• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. periode klasik sejarah manusia. Bir sebagai salah satu jenis minuman keras telah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. periode klasik sejarah manusia. Bir sebagai salah satu jenis minuman keras telah"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Minuman keras merupakan hasil kebudayaan yang telah ada sejak masa periode klasik sejarah manusia. Bir sebagai salah satu jenis minuman keras telah dikenal sejak zaman klasik. Dalam catatan sejarah, Mesir Kuno dan Mesopotamia merupakan bangsa yang telah mengenalkan minuman ini sejak satu Abad Sebelum Masehi.1 Bir merupakan minuman beralkohol yang sangat umum selain air dan teh. Faktor yang mempengaruhi penerimaan konsumsi minuman beralkohol ini bervariasi dari berbagai masyarakat. Di antaranya adalah gaya hidup, demografi, batasan usia, serta kondisi alam dan sosial sekitarnya.2 Perkembangan selanjutnya, minuman keras dengan bahan dasar anggur dan gandum menjadi lebih beragam. Bangsa Eropa dengan budaya minuman keras hadir ke tanah jajahannya masing-masing secara sadar maupun tidak telah membawa minuman keras sebagai budaya dan penampilan baru di koloni masing-masing. Termasuk pulau Jawa sebagai jajahan Belanda tidak lepas dari dampak budaya Belanda dan Eropa.

1

Max Nelson, The Barbarian’s Beverage: A History of Beer in Ancient

Europe, (New York: Routladge, 2005), hlm., 1.

2

Charles Bamforth, Grape vs Grain: A Historical, Technological, and

Social Comparison of Wine and Beer, (New York: Cambridge University Press,

(2)

Kedatangan orang-orang Eropa membentuk budaya baru yang asing dan sama sekali baru bagi penduduk bumiputra. Berbagai budaya gaya hidup yang melingkupi kegiatan hidup sehari-hari terpusat pada budaya pendatang Eropa. Selain dalam bentuk identitas-identitas material, juga memiliki dampak pembaratan atas mentalitas. 3

Periode akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 juga terjadi transformasi struktur kehidupan masyarakat dengan masuknya pendatang Eropa. Menurut Burger4 dan Wertheim5 dikatakan sebagai memudarnya struktur masyarakat agraris feodal tradisional dalam perubahan bentuk menuju masyarakat urban yang lebih modern. Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses perubahan tersebut terjadi akibat faktor-faktor pertama, proses perubahan akibat merosotnya peranan politik, ekonomi, dan sosial dari kerajaan-kerajaan tradisional yang kemudian secara berangsur digantikan oleh dominasi pemerintah Hindia Belanda. Kedua, perubahan struktur masyarakat diakibatkan oleh terbentuknya stratifikasi dan segmentasi sosial baru bagi masyarakat pribumi dengan sistem pendidikan modern oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Ketiga, proses perubahan masyarakat diakibatkan oleh terjadinya

perubahan struktur perekonomian masyarakat akibat penetrasi ekonomi Barat. Proses ini dimulai sejak diberlakukannya cultuurstelsel yang kemudian terus

3

Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya (Batas-Batas Pembaratan) (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm., 131.

4

D.H. Burger, Perubahan-Perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa (Jakarta:Bharata Karya Aksara, 1983), hlm., 110-117.

5

W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan

(3)

berlanjut pada periode berikutnya yakni liberalisasi ekonomi, dan lebih ditegaskan lagi pada fase pemberlakuan Politik Etis tahun 1900 sampai tahun 1930-an. Masuknya sistem baru dari Eropa telah merubah aktivitas ekonomi dan tingkat perekonomian penduduk lokal. Beberapa perubahan yang dapat kita lihat adalah peningkatan terhadap daya beli terhadap barang-barang konsumsi, meluasnya aktivitas industri dan kerajinan, serta peningkatan jumlah penduduk secara cepat di Jawa.

Pesatnya modernisasi yang melanda masyarakat Jawa ditandai dengan cepatnya pertumbuhan industri maupun perdagangan. Hal ini dapat dilihat pada pesatnya pembangunan infrastruktur kota seperti gedung-gedung perkantoran, pertokoan, pasar, jembatan, dan lain-lain. Sarana komunikasi dan transportasi seperti telepon, telegram, penerangan atau listrik, surat kabar, kereta api, jalan, kapal mesin uap, mobil dan lain sebagainya, serta semakin heterogennya pelapisan sosial masyarakat di perkotaan yang membentuk masyarakat konsumen.6 Hal ini menuntut semakin besarnya pemenuhan kebutuhan hidup.

Dalam sudut pandang perkembangan zaman, kondisi tersebut bagi masyarakat jajahan dapat diistilahkan sebagai kondisi menuju masyarakat modern. Dalam ilmu sosial disebut sebagai modernitas. Bermacam cara modernitas dikenalkan di tanah jajahan. Ini sebenarnya adalah bagaimana proses budaya orang-orang Barat dibawa ke tanah jajahan.

6

Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa

(4)

Pada periode awal kedatangan bangsa-bangsa Eropa, dampak budaya Barat masih sangat kecil. Baru setelah budaya “Barat” menjadi prestise dan dilihat sebagai derajat sosial yang tinggi, maka sistem dan pola budaya mereka mulai mempengaruhi masyarakat Indonesia. Proses ini dipercepat pada saat istana kerajaan bertindak sebagai perantara, sehingga anggota istana dan masyarakat kemudian mengikutinya.7 Namun demikian, Wertheim memberikan catatan bahwa pengaruh budaya ini hanya pada tingkat eksternalnya saja, tidak sampai pada elemen prinsip internal dari budaya. Sehingga bisa dilihat bahwa budaya borjuasi kemudian berkembang sekedar pada nilai penampakan budaya luar yang kemudian dilihat sebagai gaya hidup, bukan sebagai semangat atau pandangan dan prinsip hidup.

Gejala modernisasi ini sangat tampak pada wilayah perkotaan. Hal ini terlihat dari munculnya infrastruktur kota yang mau tidak mau harus ada sebagai penyokong aktifitas dan penunjang kebutuhan hidup maupun tuntutan gaya hidup. Selain itu, pusat aktivitas masyarakat Barat (Eropa) terletak di perkotaan sehingga diperlukan pendukung berbagai aktivitas mereka. Awal abad XX kota-kota besar di Jawa sebagian besar menjalankan fungsinya sebagai pusat-pusat administratif dan komersial.8 Kota-kota pelabuhan utama di Jawa menjadi pusat komersial karena memiliki fungsi ekonomi. Fungsi ekonomi yang dimaksud adalah sebagai pintu keluar hasil bumi untuk perdagangan internasional seperti gula, kopi, dan

7

Bedjo Riyanto, op. cit., hlm., 230. 8

John Ingleson, Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat

Kerja dan Perkotaan Masa Kolonial, (Jakarta:Komunitas Bambu, 2004), hlm.,

(5)

teh sekaligus pintu masuk barang-barang dari luar pulau maupun luar negeri. Akibat aktivitas tersebut, menyebabkan arus masuknya orang-orang Eropa ke Jawa dengan berbagai motif baik untuk keperluan pemerintahan maupun urusan bisnis.

Perluasan sektor ekonomi berikutnya adalah adanya tuntutan kebutuhan hidup sebagai pendukung pola dan gaya hidup orang-orang Eropa di Jawa. Sebagian besar perluasan kegiatan perekonomian tersebut merupakan kelanjutan mekanisme perekonomian. Salah satu fenomena yang terjadi dalam kondisi tersebut adalah munculnya industri-industri akibat tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup orang-orang Eropa seperti kebutuhan makanan, minuman, pakaian, serta kebutuhan untuk kenyamanan lainnya. Oleh sebab itu, permintaan akan minuman keras yang tinggi menjadikan barang tersebut sebagai komoditi penting dalam ekonomi perkotaan Surabaya. Berbagai aktifitas ekonomi muncul seiring pemenuhan minuman keras baik yang didatangkan dari luar negeri maupun hasil produksi sendiri. Hal ini melibatan aktifitas pengadaan minuman keras melalui impor maupun melalui produksi, distribusi, dan konsumsi.

Surabaya sebagai salah satu kota pelabuhan sekaligus kota industri yang menjadi penunjang bagi kebutuhan industri primer di pedalaman Jawa bagian Timur. Hal ini menjadikan kota Surabaya sebagai pusat aktivitas bisnis, industri dan perdagangan. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah kebijakan pemerintah menjadikan Surabaya sebagai kota industri. Perkembangan kota sebagai pusat industrialisasi menjadikan berbagai macam kebutuhan guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang semakin banyak. Kebijakan

(6)

pemerintah ini dibuktikan dengan dibangunya kawasan industri Ngagel.9 Pada tahun 1916 pemerintah Gemeente Surabaya membuka kawasan industri yang baru di daerah Ngagel, tepatnya pada 16 Oktober 1916.10 Lahan untuk kawasan industri Ngagel ini semula merupakan perkebunan tebu milik Cina, kemudian dibeli oleh pemerintah Gemeente.11 Relokasi kawasan industri Ngagel ini karena pada periode sebelumnya, lokasi industri menjadi satu dengan pusat pemerintahan dan pemukiman di kawasan pusat kota.12 Akibat kebisingan yang ditimbulkan oleh industri-industri berat menimbulkan gangguan bagi penduduk sekitar industri di

9

Pembukaan kawasan industri di Ngagel (dekat dengan stasiun Wonokromo Surabaya) dimaksudkan untuk melokalisasi bangunan pabrik-pabrik besar jauh dari kawasan pemukiman. Pembukaan kawasan industri ini oleh pemerintah Gemeente Surabaya diakibatkan kawasan industri sebelumnya di dekat Jembatan Merah telah padat serta dekat dengan pemukiman dan pusat pemerintahan.

10

Handinoto, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di

Surabaya 1870 – 194, (Yogyakarta: ANDI, 1996), hlm., 72.

11

G.H. von Faber, Nieuw Soerabaia ( Soerabaia: N.V. Boekhandelen Drukkerij H van Ingen Bussum, 1933), hlm., 247. Pembelian tanah ini berdasarkan akta notaris F. Eichholz tertanggal 20 Maret 1917. Tanah yang dibeli oleh Gemeente (Kepala Daerah pada waktu itu Mr. A. Meyroos) semula merupakan perkebunan tebu milik Tjoa Tjwan Khing.

12

Berdasarkan intensitas keramaian kota, Surabaya dibagi menjadi dua wilayah yakni Bovenstad (kota Atas) dan Benedenstad (kota Bawah) yang merujuk letak tempat pada peta yang berorientasi arah. Bovenstad menunjukan sebagai kota yang terletak mendekati pelabuhan di Utara dimana berbagai aktifitas perekonmian dan bisnis berada, sehingga di kota Atas ini merupakan pusat keramaian kota yang terdiri dari pergudangan, toko-toko, pabrik, dan tempat bisnis lainnya. Sementara Benedenstad merupakan wilayah yang terletak di sebelah Selatan merupakan daerah yang lebih sepi dari aktifitas perekonomian dan perdagangan sehingga banyak dijadikan sebagai kawasan pemukiman dan perumahan. Tidak ada batasan jelas antara Benedenstad dan Bovenstad tetapi melihat pusat keramaian bisa jadi daerah Gubeng dan Simpang sebagai batas antara keduanya. Lihat di GH von Faber, Oud Soerabaia (Soerabaia: NV Boekhandelen Drukkerij H van Ingen Bussum, 1933).

(7)

sekitar kawasan “kota bawah”. Oleh karena itu pemerintah Gemeente membuat kawasan industri di wilayah yang jauh dari pemukiman penduduk. Lokasi kawasan industri Ngagel berada antara Sungai Kalimas dan jalur kereta api Bagong disebelah Utara Kanal Wonokromo.13

Sejak awal abad XIX Surabaya sudah menjadi kota modern. Sutjipto Tjiptoatmodjo mendeskripsikan bahwa Surabaya lebih bagus dan lebih hidup daripada Batavia. Di dalam kota terdapat banyak gedung-gedung kantor dagang maupun pasar. Surabaya berkembang tidak hanya sebagai kota dagang, tetapi juga sebagai kota industri maupun kerajinan. Hal ini terlihat dari banyaknya pabrik-pabrik maupun sentra kerajinan di Surabaya.14

Semakin beragamnya industri di Surabaya sebagai dampak perkembangan kota dan pertambahan jumlah penduduk Eropa yang ada di Surabaya. Orang-orang Eropa yang tinggal di Surabaya tentu saja memiliki kebiasaan yang berbeda dengan penduduk setempat. Maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut perlu dibangun penyedia kebutuhan orang-orang Eropa.

Berdasar catatan data dari Centraal kantoor voor de statistiek in

Nederlansch Indie tahun 1930 jumlah penduduk Eropa pada tahun 1920 sebanyak

17.497 orang dan catatan tahun 1927 menjadi 43.926 orang.15 Sementara data

13

Howard Dick, Surabaya City of Work: A Socioeconomic History

1900-2000, (Ohio: Ohio University Press, 2002), hlm., 353.

14

FA Sutjipto Tjiptoatmodjo, Kota-Kota Pantai di Sekitar Selat Madura

Abad XVII sampai Medio Abad XIX, (Yogyakarta: Desertasi UGM, 1983), hlm.,

112. 15

Centraal kantoor vor de statistiek in Nederlansch Indie, (Weltevreden: Lansdrukkerij, 1930)

(8)

olahan G.H. von Faber jumlah orang Eropa laki-laki tahun1930 sebanyak 13.965 orang, perempuan 12.498 orang, total jumlah penduduk Eropa tahun 1930 sebanyak 26.463 orang.16 Sekian banyak orang Eropa merupakan lahan konsumen bagi barang-barang kebutuhan orang Eropa. Pada awalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sesuai dengan selera mereka, barang-barang didatangkan dari Eropa, namun barang-barang tersebut terkena proteksi alami yang tinggi mekipun harga dari barang tersebut sangat murah (keadaan alam ikut membatasi seperti es batu, bahan-bahan makanan dan minuman yang cepat basi, dan kebutuhan-kebutuhan lain yang cepat rusak ).17 Bahkan untuk aktivitas hiburan dan ikatan ke-Eropa-an maka di tiap waktu-waktu tertentu diadakan berbagai perkumpulan orang-orang Barat. Di Surabaya sendiri terdapat tempat perkumpulan yang disebut Societet Concordia dan Societeit ‘De Club” Simpang18. Selain itu juga, banyak tempat yang menyediakan sarana hiburan serta

tempat untuk memenuhi selera lidah dan perut orang-orang Eropa yakni restoran, tempat-tempat bilyard yang lebih dikenal dengan “rumah bola”.

Dampak terjadinya Perang Dunia I tahun 1914-1918 tidak hanya dirasakan Eropa saja tetapi juga termasuk di Hindia Belanda. Sehingga tidak banyak industri yang dibangun pada periode tersebut. Hubungan laut antara Eropa

16

G.H. von Faber, Nieuw Soerabaia: De geschiedenis van Indies

voornaamste koopstad in de eerste kwarteeuw sedert hare instelling 1900-1930,

(Soerabaia: N.V. Boekhandel en Drukkerij H. Van Ingen, 1934), hlm., 30. 17

Howard Dick, “Industrialisasi Abad ke-19: Sebuah Kesempatan yang Hilang” dalam Thomas J Linblad, Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai

Tantangan Baru. (Jakarta: LP3ES, 2000), hlm., 187.

18

(9)

dan Hindia menjadi terganggu. Sehingga barang-barang Jepang menjadi komoditas penting dalam perdagangan di Hindia Belanda. Barang-barang Eropa tidak dapat bersaing dengan barang-barang Jepang. Guna melindungi industri dalam negeri serta penetrasi ekonomi Jepang, pemerintah membuat kebijakan pelarangan impor 56 jenis barang antara lain semen, bir, hasil tenun, panci dan alat dapur, ban kendaraan, pakaian jadi, serta ferro sulfat.19 Usaha lain yang dilakukan pemerintah untuk membendung masuknya barang-barang dari Jepang dengan cara menarik masuknya penanaman modal baru dari negeri Belanda.

Kelanjutan terhadap kebijakan pemerintah untuk membendung barang-barang dari Jepang tersebut salah satunya adalah pembatasan masuknya minuman bir. Maka didirikanlah pabrik bir Heineken di Surabaya tahun 1931. Pendirian pabrik bir Heineken Brouwerij di Surabaya khusus untuk menyaingi bir Jepang. Kemudian disusul pabrik yang kedua di Jakarta tahun 1933.20 Ini menandakan bahwa ternyata pada sektor industri bir ini justru dimulai sesaat setelah terjadinya depresi ekonomi. Ini juga membuktikan bahwa meski terjadi goncangan ekonomi pada masa depresi ekonomi ternyata tidak menyurutkan pelaku ekonomi untuk membangun pabrik.

Sebelum didirikannya pabrik bir Heineken Brouwerij di Surabaya ini, untuk konsumsi masyarakat diimport dari luar. Berbagai jenis minuman keras dari Eropa dibawa oleh agen-agen import di Hindia Belanda. Di Surabaya sendiri

19

Bisuk Siahaan, Industrialisasi di Indonesia: Sejak Hutang Kehormatan

sampai Banting Stir, (Jakarta: Deperindag, 1996), hlm., 55-56.

20

(10)

banyak agen dagang yang mendatangkan minuman keras dari Eropa dan Luar Negeri seperti the East Asiatic Company, Ltd, Harmsen Verwey & co, Mitsui

Bussan Kaisha (Mitsui & Co Ltd), Jacobson van den berg & Co21, dan lain-lain.

Sebut saja jenis-jenis minuman seperti cognac, jenever, bier, dan jenis minuman keras lainnya yang didatangkan oleh agen-agen impor tersebut. Selain jenis-jenis minuman keras ternama tersebut yang sebagian besar dikonsumsi oleh golongan masyarakat Eropa dan mereka yang memiliki kedudukan serta kekayaan tinggi, bagi masyarakat lokal dan Cina sebenarnya sudah ada minuman keras yang mereka produksi sendiri dan dikenal dengan arak. Berbagai macam sebutan arak telah dikenal oleh masyarakat seperti ciu, arak pantai, arak bali, arak batavia, dan lain sebagainya. Namun demikian, penelitian ini hanya membatasi pada minuman keras yang diproduksi oleh orang-orang Barat dan atau merupakan jenis dan merk minuman keras dari Barat. Sehingga untuk produksi minuman keras yang diproduksi oleh pribumi maupun orang–orang Tionghoa, tidak akan dibahas dalam penelitian ini.

Keberadaan industri bir ini ternyata memiliki pesaing lokal yang telah lama ada di masyarakat. Sehingga pemerintah perlu mengawasi keberadaan produk lokal dan produk ilegal. Berdasarkan arsip-arsip yang ditemukan di ANRI

21

Nama-nama agen dagang maupun ekspor impor serta perusahaan-perusahaan bisnis yang ada di kota-kota pelabuhan besar Asia beserta deskripsi singkat mengenai perusahaan tersebut dalam Mc. Allister, Seaport of The Far

East: Historical and Descriptive Commercial and Industrial Fact, Figures, and Resources (2nd edition), (London: WHL Collingridge &Aldergate Street, 1925),

(11)

setidaknya terdapat proses hukum bagi masyarakat yang membuat minuman keras ilegal.22

Minuman keras menjadi salah satu simbol budaya modern bagi masyarakat pribumi perkotaan dari tingkat elit sampai rakyat jelata serta golongan masyarakat Timur Asing. Dimana dalam berbagai kegiatan pesta selalu menjadi minuman yang harus tetap disediakan.

B. Rumusan Masalah

Pada awal abad ke-20, populasi orang Eropa di Surabaya mengalami peningkatan seiring dengan perkembangan industri di wilayah ini. Perkembangan populasi orang Eropa ini menyebabkan kebutuhan-kebutuhan barang konsumsi khas Eropa juga mengalami peningkatan. Salah satu kebutuhan barang konsumsi yang khas itu adalah minuman keras. Pada periode 1900-1942, peredaran dan perdagangan minuman Eropa sangat besar yang memberi efek terhadap kehidupan ekonomi dan sosial budaya masyarakat di Surabaya.

Budaya minuman keras yang dibawa oleh orang-orang Eropa mengundang isu-isu moralitas karena minuman keras dianggap memiliki efek negatif sehingga muncul gerakan anti minuman keras. Pada saat yang sama, industri minuman keras semakin berkembang karena memberikan kkeuntungan ekonomi dan penerimaan negara, sehingga terjadilah perang wacana antara

22

Lihat arsip-arsip di ANRI pada koleksi Archieven Finacien dengan kode K.52, paling tidak disebutkan dalam no inventaris 756, 758,759, 762-763, 778, 785, dan 787. Disebutkan bahwa mereka yang melakukan pekerjaan pembuatan minuman keras ilegal diproses hukum dengan denda menurut kesalahan.

(12)

penentang minuman keras dan pendukung minuman keras. Para penentang minuman keras mulai menyebarkan buku-buku dan pamflet-pamflet yang intinya mengingatkan bahaya minuman keras. Wacana ini ditanggapi para distributor dan produsen minuman keras dengan mewacanakan minuman keras sebagai bagian dari gaya hidup modern. Wacana-wacana modernisasi dan gaya hidup modern disebarkan melalui surat kabar-surat kabar dan media lain dalam bentuk iklan.

Permasalahan pokok studi ini adalah tentang distribusi, konsumsi minuman keras Eropa, dan perang wacana antara anti minuman keras dan gaya hidup modern dalam iklan minuman keras. Pertanyaan pokok penelitian ini adalah:

1. Bagaimana proses perdagangan, distribusi minuman keras Eropa dan tingkat konsumsinya di Surabaya tahun 1900-1942?

2. Bagaimana perang wacana tentang minuman keras terjadi di Surabaya tahun 1900-1942 dan mengapa minuman keras diasosiasikan dengan gaya hidup modern?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana proses peredaran minuman keras Eropa dan tingkat konsumsinya di Surabaya tahun 1900-1942 serta bagaimana perang wacana minuman keras dan mengapa minuman keras diasosiasikan dengan gaya hidup modern. Namun demikian tidak menutup kemungkinan juga menyinggung tahun-tahun sebelum dan sesudah temporal yang diambil. Hal ini untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi

(13)

serta perbandingan perkembangan yang terjadi, sehingga diperoleh gambaran tentang perkembangan minuman keras Eropa di Surabaya. Meskipun dalam skala yang luas peredaran minuman keras ini tidak memberikan masukan finansial ekonomi yang besar, akan tetapi paling tidak memberikan sumbangan bahwa minuman keras turut serta dalam ekonomi perkotaan serta memiliki hubungan sosial budaya masyarakat periode sebelum dan sesudahnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui bagaimana proses distribusi minuman keras Eropa dan tingkat konsumsinya di Surabaya tahun 1900-1942.

2. Mengetahui perang wacana minuman keras Eropa di Surabaya tahun 1900-1942 dan mengapa minuman keras diasosiasikan dengan gaya hidup modern?

Manfaat penulisan ini secara umum untuk menyumbangkan ide dan gagasan tentang dinamika ekonomi sosial terutama dengan masuknya minuman keras yang mempengaruhi budaya. Selain itu, diharapkan memberikan sumbangan bagi keilmuan penulisan sejarah.

D. Batasan dan Ruang Lingkup

Berdasarkan tema yang diambil, maka pembahasan dibatasi pada ruang lingkup bagaimana proses peredaran minuman keras Eropa dan tingkat konsumsinya di Surabaya tahun 1900-1942 serta bagaimana perang wacana minuman keras dan mengapa minuman keras diasosiasikan dengan gaya hidup

(14)

modern. Penulisan ini mengambil ruang lingkup geografis sebagai unit analisis adalah kota Surabaya. Pengambilan ruang lingkup kota Surabaya dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama Surabaya merupakan pusat industri terbesar di Hindia Belanda. Sehingga jumlah penduduk asing yang ada di kota ini memiliki jumlah kuantitas yang besar. Dari aspek tersebut paling tidak menjadi alasan bahwa adanya sarana pendukung bagi kebutuhan hidup mereka. Kemudian memaksa dibangunnya pabrik-pabrik pemenuhan kebutuhan seperti pabrik makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain.

Sebuah penggambaran perbandingan antara Surabaya dengan Batavia dijelaskan oleh Mc. Allister bahwa Batavia diumpamakan sebagai rumah, sedangkan Surabaya sebagai pasar dan pabrik. Irama Surabaya merupakan irama pekerja merupakan perumpamaan yang menjelaskan kondisi umum kota Surabaya pada awal abad XX.23 Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Howard Dick, menurutnya pada awal abad XX Surabaya sebagai kota industri dapat disejajarkan sebagai kota industri terkemuka di Asia seperti Calcuta, Bombay, dan Osaka.24 Memasuki awal abad XX, kota Surabaya menjadi kota modern dengan berbagai aktifitas masyarakatnya. Terlebih lagi sejak ditetapkannya Surabaya sebagai

Gemeente. Sekitar tahun 1930-an telah terjadi depresi ekonomi, dimana

perekonomian internasional menjadi sangat terganggu dan mengalami goncangan. Namun pada kenyataanya pabrik bir pertama dibangun di Surabaya pada tahun

23

Mc. Allister, op. cit., hlm., 339. Kata-kata tersebut diambil dan diterjemahkan dari Batavia is a home, Surabaya is a market and factory, the song

of Sourabaya is the song of labor.

24

(15)

1931 oleh Heineken Brouwerij bersamaan dengan berlangsungnya depresi ekonomi.

Kedua secara geografis kota Surabaya juga sebagai pintu masuk wilayah

pedalaman Jawa bagian Timur serta merupakan pintu keluar ekspor gula. Pada iklan yang dibuat oleh pemerintah Gemeente dengan tujuan menarik investor asing ke Surabaya disebutkan bahwa posisi Surabaya menguntungkan karena terletak dalam jalur persimpangan antara Singapura dan Australia, persimpangan antara Sumatera dan Wilayah Timur Kepulauan Hindia, memiliki pelabuhan dengan intensitas yang padat serta memiliki jalur transportasi darat yaitu jalur kereta api.25

Ketiga, pada akhir abad XIX Surabaya merupakan pusat industri skala

besar. Batavia sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda justru tidak memiliki kelengkapan industri modern. Meskipun tercatat beberapa pabrik besar seperti perusahaan Teknik Taylor & Lawson, perusahaan gas, pabrik roti dan es, dan lain-lain. Daerah pedalaman melalui Batavia lebih sebagai particuliere landerijen dan kurang didukung untuk menjadi sektor eksport yang maju.26 Berbeda halnya dengan Surabaya, pedalaman menjadi pusat aktifitas ekonomi perdagangan internasional. Banyaknya perusahaan perkebunan terutama gula menjadikan penyediaan industri penyokong menjadi kuat dan besar.

25

Lihat iklan yang dibuat oleh pemerintah Gemeente Surabaya untuk menarik para investor asing yang dimuat dalam Adresboek van de voornamste

bedrijfstakken der Nederlandsch Indie nijverheid 1941.

26

Kondisi ini setidaknya berlangsung semenjak diberlakukannya liberalisasi ekonomi. Namun seiring dengan perkembangan awal abad XX, Batavia mulai membangun infrastruktur industri modern. Lihat Howard Dick, “Industrialisasi ...”, op. cit., hlm., 197.

(16)

Ruang lingkup temporal penulisan ini adalah sejak tahun 1900. Sebenarnya tahun tersebut bukan tahun yang ketat sehingga pada tahun tersebut terjadi peristiwa yang penting. Namun dalam periode ekonomi periode tahun lebih terbuka tidak melihat satu peristiwa penting sebagai penanda periode tertentu. Pada tahun 1930-an tersebut sedang terjadi depresi ekonomi yang melanda dunia internasional. Namun ternyata justru pada tahun 1931 berdiri pabrik bir Heineken di Surabaya. Maka tahun tersebut sebagai babak baru bagi keberadaan produksi maupun peredaran minuman keras terutama bir di Hindia Belanda khususnya Surabaya.

Tahun 1942 diambil sebagai rentang akhir penelitian karena secara politis pemerintah Hindia Belanda telah digantikan oleh pendudukan Militer Jepang. Sehingga kebijakan tantang pengelolan wilayah berganti penguasa. Akibat perubahan kebijakan masa Pendudukan Militer Jepang ini maka seluruh aktifitas ditujukan untuk keperluan perang sehingga proses modernisasi dan mekanisasi juga terhenti. Pengambilan rentang waktu tersebut dirasakan cukup untuk melihat pola-pola modernisasi terkait masuknya besi baja dan mesin industri yang ada di Surabaya. Pengambilan temporal tersebut nantinya dapat diketahui perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan masyarakat akan minuman keras terutama bir.

E. Kerangka Konseptual

Minuman keras Eropa menjadi salah satu komoditi dalam perdagangan di Hindia Belanda karena menjadi bagian dari kebutuhan dan gaya hidup

(17)

masyarakat yang bersinggungan dengan budaya Eropa. Namun komditi ini secara keseluruhan pada mulanya didatangkan dari luar negeri. Adanya hukum ekonomi yang berlaku yakni permintaan terhadap minuman keras ini menyebabkan penyediaan barang yang ditawarkan di pasar. Minuman keras secara ekonomi merupakan barang yang sebelumnya tidak ada dalam komoditi perdagangan Jawa maupun Nusantara. Namun sejak kedatangan orang-orang Eropa, minuman keras Eropa kemudian serta merta menjadi salah satu komoditi penting perdagangan.

Seiring perjalanan waktu, minuman keras ini menjadi komoditi penting dalam perdagangan, bahkan sampai-sampai di Jawa perlu didirikan pabrik bir tahun 1931. Distribusi dan tingkat konsumsi masyarakat yang tinggi menyebabkan komoditi ini sebagai salah satu komoditi dagang baru di Surabaya. Semula minuman keras didatangkan dari luar negeri, kemudian ada yang diproduksi di Surabaya dan distribusinya ke luar wilayah Surabaya. Dengan demikian konsep yang digunakan adalah teori basis ekonomi. Inti dari teori basis ekonomi menurut Lincolin Arsyad27 menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan barang dan jasa dari luar daerah. Pendekatan dengan menggunakan basis ekonomi adalah untuk melihat bahwa suatu daerah atau wilayah yang memiliki kemampuan untuk berproduksi dan menjual hasil produksi tersebut baik untuk daerah sendiri maupun di luar daerah. Dimana teori ini merupakan bagian dari konsep ekonomi wilayah. Dalam konsep basis ekonomi dijelaskan bahwa

27

Lincolin Arsyad. Ekonomi Pembangunan. Edisi keempat, (Yogyakarta: BPFE, 1999), hlm., 166.

(18)

adanya peredaran produk yang di distrisbusikan ke luar daerah. Sebenarnya faktor penentu basis ekonomi adalah adanya permintaan barang yang berasal dari luar daerah.28 Akibat permintaan barang yang tinggi menyebabkan aktifitas ekonomi yang tinggi pula sejak dari produksi, distribusi, sampai konsumi. Hal inilah yang menjadikan komoditi minuman keras sebagai basis ekonomi baru Surabaya. Sehingga proses perkembangan suatu wilayah memiliki basis ekonomi baru adalah bermula dari masuknya suatu produk ke wilayah tersebut, dan karena permintaan barang tinggi kemudian terdapat inisiatif untuk memproduksi barang tersebut di wilayah tersebut. Hasil produksi kemudian didistribusikan baik untuk wilayah domestik maupun luar daerah. Jumlah produksi yang beredar di pasar tentu saja didasarkan pada jumlah permintaan, sehingga pemenuhan barang bisa melalui produksi sendiri maupun juga bersamaan dengan mendatangkan dari luar (impor).

Masayarakat Eropa ataupun petinggi dari golongan bangsa lain seperti Cina dan bangsa lainnaya tak terkecuali golongan Arab, di rumah tempat tinggal selalu tersedia bir atau minuman keras lainnya. Minuman keras tersebut biasa disajikan untuk menjamu tamu-tamu penting yang datang ke rumah. Pada rumah orang-orang Eropa, bir ini biasanya disimpan di ruang rumah yang disebut kelder atau dispens.29

28

Robinson Tarigan, Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi (Jakarta: Bumi Aksara, 2009).

29

Djoko Soekiman, Kebudayaan Indies, (Yogyakarta: Bentang, 2000), hlm., 148.

(19)

Tata cara borjuasi barat telah masuk kedalam tradisi dan budaya priyayi pribumi. Salah satunya adalah upacara toast yakni bersulang dengan minuman keras dari tuan rumah bagi yang dihormati. Dimana kebiasaan ini telah diserap menjadi kebiasaan elit. Salah satu contohnya diceritakan oleh Darsiti Soeratman dalam bukunya Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1839. Di mana untuk menunjukan kepatuhan secara simbolik terhadap kekuasaan politik pemerintah kolonial ketika upacara perkawinan agung antara Susuhunan Paku Buwono IX dengan RA Koestidjah maka upacara toast dilakukan sebagai pembukaan dari seluruh rangkaian upacara. Toast dilakukan sebanyak tujuh kali disertai sorak sorai tamu serta dengan diiringi musik selamat datang, gamelan Jawa, brassband modern, tembakan salvo, serta suara letupan botol-botol champagne yang dibuka tutupnya. Dalam upacara tersebut juga dihidangkan masakan-masakan Eropa lengkap dengan menu minuman keras dari berbagai jenis yang dalam bahasa Jawa keraton dibahasakan dengan Ratu Mas Drink.30 Hal ini selaras dengan kondisi budaya masyarakat kota yang cenderung lebih terbuka dan kondisi pada waktu itu masih sangat erat dengan simbol-simbol modernisme.

Sementara bagi rakyat biasa terdapat pesta hiburan rakyat yang digelar tahunan di Surabaya disebut Jaarmarkt Soerabaja. Dalam Jaarmarkt ini digelar berbagai hiburan rakyat berupa kesenian seperti wayang, ludruk serta hiburan lainnya. Dalam kegiatan tersebut juga digelar dagangan hasil kerajinan masyarakat dan aneka jajanan. Acara rakyat tahunan ini bisanya diberitakan delam

30

Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1839, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hlm., 108.

(20)

media massa meskipun ulasan dalam media tersebut tidak secara rinci menggambarkan tentang jalannya jaarmarkt.31

Selain fungsi secara sosial, akibat tetap diperlukannya oleh masyarakat dari berbagai kalangan, minuman keras ini memiliki fungsi ekonomi. Kebutuhan akan minuman keras bermerk luar negeri menjadikan banyak sekali agen-agen impor yang bergerak dalam bidang ini. Seperti disebutkan di latar belakang. Bahkan tidak tanggung-tanggung kemudian pada tahun 1931 di Surabaya dibangun pabrik bir pertama di Hindia Belanda. maka tak mengherankan apabila masyarakat kecil yang tidak mampu membeli minuman keras bermerk mereka akan mendapatkan dalam perdagangan gelap hasil penyelundupan maupun hasil pembuatan minuman keras ilegal. Pemalsuan dan perdagangan gelap ini terjadi dikarenakan konsumen menginginkan barang yang sama namun dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan yang asli keuntungan produsen menjadi lebih besar karena tidak menyetorkan pajak kepada pemerintah. Ribuan botol minuman keras tiruan diproduksi dan dijual di toko-toko milik Cina dan di warung-warung dengan harga 8 sen. 32 Gambaran terebut menjadi kerangka bahwa minuman keras memiliki fungsi dan dibutuhkan secara ekonomi.

Konsep modernisasi berdasarkan definisi historis menurut Eisenstadt adalah proses perubahan menuju tipe sistem sosial, ekonomi, dan politik yang

31

Lihat De Indische Courant , maandag 14 Oktober 1929. Bahkan tentang

Jaarmarkt di Surabaya ini juga diberitakan dalam media massa luar Jawa yakni De Sumatra Post, Dinsdag 7 Agustus 1923. Penyelenggaraan Jaarmarkt di

Surabaya tahun 1923 dilaksanakan pada 28 Juli 1923. 32

Ida Bagus Gede Putra, Tradisi Candu dalam Masyarakat Bali

(21)

telah maju di Eropa Barat dan Amerika Utara dari abad ke-17 hingga abad ke-19 dan kemudian menyebar ke negara Eropa lain dan dari abad ke-19 dan 20 ke negara Amerika Selatan, Asia, dan Afrika. Selain itu menurut Wilbert Moore bahwa modernisasi adalah transformasi total masyarakat tradisional atau pra-modern ke tipe masyarakat teknologi dan organisasi sosial yang menyerupai kemajuan dunia Barat yang ekonominya makmur dan situasi politiknya stabil.33

Pendapat lain menurut Tiryakin, dilihat dari perspektif proses historis dunia, modernitas berkaitan dengan keunggulan inovasi atau terobosan kesadaran, moral, etika, teknologi, dan tatanan sosial yang berguna bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Chodak yang mengatakan bahwa modernisasi adalah contoh khusus dan penting dari kemajuan masyarakat, contoh usaha sadar yang dilakukan untuk mencapai standar kehidupan yang lebih tinggi.34

Dalam modernisasi ini terjadi pergeseran dari sektor agraris ke sektor industri. Lebih lanjut, dalam bidang ekonomi modernisasi berarti mengakarnya teknologi dalam ilmu pengetahuan, bergerak dari pertanian subsisten ke pertanian komersil, penggantian tenaga binatang dan manusia oleh energi benda mati dan produksi mesin, berkembangnya bentuk pemukiman urban dan konsentrasi kerja di tempat tertentu. Konsep modernisasi tersebut menggambarkan kondisi yang terjadi di Hindia Belanda khususnya Surabaya sebagai wilayah penelitian ini. Setidaknya apa yang terjadi dalam masyarakat adalah adanya transformasi dan

33

Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2008), hlm., 152.

34

(22)

perubahan perekonomian akibat perubahan kebijakan pemerintah. Proses ini berdampak besar bagi perkembangan perekonomian sekaligus perkembangan wilayah secara fisik.

Oleh karena itu pembahasan dalam penelitian ini akan didasarkan pada analisis konsep modernisasi yang telah disampaikan di atas. Konsep modernitas tersebut sangat penting guna melihat bagaimana munculnya Surabaya sebagai salah satu kota yang penting bagi penanda dunia modern di Hindia Belanda. Modernitas perkotaan dapat dilihat dari penampakan secara fisik maupun kondisi sosial masyarakat perkotaan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, imajinasi adalah daya pikir untuk membayangkan (dalam angan-angan) atau menciptakan gambar (lukisan, karangan, dsb) kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang atau juga khayalan.35 Oleh karena itu, imajinasi modernitas bisa diartikan sebagai bayangan atau penggambaran tentang modernitas yang terwujud melalui sebuah media atau alat. Tentu saja bayangan atau gambaran tersebut bukan merupakan bentuk kenyataan atau realitas sebenarnya akan tetapi merupakan bentuk ideal yang diinginkan oleh pembuatnya. Dalam hal ini imajinasi modernitas minuman keras Eropa bisa diartikan sebagai bagaimana penggamabarn tentang modernitas yang muncul melalui minuman keras Eropa.

35

Tim Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

(23)

F. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang minuman keras di Surabaya periode kolonial sejauh ini belum peneliti temukan. Pembahasan tentang minuman keras menjadi bagian kecil dari tulisan-tulisan yang pernah ada. Terlebih lagi penelitian tentang sejarah industri minuman keras. Pada tahun 2005 telah ada penelitian tentang minuman keras di Batavia dengan periode tahun 1873-1898 yang ditulis oleh Yusana Sasanti Dadtun.36 Penelitian ini merupakan penelitian tesis di Program Studi Sejarah Universitas Gadjah Mada. Hasil penelitian tersebut seperti terwakili dalam judulnya membahas tentang sistem produksi dan perdagangan minuman keras di Batavia pada tahun 1873-1898. Sesuai dengan batasan spasial, penelitian tersebut mengambil tempat Batavia.

Buku yang bersifat deskriptif naratif tentang minuman keras dan tempat-tempat hiburan yang menyediakan minuman keras yang ada di Surabaya sampai tahun 1930-an disajikan oleh G.H. von Faber. Baik Oud Soerabaia37 maupun Niew Soerabia38. Kedua buku tersebut memberikan informasi sedikit tentang

beberapa jenis minuman keras dan tempat-tempat hiburan yang menyediakan minuman keras. Selain itu itu, diinformasikan pula tentang kebiasaan orang-orang Eropa yang minum-minuman keras terutama pada saat pesta. Meskipun informasi

36

Yusana Sasanti Dadtun, Air Api di Mulut Ciliwung: Sistem Produksi dan

Perdagangan Minuman Keras di Batavia 1873-1898, (Yogyakarta: Tesis

Program Studi Sejarah UGM, 2005). 37

G.H. von Faber, Oud Soerabaia (Soerabaia: N.V. Boekhandelen Drukkerij H. van Ingen Bussum, 1933).

38

G.H. von Faber, Niew Soerabaia (Soerabaia: N.V. Boekhandelen Drukkerij H. van Ingen Bussum, 1934).

(24)

yang disampaikan dalam buku tersebut tidak banyak, setidaknya buku tersebut memberikan gambaran sedikit tentang adanya minuman keras di Surabaya sampai tahun 1930-an.

Tulisan yang melengkapi kedua buku dari G.H. von Faber disajikan dalam Seaport of The Far East: Historical and Descriptive Commercial and

Industrial Fact, Figures, and Resources.39 Buku ini sebenarnya berisi profil

tentang kota-kota pelabuhan di Asia Timur dan salah satunya membahas tentang Kota Surabaya. Secara khusus terdapat pembahasan tentang profil-profil perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam berbagai bidang. Penyajian buku ini berisi informasi waktu berdiri, pemilik dan manajer, jumlah modal, hasil produksi, jumlah tenaga kerja, serta informasi-informasi yang berkaitan dengan perusahaan yang disajikan. Dalam buku ini diketahui perusahaan-perusahaan atau usaha dagang yag menjadi importir minuman keras di Surabaya. Meskipun tidak hanya khusus mendatang minuman keras, namun setidaknya terdapat penjelasan tentang pelaku-pelaku yang berperan penting dalam mendatangkan minuman keras ke Surabaya.

Karya lain yang bersifat informatif terdapat pada karya Howard Dick,

Surabaya City of Work: A Socioeconomic History, 1900-200040. Sebenarnya buku ini berisi tentang kondisi sosioekonomi kota Surabaya. Namun beberapa bagian

39

Mc. Allister, Seaport of The far East: Historical and Descriptive

Commercial and Industrial Fact, Figures, and Resources 2nd edition (London:

WHL Collingridge & Aldergate Street, 1925). 40

Howard Dick, Surabaya City of Work: A Socioeconomic History,

(25)

sedikit menjelaskan tentang bagaimana pabrik bir Heineken di Surabaya memiliki peran dalam perjalanan industri minuman keras serta ekonomi perkotaan. Dimana dijelaskan bahwa salah satu sektor yang paling cepat bangkit pada saat depresi ekonomi adalah industri minuman keras dengan dibangunnya pabrik bir

Heineken.

Tulisan J. Kats dalam Het Alcoholkwaad en zijn bestrijding dengan terjemahannya Bahaja Minoeman Keras serta Daja Oepaja Mendjaoehinja41 mendeskripsikan tentang berbagai dampak bahaya yang muncul jika minum minuman beralkohol. Buku ini berisi tentang manfaat dan berbagai bahaya yang muncul jika mengkonsumsi minuman keras. Untuk lebih meyakinkan Kats mengutip usaha-usaha yang dilakukan perhimpunan organisasi seperti Sarekat Islam, Budi Utomo, Muhammadiyah, Regentbond (Perkumpulan Bupati), dan lain-lain tentang bagaimana dampak negatif minuman keras.

Media surat kabar dijadikan sebagai sarana promosi modern (iklan) bagi pemasaran produk-produk minuman keras. Berbagai merek minuman keras diiklankan dalam surat kabar karena merupakan media yang efektif untuk promosi dan pemasaran. Hal ini diungkapkan oleh Bedjo Riyanto dalam Iklan Surat Kabar

dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870-1915)42. Lebih lanjut

dijelaskan, dari iklan-iklan tersebut menjadi tolak ukur bahwa dalam masyarakat

41

J. Kats, Het Alkoholkwaad en zijn bestrijding (bahaja Minoeman Keras

Serta Daja Oepaja Mandjaoehinja), (Weltevreden: Balai Poestaka, 1920).

42

Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa

(26)

telah terjadi perubahan baik secara sosial, ekonomi, maupun budaya sehingga merujuk pada masyarakat modern.

Tulisan yang membahas tentang perkembangan industri secara menyeluruh di Indonesia ditulis oleh Bisuk Siahaan. Buku ini menguraikan tentang proses industrialisasi di Hindia Belanda dari periode kolonial sampai periode Orde Baru Indonesia. Pembahasan mencakup industri baik dalam skala besar, sedang, dan kecil.43 Dalam buku dijelaskan bahwa munculnya industri bir modern diawali dengan berdirinya Pabrik Bir Heineken di Surabaya tahun 1931 kemudian disusul Pabrik bir Archipel Brouwerij Coy di Batavia tahun 1933. Kemunculan pabrik bir di Surabaya dan Batavia pada masa depresi ekonomi ini sebagai usaha pemerintah untuk membendung masuknya barang-barang dari Jepang dengan menarik masuk penanam modal dari Eropa serta melindungi barang hasil produksi sendiri.

Karya lain yang menyingung terntang modernisasi yang terjadi di Jawa adalah Nusa Jawa: Silang Budaya (Batas-Batas Pembaratan) karya Denys Lombard.44 Modernisasi yang dilihat sebagai saluran pembaratan sebagai dampak teknik barat atas ekonomi dan demografi salah satunya adalah masuknya budaya baru seperti cara minum pada saat pesta jamuan makan.

Sementara buku-buku yang membahas tentang sejarah minuman keras di luar Indonesia diantaranya ditulis oleh Tim Mitchell tentang Intoxciated

43

Bisuk Siahaan, Industrialisasi di Indonesia: Sejak Hutang Kehormatan

sampai Banting Stir, (Jakarta: Deperindag, 1996).

44

Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya (Batas-Batas Pembaratan) (Jakarta: Gramedia, 2005).

(27)

Identities: Alcohol’s Power in Mexican History and Culture. Dalam karya ini

disebutkan bahwa minuman beralkohol telah menjadi bagian penting perjalanan sejarah dan budaya bangsa Meksiko. Dalam karyanya dijelaskan bagaimana minuman beralkohol telah menjadi bagian sejarah dan konflik dalam bangsa Meksiko. Dan dalam perjalanannya kemudian direduki menjadi budaya bangsa. Karya lainnya adalah Brewing Battles: A History of American Beer yang ditulis oleh Amy Mittleman menjabarkan bahwa sebenarnya sejak munculnya peradaban telah ada minuman beralkohol. Sementara di Amerika sendiri, pajak minuman beralkohol dan tembakau memainkan peran penting dalam mendukung aktifitas finansial pemerintah federal pada akhir abad 19 dan awal abad 20 tepatnya sejak tahun 1862 sampai 1913. Sehingga bisa dikatakan bahwa masyarakat Amerika adalah peminum bir.

Sebagian besar karya-karya yang disebutkan diatas belum pernah ada yang membahas tentang industri bir di Hindia Belanda sebagai salah satu komponen perkembangan perekonomian. Terlebih lagi bir menjadi model gaya hidup masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini akan mengkaji tentang bagaimana keberadaan minuman keras di Surabaya baik sebelum maupun sesudah berdirinya Pabrik Bir Heineken sekitar tahun 1930-an.

(28)

G. Metode penelitian

Metode penelitian didasarkan pada tahap-tahap dalam metode sejarah, yaitu pemilihan topik, pengumpulan sumber data, verifikasi, interpretasi, analisis dan sintesis, serta penulisan.45

Pemilihan topik tidak terlepas dari kaidah-kaidah penulisan sejarah, sebagai bahan pertimbangan adalah buku Mengerti Sejarah46 karya Louis

Gotchalk. Setelah mendapatkan topik dan tema yang akan ditulis kemudian disusun kerangka dan konsep tema. Sumber-sumber yang ada ini berasal dari terbitan pemerintah seperti Gemeente verslag van Soerabia, Kolonial verslag,

Statistisch jaaroversicht van Nederlansch Indie, Handboek of Nederlands East Indie, Verslag omtrent de handelvereneging te Soerabaia, Year Book of The Nederlands Indie, Stadsblad serta Adresboek, maupun arsip-rasip hasil

pemeriksaan yang dikeluarkan oleh Departement van Economisch Zaken. Selain itu juga didukung oleh majalah ekonomi terbitan pemerintah Economische

Weekblad maupun sumber-sumber iklan dari berbagai media surat kabar atau

majalah terbitan sejaman. Artikel maupun berita-berita surat kabar dan majalah periode kolonial juga sangat membantu sebagai sumber sejaman. Sumber-sumber tersebut didukung pula dengan buku-buku atau tulisan yang terkait dengan penulisan ini. Data dan sumber-sumber tersebut banyak tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia Jakarta, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

45

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000), hlm., 90.

46

Louis Gotchlak, Mengerti Sejarah (terjemahan), (Jakarta: UI Press, 1975).

(29)

Jakarta, Perpustakaan BAPPEDA Propinsi Jawa Timur, Arsip Daerah Propinsi Jawa Timur, Arsip Kota Surabaya, serta tempat-tempat atau instansi yang menyimpan arsip terkait. Selain itu juga memanfaatkan data, informasi dan sumber melalui media internet.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan sebagai ide-ide pokok penulisan dibagi menurut bab-bab yang memuat satu kerangka pembahasan. Dimana dalam bab-bab tersebut akan diperinci lagi dalam sub-bab. Hal ini dimaksudkan agar penulisan bersifat terstruktur dan pembahasan lebih fokus.

Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang permasalahan, rumusan masalah, konsep dan kerangka penulisan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II berisi gambaran umum tentang kondisi demografi, sosial mapun ekonomi dari kota Surabaya sehingga menjadi jawaban atas alasan kenapa masuknya minuman beralkohol di Surabaya sampai kemudian perlu dibangun pabrik bir. Alasan-alasan kebutuhan hidup dan budaya menjadi penting untuk menjadi alat analisis pada bab ini.

Bab III membahas tentang masuknya minuman keras melalaui impor dan produksi sendiri serta bagaimana proses distribusi berlangsung sampai ke tangan konsumen. Sebelum dibangunnya pabrik bir Heineken tahun 1931 dengan mendatangkan dari luar negeri melalui import. Kondisi dan alasan yang melatarbelakangi berdirinya pabrik bir di Surabaya pada masa depresi ekonomi.

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut terlihat dari realisasi produksi CPO sepanjang semester I-2016 yang hanya sebanyak 12,35 juta ton atau setara 37,4% dari target 33 juta ton tahun ini.. Source:

Biaya pembuatan filter murah sebab tidak menggunakan komponen induktor yang harganya relatif mahal dan tidak selalu tersedia di pasaran, mudah diatur (tune) untuk

Untuk listing yang lebih panjang (verbose) dari sembarang query gunakan opsi ”-v” (verbose) yang menunjukkan semua field pada paket reply dan merupakan titik temu yang

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi landasan untuk penelitian selanjutnya, khususnya penelitian manfaat latihan kontraksi isometrik volunter EMS dalam

68.11 74.03 13 Menentukan gambaran umum/informasi tertentu/ informasi tersirat atau informasi rinci dari sebuah teks 66.22 75.94. monolog

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka rekomendasi yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah bahwa dari pihak Kementerian PU Balai Besar Wilayah Sungai

kepala sekolah dalam melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan program kegiatan sekolah bidang Administrasi Lainnya melalui supervisi manajerial di Wilayah

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Magister Ilmu Manajemen, Fakultas