• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)

2.1 Pembentukan OJK

2.1.1 Latar Belakang terbentuknya OJK

Keinginan bangsa Indonesia untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya terlihat dari beberapa perubahan peraturan perundang-undangan tentang perbankan yang telah terjadi. Salah satunya adalah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), Undang-Undang yang terbentuk berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU BI). Didalam ketentuan tersebut, pemerintah diamanatkan membentuk suatu lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang independen, selambat-lambatnya akhir tahun 2010 dengan nama Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Alasan pembentukan lembaga ini antara lain adalah makin komplek dan bervariasinya produk jasa keuangan, munculnya gejala konglomerasi perusahaan jasa keuangan, dan globalisasi industri jasa keuangan. Disamping itu, salah satu alasan pembentukan OJK karena Pemerintah beranggapan bahwa Bank Indonesia sebagai bank sentral telah gagal dalam mengawasi sektor perbankan. Kegagalan tersebut dapat dilihat dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia mulai pertengahan tahun 1997, dimana sebanyak 16 bank dilikuidasi

(2)

pada saat itu.13 Contoh yang paling aktual adalah gagalnya Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Bank Century. Timbul kecaman pedas karena bailout Bank Century yang oleh banyak pihak dianggap tidak masuk akal. Bank Indonesia dianggap tidak mampu bertindak tegas atau tidak mampu menjatuhkan hukuman yang keras kepada bank yang dinilai melakukan kejahatan dibidang perbankan.14

Selain itu, tujuan OJK dibentuk antara lain adalah sebagai berikut:15

a)Agar keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

b)Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; c)Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Disamping itu, tujuan dari dibentuknya OJK adalah agar Bank Indonesia fokus terhadap pengelolaan moneter dan tidak perlu mengurusi pengawasan bank karena bank merupakan sektor perekonomian.16

Fuad Rahmany selaku ketua Tim Penyusun RUU OJK menyatakan bahwa OJK akan menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang selama ini cenderung muncul. Sebab dalam OJK, fungsi pengawasan dan pengaturan dibuat terpisah. Beliau mencontohkan Bapepam-LK yang dia pimpin tidak hanya mengawasi tetapi juga membuat peraturan untuk perusahaan sekuritas atau efek. Hal ini berpotensi menimbulkan abuse of power sehingga pengaturan dan pengawasan harus dipisahkan. Meskipun OJK

13 Afika Yumya, SkripsiPengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kewenangan Bank Indonesia Dibidang Pengawasan Perbankan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2008, h.28

14 Kusdarwanto, TesisKewenangan Bank Indonesia Dalam Pengawasan Perbankan setelah Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Program Studi Magister Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2013, h.23

15 http://www.ojk.go.id/visi-misi 16 Afika Yumya, Op.Cit, h.29

(3)

memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan dalam satu tubuh, fungsinya tidak akan tumpang tindih sebab OJK terdiri atas 7 (tujuh) dewan komisioner. Ketua Dewan Komisioner akan membawahi tiga anggota dewan komisioner yang masing-masing mewakili perbankan, pasar modal dan Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB). Kewenagan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia akan dikurangi, namun Bank Indonesia masih mendampingi pengawasan.17

Apabila dilihat dalam konsideran UU OJK menyatakan bahwa:

a. Untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor Jasa Keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat;

b. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, diperlukan Otoritas Jasa Keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap disektor jasa keuangan secara terpadu, independen dan akuntabel;

c. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu membentuk Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Secara historis, ide untuk membentuk lembaga khusus untuk melakukan pengawasan perbankan telah dimunculkan semenjak diundangkannya UU BI. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa tugas pengawasan terhadap bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan Undang-Undang. Dengan melihat ketentuan tersebut, maka telah jelas tentang pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan independen harus dibentuk. Bahkan pada ketentuan selanjutnya dinyatakan bahwa pembentukan lembaga pengawasan akan dilaksanakan selambatnya pada 31 Desember 2002. Hal tersebut yang dijadikan landasan

(4)

dasar bagi pembentukan suatu lembaga independen untuk mengawasi sektor jasa keuangan, akan tetapi dalam prosesnya sampai dengan tahun 2010. Perintah untuk pembentukan lembaga pengawasan ini, yang kemudian dikenal dengan OJK.18 Dengan terbentuknya OJK, diharapkan pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan dapat dilaksanakan dengan cara yang tepat dan sesuai dengan kepentingan, sehingga dapat meningkatkan perekonomian bangsa Indonesia.

2.1.2 Tujuan dibentuknya OJK

Salah satu alasan terbentuknya OJK adalah semakin komplek dan bervariasinya produk jasa keuangan, munculnya gejala konglemerasi perusahan jasa keuangan. Disamping itu alasan lain dari dibentuknya OJK adalah pemerintah Indonesia telah melihat dan menganggap bahwa Bank Indonesia sebagai Bank Sentral telah gagal dalam mengawasi sektor perbankan.

Setelah keluarnya UU OJK yang diundangkan pada tanggal 22 November 2011, maka munculnya OJK. Dengan diundangkannya UU OJK tersebut, maka pengaturan dan pengawasan sektor perbankan yang semula berada pada Bank Indonesia beralih kepada OJK. Bukan hanya pada sektor perbankannya saja, namun juga pada sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Dalam penjelasan UU OJK disebutkan bahwa dibutuhkan lembaga pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang lebih terintegrasi dan komprehensif agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga

(5)

dapat menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan.19

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 2 ayat (2) UU OJK menjelaskan bahwa "OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini"

Selain itu, OJK juga merupakan yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang.20

OJK ini dibuat oleh pemerintah bukan tanpa sebab, melainkan memiliki tujuan yakni, agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:21

a.Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

b.Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan

c.Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Selain itu, tujuan dari pembentukan OJK lainnya adalah untuk menyelenggarakan sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, dimana mengingatkan pada pemikiran pada prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan benar (Good Corporate Governance) yang terdiri dari lima (5) prinsip yang disingkat dengan TARIF, yaitu:22

1.Transparency (Keterbukaan Informasi)

Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu. 2.Accuntability (Akuntabilitas)

Yaitu adanya kejelasan fungsi, struktur, sistim, kejelasan akan hak

19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Penjelasan Umum 20 Ibid, pasal 1 angka 1

21 Ibid, pasal 4

22 Bisdan Sigalinggi, Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Bank Indonesia Tesis Magister Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2013 h.107 diakses melalui http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39487/3/Chapter%20II.pdfdiunduh tanggal 9 Oktober 2014

(6)

dan kewajiban serta wewenang dari elemen-elemen yang ada. 3.Responsibility (Pertanggungjawaban)

Yaitu kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk pembayaran pajak, hubungan Industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya.

4.Independency (Kemandirian)

Yaitu mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa adanya benturan kepentingan dan tekanan atau intervensi dari pihak manapun termasuk yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

5.Fairness (Kesetaraan atau Kewajaran)

Prinsip ini menurut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak shareholders dan stakeholders sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Tujuan lain dari pembentukan OJK ini antara lain adalah agar keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Dalam konsep berkelanjutan dimaksud adalah untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Sebagaimana menurut The World Business Council of for Sustainable Development (WBSCDS) yang menggambarkan sebagai "Business commitment to contribute to sustainable economic development, working with employees, their, the local community, and society at large to improve their quality if life" yaitu suatu komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, bekerjasama dengan pegawai, keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup bersama.23

2.1.3 Tugas dan Wewenang OJK

Terbentuknya OJK di Indonesia didasari dengan suatu keinginan dari

(7)

pemerintah untuk melakukan regulasi dalam hal pengawasan di sektor jasa keuangan terutama dalam sektor perbankan yang mulai melemah. Kedudukan OJK yang menjadi lembaga independen dan memiliki kewenangan yang cukup luas dan tegas dalam pengawasan perbankan diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang saat ini timbul dalam sektor jasa keuangan terutama pada sektor perbankan.

Dengan terbentuk dan berlakunya UU OJK telah memberikan kepastian hukum dan telah menjadi dasar hukum bagi OJK untuk melakukan tugas dari lembaga tersebut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 UU OJK, OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:24

a.Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b.Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal;

c.Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Sebagaimana ketentuan huruf a di atas untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, OJK memilki kewenangan sebagai berikut:25

a.Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:

1.Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan

24 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 6 25 Ibid, Pasal 7

(8)

2. Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas dibidang jasa,

b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: 1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio

kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; 2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3. sistem informasi debitur;

4. pengujian kredit (credit testing); dan 5. standar akuntansi bank;

c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:

1. Manajemen risiko; 2. Tata kelola bank;

3. Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan

4. Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan d. Pemeriksaan bank.

Dalam melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana telah diatur pada Pasal 6 UU OJK, OJK memiliki wewenang sebagai berikut:26

a. Menetapkan peraturan pelaksaan Undang-Undang ini;

b. Menetapkan peraturan perundang-undang di sektor jasa keuangan; c. Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;

26 Ibid, Pasal 8

(9)

d. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; e. Menetapkan kebijakan mengenai pelaksaan tugas OJK;

f. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;

g. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;

h. Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan

i. Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Dan dalam melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana di maksud dalam Pasal 6 UU OJK, OJK memiliki wewenang sebagai berikut:

a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;

b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;

c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

d. Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau pihak tertentu;

e. Melakukan penunjukan pengelolahan statute; f. Menetapkan penggunaan pengelolahan statute;

g. Menetapkan sanksi administrative terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan

h. Memberikan dan/atau mencabut: 1.Izin usaha;

2.Izin orang perseorangan;

3.Efektifnya pernyataan pendaftaran; 4.Surat tanda terdaftar;

5.Persetujuan melakukan kegiatan usaha; 6.Pengesahan;

7.Persetujuan atau penetapan pembubaran; dan 8.Penetapan lain;

Sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

(10)

Dalam Naskah Akademik Pembentukan OJK dikatakan bahwa dalam melaksanakan tugas dan weewenangnya OJK harus berlandaskan kepada asas-asas sebagai berikut:27

a.Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan OJK.

b.Asas kepentingan umum, yakni asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

c.Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan OJK dengan tetap memerhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

d.Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang OJK, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

e.Asas integrasi, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan OJK.

f.Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan OJK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Dalam penjelasan umum UU OJK juga dikemukakan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya OJK berlandaskan asas-asas sebagai berikut:28

a.Asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b.Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan.

c.Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum.

d.Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif

27 Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dikutip dalam: Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia edisi kedua, Kencana, Jakarta, 2005, h.222-223

(11)

tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memerhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

e.Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoirtas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan. f.Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral

dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan.

g.Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa asas-asas OJK yang dimuat dalam Lampiran Penjelasan UU OJK pada hakikatnya mengacu dalam Naskah Akademik Pembentukan OJK.

2.2 Bank Indonesia Sebelum terbentuknya OJK dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankan

2.2.1 Tujuan dan Tugas Bank Indonesia

Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia lahir setelah berlakunya UU BI pada 1 Juli 1953. Berdasarkan ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia, didalam bidang perbankan, Bank Indonesia sebagai Bank Sentral sekaligus bertugas untuk mengawasi bank-bank (khususnya mengenai urusan kredit). Namun demikian, aturan pelaksanaan ketentuan pengawasan tersebut baru ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 1955 tentang Pengawasan terhadap Urusan Kredit, yang menyatakan bahwa Bank Indonesia melakukan pengawasan bank terhadap semua bank yang beroperasi di Indonesia guna kepentingan solvabilitas dan likuidasi badan-badan kredit

(12)

tersebut dan pemberian kredit secara sehat yang berdasarkan asas-asas kebijakan Bank yang tepat. Tugas Bank Indonesia tersebut dilakukan atas nama Dewan Moneter.29

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU BI mengatur bahwa tujuan dari Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini merupakan tujuan tunggal (single target) bagi Bank Indonesia, tetapi pada hakikatnya mempunyai dimensi ganda yakni, kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa serta kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain. Kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa dapa diukur dari perkembangan laju inflasi, sedangkan ketsabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain tercermin dari perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Kestabilan nilai rupiah menjadi faktor yang sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.30

Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia mempunyai 3 (tiga) bidang tugas utama sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU BI, yaitu:

a. Menetapkan dan melaksakan kebijakan moneter; b.Menagtur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; c. Mengatur dan mengawasi Bank

Tugas Bank Indonesia tersebut memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya, oleh sebab itu harus dilakuan dengan saling mendukung untuk mencapai tujuan Bank Indonesia secara efektif dan efisien. Tugas menetapkan

29 Kusdarwanto, Op.cit, h.42

30 Arief Wind Kuncahyo, Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Indepedensi, Skripsi Fakultas

(13)

dan melaksanakan kebijakan moneter dilakukan melalui pengendalian jumlah uang yang beredar dan suku bungan dalam perekonomian. Untuk melaksanakan hal tersebut, diperlukan dukungan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan andal. Sistem pembayaran yang demikian hanya dapat dilaksanakan oleh sistem perbankan yang sehat.31 Sebab, kebijakan moneter banyak dilakukan melalui sistem perbankan.

2.2.2 Kewenangan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan perbankan

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) dalam hal pengawasan dan pengaturan perbankan, Bank Indonesia sebagai otoritas yang berwenang dalam hal melakukan pengaturan dan pengawasan bank memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu bank, menetapkan peraturan, melaksanakan pengawasan Bank serta mengenakan sanksi terhadap bank.32

Bank Indonesia mempunyai beberapa kewenangan dalam melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap bank, yaitu:33

a.Kewenangan memberikan izin b.Kewenangan mengatur

c.Kewenangan untuk mengawasi

d.Kewenangan untuk mengenakan sanksi

Dalam hal kewenangan memberikan izin (right to license), yang dimaksud adalah kewenangan untuk menetapkan tata cara perizinan dan

31 Ibid, h.14

32 Kusdarwanto, op.cit, h.51 33 http://www.bi.go.id/id/perbankan/

(14)

pendirian suatu bank, meliputi pemberian izin dan pencabutan izin usaha bank, pemberian izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, pemberian persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bak, pemberian izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.34

Kewenangan pemberian izin ini merupakan seleksi awal terhadap kehadiran sebuah bank dengan menetapkan tata cara perizinan dan pendirian suatu bank. Pada umumnya persyaratan pendirian bank menyangkut pada tiga aspek, yaitu: (a) akhlak dan moral calon pemilik dan pengurus bank, (b) kemampuan menyediakan dana dalam jumlah tertentu untuk modal bank, dan (c) kesungguhan dan kemampuan dari para calon pemilik dan pengurus bank dalam melakukan kegiatan usaha bank.35

Kewenangan untuk mengatur (right to regulate) adalah menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka menciptakan perbankan sehat guna memenuhi jasa dalam rangka menciptakan perbankan yang diinginkan masyarakat.36

Didalam kewenangan mengawasi, Bank Indonesia membaginya dalam 2 pengawasan, yaitu:37

a.Pengawasan bank secara langsung (on-site supervision)

Terdiri dari pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan Bank terhadap peraturan yang berlaku, serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha Bank.

34 Bank Indonesia, Bookled perbankan Indonesia 2010, Direktorat Perizinan dan Informasi

Perbankan Bank Indoneisa, Jakarta, 2010, h.11-12

35 Hermansyah, Op.cit, h.175-176 36 Bank Indonesia, op.cit.., h.11-12 37 Ibid

(15)

b. Pengawasan tidak langsung (off-site supervision)

Pengawasan melalui alat pemantau seperti laporan berkala yang disampaikan bank, laporan hasil pemeriksaan dan informasi lainnya.

Sedangkan kewenangan untuk mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap Bank apabila suatu Bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan asas perbankan yang sehat.38

Dalam hal menjalankan tugas pengawasan bank, Bank indonesia melaksanakan sistem pengawasan dengan menggunakan 2 pendekatan, yaitu:39

1.Pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance based supervision), yaitu pemantauan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank di masa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan benar menurut prinsip kehati-hatian. Pengawasan terhadap pemenuhan aspek kepatuhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksaan pengawasan bank berdasarkan risiko;

2.Pengawasan berdasarkan risiko (risk based supervision) yaitu pengawasan bank yang menggunakan strategi dan metodologi berdasarkan risiko yang memungkinkan pengawasan bank dapat mendeteksi risiko yang signifikan secara dini dan mengambil tindakan engawasan yang sesuai dan tepat waktu.

Berkaitan dengan tugas mengatur dan mengawasi bank, Bank Indonesia sebagai bank sentral berwenang:40

a. Menetapkan peraturan perbankan termasuk ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian.

b. Memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, termasuk memberikan dan mencabut izin usaha tertentu dari bank, memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan usaha tertentu.

38 Ibid

39 Ibid., h.12-14

(16)

c. Melaksanakan pengawasan bank secara langsung dan tidak langsung melalui penyampaian laporan, keterangan oleh bank serta hasil pemeriksaan terhadap bank, secara berkala ataupun setiap waktu jika diperlukan.

d. Menugaskan kepada pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia dalam melaksanakan pemeriksaan. Pihak lain yang melaksanakan pemeriksaan wajib merahasiakan keterangan dan data yang diperbolehkan.

e. Memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindakan pidana di bidang perbankan.

f. Melakukan tindakan tertentu sebagai akibat dari penilaian Bank Indonesia terhadap suatu bank atas kegiatan yang dapat membahayakan usaha bank tersebut dan/atau sistem perbankan secara keseluruhan.

g. Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independentI, dan dibentuk dengan undang-undang. h. Mengatur dan mengembangkan sistem informasi antar bank. Sistem

informasi dapat dilakukan sendiri oleh Bank Indonesia dan/atau oleh pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia.

i. Mengenakan sanksi terhadao bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian itu bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan agar terwujud sistem perbankan yang sehat dan efisien. Oleh karena itu, peraturan di bidang perbankan tersebut harus didukung pula dengan sanksi yang adil serta harus disesuaikan pula dengam standar yang berlaku secara Internasional.41

2.3 Kewenangan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Setelah terbentuknya OJK

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24 UU BI dalam mengemban tugas untuk mengatur dan mengawasi bank, Bank Indonesia berwenang untuk memberikan dan mencabut izin pendirian bank, menetapkan peraturan,

41 Dirdjosisworo dan Soedjono, Hukum Perbankan di Indonesia: Bank umum, Bandung, Mandar

(17)

mengawasi, sampai memberikan sanksi kepada bank sesuai dengan perundang-undangan. Dari penjelasan tersebut, maka dapat dilihat bahwa Bank Indonesia bukan hanya berwenang saja dalam mengatur dan mengawasi sistem perbankan nasional. Namun, Bank Indonesia juga memiliki tanggung jawab dan kewajiban yang utuh dalam melakukan pembinaan kepada bank, baik dengan cara represif maupun prefentif.

Dengan adanya pembentukan OJK, kewenangan Bank Indonesia yang semula memegang penuh dalam sistem perbankan nasional kini dibatasi oleh pemerintah. Sebab, didalam ketentuan Pasal 6 huruf a UU OJK telah menyebutkan bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan. Selain itu, di dalam ketentuan selanjutnya yakni pada Pasal 7 UU OJK juga telah disebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan, OJK mempunyai wewenang:42

a.Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:

1.Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank, dan

2.Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa

b. Pengaturan dan pengawasan mengennai kesehatan bank yang meliputi:

1.Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;

2.Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3.Sistem informasi debitur;

4.Pengujian kredit (credit testing); dan

(18)

5.Standar akuntasi bank;

c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:

1.Manajemen risiko; 2.Tata kelola bank;

3.Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan

4.Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan

d. Pemeriksaan bank

Apabila kita melihat pada UU BI maka kewenangan yang beralih tersebut adalah, antara lain:43

a. Mengatur dan mengawasi bank;

b. Menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

c. Menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian;

d. Berkaitan dengan kewenangan dibidang perizinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24: (a) memberikan dan mencabut izin usaha bank; (b) memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor bank; (c) memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank; (d) memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu;

e. Melakukan pengawasan bank sebagaimana dimaksud pasal 24, yaitu pengawasan langsung dan tidak langsung;

Dengan adanya UU OJK, maka pengawasan perbankan tidak lagi berada ditangan Bank Indonesia melainkan berada pada tangan OJK. Meskipun telah terbentuk lembaga pengawasan tersebut, namun peranan Bank Indonesia terhadap pengwasan bank tidak dapat dikesampingkan. Sebab lemabaga tersebut (OJK) tetap harus mempunyai hubungan kordinasi yang baik dengan Bank Indonesia, diantaranya menyangkut keterangan dan data perbankan yang ada.

Dengan telah terbentuknya OJK, Bank Indonesia akan fokus kepada kewenangan dalam hal kebijakan moneter yaitu kebijakan untuk mencapai dan

(19)

memelihara kestabilan nilai rupiah yang dilakukan antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan atau suku bungan.44

2.4 Pergeseran Tugas dan Wewenang Bank Indonesia ke OJK

Berikut adalah tabel wewenang Bank Indonesia yang telah beralih ke OJK:

No.

Kewenangan Bank Indonesia

Beralih ke OJK

Keterangan

Ya Tidak

1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter

- √ UU BI

a. Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkannya

- √ UU BI

b. Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang termasuk tetapi tidak terbatas pada:

1. Operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing;

2. Penetapan tingkat diskonto;

3.Penetapan cadangan wajib minimum;

4.Pengaturan kredit atau pembiayaan.

- √ UU BI

c. Melakukan pengendalian moneter juga berdasarkan prinsip syariah

- √ UU BI

d. Memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangga waktu 90 hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang bersangkutan.

- √ UU BI

e. Melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan - UU BI

44 Ibid., h.63

(20)

sistem nilai tukar yang telah ditetapkan.

f. Mengelola cadangan devisa, melaksanakan berbagai jenis transaksi, dan menerima pinjaman luar negeri.

- √ UU BI

g. Menyelenggarakan survei secara berkala atau sewaktu-waktudiperlukan yang dapat bersifat makro dan mikro untuk mendukung pelaksanaan tugas BI

- √ UU BI

2. Mengatur dan menjaga sistem pembayaran - UU BI

a. Melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran

- √ UU BI

b. Mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya

- √ UU BI

c. Menetapkan penggunaan alat pembayaran - UU BI

d. Mengatur sistem kliring antar bank dalam mata uang rupiah dan atau valuta asing

- √ UU BI

e. Menyelenggarakan penyelesaian akhir transaksi pembiayaan antar bank dalam mata uang rupiahdan atau valuta asing

- √ UU BI

f. Menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan dan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah

- √ UU BI

e. Satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik, dan memusnakan uangan dimaksud dari peredaran

- √ UU BI

3. Tugas Mengatur dan mengawasi Bank √ - UU BI

a. Menetapkan peraturan perbankan:

Menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian

(21)

b. Kewenangan dibidang peizinan:

(a) Memberikan dan mencabut izin usaha bank (b)Memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor bank

(c)Memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank

Memberikan izin kepada bankuntuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu

√ - UU BI

c. Pengawasan bank secara langsung dan tidak langsung

√ - UU BI

d. Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai ketentuan perundangan

√ - UU BI

e. Mewajibkan:

(a) bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (b) Apabila diperlukan, kewajiban tersebut diatas juga dikenakan kepada perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, dan pihak terafiliasi oleh bank

√ - UU BI

f. Memeriksa:

(a)bank baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan

(b) Apabila diperlukan, pemeriksaan tersebut diatas juga dikenakan kepada perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi oleh bank, dan debitur bank

√ - UU BI

g. Menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan diatas

√ - UU BI

h. Memerintahkan:

(a)Bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh transaksi tertentu apabilamenurut penilaian BI terhadap suatu

(22)

transaksi patut diduga merupakan tindak pidana dibidang perbankan

(b)BI wajib mengirim tim pemeriksa untuk menelitih kebenaran atas dugaan tersebut Apabila dari hasil pemeriksaan tidak diperoleh bukti yang cukup, BI pada hari itu juga mencabut perintah penghentian transaksi i. (a)Mengatur dan mengemban sistem informasi

antar bank

(b)Sistem informasi dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain dibidang keuangan Penyelenggaraan sistem informasi tersebut dapat dilakukan sendiri oleh Bi dan atau pihak lain dengan persetujuan BI

√ - UU BI

j. Dalam hal keadaan suatu Bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan dan/atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku

√ - UU BI

4. a.

Menetapkan ketentuan perihal Bank Umum: menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah

√ - UU

Perbankan

b. melakukan kegiatan dalam valuta asing - UU

Perbankan c. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada

bank atau perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan

√ - UU

(23)

d. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya

√ - UU

Perbankan

e. Wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah

√ - UU

Perbankan

5. Menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berhargaatau hal lain yang serupa, yang dapat dilaukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan (batas maksimum tidak boleh melebihi 30%)

√ - UU

Perbankan

6. Menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah , pemberian jaminan, penempatan investasi surat berhargaatau hal lain yang serupa, yang dapat dilaukan oleh bank kepada:

a.Pemegang saham yang memiliki 10% atau lebih dari modal disetor ke bank;

b.Anggota dewan komisaris; c. Anggota direksi;

d.Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;

e.Pejabat bank lainnya;

f.Perusahaan-perusahaan yang di dalamnya

√ - UU

(24)

terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dan e

7. Untuk menunjang pelaksanaan program peningkatan taraf hidup rakyat banyak melalui pemberdayaan koperasi, usaha kecil dan mengengah, Pemerintah bersama BI dapat melakukan kerjasama dengan Bank Umum

√ - UU

Perbankan

8. Menetapkan ketentuan perihal Usaha BPR menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah

√ - UU

Perbankan

9. Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau BPR dari pimpinan BI, kecuali apabila kegiatan tersebut diatur pada UU tersendiri

√ - UU

Perbankan

10. Menentukan persyaratan dan tatacara perizinan bank

√ - UU

Perbankan 11. Hanya dapat dilakukan dengan izin pimpinan

BI apabila:

a. Membuka kantor cabang Bank Umum; b.Membuka kantor cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya diluar negeri; c.Membuka kantor cabang BPR

√ - UU

Perbankan

12. Pembukaan kantor dibawah kantor cabang Bank Umum wajib dilaporkan kepada BI

√ - UU

Perbankan 13. Menentukan ketentuan mengenai pesyaratan

dan tata cara pembukaan kantor Bank Umum dan BPR

√ - UU

Perbankan

14. Memberikan izin pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari suatu bank yang berkedudukan diluar

√ - UU

(25)

negeri (hanya pimpinan BI yang berwenang memberikan izin tersebut)

15. Menetapkan ketentuan mengenai persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi pihak - pihak yang mendirikan Bank Umum

√ - UU

Perbankan

16. Perubahan kepemilikan Bank wajib dilaporkan kepada BI

√ - UU

Perbankan 17. Memberikan izin merger, konsolidasi, dan

akuisisi (hanya Pimpinan BI yang berwenang)

√ - UU

Perbankan

18. Melakukan pembinaan dan pengawasan bank - UU

Perbankan 19. Menetapkan ketentuan yang wajib di penuhi

oleh baank dalam hal:

a.Memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, dan lainnya. Serta wajib melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip kehati-hatian;

b.Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menumpuh cara yang tidak merugikan bank dan nasabah; c.Menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.

√ - UU

Perbankan

20. Bank wajib memberikan kepada BI segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya menurut tatacara yang ditetapkan BI.

√ - UU

Perbankan

21. Memeriksa buku-buku dan berkas-berkas yang ada pada bank dan berhak memperoleh bantuan bank dalam hal memperoleh segala kebenaran dari keterangan, dokumen dan penjelasan yang

√ - UU

(26)

dilaporkan oleh bank yang bersangkutan. 22. Melakukan pemeriksaan terhadap baik baik

secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan.

√ - UU

Perbankan

23. Menugaskan akuntan publik untuk dan atas nama BI melaksanakan pemeriksaan terhadap Bank.

√ - UU

Perbankan

24. Menetapkan persyaratan dan tatacara pemeriksaan bank

√ - UU

Perbankan 25. Bank wajib menyampaikan kepada Bank

Indonesia neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan serta penjelasannya, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

√ - UU

Perbankan

26. Bank wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba/rugi dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

√ - UU

Perbankan

27. Menetapkan pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) bagi Bank Perkreditan Rakyat.

√ - UU

Perbankan

28.

a. Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar :

a. pemegang saham menambah modal;

b. pemegang saham mengganti Dewan Komisaris dan atau Direksi bank;

c. bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;

d. bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;

e. bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;

f. bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain;

√ - UU

(27)

g. bank menjual sebagian atau seluruh harta d an atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain.

b. Apabila:

a. tindakan sebagaimana diatas belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank; dan atau

b. menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem Perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan Direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi.

√ - UU

Perbankan

c. Dalam hal Direksi bank tidak

menyelenggarakan RUPS, Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

√ - UU

Perbankan

29. Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, atas permintaan BI,Pemerintah setelah berkonsultasi kepada DPR RI dapat membentuk badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan Perbankan.

√ - UU

Perbankan

30. Perubahan keanggotaan dewan komisaris dan direksi wajib dilaporkan kepada BI.

√ - UU

Perbankan 31. Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan BI

atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank

agar memberikan keterangan dan

memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan

√ - UU

(28)

Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.

32. Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan BI memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan Nasabah Debitur.

√ - UU

Perbankan

33. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan BI dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.

√ - UU

Perbankan

34. Menetapkan ketentuan mengenai tukar menukar informasi antar bank, direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.

√ - UU

Perbankan

35. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana BI dapat menetapkan sanksi administratif kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam UU ini, atau Pimpinan BI dapat mencabut izin usaha bank yang bersangkutan.

√ - UU

Perbankan

36. menetapkan sanksi administratif kepada Pihak Terafiliasi yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam UU ini atau menyampaikan pertimbangan kepada instansi yang berwenang untuk mencabut izin yang bersangkutan.

√ - UU

Perbankan

(29)

nenpengaruhi pengelolaan Bank Syariah atau UUS, baik langsung maupun tidak langsung, antara lain pengendali bank, pemegang saham dan keluarga, keluarga komisaris, dan keluarga direksi.

Perbankan Syariah

38. Memberikan izin kepada setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS.

√ - UU

Perbankan Syariah 39. Memberikan izin kepada bank koncensional

yang akan mengubah kegiatan usahanya berdasarkan Pinsip Syariah.

√ - UU

Perbankan Syariah 40. Bank Umum Konvensional yang akan

melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank dengan izin BI

√ - UU

Perbankan Syariah

41. Memberikan izin pembukaan kantor cabang Bank Syariah dan UUS

√ - UU

Perbankan Syariah 42. Pembukaan kantor di bawah kantor cabang,

wajib dilaporkan dan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan surat penegasan dari BI

√ - UU

Perbankan Syariah 43. Pengangkatan anggota direksi dan komisaris

harus mendapatkan persetujuab BI

√ - UU

Perbankan Syariah 44. RUPS Bank Syariah harus menetapkan tugas

manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal lainnya yang ditetapkan dalam PBI

√ - UU

Perbankan Syariah

45. Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing diatur dalam PBI

√ - UU

Perbankan Syariah

(30)

46. Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah diatur dengan PBI

√ - UU

Perbankan Syariah

47. Besarnya modal disetor minimum untuk mendirikan Bank Syariah ditetapkan dalam PBI

√ - UU

Perbankan Syariah 48. UUS dapat menjadi Bank Umum Syariah

tersendiri setelah mendapatkan izin dari BI

√ - UU

Perbankan Syariah 49. Izin perubahan UUS menjadi Bank Umum

Syariah diatur dengan PBI

√ - UU

Perbankan Syariah 50. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan

Bank Syariah wajib terlebih dahulu mendapat izin dari BI

√ - UU

Perbankan Syariah 51. Kegiatan usaha Bank Umum Syariah didalan

UU wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BI dan ketentuan peraturan perundang-undangan

√ - UU

Perbankan Syariah

52. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah berdasarkan persetujuan BI

√ - UU

Perbankan Syariah 53. Setiap pihak dilarang melakukan kegiatan

penghimpunan dana dalam bentuk simpanan atau investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpa izin terlebih dahulu dari BI

√ - UU

Perbankan Syariah

54. Fatwa yang dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dituangkan dalam PBI

√ - UU

Perbankan Syariah 55. Dalam rangka penyusunan PBI tentang Fatwa,

BI membentuk komite Perbankan Syariah

√ - UU

Perbankan Syariah

(31)

56. Calon pemegang saham pengendali Bank Syariah wajib lulus uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh BI

√ - UU

Perbankan Syariah 57. Ketentuan lebih lanjut mengenai uji

kemampuan dan kepatutan diatur dengan PBI

√ - UU

Perbankan Syariah 58. Ketentuan mengenai syarat, jumlah, tugas,

kewenangan, tanggung jawab, serta hal lain yang menyangkut dewan komisaris dan direksi Bank Syariah dalam anggaran dasar Bank Syariah diatur dengan PBI

√ - UU

Perbankan Syariah

59. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas untuk memastikan kepatuhan Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan BI dan peraturan perundangan-undangan lainnya diatur denngan PBI

√ - UU

Perbankan Syariah

60. Calon dewan komisaris dan calon direksi wajib lulus uji kemampuan dan kepatuhan yang dilakukan oleh BI

√ - UU

Perbankan Syariah 61. Uji kemampuan dan kepatuhan terhadap

komisaris dan direksi yang melanggar integritas dan tidak memenuhi kompetensi dilakukan oleh BI

√ - UU

Perbankan Syariah

62. Ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatuhan komisaris dan direksi diatur dengan PBI

√ - UU

Perbankan Syariah 63. Pengangkatan pejabat eksekutif oleh direksi

diatur dengan PBI

√ - UU

Perbankan Syariah 64. Ketentuan mengenai pembentukan Dewan

Pengawas Syariah diatur dengan PBI

√ - UU

Perbankan Syariah 65. Tata cara penggunaan tenaga kerja asing dalam - UU

(32)

Bank Syariah dilakukan sesuai ketentuan PBI dan peraturan peruundang-undangan

Perbankan Syariah 66. Ketentuan mengenai tata kelola Perbankan

Syariah diatur dengan PBI

√ - UU

Perbankan Syariah 67. Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan

epada BI laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang diatur PBI

√ - UU

Perbankan Syariah

68. Menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga yang berbasis syariah, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah dan UUS kepada:

a. nasabah penerima fasilitas;

b.perusahaan dalam kelompok yang sama dengan Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan;

c.Pemegang saham yang memiliki 10% atau lebih modal yang disetor Bank Syariah dan keluarga;

d. Anggota dewan komisaris dan keluarga; e.Anggota direksi dan keluarga;

f. Pejabat bank lainnya;

g.Perusahaan yang didalamnya terdapat kepentingan dari pihak yang bersangkutan

√ - UU

Perbankan Syariah

69. Ketentuan mengenai kewajiban pengelolaan resiko diatur dengan PBI

√ - UU

(33)

Syariah 70. Ketentuan mengenai pembelian agunan diatur

dengan PBI

√ - UU

Perbankan Syariah 71. Untuk kepentingan penyidikan pidana

perpajakan, BI atas perintah Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan eterangan dan memperlihatkan bukti tertulis serta surat mengenai keadan keuangan Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor tertentu kepada pejabat pajak

√ - UU

Perbankan Syariah

72. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan BI dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, hakim, atau penyidik lain yang diberi wewenang berdasarkan UU untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan atau investasi tersangka atau terdakwa pada Bank

√ - UU

Perbankan Syariah

73. Ketentuan mengenai tukar menukar informasi antarbank diatur dalam PBI

√ - UU

Perbankan Syariah 74. Melakukan pembinaan dan pengawasan Bank

Syariah dan UUS

√ - UU

Perbankan Syariah 75. Kriteria tingkat kesehatan dan ketentuan yang

wajib dipenuhi oleh Bank Syariah dan UUS diatur dengan PBI

√ - UU

Perbankan Syariah 76. Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan

segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya kepada BI menurut tata cara yang ditetapkan dengan PBI

√ - UU

Perbankan Syariah

(34)

BI berwenang:

a. Memeriksa dna mengambil data/dokumen daro setiap tempat yang terkait dengan Bank; b.Memeriksa dan mengambil data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian BI memiliki pengaruh terhadap Bank;

c.Memerintahkan Bank melakukan

pemblokiran rekening tertentu, baik rekening Simpanan maupun rekening Pembiayaan

Perbankan Syariah

78. Dapat menugasi kantor akuntan publik atau pihak lainnya untuk dan atas nama BI, melaksanakan pemeriksaan

√ - UU

Perbankan Syariah 79. Persyaratan tatacara pemeriksaan diatur dengan

PBI

√ - UU

Perbankan Syariah 80. Melakukan tindak lanjut proses pengawasan

antara lain:

a. Membatasi kewenangan RUPS, komisaris, direksi, dan pemegang saham;

b. Meminta pemegang saham menambah modal;

c.Meminta pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris dan/atau direksi Bank Syariah;

d. Meminta Bank Syariah menghapusbukukan

penyaluran dana yang macet dan

memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan modalnya;

e. Meminta Bank Syyariah melakukan penggabungan atau peleburan dengan Bank Syariah lain;

f.Meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh

√ - UU

Perbankan Syariah

(35)

kewajibannya;

g. Meminta Bank Syariah menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Ban Syariah kepada pihak lain; dan/atau

h.Meminta Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank Syariah kepada pihak lain

81. Menyatakan Bank Syariah tidak dapat disehatkan dan menyerahkan penanganannya ke LPS untuk diselamatkan atau tidak bisa diselamatkan

√ - UU

Perbankan Syariah

82. Atas permintaan LPS, mencabut izin usaha Bank Syariah dan penanganan lebih lanjut dilakukan oleh LPS

√ - UU

Perbankan Syariah 83. Atas permintaan Bank Syariah, BI dapat

mencabut izin usaha Bank Syariah setelah Bank Syariah menyelesaikan kewajibannya

√ - UU

Perbankan Syariah 84. Ketentuan mengenai persyaratan dan tatacara

pencabutan izin usaha Bank Syariah diatur dengan PBI

√ - UU

Perbankan Syariah 85. Menetapkan sanksi administratif kepada Bank

Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, yang menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya, serta yang melanggar ketentuan dalam UU Perbankan Syariah

√ - UU

Perbankan Syariah

86. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif diatur dalam PBI

√ - UU

Perbankan Syariah

(36)

Selain dalam tabel tersebut, terdapat pula kewenangan Bank Indonesia yang diatur dalam UU KPKPU yakni tentang wewenang Bank Indonesia untuk mengajukan permhohonan pailit kepada bank. Namun dalam hal kewenangan pengaturan dan pengawasan telah berpindah ke Bank Indonesia, bagaimanakah dengan kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit kepada bank ini, apaakah ikut berpindah menjadi kewenangan dari OJK atau kewenangan tersebut tetap menjadi kewenangan dari Bank Indonesia. Hal tersebut yang akan di bahas dalam BAB selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Arah Pembangunan Bidang Politik Dalam Negeri RPJPN 2005-2025 PENYEMPURNAAN STRUKTUR POLITIK PENATAAN PERAN NEGARA & MASYARAKAT PENATAAN PROSES POLITIK PENGEMBANGA N BUDAYA

Waktu delay tersebut itu akan sanagat memeperlambat proses transmisi data.Pada jaringan VSAT IP yang merupakan jaringan VSAT network, maka delay yang

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Untuk mengetahui pengaruh secara simultan dan parsial insentif, budaya kerja, lingkungan kerja terhadap

Brand Awareness Pada Generasi Z (Studi Kasus Pada Radio Play99ers 100 FM Bandung)”. Maka dengan itu penulis memberikan saran yang dapat menjadi bahan

Setelah melihat hasil jawaban angket, pengolahan dan analisis data, maka penulis menyarankan : (1) Siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 18 Pontianak Diharapkan siswa

Benturan kewenangan di bidang kepelabuhan antara Badan Pengusahaan dengan Pemerintah Kota Batam didasarkan pada konflik norma antara Undang-undang Nomor 36 Tahun 2000

Pada dasarnya upaya pemerin tah untuk meningkatkan pelayanan kesehatan terutama dalam keselama tan pasien di fasilitas pelayanan kese hatan telah dituangkan dalam

instrumen, yaitu validitas butir dengan menggunakan koefisien korelasi antara. skor butir dengan skor