• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARTEL LAYANAN PESAN SINGKAT (SMS off-net Antar Operator) SEBAGAI BAGIAN PRAKTEK PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. Oleh. Ikarini Dani Widiyanti,SH,MH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARTEL LAYANAN PESAN SINGKAT (SMS off-net Antar Operator) SEBAGAI BAGIAN PRAKTEK PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. Oleh. Ikarini Dani Widiyanti,SH,MH"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

KARTEL LAYANAN PESAN SINGKAT (SMS off-net Antar Operator) SEBAGAI BAGIAN PRAKTEK PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Oleh. Ikarini Dani Widiyanti,SH,MH

I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah selesai melakukan pemeriksaan dan telah menetapkan putusan terhadap perkara No. 26/KPPU-L/2007 yaitu dugaan pelanggaran terhadap Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999). Dugaan pelanggaran tersebut adalah penetapan harga SMS off-net (short message service antar operator) yang dilakukan oleh para operator penyelenggara jasa telekomunikasi pada periode 2004 sampai dengan 1 April 2008

Majelis komisi yang menangani perkara ini terdiri dari Ir. Dedie S. Martadisastra (Ketua), Erwin Syahril, S.H., dan Ir. M. Nawir Messi, M.Sc, masing-masing sebagai anggota. Hasilnya, PT Excelkomindo Pratama, Tbk., PT Telekomunikasi Selular, PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk., PT Bakrie Telecom, PT Mobile-8 Telecom, Tbk., PT Smart Telecom terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 UU No 5/1999 dan dihukum untuk membayar denda dengan besaran yang telah ditentukan, yaitu Rp. 4 - 25 milyar.

Perkara ini muncul setelah KPPU menerima laporan tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap UU No. 5/1999 berkaitan dengan penetapan harga SMS off-net. Pelanggaran tersebut dilakukan oleh PT Excelkomindo Pratama, Tbk (Terlapor I), PT Telekomunikasi Selular (Terlapor II), PT Indosat, Tbk (Terlapor III), PT Telkom, Tbk (Terlapor IV), PT Huchison CP Telecommunication (Terlapor V), PT Bakrie Telecom (Terlapor VI), PT Mobile-8 Telecom (Terlapor VII), Tbk, PT Smart Telecom (Terlapor VIII), dan PT Natrindo Telepon Seluler (Terlapor IX).

Pemeriksaan Pendahuluan telah dilakukan pada tanggal 2 November 2007 - 13 Desember 2007, dilanjutkan Pemeriksaan Lanjutan sampai dengan 26 Maret 2008, dengan Ir. Dedie S. Martadisastra sebagai Ketua Tim Pemeriksa, Erwin Syahril, S.H., dan Dr. Sukarmi, S.H, MH masing-masing sebagai anggota Tim Pemeriksa. Melalui proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa KPPU, diperoleh fakta-fakta antara lain:

(2)

Pada periode 1994 - 2004 hanya terdapat tiga operator telekomunikasi seluler di Indonesia dan berlaku satu tarif SMS sebesar Rp 350,-. Namun demikian tidak ditemukan adanya kartel diantara operator pada saat itu karena tarif yang terbentuk terjadi karena struktur pasar yang oligopoli. Pada periode 2004 - 2007 industri telekomunikasi seluler ditandai dengan masuknya beberapa operator baru dan mewarnai situasi persaingan harga. Namun demikian harga SMS yang berlaku untuk layanan SMS off-net hanya berkisar pada Rp 250-350,-. Pada periode ini Tim Pemeriksa menemukan beberapa klausula penetapan harga SMS yang tidak boleh lebih rendah dari Rp 250,- dimasukkan ke dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) Interkoneksi antara operator sebagaimana tertera dalam Matrix Klausula Penetapan Tarif SMS dalam PKS Interkoneksi.

Pada bulan Juni 2007, berdasarkan hasil pertemuan BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) dengan Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), ATSI mengeluarkan surat untuk meminta kepada seluruh anggotanya untuk membatalkan kesepakatan harga SMS yang kemudian ditindaklanjuti oleh para operator. Namun demikian Tim Pemeriksa melihat tidak terdapat perubahan harga SMS off-net yang signifikan di pasar. Pada periode 2007 sampai sekarang, dengan harga yang tidak berubah Tim Pemeriksa menilai kartel harga SMS masih efektif terjadi sampai dengan April 2008 ketika terjadi penurunan tarif dasar SMS off-net di pasar.

Matrix Klausula Penetapan Tarif SMS dalam PKS Interkoneksi Matrix Klausula Penetapan Tarif SMS dalam PKS Interkoneksi

Operator XL Telkomsel Indosat Telkom Hutchinson Bakrie Mobile-8 Smart NTS STI

XL - - - √ (2005) √ (2004) √ (2003) √ (2006) √ (2001) - Telkomsel - - √ (2002) - √ (2004) - √ (2007) √ (2001) - Indosat - - - - - - Telkom - √ (2002) - - - - - Hutchinso n √ (2005) - - - - - - - -

(3)

Bakrie √ (2004) √ (2004) - - - - - - - Mobile-8 √ (2003) - - - - - - Smart √ (2006) √ (2007) - - - - - NTS √ (2001) √ (2001) - - - - STI - - - Sumber :KPPU

Berdasarkan fakta-fakta hasil pemeriksaan tersebut Majelis Komisi kemudian melihat terdapat kerugian konsumen yang dihitung berdasarkan selisih penerimaan harga kartel dengan penerimaan harga kompetitif SMS off-net setidak-tidaknya sebesar Rp 2.827.700.000.000,- dengan perincian masing-masing operator sebagai berikut:

Tabel Perhitungan Kerugian Konsumen Berdasarkan Proporsi Pangsa Pasar Operator Pelaku (dalam Milyar Rupiah)

Tahun Telkomsel XL M-8 Telkom Bakrie Smart Total 2004 311,8 53,4 2,6 12,2 5,8 385,8 2005 446,3 62,4 10,2 30,6 7,8 557,4 2006 615,5 93,7 15,9 59,3 17,5 801,9 2007 819,4 136,4 23,6 71,2 31,8 0,1 1.082,5 Total 2.193,1 346,0 52,3 173,3 62,9 0,1 2.827,7 Sumber: KPPU

(4)

Dengan demikian telah jelas bahwa enam operator telekomunikasi terbukti melakukan kartel layanan pesan singkat yang merugikan konsumen sebesar Rp. 2,87 triliun dalam kurun waktu mulai tahun 2004-20071. Menurut Ketua majelis Komisi KPPU Deddi S. Mardjana keenam operator yaitu Telkomsel, XL, Mobile -8, Telkom, Bakrie Telecom, dan Smart telah membuat perjanjian tertulis yang mengakibatkan terjadinya kartel SMS.2 Perjanjian tersebut dibuat akibat Pemerintah tidak mengatur penghitungan tarif SMS sehingga mereka melakukan self regulatory.Tiga operator lain, yaitu Indosat, Hutchinson(3) dan Natrindo (Axis) sempat ikut dalam perjanjian tersebut tetapi tidak melaksanakan kesepakatan dalam perjanjian tersebut sedangkan Bakrie Telecom(Esia), Mobile8(Fren) dan Smart Telecom sebagai pemain baru dalam bisnis telekomunikasi, terpaksa mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh operator terdahulu.3

Meski perjanjian tersebut akhirnya dibatalkan dan Pemerintah menurunkan tarif interkoneksi, tidak terjadi penurunan tarif SMS secara signifikan.Artinya, kartel tetap terjadi. Padahal, pada Bulan Juli 2007 Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) telah meminta semua oparator membatalkan seluruh perjanjian itu. Berdasarkan perhitungan KPPU, tarif SMS yang kompetitif seharusnya RP 114 per kirim. Rinciannya, tarif originasi Rp 38, biaya RSAC (retail service activities cost) 40 persen dari biaya interkoneksi ditambah margin keuntungan 10 persen.Akibat selesih tarif kompetitif (Rp 114) dengan tarif perjanjian (Rp 250), selama tiga tahun konsumen dirugian RP 2,827 Triliun. Atas dasar hal tersebut KPPU kemudian menghukum keenam operator tersebut berdasar tingkat kesalahannya. Telkomsel didenda Rp 25 miliar, XL Rp 25 miliar, Telkom Rp 18 miliar, Bakrie Rp 4 miliar dan Mobile8 Rp 5 miliar. Denda tersebut harus disetor ke kas negara. Sementara Smart tidak terkena denda karena sebagai pemain baru, perusahaan tersebut mempunyai posisi tawar yang paling lemah. Terhadap putusan tersebut kuasa hukum keenam operator tersebut masih menyatakan pikir-pikir.

Persoalan kartel SMS tersebut menjadi menarik untuk dibahas karena dalam UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat bentuk pelarangan tertera dalam pasal 11 adalah Rule of Reason tidak

1 Jawa Pos Kamis 19 Juni 2008

2 Hal ini tercantum dalam PKS (Perjanjian kerja sama) interkoneksi yang dilakukan

operatorXL dan Telkomsel yang kemudian diikuti oleh oparator lain.

(5)

tegas.4Prinsip Rule of Reason adalah melihat seberapa jauh hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya pengekangan persaingan pasar atau dengan kata lain apabila tidak mengakibatkan adanya indikasi kerugian bagi pasar dan pelaku pasar maka tindakan tersebut tidak dilarang.5Hal inilah yang kemudian menggulirkan adanya persoalan baru di bidang persaingan usaha karena sebuah tindakan dapat dianggap mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat setelah ditemukan adanya dampak negatif yang dalam hal ini berupa kerugian konsumen. Artinya tidak ada upaya perlindungan preventif terhadap tindakan pelaku usaha yang sejak awal telah dimungkinkan akan memunculkan kemungkinan kerugian bagi konsumen.Padahal apabila kita runut kebelakang, kartel sebagai bentuk kerjasama yang dilakukan oleh produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produk mereka sendiri termnasuk penjualan serta harga, dapat mengakibatkan monopoli terhadap komoditas atau produk industri tertentu dan mengenai pembentukan kartel ini telah lama dilarang sejak Adam Smith mengemukakan Teori tentang Pasar Bebas.

1.2 Permasalahan

Persoalan kartel SMS terkait dengan adanya perjanjian bersama antar pelaku usaha di bidang Telekomunikasi untuk menetapkan harga secara horizontal (Horizontal Price Fixing). Perjanjian penetapan harga umum untuk produk barang dan jasa yang sama dan diberlakukan pada pasar bersangkutan yang sama salam hal ini di bidang SMS off net antar Operator sangat potensial melahirkan persoalan yuridis. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah kriteria suatu perjanjian dapat dikategorikan sebagai kartel menurut UU No 5 Tahun 1999?

2. Bagaimanakah seharusnya pengaturan tentang kartel dalam UU No 5 Tahun 1999?

4 Bentuk pelarangan Rule of Reason tidak tegas dapat dilihat dengan dipergunakannya

kata-kata “dapat”mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

5 Munir Fuady,”Hukum Antimonopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, Citra Aditya

(6)

II PEMBAHASAN

Kriteria Perjanjian yang Dapat Dikategorikan Sebagai Kartel Menurut UU No 5 Tahun 1999

Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.6Adapun syarat sah dari sebuah perjanjian adalah :

1. sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu;

4. suatu sebab yang halal.7

Kartel (dalam bahasa Inggris disebut “cartel”) adalah suatu kerja sama dari produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan dan harga dan untuk melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu.8 Ada juga yang mengartikan kartel sebagai suatu asosiasi berdasarkan suatu kontrak di antara perusahaan yang mempunyai kepentingan yang sama, yang dirancang untuk mencegah adanya suatu kompetisi yang tajam dan untuk mengalokasi pasar serta untuk mempromosikan pertukaran pengetahuan hasil dari riset tertentu, mempertukarkan hak paten dan standardisasi produk tertentu.9

Biasanya melalui kartel ini, anggota katel tersebut dapat menetapkan harga atau syarat-syarat perdagangan lainnya untuk mengekang suatu persaingan sehingga hal ini dapat menguntungkan para anggota kartel yang bersangkutan. Aspek yang destruktif lainnya dari kartel adalah bahwa kartel dapat mengontrol atau mengekang masuknya pesaing baru dalam bisnis yang bersangkutan.Pada kasus kartel layanan pesan singkat yang dilakukan oleh para Terlapor adalah berupa kerjasama penetapan harga ( Horzontal price fixing) SMS off net shore atau tarif SMS antar Operator.

6 Bunyi Pasal 1313 KUH Perdata tentang pengertian Perjanjian 7 Bunyi Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sah perjanjian

8 Black, Henry Campbel,”Black LawDictionary”, 6 thn Ed West Publishing Co. St Paul-Minn,

USA, 1990. h.270

(7)

Adapun bunyi pasal 5 ayat 1 UU No 5 tahun 1999 adalah sebagai berikut :“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang bersangkutan yang sama.” Pasal 5 ayat 1 UU No 5 Tahun 1999 menentukan larangan secara menyeluruh terhadap perjanjian penetapan harga secara horizontal serta adanya kartel harga yang telah lama dikenal. Artinya perjanjian penetapan harga sangat dimungkinkan dilakukan oleh kelompok pelaku usaha untuk melindungi kepentingan kelompok pelaku usaha tersebut (Kartel). Namun yang akan merasakan dampak kerugian secara langsung akibat adanya kartel penetapan harga tersebut adalah konsumen. Apabila di dalam pasar tercipta persaingan sehat maka harga akan ditentukan oleh permintaan dan penawaran dan bukan atas dasar kesepakatan para produsen atau pelaku usaha.

Perjanjian untuk membentuk kartel juga tidak dibenarkan oleh pasal 11 UU No 5 Tahun 1999. Pasal 11 tersebut selengkapnya menyatakan sebagai berikut :

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

Dengan demikian, agar suatu perjanjian kartel dapat dikenakan larangan menurut Pasal 11 UU No 5 Tahun 1999, haruslah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1) Adanya suatu perjanjian

2) Perjanjian tersebut dilakukan dengan pelaku usaha pesaing 3) Tujuannya untuk mempengaruhi harga

4) Tindakan untuk mempengaruhi harga dilakukan dengan jalan mengatur produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa tertentu

5) Tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan curang.

Apabila kita telaah kasus Kartel SMS yang dilakukan oleh keenam operator yang telah diputuskan bersalah oleh KPPU maka kita dapat melihat apakah kriteria atau unsur dalam pasal 11 telah terpenuhi sehingga perjanjian tersebut layak dibatalkan karena termasuk dalam kategori perjanjian yang dilarang. Menurut KUH perdata suatu perjanjian haruslah:

(8)

1) Mempunyai kausa yang diperbolehkan 2) Tidak bertentangan dengan ketertiban umum 3) Dilakukan dengan itikat baik

4) Sesuai dengan asas-asas kepatutan 5) Sesuai dengan kebiasaan10

Satu hal yang menonjol dalam perjanjian kartel adalah ketiadaan itikat baik para pendiri kartel terhadap pihak ketiga dalam hal ini adalah konsumen. Hal ini terbukti bahwa akibat dari adanya kartel tersebut , keenam operator mendapat keuntungan dari penentuan harga SMS yang berakibat konsumen dirugikan senilai Rp 2,87 triliun.Pemain baru dalam bisnis Telekomunikasi mau tidak mau juga harus mengikuti perjanjian kartel tersebut karena mereka mempunyai posisi tawar yang lemah.Berdasarkan data YLKI pengguna telpon mobile, mengalami peningkatan dari 32,4 juta pada tahun 2004 menjadi 46,9 juta pada Tahun 2005, 63,8 juta pada tahun 2006 dan 96,41 juta pada 2007.Sedangkan kerugian yang harus diterima konsumen dalam rentang waktu 2004-2007 adalah bagi pengguna Telkomsel, potensi kerugiaj Rp 2,193 triliun, Exelcom(XL) Rp 346 miliar, Telkom Rp 173,3 miliar, Bakrie Telecom(Esia) Rp 62,9 miliar, Mobile-8 (Fren) Rp 52,3 miliar san Smart Telecom Rp 0,1 miliar.11

Selain keenam operator yang melakukan perjanjian kartel tersebut, ada 3(tiga) operator lain yaitu Indosat, Hutchinson (3) dan Natrindo(Axis) yang keluar dari perjanjian kartel tersebut.. Apabila kita lihat potensi kerugian yang disandang oleh konsumen akibat adanya Kartel SMS, tidak dapat diprediksi pula seberapa besar kerugian yang harus diterima oleh operator yang tidak termasuk dalam kartel. Logikanya, apabila harga telah dipengaruhi oleh pasar terbesar, maka ketiga operator yang bukan anggota kartel tidak dapat bersaing secara sehat dengan anggota kartel.Keuntungan yang mereka peroleh dalam layanan SMS tidak akan sebesar yang diterima oleh anggota kartel.

UU No 5 Tahun 1999 mengambil landasan kepada suatu Demokrasi Ekonomi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kristalisasinya adalah berupa menjaga keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan umum, dengan tujuan untuk :

10 Munir Fuady,”Pengantar Hukum Bisnis”, Citra Aditya Bakti,Bandung,2005, h.216 11 Jawa Pos20 Juni 2008

(9)

1) Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi serta lmelindungi konsumen

2) Menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat dan menjamin kepastrian kesemopatan berusaha yang sama bagi setiap orang

3) Mencegah praktek-praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha

4) Menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejateraan rakyat

Perjanjian kartel SMS dalam bentuk penetapan harga SMS off net Shore antar operator patut dilarang karena perjanjian tersebut selain bertentangan dengan kepatutan dan merugikan kepentingan konsumen juga berpotensi menimbulkan persaingan usaha tidak sehat serta inefisiensi ekonomi nasional di bidang telekomunikasi nasional yang telah mengakibatkan kerugian konsumen sebesar Rp 2,87 triliun.

Pengaturan Kartel dalam UU No 5 Tahun 1999

Seringkali suatu industri hanya mempunyai beberapa pemain yang mendominasi pasar. Keadaan demikian dapat mendorong mereka untuk mengambil tindakan bersama dengan tujuan untuk memperkuat kekuatan mereka dan mempertinggi keuntungan. Ini akan mendorong mereka untuk membatasi tingkat produksi maupun harga melalui kesepakatan bersama di antara mereka.Kesemuanya dimaksudkan untuk menghindari terjadinya persaingan yang merugikan mereka sendiri. Kalau berpegang pada teori monopoli, suatu kelompok industri yang mempunyai kedudukan oligopolis akan mendapat keuntungan yang maksimal bila mereka secara bersama. Dalam praktiknya, kedudukan oligopolis ini diwujudkan melalui apa yang disebut asosiasi-asosiasi. Melaui asosiasi ini mereka dapat mengadakan kesepakatan bersama mengenai tingkat produksi, tingkat harga, wilayah pemasaran dan sebagainya, yang kemudian melahirkan

(10)

kartel, yang dapat pula mengakibatkan terciptanya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.12

Larangan pembentukan perjanjian Kartel yang terdapat dalam pasal 11 UU No 5 Tahun 1999 tidak banyak terpengaruh dari ketentuan Hukum Barat. Di Amerika Serikat, Australia dan Uni Eropa, kartel dianggap sebagai per se

illegal.Di Amerika Serikat, sebagaimana price fixing, kartel dianggap sebagai naked restraint yang mempunyai tujuan tunggal untuk mempengaruhi tingkat

harga dan output.Oleh karena itu wajar apabila Section 1 theSherman Act memperlakukannya sebagai per se illegal. Artinya perjanjian kartel itu sendiri yang dilarang tanpa melihat kewajaran tingkat harga yang disepakati, dan tanpa melihat market power para pihak, bahkan tanpa melihat apakah perjanjian kartel tersebut sudah dilaksanakan atau belum. Negara Australia dengan Section 45 jo 4D(1) dan 45A(1)dari The Trade Practices Act 1974 juga mengkategorikan kartel sebagai per se illegal. Begitu juga dengan Uni Eropa dengan Article 45 dari The Treaty of Rome.13

Alasan negara-negara Barat menganggap kartel sebagai per se illegal terletak pada kenyataan bahwa price fixing dan perbuatan kartel yang lain benar-benar mempunyai dampak negatif terhadap harga dan output jika dibandingkan dengan dampak pasar yang kompetitif. Sedangkan kartel jarang melahirkan efisiensi atau efisiensi yang dihasilan sangat kecil dibandingkan dengan dampak negatif dari tindakan-tindakannya. Suatu kartel yang berhasil akan mengeluarkan keputusan tentang harga dan output seperti layaknya sebuah perusahaan tunggal yang memonopoli. Akibatnya, pertama kartel mendapatkan keuntungan monopoli dari para konsumen yang terus menerus membeli barang dan jasa dengan harga kartel, dan kedua, terjadi penempatan sumber secara salah yang diakibatkan oleh pengurangan output karena para konsumen seharusnya membeli dengan harga yang kompetitif, selain terbuangnya sumber daya untuk mempertahankan keberadaan kartel itu sendiri.14

Pada sisi lain , kartel juga dapat memberikan keuntungan.Oleh karena itu, keberadaan dan tumbuh kembangnya diperbolehkan sepanjang hal ini

12 Agus Sardjono,”Pentingnya Sistem Persaingan Usaha Yang Sehat dalam Upaya

Memperbaiki Sistem Perekonomian:,Newsletter No 34 Tahun IX, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum,Jakarta,1998, h.26-27

13 Ayudha D Prayoga,”Persaingan Usaha Dan Hukum Yang mengaturnya”Proyek ELLIPS,

Jakarta,2000, h.82

(11)

memberikan keuntungan bagi masyarakat.Selain itu kartel juga dapat membentuk stabilitas dan kepastian tingkat produksi, tingkat harga dan wilayah pemasaran (yang sama) di antara para pelaku usaha yang tergabung dalam suatu asosiasi tertentu yang dapat mengakibatkan pasar menjadi tidak kompetitif.15 Kalau kita perhatikan bunyi ketentuan pasal 11 UU No 5 Tahun 1999 perjanjian kartel yang dilarang adalah perjanjian tingkat produksi, tingkat harga dan atau wilayah pemasaran atas suatu barang, jasa atau barang dan jasa yang dapat berdampak pada terciptanya monopolisasi dan atau persaingan usaha tidak sehat dengan pelaku usaha saingannya.

Larangan yang terdapat dalam Pasal 11 tersebut tidak mengkategorikan kartel sebagai per se illegal, sebab kartel masih dimungkinkan sepanjang tidak menimbulkan praktik monopolisasi dan atau persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat dan konsumen. Indonesia sependapat dengan jepang yang mensyaratkan adanya substansial “restraint of competition” yang “contrary to the

public interest”di dalam larangan terhadap kartel. Perjanjian kartel baru illegal

apabila dipraktikkan dan ternyata mengurangi persaingan secara substansial. Namun the Fair Trade Commision di Jepang telah mengambil jalan tengah dengan mengambil tindakan ketika peserta kartel telah melakukan langkah-langkah awal untuk melaksanakan perjanjian kartel. Dengan begitu telah dibuat suatu anggapan, begitu peserta mulai melaksanakan kartel, kartel itu pasti mengurangi persaingan secara substansial seandainya tidak diberhentikan atau tidak dilarang.16

Penulis berpendapat, untuk kepentingan perlindungan hukum bagi konsumen dan mencegah terbentuknya kartel-kartel lain dibelakang hari, perlu adanya perubahan prinsip pelarangan yang semula rule of reason menjadi per se

illegal.Mengingat keberadaan asosiasi dagang (Trade Association) selaku

pembentuk kartel akan menjadi sebuah ancaman serius apabila kesepakatan yang dibuat tersebut ditujukan untuk mengatur harga, karena hal tersebut akan otomatis menghambat terjadinya suatu persaingan usaha yang sehat.Pendekatan rule of

reason dan per se illegal merupakan model untuk menilai apakah perjanjian yang

dilakukan oleh pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha yang lain bertentangan dengan ketentuan undang-undang.

15 Rachmadi Usman, “Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta,2004, h.57

(12)

Yahya Harahap mengatakan bahwa pendekatan per se illegal artinya “sejak semula dinyatakan tidak sah”, oleh karenanya perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan “yang melanggar hukum”.Selanjutnya dikatakan, bahwa suatu perbuatan itu dengan sendirinya telah melanggar ketentuan yang sudah di atur, jika perbuatan telah memenuhi rumusan dalam undang-undang persaingan usaha tanpa ada suatu pembuktian.17 Sebagai bahan perbandingan di Amerika Serikat salah satu kasus yang muncul dan terkait dengan kartel adalah Kasus United States vs Missouri Freight Assosiation yang menggunakan pendekatan secara per

se illegal.18 Dalam kasus ini, tujuan dibentuknya asosiasi adalah untuk melindungi para anggota asosiasi dengan cara menetapkan tarif angkutan kerta api yang layak dan adil. Pemerintah Amerika Serikat akhirnya menggugat asosasi, baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri. Gugatan yang diajukan oleh Pemerintah Amerika(sebagai penggugat) ditolak oleh Tergugat (asosiasi kereta api) dengan alasan, bahwa tujuan dibentuknya asosiasi adalah untuk menetapkan tarif kereta api yang rasional sesuai dengan peraturan angkutan pada umumnya. Pihak Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam putusannya menetapkan bahwa perjanjian di antara para anggota asosiasi untuk menetapkan tarif angkutan kerta api dianggap secara “per se illegal” telah melanggar Pasal 1 Tyhe Sherman Act 1890 dan karenanya putusan MA tersebut harus segera dilaksanakan yaitu membubarkan asosiasi perusahaan angkutan kereta api. Keberadaan asosiasi yang bertujusan untuk saling melindungi para anggotanya dan dalam rangka harmonisasi rute perjalanan kereta api merupakan perwujudan adanya kartel.

Kartel sendiri apabila dilihat dari segi manfaatnya dapat dilihat dari sisi positif dan negatif.Pass dan Lowes melihat sebuah asosiasi (kartel) sebagai salah satu jenis kolusi perdagangan negatif.19Sedangkan Harter melihat kartel sebagai perjanjian dalam bentuk persekutuan opelaku usaha yang mempunyai tujuan dan kepentingan usaha bersama yang sejenis dan bersifat positif.20 Namun dalam praktek dunia usaha saat ini di Jepang dan Inggris justru mengizinkan perjanjian Kartel yang dilakukan oleh para pengusaha yang mempunyai usaha sejenis. Sehingga tidak mengherankan bila asosiasi/kartel hidup subur mendominasi

17 M. Yahya Harahap,”Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum”, Citra Aditya

Bakti, Bandung,1997,h.28

18 A.M Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Per se

illegal atau Rule of Reason), Pasca Sarjana UI, Jakarta, 2004, h.81

19 Christopper Pass, “Kamus Lengkap Ekonomi”,Edisi kedua, Erlangga, Jakarta, 1997, h.71 20 John J Harter,’Bahasa Perdagangan”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,1985, h.13

(13)

jaringan bisnis disana. Indonesia rupanya juga sepakat dengan Jepang dan Inggris terbukti dengan pemilihan pendekatan Rule of Reason untuk perjanjian penertapan harga dalam kartel.Disinilah letak persoalan munculnya kelemahan dalam penegakan hukum di bidang persaingan usaha khususnya di bidang Kartel layanan pesan singkat (SMS off-net shore).

III. Kesimpulan dan Saran 3.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil bertdasarkan pembahasan di atas adalah sebagai berikut :

1. Kriteria Kartel dalam UU No 5 Tahun 1999 dapat dicermati dalam pasal 11 yaitu adanya perjanjian, perjanjian tersebut dilakukan dengan pelaku usaha pesaing, bertujuan untuk mempengaruhi harga, tindakan mempengaruhi harga dilakukan dengan jalan mengatur produksi atau pemasaran dan atau jasa tertentu serta tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Kartel SMS yangerbentuk terkait dengan penetapan harga secara horizontal (Horizontal Price Fixing) yang dilarang dalam pasal 5 UU No 5 Tahun 1999.

2. Pendekataan yang dilakukan untuk perjanjian kartel alangkah baiknya diubah dari yang semula secara “Rule of Reason’ menjadi “Per Se Illegal” dengan tujuan agar di kemudian hari tidak akan ada lagi kartel-kartel lain yang akan merugikan konsumen sehingga perlindungan terhadap konsumen dari kerugian yang diakibatkan oleh pelaku usaha dapat diminimalisir.

3.2 Saran

Saran yang dapat disampaikan di akhir tulisan ini adalah :

1. Konsumen pengguna layanan SMS seluler yang dirugikan akibat adanya Kartel Layanan SMS Off Net Shore Antar Operator hendaknya menggunakan hak menggugat secara Class Action terhadap ke 8 (delapan) operator seluler yang telah diputuskan bersalah oleh KPPU berupa Ganti Kerugian.Penggantian kerugian dapat berupa ganti rugi finansial atau berupa ganti rugi pengembalian pulsa.

2. Para operator yang telah dinyatakan bersalah hendaknya segera melaksanakan putusan KPPU dengan itikat baik demi terbentuknya persaingan usaha yang sehat.

(14)
(15)

DAFTAR BACAAN

a. Buku

Ayudha D Prayoga, 2000, Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya, Proyek ELLIPS, Jakarta.

Black, Henry Campbell, 1990, Black Law Dictionary, 6 th Ed, West Publishing Co St Paul- Minn, USA

Cristoper Pass, 1997, Kamus Lengkap Ekonomi, Erlangga, Jakarta

John J. Harter, 1985, Bahasa Perdagangan, Gramedia Pustaka Utama ,Jakarta L. Budi Kagramanto,2008, Mengenal Hukum Persaingan Usaha, Laros, Surabaya Munir Fuady,2001, Hukum Antimonopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, Citra

Aditya Bakti, Bandung

_______________, 2005, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Citra

Aditya Bakti, Bandung.

Rachmadi Usman, 2004, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

b. Perundang-Undangan

UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat

(16)

c. Lain-lain

Artikel

Agus Sardjono, 1998, Pentingnya Sistem Persaingan Usaha Yang Sehat dalam Upaya

Memperbaiki Sistem Perekonomian, Newsletter, No 34 Tahun IX, Yayasan

Pusat

Pengkajian Hukum, Jakarta.

AM Tri Anggraini,2004, Larangan Pratek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat,

Pasca UI, Jakarta Koran

Jawa Pos Edisi Kamis, 19 Juni 2008 Jawa Pos Edisi Jumat , 20 Juni 2008

Gambar

Tabel Perhitungan Kerugian Konsumen Berdasarkan Proporsi Pangsa Pasar Operator  Pelaku (dalam Milyar Rupiah)

Referensi

Dokumen terkait

Backlog rumah merupakan salah satu indikator yang digunakan oleh Pemerintah.. sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) maupun

Dilihat dari identifikasi masalah dapat diketahui banyaknya masalah yang berkaitan dengan prokrastinasi akademik maka penelitian ini dibatasi. pada hubungan antara

Penelitian ini dilakukan untuk megetahui efek dari metode HPFLE (hibridisasi pipe filter layer - elektrolisis) terhadap limbah hasil pengolahan nata de coco

Hubungan antar muka ini terbentuk mengingat fungsi MSC adalah untuk mengatur komunikasi antara jaringan GSM user dengan jaringan telekomunikasi lainnya yang meliputi

Meskipun meyakini pentingnya pengalaman empiris sebagai saluran ilmu pengetahuan yang absah, Islam tidak berpegang pada pendapat yang saat ini berlaku di Barat, bahwa kebenaran itu

Setiap 6 jam akan didadakan LUCKY TIME yaitu waktu bagi bagi hadiah baik berupa SHUFFLE NAME CARD MC LO MC : backsound shift 1 : 10.00 - 16.00 para peserta Cuci mobil sekaligus

Prednosti prototipne rešitve pred dosedanjim načinom dela: - urejena dokumentacija in podatki - hiter dostop do podatkov in zato tudi boljši pregled nad podatki - manj napak pri

tinggi ini akan membawa peningkatan yuran yang tidak boleh dielakkan. Oleh itu, untuk mengatasi masalah ini satu rancangan yang lengkap mengenai kewangan fakulti adalah