• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL & PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL & PEMBAHASAN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL & PEMBAHASAN

5.1. Hasil

5.1.1. Keberhasilan hidup berudu Rhacophorus margaritifer

5.1.1.1. Telur

Hasil pengamatan terhadap sembilan selubung busa telur (clutch) menunjukkan bahwa semua telur R. margaritifer ditemukan di dalam selubung busa yang menempel pada daun-daun yang di bawahnya terdapat aliran ataupun genangan air. Posisi telur menggantung dengan sedikit bagian daun menggulung dan menutupi sebagian clutch seperti yang terlihat pada Gambar 7. Penemuan clutch telur tidak hanya di sekitar Curug Cibeureum, tetapi juga terdapat di Rawa Gayonggong (1.500 mdpl). Rawa Gayonggong merupakan rawa yang tergenang air pada musim hujan dan kering pada musim kemarau. Di sekitar rawa ini juga terdapat jenis lain yang berkerabat dekat dengan katak pohon jawa yaitu katak pohon hijau (R. reinwardtii). Berdasarkan pengamatan tersebut, berudu-berudu mulai keluar dari dalam clutch lebih kurang setelah 15 hari dan jatuh pada air yang terdapat di bawahnya. Persentase keberhasilan telur bermetamorfosis bervariasi yaitu antara 0% - 98% dengan rata-rata keberhasilan sebesar 78,2% (Tabel 2). Namun tidak semua telur berhasil menjadi berudu bahkan terjadi kegagalan total akibat telur yang membusuk.

(2)

Tabel 2 Jumlah Telur yang Berhasil dan Gagal menjadi Berudu Tanggal

penemuan

Tanggal

berudu turun Substrat Berhasil Gagal

Persentase keberhasilan

19 April 23 April kecubung 54 3 94,74 %

19 April 27 April babakoan 108 2 98,18 %

2 Juni 13 Juni kecubung 133 3 97,79 %

2 Juni 15 Juni kecubung 129 4 96,99 %

2 Juni 13 Juni babakoan 97 4 96,04 %

3 Juni 18 Juni kecubung 126 7 94,74 %

14 Juli - babakoan 0 130 0 %

27 Oktober 10 November babakoan 124 8 93,94 %

3 November - kecubung 0 54 0 %

Rata-rata 771 215 78,2 %

Tabel 2 menunjukkan bahwa clutch-clutch telur banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan air (BTNGP 2006) yaitu kecubung (Brugmansia suaveolens) dan babakoan (Eupatorium sordidum). Telur-telur katak ini tidak semuanya menjadi berudu karena terdapat dua clutch telur yang tingkat keberhasilan menjadi berudunya 0%. Hal ini terjadi karena pada saat ditemukan kondisi clutch telur kering dan beku serta telur di dalam clutch telah membusuk (Gambar 8). Berdasarkan pengecekan pada bulan Juli-Oktober, perjumpaan dengan katak pohon jawa sangat sedikit dan sangat jarang pula ditemukan clutch telur.

(3)

5.1.1.2. Perkembangan Berudu pada Habitat Sungai Ciwalen

Hasil ujicoba translokasi di Sungai Ciwalen menunjukkan tingkat keberhasilan rendah karena penurunan jumlah individu yang sangat drastis dalam eksperimen menggunakan jaring kantong ini. Tabel 3 menunjukkan tingkat keberhasilan rata-rata telur untuk menjadi berudu adalah 96,4 %. Namun pada tahapan selanjutnya setelah berudu jatuh ke air (stage 25), banyak berudu yang mati dan hilang pada masing-masing kantong. Kantong 3 dan 4 (k3 dan k4) menunjukkan penurunan jumlah berudu yang sangat drastis dalam kurun waktu 45 hari ketika berudu-berudu masih dalam stage 25. Beberapa berudu mulai memasuki stage 26 setelah 40 hari pada kantong 1 dan 5 (k1 dan k5) namun dalam beberapa hari selanjutnya, berudu-berudu pada kedua kantong ini hanya mencapai stage 30 kemudian berudu lebih banyak ditemukan mati dan hancur.

Kantong 2 (k2) menunjukkan bahwa masa survival berudu-berudu pada kantong ini lebih panjang dibandingkan kantong lainnya. Berudu-berudu ini mengalami beberapa fase stage sampai pada stage terakhir (stage 46). Beberapa berudu mulai memasuki fase stage 26 setelah lebih kurang 40 hari, sama seperti berudu-berudu pada kantong lainnya. Fase pertumbuhan kaki depan (stage 30-38) dimasuki setelah berudu dipelihara selama kurang lebih dua bulan. Selama fase berubah ini, tidak semua berudu mengalami perubahan stage sehingga masih ada berudu yang tetap pada stage 25. Beberapa bulan berikutnya jumlah berudu semakin berkurang secara drastis hingga pada tanggal 27 Oktober 2009 dan hanya menyisakan tujuh berudu yang berada pada fase stage 39-45. Tabel 3 menunjukkan bahwa hanya dua berudu yang berhasil mencapai tahapan sempurna (stage 46) pada tanggal 3 Desember 2009.

(4)

Tabel 3 Perkembangan Berudu R. margaritifer pada Habitat Sungai Ciwalen No. Tanggal Jumlah k1 (telur= 136) k2 (telur= 133) k3 (telur= 101) k4 (telur= 57) k5 (telur= 110) 1 30 Apr-09 54 108 2 1-May-09 54 108 3 3-May-09 54 108 4 12-May-09 54 108 5 30-May-09 24 80 6 15-Jun-09 133 129 97 8 76 7 19-Jun-09 129 120 85 0 24 8 25-Jun-09 100 115 70 9 9 2-Jul-09 84 98 42 0 10 14-Jul-09 60 90 23 11 21-Jul-09 42 81 0 12 2-Aug-09 35 75 13 11-Aug-09 29 70 14 14-Aug-09 11 62 15 27-Aug-09 0 56 16 7-Sep-09 40 17 13-Sep-09 31 18 27-Sep-09 29 19 11-Oct-09 20 20 21-Oct-09 12 21 27-Oct-09 7 22 1-Nov-09 3 23 12-Nov-09 3 24 16-Nov-09 3 25 20-Nov-09 3 26 28-Nov-09 2 27 3-Des-09 2

keterangan: k : jaring kantong

5.1.1.3. Perkembangan Berudu pada Habitat Kolam Mandalawangi

Hasil eksperimen translokasi di kolam Mandalawangi menunjukkan hasil yang lebih baik daripada di Sungai Ciwalen. Jumlah total telur yang menjadi berudu adalah 124 ekor dan yang gagal berjumlah 8 ekor atau tingkat keberhasilan telur menjadi berudu sebesar 94%. Tabel 4 menunjukkan jumlah berudu yang bertahan pada setiap kelas umur pertumbuhan (stage). Berudu yang lebih banyak mati adalah pada stage 25 yang merupakan fase awal berudu berenang di air.

(5)

Tabel 4 Perkembangan Berudu R. margaritifer pada habitat kolam Mandalawangi Tanggal st 25 st 26-30 st 31-40 st 41-45 st 46 m h st+1 m h st+1 m h st+1 m h st+1 h 12-Nov 124 19-Nov 4 120 26-Nov 10 110 3-Dec 6 104 17-Dec 4 100 29-Dec 2 58 40 0 40 4-Jan 8 50 0 0 40 8-Jan 3 47 0 0 40 12-Jan 6 35 6 0 37 9 0 9 16-Jan 2 33 0 1 36 0 0 9 20-Jan 3 26 4 0 30 10 0 14 5 0 5 27-Jan 6 20 0 1 26 3 0 15 2 0 7 5-Feb 0 20 0 0 25 1 0 14 2 0 6 3 3 12-Feb 2 18 0 1 20 4 0 12 6 0 10 2 5 19-Feb 3 15 0 2 18 0 0 11 1 0 9 2 7 4-Mar 8 7 0 2 11 5 0 10 6 0 10 5 12 9-Mar 2 5 0 2 9 0 1 7 2 0 4 8 20 12-Mar 3 2 0 6 3 0 5 2 0 0 3 1 21 19-Mar 1 1 0 3 0 0 0 1 1 0 4 0 21 25-Mar 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 3 1 22 31-Mar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 22 5-Apr 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 22 Total mati 74 18 7 3 Total hidup 50 32 25 22

Keterangan: st : tahapan perubahan berudu (stage)

m : jumlah berudu yang mati h : jumlah berudu hidup

st+1 : jumlah berudu yang pindah ke kelas umur berikutnya

Jumlah berudu total pada suatu kelas umur merupakan jumlah berudu yang berpindah dari kelas umur sebelumnya. Terdapat 22 berudu yang berhasil menjadi katak sempurna (stage 46) dari total berudu yang dipelihara pada habitat translokasi ini yang berjumlah 124 berudu. Hasil pengukuran SVL (Snout-Vent Length) rata-rata dari 22 katak sempurna (stage 46) pada habitat translokasi kolam Mandalawangi adalah 1,48 cm.

(6)

1.00 0.40 0,26 0.20 0,18 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 st 25 st 26-30 st 31-40 st 41-45 st 46 P el u a n g h id u p Kelas Umur

Gambar 9 Katak sempurna dalam habitat translokasi kolam Mandalawangi

5.1.1.4. Peluang hidup berudu

Besarnya peluang hidup berudu setiap kelas umur pada habitat translokasi kolam Mandalawangi menunjukkan penurunan (Gambar 10). Peluang hidup terkecil adalah pada saat berudu berada pada tahapan terakhir yaitu saat berudu telah berhasil menjadi katak sempurna. Terdapat 22 dari 124 berudu yang berhasil menjadi katak atau bila dihitung peluangnya sebesar 0,18. Peluang kehidupan dari kelas umur I (st 25) ke kelas umur II (st 26-30) hanya sebesar 0.40 dan menurun lagi untuk mencapai kelas umur berikutnya yaitu 0.26 (stage 31-40), 0.20 (stage 41-45) dan 0.18 (stage 46). Laju kematian terbesar adalah pada saat berudu berada pada stage 25 dengan jumlah total berudu yang mati pada kelas umur ini berjumlah 74 ekor. Kemampuan hidup atau survival berudu pada tahapan awal (stage 25) menunjukkan kemampuan hidup terendah yaitu 0,40 dan semakin meningkat pada setiap kelas umur berikutnya (Gambar 11).

(7)

0.40 0,64 0,78 0,88 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 st 25 st 26-30 st 31-40 st 41-45 K em a m p u a n h id u p Kelas Umur

Gambar 11 Kurva kemampuan hidup berudu R. margaritifer

5.1.2. Ruang Hidup Telur dan Berudu R. margaritifer

5.1.2.1. Clutch Telur

Selubung busa telur (clutch) yang ditemukan selama pengamatan berjumlah sembilan buah yang terdiri dari empat clutch ditemukan pada daun babakoan dan lima clutch ditemukan pada daun kecubung. Tabel 5 menunjukkan bahwa lokasi penemuan clutch telur terbanyak adalah pada kawasan Curug Cibereum dan satu clutch ditemukan di Rawa Gayonggong. Lebar clutch telur rata-rata adalah 10,4 cm dan tinggi daun tempat clutch berada tinggi rata-rata ke badan air 91,67 cm. Tinggi clutch telur ke badan air bervariasi bahkan terdapat clutch yang langsung menempel pada badan air. Suhu udara dan suhu air yang diukur pada saat pengamatan berturut-turut adalah 15,1°C dan 15,9°C sedangkan pH air dan pH telur rata-rata adalah 6. Tipe aliran di bawah clutch telur yang ditemukan rata-rata beraliran sedang. Hanya ada satu clutch yang ditemukan pada kondisi air diam yaitu pada Rawa Gayonggong yang merupakan rawa yang berair apabila intensitas hujan tinggi.

(8)

Tabel 5 Analisis Substrat Clutch Telur R. margaritifer Tanggal Waktu Lokasi Lebar

clutch*) Jarak Daun-air *) Suhu udara Suhu air pH air pH

telur Aliran Substrat

19-Apr 18:30 cibereum 11 0 15°C 16°C 6 6 sedang kecubung

19-Apr 19:35 cibereum 10 155 15°C 16°C 6 6 cepat babakoan

2-Jun 8:30 cibereum 10 10 14°C 15°C 6 6 sedang kecubung

2-Jun 8:35 cibereum 10 120 15°C 16°C 6 6 sedang kecubung

2-Jun 8:45 cibereum 12 110 15°C 16°C 6 6 cepat babakoan

3-Jun 10:10 cibereum 11 130 16°C 17°C 6 6 sedang kecubung

14-Jul 19:42 cibereum 10 105 11°C 13°C 6 - sedang babakoan

27-Okt 19:10 cibereum 11 110 15°C 16°C 6 6 sedang babakoan

3-Nov 10.15 gayonggong 9 85 20°C 18°C 6 6 diam kecubung

Rataan 10,4 91,67 15,1°C 15,9°C 6 6 sedang

*) ukuran dalam cm

5.1.2.2. Karakteristik Habitat Alami Berudu

Berdasarkan hasil analisis terhadap habitat alami berudu R. margaritifer dapat disimpulkan bahwa ukuran rata-rata habitat berudu adalah panjang sisi terpanjang (p) = 144,05 cm dan panjang sisi terpendek (l) = 89,05 cm sedangkan untuk kedalamannya berdasarkan pengukuran tepi (a dan c) dan tengah (b) kolam atau genangan adalah a = 8,52 cm, b = 14,19 cm, dan c = 13,71 cm. Kondisi substrat secara keseluruhan didominasi oleh lumpur (33,3%), lumut (19,05%), dan pasir (17,6%). Lumpur, pasir dan kerikil merupakan substrat penyusun yang hampir dapat ditemukan pada semua kolam atau genangan. Substrat penyusun yang hanya berada pada tempat tertentu yaitu lumut yang ditemukan pada kolam atau genangan yang sedikit dipengaruhi oleh arus dan bebatuan besar yang ditemukan pada habitat yang dipengaruhi oleh arus yang besar (Tabel 6).

(9)

Tabel 6 Analisis Habitat Kolam atau Genangan Alami Berudu R. margaritifer

Plot Dimensi*) Kedalaman*) Substrat (%)

p l a b c

kolam camp hm 26 280 130 5 20 20 lumpur(80),daun busuk(20)

jembatan hm 26 (1) 50 25 6 8 6 lumut (60), pasir (30), kerikil(10)

jembatan hm 26 (2) 120 40 10 20 20 lumut (60), pasir (30), kerikil(10)

jembatan hm 26 (3) 90 60 5 10 25 lumut (50), daun busuk(40),

kerikil(10)

jembatan kayu goa (1) 170 130 10 10 5 lumpur (60),daun busuk(30),

kerikil(10)

jembatan kayu goa (2) 200 80 10 15 5 lumpur(60),daun busuk(30),

kerikil(10)

genangan hm 25 100 60 6 8 8 lumpur(90), kerikil(10)

jembatan curug (1) 150 130 15 30 30 pasir(70), lumut(20), kerikil(10)

jembatan curug (2) 150 110 20 25 20 batu besar (70), lumpur(30)

jembatan curug (3) 55 42 6 10 5 batu besar(70), lumpur(30)

jembatan curug (4) 100 75 17 20 5 batu besar(80), lumpur(20)

jembatan curug (5) 170 135 2 5 12 batu(60), lumpur(20), kerikil(10)

jembatan curug (6) 150 93 2 19 22 batu besar(70), lumpur(30)

kolam curug 320 280 30 40 25 lumut(50), lumpur(30), pasir(20)

camp curug III 220 130 5 15 20 kerikil(50), lumpur(30), pasir(20)

simpang curug III 110 60 8 8 5 pasir(50), kerikil(30),lumut(20)

curug III (1) 130 80 2 5 15 lumpur(70), daun busuk(30)

curug III (2) 140 65 3 5 10 lumpur(70), pasir(20), kerikil(10)

curug III (3) 70 60 10 10 15 lumpur(80), kerikil(20)

curug III (4) 100 40 5 5 2 pasir (50), lumut(40), kerikil(10)

curug III (5) 150 45 2 10 13 pasir (50), lumut(40), kerikil(10)

Rata-rata 144.05 89.05 8.52 14.19 13.71 lumpur, lumut, pasir, kerikil *) ukuran dalam cm

5.1.2.3. Kepadatan

Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah berudu pada habitat alami dan tingkat kepadatannya. Tingkat kepadatan berudu pada habitat alami sangat kecil karena jumlah berudu yang ditemukan pada masing-masing habitat sangat sedikit. Lokasi kolam camp hm 26 menunjukkan jumlah berudu yang lebih tinggi dibandingkan pada lokasi habitat alami lainnya. Tingkat kepadatan paling tinggi adalah pada lokasi curug III (1) yaitu 120 ind/m3 dan yang terendah adalah pada kolam curug I yaitu 3 ind/m3.

(10)

Tabel 7 Kepadatan Berudu R. margaritifer pada Kolam atau Genangan Alami

No. Lokasi Pengambilan ke- (jumlah) Total

berudu

Kepadatan (ind/m3) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 genangan hm 25 - 0 0

2 jembatan kayu goa (1) 2 1 0 3 21

3 jembatan kayu goa (2) 1 0 1 8

4 jembatan hm 26 (1) - 0 0 5 jembatan hm 26 (2) - 0 0 6 jembatan hm 26 (3) - 0 0 7 kolam camp hm 26 8 5 3 2 1 1 0 20 47 8 jembatan curug I (1) - 0 0 9 jembatan curug I (2) - 0 0 10 jembatan curug I (3) - 0 0 11 jembatan curug I (4) - 0 0 12 jembatan curug I (5) - 0 0

13 jembatan curug I(6) - 0 0

14 kolam curug I 3 2 2 0 7 3

15 camp curug III - 0 0

16 simpang curug III - 0 0

17 curug III (1) 4 2 1 0 7 120

18 curug III (2) 3 1 0 4 93

19 curug III (3) - 0 0

20 curug III (4) - 0 0

(11)

5.2. Pembahasan

5.2.1. Keberhasilan Hidup Telur dan Berudu R. margaritifer

R. margaritifer dewasa lebih banyak ditemukan pada ketinggian antara 1.500-2.000 mdpl (Kusrini et al. 2005), tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa katak ini juga dapat ditemukan pada ketinggian kurang dari 1.500 mdpl. Berdasarkan penelitian Lubis (2008), habitat katak pohon jawa (R. margaritifer) pada kawasan TNGP terdapat pada jalur pendakian Cibodas (Cibodas trail) yaitu berada pada ketinggian 1.571 mdpl (Telaga Biru) sampai 1.795 mdpl (Rawa Denok). Beberapa lokasi lain di kawasan TNGP yang pernah ditemukan jenis ini antara lain Bodogol (700 m dpl), Situ Gunung (1.025 m dpl), Salabintana (1.175 m dpl) dan Ciwalen (1.400 m dpl) (Kusrini et al. 2005). Namun jumlah terbanyak tetap ditemukan pada daerah dengan ketinggian antara 1.500-2.000 mdpl . Ketinggian suatu tempat mempengaruhi penyebaran dan aktifitas amfibi. Penelitian yang dilakukan oleh Morrison & Hero (2003) membuktikan bahwa populasi amfibi pada daerah yang tinggi cenderung untuk memiliki periode aktivitas dan musim breeding yang pendek, fase larva atau berudu yang lebih panjang, masa metamorfosis atau perubahan bentuk yang lebih lama, dan masa dewasa yang lama sehingga mencapai kematangan reproduksi pada umur yang lebih tua, jumlah telur tergantung ukuran tubuh serta menghasilkan telur yang lebih besar.

Penelitian yang mengambil plot pada kawasan Curug Cibereum (1.685 mdpl) ini didasarkan atas hasil penelitian Kusrini et al. (2005), Lubis (2008) dan pengamatan pendahuluan yang menunjukkan bahwa di kawasan ini banyak ditemukan katak pohon jawa dan berudunya yang juga dapat ditemukan pada tepi-tepi sungai ataupun genangan air. Katak pohon jawa diketahui menyimpan telurnya di dalam selubung busa (clutch) yang dihasilkan oleh katak jantan dan betina dalam proses perkawinannya dan diletakkan pada tempat yang tepat di sekitar genangan air, seperti pada jenis yang berkerabat dengan katak ini yaitu R. reindwartii di kampus IPB Dramaga (Yazid 2006). Selubung busa telur (clutch) semuanya ditemukan pada tumbuhan air yaitu kecubung (Brugmansia suaveolens) dan babakoan (Eupatorium sordidum). Beberapa faktor pemilihan lokasi peletakan sarang atau telur oleh indukan adalah kondisi genangan air, suhu dan

(12)

ada tidaknya gangguan oleh predator serta berudu jenis lain (Stebbins & Cohen 1995). Clutch telur terutama pada jenis katak pohon akan mudah ditemukan menempel pada daun dan di bawahnya terdapat genangan air ataupun aliran sungai. Proses pengeluaran busa (clutch) oleh induk betina katak dilakukan pada malam hari setelah terjadi perkawinan. Suhu udara dan aktivitas manusia sangat mempengaruhi terjadinya proses perkawinan. Berdasarkan pengamatan pada saat musim kemarau dan suhu udara yang rendah, sangat sedikit ditemukan katak pohon jawa dan clutch telurnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi tersebut sangat jarang katak yang melakukan proses perkawinan. Aktivitas manusia juga cukup mempengaruhi karena apabila katak mendeteksi keberadaan manusia, katak cenderung menjauh dan tidak melakukan proses kawin.

Telur mengalami proses metamorfosis di dalam clutch mulai dari pembelahan sel telur sampai terbentuknya sistem pernafasan dan ekor (Gosner, 1960). Berudu-berudu mulai keluar dari clutch setelah lebih kurang 14 hari mengalami proses tersebut. Keberhasilan telur mengalami proses metamorfosis bervariasi yaitu antara 0% - 98% dengan rata-rata keberhasilan sebesar 78,2% (Tabel 2). Terdapat dua dari sembilan clutch telur yang ditemukan memiliki tingkat keberhasilan menjadi berudunya 0%. Hal ini terjadi karena pada saat ditemukan, kondisi clutch rusak, kering dan beku dengan busa dan telur-telur di dalamnya berwarna coklat kehitaman. Pengamatan ini dilakukan pada bulan Juli-Oktober 2009 dimana kawasan TNGP sedang mengalami musim kemarau dengan suhu udara malam hari yang diukur pada tempat pengamatan berkisar antara 11°C-13°C. Kondisi ini disimpulkan menjadi penyebab rusaknya clutch dimana bagian luar sampai dalam clutch telur kering dan beku serta apabila dipegang mudah hancur. Individu katak pohon jawa yang ditemukan dalam pengamatan selama musim kemarau juga sangat sedikit sehingga kecil kemungkinan untuk terjadinya perkawinan dan pembentukan clutch telur. Kondisi penemuan clutch telur terbanyak yaitu pada bulan April-Juni 2009 yang dapat menunjukkan bahwa katak pohon jawa melakukan aktivitas kawin lebih banyak pada musim penghujan. Menurut Duellman & Trueb (1994), aktivitas amfibi sangat bergantung pada kondisi lingkungannya termasuk dalam aktivitas kawin. Di daerah tropika basah, pada umumnya anura memiliki pola reproduksi yang

(13)

terus-menerus sepanjang tahun. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah curah hujan, termasuk intensitas dan lamanya periode curah hujan (Aichinger 1997). Umumnya jenis anura termasuk berudunya dapat hidup pada kisaran suhu 3°-41°C meskipun tingkat toleransi suhu untuk setiap jenis anura berbeda-beda (Goin et al. 1978).

Metode translokasi habitat dilakukan dalam pengamatan terhadap pertumbuhan berudu (metamorfosis), perkembangan dan aktifitas katak. Retallick (2002) dalam penelitiannya menggunakan enclosure sebagai habitat translokasi berudu dan katak. Penggunaan enclosure bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan populasi katak di Queensland, Australia. Melalui enclosure dapat diamati pertumbuhan berudu serta beberapa aktivitas katak yang dimasukkan ke dalamnya. Metode pentranslokasian berudu pada penelitian di TNGP dilakukan pada dua tempat yang berbeda yaitu pada jaring kantong dan jaring kotak dengan penempatan masing-masing pada tipe habitat yang berbeda. Jaring digunakan sebagai habitat translokasi karena lebih mudah dalam hal pengamatan dan faktor alami dari luar tidak terbatasi dengan penggunaan jaring ini sehingga kondisi habitat di dalam ataupun di luar jaring adalah sama.

Metode pengamatan perkembangan berudu yang pertama adalah dengan menggunakan habitat translokasi berupa jaring kantong. Penempatan jaring-jaring kantong berisi berudu adalah pada aliran Sungai Ciwalen dengan bagian kantong yang terendam adalah 20 cm. Habitat terlindung dari sinar matahari langsung karena di sekitar sungai terdapat beberapa tegakan pohon dan tumbuhan bawah. Jaring kantong ini diletakkan di tepian sungai yang dipengaruhi arus dengan substrat sungai berupa pasir, kerikil, dan lumpur. Tingkat keberhasilan hidup berudu pada habitat translokasi ini sangat kecil karena hanya terdapat dua individu yang berhasil menjadi katak sempurna. Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah berudu terus-menerus menurun hingga tingkat keberhasilannya mencapai 0% pada empat kantong. Penurunan jumlah berudu ini berlangsung mulai bulan Juni-Oktober 2009 dalam jumlah yang besar. Hal ini disebabkan oleh kematian ataupun berudu hanyut oleh arus air. Debit air sungai yang bertambah dapat mengakibatkan jaring kantong tenggelam atau terbawa arus sehingga

(14)

berudu-berudu pun dapat hanyut terbawa air. Sebagian bangkai berudu-berudu dapat ditemukan sedangkan sisanya hancur atau terbawa arus.

Jumlah berudu total yang ditranslokasikan pada jaring kantong adalah 539 berudu dan yang berhasil menjadi katak sempurna hanya berjumlah dua individu. Hal ini menunjukkan laju mortalitas tinggi pada metode yang dilakukan. Faktor yang mempengaruhi tingginya laju mortalitas yaitu luasan jaring dan kepadatan individu. Ruang hidup berudu berupa genangan air yang terbatas pada jaring kantong berperan dalam penyedia pakan bagi kehidupan berudu yaitu berupa bahan-bahan terlarut dalam air seperti lumpur dan mikroorganisme. Kondisi yang terjadi pada jaring kantong menunjukkan ruang hidup bagi berudu yang kecil sehingga tidak mampu mendukung kehidupan semua berudu. Persaingan dalam mendapatkan pakan terlarut di dalam air semakin besar. Individu-individu yang lemah akan kalah bersaing dan mati sehingga peluang hidupnya akan semakin kecil. Faktor lain yang turut mempengaruhi habitat berupa genangan yang dipengaruhi arus adalah ketinggian air dan debit air sungai. Debit air yang besar membuat ketinggian air dan arus sungai meningkat sehingga dapat menyebabkan jaring kantong dapat tenggelam ataupun terbawa arus sehingga berudu hilang ataupun mati terbawa arus. Arus sungai yang besar juga mengakibatkan tergerusnya lumpur atau substrat lain pada habitat translokasi sehingga pakan bagi berudu semakin sedikit. Genangan air yang luas dan kedalaman air memungkinkan untuk menampung jumlah individu berudu dalam jumlah yang besar (Heinen & Abdela 2004). Penggunaan jaring kantong menunjukkan keterbatasan ruang berpengaruh terhadap besarnya peluang hidup berudu yang ditranslokasikan ke dalamnya.

(15)

Habitat pentranslokasian yang kedua adalah pada jaring kotak dengan penempatannya pada kolam Mandalawangi. Kolam ini terletak pada tempat yang tidak ternaungi, memiliki substrat berupa lumpur dan lumut dengan pH air 6 serta kualitas air yang sedikit keruh dan agak berbau. Menurut Boyd (1982), kekeruhan dipengaruhi oleh bahan-bahan tersuspensi seperti lumpur, bahan organik dan anorganik, plankton dan organisme mikroskopik lainnya. Bahan-bahan ini merupakan sumber pakan alami bagi berudu. Air di dalam kolam dan ketinggian air kolam cenderung akan bertambah akibat hujan. Hal ini tidak berpengaruh karena terdapat saluran yang mengalirkan air keluar kolam sehingga ketinggian air kolam relatif stabil. Kolam ini juga tidak dipengaruhi oleh aliran ataupun arus air sehingga cenderung diam.

Peluang hidup berudu R. margaritifer pada metode dengan jaring kotak lebih tinggi dibandingkan dengan jaring kantong karena terdapat 22 berudu yang berhasil menjadi katak sempurna. Hal ini dipengaruhi oleh ruang hidup yang memadai bagi berudu. Ukuran jaring yang relatif besar memberikan ruang gerak yang lebih besar kepada berudu-berudu untuk memperoleh pakan dan udara sehingga mempengaruhi pertumbuhan tubuhnya. Selain itu, pakan berudu yang berupa lumut, bahan organik dan anorganik, plankton, dan organisme mikroskopik lainnya cenderung lebih banyak karena kondisi kolam yang tidak dipengaruhi aliran ataupun arus sehingga cenderung tidak terjadi penggerusan bahan-bahan tersuspensi tersebut.

Gambar 10 menunjukkan bahwa peluang hidup berudu R. margaritifer pada kelas umur I (st 25) menuju kelas umur II (st 26-30) hanya sebesar 0,4 dan terus menurun pada kelas umur berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa fase awal pertumbuhan berudu merupakan fase yang rentan akan kematian. Menurut Duellman & Trueb (1994), fase awal pertumbuhan berudu merupakan fase adaptasi terhadap habitat dimana individu-individu yang tidak mampu beradaptasi dengan baik akan mengalami kematian lebih cepat. Selain itu, pada fase ini terjadi persaingan yang tinggi dalam mendapatkan sumberdaya seperti pakan, ruang, dan oksigen terlarut yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tubuh berudu. Gambar 11 menunjukkan bahwa kemampuan hidup akan bertambah dengan bertambahnya kelas umur. Kemampuan hidup berudu semakin besar karena jumlah berudu yang

(16)

mati pada fase awal pertumbuhan lebih banyak sehingga persaingan dalam mendapatkan sumberdaya semakin kecil.

Gambar 13 Jaring kotak sebagai habitat pentranslokasian berudu

Beberapa faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan berudu adalah panas matahari dan suhu udara. Bennett (1999) menyatakan bahwa panas matahari berpengaruh terhadap pertumbuhan berudu tetapi panas matahari yang mengenai tubuh berudu tidak boleh terlalu banyak intensitasnya. Hal ini akan menyebabkan kematian berudu dalam hitungan menit akibat pemanasan yang tinggi. Suhu air sangat berperan dalam proses perkembangan tubuh berudu untuk bermetamorfosis menjadi katak dewasa dan suhu yang hangat akan mengoptimalkan pertumbuhan berudu (Duelman & Trueb, 1994). Sinar matahari yang langsung mengenai permukaan air dapat meningkatkan suhu di permukaan air sehingga suhu air juga menjadi cenderung meningkat pula. Menurut Wardhana (1995), semakin tinggi kenaikan suhu air maka oksigen yang dapat terlarut dalam air semakin sedikit. Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari udara yang secara lambat terdifusi ke dalam air. Organisme air yang hidup pada genangan air atau kolam berkadar oksigen rendah, kebutuhan oksigennya diperoleh dari udara di atas permukaan air. Peristiwa ini pada berudu disebut dengan perilaku air gulping. Kadar oksigen terlarut yang minim akan meningkatkan intensitas perilaku air gulping tersebut (Duellman & Trueb 1994, Dickman & Durtsche 2000).

Perbandingan jumlah berudu yang dipelihara pada kedua habitat translokasi berbeda. Berudu-berudu pada habitat translokasi Ciwalen berasal dari lima clutch telur sedangkan pada kolam Mandalawangi hanya berasal dari satu clutch telur. Hal ini memberikan kemungkinan bahwa hasil pengamatan peluang hidup berudu

(17)

pada kolam Mandalawangi belum dapat menggambarkan peluang hidup berudu katak pohon jawa pada habitatnya. Namun dari hasil yang didapatkan pada kedua metode pentranslokasian tersebut dapat diketahui bahwa beberapa faktor turut mempengaruhi besarnya peluang hidup berudu antara lain ruang gerak, kepadatan berudu, pakan, dan udara.

5.2.2. Ruang Hidup Telur dan Berudu R. margaritifer

Selubung busa (clutch) telur memiliki komposisi yang terdiri atas air dan lendir. Kondisi ini memungkinkan telur-telur yang terdapat di dalamnya terlindungi dari predator dan mendapatkan nutrisi sehingga dapat mengalami proses metamorfosis. Clutch telur R. margaritifer dalam penelitian ini semuanya ditemukan pada daun-daun tumbuhan air yaitu kecubung (lima clutch) dan babakoan (empat clutch). Beberapa jenis tumbuhan air lainnya yang dapat ditemui di sekitar lokasi ini antara lain pacar tere (Impatiens platypetala) dan selada air (Nasturtium microphyllum). Peletakan clutch dipengaruhi oleh wilayah jelajah katak pohon jawa yang sebagian besar terlihat di sekitar tumbuhan ini sehingga setelah mengalami proses perkawinan, induk betina mengeluarkan telurnya pada daun.

Kondisi clutch terletak pada daun dengan sedikit bagian daun menutupi clutch dan posisinya tergantung di atas permukaan air sungai ataupun genangan. Tabel 4 menunjukkan bahwa tinggi daun ke permukaan air bervariasi dari 0 cm hingga 155 cm dengan rata-rata tinggi daun ke permukaan air adalah 91,67 cm dan semua clutch ditemukan berada di atas permukaan air. Hal ini menunjukkan bahwa ketinggian telur terhadap muka air tidak mempengaruhi tetapi keberadaan clutch telur harus di atas air yang menggenang atau mengalir sehingga apabila telur telah berubah menjadi berudu, berudu akan langsung jatuh ke air. Suhu udara dan suhu air pada saat penemuan clutch berkisar antara 15°C-16°C dengan tingkat keasaman air dan clutch yaitu 6. Keadaan ini menunjukkan suhu rata-rata normal di sekitar lokasi penemuan clutch telur. Kondisi ekstrim yaitu pada suhu rendah juga mempengaruhi kondisi clutch. Terdapat dua selubung busa telur ditemukan dalam keadaan beku dan rusak karena suhu yang rendah yaitu berkisar antara 10°C-12°C pada saat penemuan keduanya.

(18)

Habitat alami berudu R. margaritifer di kawasan TNGP yang diamati dalam penelitian ini berada pada ketinggian 1685 mdpl (sekitar Curug Cibereum) yaitu pada kolam temporer, genangan ataupun tepi-tepi sungai berair jernih. Pengamatan dilakukan pada 21 titik (plot) yang di dalamnya terdapat berudu R. margaritifer. Tingkat ketahanan hidup berudu didasarkan pula atas ketersediaan pakan pada habitatnya karena pakan merupakan aspek penting dalam perkembangbiakan berudu. Schiesari et al. (2006) menggunakan metode pentranslokasian berudu pada kolam-kolam tertutup dengan perlakuan berbeda dimana terdapat kolam yang kaya akan pakan alami berudu seperti detritus, fitoplankton, dan periphyton sedangkan kolam yang lainnya miskin pakan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada habitat buatan yang lebih banyak pakan, pertumbuhan berudu dapat lebih cepat dibandingkan pada habitat yang sedikit pakan. Substrat sungai sebagai penyedia pakan bagi berudu R. margaritifer bervariasi pada 21 titik pengamatan yakni berupa lumpur, lumut, kerikil, dan pasir. Lumpur dan lumut adalah dua komponen utama yang paling banyak ditemukan pada habitat alami ini.

Gambar 14 Kolam dan tepian sungai sebagai habitat alami berudu

Persediaan sumberdaya kehidupan bagi berudu dipengaruhi oleh luasan genangan, kedalaman air, dan substrat di dalam genangan tersebut. Genangan air yang luas memungkinkan individu untuk bergerak lebih bebas dan memperoleh sumberdaya yang berada di dalam air, demikian pula dengan kedalaman air. Hal ini dapat mengurangi kemungkinan persaingan intraspesifik dan perilaku memakan sesama berudu atau perilaku kanibalisme antar sesama berudu. Perilaku kanibalisme dapat terjadi akibat persediaan pakan yang sedikit dan pengaruh

(19)

genangan air (Loman & Claesson 2003). Genangan air yang luas dengan kedalaman yang rendah mengalami laju penguapan yang lebih cepat sehingga berudu-berudu dapat mati sebelum bermetamorfosis menjadi katak dewasa. Berudu-berudu pada tipe genangan seperti ini memiliki perilaku adaptasi yang unik yaitu mempersingkat masa metamorfosisnya menjadi katak dewasa (Loman 1999) yaitu dengan meningkatkan aktivitas makan sehingga pertumbuhan tubuhnya menjadi lebih cepat (Dickman & Durtsche 2000).

Kepadatan berudu pada habitat alami menunjukkan besarnya daya dukung lingkungan yang terdapat pada habitat tersebut. Tabel 6 menunjukkan bahwa tidak semua kolam ataupun genangan memiliki berudu. Hal ini dipengaruhi oleh arus sungai yang pada musim penghujan kecepatannya lebih besar dibandingkan pada musim kemarau. Tidak menutup kemungkinan berudu-berudu terbawa arus sungai dan berhenti pada tepian-tepian sungai yang arusnya tidak deras. Habitat kolam jembatan hm 26 merupakan kolam temporer yang menampung air hujan dan jembatan curug I (Cibereum) merupakan cekungan sungai yang menyimpan air sungai ketika arus sungai tidak deras sehingga di beberapa tempat dapat ditemukan berudu R. margaritifer. Ketika musim penghujan, arus sungai dan debit air pada kolam meningkat sehingga tidak satupun berudu ada pada habitat ini. Kolam camp hm 26 merupakan kolam yang memiliki jumlah berudu terbanyak.. Kolam ini merupakan kolam temporer yang hanya berisi pada musim penghujan dan kolam ini tidak dipengaruhi oleh aliran sungai. Berudu-berudu dapat ditemukan dalam kolam ini dalam beberapa pengamatan yang menunjukkan bahwa habitat ini cocok untuk berudu R. margaritifer. Substrat kolam ini berupa lumut dan lumpur serta sangat ternaungi dari sinar matahari. Sedangkan habitat berudu di curug III (I) memiliki kepadatan tertinggi. Habitat berudu ini merupakan cekungan yang terdapat pada tepi-tepi sungai yang memiliki substrat berupa lumpur, pasir, dan di sekitarnya terdapat tumbuhan air. Habitat ini sangat sedikit memiliki berudu dikarenakan cekungan-cekungan pada tepian sungai tersebut dipengaruhi oleh arus. Semakin kencang arus, semakin besar peluang berudu untuk terbawa arus sampai pada tempat yang jauh.

Gambar

Tabel 2  Jumlah Telur yang Berhasil dan Gagal menjadi Berudu
Tabel 3  Perkembangan Berudu R. margaritifer pada Habitat Sungai Ciwalen  No. Tanggal Jumlah k1 (telur= 136) k2 (telur= 133) k3 (telur= 101) k4 (telur= 57) k5 (telur= 110) 1 30 Apr-09 54 108 2 1-May-09 54 108 3 3-May-09 54 108 4 12-May-09 54 108 5 30-May-0
Tabel 4  Perkembangan Berudu R. margaritifer pada habitat kolam Mandalawangi  Tanggal  st 25  st 26-30  st 31-40  st 41-45  st 46  m  h  st+1  m  h  st+1  m  h  st+1  m  h  st+1  h  12-Nov  124  19-Nov  4  120  26-Nov  10  110  3-Dec  6  104  17-Dec  4  10
Gambar 10  Kurva peluang hidup berudu R. margaritifer
+7

Referensi

Dokumen terkait

Setelah menyimak penjelasan guru tentang tanggung jawab warga, siswa dapat mengumpulkan informasi tentang pelaksanaan pemilihan kepala desa di desanya.. Setelah

Hasil analisis data pada kawasan wisata mangrove di Desa Labuan terdapat 31 jenis fauna, indeks keanekaragaman senilai 2,2573 dan didapatkan indeks kemerataan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai penerapan kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan fungsi sumber daya manusia apakah sudah berjalan dengan

(20) Diisi nomor urut dari Buku Rekening Barang Kena Cukai Minuman yang Mengandung Etil Alkohol dalam angka.. (21) Diisi kantor yang mengawasi pengusaha pabrik minuman yang

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948, tentang pendaftaran dan pemberian izin kepemilikan senjata api pada Pasal 9 dinyatakan, bahwa setiap orang yang bukan anggota

Oleh karena itu perlu adanya sistem pengendalian secara otomatis yang dapat dikendalikan secara jarak jauh, aman dan efisien pada proses powder coating sehingga operator

Dari beberapa pengertian yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikatakan bahwa propaganda adalah suatu usaha yang sistematis dan terencana yang dilakukan

Data hasil uji statistik yang diperoleh dari daya proteksi formula gel minyak atsiri herba lemon balm (Melissa officinalis L) terhadap nyamuk Aedes aegypti memiliki