• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Definisi gigitan hewan berbisa Gigitan binatang berbisa adalah gigitan atau serangan yang di akibatkan oleh gigitan hewan berbisa seperti ular,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "A. Definisi gigitan hewan berbisa Gigitan binatang berbisa adalah gigitan atau serangan yang di akibatkan oleh gigitan hewan berbisa seperti ular,"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

A. Definisi gigitan hewan berbisa

Gigitan binatang berbisa adalah gigitan atau serangan yang di akibatkan oleh gigitan hewan berbisa seperti ular, laba-laba, kalajengking, dll. Korban gigitan ular adalah pasien yang digigit ular atau diduga digigit ular.

Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan subtropis. Mengingat masih sering terjadi keracunan akibat gigitan ular maka untuk dapat menambah pengetahuan masyarakat kami menyampaikan informasi mengenai bahaya dan pertolongan terhadap gigitan ular berbisa.

Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau intramuskular.

Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.

Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi. Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus).

Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah).

(2)

Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris). B. ETIOLOGI

Tidak ada cara sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa. Beberapa spesies ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun, beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat merasa terancam. Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka bekas gigitan terdapat bekas taring.

Ciri-ciri ular tidak berbisa:

1. Bentuk kepala segiempat panjang 2. Gigi taring kecil

3. Bekas gigitan: luka halus berbentuk lengkungan Ciri-ciri ular berbisa:

1. Bentuk kepala segitiga

2. Dua gigi taring besar di rahang atas

3. Bekas gigitan: dua luka gigitan utama akibat gigi taring

Bekas gigitan: dua luka gigitan utama akibat gigi taring Bisa ular mengandung toksin dan enzim yang berasal dari air liur. Bisa tersebut bersifat:

1) Neurotoksin: berakibat pada saraf perifer atau sentral. Berakibat fatal karena paralise otot-otot lurik. Manifestasi klinis: kelumpuhan otot pernafasan, kardiovaskuler yang terganggu, derajat kesadaran menurun sampai dengan koma.

2) Hamotoksin: bersifat hemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzim lainnya atau menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin. Perdarahan itu sendiri sebagai akibat lisisnya sel darah merah karena toksin. Manifestasi klinis: luka bekas gigitan yang terus berdarah, haematom pada tiap suntikan IM, hematuria, hemoptisis, hematemesis, gagal ginjal.

3) Myotoksin: mengakibatkan rhabdomiolisis yang sering berhubungan dengan mhaemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.

4) Kardiotoksin: merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.

(3)

5) Cytotoksin: dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat terganggunya kardiovaskuler.

6) Cytolitik: zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat patukan

7) Enzim-enzim: termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa.

C. Sifat Bisa, Gejala, dan Tanda Gigitan Ular

Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah; bisa neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.

Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae). D. Tanda dan Gejala

Gigitan ular berbisa dapat menyebabkan kerusakan di tempat gigitan dan gangguan sistemik lainnya. Gejala di tempat gigitan umumnya terjadi dalam 30 menit sampai 24 jam, berupa bengkak dan nyeri, dan timbul bercak kebiruan. Kematian jaringan dapat terjadi pada luka bekas gigitan yang dapat mempersulit penanganan. Gejala lain yang muncul berupa kelemahan otot, menggigil, berkeringat, mual, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur. Bisa ular juga dapat menyebabkan gejala khusus di beberapa organ: 1) Hematotoksik, bersifat racun terhadap darah, menyebabkan perdarahan di tempat

gigitan, perdarahan di tempat lain seperti paru, jantung, otak, gusi, saluran cerna, kencing darah, juga gangguan pembekuan darah.

2) Neurotoksik, bersifat racun terhadap saraf, menyebabkan penderita merasa kelemahan otot tubuh, kekakuan, hingga kejang. Apabila menyerang saraf pernapasan, ini dapat menyebabkan penderita sulit bernapas dan dapat menyebabkan kematian.

(4)

3) Kardiotoksik, gejala yang timbul berupa penurunan tekanan darah, syok, dan henti jantung.

4) Sindroma kompartemen, merupakan suatu sindrom yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan dalam sekumpulan otot yang salah satunya disebabkan pembengkakan. Akibatnya, pembuluh darah dan saraf bisa terjepit, dan lama kelamaaan otot bisa kekurangan oksigen dan bisa mengharuskan dokter untuk melakukan operasi.

E. Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular

Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah:

1. Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri atau orang lain yang ada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah untuk menghambat penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan menghindari komplikasi sebelum mendapatkan perawatan medis di rumah sakit serta mengawasi gejala dini yang membahayakan. Kemudian segera bawa korban ke tempat perawatan medis.

2. Metode pertolongan yang dilakukan adalah menenangkan korban yang cemas; imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening; pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.

3. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah peningkatan penyerapan bisa.

4. Pengobatan gigitan ular Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular. Metode penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah), insisi (pengirisan dengan alat tajam), pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit, pemberian antihistamin dan kortikosteroid harus dihindari karena tidak terbukti manfaatnya.

5. Terapi yang dianjurkan meliputi:

(5)

b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian tubuh yang tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat dengan gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu. Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan torniket dapat menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.

c. Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi penatalaksanaan jalan nafas; penatalaksanaan fungsi pernafasan; penatalaksanaan sirkulasi; penatalaksanaan resusitasi perlu dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa hipotensi berat dan shock, shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi yang tiba-tiba memburuk akibat terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia akibat rusaknya otot rangka, serta kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis lokal.

d. Pemberian suntikan antitetanus, atau bila korban pernah mendapatkan toksoid maka diberikan satu dosis toksoid tetanus.

e. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular. f. Pemberian sedasi atau analgesik untuk menghilangkan rasa takut cepat

mati/panik.

g. Pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar terdiri atas protein, maka sifatnya adalah antigenik sehingga dapat dibuat dari serum kuda. Di Indonesia, antibisa bersifat polivalen, yang mengandung antibodi terhadap beberapa bisa ular. Serum antibisa ini hanya diindikasikan bila terdapat kerusakan jaringan lokal yang luas.

F. Cara pemberian SABU

Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka.

Tujuan pemberian antivenin adalah untuk mengikat racun dalam bisa dan mencegah efek buruk baik lokal maupun sistemik. pemberi SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dikebalkan) polivalen 1 ml berisi : 10-50 LD50 bisa Ankystrodon; 25-50 LD50 bisa Bungarus; 25-50 LD50 bisa Naya Sputarix; Fenol 0.25% v/v

Teknikpenthenan: 2 vial @ 5 ml intra vena dalam 500 ml NaC10,9% atau Dextrose 5% dengan kecepatan 40-80 tetes/ menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan.

(6)

Sekarang tersedia 2 jenis antivenin. Salah satunya telah diproduksi sejak 1956. Dibuat dari serum kuda setelah kuda diinjeksi dengan bisa ular dalam dosis subletal (Wyeth). Antivenin telah dipurifikasi tapi masih mengandung protein serum lain yang mungkin bisa imunogenik. Versi terakhir, didukung oleh FDA pada tahun 2000 (CroFab, Savage) adalah suatu fragmen immunoglobulin monovalen yang berasal dari domba namun dipurifikasi untuk menghilangkan protein antigenik lain.

Antivenin yang lama mungkin masih tersedia, namun secara umum telah direkomendasikan untuk memakai obat yang lebih spesifik dan telah dipurifikasi. Bahkan dengan agen terbaru, harus diperhatikan bahwa saat mungkin antivenin dapat menyelamatkan nyawa, antivenin juga dapat mengarah pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (anafilaksis) dan tipe lambat (serum sickness) dan harus digunakan dalam pengawasan. Untuk mencapai efikasi maksimum, berikan dalam 4 – 6 jam setelah gigitan.

Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001)

1. Derajat 0 dan 1: ditandai dengan rasa sakit lokal, edema, tidak ada tanda-tanda toksisitas sistemik, dan hasil laboratorium yang normal., tidak diperlukan SAB dilakukan evaltinsi dalam 12 jam, jika derajat meningkat maka diberikan SABU

2. Derajat II : Envenomasi sedang ditandai dengan rasa sakit lokal yang hebat; edema lebih dari 12 inci di sekitar luka; dan toksisitas sistemik termasuk nausea, vomitus dan penyimpangan pada hasil laboratorium (misalnya penurunan jumlah hematokrit atau trombosit).dapat di berikan 3 — 4 vial SABU;

3. Derajat III : 5 —15 vial SABU;

4. Derajat IV : berikan penambahan 6 — 8 vial SABU,

Untuk derajat 3 dan 4 termasuk derajat berat, ditandai dengan ptekie, ekimosis, sputum bercampur darah, hipotensi, hipoperfusi, disfungsi renal, perubahan pada protrombin time dan tromboplastin time parsial teraktivasi, dan hasil-hasil abnormal dari tes-tes lain yang menunjukkan koagulopati konsumtif.

Penderajatan envenomasi merupakan proses yang dinamis. Dalam beberapa jam, sindrom ringan awal dapat berkembang menjadi sedang bahkan reaksi yang berat

G. Perawatan

Seperti kasus-kasus emergensi lainnya, tujuan utama adalah untuk mempertahankan pasien sampai mereka tiba di instalasi gawat darurat. Sering penatalaksanaan dengan autentisitas yang kurang lebih memperburuk daripada memperbaiki keadaan, termasuk membuat insisi pada luka gigitan, menghisap dengan mulut, pemasangan turniket, kompres dengan es, atau kejutan listrik. Perawatan di

(7)

lapangan yang tepat harus sesuai dengan prinsip dasar emergency life support. Tenangkan pasien untuk menghindari hysteria selama implementasi ABC (Airway, Breathing, Circulation).

Pertolongan Pertama :

1. Cegah gigitan sekunder atau adanya korban kedua. Ular dapat terus mengigit dan menginjeksikan bisa melalui gigitan berturut-turut sampai bisa mereka habis.

2. Buat korban tetap tenang, yakinkan mereka bahwa gigitan ular dapat ditangani secara efektif di instalasi gawat darurat. Batasi aktivitas dan imobilisasi area yang terkena (umumnya satu ekstrimitas), dan tetap posisikan daerah yang tergigit berada di bawah tinggi jantung untuk mengurangi aliran bisa.

3. Jika terdapat alat penghisap, (seperti Sawyer Extractor), ikuti petunjuk penggunaan. Alat penghisap tekanan-negatif dapat memberi beberapa keuntungan jika digunakan dalam beberapa menit setelah envenomasi. Alat ini telah direkomendasikan oleh banyak ahli di masa lalu, namun alat ini semakin tidak dipercaya untuk dapat menghisap bisa secara signifikan, dan mungkin alat penghisap dapat meningkatkan kerusakan jaringan lokal.

4. Buka semua cincin atau benda lain yang menjepit / ketat yang dapat menghambat aliran darah jika daerah gigitan membengkak. Buat bidai longgar untuk mengurangi pergerakan dari area yang tergigit.

5. Monitor tanda-tanda vital korban — temperatur, denyut nadi, frekuensi nafas, dan tekanan darah – jika mungkin. Tetap perhatikan jalan nafas setiap waktu jika sewaktu-waktu menjadi membutuhkan intubasi.

6. Jika daerah yang tergigit mulai membengkak dan berubah warna, ular yang mengigit kemungkinan berbisa.

7. Segera dapatkan pertolongan medis. Transportasikan korban secara cepat dan aman ke fasilitas medis darurat kecuali ular telah pasti diidentifikasi tidak berbahaya (tidak berbisa). Identifikasi atau upayakan mendeskripsikan jenis ular, tapi lakukan jika tanpa resiko yang signifikan terhadap adanya gigitan sekunder atau jatuhnya korban lain. Jika aman, bawa serta ular yang sudah mati. Hati-hati pada kepalanya saat membawa ular – ular masih dapat mengigit hingga satu jam setelah mati (dari reflek). Ingat, identifikasi yang salah bisa fatal. Sebuah gigitan tanpa gejala inisial dapat tetap berbahaya atau bahkan fatal

8. Jika berada di wilayah yang terpencil dimana transportasi ke instalasi gawat darurat akan lama, pasang bidai pada ekstremitas yang tergigit. Jika memasang bidai, ingat untuk memastikan luka tidak cukup bengkak sehingga menyebabkan bidai menghambat aliran darah. Periksa untuk memastikan jari atau ujung jari tetap pink

(8)

dan hangat, yang berarti ekstrimitas tidak menjadi kesemutan, dan tidak memperburuk rasa sakit.

9. Jika dipastikan digigit oleh elapid yang berbahaya dan tidak terdapat efek mayor dari luka lokal, dapat dipasang pembalut dengan teknik imobilisasi dengan tekanan. Teknik ini terutama digunakan untuk gigitan oleh elapid Australia atau ular laut. Balutkan perban pada luka gigitan dan terus sampai ke bagian atas ekstremitas dengan tekanan seperti akan membalut pergelangan kaki yang terpeleset. Kemudian imobilisasi ekstremitas dengan bidai, dengan tetap memperhatikan mencegah terhambatnya aliran darah. Teknik ini membantu mencegah efek sistemik yang mengancam nyawa dari bisa, tapi juga bisa memperburuk kerusakan lokal pada sisi gigitan jika gejala yang signifikan terdapat di sana.

H. Manajemen di Rumah Sakit

bisa ular terdiri dari terutama protein yang mempunyai effek fisiolgik yang luas atau bervariasi. Sistem multiorgan, terutama neurologik, kradiovaskuler , sistem penrnpasan mungkin terpengaruh.

Bantuan awal pertama pada daerah gigitan ular meliputi 1. Mengistrahatkan korban

2. Melepskan benda yang mengikat seperti cincin 3. Memberikan kehangatan

4. Membersihkan luka

5. Menutup luka dengan balutan steril

6. Imobilisasi bagian tubuh di bawah tinggi jantung

Evaluasi awal departemen kedaruratan dilakukan dengan cepat meliputi a. Menentukan apakah ular berbisa atau tidak

b. Menentukan dimana dan kapan gigitan ular terjadi dan sekitar gigitan

c. Menetapkan urutan kejadian, tanda dan gejala ( bekas gigi, nyeri, edema, dan eritem jaringan yang digigit dan di dekatnya)

d. Menentukan keparahan dampak keracunan e. Memantau tanda vital

f. Mengukur dan mencatat lingkar ekstremitas sekitar gigitan atau ares pada beberapa titik.

g. Dapatkan data laboratorium yang tepat ( misalnya, HDL , urinalisis, dan pemeriksaan pembekuan

(9)

h. Proses dan prognosis gigitan ular bergantung pada jenis dan jumlah bisa dimana terjadi gigitan, dan kesehatan umum, serta usia korban. Tidak ada protokol khusus penatalaksanaan gigitana ular. Pedoman umum meliputi :

i. Dapatkan data dasar laboratorium

j. Jangan gunakan es, tornikuet, heparin, kortikosteroid selama tahap akut. Kortikosteroid dikontraindikasikan pada jam 6-8 jam pertama setelah gigitan karena agens ini mendepresi produksi antibodi dan menyembunyikan kerja antivenin ( antitoksin untuk bisa ular)

k. Cairan parenteral dapat digunakan untuk penatalksanaan hipotensi. Jika vasopresin digunakan untuk penanganan hipotensi penggunaan harus dalam jangka pendek l. Bedah eksplorasi terhadap gigitan jarang di indikasikan

m. Observasi pasien dengan telitiselama 6 jam : pasien tidak pernah dibiarkan tanpa peratian.

Pemberian antivenin ( antitoksin ). Antivenin paling efektif diberikan selama 12 jam dan gigitan ular. Dosis bergantung pada tipe ular dan perkiraan keparahan gigitan. Anak membutuhkan lebih banyka antinenin daripada orang dewasa karena tubuhnya lebih kecil dan lebih rentan terhadap efek toksik bisa. Uji kuliit atau mata harus dilakukan sebelumnya untuk dosis awal untuk mendeteksi alergi terhadap antivenin.

Sebelum meberikan antivenin dan setiap 15 menit setelahnya, sekitar bagian yang trekena diperiksa. Antivenin diberikan diberikan dengan tetesan IV kapanpun mungkin, meskipun pemberian ini dapat dilakukan. Bergantung pada keparahan gigitan ativenin dicairkan 500-1000ml salin normal: volume cairan mungkin diturunkan untuk anak. Infus dimulai perlahan dan kecepatan meningkata setelah 10 menit jika tidak ada reaksi. Dosis total harus di infus selama 4-5 jam pertama setelah keracunan. Dosis awal di ulang sampai dengan gejala menurun. Setelah gejala menurun, sekitar daerah yang terkena harus di ukur 30-60 menit setelah 48 jam kemudian.

Penyebab paling umum dari reaksi serum adalah infus antivenin yang paling sering terlalu cepat, meskipun sekitar 3% reaksi tidak berhubungan dengan kecepatan infus. Reaksi yang dari perasaan penuh di wajah, urtikaria, pruritus, keletihan dan khawatir. Gejala ini mungkin diikuti dengan situasi ini, infus harus dihentikan segera dan diberikan defenhidramin IV. Vasopresor digunakan jika terdapat syok. Resusitasi kedarurtan harus siap pada saat antivenin diberikan.

Perawatan definitif meliputi pengecekan kembali ABC dan mengevaluasi pasien atas tanda-tanda syok (seperti takipneu, takikardi, kulit kering dan pucat, perubahan status mental, hipotensi). Rawat dahulu keadaan yang mengancam nyawa. Korban dengan

(10)

kesulitan bernafas mungkin membutuhkan endotracheal tube dan sebuah mesin ventilator untuk menolong korban bernafas. Korban dengan syok membutuhkan cairan intravena dan mungkin obat-obatan lain untuk mempertahankan aliran darah ke organ-organ vital.

Semburan bisa ular sendok, apabila mengenai mata, dapat mengakibatkan iritasi menengah dan menimbulkan rasa pedih yang hebat. Mencucinya bersih-bersih dengan air yang mengalir sesegera mungkin dapat membilas dan menghanyutkan bisa itu, mengurangi iritasi dan mencegah kerusakan yang lebih lanjut pada mata. Penderajatan envenomasi membedakan kebutuhan akan antivenin pada korban gigitan ular-ular viper. Derajat dibagi dalam ringan, sedang, atau berat.

1. Envenomasi ringan ditandai dengan rasa sakit lokal, edema, tidak ada tanda-tanda toksisitas sistemik, dan hasil laboratorium yang normal.

2. Envenomasi sedang ditandai dengan rasa sakit lokal yang hebat; edema lebih dari 12 inci di sekitar luka; dan toksisitas sistemik termasuk nausea, vomitus dan penyimpangan pada hasil laboratorium (misalnya penurunan jumlah hematokrit atau trombosit).

3. Envenomasi berat ditandai dengan ptekie, ekimosis, sputum bercampur darah, hipotensi, hipoperfusi, disfungsi renal, perubahan pada protrombin time dan tromboplastin time parsial teraktivasi, dan hasil-hasil abnormal dari tes-tes lain yang menunjukkan koagulopati konsumtif. Penderajatan envenomasi merupakan proses yang dinamis. Dalam beberapa jam, sindrom ringan awal dapat berkembang menjadi

sedang bahkan reaksi yang berat.

Beri antivenin pada korban gigitan ular koral sebagai standar perawatan jika korban datang dalam 12 jam setelah gigitan, tanpa melihat adanya tanda-tanda lokal atau sistemik. Neurotoksisitas dapat muncul tanpa tanda-tanda sebelumnya dan berkembang menjadi gagal nafas. Bersihkan luka dan cari pecahan taring ular atau kotoran lain. Suntikan tetanus diperlukan jika korban belum pernah mendapatkannya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Beberapa luka memerlukan antibiotik untuk mencegah infeksi.

(11)

Efek lokal dari keracunan seperti nekrosis lokal, sindrom kompartemen dan trombosis dari pembuluh darah utama biasanya terjadi pada pasien yang tidak diterapi dengan anti bisa. Intervensi pembedahan mungkin dapat dilakukan.

Tetapi intervensi ini menjadi bahaya apabila pasien dengan komplikasi consumption coagulopathy, trombositopenia, fibrinolisis. Pada pasien dengan keadaan tersebut harus dilakukan penanganan yang lebih komperhensif untuk menangani komplikasi dari efek lokal racun tersebut.

1. Fasciotomy

Jika perawatan dengan elevasi tungkai dan obat-obatan gagal, ahli bedah mungkin perlu melakukan pembedahan pada kulit sampai kompartemen yang terkena, disebut fasciotomy. Prosedur ini dapat memperbaiki pembengkakan dan penekanan tungkai, berpotensi menyelamatkan lengan atau tungkai. Fasciotomi tidak diindikasikan pada setiap gigitan ular, tapi dilakukan pada pasien dengan bukti objektif adanya peningkatan tekanan kompartemen. Cedera jaringan setelah sindrom kompartemen bersifat reversible tapi dapat dicegah.

2. Nekrotomi

dikerjakan bila telah nampak jelas batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit. Dalam penanganan yang menyeluruh, maka perlu dilakukan pengambilan darah untu pemeriksaan waktu protrombin, APTT, D-Dimer, fibrinogen, dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, CK. Periksa waktu pembekua, jika dalam 10 menit menunjukkan adanya koagulopati. Juga dapat dilakukan apus tempat gigitan dengan venom detection.

Studi Laboratorium o Penghitungan jumlah sel-sel darah

o Prothrombin time dan activated partial thromboplastin time. o Fibrinogen dan produk-produk pemisahan darah

o Tipe dan jenis golongan darah

(12)

o Urinalisis untuk myoglobinuria

o Analisa gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik Studi Imaging :

o Radiografi thoraks pada pasien dengan edema pulmoner o Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal

Tes lain :

Tekanan kompartemen dapat perlu diukur. Secara komersial tersedia alat yang steril, sederhana untuk dipasang atau dibaca, dan dapat dipercaya (seperti Stryker pressure monitor). Pengukuran tekanan kompartemen diindikasikan jika terdapat pembengkakan yang signifikan, nyeri yang sangat hebat yang menghalangi pemeriksaan, dan jika parestesi muncul pada ekstremitas yang tergigit

KOMPLIKASI

Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper. Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi kardiovaskuler, komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena ukuran tubuh mereka yang lebih kecil. [5] Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari envenomasi ular koral.

Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat (anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang dapat berakibat laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya pada korban tanpa intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala, bersin, pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 – 2 minggu setelah pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G (IgG) pada

PENCEGAHAN GIGITAN ULAR

Secara umum ular akan merasa terancam apabila bertemu dengan manusia dibandingkan manusia itu sendiri, alasannya adalah ular mengigit karena merasa terancam dan bertujuan untuk melarikan diri. Sebagian ular akan lebih menjadi aktif apabila merasa terpojok atau merasa takut, oleh karena itu, jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak

(13)

penderita yang tergigit akibat kejadian semacam itu. (IPD UI) Beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan sebagai pencegahannya antara lain:

 Sercara umum orang dapat melakukan pencegahan yang terbaik dari gigitan ular dengan menggunakan sepatu ketika bekerja dekat dengan ular atau mendaki gunung. Celana panjang juga dapat menurunkan keparahan dari gigitan ular. Pada negara dengan populasi ular yang tinggi diusahakan jangan berjalan dengan telanjang kaki pada saat berada di hutan ataupun semak-semak

 Jangan mencoba menangani, menangkap, atau menggoda ular berbisa atau ular identitas tidak diketahui. Di AS, sekitar 40% dari gigitan ular terjadi ketika korban mencoba untuk menangkap ular atau menangani ular dengan tidakan yang ceroboh.  Buat suara (atau lebih tepatnya vibrasi di sekeliling – ular merupakan hewan yang

tuli, tapi bereaksi terhadap getaran). Pukul-pukul dengan cabang atau ranting pohon sekitar 3 – 5 langkah ke depan, dan tetap berdiri beberapa saat sebelum mengambil langkah berikutnya. Mayoritas ular akan menghindar jika diberi kesempatan. Pengecualian pada ular Taipan Australia yang agresif, yang dapat tiba-tiba menggigit tanpa bisa diprediksi

 Gigitan ular sering dihubungkan dengan pengunaan alkohol. Pengunaan alkohol dapat memperlemah daya tahan tubuh seseorang, membuat gangguan kondisi kesadaran, sehingga membuar orang lebih berani memegang ular tanpa kewaspadaan yang tinggi. Selain itu jg alkohol dapat menurunkan koordinasi sehingga meningkatkan kemungkinan kecelakaan tergigit ular.

 Hindari berpergian ke wilayah yang berular saat gelap. Jika sangat penting, bawa serta obor yang terang. Ular lebih menghindari cahaya terang dan getaran.

 Jika bertemu dengan ular, tetap berdiri tegak. Ular secara instingtif akan menghindar dan kebanyakan ular menyerang objek yang bergerak.

 Jika menemukan ular ‘mati’, pastikan ular benar-benar mati. Banyak orang telah tergigit dua atau tiga kali oleh ular ‘mati’. Jika seseorang tergigit, pastikan ular yang menggigit telah benar-benar mati dan bawa serta untuk identifikasi, tapi pegang di

(14)

bagian ekor dan tetap perhatikan kepalanya, atau lebih baik tempatkan pada suatu kantung yang bisa ditempatkan jauh dari tubuh.

 Apabila pekerjaan atau hobi seseorang terpapar langsung dengan ular yang berbahaya, maka diperlukan pencegahan awal dengan memberikan antibisa sebelum tergigit dapat menyelamatkan nyawa. Karena tidak setiap dokter mengerti tentang gigitan ular dan tidak setiap rumah sakit memiliki dan tahu cara untuk mendapatkan anti bisa, mengerti mengenai informasi jenis ular, jenis racun, dan pengadaan dan penggunaan antibisa sehingga mengerti akan karakteristik ular dan anti bisa yang digunakan dapat membantu dalam pencegahan kondisi yang lebih buruk.

 Ketersediaan serum antibisa ular untuk daerah dimana sering terjadi kasus gigitan ular.

 Semua ular laut (Hydrophiidae) berpotensi sangat berbisa dan peneliti atau penyelam jangan mencoba melihat terlalu dekat. Biasanya ular laut muncul di pantai-pantai Asia Tenggara dan Australia.

DAFTAR PUSTAKA

American Red Cross. Standartd First Aid and Personal Safety. First Edition. New York: Doubleday & Company,Inc, 1979,h.114-25

David A Warrell. Guidelines for the management of snake-bites. India: World Health Organization,2010. Diunduh dari : www.who.int

Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM. Penatalaksanaan Keracunan akibat Gigitan Ular Berbisa. Jakarta. Diunduh dari : Diunduh dari: www.pom.go.id

Djoni Djunaedi. Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.280-3

(15)

David A Warrell. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-East Asia Region . India: World Health Organization,2005. Diunduh dari : www.who.int

Brian James Daley. Snakebite. Amerika: Medscape, 2010. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview

Geplaas deur Marcelina Daya om 11:57 nm.

E-pos hierdie BlogDit! Deel op Twitter Deel op Facebook Deel op Pinterest Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking Ouer plasing

Referensi

Dokumen terkait

Cara pelaksanaan pemetaan dengan penentuan titik lokasi pengamatan, dilakukan dengan menggunakan peta topografi sebagai peta dasar, dan didukung oleh instrument

Susu cair segar UHT dibuat dari susu cair segar yang diolah menggunakan pemanasan dengan suhu tinggi dan dalam waktu yang sangat singkat untuk membunuh

Untuk itu dalam Bulan PELKES GPIB tahun 2018 ini kami mengajak seluruh jemaat GPIB, untuk bersama-sama sebagai satu "TEAM" dalam kesatuan tubuh Kristus, kita

 A/ Ketidake3ekti3an p Ketidake3ekti3an pola na3as %erhu ola na3as %erhu%ungan den %ungan dengan pengem%a gan pengem%angan dada tida ngan dada tidak k

Kombinasi pria Æ wanita (training), wanita Æ pria (training) dan wanita Æ wanita (training) memiliki nilai MOS dengan kategori “baik” artinya kualitas sinyal ucapan

Enzim papain yang terdapat di dalam getah buah pepaya (Carica papaya L.) muda dapat diformulasikan menjadi sediaan hidrogel, memiliki aktivitas sebagai pembalut luka dan

Pernyataan diatas dikuatkan oleh teori Stansfield (1991), bahwa gen-gen yang mengatur berbagi sifat yang dipengaruhi seks, dapat terletak pada autosom mana saja atau pada

Menurut (Wexley and Yukl 1977), kepuasan kerja ditentukan atau dipengaruhi oleh sekelompok faktor. Faktor-faktor itu dapat dikelompokan ke dalam tiga bagian, yaitu yang