

manusia(mg/kg/hari)

Ni 4-80 0,3-10 0,02

Co 1-20 0,5-10 0,7-2,0

(US Department of Health and Human Services,2005)

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar kobalt dan nikel yang

terkandung dalam abu terbang masih jauh lebih rendah daripada batas aman untuk air,

tanah, dan manusia. Penanggulangan abu terbang yang dilakukan pada kedua lokasi

masih belum dilakukan, abu ini hanya ditumpukkan dan kemudian dibawa ke suatu

tempat untuk diproses lebih lanjut.

Oleh karena kadar logam kobalt dan nikel dalam abu batubara ini jauh lebih

rendah daripada batas aman (threshold limit) bagi kesehatan maka bilamana abu

batubara ini digunakan untuk bahan bangunan akan tidak memberi dampak terhadap

lingkungan apabila ditinjau dari kadar kobalt dan nikelnya. Tetapi perlu terus dipantau

(56)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Kadar logam Nikel dalam sampel abu terbang dari lokasi I adalah 0,7011

ppm(116,85 mg/kg) dan dari lokasi II adalah 0,5594 ppm(93,2333 mg/kg).

2. Kadar logam Kobalt dalam sampel abu terbang dari lokasi I adalah 0,197 ppm

(33,8333 mg/kg) dan dari lokasi II adalah0,1995 ppm (33,23 mg/kg).

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar kobalt dan nikel yang terkandung

dalam abu terbang masih jauh lebih rendah daripada batas aman untuk air, tanah, dan

manusia yang dapat dilihat pada tabel 4.11. Oleh karena kadar logam kobalt dan nikel

dalam abu batubara ini jauh lebih rendah daripada batas aman (threshold limit) bagi

kesehatan maka bilamana abu batubara ini digunakan untuk bahan bangunan akan

tidak memberi dampak terhadap lingkungan apabila ditinjau dari kadar kobalt dan

nikelnya. Tetapi perlu terus dipantau dampak pemakaiannya terhadap lingkungan.

5.2. Saran

Perlu dilakukan analisa lebih lanjut terhadap residu yang terbentuk pada proses

destruksi abu terbang untuk mengetahui apakah residu tersebut masih mengandung

(57)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad,R.2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Bingol,D.2004. Determination of trace elements in fly ash samples by FAAS after

applying different digestion procedure. Talanta: Elsevier.

Brecque,J.1979. Decomposition and Determination of Aluminium and Silicon in

Venezuelan laterities by Atomic Absorption Spectroscopy. USA: Elsevier.

Brown,W. Methods for Sampling and Inorganic Analysis of Coal. U.S. Geological Survey Buletin 1823.

Davidson,D.T.1961. Soil Stabilization with Lime Fly Ash. Ames, Lowa: lowa state University of Science and Technology.

Haraldsson,C.2004.Solid Biofuels- Determination of Major and Minor Elements. Reports On deliverable III.2 D4 of the EU funded BioNorm project ( ENK6-CT-2001-00556), in preparation.

Harian Analisa. 23 Agustus 2010.

Kent,A.J.1993. Riegel’s Handbook of Industrial Chemistry. 9th edition. USA: Springer.

Khopkar,S.M.2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-press.

Lindahl,C.1998.The Applicability of Standard Test Methods to the Analysis of Coal

Samples for Coal Research. Cass Avenue : Argonne.

Marco,A.2007.Trends in Sample Preparation. New York:Nova Science Publisher,Inc.

Mitra,S.2003.Sample Preparation Technical in Analytical Chemistry. New York: John Willey and Sons.

Munir,M. 2008. Pemanfaatan Abu Batubara ( Fly Ash) untuk Hollow Block yang

Bermutu dan Aman bagi Lingkungan. Tesis. Semarang: Universitas

Diponegoro.

(58)

SNI 6989.18:2009.Uji Nikel secara Spektrofotometri Serapan Atom. Badan Nasional Indonesia.

SNI 6989.68:2009.Uji Kobalt secara Spektrofotometri Serapan Atom. Badan Nasional Indonesia.

Sushil,S.2005. Analysis of Fly Ash Heavy Metal Content and Disposal in Three

Thermal Power Plants in India. India:Teri School of Advanced Studies.

Tripathi,S.M. 2003. Trace Elements and Their Mobility in Coal Ash/Fly Ash from

Indian Power Plants in View of its Disposal and Bulk Use in Agriculture.

India: Poland Institute for scientific and Industrial Research.

Underwood.2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi Keenam.

US Department of Health and Human Services,2005. Toxicological Profile for Nickel. Public Health Services, Agency for Toxic Substance and Disease Registry

Vogel.1989. Textbook of Quantitative Chemical Analysis. Fifth edition. London:English Languange Book Society/ Longman.

Vogel.1984. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Widowati,W.2008. Efek Toksik Logam. Yogyakarta: Andi.

Gambar

Tabel 2.1. Komposisi elemen dari berbagai tipe batubara
Tabel 2.2. Komposisi kimia dari batubara dan abu terbang hasil pembakaran batubara
Gambar 2.1. menunjukkan dalam bentuk bagan komponen- komponen dari sebuah
Tabel 4.3 Kondisi alat SSA Merek Shimadzu tipe AA-6300 pada pengukuran Konsentrasi ion Nikel
+7

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS KADAR LOGAM KADMIUM (Cd), KROMIUM (Cr), TIMBAL (Pb), DAN BESI (Fe) PADA HEWAN UNDUR-UNDUR DARAT (Myrmeleon Sp.) DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN..

ANALISA LOGAM MANGAN (Mn) DAN SENG (Zn) TERHADAP LIMBAH CAIR INDUSTRI DENGAN METODE.. SPEKTROFOTOMETRI

Dalam analisis dengan spektrofotometri serapan atom, sampel yang akan. dianalisis harus diuraikan menjadi

Penetapan kadar cemaran logam timbal Pb dalam ikan kembung dilakukan dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) karena waktu pengerjaaan yang cepat,

Yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini adalah analisa kandungan logam berat Pb dan Cu dengan menggunakan metode SSA (Spektrofotometri Serapan Atom)

ANALISIS KADAR LOGAM KADMIUM (Cd), KROMIUM (Cr), TIMBAL (Pb), DAN BESI (Fe) PADA HEWAN UNDUR-UNDUR DARAT (Myrmeleon Sp.) DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN..

Spektrofotometri serapan atom adalah suatu metode analisis untuk penentuan konsentrasi suatu unsur dalam suatu cuplikan yang didasarkan pada proses penyerapan radiasi sumber

Kemudian hasil uji kuantitatif yang dihitung memakai konsentrasi yang diperoleh dari pembacaan alat Spektrofotometri Serapan Atom SSA yaitu sampel A dalam 1 pot 15 g mengandung 5,373